STRATEGI DAN KONSEPSI PENGEMBANGAN KAWAS

STRATEGI DAN KONSEPSI PENGEMBANGAN
KAWASAN PERBATASAN NEGARA

Edisi Juli 2002

DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH
DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

0

STRATEGI DAN KONSEPSI PENGEMBANGAN
KAWASAN PERBATASAN NEGARA

I.

)

PENDAHULUAN

Meskipun pengembangan wilayah perbatasan telah menjadi komitmen dan prioritas
Pemerintah dalam dasawarsa terakhir sebagaimana dapat diamati dalam kebijakan

pembangunan yang dituangkan dalam GBHN 1993 dan Repelita VI, namun hingga saat
ini masih belum memperlihatkan hasil yang nyata. Komitmen Pemerintah dalam upaya
pengembangan kawasan perbatasan masih konsisten, sebagaimana dinyatakan dalam
GBHN 1999 – 2004 pada Bab IV Arah Kebijakan, butir G. Pembangunan Daerah, 1h,
yaitu: “meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur
Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada
prinsip desentralisasi dan otonomi daerah”.
Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004 dinyatakan “program
pengembangan daerah perbatasan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi wilayah
perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan
dengan negara lain”. Sasarannya adalah terwujudnya peningkatan kehidupan sosialekonomi dan ketahanan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, dan ketertiban
serta keamanan kawasan perbatasan. Komponen-komponen program prioritasnya antara
lain:
 pengembangan pusat-pusat permukiman potensial termasuk permukiman
transmigrasi di daerah perbatasan;
 peningkatan pelayanan prasarana transportasi dan komunikasi untuk membuka
keterisolasian daerah dan pemasaran produksi;
 peningkatan pelayanan sosial dasar khususnya pendidikan dan kesehatan; penataan
wilayah administratif dan tapal batas;

 pengembangan partisipasi swasta dalam pemanfaatan potensi wilayah khususnya
pertambangan dan kehutanan; serta
 peningkatan kerjasama dan kesepakatan dengan negara tetangga di bidang
keamanan, ekonomi, serta pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan daerah
perbatasan.
Kebijakan pemerintah terkait dengan upaya peningkatan keserasian pertumbuhan
antardaerah antara lain adalah dengan memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi
kesenjangan antardaerah dengan mengembangkan potensi sesuai dengan kondisi
daerah. Keserasian antardaerah diciptakan dengan memacu pembangunan daerah yang
tertinggal dan terisolasi, seperti kawasan timur Indonesia dan beberapa wilayah di
kawasan barat Indonesia, serta mendukung pengembangan kawasan pertumbuhan lintas
batas internasional, kawasan perbatasan antarnegara, dan kawasan yang mendukung
kepentingan pertahanan keamanan nasional.
Secara fisik, Indonesia merupakan negara terbesar kelima di dunia yang batas negaranya
ada di dua matra, yaitu di laut dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, dan di darat dengan
3 (tiga) negara tetangga. Karakteristik batas laut dan darat sangat berbeda, namun


)


Bahan Rapat Kebijakan dan Program Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Bappenas,
8 Agustus 2002
1

keduanya harus ditangani secara komprehensif yang meliputi aspek filosofis, yuridis,
politis, sosial ekonomi, dan kultur historis, serta harus didukung dengan aspek teknis dan
teknologi yang memadai.
Penanganan perbatasan negara selama ini belum dapat berjalan secara optimal dan
kurang terpadu, serta timbulnya konflik antar berbagai pihak (baik secara horisontal,
sektoral, maupun vertikal) tidak dapat dihindari. Persepsi bahwa penanganan kawasan
perbatasan ini hanya menjadi domain pemerintah (pusat) saja sudah waktunya diperbaiki
dalam era otonomi daerah, meskipun kawasan perbatasan ini merupakan kawasan
strategis nasional. Nilai strategis kawasan perbatasan ditentukan antara lain oleh kegiatan
yang berlangsung di dalam kawasan:
 mempunyai potensi sumberdaya yang berdampak ekonomi dan pemanfaatan ruang
wilayah secara siginifikan;
 merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat di dalam ataupun di luar wilayah;
 mempunyai keterkaitan yang kuat dengan kegiatan di wilayah lainnya yang berbatasan
baik dalam lingkup nasional maupun regional (antar negara);

 mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan keamanan nasional.
Nilai strategis kawasan perbatasan tersebut menuntut perhatian khusus dalam penataan
ruang kawasan. Dalam penataan ruang nasional, kawasan perbatasan merupakan
kawasan yang diprioritaskan untuk dikembangkan dengan mempertimbangkan:
 perlunya dilakukan pemantapan kawasan berfungsi lindung (Taman Nasional, Suaka
Alam dan Hutan Lindung) maupun kawasan budidaya (termasuk kawasan fungsional
seperti KAPET, Kawasan Andalan dan lainnya);
 perlunya dikembangkan keterkaitan sistem prasarana dan sarana transportasi hingga
mencapai jalur perbatasan (lintas batas);
 perlunya dikembangkan pusat-pusat permukiman potensial baik sebagai pusat
kegiatan ekonomi maupun sosial;
 perlunya dikembangkan prasarana-prasarana pendukung lainnya seperti irigasi, air
bersih, listrik, telekomunikasi, dalam rangka peningkatan pelayanan kepada
masyarakat setempat.
Kompleksitas penanganan kawasan perbatasan ini perlu didukung dengan:
 Komitmen politik yang kuat dari semua pihak di berbagai tingkatan pemerintahan dan
pada stakeholders,
 Master plan yang komprehensif, dan
 Alokasi pembiayaan yang khusus sebagai stimulan dan atau perekat berbagai
sumberdana yang ada.

Dengan demikian penanganan pembangunan di wilayah perbatasan dapat lebih holistik
(baik perbatasan laut maupun darat) dan dilandasi konsep penataan ruang wilayah
perbatasan (strategi pengembangan wilayah) dengan didukung data base potensi lokal
dan wilayah sekitarnya termasuk pasar di negara tetangga yang akurat sehingga
perumusan program pembangunan pada kawasan perbatasan ini dapat mengangkat
kualitas kesejahteraan masyarakatnya dan kemajuan wilayah tanpa mengorbankan
kelestarian lingkungan.
Keterlibatan multistakeholders dalam pengembangan wilayah perbatasan ini menjadi hal
yang menarik dan sekaligus kompleks. Kekompleksitasan ini diharapkan dapat dipadu
secara sinergis dalam bentuk strategi kebijakan dan konsepsi penanganan yang
ditawarkan.

2

II.

KONDISI KAWASAN PERBATASAN

2.1.


Kondisi Umum

Kondisi umum kawasan perbatasan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu
1.

Aspek Sosial Ekonomi
Merupakan daerah yang kurang berkembang (terbelakang) yang disebabkan antara
lain oleh:
(a) lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah,
(b) rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat,
(c) rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan
(jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal),
(d) langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh
masyarakat di daerah perbatasan (blank spots).

