RUANG PERTARUNGAN DAN STRATEGI AKTOR DI ARENA EKONOMI POLITIK LOKAL THE SPACE OF CLASH AND ACTOR STRATEGY IN LOCAL POLITICAL ECONOMIC ARENA S Sjaf 1a , LM Kolopaking1 , NK Pandjaitan1 , dan DS Damanhuri2

Jurnal Sosial Humaniora ISSN 2087-4928 Volume 2 Nomor 2, Oktober 2011

145

RUANG PERTARUNGAN DAN STRATEGI AKTOR DI ARENA EKONOMI POLITIK LOKAL
THE SPACE OF CLASH AND ACTOR STRATEGY IN LOCAL POLITICAL ECONOMIC ARENA
S Sjaf1a, LM Kolopaking1, NK Pandjaitan1, dan DS Damanhuri2
1Mayor

Sosiologi Pedesaan SPs IPB Bogor, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680.
Ekonomi dan Manajemen IPB, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680.
aPenulis korespondensi, artikel ini adalah sebagian dari disertasi penulis korespondensi.
(Diterima oleh Dewan Redaksi: 11-07-2011)
(Disetujui oleh Dewan Redaksi: 01-10-2011 )
2Fakultas

ABSTRACT
When decentralization policy applied, almost often actors with different in background and identity
compete for local political-economic sources. In this competition, among actor do clash and
applying any strategy in order for winning the clash and establishing actor power. In this case,
proposed question were what factors create actor clash space under local political-economic arenas

did? Who were and how did the clash happen among the actors under local political-economic
arenas? And then, how the clash strategy implemented by the actors in order for winning the clash
happened under local political-economic arena was? In order for answering the all questions; the
study used a qualitative methodology of non-positivistic paradigm under a structuralismconstructivism perspective approach. Study analysis unit was actor located at Kendari, South-East
Sulawesi. Data were collected by in-depth interview, structured interview, and Focus Group
Discussion (FGD) applied to the actor with different ethnics (Tolaki, Muna, Buton, dan Bugis) and
professions (politicians, bureaucrats, academicians, and NGO activists). Results of the study
revealed that in order for recognizing the clash, it was important that the actor practices at local
political-economic arena be understood. There were three known actor practices, namely, practices
in ethnic power culture, practices in organizing identity economic, and practices in identity politics.
Thus, there were three arena spaces of the actors as followed: (1) clash space for symbol of
economic power, (2) clash space for symbol of political power, and (3) clash space for politicaleconomic powers. In such strategy involved in reproduction symbol, investment symbol,
reproduction expression, alliance development, economic invasion, expression support, symbol
infiltration, power invasion, and symbol support.
Key words: clash arena, actor strategy, local political-economic.
.

ABSTRAK
Ketika kebijakan desentralisasi diberlakukan, tidak jarang aktor yang berbeda latar belakang dan
identitas saling berlomba untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik lokal. Dalam

perebutan tersebut, antar aktor melakukan pertarungan dan menerapkan strategi agar memenangkan pertarungan dan mengukuhkan kekuasaan aktor. Untuk itu, pertanyaan yang diajukan
adalah apa saja faktor yang membentuk ruang pertarungan aktor di arena ekonomi politik lokal?
Kemudian, siapa dan bagaimana pertarungan yang terjadi antar aktor di arena ekonomi politik
lokal? Selanjutnya bagaimana strategi yang dilakukan aktor untuk memenangkan pertarungan yang
terjadi di arena ekonomi politik lokal? Untuk menjawab pertanyaan di atas, penelitian ini
menggunakan metodologi kualitatif berparadigma non-positivistik dengan perspektif strukturalisme-konstruktivisme. Unit analisis penelitian adalah aktor yang berlokasi di Kendari,
Sulawesi Tenggara. Adapun data diperoleh melalui wawancara mendalam, wawancara terstruktur,
dan Focus Grup Discussion (FGD) kepada aktor dari latar belakang etnik (Tolaki, Muna, Buton, dan
Bugis) dan profesi (politisi, birokrasi, akademisi, dan aktivis NGO) yang berbeda. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui pertarungan, maka penting memahami praktik aktor di

146

Sjaf et al.

Strategi aktor di arena ekonomi politik lokal

arena ekonomi politik lokal. Terdapat tiga praktik aktor yang dimaksud, yaitu praktik kultur
kekuasaan etnik, praktik pengorganisasian ekonomi identitas, dan praktik politik identitas. Dengan
demikian, terdapat tiga ruang pertarungan aktor: (1) ruang pertarungan kekuasaan ekonomi

simbolis; (2) ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis; dan (3) ruang pertarungan kekuasaan
ekonomi-politik. Selanjutnya untuk memenangkan pertarungan, maka akor menerapkan strategi
agar mampu tampi sebagai pemenang dalam pertarungan tersebut. Adapun strategi yang
dimaksud, antara lain reproduksi simbolik, investasi simbolik, reproduksi wacana, membangun
aliansi, invasi ekonomi, dukungan wacana, penyusupan simbolik, perlawanan, invasi kekuasaan,
dukungan simbolik.
Kata kunci: ruang pertarungan, strategi aktor, dan arena ekonomi politik lokal.
Sjaf S, LM Kolopaking, NK Panjaitan, dan DS Damanhuri. 2011. Ruang pertarungan dan strategi
aktor di arena ekonomi politik lokal. Jurnal Sosial Humaniora 2(2): 145 – 156.

