KONFLIK DAN BERPIKIR SISTEMIK ENERGI TRA
KONFLIK DAN BERPIKIR SISTEMIK: ENERGI TRANSFORMASI SOSIAL
DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
Edwin Martin
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK
Konflik merupakan situasi yang jamak terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di
Indonesia, dan seringkali berdampak terhadap tidak terkelolanya kawasan-kawasan hutan
tersebut. Tulisan ini menyampaikan tinjauan teoritis tentang bagaimana memahami konflik
dan menjadikannya sebagai energi transformasi sosial sebagai salah satu modal dalam
mengelola kawasan hutan, melalui pemahaman tentang kapan dan bagamana partisipasi
masyarakat dibangkitkan serta kebutuhan perubahan paradigma pengelola dari eksekusi
menjadi fasilitasi. Pengelolaan kolaboratif merupakan pil ihan manajemen paling rasional ketika
terjadi kompleksitas masalah dan ketidakpastian manajemen karena adanya konflik atau
potensinya.
Pengelolaan kolaboratif sumberdaya hutan hanya akan terjadi apabila ada
partisipasi para pihak. Partisipasi para pihak khususnya elemen masyarakat digerakkan melalui
fasilitasi dan negoisiasi untuk membangun konsensus, sehingga konflik berubah. menjadi
kolaborasi. Proses sosial yang rumit ini akan lebih mudah dipahami dan diimplementasikan
oleh semua pihak jika dilakukan dengan cara berpikir sistemik (lunak).
Kata kunci: konflik partisipasi, sistem lunak, pengelolaan sumberdaya hutan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan tahun 2007, terdapat 50 taman nasional dan 30 hutan penelitian di
seluruh wilayah Indonesia. Meskipun dikelola secara khusus oleh pemerintah, tidak semua
kawasan hutan ini berkinerja baik. Luasnya tata guna lahan yang tidak berhutan, semakin
rusaknya areal yang berhutan, pencurian kayu, kebakaran hutan, dan konflik terbuka
merupakan fenomena yang mudah ditemui di kawasan-kawasan hutan tersebut. Fakta ini tidak
hanya terjadi pada kawasan yang baru ditetapkan atau terkelola, tetapi juga pada kawasan
hutan yang telah cukup dikenal (Yuniandra, 2007; Khalik, 2007; Wiati, 2005; Abbas, 2005).
Davis, eta/. (2001) menyebutkan bahwa mengelola hutan berarti memanfaatkan hutan
untuk mencapai tujuan pokok dari pemilik hutan dan masyarakat banyak (negara). Jika
demikian, apabila tujuan pokok tersebut tidak tercapai maka kawasan itu dapat dikatakan
tidak terkelola. Menurut Kartodihardjo (2003) kinerja buruk kawasan hutan yang tidak
terkelola hanyalah merupakan sympton, masalah utamanya adalah kelembagaan pemerintah
dan birokrasinya belum tertata. Akan tetapi, menunggu penataan kelembagaan pemerintah
menjadi lebih baik tanpa melakukan tindakan apapun justru akan semakin memperburuk
keadaan di lapangan.
Kawasan hutan yang secara legal ·formal dikelola lembaga-lembaga pemerintah untuk
kepentingan masyarakat umum tetapi "tidak terkelola" seolah-olah menunjukkan bahwa pihak
pengelola tidak melakukan tindakan manajemen apapun terhadap kawasan yang dimandatkan
kepadanya. Rimbawanto (2004) dalam evaluasinya terhadap kinerja Hutan Penelitian Benakat
menyebut bahwa persoalan yang dihadapi pengelola sebenarnya bukan semata-mata karena
kurangnya dana, tetapi lebih karena kelemahan dalam merancang program yang relevan
kondisi dan situasi yang ada. Pengelola tidak mampu merancang program yang tepat karena
menghadapi persoalaan di lapangan yang sukar diidentifikasi dan tidak terstruktur.
Masalah yang sulit untuk diidentifikasi dan tidak terstruktur yang dihadapi pengelola
kawasan hutan muncul karena terdapat para pengguna kawasan lainnya yang memiliki
kepentingan berbeda dan dianggap dapat menghambat pencapaian tujuan pihak pengelola.
Robbins (2006) menyebut situasi seperti itu sebagai konflik. Kepentingan berbeda yang
memunculkan konflik bisa bersifat mutlak artinya secara objektif memang berbeda, namun
Seminar Hasil-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang
191
I
bisa juga perbedaan tersebut hanya ada di tingkat persepsi {Tadjudin, 2000). Tidak
melakukan tindakan manajemen apapun untuk menghindari konflik merupakan pandangan
tradisional para pengelola dalam melihat konflik (Robbins, 2006). Dalam pandangan tradisional
ini, semakin banyak pihak yang berpotensi dalam konflik dengan ragam latar belakang
kepentingannya aka.n menimbulkan kompleksitas masalah dan ketidakpastian. Sehingga, para
pengelola cenderung mengambil sikap menghindari (avoiding) konflik dengan tidak mengambil
tindakan manajemen apapun.
B. Tujuan Penulisan
Tulisan ini menyampaikan tinjauan teoritis tentang bagaimana memahami konflik dan
menjadikannya sebagai energi transformasi sosial sebagai salah satu modal dalam mengelola
kawasan hutan, melalui pemahaman tentang kapan dan bagamana partisipasi masyarakat
dibangkitkan serta kebutuhan perubahan parad igma pengelola dari eksekusi menjadi fasilitasi.
Tinjauan teoritik ini akan bermakna apabila ia menjadi prinsip-prinsip yang dianut oleh setiap
pengelola kawasan hutan yang "tidak terkelola".
II. MEMAHAMI DAN MENGELOLA KONFLIK
A. Definisi, Penyebab dan Jenisnya
Konflik seringkali diidentikkan dengan pertentangan antara dua pihak atau lebih dan
berkonotasi negatif. Dalam pengantar buku "Bagaimana Memahami Konflik", Hendricks (2004)
menyebut konflik sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, konflik melekat erat dalam jalinan
kehidupan, umat manusia selalu berjuang dengan konflik. Ini berarti konflik akrab dengan
kehidupan manusia. Fisher, eta/. (2000) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua
pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaransasaran yang tidak sejalan . Robbins (2006) memberi definisi lebih luwes, yaitu sebagai proses
yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara
negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian
pihak pertama. Dari dua definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik bukan sekedar
perseteruan, meski situasi ini menjadi bagian dari konflik (Pickering, 2001). Konflik harus
· dirasakan oleh pihak-pihak yang terkait; ada atau tidak adanya konflik merupakan masalah
persepsi (Robbins, 2006). Kesamaan lain dari definisi konflik tersebut adalah adanya
ketidakcocokan antar pihak terhadap sesuatu.
Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan
seperti
kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang
yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi (Fisher, eta/., 2000). Sedangkan
menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik disebabkan perbedaan nilai, status, kekuasaan,
dan kelangkaan sumberdaya, dimana masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang
sama terhadap sumberdaya.
Lebih dalam, Fisher, et a/. (2000) mengemukakan teori-teori utama mengenai sebabsebab konflik yaitu:
1. Teori hubungan masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang
terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu
masyarakat.
2. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi - posisi yang tidak
selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami
konflik.
3. Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh
kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.
4. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang
sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak
terselesaikan.
5. Teori kesepahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Seminar Hasi/-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan ( BPK) Pa lembang
192
I
6. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah
ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya,
dan ekonomi.
Jika demikian, maka sumber utama konflik adalah perbedaan, sebagaimana
dikemukakan oleh Tadjudin (2000). Perbedaan tersebut bisa bersifat mutlak artinya secara
objektif memang berbeda, namun bisa juga perbedaan tersebut hanya ada di tingkat
persepsi. Pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda atau pihak lairi
dicurigai sebagai berbeda, meski secara objektif sama sekali tidak ada perbedaan. Perbedaan .
bisa terjadi pada berbagai tataran (Tadjudin, 2000), misalnya: perbedaan persepsi,
pengetahuan, tata nilai, kepentingan, akuan hak "kepemilikan".
Menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent),
mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Ciri-ciri konflik tersebut adalah: (1) Konflik
tertutup (latent), dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak
sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub konflik seringkali salah satu
atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensial sekalipun; (2)
konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah
teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses
penyelesaian masalahnya belum berkembang; (3) konflik terbuka (manifest) merupakan
konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,
mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi mungkin pula telah mencapai tujuan buntu.
Sedangkan menurut taraf permasalahannya, terdapat 2 jenis konflik yaitu konflik vertikal dan
konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada
pada level yang berbedai, sedangkan konflik horisontal terjadi antara masyarakat dengan
anggota ュ。ウケイセエ@
lainnya.
Fisher, eta/. (2001) menyebutkan bahwa konflik berubah setiap saat, melalui hubungan
berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini
penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai
dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan 'masing - masing tahap konflik, yaitu:
1. Prakonflik, ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran antara
dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik.
2. Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang
merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau
perilaku konfrontatif lainnya.
3. Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling
hebat. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.
4. Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi
kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara
kedua pihak.
B. Mengelola Konflik
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang harus dihindari; ·
bahwa konflik menandakan adanya kesalahan fungsi dalam kelompok. Pandangan tersebut
disebut Robbins (2006) sebagai pandangan tradisional. Masih menurut Robbins, terdapat
pandangan yang mengemukakan bahwa konflik adalah hasil yang wajar dan tidak terelakkan
dalam setiap kelompok dan bahwa itu tidak perlu dianggap buruk, melainkan · sebaliknya
berpotensi menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok. Pandangan ini
disebut sebagai pandangan hubungan manusia. Perspektif ketiga, dan paling baru,
mengemukakan bahwa konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan positif dalam kelompok
tetapi juga mutlak diperlukan agar kelompok dapat berkinerja secara efektif. Aliran ketiga ini
dinamakan pandangan interaksionis.
Pandangan interaksionis tidak berpendapat bahwa semua konflik adalah baik (Robbins,
2006) . Mereka menyatakan bahwa beberapa konflik mendukung sasaran kelompok dan
memperbaiki kinerjanya; inilah ragam konflik fungsional yaitu bentuk konflik yang konstruktif.
Di samping itu, ada konflik yang merintangi kinerja kelompok; ini adalah ragam konflik yang
disfungsional atau destruktif.
Konflik yang fungsional dapat tercipta apabila para pihak yang bertentangan dapat
menghargai perbedaan pendapat (Robbins, 2006). Konflik bila dihadapi secara bijaksana dapat
Seminar Hasi/-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang
193
I
memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dan juga bagi sistem yang ada
(Pickering, 2001), misalnya mampu meningkatkan motivasi, identifikasi masalah meningkat,
ikatan kelompok menguat, penyesuaian diri pada kenyataan, pengetahuan meningkat,
kreativitas meningkat, membantu upaya mencapai tujuan, mendorong pertumbuhan. Semua
manfaat ini tidak akan terwujud, jika konflik dibiarkan saja atau dicoba diatasi dengan caracara yang tidak tepat; karena konflik akan menjadi disfungsional.
Penyelesaian konflik yang terbaik adalah pada saat konflik itu hanya melibatkan
segmen kelompok yang paling kecil (Hendricks, 2004 ). Terdapat lima pendekatan pada
manajemen konflik yang telah umum diterima (Gambar 1) (Pickering, 2001; Hendricks, 2004).
Tidak ada satupun pendekatan yang efektif untuk semua situasi. Oleh karena itu, penting
untuk mengembangkan kemampuan menggunakan setiap gaya sesuai dengan situasi.
Kolaborasi (kerjasama) adalah gaya menangani konflik sama-sama menang. Orang
yang memilih gaya ini mencoba mengadakan pertukaran informasi. Ada keinginan untuk
melihat sedalam mungkin semua perbedaan yang ada dan mencari pemecahan yang
disepakati semua pihak. Gaya ini erat kaitannya dengan metode memecahkan persoalan dan
paling efektif untuk persoalan yang kompleks (Pickering, 2001; Hendricks, 2004).
Tinggi
セMNNNNNNNN⦅@
Kerelaan
membantu
__
Kolaborasi
Peduli orang
lain
Menghindari
Mendominasi
Mementingkan diri sendiri
Tinggi
Gam bar 1 Lima Gaya Manajemen Konflik (Pickering, 2001; Hendricks, 2004)
Gaya penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging) menempatkan
nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Strategi rela
membantu berperan dalam menyempitkan perbedaan antarkelompok dan mendorong mereka
untuk mencari kesamaan dasar.
Gaya penyelesaian konflik dengan mendominasi meremehkan kepentingan orang lain.
Gaya ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan atau jika
persoalan tersebut kurang penting. Gaya mendominasi sangat membantu jika kurang
pengetahuan atau keahlian tentang isu yang menjadi konflik . Strategi ini paling baik dipakai
bila dalam keadaan terpaksa.
·
Gaya penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding) tidak menempatkan suatu
nilai pada diri sendiri atau orang lain. Bila suatu isu tidak penting, tindakan menangguhkan
dibolehkan untuk mendinginkan konflik. Inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik
menghindar yang paling efektif. Gaya ini juga efektif bila waktu memang dibutuhkan .
Gaya penyelesaian konflik dengan kompromi (compromising) adalah orientasi jalan
tengah. Dalam kompromi, setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima
sesuatu. Kompromi akan menjadi salah bila salah satu sisi salah. Kompromi adalah efektif
sebagai alat bila isu itu kompleks atau bila ada keseimbangan kekuatan. Kompromi dapat
menjadi pili han bila metode lain gagal dan dua kelompok mencari penyelesaian jalan tengah.
C. Contoh Kasus: Konflik Kehutanan di Indonesia
Kurang lebih 30% belahan bumi adalah hutan, sehingga menjadi sumberdaya alam yang
sangat penting. Pada banyak komunitas, hutan merupakan sumber pangan, pemenuhan energi
dan hasil hutan bukan kayu yang sangat signifikan dalam proporsi pendapatan rumah tangga.
Kompetisi dalam menggunakan dan mengeksploitasi sumberdaya ini merupakan pemicu krisis
Seminar Hasil-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang
194
I
dan konflik. Di negara berkembang, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hutan
menjadi wilayah konflik, misa lnya karena dalam wilayah sengketa, didiami oleh beragam
kelompok etnis, kebijakan yang keliru, atau diklaim oleh kelompok-kelompok yang berbeda
secara simultan (OECD 2005).
Secara khusus, Wulan, et a!. (2004) melakukan anal isis konflik sektor kehutanan di
Indonesia dalam periode 1997 sampai dengan 2003. Hasil penelitian mereka menunjukkan
bahwa dalam periode tersebut tercatat 359 peristiwa konflik, 39% diantaranya terjadi di areal
Hutan Tanaman Industri, 27% di areal Hak Pengusahaan Hutan, dan 34% di kawasan
konservasi. Faktor penyebab konflik-konflik ini, yaitu karena masalah tata batas, pencurian
kayu, perambahan hutan, kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan .
Menurut Sardjono (2004) penyebab konflik sosial berkaitan dengan hutan dan kehutanan
dapat dikelompokkan secara umum menjadi penyebab yang sifatnya obyektif dan penyebab
yang sifatnya subjektif. Penyebab obyektif berarti bahwa antar kelompok pengguna hutan
memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumberdaya yang sama. Sedangkan penyebab
subyektif merupakan hasil dari perbedaan budaya yang tidak pernah diperhitungkan semula.
Pihak pengelola kawasan hutan mendasarkan set iap tindakan yang dilakukan didasarkan pada
aspek legal formal dan kepentingan usahanya, sedangkan pihak masyarakat lokal lebih melihat
pada aspek kesejarahan dan keadilan.
Jika lebih dicermati, konflik-konflik kehutanan terjadi karena ada perubahan
tertentu. Namun demikian, menu rut Barron, et a/. (2004) konflik juga bisa menciptakan
perubahan asalkan ada proses pengelolaan yang efektif. Bagi masyarakat yang tinggal di
dalam dan sekitar hutan, konflik wilayah hidup tidak bisa dilihat dari konflik saja
namun perlu dilihat dalam kerangka krisis modal sosial dan krisis modal kehidupan
(Kartodi hardjo dan Jhamtani, 2006).
Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) apabila transformasi sosial masyarakat
mengarah pada penguatan institusi dan kohesi sosial maka masyarakat itu akan mampu
mencegah dan atau mengelola konflik. Konflik mungkin bisa menjadi alat bantu perubahan ke
arah yang lebih baik. Pertanyaan atas pernyataan tersebut adalah "Bagaimana menciptakan
transformasi sosial yang mampu mengarahkan pada penguatan institusi dan kohesi sosial?".
III. AKSI PARTISIPATIF: UPAYA TRANSFORMASI SOSIAL
A. Mengapa harus partisipasi
Menurut Putra (1999) da/am Sardjono (2004), politik sentralisasi merupakan pangkal
dari segala persoalan. Rezim berkuasa yang demikian kuat telah menutup peluang bagi para
pihak kehutanan yang lain, terutama masyarakat lokal di lapisan bawah untuk turut
berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan, meskipun kebijakan atau
upaya yang akan dilaksanakan tersebut akan terkait obyek yang erat dengan kehidupan dan
masa depan mereka. Konflik kehutanan yang banyak mencuat setelah era reformasi (Wulan,
eta!., 2004) merupakan salah satu "buah" politik rezim orde baru yang sentralistik (Sardjono,
2004). Menyadari akan hal ini, terminologi partisipasi banyak dimunculkan berbagai pihak dan
menjadi ikon wajib program-program pembangunan.
Jika dicermati, makna partisipasi berbeda-beda menurut mereka yang terl ibat, misalnya
antara penentu kebijakan, pelaksana di lapangan, dan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa
pakar mencoba menggolong-golongkan tingkatan partisipasi ke dalam beberapa kelompok.