2.

Aspek Pertahanan Keamanan
Kawasan perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola
penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali

pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit
dilaksanakan dengan mantap dan efisien.

3.

Aspek Politis
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan umumnya dipengaruhi
oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk
mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat
masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, namun dimungkinkan adanya
kecenderungan untuk bergeser ke soal politik, terutama apabila kehidupan ekonomi
masyarakat daerah perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian
negara tetangga, maka hal inipun, selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang
politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa.

2.2.

Kondisi Kawasan Perbatasan Pulau Kalimantan

Kawasan perbatasan dengan negara tetangga di Propinsi Kalimantan Barat dan

Kalimantan Timur merupakan perbatasan wilayah darat dan laut yang mempunyai pola
keterkaitan pada daerah perbatasan darat antara wilayah Propinsi Kalimantan Barat
dengan Negeri Sarawak dan antara Propinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah.
Kedua kawasan tersebut relatif berhubungan langsung satu sama lain karena merupakan
perbatasan darat. Kondisi yang berbeda satu sama lain, dimana wilayah Malaysia relatif
lebih maju dibandingkan dengan wilayah Indonesia, maka terjadi kecenderungan
perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk di wilayah Indonesia ke wilayah
Malaysia. Pos lintas batas darat yang telah diresmikan meliputi dua titik, yaitu Entikong
(Singkawang – Kalimantan Barat) – Tebedu (Negeri Sarawak), dan Nanga Badau
(Kapuas Hulu – Kalimantan Barat) – Lubuk Antu (Negeri Sarawak), keduanya dalam
rangka mendukung IMS – GT dan BIMP – EAGA.
Adapun lintas batas melalui laut ataupun udara mempunyai permasalahan yang berbeda
dengan lintas batas melalui daratan. Adapun pelabuhan laut yang dapat dimanfaatkan
untuk sarana lintas batas di Pulau Kalimantan terdiri dari:
 Pelabuhan Pontianak di Propinsi Kalimantan Barat (mendukung IMS – GT dan BIMP EAGA),
 Pelabuhan Sampit di Propinsi Kalimantan Tengah (mendukung BIMP – EAGA),
 Pelabuhan Balikpapan di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung BIMP – EAGA),
3







Pelabuhan Tarakan di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung BIMP – EAGA),
Pelabuhan Nunukan di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung BIMP – EAGA),
Pelabuhan Samarinda di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung BIMP – EAGA),
Pelabuhan Banjarmasin di Propinsi Kalimantan Selatan (mendukung BIMP – EAGA).

Sedangkan bandar udara yang dapat dimanfaatkan untuk sarana lintas batas di Pulau
Kalimantan terdiri dari:
 Bandar udara Supadio – Pontianak di Propinsi Kalimantan Barat (mendukung IMS –
GT dan BIMP - EAGA),
 Bandar udara Sepinggan – Balikpapan di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung
BIMP – EAGA),
 Bandar udara Tarakan di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung BIMP – EAGA).
2.3.

Kondisi Kawasan Perbatasan Propinsi Papua


Pos lintas batas darat di Propinsi Papua belum ada yang telah diresmikan. Lintas batas
melalui laut ataupun udara mempunyai permasalahan yang berbeda dengan lintas batas
darat. Pelabuhan laut yang dapat dimanfaatkan untuk sarana lintas batas di Propinsi
Papua untuk mendukung kerjasama regional BIMP – EAGA meliputi 3 pelabuhan, yaitu:
(1) pelabuhan Jayapura, (2) Sorong, dan (3) Biak. Sedangkan bandar udara yang dapat
dimanfaatkan untuk sarana lintas batas di Propinsi Papua belum tersedia.
2.4.

Kondisi Kawasan Perbatasan Propinsi Nusa Tenggara Timur

Tapal batas darat antara Indonesia dan Timor Leste membentang sepanjang 150 km
meliputi Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara yang berbatasan langsung dengan tiga
disrik: Maliana, Kovalima, dan Oecusse. Wilayah Timor Leste, yakni distrik Oecusse,
menjadi daerah enclave yang terjepit antara Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara di
Indonesia.
Pembahasan transportasi darat dari Oecusse ke Dilli masih belum dicapai kesepakatan,
nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani pada 26 Februari 2002 di Nusa Dua, Bali
hanya menyepakati untuk mengatur masalah transportasi komersial antara Pemerintah
Propinsi Nusa Tenggara Timur menyangkut lintas perbatasan antara Oecusse dan Timor
Leste dan mengatur lintas batas secara tradisional tanpa menggunakan paspor dan visa.

Saat ini, ada dua pintu perbatasan resmi, lengkap dengan petugas bea cukai dan
imigrasi, yaitu di Matoain dan Metamau. Kedua pintu itu menghubungkan daerah
Kabupaten Belu di NTT dengan sektor timur negara Timor Leste. Selain itu sedang
diupayakan penambahan satu pintu lagi di Napan yang merupakan pintu masuk dari
Kabupaten Timor Timur Utara (TTU) dengan enklave Oecusse.
Sementara itu, kesepakatan antar kedua negara untuk membuka lima pasar tradisional
secara resmi, yaitu: di Memo (Bobobnaro), Salele (Kovalima), Wini (NTT), Turiskai (NTT),
dan Haikesak (NTT), perlu segera diantisipasi terutama oleh Indonesia mengingat mata
uang yang digunakan oleh Tiomor Leste adalah Dolar Amerika. Perbedaan harga jual
beberapa komoditas akan dapat menarik masyarakat Indonesia untuk bertransaksi di
Timor Leste.
2.5.

Kondisi Kawasan Perbatasan Pulau Sulawesi

Pulau Sulawesi tidak mempunyai kawasan perbatasan darat, namun hanya mempunyai
kawasan perbatasan laut. Lintas batas laut dilakukan melalui pelabuhan laut ataupun

4

bandar udara. Terdapat empat pelabuhan laut di Pulau Sulawesi yang dapat memberikan
fasilitas lintas batas terutama dalam mendukung kerjasama regional BIMP – EAGA, yaitu:
 Pelabuhan Bitung di Propinsi Sulawesi Utara;
 Pelabuhan Pantoloan di Propinsi Sulawesi Tengah;
 Pelabuhan Makasar di Propinsi Sulawesi Selatan; dan
 Pelabuhan Kendari di Propinsi Sulawesi Tenggara.
Sedangkan lintas batas melalui Bandar udara di Pulau Sulawesi hanya dilayani oleh dua
bandar udara, yaitu: bandar udara Hasanuddin – Makasar di Propinsi Sulawesi Selatan
dan bandar udara Sam Ratulangi – Manado di Propinsi Sulawesi Utara.
2.6.