PENDAHULUAN
Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang dibangun oleh semangat nasionalisme
berdasarkan struktur masyarakat majemuk
(polietnik) dan keyakinan (polireligius). Realitas kondisi obyektif ini, diingatkan sekaligus
dikritisi Furnivall sebelum Indonesia diproklamirkan. Furnivall mengingatkan akan terjadinya ancaman serius, apabila realitas tersebut
tidak dijawab dengan baik.
Tetapi, peringatan Furnivall perlahan-lahan
menjadi kenyataan di Indonesia. Ledakan
kekerasan komunal mulai terjadi diakhir tahun

50-an dan 1965, yang lebih parah lagi,
Indonesia diguncang oleh kekerasan etnorelegius yang getir dari 1996 sampai 2001. Sebagian besar sosiolog dan antropolog berpendapat
bahwa kekerasan komunal pasca Orde Baru,
akibat dari tekanan rezim yang tidak
memberikan “ruang ekspresi” bagi identitas
masyarakat majemuk di Indonesia. Politik
identitas seakan “bangkit” menjadi isu sentral
dan mengemuka pasca kepemimpinan Orde
Baru. Politik identitas mencerminkan sebuah
proses dialektika dalam memahami identitas itu
sendiri. Oleh karena itu, membaca realitas sosial
–dimana politik identitas adalah suatu realitas
sosial, maka pemahaman politik identitas perlu
ditempatkan dalam bingkai pemahaman dialektika internalitasasi-ekternalitas (eksterior) dan
eksternalitasasi-internalitas (interior). Dengan
demikian, politik identitas adalah tindakan
politis aktor yang bertitik tolak pada habitus
yang dimiliki aktor.
Belajar dari kesalahan rezim sebelumnya,
pemerintah transisi menerbitkan Undangundang (UU) Nomor 22/1999 tentang Otonomi


Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU
Nomor 32/2004. Besar harapan, otonomi
daerah yang memberikan ruang desentralisasi
kekuasaan dan pengelolaan daerah di tingkat
kabupaten dapat meredam konflik dan mensejahterakan rakyat di daerah, tetapi kenyataannya jauh dari harapan. Otonomi Daerah
malah menjadi “pintu masuk” kebang-kitan
politik identitas etnik di arena ekonomi politik
lokal. Dalam kondisi inilah, maka aktor yang
memiliki perbedaan bertarung untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi maupun
politik dengan berbagai strategi yang digunakannnya. Oleh karena itu, tulisan ini
dimaksudkan untuk mengenali pola pertarungan dan bentuk-bentuk strategi yang dilakukan oleh aktor.
Masalah yang akan dijawab dalam penelitian
ini adalah apa saja faktor yang membentuk
ruang pertarungan aktor di arena ekonomi
politik lokal? Kemudian, siapa dan bagaimana
pertarungan yang terjadi antar aktor di arena
ekonomi politik lokal? Selanjutnya bagaimana
strategi yang dilakukan aktor untuk memenangkan pertarungan yang terjadi di arena ekonomi
politik lokal? Dengan demikian, pertanyaanpertanyaan tersebut akan memberikan informasi tentang faktor yang membentuk ruang

pertarungan aktor, dinamika pertarungan, dan
strategi yang dilakukan aktor. Diharapkan studi
ini berguna untuk mengenali bentuk-bentik
pertarungan dan strategi yang dilakukan oleh
aktor.

MATERI DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif berparadigma non-positivistik. Sifat peneli-

Jurnal Sosial Humaniora ISSN 2087-4928 Volume 2 Nomor 2, Oktober 2011

tian adalah subyektivisme, obyek-tivisme, dan
historis yang dijadikan sebagai panduan
menentukan responden. Agar terhindar dari
“jebakan” subyektivisme versus obyektivisme,
peneliti menggunakan perspektif strukturalisme-konstruktivisme. Strukturalis dimaksudkan
bahwa sosiologi berusaha mencari proses pola
relasi yang bekerja dibelakang aktor, sedangkan
konstruktivisme berarti sosiologi menyelidiki
persepsi commonsense dan tindakan aktor.

Dengan demikian, membaca aktor harus bolak
balik antara struktur obyektif dan subyektif
(Mutahir 2011).
Penggunaan
perspektif strukturalismekonstruktivisme juga ditujukan agar pembacaan
realitas sosial oleh peneliti mencerminkan
sebuah proses “dialektika internalisasi-eksternalitas dan eksternalisasi-internalitas”. Proses
dialektika tersebut adalah upaya memahami
struktur obyektif yang ada di luar pelaku sosial
(eksterior) dan segala sesuatu yang melekat
pada diri pelaku sosial (interior). Adapun
pendekatan pengumpulan data, peneliti menggunakan penelusuran dokumen, studi sejarah,
studi kasus, dan riwayat hidup. Pendekatan
tersebut, ditujukan kepada aktor dari berbagai
latar belakang identitas etnik (Tolaki, Muna,
Bugis, dan Buton) dan profesi (politisi,
akademisi, swasta, dan NGO/LSM) yang
berbeda. Studi ini melibatkan 32 informan. Baik
informan maupun responden ditempatkan
sebagai aktor yang dianalisis. Adapun lokasi

penelitian dipilih Kendari, Sulawesi Tenggara
(Sultra) dengan pertimbangan: (1) terdapat
kurang lebih 28 etnik; (2) lokasi penelitian
memiliki historis masyarakat majemuk berbasis
kerajaan tradisional; (3) lokasi penelitian
mencerminkan konteks ekologi Indonesia,
yakni “daratan” dan “kepulauan”; dan (4) lokasi
penelitian menggambarkan terjadinya pergulatan politik identitas etnik.

Landasan Teoritik
Pertarungan dan Strategi
Dalam pertarungan, strategi memegang
peranan yang sangat penting. Konflik selalu
terjadi di dalam sebuah arena, dan hal itu telah
menjadi sesuatu yang lumrah. Dalam sebuah
arena, selalu saja ada pihak, baik individu
maupun kelompok, yang mendominasi dengan
kekuatan modal yang dimiliki. Mereka yang
bukan kelompok yang mendominasi, harus