Misalnya Deshler dan Sock ( 19.85) dalam Se lener ( 1997) menyebut adanya partisipasi semu
(pseudo-participation) dan partisipasi sebenarnya (genuine participation). Arstein (1996)
sebagaimana diacu Mitchell, et a/. (2003) membagi partisipasi berdasarkan tingkatan
pembagian kekuasan, yaitu (1) tidak ada partisipasi; (2) tokenism; dan (3) tingkatan
kekuasan masyarakat. Syahyuti (2006) merujuk pendapat beberapa ahli yang menyebut ada
tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yaitu ( 1) partisipasi pasif; (2) partisipasi informatif; (3)
partisipasi konsultatif; (4) partisipasi insentif; (5) partisipasi fungsional; (6) partisipasi
interaktif; dan (7) Mandiri.
Beragam penggolongan partisipasi yang dilakukan oleh beberapa ahli tersebut pada
prinsipnya tidak berbeda, yakni dari tingkatan partisipasi paling rendah ke tahapan ideal.
Berdasarkan ragam tipe partisipasi, Sajogyo (2002) kemudian memberi definisi partisipasi
Seminar Hasil-hasil Penelitian HutanTanaman Bala i Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang
19s
I
sebagai suatu proses dimana sejumlah pelaku bermitra punya pengaruh dan membagi
wewenang di dalam prakarsa "pembangunan", termasuk mengambil keputusan atas
sumberdaya. Dalam definisi ini membangun partisipasi akan mencapai puncaknya pada saat
pemberdayaan.
Upaya memb.a ngun partisipasi dalam pembangunan sangat berhubungan erat dengan
modal sosial, karena bentuk pendekatan partisipasi juga berarti membangun modal sosial.
Menurut Putnam (1993) dalam Rustiadi (2007), adanya modal sosial dalam kehidupan sosial
akan terwujud berupa terbentuknya keputusan dan tindakan bersama para pihak yang lebih
efektif di dalam mencapai tujuan bersama. Untuk membangun modal sosial secara efektif,
pemerintah lokal (pemegang otoritas legal) harus berbagi peran dengan masyarakatnya,
dalam arti harus bergeser dari yang semula sebagai pengontrol, regulator, dan penyedia
menjadi lebih sebagai katalisator, penyelenggara pertemuan-pertemuan dan fasilitator
(Rustiadi, eta/., 2007).
Menurut Fisher, et a/. (2001) salah satu alasan mengapa suatu kelompok atau
organisasi yang dikelola dengan baik berhasil dalam jangka panjang adalah karena semua
orang yang terlibat me rasa menjadi bag ian dan sesuatu yang dikerjakan: didalamnya ada rasa
saling memiliki. Setiap orang merasa memiliki tanggung jawab terhadap ternan sejawat dan
percaya untuk bekerja bersama demi masa depan bersama. Inilah wujud konsep modal sosial.
Dengan demikian, maka partisipasi dapat pula diartikan sebagai sebuah proses yang dicitacitakan menuju transformasi sosial atau perubahan sosial sebuah institusi yang semula
memiliki kohesi sosial lemah menuju kohesi sosial lebih kuat.
Apabila bentuk aktifitas proses yang dilakukan oleh anggota komunitas tersebut berupa ·
identifikasi sebuah masalah, pengumpulan dan analisis informasi, dan bertindak sesuai
masalah guna menemukan solusi dan mendukung transformasi sosial dan politik, maka
Selener (1997) menyebutnya sebagai penelitian partisipatif. Penelitian partisipatif
mengkombinasikan tiga kegiatan utama, yakni penelitian, pendidikan dan aksi. Ini merupakan
metode penelitian dimana orang secara aktif dilibatkan dalam melakukan sebuah penilaian
sistematik terhadap gejala sosial dengan mengidentifikasi suatu masalah khusus guna dicari
penyelesaiannya. Disebut proses pendidikan karena peneliti dan partisipan bersama-sama
menganalisis dan mempelajari apa yang menjadi penyebab dan solusi apa yang mungkin
untuk suatu masalah. Dikatakan aksi karena temuan-temuan diimplementasikan dalam bentuk
solusi praktis.
Pada tataran praksis, berkaitan dengan masyarakat lokal sekitar hutan yang memiliki
persepsi kehidupan sederhana dan selama ini terbiasa dikendalikan dengan segala program
dari luar dan dari atas, mengharapkannya terlibat aktif menuju pada penyelesaian berbagai
permasalahan kehutanan yang lestari atas dasar sukarela atau inisiatif sendiri tentu saja
sangat berlebihan (Sardjono, 2004 ). Dengan kata lain, diperlukan fasilitasi pihak luar yang
dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan kemudian secara
perlahan dapat meningkat ke arah mobilisasi secara mandiri. Intenvensi pihak luar tersebut
dapat dikatakan partisipatif apabila melibatkan para pihak yang relevan dalam proses ·
perubahan (Pretty, eta/., 1995 dalam Groot dan Maarleveld, 2000).
IV. FASILITASI DAN NEGOSIASI
Fasilitasi secara sederhana diartikan sebagai proses sadar yang dilakukan untuk
membantu pihak lain atau kelompok guna mencapai transformasi sosial dan politik. Orang
yang melakukan fasilitasi disebut fasilitator . Menurut Rolling (2000) dalam Groot dan
Maarleveld (2000) fasilitasi secara ideal seharusnya dapat mengubah arena perjuangan
individu-individu menjadi sebuah forum pembelajaran sosial aktif menuju aksi yang efektif.
Pembelajaran terjadi saat umpan balik informasi mempengaruhi keputusan berikutnya
(Purnomo, 2005). Pembelajaran adalah proses mengambil hikmah atas akibat tindakantindakan yang dilakukan secara terus menerus. Jika pengambil keputusan secara sadar
mempelajari akibat dari keputusan-keputusan sebelumnya, dan mencoba memperbaiki
keputusan yang akan diambil maka proses pembelajaran terjadi.
Lup-lup pembelajaran (learning loops) adalah konsep yang sangat berguna untuk
memahami pembelajaran (Argyris dan Schon, 1996 dalam Groot dan Maarleveld, 2000).
Seminar Hasil-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang
- - -- - - - - - -- - - - - -
-
196
I
Pembelajaran lup tunggal terjadi ketika fasilitasi membawa perubahan kebiasaan orang-orang
tanpa secara nyata merubah visinya, norma atau nilai-nilai. Perubahan perilaku hanya pada
taraf kurang lebih sama, tetapi lebih baik. Pembelajaran lup ganda merubah tidak hanya
kebiasaan tetapi juga pandangan dan prinsip-prinsip dasar. Pembelajaran lup tiga adalah
pembelajaran bagaimana belajar, termasuk di dalamnya mempertanyakan bagaimana
mengembangkan prinsip-prinsip dasar yang tetap atau berubah dalam pembelajaran lup
tunggal dan ganda.
Dalam hubungannya dengan pengelolaan konflik, fasilitasi sangat berperan dalam
negosiasi. Negosiasi adalah sebuah bentuk pembuatan keputusan dimana dua pihak atau lebih
saling berbicara dalam usaha untuk merubah kepentingan mereka yang berlawanan (Engel dan
Korf, 2005). Negosiasi selalu merupakan permulaan dari suatu proses pembelajaran,
penyesuaian-penyesuaian dan pembangunan hubungan-hubungan (Malik, eta!., 2003). Tidak
ada kesepakatan yang sempurna dikarenakan munculnya situasi yang tidak diharapkan serta
adanya kesalahfahaman terhadap tujuan sebenarnya dari kata-kata yang digunakan. Karena
itu, penyesuaian adalah perlu. Hal yang terpenting adalah bahwa suatu negosiasi harus dapat
memperbaiki saling percaya dari para pihak yang berkonflik demi terfasilitasinya penyesuaianpenyesuaian dan kesepakatan-kesepakatan tentang topik-topik lain.
V. BERPIKIR SISTEMIK
A. Berpikir Sistem (lunak) dalam Mengelola Kawasan Hutan
Kawasan hutan disebut rawan konflik apabila terdapat kepentingan berbeda yang sulit
dikompromikan antar pihak-pihak pengguna kawasan hutan, karena dianggap mengganggu
atau dapat menghilangkan kepentingan yang lain. Bagi pengelola kawasan hutan, situasi ini
menimbulkan kompleksitas masalah dan ketidakpastian. Menurut Groot dan Maarleveld (2000)
cara yang diusulkan banyak ahli untuk memfasilitasi proses-proses yang kompleks dan dinamis
adalah dengan berpikir sistem lunak (soft system thinking).
B. Pemikiran Sistem
Berpikir sistem adalah berpikir secara holistik dengan melihat obyek yang dikaji dalam
kaitannya dengan komponen-komponen lainnya. Mengapa harus berpikir sistem dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Karena sumberdaya alam didefinisikan sebagai sebuah sistem,
maka pengelolaan sumberdaya alam haruslah dipandang sebagai pengelolaan sistem . Secara
definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi
untuk mencapai suatu tujuan atau suatu suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch dan Park,
1979 dalam Eriyatno, 2003).