Kondisi Kawasan Perbatasan Pulau Sumatera

Kawasan perbatasan negara di Pulau Sumatera seluruhnya terletak di laut. Kegiatan
lintas batas melalui laut lebih intensif terjadi di Propinsi Riau, hal ini dapat diperhatikan
dari jumlah pelabuhan laut yang dapat memfasilitasi lintas batas terutama dalam
mendukung kerjasama regional IMS – GT dan IMT – GT yang meliputi pelabuhan sebagai
berikut:
 Pelabuhan Malahayati – Banda Aceh dan Pelabuhan Lhokseumawe di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam;
 Pelabuhan Tanjung Balai Asahan/Kuala Tanjung – Kisaran dan Pelabuhan Belawan –
Medan di Propinsi Sumatra Utara;
 Pelabuhan Sekupang – Batam, Pelabuhan Batu Ampar, Pelabuhan Tanjung Balai
Karimun, Pelabuhan Tanjung Pinang, Pelabuhan Dumai, Pelabuhan Selat Kijang –
Kijang, Pelabuhan Nongsa, Pelabuhan Telaga Pungkur, Pelabuhan Bandar Banten
Telani, Pelabuhan Bandar Seri Udana;
 Pelabuhan Teluk Bayur di Propinsi Sumatera Barat;
 Pelabuhan Palembang di Propinsi Sumatera Selatan;
 Pelabuhan Panjang di Propinsi Lampung;
 Pelabuhan Jambi di Propinsi Jambi; dan
 Pelabuhan Pulau Baai di Propinsi Bengkulu.
Sedangkan bandar udara yang dapat memberikan pelayanan lintas batas negara di Pulau
Sumatera meliputi bandar udara:
 Sultan Iskandar Muda – Banda Aceh di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
 Polonia – Medan dan Binaka – di Propinsi Sumatera Utara;
 Hang Nadim – Pekanbaru dan Simpang Tiga – di Propinsi Riau;
 Tabing – Padang di Propinsi Sumatera Barat; dan
 Sultan Machmud Badaruddin II – Palembang di Propinsi Sumatera Selatan;

III.

KELEMBAGAAN KERJASAMA PENANGANAN KAWASAN
PERBATASAN

3.1. Kelembagaan Penanganan Wilayah Perbatasan RI – Malaysia
Kelembagaan untuk menyelesaikan masalah-masalah perbatasan RI – Malaysia adalah
General Border Committee (GBC) yang diketuai oleh Panglima TNI. Forum ini
mengadakan pertemuan setahun sekali dengan tempat saling bergantian antara
Indonesia dan Malaysia. Pada rapat interdep (di Mabes TNI, 3 Juli 2000) dibahas
perubahan struktur organisasi GBC menjadi sebagai berikut:

5

General Border Committee (GBC), diketuai oleh Menteri Pertahanan dilengkapi dengan
5 sub Komite, yaitu:
1. Staff Planning Committee (SPC), diketuai oleh Kasum TNI
2. Sub Komite Keamanan Perbatasan, diketuai oleh Mabes TNI
3. Sub Komite Sosio Ekonomi (SOSEK), diketuai oleh Depdagri
4. Sub Komite Penegasan Batas Wilayah, diketuai oleh Depdagri atau Dephan;
5. Sub Komite Penanggulangan Bencana dan Kecelakaan, diketuai oleh Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi
yang dibentuk dengan KEPPRES No.3 Tahun 2001
Permasalahan perbatasan yang ada saat ini terjadi pada 9 titik permasalahan sangat
kompleks dan menyangkut kepastian hukum tentang wilayah NKRI atau Malaysia, yaitu
masalah: (1) Tanjung Datu, (2) Batu Aum, (3) Semilau, (4) Sungai Sinapad, (5) Sungai
Semantipal, (6) Nanga Badau, (7) Sungai Buan, (8) Gunung Raya, dan (9) Pulau Sebatik.
Kerjasama di bidang sosial ekonomi daerah perbatasan Malaysia (Sarawak dan Sabah)
dengan Indonesia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur) yang disebut Sosek Malindo
telah dilengkapi dengan kelompok kerja (KK) Sosek Malindo di tingkat propinsi/negeri
(struktur organisasi Sosek Malindo pada Gambar 1) yang ditujukan untuk: (a)
menentukan proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama, (b)
merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial
ekonomi di wilayah perbatasan, (c) melaksanakan pertukaran informasi mengenai proyekproyek pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan bersama, dan (d)
menyampaikan laporan kepada KK Sosek Malindo tingkat pusat mengenai pelaksanaan
kerjasama pembangunan sosial ekonomi di daerah perbatasan.
Gambar 1
Struktur Organisasi
Kerjasama Pembangunan Sosio – Ekonomi
Wilayah Perbatasan Malaysia – Indonesia (KK SOSEK MALINDO)
General Border Committee (GBC)
Ketua: Panglima TNI

Kelompok Kerja/Jawatankuasa Kerja
Sosek Malindo Tingkat Daerah
KALBAR – SARAWAK

Kelompok Kerja/Jawatankuasa Kerja
Sosek Malindo Tingkat Daerah
KALTIM – SABAH

Tim Teknis
Ketua:
Bappeda Kalbar

Tim Teknis
Ketua:
Bappeda Kaltim

Tim Teknis

Tim Teknis

6

Coordinated
Operation Control
Committee
(COCC)
Ketua: Asops
Kasum TNI

Staff Planning Committee (SPC)
Ketua: Kasum
TNI
Jawatan Kuasa
Kelompok
Kerja
Latihan Bersama
Sosek Malindo
(JKLB)
Ketua: Aster
Ketua: Asops
Kaster TNI
Kasum TNI