147

berusaha keras agar modal yang dimiliki bisa
bertahan, berkembang, dan kemudian bisa
dilestarikan (Calhoun 1993).
Menurut Rusdiarti (2004) terdapat beberapa
bentuk strategi dari Bourdieu. Pertama, strategi
investasi biologis. Strategi ini memiliki kaitan
erat dengan pelestarian keturunan dan jaminan
atas pewarisan modal bagi generasi yang
selanjutnya dengan tujuan mempersiapkan
generasi berikutnya yang lebih baik lagi. Kedua,
strategi suksesif, yaitu usaha untuk mewariskan
harta bagi generasi berikutnya. Pewarisan harta
ini biasanya terkait dengan pewarisan modal
ekonomi dan modal budaya. Ketiga, strategi
edukatif, yaitu usaha yang dilakukan oleh suatu
aktor untuk menghasilkan pelaku-pelaku sosial
baru yang bisa dengan cakap mewarisi modal
yang dimiliki oleh aktor tersebut. Keempat,

strategi invasi ekonomi atau disebut strategi
kapital ekonomi bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang
sudah dimiliki sebelumnya. Kelima, strategi
investasi simbolik. Strategi ini berkaitan dengan
semua tindakan pelestarian kapital simbolik.
Strategi ini bertujuan agar seorang individu
ataupun kelompok sosial mendapatkan pengesahan dalam kehidupan sosialnya. Strategi ini
menjadi hal penting karena menyangkut pengakuan seseorang terhadap posisinya. Semakin
besar kapital simbolik yang dimilikinya, maka
semakin besar pulalah pengaruhnya pada
kelompok sosial yang lain.
Arena Ekonomi Politik Lokal
Arena ekonomi politik lokal adalah kondisi
obyektif dimana terjadi pertarungan antar aktor
untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dengan kekuasaan (politik) atau sebaliknya
di tingkat lokal. Istilah “pertarungan” diambil
dari definisi arena yang dirujuk dari pendapat
Bourdieu (Boudieu dan Wacquant 1992).
Menurutnya arena adalah field of struggle, di
mana para aktor berjuang meningkatkan posisi

objektif mereka. Di arena pertarungan aktor
melakukan (re)produksi doxa (wacana dominan), orthodoxy (wacana pendukung), dan heterodoxy (wacana tandingan). Karena berada di
arena pertarungan, para aktor menerapkan
berbagai strategi, yaitu “the active deployment of
objectively oriented ‘lines of action’ that obey
regularities and form coherent and socially
intelligible patterns” (Wacquant 2002). Namun,
pilihan-pilihan strategi yang tersedia bagi aktor
dibatasi kondisi objektif mereka di arena. Di

148

Sjaf et al.

arena, terdapat distribusi modal tertentu dan
cara pandang mereka terhadap arena tersebut.
Munurut Bourdieu, modal yang diperebutkan
aktor/agen adalah ekonomi, social, simbolik,
dan budaya (Bourdieu dan Wacquant 1992). Hal
ini dikarenakan di dalam arena masing-masing
memiliki aturan.
Adapun aturan yang dimaksud adalah aturan
yang berlaku dalam arena ekonomi politik. Agar
pemahaman menjadi utuh tentang arena
ekonomi politik lokal, maka konsepsi teoritik
Granovetter (sosiologi ekonomi baru) dan
Nordholt dan Klinken (politik lokal, Nordholt
dan Klinken adalah ilmuwan sosial yang
menginisiasi dilakukannya beberapa penelitian
tentang “Politik Lokal di Indonesia”) menjadi
diskursus yang menarik. Diskursus diorientasikan untuk menemukenali konteks arena
ekonomi politik lokal yang di dalamnya terdapat aturan-aturan. Untuk itu, apabila disusun
matrik antar area sosiologi ekonomi baru
dengan politik lokal, maka terdapat sembilan
tipologi
arena
ekonomi
politik
lokal.
Kesembilan arena ekonomi politik lokal, sebagai
berikut: jaringan pemekaran wilayah, pengorganisasian ekonomi pemekaran wilayah,
kultur kekuasaan etnik (basis pemekaran
wilayah), jejaring shadow state, pengorganisasian ekonomi shadow state, kultur dalam
shadow state, jaringan politik identitas, pengorganisasian ekonomi identitas, dan identitas
etnik dalam demokrasi atau politik lokal.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ruang Pertarungan Aktor
Ruang pertarungan aktor (the space of actor
clash) merupakan tempat bertemunya aktor
untuk memperebutkan dan melanggengkan
kuasa (simbolis, ekonomi, dan politik) di arena
ekonomi politik lokal. Untuk mengidentifikasi
ruang pertarungan aktor dan aktor yang
melakukan pertarungan tersebut, maka penting
memahami keberadaan aktor yang memiliki
distingsi baik identitas etnik, profesi, maupun
kepentingan. Pemahaman ini penting dikarenakan setiap aktor yang memiliki perbedaan,
akan memiliki orientasi yang berbeda ketika
menggunakan kuasa yang dimilikinya.
Untuk memberikan gambaran lebih lanjut
tentang hal tersebut, maka penting untuk
mengetahui tempat praktik aktor di arena
ekonomi politik lokal. Adapun tempat praktik

Strategi aktor di arena ekonomi politik lokal

aktor di arena ekonomi politik lokal adalah
praktik kultur kekuasaan etnik yang mencerminkan moda praktik kekuasaan simbolis,
praktik pengorganisasian ekonomi identitas
yang mencerminkan moda praktik kekuasaan
ekonomi, dan praktik politik identitas yang
mencerminkan moda praktik kekuasaan politik.
Kemudian dari ketiga tempat praktik aktor
tersebut, memiliki irisan sehingga membentuk
kategori ruang pertarungan antar aktor di arena
ekonomi politik lokal. Adapun kategori ruang
pertarungan tersebut, didasarkan pada prinsip
hieraki, kekuatan modal, relasi, dan habitus
aktor.
Dengan demikian, kategori ruang pertarungan aktor di arena ekonomi politik lokal
dibedakan menjadi tiga bagian. Pertama, ruang
pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis, yaitu
ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara
praktik kultur kekuasaan etnik dengan pengorganisasian ekonomi identitas. Di ruang ini, aktor
yang terlibat adalah aktor kampus, LSM, dan
pengusaha. Sebelum terbentuknya ruang pertarungan ini, aktor kampus dan LSM dengan
prinsip hierarki otonomnya mendominasi modal simbolik dan modal budaya. Sebaliknya
aktor pengusaha dengan prinsip hierarki heteronomnya mendominasi modal ekonomi.
Namun demikian, ketika dua kelompok aktor
yang memiliki prinsip hierarki yang berbeda
dan bertemu dalam ruang pertarungan
kekuasaan ekonomi simbolis, maka terjadi
subordinasi prinsip otonom (modal simbolik
dan budaya) dan mendominasinya prinsip
heteronom (modal ekonomi).
Kedua, ruang pertarungan kekuasaan politik
simbolis, yaitu ruang pertarungan aktor yang
terjadi diantara praktik kultur kekuasaan etnik
dengan praktik politik identitas. Di ruang
pertarungan ini, aktor yang terlibat adalah
mereka yang memiliki latar belakang intelektual kampus, NGO/LSM, politisi, dan birokrat.
Seperti ruang pertarungan sebelumnya, aktor
kampus dan NGO/LSM terdominasi oleh politisi
dan birokrat. Meski dalam ruang pertarungan
ini, belaku prinsip otonom yang mengutamakan
modal simbolik, akan tetapi aktor politisi dan
birokrat memiliki sedikit banyak modal
ekonomi yang lebih dibandingkan aktor kampus
maupun NGO/LSM. Dalam posisi seperti ini,
maka distingsi identitas etnik memainkan peran
penting; dan ketiga, ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik

Jurnal Sosial Humaniora ISSN 2087-4928 Volume 2 Nomor 2, Oktober 2011

pengorganisasian ekonomi identitas dengan
praktik politik identitas. Di ruang ini, terjadi
transaksi antar politisi atau birokrat dengan
pengusaha. Aktor politik atau birokrat bertindak sebagai produsen yang memiliki prinsip
otonom (modal simbolik) dan modal sosial yang
dijadikan sebagai instrumen (tools) kekuasaan
aktor. Dikarenakan masing-masing pihak
(aktor) memiliki kepentingan yang sama, maka
relasi terbangun cenderung equal/setara.
Terbangunnya relasi yang setara tersebut,
dikarenakan masing-masing aktor memiliki
kekuatan modal yang dapat saling dipertukarkan (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Ruang pertarungan aktor di arena
ekonomi politik lokal.
Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi
Simbolis
Pada bagian ini, peneliti akan menguraikan
aktor dengan distingsi identitas etnik dan
profesi melakukan pertarungan di ruang ini. Di
awal sub bab ini, telah dikemukakan bahwa
subyek yang bertarung dalam ruang ini adalah
aktor kampus, NGO/LSM, dan pengusaha.
Adapun obyek yang dipertarungkan adalah
sumberdaya ekonomi yang terdapat di lokasi
studi. Diantara tiga aktor tersebut, aktor
pengusaha didominasi Bugis, Buton, dan Cina.
Sedangkan aktor kampus dan NGO/LSM
cenderung merata dan tidak satupun etnik yang
mendominasi. Dengan kata lain, semua aktor ini
berasal dari basis etnik yang terdapat di lokasi

149

studi. Jika demikian halnya, lalu bagaimana
relasi yang terbangun antar aktor yang memiliki
distingsi identitas etnik dan latar belakang
profesi? Kemudian bagaimana pola pertarungan
kekuasaan ekonomi simbolis yang dilakukan
antar aktor yang memiliki perbedaan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka
determinasi prinsip heteronom yang berorientasi keuntungan menentukan relasi dan pola
pertarungan antar aktor. Dikarenakan orientasi
ruang pertarungan ini adalah keuntungan,
menyebabkan modal ekonomi lebih mendominasi daripada modal simbolis. Oleh karena itu,
relasi yang terbangun cenderung bersifat
transaksional, dimana aktor kampus dan NGO/
LSM bertindak “konsumen” dan aktor pengusaha sebagai “produsen”. Adapun distingsi identitas etnik digunakan sebagai instrumen aktor
untuk melakukan mobilisasi identitas etnik atau
menarik dukungan massa berbasis etnisitas.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pada
masyarakat polietnik (majemuk), pertarungan
kekuasaan ekonomi simbolis senantiasa melibatkan mobilisasi etnik (massa berbasis etnisitas) untuk memperebutkan dan melanggengkan
kuasa sumberdaya ekonomi yang ditentukan
regulasi pemerintah, seperti: ekonomi perdagangan (khususnya properti), berkembang, dan
terbelakang. Sedangkan ekonomi perdagangan
distributor, eceran, dan produksi jarang ditemukan pertarungan. Dalam konteks studi ini, maka
terbentuklah afiliasi pengusaha dengan aktor
kampus dan NGO/LSM yang masing-masing
memiliki kemampuan argumentatif ilmiah dan
memobilisasi atau menggerakkan massa berbasis etnisitas untuk mendukung kepentingan
pengusaha. Kondisi ini sebagaimana diungkapkan informan berinisial SAI:
“...tidak sedikit orang kampus dan NGO/LSM
disini bergandengan tangan dengan pengusaha.
Ada keuntungan yang diperoleh dari kedua
pihak tersebut. Jika orang kampus atau NGO/
LSM mendapatkan keuntungan uang karena
memiliki kemampuan argumentatif ilmiah dan
memobilisasi massa berbasis etnisitas, maka
pengusaha dengan kekuatan uang yang dimilikinya mendapatkan keuntungan untuk memperluas kekuasaan ekonominya. Meski demikian,
aktor-aktor yang pro pengusaha tersebut adalah
mereka dengan latar belakang besar di lokal...”
(Wawancara tanggal 5/01/2012).
Berangkat dari penjelasan di atas, maka
terdapat dua kelompok aktor yang bertarung
dalam ruang kekuasaan ekonomi simbolis.

150

Sjaf et al.