Satu cara untuk memahami berpikir sistem adalah dengan membandingkannya dengan
pendekatan reduksionis dalam menangani kompleksitas (Chapman, 2004) . Aspek penting
pendekatan reduksionis adalah bahwa kompleksitas disederhanakan dengan membagi sebuah
masalah ke dalam sub masalah atau menjadi komponen-komponen sedemikian rupa sehingga
cukup sederhana untuk dianalisis dan dipahami. Operasi terhadap kompleksitas direkonstruksi
dari operasi-operasi pada taraf sub masalah atau komponen-komponen. Cara ini memiliki
potensi masalah. Bisa jadi fitur penting dari entitas kompleksitas justru terletak pada
hubungan antar komponen. Kompleksitas muncul ketika masing-masing komponen berkoneksi
satu sama lain. Sehingga tindakan menyederhanakan dengan menghilangkan interkoneksi
antar komponen tidak akan dapat mengatasi kompleksitas.
Berpikir sistem memiliki sebuah strategi alternatif untuk menyederhanakan
kompleksitas, yaitu dengan meningkatkan taraf abstraksi. Taraf tertinggi dari abstraksi mampu
menghilangkan detil masalah, dan ini berarti penyederhanaan. Ketika orang berbicara tentang
organisasi maka ia mengeliminasi fungsi individu-individu atau kelompok. Organisasi berada
pada taraf abstraksi yang lebih tinggi dari individu-individu di dalamnya. Tetapi interkoneksi
antar komponen tetap dipertahankan meski taraf abstraksinya meningkat. Abstraksi atau
penyederhanaan dari dunia nyata yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen
serta perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan
didefinisikan sebagai model (Purnomo, 2005).
·
Seminar Hasil-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan ( BPK) Palembang
197
I
Dalam mempelajari tentang berpikir sistem adalah sangat membantu untuk
membedakan dua kelas masalah, yaitu antara masalah yang rumit dan masalah yang sulit
(Chapman, 2004 ). Sebuah kesulitan dikarakterisasi oleh kesepakatan atas sebuah masalah
dan oleh pemahaman tentang solusi apa yang mungkin, dan pemecahannya dibatasi oleh
waktu dan sumberdaya. Sementara kerumitan dikarakterisasi oleh kesepakatan yang tidak
jelas tentang apa sebenarnya masalah dan oleh ketidakpastian dan ambiguitas bagaimana
memperbaiki masalah tersebut, dan ia tidak dibatasi oleh waktu dan sumberdaya. Perbedaan
lainnya adalah jika seseorang mempunyai solusi atas suatu masalah yang sulit maka ia adalah
aset, tetapi jika seseorang ingin menyelesaikan masalah yang rumit maka ia sendiri adalah
bagian dari masalah tersebut.
Metode reduksionis (analisis) sangat tepat dalam menangani masalah yang sulit, tetapi
kurang ampuh dalam menyelesaikan masalah yang rumit. Berpikir sistem dengan pendekatan
sistem lunak menyediakan kerangka kerja yang terbukti berhasil menangani masalah rumit
(Chapman, 2004). Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pendekatan sistem
berkontradiksi dengan pendekatan analitik. Pemikiran sistem tidak menyisikan pemikiran
analitis, justru ia suplemen bagi pemikiran analitis (Winardi, 2005). Winardi (2005) mengutip
karya Blaise Pascal yang menyebutkan bahwa adalah aneh untuk mengira bahwa kita akan
memahami keseluruhan tanpa secara khusus mengenal bagian -bagiannya.
C. Metodologi Sistem Lunak (MSL)
Metodologi sistem lunak adalah adalah strategi penelitian yang didasarkan pada
kerangka berpikir sistem (system thinking). Esensinya adalah membangun model sistem untuk
memecahkan masalah melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam sesuai
fenomena yang dihadapi (Williams, 2005). Metodologi ini bertujuan untuk memperbaiki
masalah sosial yang dihadapi dengan melibatkan secara aktif para pihak yang berkepentingan
melalui sebuah siklus pembelajaran yang idealnya tidak pernah berhenti (Chapman, 2004).
Pembelajaran diperoleh melalui proses berulang menggunakan konsep sistem sebagai
representasi atas persepsi yang berbeda-beda masalah yang terjadi dunia nyata, tindakantindakan yang akan dilakukan di dunia nyata, kemudian menentukan apa yang terjadi melalui
konsep sistem.
MSL dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Peter Checkland dan rekan-rekannya dari
Universitas Lancaster. Pendekatan MSL muncul sebagai hasil "pergerakan sistem" yang
dipandang oleh Checkland sebagai usaha untuk memberi pendekatan yang holistik terhadap
masalah, dimana secara tradisional pendekatan reduksionis gagal untuk menyelesaikannya.
MSL dikembangkan dari program riset aksi yang bertujuan untuk mencari cara mengatasi
masalah dunia nyata yang tidak terstruktur. Sebuah masalah yang tidak terstruktur atau
situasi masalah kompleks adalah situasi dimana orang-orang merasa dapat memperbaikinya,
tetapi mereka tidak tahu apa masalah sebenarnya (Checkland, 2000 dalam Holst dan Nidhall,
2001).
Checkland {1981) dalam Simonsen (1994) membedakan antara sistem keras (hard
system) dengan sistem lunak (soft system) sebagai upaya menggunakan konsep sistem untuk
memecahkan masalah. Berpikir sistem keras diidentifikasi dalam perekayasaan sistem dan
analisis sistem. Ini dimulai dari masalah-masalah yang terstruktt.ir dan tujuan sistem tersebut
dapat dibatasi dan konsisten. Berpikir sistem lunak dimulai dari masalah-masalah tidak
terstruktur di dalam sistem-sistem aktifitas sosial yang dirasakan sebagai situasi masalah yang
tidak jelas. Checkland menyebut berpikir sistem keras sebagai 'paradigma optimisasi' dan
berpikir sistem lunak sebagai 'paradigma pembelajaran'.
·
Pembelajaran dilakukan terhadap situasi kompleks yang dihadapi manusia, serta
menghasilkan sebuah tindakan untuk perbaikan; tindakan yang dirasa masuk akal bagi semua
pihak yang terlibat (Purnomo, 2005). Oleh karena itu, MSL adalah juga sebuah pendekatan
untuk menganalisis aspek kualitatif dari masalah manajemen, karena ia dibangun dari
perspektif para pihak. Selain itu, MSL juga merupakan bentuk dari penelitian aksi. Dalam
prosesnya, peneliti akan memasuki situasi dunia nyata yang bertujuan baik untuk
memperbaiki situasi tersebut maupun untuk mendapatkan pengetahuan (Checkland dan
Holwell 1998 dalam Holst dan Nidhall 2001).
Seminar Hasil-hasil Pene/itian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan ( BPK) Palembang
198
I
1. Masuki situasi
yang
bermasalah
7. Ambit tindakan
untuk
memperbaiki
situasi
6. Buat perubahan
yang layak dan
perlu
2. Ekspresikan
situasi masalah
5. Bandingkan
model dengan
----- ----
rl1 miA
ョカイセエ@
----- -------- '
3. Formulasikan
definisi akar dari
sistem aksi dengan
tuiuan tertentu
4. Bangun model
konseptual dari
sis tern
Gambar 2 Tahapan pembelajaran metodologi sistem lunak (berbagai sumber)
Secara klasik, sebagaimana disampaikan Checkland (1981) dalam Simonsen (1994) MSL
diringkaskan dalam tujuh tahapan (Gambar 2) yang kemudian banyak diacu dalam berbagai
referensi. Namun demikian, MSL tidak seharusnya diperlakukan sebagai teknik atau metode,
tetapi sebagai sebuah metodologi. Sehingga tahapan-tahapan ini tidak bersifat kaku
sebagaimana metode, tetapi dapat disesuaikan dengan situasi khusus tertentu.
D. Contoh-contoh Kasus
Metodologi sistem lunak sejak diperkenalkan oleh Peter Checkland dan rekan-rekannya
di Universitas Lancester Inggris pada awal dekade 1970-an, telah diadopsi dengan beragam
cara pengembangan pada berbagai bidang di banyak negara. Di Australia, ia dipakai untuk
mengembangkan kemampuan sistem informasi militer Departemen Pertahanan (Staker, 1999)
dan pengelolaan sektor kesehatan (Braithwaite, et at., 2002), pemodelan untuk pembuatan
robot bayi di Selandia Baru (Kassabova dan Trounson, 2000), analisis dampak lingkungan
pembangunan perumahan di Israel (Haklay, 1999), sistem informasi bagi konsultan teknologi
di Amerika Serikat (Hogan, et at., 2003), pengelolaan lingkungan bantaran sungai di India
(Bunch, 2003), pengelolaan objek data digital di Inggris (Chilvers, 2000), pengelolaan jasa
telet
DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
Edwin Martin
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK
Konflik merupakan situasi yang jamak terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di
Indonesia, dan seringkali berdampak terhadap tidak terkelolanya kawasan-kawasan hutan
tersebut. Tulisan ini menyampaikan tinjauan teoritis tentang bagaimana memahami konflik
dan menjadikannya sebagai energi transformasi sosial sebagai salah satu modal dalam
mengelola kawasan hutan, melalui pemahaman tentang kapan dan bagamana partisipasi
masyarakat dibangkitkan serta kebutuhan perubahan paradigma pengelola dari eksekusi
menjadi fasilitasi. Pengelolaan kolaboratif merupakan pil ihan manajemen paling rasional ketika
terjadi kompleksitas masalah dan ketidakpastian manajemen karena adanya konflik atau
potensinya.