Kelompok Kerja
SAR
Ketua: Kabasarnas

Selain dari hasil kerjasama dalam bidang sosial ekonomi yang dilandasi oleh latar
belakang politis di atas, telah dirintis dan dikembangkan pula beberapa kerjasama
ekonomi bilateral dan multilateral antara Indonesia dengan negara-negara tetangga, yang
antara lain ditunjukkan oleh:
 kerjasama segitiga pertumbuhan IMS-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth
Triangle) atau yang juga dikenal dengan kerjasama segitiga pertumbuhan SIJORI
(Singapore-Johor-Riau);
 kerjasama segitiga pertumbuhan utara IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth
Triangle);
 kerjasama kawasan pertumbuhan ASEAN timur, BIMP-EAGA (Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, Philippines East Asean Growth Area), yang meliputi Propinsi
Sulawesi Utara (Manado dan Bitung), Propinsi Kalimantan Timur, Mindanao (Davao)
di Filipina, Sabah (Kota Kinibalu), dan Brunei Darussalam.
3.2. Kelembagaan Penanganan Wilayah Perbatasan RI – Papua New Guinea
Kelembagaan yang dibentuk untuk menangani masalah perbatasan RI – Papua New
Guinea berupa Joint Border Comitte (JBC) yang dibentuk oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Papua New Guinea yang tertuang dalam MOU on the
Establishment of the Joint Border Committee dan ditandatangani di Port Moresby – PNG
pada tanggal 4 Agustus 1982 dan diratifikasi pada tanggal 15 November 1993 di Rabaul –
PNG.
Joint Border Committe (JBC) atau Komite Bersama Perbatasan merupakan forum antar
pemerintah untuk menampung dan menyelesaikan seluruh masalah yang belum
terselesaikan dalam forum Sub Komite, mengadakan pertemuan sekali dalam setahun
dengan tempat saling bergantian. Adapun Sub-Komite yang berada di bawah JBC
meliputi:
a.
Border Liaison Meeting (BLM) atau Penghubung Perbatasan
diketuai oleh wakil Gubernur Papua dan mengadakan pertemuan dua kali dalam
setahun dengan tempat saling bergantian, yang berfungsi menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi dan diperkirakan akan timbul di wilayah perbatasan terutama
mengenai pelintas batas dan gejala sosial lainnya.
b.
Joint Technical Sub Committee on Survey, Demarcation and
Mapping (JTSC) atau Sub Komite Teknis tentang Demarkasi dan Pemetaan diketuai
Kepala Pusat Survei dan Pemetaan (PUSSURTA) Mabes TNI dan mengadakan
pertemuan sekali dalam setahun dengan tempat saling bergantian, yang berfungsi
menyelesaikan masalah penetapan batas wilayah phisik kedua negara
c.
Joint Technical Sub Committee on Security Matters along to
the Common Border Area (JSCS) atau Sub Komite Teknis tentang Keamanan di
sepanjang perbatasan diketuai oleh wakil asisten Operasi kasum TNI dan
mengadakan pertemuan setahun sekali dengan tempat saling bergantian dengan
fungsi untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan di wilayah perbatasan
kedua negara
Sidang Perundingan Joint Border Comitte ke-20 di kota Alotau, propinsi Milne Bay-Papua
New Guinea (6-8 November 2001) membahas permasalahan yang dihadapi dan
diperkirakan akan timbul berdasarkan perjanjian Saling Menghormati, Persahabatan dan

7

Kerjasama (Treaty of Mutual Respect, Friendship and Co-operation) yang ditandatangani
pada tanggal 27 Oktober 1980 di Papua New Guinea dengan hasil:
Dari seluruh materi yang dibahas dalam sidang perundingan JBC ke-20 tersebut, masih
terdapat beberapa hal yang memerlukan perhatian dan tindak lanjut bagi kedua belah
pihak, yaitu:
 MOU mengenai pembentukan Sub Committee Teknis on SAR dan Standard
Operating Procedures (SOP) masih memerlukan penyempurnaan, sehingga
kedua belah pihak dapat segera mempercepat proses penyelesaiannya agar
segera ditandatangani.
 Direncanakan untuk membuka secara resmi Pos Perbatasan di Wutung –
Skou serta jalan penghubung antara Jayapura – Vanimo.
 MOU on Illegal Movement of the Third Country Along the Border.
(Memorandum Saling Pengertian tentang Pergerakan Orang dari Negara Ketiga)
Indonesia telah menyampaikan naskah working group ini sebagai bahan yang
perlu dipelajari oleh pihak PNG.
 Transportasi darat dan Asuransi.
PNG menyarankan agar para pihak bidang teknis yang menyangkut dengan
masalah asuransi segera mengadakan pertemuannya untuk merealisir kerjasama
di bidang perasuransian guna mengurangi resiko kerugian.
 Kasus Wara Smol
Dalam rangka menindaklanjuti hasil JBC ke-20 RI-PNG, pada tanggal 20-21
Desember 2001 telah dilaksanakan peninjauan bersama ke lokasi Wara Smol oleh
4 orang (2 orang dari RI dan 2 orang dari PNG) dengan hasil:
Desa yang ada di Wara Smol secara pasti terletak di wilayah Indonesia.
Mengaku Warga Negara PNG dan mengibarkan bendera PNG.
Belum pernah ada pejabat dari Indonesia mengunjungi daerah tersebut
Ada perintah Gubernur Propinsi Sandaun (PNG) untuk membangun airstrip
di desa Iksikin.
Hasil tinjauan ini akan dibahas pada saat sidang JBC ke-21 RI-PNG, di Surabaya.
 Pembentukan jasa komunikasi perbatasan
 Traktat Ekstradisi.
Saat ini Indonesia masih mempelajari naskah yang pernah disampaikan pihak
PNG.
 Pencemaran Lingkungan akibat Perusahaan Pertambangan OK Tedi
PNG memohon izin pesawatnya untuk melintasi batas wilayah Indonesia guna
melakukan penilaian kerusakan lingkungan sebagai akibat Pertambangan OK Tedi
Mining yang mendapat respon persetujuannya dari delegasi RI dengan
mengharapkan agar laporan hasil pelaksanaan penilaian tersebut dapat
disampaikan kepada Indonesia secepatnya melalui saluran diplomatik
 Basic Agreement on Border Arrangement.
(Persetujuan Dasar tentang Pengaturan-pengaturan Perbatasan)
Diadakan perpanjangan masa berlakunya Basic Agreement on Border
Arrangement melalui pertukaran nota diplomatik, hal ini dilakukan pihak Indonesia
pada tanggal 1 November 2001 yang menyampaikannya kepada pihak PNG
melalui saluran diplomatik.
3.3. Kelembagaan Penanganan Wilayah Perbatasan RI – Timor Leste
Joint Border Committee (JBC) RI-UNTAET dibentuk pada tanggal 14 September 2000
di Bali dengan telah ditandatangani arrangementnya yang merupakan forum tingkat pusat
untuk menampung seluruh masalah perbatasan RI-Timor Leste.
Pertemuan pertama JBC RI- UNTAET (Denpasar, Bali tanggal 30 Januari 2001) dengan
hasil:
8