Adapun kedua kelompok aktor yang dimaksud,
pertama, afiliasi golongan aktor kampus yang
berasal dari out-actor dengan NGO/LSM besar
(memiliki jaringan nasional); versus kedua,
afiliasi golongan aktor kampus yang berasal
dari in-actor dengan NGO/LSM lokal yang
memiliki jaringan terbatas atau lokal. Tentunya
kedua kelompok yang bertarung tersebut
memiliki perbedaan habitus ketika memaknai
kondisi obyektif identitas etnik di lokasi studi.
Selanjutnya pengkategorian kelompok aktor
di atas, memberikan gambaran bahwa in-actor
(aktor dalam) cenderung berafiliasi dengan
NGO/LSM lokal yang di dalamnya terdiri dari
[individu] aktor dari etnik tertentu. Kemudian
melakukan mobilisasi identitas etnik (mobilisasi massa berbasis etnisitas) untuk mendukung kepentingan pengusaha. Sebaliknya, outactor (aktor luar) cenderung berafiliasi dengan
NGO/LSM besar yang di dalamnya terdiri dari
berbagai [individu] aktor dengan perbedaan
identitas etnik yang melakukan penolakan atas
kepentingan pengusaha. Dengan demikian, pola
pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis antar
aktor terdiri atas: pertama, pertarungan
wacana, yaitu pertarungan antar aktor yang
mendukung dan menolak kepentingan aktor
pengusaha dengan mengusung wacana-wacana
tertentu. Mereka yang beroposisi dengan
kepentingan aktor pengusaha mengusung
wacana kerusakan ekologi dan lingkungan,
serta dampaknya terhadap masa depan sosioekonomi warga (massa) di lokasi studi.
Aktor yang mendukung kepentingan pengusaha, mengusung wacana peningkatan ekonomi
warga lokal dan serangkaian argumentatif
ilmiah yang menyatakan bahwa aktivitas
pengusaha tidak bermasalah dengan persoalan
ekologi dan lingkungan; dan kedua, pertarungan terbuka, yaitu pertarungan yang bersifat
terbuka antar aktor yang mendukung dan
menolak kepentingan pengusaha. Dalam hal ini,
aktor yang beroposisi dengan pengusaha
melakukan pernyataan terbuka (pers confrence)
penolakan segala hal terkait kepentingan
pengusaha melalui media massa. Berbeda
dengan aktor yang mendukung pengusaha,
cenderung melakukan mobilisasi massa dan
terkadang melakukan kekerasan simbolik,
seperti intimidasi, tekanan, dan lain-lain.

Strategi aktor di arena ekonomi politik lokal

Ruang Pertarungan
Simbolis

Kekuasaan

Politik

Seperti halnya ruang pertarungan sebelumnya,
pertarungan kekuasaan politik simbolis
melibatkan beberapa aktor yang memiliki
distingsi identitas etnik dan profesi. Adapun
aktor yang dimaksud adalah aktor kampus,
NGO/LSM, politisi, dan birokrat. Kemudian
diantara aktor-aktor tersebut, aktor birokrat
cenderung didominasi etnik Tolaki, sedangkan
aktor lainnya (aktor kampus, NGO/LSM, dan
politisi) tidak terkesan didominasi oleh etnik
tertentu.
Di ruang pertarungan tersebut, aktor
berkepentingan untuk mempertahankan dan
memperluas kekuasaan politiknya. Oleh karena
itu, instrumen (tools) yang mudah digunakan
adalah simbol etnisitas, walau terkesan longgar.
Dari keempat aktor tersebut, politisi/birokrat
cenderung memiliki pengaruh yang cukup kuat
untuk menarik aktor kampus dan NGO/LSM.
Namun diantara aktor tersebut, terdapat share
kepentingan diantara mereka. Biasanya share
tersebut, berupa akses terhadap proyek-proyek
pemerintah (penelitian dan pemberdayaan
masyarakat) yang diberikan aktor politisi/
birokrat (sebagai produsen) kepada aktor
kampus dan NGO/LSM (sebagai konsumen).
Berbeda dengan pertarungan kekuasaan
simbolis yang cenderung berprinsip heteronom
dengan kekuatan modal ekonominya, pertarungan kekuasaan politik simbolis lebih
menitikberatkan afiliasi berdasarkan kesamaan
identitas etnik atau sejarah etnisitas. Artinya
politisi/birokrat akan berafiliasi dengan aktor
kampus atau NGO/LSM, apabila memiliki
kesamaan etnisitas atau sejarah etnik. Sejarah
etnik yang dimaksud disini adalah pola afiliasi
etnik mayoritas yang terdapat di lokasi studi
(Kendari – Sultra). Adapun kecenderungan pola
afliasi etnik tersebut, yakni Muna-Tolaki versus
Buton-Bugis. Akan tetapi tak dapat dipungkiri
bahwa modal ekonomi memainkan pengaruh
yang cukup penting dalam ruang pertarungan
kekuasaan politik simbolis ini. Sehingga afiliasi
antar aktor tidak ditentukan berdasarkan
kesamaan dan sejarah etnisitas.
Oleh karena itu, pengaruh modal ekonomi
menyebabkan relasi yang terbangun antar aktor
bersifat transaksional dikarenakan aktor
memiliki orientasi kepentingan keuntungan.
Disini,
politisi/birokrat
berkepentingan
mempertahankan dan memperluas kekuasaan
politik simbolis, sedangkan aktor kampus

Jurnal Sosial Humaniora ISSN 2087-4928 Volume 2 Nomor 2, Oktober 2011

(khususnya in-actor) dan NGO/LSM (lokal)
berkepentingan memperoleh modal ekonomi
dan akses terhadap kekuasaan politik lokal.
Kondisi tersebut menggambarkan fenomena
maraknya aktor kampus atau NGO/LSM yang
masuk ke dalam praktek politik identitas.
Sebagaimana diungkapkan responden peneliti
berinisial AIM:
“...HDY adalah mantan aktivis kampus dari etnik
Muna. Dia sekarang sebagai salah satu anggota
KPU Kota Kendari. Dulunya aktivis ini
memimpin salah satu LSM yang sering
berdemo. Karena dianggap keras, intimidasi
sering dia peroleh. Perkenalannya dengan salah
satu penguasa di kota ini mengantarkannya
masuk sebagai anggota KPU. Beginilah cara
aktivis untuk masuk ke dunia politik...”
(Wawancara tanggal 2/12/2011).
Dari penjelasan di atas, maka ruang
pertarungan kekuasaan politik simbolis merupakan pertarungan yang terjadi antara kelompok-kelompok afiliasi. Setidaknya terdapat dua
kelompok afiliasi, yaitu: (1) afiliasi politisi/
birokrat – in-actor – NGO/LSM lokal yang
memiliki basis etnik sama atau sejarah etnisitas;
dan (2) afiliasi out-actor – NGO/LSM yang
memiliki jaringan nasional dan [individu] aktor
yang bergabung tidak didasarkan atas
kesamaan etnik. Dari kedua kelompok afiliasi
tersebut, maka pertarungan antar aktor di
ruang ini dibagi atas: (1) pertarungan aktor dari
kelompok afiliasi pertama yang memiliki
distingsi identitas etnik; dan (2) pertarungan
aktor dari kelompok afiliasi kedua dengan
kelompok afiliasi pertama. Umumnya, kelompok afiliasi pertama bertindak sebagai penguasa
lokal.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan politik simbolis antar aktor,
senantiasa melibatkan kondisi obyektif distingsi
identitas etnik dan juga mobilisasi massa
berbasis etnik. Sebagai misal, kelompok afiliasi
pertama yang mana aktor politisi/birokrat
memanfaatkan in-actor untuk melegitimasi
kekuasaan politik dan kebijakan yang disusunnya. Sedangkan aktor NGO/LSM lokal dimanfaatkan untuk memobilisasi [identitas] etnik
(massa berbasis etnik) untuk mendukung dan
melegitimasi kekuasaan aktor, serta mendelegitimasi kekuatan yang berlawanan dengan
kekuasaan politisi/birokrat. Adapun konsekuensi dukungan tersebut, adalah in-actor atau
aktor NGO/LSM lokal memperoleh proyek-