Pengelolaan kolaboratif sumberdaya hutan hanya akan terjadi apabila ada
partisipasi para pihak. Partisipasi para pihak khususnya elemen masyarakat digerakkan melalui
fasilitasi dan negoisiasi untuk membangun konsensus, sehingga konflik berubah. menjadi
kolaborasi. Proses sosial yang rumit ini akan lebih mudah dipahami dan diimplementasikan
oleh semua pihak jika dilakukan dengan cara berpikir sistemik (lunak).
Kata kunci: konflik partisipasi, sistem lunak, pengelolaan sumberdaya hutan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan tahun 2007, terdapat 50 taman nasional dan 30 hutan penelitian di
seluruh wilayah Indonesia. Meskipun dikelola secara khusus oleh pemerintah, tidak semua
kawasan hutan ini berkinerja baik. Luasnya tata guna lahan yang tidak berhutan, semakin
rusaknya areal yang berhutan, pencurian kayu, kebakaran hutan, dan konflik terbuka
merupakan fenomena yang mudah ditemui di kawasan-kawasan hutan tersebut. Fakta ini tidak
hanya terjadi pada kawasan yang baru ditetapkan atau terkelola, tetapi juga pada kawasan
hutan yang telah cukup dikenal (Yuniandra, 2007; Khalik, 2007; Wiati, 2005; Abbas, 2005).
Davis, eta/. (2001) menyebutkan bahwa mengelola hutan berarti memanfaatkan hutan
untuk mencapai tujuan pokok dari pemilik hutan dan masyarakat banyak (negara). Jika
demikian, apabila tujuan pokok tersebut tidak tercapai maka kawasan itu dapat dikatakan
tidak terkelola. Menurut Kartodihardjo (2003) kinerja buruk kawasan hutan yang tidak
terkelola hanyalah merupakan sympton, masalah utamanya adalah kelembagaan pemerintah
dan birokrasinya belum tertata. Akan tetapi, menunggu penataan kelembagaan pemerintah
menjadi lebih baik tanpa melakukan tindakan apapun justru akan semakin memperburuk
keadaan di lapangan.
Kawasan hutan yang secara legal ·formal dikelola lembaga-lembaga pemerintah untuk
kepentingan masyarakat umum tetapi "tidak terkelola" seolah-olah menunjukkan bahwa pihak
pengelola tidak melakukan tindakan manajemen apapun terhadap kawasan yang dimandatkan
kepadanya. Rimbawanto (2004) dalam evaluasinya terhadap kinerja Hutan Penelitian Benakat
menyebut bahwa persoalan yang dihadapi pengelola sebenarnya bukan semata-mata karena
kurangnya dana, tetapi lebih karena kelemahan dalam merancang program yang relevan
kondisi dan situasi yang ada. Pengelola tidak mampu merancang program yang tepat karena
menghadapi persoalaan di lapangan yang sukar diidentifikasi dan tidak terstruktur.
Masalah yang sulit untuk diidentifikasi dan tidak terstruktur yang dihadapi pengelola
kawasan hutan muncul karena terdapat para pengguna kawasan lainnya yang memiliki
kepentingan berbeda dan dianggap dapat menghambat pencapaian tujuan pihak pengelola.
Robbins (2006) menyebut situasi seperti itu sebagai konflik. Kepentingan berbeda yang
memunculkan konflik bisa bersifat mutlak artinya secara objektif memang berbeda, namun
Seminar Hasil-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang
191
I
bisa juga perbedaan tersebut hanya ada di tingkat persepsi {Tadjudin, 2000). Tidak
melakukan tindakan manajemen apapun untuk menghindari konflik merupakan pandangan
tradisional para pengelola dalam melihat konflik (Robbins, 2006). Dalam pandangan tradisional
ini, semakin banyak pihak yang berpotensi dalam konflik dengan ragam latar belakang
kepentingannya aka.n menimbulkan kompleksitas masalah dan ketidakpastian. Sehingga, para
pengelola cenderung mengambil sikap menghindari (avoiding) konflik dengan tidak mengambil
tindakan manajemen apapun.
B. Tujuan Penulisan
Tulisan ini menyampaikan tinjauan teoritis tentang bagaimana memahami konflik dan
menjadikannya sebagai energi transformasi sosial sebagai salah satu modal dalam mengelola
kawasan hutan, melalui pemahaman tentang kapan dan bagamana partisipasi masyarakat
dibangkitkan serta kebutuhan perubahan parad igma pengelola dari eksekusi menjadi fasilitasi.
Tinjauan teoritik ini akan bermakna apabila ia menjadi prinsip-prinsip yang dianut oleh setiap
pengelola kawasan hutan yang "tidak terkelola".
II. MEMAHAMI DAN MENGELOLA KONFLIK
A. Definisi, Penyebab dan Jenisnya
Konflik seringkali diidentikkan dengan pertentangan antara dua pihak atau lebih dan
berkonotasi negatif. Dalam pengantar buku "Bagaimana Memahami Konflik", Hendricks (2004)
menyebut konflik sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, konflik melekat erat dalam jalinan
kehidupan, umat manusia selalu berjuang dengan konflik. Ini berarti konflik akrab dengan
kehidupan manusia. Fisher, eta/. (2000) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua
pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaransasaran yang tidak sejalan . Robbins (2006) memberi definisi lebih luwes, yaitu sebagai proses
yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara
negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian
pihak pertama. Dari dua definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik bukan sekedar
perseteruan, meski situasi ini menjadi bagian dari konflik (Pickering, 2001). Konflik harus
· dirasakan oleh pihak-pihak yang terkait; ada atau tidak adanya konflik merupakan masalah
persepsi (Robbins, 2006). Kesamaan lain dari definisi konflik tersebut adalah adanya
ketidakcocokan antar pihak terhadap sesuatu.
Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan
seperti
kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang
yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi (Fisher, eta/., 2000). Sedangkan
menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik disebabkan perbedaan nilai, status, kekuasaan,
dan kelangkaan sumberdaya, dimana masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang
sama terhadap sumberdaya.
Lebih dalam, Fisher, et a/. (2000) mengemukakan teori-teori utama mengenai sebabsebab konflik yaitu:
1. Teori hubungan masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang
terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu
masyarakat.
2. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi - posisi yang tidak
selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami
konflik.
3. Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh
kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.
4. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang
sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak
terselesaikan.
5. Teori kesepahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Seminar Hasi/-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan ( BPK) Pa lembang
192
I
6. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah
ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya,
dan ekonomi.
Jika demikian, maka sumber utama konflik adalah perbedaan, sebagaimana
dikemukakan oleh Tadjudin (2000). Perbedaan tersebut bisa bersifat mutlak artinya secara
objektif memang berbeda, namun bisa juga perbedaan tersebut hanya ada di tingkat
persepsi. Pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda atau pihak lairi
dicurigai sebagai berbeda, meski secara objektif sama sekali tidak ada perbedaan. Perbedaan .
bisa terjadi pada berbagai tataran (Tadjudin, 2000), misalnya: perbedaan persepsi,
pengetahuan, tata nilai, kepentingan, akuan hak "kepemilikan".
Menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent),
mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Ciri-ciri konflik tersebut adalah: (1) Konflik
tertutup (latent), dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak
sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub konflik seringkali salah satu
atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensial sekalipun; (2)
konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah
teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses
penyelesaian masalahnya belum berkembang; (3) konflik terbuka (manifest) merupakan
konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,
mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi mungkin pula telah mencapai tujuan buntu.
Sedangkan menurut taraf permasalahannya, terdapat 2 jenis konflik yaitu konflik vertikal dan
konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada
pada level yang berbedai, sedangkan konflik horisontal terjadi antara masyarakat dengan
anggota ュ。ウケイセエ@
lainnya.
Fisher, eta/. (2001) menyebutkan bahwa konflik berubah setiap saat, melalui hubungan
berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini
penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai
dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan 'masing - masing tahap konflik, yaitu:
1. Prakonflik, ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran antara
dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik.
2. Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang
merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau
perilaku konfrontatif lainnya.
3. Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling
hebat. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.
4. Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi
kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara
kedua pihak.
B. Mengelola Konflik
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang harus dihindari; ·
bahwa konflik menandakan adanya kesalahan fungsi dalam kelompok. Pandangan tersebut
disebut Robbins (2006) sebagai pandangan tradisional. Masih menurut Robbins, terdapat
pandangan yang mengemukakan bahwa konflik adalah hasil yang wajar dan tidak terelakkan
dalam setiap kelompok dan bahwa itu tidak perlu dianggap buruk, melainkan · sebaliknya
berpotensi menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok. Pandangan ini
disebut sebagai pandangan hubungan manusia. Perspektif ketiga, dan paling baru,
mengemukakan bahwa konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan positif dalam kelompok
tetapi juga mutlak diperlukan agar kelompok dapat berkinerja secara efektif. Aliran ketiga ini
dinamakan pandangan interaksionis.
Pandangan interaksionis tidak berpendapat bahwa semua konflik adalah baik (Robbins,
2006) . Mereka menyatakan bahwa beberapa konflik mendukung sasaran kelompok dan
memperbaiki kinerjanya; inilah ragam konflik fungsional yaitu bentuk konflik yang konstruktif.
Di samping itu, ada konflik yang merintangi kinerja kelompok; ini adalah ragam konflik yang
disfungsional atau destruktif.
Konflik yang fungsional dapat tercipta apabila para pihak yang bertentangan dapat
menghargai perbedaan pendapat (Robbins, 2006). Konflik bila dihadapi secara bijaksana dapat
Seminar Hasi/-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang
193
I
memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dan juga bagi sistem yang ada
(Pickering, 2001), misalnya mampu meningkatkan motivasi, identifikasi masalah meningkat,
ikatan kelompok menguat, penyesuaian diri pada kenyataan, pengetahuan meningkat,
kreativitas meningkat, membantu upaya mencapai tujuan, mendorong pertumbuhan. Semua
manfaat ini tidak akan terwujud, jika konflik dibiarkan saja atau dicoba diatasi dengan caracara yang tidak tepat; karena konflik akan menjadi disfungsional.
Penyelesaian konflik yang terbaik adalah pada saat konflik itu hanya melibatkan
segmen kelompok yang paling kecil (Hendricks, 2004 ). Terdapat lima pendekatan pada
manajemen konflik yang telah umum diterima (Gambar 1) (Pickering, 2001; Hendricks, 2004).
Tidak ada satupun pendekatan yang efektif untuk semua situasi. Oleh karena itu, penting
untuk mengembangkan kemampuan menggunakan setiap gaya sesuai dengan situasi.
Kolaborasi (kerjasama) adalah gaya menangani konflik sama-sama menang. Orang
yang memilih gaya ini mencoba mengadakan pertukaran informasi. Ada keinginan untuk
melihat sedalam mungkin semua perbedaan yang ada dan mencari pemecahan yang
disepakati semua pihak. Gaya ini erat kaitannya dengan metode memecahkan persoalan dan
paling efektif untuk persoalan yang kompleks (Pickering, 2001; Hendricks, 2004).
Tinggi
セMNNNNNNNN⦅@
Kerelaan
membantu
__
Kolaborasi
Peduli orang
lain
Menghindari
Mendominasi
Mementingkan diri sendiri
Tinggi
Gam bar 1 Lima Gaya Manajemen Konflik (Pickering, 2001; Hendricks, 2004)
Gaya penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging) menempatkan
nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Strategi rela
membantu berperan dalam menyempitkan perbedaan antarkelompok dan mendorong mereka
untuk mencari kesamaan dasar.
Gaya penyelesaian konflik dengan mendominasi meremehkan kepentingan orang lain.
Gaya ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan atau jika
persoalan tersebut kurang penting. Gaya mendominasi sangat membantu jika kurang
pengetahuan atau keahlian tentang isu yang menjadi konflik . Strategi ini paling baik dipakai
bila dalam keadaan terpaksa.
·
Gaya penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding) tidak menempatkan suatu
nilai pada diri sendiri atau orang lain. Bila suatu isu tidak penting, tindakan menangguhkan
dibolehkan untuk mendinginkan konflik. Inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik
menghindar yang paling efektif. Gaya ini juga efektif bila waktu memang dibutuhkan .
Gaya penyelesaian konflik dengan kompromi (compromising) adalah orientasi jalan
tengah. Dalam kompromi, setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima
sesuatu. Kompromi akan menjadi salah bila salah satu sisi salah. Kompromi adalah efektif
sebagai alat bila isu itu kompleks atau bila ada keseimbangan kekuatan. Kompromi dapat
menjadi pili han bila metode lain gagal dan dua kelompok mencari penyelesaian jalan tengah.
C. Contoh Kasus: Konflik Kehutanan di Indonesia
Kurang lebih 30% belahan bumi adalah hutan, sehingga menjadi sumberdaya alam yang
sangat penting. Pada banyak komunitas, hutan merupakan sumber pangan, pemenuhan energi
dan hasil hutan bukan kayu yang sangat signifikan dalam proporsi pendapatan rumah tangga.
Kompetisi dalam menggunakan dan mengeksploitasi sumberdaya ini merupakan pemicu krisis
Seminar Hasil-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang
194
I
dan konflik. Di negara berkembang, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hutan
menjadi wilayah konflik, misa lnya karena dalam wilayah sengketa, didiami oleh beragam
kelompok etnis, kebijakan yang keliru, atau diklaim oleh kelompok-kelompok yang berbeda
secara simultan (OECD 2005).
Secara khusus, Wulan, et a!. (2004) melakukan anal isis konflik sektor kehutanan di
Indonesia dalam periode 1997 sampai dengan 2003. Hasil penelitian mereka menunjukkan
bahwa dalam periode tersebut tercatat 359 peristiwa konflik, 39% diantaranya terjadi di areal
Hutan Tanaman Industri, 27% di areal Hak Pengusahaan Hutan, dan 34% di kawasan
konservasi. Faktor penyebab konflik-konflik ini, yaitu karena masalah tata batas, pencurian
kayu, perambahan hutan, kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan .
Menurut Sardjono (2004) penyebab konflik sosial berkaitan dengan hutan dan kehutanan
dapat dikelompokkan secara umum menjadi penyebab yang sifatnya obyektif dan penyebab
yang sifatnya subjektif. Penyebab obyektif berarti bahwa antar kelompok pengguna hutan
memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumberdaya yang sama. Sedangkan penyebab
subyektif merupakan hasil dari perbedaan budaya yang tidak pernah diperhitungkan semula.
Pihak pengelola kawasan hutan mendasarkan set iap tindakan yang dilakukan didasarkan pada
aspek legal formal dan kepentingan usahanya, sedangkan pihak masyarakat lokal lebih melihat
pada aspek kesejarahan dan keadilan.
Jika lebih dicermati, konflik-konflik kehutanan terjadi karena ada perubahan
tertentu. Namun demikian, menu rut Barron, et a/. (2004) konflik juga bisa menciptakan
perubahan asalkan ada proses pengelolaan yang efektif. Bagi masyarakat yang tinggal di
dalam dan sekitar hutan, konflik wilayah hidup tidak bisa dilihat dari konflik saja
namun perlu dilihat dalam kerangka krisis modal sosial dan krisis modal kehidupan
(Kartodi hardjo dan Jhamtani, 2006).
Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) apabila transformasi sosial masyarakat
mengarah pada penguatan institusi dan kohesi sosial maka masyarakat itu akan mampu
mencegah dan atau mengelola konflik. Konflik mungkin bisa menjadi alat bantu perubahan ke
arah yang lebih baik. Pertanyaan atas pernyataan tersebut adalah "Bagaimana menciptakan
transformasi sosial yang mampu mengarahkan pada penguatan institusi dan kohesi sosial?".
III. AKSI PARTISIPATIF: UPAYA TRANSFORMASI SOSIAL
A. Mengapa harus partisipasi
Menurut Putra (1999) da/am Sardjono (2004), politik sentralisasi merupakan pangkal
dari segala persoalan. Rezim berkuasa yang demikian kuat telah menutup peluang bagi para
pihak kehutanan yang lain, terutama masyarakat lokal di lapisan bawah untuk turut
berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan, meskipun kebijakan atau
upaya yang akan dilaksanakan tersebut akan terkait obyek yang erat dengan kehidupan dan
masa depan mereka. Konflik kehutanan yang banyak mencuat setelah era reformasi (Wulan,
eta!., 2004) merupakan salah satu "buah" politik rezim orde baru yang sentralistik (Sardjono,
2004). Menyadari akan hal ini, terminologi partisipasi banyak dimunculkan berbagai pihak dan
menjadi ikon wajib program-program pembangunan.
Jika dicermati, makna partisipasi berbeda-beda menurut mereka yang terl ibat, misalnya
antara penentu kebijakan, pelaksana di lapangan, dan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa
pakar mencoba menggolong-golongkan tingkatan partisipasi ke dalam beberapa kelompok.