 Kesepakatan pembentukan Komite Perbatasan, susunan keanggotaan dari
masing-masing Komite Perbatasan Nasional dan 5 (lima) sub Komite Teknis (Sub
Komite Teknik Manajemen Perbatasan, Lintas Perbatasan Orang dan Barang,
Kerjasama Polisi Lintas Perbatasan. Keamanan Perbatasan dan Para Pelintas
Perbatasan) disertai prosedur operasional dan mekanisme koordinasinya.
 Pejabat Perantara Perbatasan (Border Liaison) untuk Komite Perbatasan akan
diketuai oleh Wakil Gubernur Propinsi NTT yang beranggotakan perwakilan dari
Pemerintah Pusat dan Daerah.
 Komite Bersama Perbatasan akan mengadakan pertemuan dua kali setahun,
masing-masing Sub Komite Teknis bertemu tiga kali dalam setahun dan
kemungkinan diadakan pertemuan tambahan sesuai dengan kebutuhan.
 Kesepakatan penggabungan Sub Komite Teknis Lintas Perbatasan Orang dan
Barang dan Sub Komite Teknis Para Pelintas Perbatasan menjadi satu Sub
Komite Teknis.
Pertemuan kedua JBC RI-UNTAET (Jakarta, 19-20 Juli 2001) dengan agenda pertemuan:
 Delegasi RI menolak usulan UNTAET untuk membentuk Sub Komite Teknis
mengenai Oecussi, dan menawarkan jalur lewat laut bagi penduduk Oecussi yang
akan melakukan perjalanan dari dan ke Dili.
 Kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komite Penghubung Perbatasan.
Komite tersebut dapat bertemu setiap saat bila diperlukan.
 Kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Sub Komite Teknis Demarkasi dan
Peraturan Perbatasan guna membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan
garis batas.
 UNTAET mengusulkan untuk membuat kerangka peraturan perdagangan pantai
bagi perahu-perahu tradisional untuk keselamatan pelayaran. Pihak Indonesia
meminta tenggang waktu untuk mempertimbangkan hal tersebut.
Pertemuan ketiga JBC RI-UNTAET (Dili, Timor Leste, 19-21 November 2001) dengan
hasil:
 Pihak UNTAET mangajukan non paper tentang Normalisasi Hubungan
Perbatasan, sebagai pedoman kegiatan kerja JBC yang natinya dapat
ditindaklanjuti menjadi deklarasi bersama dalam Pertemuan Tingkat Tinggi RI –
Timor Leste mendatang.
 Pihak UNTAET menyampaikan draft “Arrangement on the Right of Passage
between Oecussi and the Other District of East Timor” dan Delegasi RI mencatat
dan menyatakan bahwa dokumen tersebut perlu dikaji terlebih dahulu.
 Kedua belah pihak sepakat untuk lebih mengaktifkan peran dan fungsi BLC serta
bertindak sebagai forum utama dimana setiap informasi mengenai perkembangan
di wilayah perbatasan yang menjadi kepentingan kedua belah pihak dapat
dipertukarkan.
 Kesepakatan untuk mendirikan regulated market di Haekesak, Turishkain, Memo
dan Salele serta pasar ternak di Wini.
 Kedua belah pihak mencapai kesepahaman mengenai prinsip-prinsip pelaksanaan
langkah teknis untuk demarkasi batas.
 Kedua belah pihak sepakat untuk menyusun dasar pedoman bagi demarkasi
batas darat dan ajudikasi lapangan.
3.4. Kelembagaan Penanganan Perbatasan RI – FILIPINA
Kawasan perbatasan negara RI – Filipina berupa kawasan perbatasan laut. Kesepakatan
perbatasan negara yang masih perlu dirundingkan meliputi kawasan maritim yang terletak
di tiga bagian, yakni:
9

a.

Kawasan sebelah Barat Laut Sulawesi di daerah sekitar
P. Sipadan dan Ligitan

b.
c.

Kawasan tengah Laut Sulawesi
Bagian sebelah Timur kawasan tersebut yang terletak
antara P. Miangas dan Cape San Agustin.

Perundingan ketiga kawasan maritim tersebut telah dilakukan pada Tingkat Pejabat Tinggi
yang diselenggarakan di Manado pada bulan Juni 1994. Hasilnya adalah disepakatinya
prinsip-prinsip yang dapat digunakan bagi pembahasan atau penyelesaian masalah
selanjutnya yang diantaranya meliputi:
a.
Perundingan didasarkan pada hukum internasional, termasuk Hukum laut
internasional;
b.
Batas maritim ditentukan berdasarkan prinsip garis tengah atau “median line”;
c.
Terbuka kemungkinan penggunaan cara penyelesaian politik.
Hingga kini masih belum diperoleh penyelesaian masalah ini dan masih memerlukan
waktu yang cukup lama, terutama bagi Pemerintah Filipina yang harus menyempurnakan
perundang-undangan mengenai garis dasar wilayah maritim sesuai dengan Konvensi
Hukum Laut 1982, mengingat posisi Filipina mengenai garis laut wilayahnya masih
didasarkan pada Traktat Paris 1898.
Kedua negara sepakat membahas permasalahan perbatasan negara dalam forum
bilateral, yaitu Joint Border Committee (JBC) RI-Filipina. Indonesia diketuai oleh
Pangdam VII Wirabuana dan Filipina diketuai oleh Philippines South Commander. Forum
ini melakukan pertemuan setiap tahun guna membahas dan menyelesaikan masalahmasalah yang timbul di perbatasan kedua negara.

IV.

ISU PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN

Dalam kenyataan di lapangan banyak ditemui kebijakan yang tidak saling mendukung
dan/atau kurang sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, masalah koordinasi yang kurang
mantap dan terpadu menjadi sangat perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Koordinasi dalam
pengelolaan kawasan perbatasan, sebagaimana dikemukakan di atas, melibatkan banyak
instansi (departemen/LPND), baik antarinstansi terkait di tingkat pusat maupun antara
instansi pusat dengan pemerintah daerah. Misalnya, belum terkoordinasinya
pengembangan kawasan perbatasan antarnegara dengan kerjasama ekonomi subregional, seperti yang ditemui pada wilayah perbatasan antara Malaysia Timur dengan
Kalimantan dengan KK Sosek Malindo dan BIMP-EAGAnya, serta dengan rencana
pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sanggau di
Kalimantan Barat dan KAPET SASAMBA di Kalimantan Timur yang secara konseptual
dan operasional perlu diarahkan dan dirancang untuk menumbuhkan daya saing,
kompatibilitas dan komplementaritas dengan wilayah mitranya yang ada di negara
tetangganya.
Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan, komitmen dan
kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas lebih tinggi dalam pembangunan
wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari orientasi keamanan (security
approach) menjadi orientasi pembangunan (prosperity/ development approach).
Reorientasi ini, pada kasus kawasan perbatasan di Kalimantan, dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa hal berikut:
 Pendekatan keamanan (security approach) yang diterapkan Mabes ABRI di dalam
penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun diharapkan dapat saling
menunjang dengan pendekatan pembangunan (prosperity/ development approach).
10