151

proyek pemerintah dari pendanaan APBD dan
akses terhadap kekuasaan politik lokal.
Fenomena di atas berbeda dengan aktor
yang tidak berafiliasi dengan politisi/birokrat
manapun. Kelompok afiliasi ini senantiasa
melakukan penolakan (oposisi) atas segala hal
yang terkait dengan kekuasaan dan kebijakan
dari para politisi/birokrat. Walau demikian,
pertarungan yang dilakukan tersebut tidak lain
bertujuan memperkuat pengaruh kekuasaan
aktor di tengah-tengah masyarakat.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka pola
pertarungan kekuasaan politik simbolis
cenderung berupa pertarungan kekuasaan
simbolik, yaitu pertarungan yang terjadi antar
aktor yang mendukung dan menolak kekuasaan
politisi/birokrat lokal. Aktor yang mendukung
merupakan kelompok afiliasi yang memiliki
kesamaan etnik atau warisan sejarah etnisitas.
Berbeda dengan sebelumnya, aktor yang
beroposisi adalah aktor yang berbeda identitas
etnik dengan kelompok afiliasi sebelumnya.
Juga mereka yang beroposisi adalah aktor
kampus (khususnya out-actor) dan NGO/LSM
besar karena tidak bersesuaian dengan
kebijakan penguasa (aktor politisi/birokrat).
Baik aktor yang mendukung maupun beroposisi
memiliki tujuan merebut pengaruh massa dan
meraik kekuasaan politik lokal.
Ruang Pertarungan Kekuasaan EkonomiPolitik
Berbeda dengan dua ruang pertarungan
sebelumnya, pertarungan kekuasaan ekonomipolitik menempatkan posisi yang equal antar
aktor. Hal ini dikarenakan masing-masing aktor
memiliki kekuatan modal yang dapat saling
dipertukarkan. Dimana pengusaha memiliki
kekuatan modal ekonomi dan politisi/birokrat
memiliki kekuatan modal simbolik, serta modal
sosial. Namun demikian, orientasi kedua aktor
tersebut tetap sama, yaitu memperoleh
keuntungan dalam konteks yang berbeda. Aktor
politisi atau birokrat berkepentingan mempertahankan dan memperluas kekuasaan miliknya,
sedangkan aktor pengusaha berkepentingan
untuk mengamankan dan mengakumulasi kekuasaan ekonomi. Dengan demikian, relasi kedua aktor tersebut lebih bersifat transaksional
yang menyebabkan ruang pertarungan ini
mensubordinasi prinsip otonom yang dimiliki
politisi maupun birokrat. Dengan kata lain,
prinsip heteronom lebih mendominasi ruang
pertarungan kekuasaan ekonomi-politik.

152

Sjaf et al.

Selanjutnya dalam ruang pertarungan ini,
mereka yang terlibat adalah pengusaha dan
politisi maupun birokrat. Lebih khusus, pengusaha yang terlibat adalah mereka yang usaha
ekonominya bersentuhan dengan regulasi
pemerintah (seperti: properti, pertambangan,
dan kontraktor). Untuk itu, sebagian besar
mereka adalah pengusaha dari etnik Cina
ketimbang empat etnik mayoritas. Meski
ditemukan beberapa (dalam jumlah kecil)
pengusaha dari etnik Bugis dan Buton terlibat
dalam ruang pertarungan ini. Sebagian besar
mereka yang terlibat adalah pengusaha yang
mencoba masuk di ekonomi berkembang
(pertambangan) dan terbelakang (kontraktor).
Berbeda dengan di atas, aktor politisi
maupun birokrat berasal dari empat etnik
mayoritas di Kendari maupun Sultra. Kemudian
untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, aktor politisi/birokrat membangun
afiliasi dengan pengusaha agar memperoleh
“bantuan” modal ekonomi dalam bentuk uang.
Fenomena ini begitu nampak ketika berlangsungnya pilkada, dimana aktor politisi
membutuhkan sejumlah uang untuk memenangkan pertarungan politik lokal. Dikarenakan
warisan sejarah etnik dan kepentingan yang
sama antar pengusaha, maka afiliasi cenderung
terpola berdasarkan doxa pertentangan antar
etnik. Kondisi ini sebagaiamana diungkapkan
responden berinisial ZNL:
“...meski pengusaha Cina masuk ke seluruh
kandidat kepala daerah, akan tetapi dia punya
prioritas. Prioritas pengusaha Cina ditentukan
siapa pengusaha yang merapat pada kandidat.
Jika yang merapat adalah rivalnya, maka
umumnya pengusaha Cina akan menarik diri.
Atau paling tidak memberikan bantuan ala
kadarnya kepada kandidat. Polarisasi etnik
disini memberikan keuntungan bagi pengusaha
Cina...” (Wawancara tanggal 28/12/2011).
Merujuk penjelasan di atas, maka afliasi
dalam ruang pertarungan kekuasaan ekonomipolitik terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu:
(1) kelompok afiliasi pengusaha Cina dengan
aktor politisi/birokrat asal etnik Muna dan
Tolaki (Cina-Muna-Tolaki); dan (2) kelompok
afiliasi pengusaha Bugis dan Buton dengan
aktor politisi atau birokrat dari etnik yang sama.
Terpolarisasinya kelompok afiliasi tersebut,
kemudian membentuk pola pertarungan antar
aktor dalam bentuk pertarungan modal ekonomi, dimana aktor (baik pengusaha maupun
politisi atau birokrat) mempertahankan dan