Misalnya Deshler dan Sock ( 19.85) dalam Se lener ( 1997) menyebut adanya partisipasi semu
(pseudo-participation) dan partisipasi sebenarnya (genuine participation). Arstein (1996)
sebagaimana diacu Mitchell, et a/. (2003) membagi partisipasi berdasarkan tingkatan
pembagian kekuasan, yaitu (1) tidak ada partisipasi; (2) tokenism; dan (3) tingkatan
kekuasan masyarakat. Syahyuti (2006) merujuk pendapat beberapa ahli yang menyebut ada
tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yaitu ( 1) partisipasi pasif; (2) partisipasi informatif; (3)
partisipasi konsultatif; (4) partisipasi insentif; (5) partisipasi fungsional; (6) partisipasi
interaktif; dan (7) Mandiri.
Beragam penggolongan partisipasi yang dilakukan oleh beberapa ahli tersebut pada
prinsipnya tidak berbeda, yakni dari tingkatan partisipasi paling rendah ke tahapan ideal.
Berdasarkan ragam tipe partisipasi, Sajogyo (2002) kemudian memberi definisi partisipasi
Seminar Hasil-hasil Penelitian HutanTanaman Bala i Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang
19s
I
sebagai suatu proses dimana sejumlah pelaku bermitra punya pengaruh dan membagi
wewenang di dalam prakarsa "pembangunan", termasuk mengambil keputusan atas
sumberdaya. Dalam definisi ini membangun partisipasi akan mencapai puncaknya pada saat
pemberdayaan.
Upaya memb.a ngun partisipasi dalam pembangunan sangat berhubungan erat dengan
modal sosial, karena bentuk pendekatan partisipasi juga berarti membangun modal sosial.
Menurut Putnam (1993) dalam Rustiadi (2007), adanya modal sosial dalam kehidupan sosial
akan terwujud berupa terbentuknya keputusan dan tindakan bersama para pihak yang lebih
efektif di dalam mencapai tujuan bersama. Untuk membangun modal sosial secara efektif,
pemerintah lokal (pemegang otoritas legal) harus berbagi peran dengan masyarakatnya,
dalam arti harus bergeser dari yang semula sebagai pengontrol, regulator, dan penyedia
menjadi lebih sebagai katalisator, penyelenggara pertemuan-pertemuan dan fasilitator
(Rustiadi, eta/., 2007).
Menurut Fisher, et a/. (2001) salah satu alasan mengapa suatu kelompok atau
organisasi yang dikelola dengan baik berhasil dalam jangka panjang adalah karena semua
orang yang terlibat me rasa menjadi bag ian dan sesuatu yang dikerjakan: didalamnya ada rasa
saling memiliki. Setiap orang merasa memiliki tanggung jawab terhadap ternan sejawat dan
percaya untuk bekerja bersama demi masa depan bersama. Inilah wujud konsep modal sosial.
Dengan demikian, maka partisipasi dapat pula diartikan sebagai sebuah proses yang dicitacitakan menuju transformasi sosial atau perubahan sosial sebuah institusi yang semula
memiliki kohesi sosial lemah menuju kohesi sosial lebih kuat.
Apabila bentuk aktifitas proses yang dilakukan oleh anggota komunitas tersebut berupa ·
identifikasi sebuah masalah, pengumpulan dan analisis informasi, dan bertindak sesuai
masalah guna menemukan solusi dan mendukung transformasi sosial dan politik, maka
Selener (1997) menyebutnya sebagai penelitian partisipatif. Penelitian partisipatif
mengkombinasikan tiga kegiatan utama, yakni penelitian, pendidikan dan aksi. Ini merupakan
metode penelitian dimana orang secara aktif dilibatkan dalam melakukan sebuah penilaian
sistematik terhadap gejala sosial dengan mengidentifikasi suatu masalah khusus guna dicari
penyelesaiannya. Disebut proses pendidikan karena peneliti dan partisipan bersama-sama
menganalisis dan mempelajari apa yang menjadi penyebab dan solusi apa yang mungkin
untuk suatu masalah. Dikatakan aksi karena temuan-temuan diimplementasikan dalam bentuk
solusi praktis.
Pada tataran praksis, berkaitan dengan masyarakat lokal sekitar hutan yang memiliki
persepsi kehidupan sederhana dan selama ini terbiasa dikendalikan dengan segala program
dari luar dan dari atas, mengharapkannya terlibat aktif menuju pada penyelesaian berbagai
permasalahan kehutanan yang lestari atas dasar sukarela atau inisiatif sendiri tentu saja
sangat berlebihan (Sardjono, 2004 ). Dengan kata lain, diperlukan fasilitasi pihak luar yang
dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan kemudian secara
perlahan dapat meningkat ke arah mobilisasi secara mandiri. Intenvensi pihak luar tersebut
dapat dikatakan partisipatif apabila melibatkan para pihak yang relevan dalam proses ·
perubahan (Pretty, eta/., 1995 dalam Groot dan Maarleveld, 2000).
IV. FASILITASI DAN NEGOSIASI
Fasilitasi secara sederhana diartikan sebagai proses sadar yang dilakukan untuk
membantu pihak lain atau kelompok guna mencapai transformasi sosial dan politik. Orang
yang melakukan fasilitasi disebut fasilitator . Menurut Rolling (2000) dalam Groot dan
Maarleveld (2000) fasilitasi secara ideal seharusnya dapat mengubah arena perjuangan
individu-individu menjadi sebuah forum pembelajaran sosial aktif menuju aksi yang efektif.
Pembelajaran terjadi saat umpan balik informasi mempengaruhi keputusan berikutnya
(Purnomo, 2005). Pembelajaran adalah proses mengambil hikmah atas akibat tindakantindakan yang dilakukan secara terus menerus. Jika pengambil keputusan secara sadar
mempelajari akibat dari keputusan-keputusan sebelumnya, dan mencoba memperbaiki
keputusan yang akan diambil maka proses pembelajaran terjadi.
Lup-lup pembelajaran (learning loops) adalah konsep yang sangat berguna untuk
memahami pembelajaran (Argyris dan Schon, 1996 dalam Groot dan Maarleveld, 2000).
Seminar Hasil-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang
- - -- - - - - - -- - - - - -
-
196
I
Pembelajaran lup tunggal terjadi ketika fasilitasi membawa perubahan kebiasaan orang-orang
tanpa secara nyata merubah visinya, norma atau nilai-nilai. Perubahan perilaku hanya pada
taraf kurang lebih sama, tetapi lebih baik. Pembelajaran lup ganda merubah tidak hanya
kebiasaan tetapi juga pandangan dan prinsip-prinsip dasar. Pembelajaran lup tiga adalah
pembelajaran bagaimana belajar, termasuk di dalamnya mempertanyakan bagaimana
mengembangkan prinsip-prinsip dasar yang tetap atau berubah dalam pembelajaran lup
tunggal dan ganda.
Dalam hubungannya dengan pengelolaan konflik, fasilitasi sangat berperan dalam
negosiasi. Negosiasi adalah sebuah bentuk pembuatan keputusan dimana dua pihak atau lebih
saling berbicara dalam usaha untuk merubah kepentingan mereka yang berlawanan (Engel dan
Korf, 2005). Negosiasi selalu merupakan permulaan dari suatu proses pembelajaran,
penyesuaian-penyesuaian dan pembangunan hubungan-hubungan (Malik, eta!., 2003). Tidak
ada kesepakatan yang sempurna dikarenakan munculnya situasi yang tidak diharapkan serta
adanya kesalahfahaman terhadap tujuan sebenarnya dari kata-kata yang digunakan. Karena
itu, penyesuaian adalah perlu. Hal yang terpenting adalah bahwa suatu negosiasi harus dapat
memperbaiki saling percaya dari para pihak yang berkonflik demi terfasilitasinya penyesuaianpenyesuaian dan kesepakatan-kesepakatan tentang topik-topik lain.
V. BERPIKIR SISTEMIK
A. Berpikir Sistem (lunak) dalam Mengelola Kawasan Hutan
Kawasan hutan disebut rawan konflik apabila terdapat kepentingan berbeda yang sulit
dikompromikan antar pihak-pihak pengguna kawasan hutan, karena dianggap mengganggu
atau dapat menghilangkan kepentingan yang lain. Bagi pengelola kawasan hutan, situasi ini
menimbulkan kompleksitas masalah dan ketidakpastian. Menurut Groot dan Maarleveld (2000)
cara yang diusulkan banyak ahli untuk memfasilitasi proses-proses yang kompleks dan dinamis
adalah dengan berpikir sistem lunak (soft system thinking).
B. Pemikiran Sistem
Berpikir sistem adalah berpikir secara holistik dengan melihat obyek yang dikaji dalam
kaitannya dengan komponen-komponen lainnya. Mengapa harus berpikir sistem dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Karena sumberdaya alam didefinisikan sebagai sebuah sistem,
maka pengelolaan sumberdaya alam haruslah dipandang sebagai pengelolaan sistem . Secara
definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi
untuk mencapai suatu tujuan atau suatu suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch dan Park,
1979 dalam Eriyatno, 2003).