 Penanganan KK Sosek Malindo selama ini ternyata tidak tercipta suatu
keterkaitan/'interface' dengan program pengembangan kawasan dan kerjasama
ekonomi regional seperti BIMP-EAGA, yang sebenarnya sangat relevan untuk
dikembangkan secara integratif dan komplementatif dengan KK Sosek Malindo.
 Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan
kawasan perbatasan antar negara, khususnya di Kalimantan dengan KK Sosek
Malindonya, diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan
kawasan perbataan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintas sektor dan
lintas pendanaan.
Isu pengembangan kawasan perbatasan lainnya secara umum diilustrasikan sebagai
berikut:
a. Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya patok-patok di perbatasan
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menyebabkan sekitar 200 hektare hutan
wilayah Republik Indonesia (RI) berpindah masuk menjadi wilayah Negara Malaysia
(Media Indonesia, 21 Juni 2001). Ancaman hilangnya sebagian wilayah RI di
perbatasan Kalimantan Barat (Kalbar) dengan Malaysia Timur akibat rusaknya patok
batas negara yang sedikitnya kini telah mencapai 21 patok yang terdapat di
Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, memerlukan perhatian yang serius bagi
pihak terkait. Selain itu di Kabupaten Bengkayang, kerusakan patok-patok batas ini
juga terjadi di wilayah Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, masing-masing berjumlah
tiga dan lima patok (Media Indonesia, 23 Juni 2001).
b. Pengelolaan sumberdaya alam belum terkordinasi antar pelaku sehingga
memungkinkan eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan
daerah dan masyarakat. Misalnya, kasus illegal logging yang juga terkait dengan
kerusakan patok-patok batas yang dilakukan untuk meraih keuntungan dalam
penjualan kayu. Departemen Kehutanan pernah menaksir setiap bulannya sekitar
80.000 –100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan sekitar 150.000 m3 kayu
ilegal dari Kalimantan Barat masuk ke Malaysia (Kompas, 20 Mei 2001).
c. Kepastian hukum bagi suatu instansi dalam operasionalisasi pembangunan di wilayah
perbatasan sangat diperlukan agar peran dan fungsi instansi tersebut dapat lebih
efektif. Contohnya, Perum Perhutani yang ditugasi Pemerintah untuk mengelola HPH
eks PT Yamaker di perbatasan Kalimantan-Malaysia baru didasari oleh SK Menhut
No.3766/Kpts-II/1999 tanggal 27 Mei 1999, namun tugas yang dipikul Perhutani
meliputi menata kembali wilayah perbatasan dalam rangka pelestarian Sumber Daya
Alam, perlindungan dan pengamaman wilayah perbatasan, dan pengelolaan hutan
dengan sistim Tebang Pilih. Tugas ini bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah
sehingga diperlukan dasar hukum yang lebih tinggi.
d. Pengelolaan kawasan lindung lintas negara belum terintegrasi dalam program
kerjasama bilateral antar kedua negara, misalnya keberadaan Taman Nasional Kayan
Mentarang yang terletak di Kabupaten Malinau dan Nunukan, di sebelah utara
Kalimantan Timur, sepanjang perbatasan dengan Sabah Malaysia, seluas 1,35 juta
hektar. Taman ini merupakan tempat tinggal lebih dari 70 spesies mamalia, 315
spesies unggas dan ratusan spesies lainnya.
e. Kawasan perbatasan mempunyai posisi strategis yang berdampak terhadap hankam
dan politis mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia yang mana terjadi
banyaknya pelintas batas baik dari dan ke Indonesia maupun Malaysia. Ancaman di
bidang hankam dan politis ini perlu diperhatikan mengingat kurangnya pos lintas batas
legal yang disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya di Kalimantan Barat dengan
Sarawak/Sabah hanya ada 2 pos lintas batas legal dari 16 pos lintas batas yang ada.
f. Kemiskinan akibat keterisolasian kawasan perbatasan menjadi pemicu tingginya
keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas ke Malaysia berlatar belakang
untuk memperbaiki perekonomian masyarakat mengingat tingkat perekonomian
Malaysia yang lebih berkembang.
11

g. Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar kedua wilayah negara menjadi
pemicu orientasi perekonomian masyarakat, seperti di Kalimantan, akses keluar (ke
Malaysia) lebih mudah dibandingkan ke ibukota kecamatan/kabupaten di wilayah
Kalimantan.
h. Tidak tercipta keterkaitan antar kluster sosial ekonomi baik kluster penduduk setempat
maupun kluster binaan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan perbatasan, baik
keterkaitan ke dalam maupun dengan kluster pertumbuhan di negara tetangga.
i. Adanya masalah atau gangguan hubungan bilateral antar negara yang berbatasan
akibat adanya peristiwa-peristiwa baik yang terkait dengan aspek keamanan dan
politis, maupun pelanggaran dalam pengelolaan dan eksploitasi sumberdaya alam
yang lintas batas negara, baik sumberdaya alam darat maupun laut.
Adapun permasalahan hubungan bilateral yang perlu diprioritaskan penyelesaiannya
meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Hubungan bilateral Indonesia – Malaysia:
 Kasus pelemparan granat di halaman Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta,
 Demontrasi yang disertai perusakkan kantor Konsulat Malaysia di Pontianak,
 Kasus penangkapan warganegara Malaysia di perbatasan Serawak dengan
Kalimantan Barat yang dituduh melakukan penebangan hutan di wilayah
Indonesia,
 Kasus kasus yang berhubungan dengan perbatasan dan ZEE kedua negara
seperti kasus penangkapan dan penahanan ABK Kapal Semesta Pahala Sakti,
dan insiden KRI Teuku Umar dengan Kapal Nelayan Malaysia.
 Penyelesaian sengketa P. Sipadan dan Ligitan yang telah memasuki tahap akhir
yaitu pelaksanaan oral hearings di International Court of Justice.
2. Hubungan bilateral Indonesia – Filipina:
 Perundingan batas wilayah perairan kedua negara sebagai tindaklanjut telah
ditandatanganani 4 persetujuan bilateral yang mengatur kerjasama di bidang
perikanan, pariwisata, investasi dan energi.
 Banyaknya nelayan-nelayan Filipina yang masuk secara ilegal ke perairan RI
sehingga dilakukan penangkapan atas nelayan-nelayan tersebut yang disebabkan
oleh belum adanya batas maritim kedua negara merupakan faktor penyebab
adanya pelanggaran wilayah oleh nelayan-nelayan Filipina.
 Peningkatan kerjasama keamanan perbatasan dan memerangi kejahatan
transnasional (transnational crimes) termasuk terorisme.
3. Hubungan Diplomatik Indonesia – Australia:
 Kasus imigran gelap di tahun 2001. Optimalisasi Joint Press Statement yang telah
dibuat antar 3 menteri kedua negara di Indonesia tanggal 6-7 September 2001
yang intinya kedua negara bertekad untuk bersama-sama mengatasi masalah
imigran gelap tersebut.
 Optimalisasi Joint Communique yang menekankan pentingnya dialog (primacy of
dialogue) dalam setiap isu yang timbul serta penekanan bahwa hubungan kedua
negara harus dibangun atas dasar mutual trust dan mutual understanding.
 Pembukaan kembali hubungan pertahanan, penanganan bersama masalah
imigran gelap termasuk rencana pelaksanaan konferensi regional mengenai
penyelundupan dan perdagangan manusia, rencana trilateral consultation antara
Indonesia - Timor Leste – Australia, serta South West Pacific Dialogue.
4. Hubungan bilateral Indonesia – PNG:
 Adanya kegiatan kelompok separatis Papua dan para pelintas batas ilegal.
 Optimalisasi Joint Border Committee (JBC) pada tingkat pejabat tinggi dan
beberapa forum yang khusus menanganani aspek-aspek perbatasan, yaitu Border
Liaison Meeting, Joint Sub-Committe on Security (JSCC) dan Joint Technical SubCommittee (JTSC).
5. Hubungan bilateral Indonesia – Timor Leste:
12








Perbedaan garis batas wilayah RI (NTT) – Timor Leste
Maraknya penyeludupan bahan-bahan pokok gelap dan muncul pasar-pasar gelap
(pasar tradisional) di wilayah perbatasan akibat perbedaan harga jual Timor Leste
yang menggunakan standar dolar.
Pemantauan pendirian pasar regular (regulated markets) di Haekesak, Turiskain,
Memo dan Salele serta pasar ternak di Wini agar tidak berlokasi di sepanjang
garis koordinasi taktis namun berlokasi baik di wilayah Indonesia maupun Timor
Leste.
Adanya pelintasan orang dan barang di sepanjang garis koordinasi taktis untuk
keperluan tradisional.