Strategi aktor di arena ekonomi politik lokal

meningkatkan modal ekonomi yang sudah
dimiliki sebelumnya. Pertarungan tersebut,
disatu sisi memberikan keuntungan bagi aktor
pengusaha (baik Cina, Buton, dan Bugis) karena
dapat mengakumulasi modal ekonomi tanpa
adanya rivalisasi dengan etnik lainnya, disisi
lain, aktor politik atau birokrat mampu menjaga
eksistensinya di tengah-tengah massa (masyarakat) karena memiliki modal yang dapat
digunakan untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan politiknya. Dengan demikian,
penelitian ini menunjukkan bahwa pertarungan
kekuasaan ekonomi-politik antaraktor senantiasa terkait dengan sejarah etnisitas dan
rivalitas ekonomi. Dalam sejarah ini, aktor yang
terdominasi akan berusaha melakukan “perlawanan” agar dapat mendominasi kekuasaan
ekonomi-politik.

Strategi-Strategi Aktor
Bagian sebelumnya, telah ditunjukkan bahwasanya ruang pertarungan aktor didominasi
prinsip hierarki heteronom yang mengutamakan kekuatan modal dan berorientasi pada
keuntungan yang diperoleh aktor. Artinya,
prinsip hierarki otonom yang mengutamakan
kekuatan modal simbolis tersisihkan dan hanya
ditempatkan sebagai instrumen (tools) aktor
untuk mewujudkan kepentingannya. Jika demikian halnya, maka pertarungan-pertarungan
tersebut hanyalah sebentuk permainan aktor
yang digunakannya untuk mempertahankan
dan melanggengkan kekuasaannya di arena
ekonomi politik lokal. Tentang hal tersebut,
Bourdieu menyatakan “...strategi adalah produk
dari rasa praktis seperti halnya rasa permainan
buat suatu permainan yang partikular dan
historis –rasa yang diperoleh semasa kanankanak, dengan cara berpartisipasi dalam
aktivitas sosial...” (Bourdieu 2011)
Mencermati pendapat Bourdieu di atas,
maka strategi aktor dapat dilacak dari modus
ruang pertarungan aktor yang berlangsung di
arena ekonomi politik lokal. Dalam konteks
studi ini, mereka yang bertarung adalah aktor
kampus, politisi dan birokrat, NGO/LSM, dan
pengusaha yang memiliki masing-masing
habitus dan kekuatan modal berbeda-beda.
Namun, hampir semua aktor (terkecuali outactor dan NGO/LSM besar) senantiasa
menempatkan distingsi identitas etnik sebagai
instrumen (tools) untuk memenangkan pertarungan. Untuk itu, penempatan strategi akan

Jurnal Sosial Humaniora ISSN 2087-4928 Volume 2 Nomor 2, Oktober 2011

tidak dibedakan berdasarkan basis etnisitas
aktor.
Dengan demikian, pada sub bab ini peneliti
akan mengidentifikasi strategi-startegi yang
dimainkan aktor dengan terlebih dahulu
memetakan strategi yang diproduksi dari relasi
antar aktor. Setidaknya, terdapat empat strategi
yang diproduksi dari relasi antar aktor, yaitu:
(1) strategi yang diproduksi dari relasi aktor
kampus – NGO/LSM; (2) strategi yang
diproduksi dari relasi aktor kampus – politisi/
birokrat – pengusaha; (3) strategi yang
diproduksi dari relasi aktor NGO/LSM –
pengusaha – politisi/birokrat; dan (4) strategi
yang diproduksi dari relasi aktor politisi/
birokrat – pengusaha. Adapun uraian keempat
hal tersebut, sebagaimana dijelaskan pada
bagian berikut tulisan ini.

keturunan bangsawan (golongan atas dari
pelapisan sosial tradisional), ketua paguyuban
kelompok etnik, ketua organisasi masyarakat,
dan dosen/guru. Strategi ini bertujuan agar
aktor mendapatkan pengakuan terhadap posisinya dan pengesahan dalam kehidupan sosialnya.
Tabel 1. Strategi yang diproduksi dari relasi
aktor kampus – NGO/LSM
Aktor
NGO/LSM

Aktor Kampus
In-Actor
Out-Actor
(Aktor
(Aktor Luar)
Dalam)

Lokal

• Strategi
reproduksi
simbolik;
dan
• Strategi
investasi
simbolik.

Aktor Kampus – NGO/LSM
Relasi antar aktor kampus dengan aktor
NGO/LSM cenderung terpolarisasi menjadi dua
bagian. Pertama, relasi antar aktor NGO/LSM
lokal dengan kategori in-actor dalam aktor
kampus; dan kedua, relasi antar aktor NGO/LSM
besar (memiliki jaringan nasional) dengan outactor yang merupakan kategori lainnya aktor
kampus. Polarisasi tersebut dikarenakan
perbedaan habitus dan pemaknaan aktor atas
distingsi identitas etnik yang begitu kental di
lokasi studi (telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya).
Akibat dari polarisasi tersebut, menyebabkan masing-masing kelompok relasi menciptakan dan memainkan strategi berdasarkan
kekuatan modal yang dimilikinya. Setidaknya
terdapat dua bentuk strategi yang diproduksi
dari relasi aktor NGO/LSM lokal – in-actor,
yaitu: (1) strategi reproduksi simbolik, merupakan proses pemeliharaan atau pelestarian
symbolic power (berisi sejarah pertentangan
antar etnik) yang dimiliki oleh masing-masing
entitas etnik dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Dikarenakan sebagian besar aktor atau
aktivis NGO/LSM lokal merupakan lulusan
kampus negeri maupun swasta daerah, maka inactor (aktor yang lahir dan besar di daerah)
melakukan “kadernisasi” dengan menggunakan
media kampus (sekolah); dan (2) strategi
investasi simbolik, merupakan tindakan aktor
untuk melestarikan modal simbolik yang
dimilikinya. Sekedar mengingatkan bahwa
modal simbolik yang dimiliki aktor, antara lain:

153

Besar
(Jaringan
Nasional)

• Strategi
reproduksi
wacana;
• Strategi
membangun
aliansi
strategis; dan
• Strategi
edukatif.