Satu cara untuk memahami berpikir sistem adalah dengan membandingkannya dengan
pendekatan reduksionis dalam menangani kompleksitas (Chapman, 2004) . Aspek penting
pendekatan reduksionis adalah bahwa kompleksitas disederhanakan dengan membagi sebuah
masalah ke dalam sub masalah atau menjadi komponen-komponen sedemikian rupa sehingga
cukup sederhana untuk dianalisis dan dipahami. Operasi terhadap kompleksitas direkonstruksi
dari operasi-operasi pada taraf sub masalah atau komponen-komponen. Cara ini memiliki
potensi masalah. Bisa jadi fitur penting dari entitas kompleksitas justru terletak pada
hubungan antar komponen. Kompleksitas muncul ketika masing-masing komponen berkoneksi
satu sama lain. Sehingga tindakan menyederhanakan dengan menghilangkan interkoneksi
antar komponen tidak akan dapat mengatasi kompleksitas.
Berpikir sistem memiliki sebuah strategi alternatif untuk menyederhanakan
kompleksitas, yaitu dengan meningkatkan taraf abstraksi. Taraf tertinggi dari abstraksi mampu
menghilangkan detil masalah, dan ini berarti penyederhanaan. Ketika orang berbicara tentang
organisasi maka ia mengeliminasi fungsi individu-individu atau kelompok. Organisasi berada
pada taraf abstraksi yang lebih tinggi dari individu-individu di dalamnya. Tetapi interkoneksi
antar komponen tetap dipertahankan meski taraf abstraksinya meningkat. Abstraksi atau
penyederhanaan dari dunia nyata yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen
serta perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan
didefinisikan sebagai model (Purnomo, 2005).
·
Seminar Hasil-hasil Penelitian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan ( BPK) Palembang
197
I
Dalam mempelajari tentang berpikir sistem adalah sangat membantu untuk
membedakan dua kelas masalah, yaitu antara masalah yang rumit dan masalah yang sulit
(Chapman, 2004 ). Sebuah kesulitan dikarakterisasi oleh kesepakatan atas sebuah masalah
dan oleh pemahaman tentang solusi apa yang mungkin, dan pemecahannya dibatasi oleh
waktu dan sumberdaya. Sementara kerumitan dikarakterisasi oleh kesepakatan yang tidak
jelas tentang apa sebenarnya masalah dan oleh ketidakpastian dan ambiguitas bagaimana
memperbaiki masalah tersebut, dan ia tidak dibatasi oleh waktu dan sumberdaya. Perbedaan
lainnya adalah jika seseorang mempunyai solusi atas suatu masalah yang sulit maka ia adalah
aset, tetapi jika seseorang ingin menyelesaikan masalah yang rumit maka ia sendiri adalah
bagian dari masalah tersebut.
Metode reduksionis (analisis) sangat tepat dalam menangani masalah yang sulit, tetapi
kurang ampuh dalam menyelesaikan masalah yang rumit. Berpikir sistem dengan pendekatan
sistem lunak menyediakan kerangka kerja yang terbukti berhasil menangani masalah rumit
(Chapman, 2004). Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pendekatan sistem
berkontradiksi dengan pendekatan analitik. Pemikiran sistem tidak menyisikan pemikiran
analitis, justru ia suplemen bagi pemikiran analitis (Winardi, 2005). Winardi (2005) mengutip
karya Blaise Pascal yang menyebutkan bahwa adalah aneh untuk mengira bahwa kita akan
memahami keseluruhan tanpa secara khusus mengenal bagian -bagiannya.
C. Metodologi Sistem Lunak (MSL)
Metodologi sistem lunak adalah adalah strategi penelitian yang didasarkan pada
kerangka berpikir sistem (system thinking). Esensinya adalah membangun model sistem untuk
memecahkan masalah melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam sesuai
fenomena yang dihadapi (Williams, 2005). Metodologi ini bertujuan untuk memperbaiki
masalah sosial yang dihadapi dengan melibatkan secara aktif para pihak yang berkepentingan
melalui sebuah siklus pembelajaran yang idealnya tidak pernah berhenti (Chapman, 2004).
Pembelajaran diperoleh melalui proses berulang menggunakan konsep sistem sebagai
representasi atas persepsi yang berbeda-beda masalah yang terjadi dunia nyata, tindakantindakan yang akan dilakukan di dunia nyata, kemudian menentukan apa yang terjadi melalui
konsep sistem.
MSL dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Peter Checkland dan rekan-rekannya dari
Universitas Lancaster. Pendekatan MSL muncul sebagai hasil "pergerakan sistem" yang
dipandang oleh Checkland sebagai usaha untuk memberi pendekatan yang holistik terhadap
masalah, dimana secara tradisional pendekatan reduksionis gagal untuk menyelesaikannya.
MSL dikembangkan dari program riset aksi yang bertujuan untuk mencari cara mengatasi
masalah dunia nyata yang tidak terstruktur. Sebuah masalah yang tidak terstruktur atau
situasi masalah kompleks adalah situasi dimana orang-orang merasa dapat memperbaikinya,
tetapi mereka tidak tahu apa masalah sebenarnya (Checkland, 2000 dalam Holst dan Nidhall,
2001).
Checkland {1981) dalam Simonsen (1994) membedakan antara sistem keras (hard
system) dengan sistem lunak (soft system) sebagai upaya menggunakan konsep sistem untuk
memecahkan masalah. Berpikir sistem keras diidentifikasi dalam perekayasaan sistem dan
analisis sistem. Ini dimulai dari masalah-masalah yang terstruktt.ir dan tujuan sistem tersebut
dapat dibatasi dan konsisten. Berpikir sistem lunak dimulai dari masalah-masalah tidak
terstruktur di dalam sistem-sistem aktifitas sosial yang dirasakan sebagai situasi masalah yang
tidak jelas. Checkland menyebut berpikir sistem keras sebagai 'paradigma optimisasi' dan
berpikir sistem lunak sebagai 'paradigma pembelajaran'.
·
Pembelajaran dilakukan terhadap situasi kompleks yang dihadapi manusia, serta
menghasilkan sebuah tindakan untuk perbaikan; tindakan yang dirasa masuk akal bagi semua
pihak yang terlibat (Purnomo, 2005). Oleh karena itu, MSL adalah juga sebuah pendekatan
untuk menganalisis aspek kualitatif dari masalah manajemen, karena ia dibangun dari
perspektif para pihak. Selain itu, MSL juga merupakan bentuk dari penelitian aksi. Dalam
prosesnya, peneliti akan memasuki situasi dunia nyata yang bertujuan baik untuk
memperbaiki situasi tersebut maupun untuk mendapatkan pengetahuan (Checkland dan
Holwell 1998 dalam Holst dan Nidhall 2001).
Seminar Hasil-hasil Pene/itian HutanTanaman Balai Penelitian Kehutanan ( BPK) Palembang
198
I
1. Masuki situasi
yang
bermasalah
7. Ambit tindakan
untuk
memperbaiki
situasi
6. Buat perubahan
yang layak dan
perlu
2. Ekspresikan
situasi masalah
5. Bandingkan
model dengan
----- ----
rl1 miA
ョカイセエ@
----- -------- '
3. Formulasikan
definisi akar dari
sistem aksi dengan
tuiuan tertentu
4. Bangun model
konseptual dari
sis tern
Gambar 2 Tahapan pembelajaran metodologi sistem lunak (berbagai sumber)
Secara klasik, sebagaimana disampaikan Checkland (1981) dalam Simonsen (1994) MSL
diringkaskan dalam tujuh tahapan (Gambar 2) yang kemudian banyak diacu dalam berbagai
referensi. Namun demikian, MSL tidak seharusnya diperlakukan sebagai teknik atau metode,
tetapi sebagai sebuah metodologi. Sehingga tahapan-tahapan ini tidak bersifat kaku
sebagaimana metode, tetapi dapat disesuaikan dengan situasi khusus tertentu.
D. Contoh-contoh Kasus
Metodologi sistem lunak sejak diperkenalkan oleh Peter Checkland dan rekan-rekannya
di Universitas Lancester Inggris pada awal dekade 1970-an, telah diadopsi dengan beragam
cara pengembangan pada berbagai bidang di banyak negara. Di Australia, ia dipakai untuk
mengembangkan kemampuan sistem informasi militer Departemen Pertahanan (Staker, 1999)
dan pengelolaan sektor kesehatan (Braithwaite, et at., 2002), pemodelan untuk pembuatan
robot bayi di Selandia Baru (Kassabova dan Trounson, 2000), analisis dampak lingkungan
pembangunan perumahan di Israel (Haklay, 1999), sistem informasi bagi konsultan teknologi
di Amerika Serikat (Hogan, et at., 2003), pengelolaan lingkungan bantaran sungai di India
(Bunch, 2003), pengelolaan objek data digital di Inggris (Chilvers, 2000), pengelolaan jasa
telet