13

V.

TANTANGAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN

Kepentingan percepatan pembangunan wilayah perbatasan ditujukan untuk melindungi
segenap penduduk dan kedaulatan seluruh wilayah negara, mengamankan
pembangunan wilayah dan memelihara kerjasama dengan negara tetangga guna
mewujudkan prinsip hidup berdampingan secara damai, aman, dan sejahtera.
Kebutuhan dan kepentingan percepatan pembangunan daerah perbatasan menghadapi
tantangan antara lain yang mencakup delapan aspek sebagai berikut:
a. ASPEK GEOGRAFIS, yang meliputi kebutuhan jalan penghubung, landasan pacu
(airstrip), dan sarana komunikasi serta sarana perhubungan lainnya yang memadai
untuk keperluan pembangunan daerah perbatasan antar negara;
b. ASPEK DEMOGRAFIS, yang meliputi pengisian dan pemerataan penduduk untuk
keperluan sistem hankamrata termasuk kekuatan cadangannya melalui kegiatan
transmigrasi dan permukiman kembali (resettlement) penduduk setempat;
c. ASPEK SUMBER DAYA ALAM, yang meliputi survei dan pemetaan sumber daya alam
guna menunjang pembangunan dan sebagai obyek yang perlu dilindungi pelestarian
dan keamanannya;
d. ASPEK POLITIK, yang meliputi pemahaman sistem politik nasional, terselenggaranya
aparat pemerintahan yang berkualitas sebagai mitra aparat hankam dalam pembinaan
teritorial setempat;
e. ASPEK EKONOMI, yang meliputi pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang
dapat sinkron dengan kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya;
f. ASPEK SOSIAL BUDAYA, yang meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan yang memadai untuk mengurangi kerawanan di bidang keamanan, serta
nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing;
g. ASPEK HANKAM, yang meliputi pembangunan pos-pos perbatasan, pembentukan
sabuk pengamanan (security belt), dan pembentukan kekuatan pembinaan teritorial
yang memadai.

VI.

KENDALA PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN

Beberapa kendala dan hambatan yang dihadapi dalam upaya pembangunan daerah
perbatasan antar negara ini antara lain:
a. SUMBER DAYA MANUSIA, yang ditunjukkan antara lain oleh rendahnya jumlah dan
kualitas kesejahteraan penduduk dengan penyebaran yang tidak merata dibandingkan
dengan luas wilayah dan garis perbatasan yang panjang, yang berimplikasi pada
kegiatan pelintas batas yang ilegal; selain itu banyaknya TKI yang bekerja di negara
tetangga sebagai pekerja kasar seperti buruh perkebunan, bangunan, dan pembantu
rumah tangga, juga turut menurunkan harkat bangsa;
b. SUMBER DAYA BUATAN (PRASARANA), yang tingkat pelayanannya masih sangat
terbatas, seperti sistem perhubungan dan telekomunikasi, pelayanan listrik dan air
bersih, serta fasilitas lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan pasar, sehingga
penduduk daerah perbatasan masih cenderung untuk berorientasi kepada negara
tetangga yang tingkat aksesibilitas fisik dan informasinya relatif lebih tinggi;
c. PENATAAN RUANG DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM, yang ditunjukkan
antara lain oleh terjadinya konflik ataupun tumpang tindih pemanfaatan ruang (lahan)
baik antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung, maupun antar kawasan
budidaya seperti antara kegiatan pertambangan dan kehutanan yang berkaitan dengan
ekonomi daerah dan masyarakat.
d. PENEGASAN STATUS DAERAH PERBATASAN, yang berupa penetapan wilayah
kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, persetujuan lintas
batas kedua negara (terutama berkaitan dengan larangan untuk mengelola dan
mengembangkan kawasan penyangga sepanjang garis perbatasan);
14

e. KETERBATASAN SUMBER PENDANAAN, dimana pembangunan daerah perbatasan
kurang diberikan prioritas dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga semakin
memperlebar tingkat kesenjangan antardaerah;
f. TERBATASNYA KELEMBAGAAN DAN APARAT yang ditugaskan di daerah
perbatasan, dengan fasilitas yang kurang mencukupi, sehingga fungsi pelayanan
kepada masyarakat setempat relatif kurang memadai.

VII. PELUANG PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN
Beberapa peluang pengembangan kawasan perbatasan antara lain:
a. KEKAKAYAAN SUMBERDAYA ALAM. Pada umumnya daerah perbatasan memiliki
kandungan sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka
memperkuat daya ketahanan masyarakat, serta merupakan modal dasar dan peluang
untuk percepatan pembangunan daerah masing-masing.
b. KEDUDUKAN SEBAGAI OUTLET (BERBATASAN LANGSUNG DENGAN NEGARA
TETANGGA). Potensi daerah perbatasan lainnya yang dapat dijadikan peluang bagi
percepatan pembangunan daerah adalah letaknya yang memungkinkan hubungan
langsung dengan negara tetangga yang merupakan pasar potensial yang dapat
dimanfaatkan tidak saja bagi produsen internal di daerah masing-masing, tetapi juga
secara nasional.
c. MENJADI PENGGERAK KEGIATAN EKONOMI WILAYAH. Dengan potensi sumber
daya alam dan letak geografis di atas, maka kegiatan apapun yang dilakukan di daerah
perbatasan akan mencerminkan keseluruhan kepentingan bagian wilayah tanah air
lainnya, yang selanjutnya akan dapat menciptakan keterkaitan fungsional yang lebih
luas antara negara tetangga dengan bagian wilayah tanah air lainnya.
d. BAROMETER KEBERHASILAN PEMBANGUNAN NASIONAL, termasuk aspek
pertahanan keamanan wilayah yang sangat penting untuk menjamin keberlanjutan
pembangunan nasional.

VIII. STRATEGI DAN KONSEPSI PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN
Kawasan perbatasan negara mempunyai dua bentuk fisik yaitu berupa kawasan darat
dan kawasan laut. Strategi penanganan kedua bentuk kawasan perbatasan tersebut
masih dapat dituangkan dalam langkah-langkah strategis yang mengacu pada prinsipprinsip (kebijakan) yang bersifat makro, namun konsepsi penanganan kawasan
perbatasan untuk darat dan laut akan berbeda mengingat isu, permasalahan, dan
dampak yang ditimbulkan memperlihatkan karakteristik yang berbeda.
8.1. Strategi Penanganan Kawasan Perbatasan
Wilayah perbatasan pada dasarnya termasuk dalam kategori daerah rawan tetapi bersifat
strategis. Adanya kesenjangan sosial ekonomi dan sosial budaya antar kedua negara
akan mudah menimbulkan kerawanan, dan selanjutnya dapat menjadi ancaman terhadap
berbagai aspek kepentingan nasional, terlebih bila dikaitkan dengan adanya potensi
sumber daya alam yang besar di kawasan perbatasan dan sekitarnya.
Prioritas penanganan kawasan perbatasan sejalan dengan tujuan pembangunan daerah
perbatasan, sebagaimana diamanatkan GBHN 1999 – 2004 dan Propenas 2000 - 2004,
yaitu untuk: 1) meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, 2) meningkatkan
kapasitas pengelolaan potensi wilayah perbatasan, dan 3) memantapkan ketertiban dan
keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain (stabilitas dalam negeri).
Kebijakan pembangunan daerah perbatasan dirumuskan dengan kesamaan visi dan misi
bahwa wilayah perbatasan adalah merupakan bagian dari wilayah negara kesatuan
15

Republik Indonesia, sehingga daerah dan masyarakatnya mempunyai hak dan kewajiban
yang sama dalam hal menerima pelayanan dari Pemerintah dalam arti luas, melalui
upaya pemerataan pembangunan.
Kebijakan pembangunan daerah perbatasan mencakup dua aspek pembangunan, yaitu
aspek kesejahteraan (prosperity) dan aspek keamanan (security), yang dirinci dalam tiga
kebijakan yang meliputi:
a.
Kebijakan mendukung upaya
memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat agar mampu
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat,
b.
Kebijakan mendukung upaya
peningkatan kemampuan dan kapasitas pengelolaan potensi wilayah yang ada, dan
c.
Kebijakan
mendukung
pemantapan keamanan dalam rangka pembinaan serta peningkatan ketahanan
wilayah menuju terciptanya ketahanan nasional.
Bertitik tolak dari kebijakan membangun daerah perbatasan tersebut, maka grand
strategy penanganan kawasan perbatasan ditempuh melalui: “peningkatan taraf hidup
masyarakat melalui penyediaan sarana dan prasarana dasar (terutama
perhubungan) secara optimal dengan memanfaatkan potensi wilayah,
meningkatkan kuantitas dan kualitas aparatur pemerintahan di daerah perbatasan,
serta mewujudkan sabuk pengamanan (security belt) di sepanjang wilayah
perbatasan sebagai penangkal terhadap kemungkinan terjadinya ancaman
langsung bagi kedaulatan negara, keamanan, dan ketertiban masyarakat”.
Grand strategy tersebut dapat dirinci dalam tiga strategi meliputi:
 Memperbaiki Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat agar Mampu
Meningkatkan Taraf Hidup dan Kesejahteraan Masyarakat
 Meningkatkan Kemampuan dan Kapasitas Pengelolaan Potensi Wilayah yang Ada
 Memantapkan Keamanan dalam rangka Pembinaan serta Peningkatan
Ketahanan Wilayah Menuju Terciptanya Ketahanan Nasional
Aplikasi strategi tersebut memerlukan keterpaduan baik menyangkut perencanaan
maupun pelaksanaan pembangunan yang terpadu dan komprehensif antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat serta pihak swasta. Oleh karena itu strategi
penanganan kawasan perbatasan untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
daerah perbatasan secara optimal berdasarkan penataan ruang kawasan perbatasan
adalah perlu didukung dengan 12 (dua belas) langkah strategis sebagai berikut:
1. Penanggulangan kemiskinan yang dicapai melalui pemenuhan kebutuhan mendesak
dan melalui redistribusi manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi khususnya
dari sektor-sektor produksi seperti pertambangan dan kehutanan antara lain melalui
hph bina desa;
2. Pengembangan kegiatan ekonomi setempat yang didasarkan pada potensi sumber
daya alam yang prospektif dikembangkan;
3. Peningkatan perdagangan lintas batas (kegiatan ekspor dan impor) melalui jalur darat
maupun laut secara lebih berdayaguna dan berhasilguna;
4. Pengembangan prasarana dan sarana dasar pembangunan yang menciptakan iklim
yang kondusif bagi pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi dan peranserta pihak
swasta;
5. Peningkatan partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan daerah
perbatasan;
6. Penetapan sistem perhubungan yang dapat mendukung pola produksi dan perubahan
orientasi dari subsisten kepada pasar;
7. Peningkatan pembangunan prasarana transportasi dalam rangka membuka isolasi
daerah, serta pengembangan potensi wilayah;
16

8. Penetapan pusat-pusat pertumbuhan dan pengembangan pusat-pusat permukiman
potensial yang tetap berorientasi pada sistem atau pola pengembangan wilayah
propinsi
9. Peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, serta penyuluhan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat berbangsa dan bernegara;
10. Peningkatan penataan lingkungan permukiman yang dilakukan secara terpadu
dengan program penataan kembali wilayah administratif (desa, kecamatan, dan
kabupaten);
11. Peningkatan pelayanan telekomunikasi seperti penambahan dan peningkatan daya
pancar relay tvri dan rri.
12. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi baik oleh pemerintah maupun
swasta dalam menumbuhkan dan meningkatkan rasa kebangsaan masyarakat di
perbatasan.
8.2. Konsepsi Penanganan Kawasan Perbatasan
Konsepsi penanganan kawasan perbatasan disusun sebagai upaya untuk:
a. Mengantisipasi isu-isu kawasan perbatasan darat yang berkembang,
b. Meminimasi permasalahan/konflik yang ada,
c. Merealisasikan tantangan yang ada sehingga menjadi faktor penguat sendi-sendi
pengembangan wilayah,
d. Mengatasi kendala dan hambatan yang ada sehingga menjadi pendorong
pengembangan wilayah,
e. Mengoptimalkan peluang pengembangan wilayah yang ada.
Dengan mempertimbangkan kelima upaya di atas, maka konsepsi penanganan kawasan
perbatasan sesuai dengan ketiga strategi pengembangan kawasan perbatasan adalah
sebagai berikut:
1. Memperbaiki Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat agar Mampu
Meningkatkan Taraf Hidup dan Kesejahteraan Masyarakat
 Menciptakan keterkaitan fungsional antar kluster sosial ekonomi (kluster penduduk
setempat dan kluster binaan pengelolaan sumberdaya alam) sehingga terwujud
pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang sinkron antar wilayah berdasarkan
potensi dan kekayaan sumberdaya wilayah setempat, serta dengan
mengoptimalkan peran sebagai outlet menuju negara tetangga
 Meningkatkan tingkat pelayanan sarana dan prasarana wilayah serta membuka
keterisolasian kawasan secara komprehensif dilandasi dengan pengaturan sistem
produksi, sistem pemasaran dan sistem pelayanan jasa (kota desa).
 Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (pendidikan, kesehatan, dan
ketrampilan) yang merata antar wilayah g