Berbeda dengan di atas, relasi aktor
NGO/LSM besar (memiliki jaringan nasional) –
out-actor memproduksi tiga strategi, yaitu: (1)
strategi reproduksi wacana, merupakan
heterodoxy yang mempertentangkan realitas
simbolik yang kaku dengan wacana-wacana
multikukturalisme dan kondisi aktual sebagai
dampak dari relasi-relasi yang dibangun atas
dasar etnisitas. Strategi ini bertujuan agar
setiap orang berhak memperoleh akses yang
sama terhadap kekuasaan politik maupun
ekonomi; (2) strategi membangun aliansi
strategis, adalah strategi yang dilakukan aktor
untuk membangun agenda kolektif yang lebih
bersifat praksis dengan menitikberatkan
pembauran aktor dari beragam latar belakang
etnisitas. Adapun strategi ini bertujuan untuk
menciptakan kesadaran bersama akan bahaya
kolektivitas etnik yang masif; dan (3) strategi
edukatif, adalah usaha yang dilakukan aktor
untuk menghasilkan pelaku-pelaku sosial baru

154

Sjaf et al.

Strategi aktor di arena ekonomi politik lokal

yang bisa dengan cakap mewarisi modal yang
dimiliki aktor tersebut (Tabel 1).
Aktor Kampus
Pengusaha



Politisi/Birokrat



Dibandingkan penjelesan sebelumnya, relasi
antar aktor yang memproduksi strategi cukup
variatif. Meski demikian, terdapat beberapa
kesamaan strategi yang diproduksi dari relasi
antaraktor. Sebagai misal relasi politisi/
birokrat – in-actor memiliki bentuk strategi
yang sama dengan relasi aktor NGO/LSM lokal –
in-actor. Hal yang menarik dari penelitian ini
adalah ditemukannya bentuk strategi baru yang
dilakukan aktor untuk melepaskan diri dari
tekanan struktur obyektif di lokasi studi.
Tabel 2. Strategi yang diproduksi dari relasi
aktor kampus – politisi/birokrat –
pengusaha
Aktor

Politisi/
Birokrat

Aktor Kampus
In-Actor (Aktor
Dalam)

Out-Actor
(Aktor Luar)

• Strategi
reproduksi
simbolik;

• Strategi
penyusupan
simbolik.

• Strategi
investasi
simbolik.
Pengusaha

• Strategi invasi
ekonomi; dan

edukasi” (Wawancara tanggal 22/12/2011, Sjaf
2012).
Selanjutnya bentuk strategi yang diproduksi
dari relasi in-actor – aktor pengusaha adalah
strategi invasi ekonomi dan dukungan wacana.
Strategi invasi ekonomi bertujuan untuk
mempertahankan atau meningkatkan modal
ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya. Bagi
in-actor, relasi yang dijalin dengan pengusaha
berdampak terhadap peningkatan modal
ekonomi yang dimilikinya. Sebaliknya, bagi
pengusaha bahwa dukungan wacana yang
positif (argumentasi-argumentasi ilmiah) dari
in-actor tentang usaha yang dibangunnya,
memiliki dampak terjadinya peningkatan modal
ekonomi atau setidaknya bertahan seperti yang
sudah dimiliki sebelumnya. Kondisi tersebut
berbeda ketika relasi yang terbangun antar
pengusaha – out-actor, strategi yang diproduksi
adalah strategi perlawanan, dimana setiap
usaha ekonomi yang dilakukan aktor akan
mendapatkan perlawanan dari out-actor.
Biasanya, out-actor melakukan perlawanan
dalam bentuk gugatan atas kerusakan
lingkungan dan sosio-ekonomi warga yang
ditimbulkan dari pembangunan yang diiniasi
oleh pengusaha (Tabel 2).
Aktor NGO/LSM
Pengusaha

• Strategi
perlawanan.

• Strategi
dukungan
wacana.
Adapun strategi yang dimaksud adalah
strategi penyusupan simbolik yang terbentuk
dari relasi out-actor – aktor politisi/birokrat.
Strategi ini bertujuan melakukan penyusupan
dengan menggunakan instrumen kesamaan
identitas etnik dengan politisi/birokrat. Ketika
penyusupan dianggap berhasil, maka out-actor
melakukan reproduksi wacana dan edukatif di
institusi-institusi politik maupun birokrat yang
sarat dengan distingsi identitas etnik. Kondisi
ini sebagaimana diungkapkan informan
berinisial SAI, “tidak ada cara lain agar wacana
multikulturalisme dapat diterima disini, selain
menyusup. Dengan menyusup, maka kita dapat
mendekonstruksi wacana yang ada dengan
wacana yang baru, lalu melakukan edukasi-



Politisi/Birokrat



Seperti uraian dan penjelasan sebelumnya,
relasi yang dibangun dari aktor-aktor ini
membentuk enam strategi berdasarkan konteks
masing-masing relasinya. Relasi NGO/LSM lokal
–politisi/birokrat memproduksi dua strategi,
yaitu strategi reproduksi simbolik dan strategi
invasi kekuasaan. Dari dua strategi tersebut, hal
yang berbeda dengan sebelumnya adalah
strategi invasi kekuasaan. Strategi ini bertujuan
mempertahankan dan memperluas kekuasaan
aktor dari kekuasaan yang dimiliki sebelumnya.
Dalam konteks ini, maka aktor politisi atau
birokrat berkepentingan mempertahankan
kekuasaan yang dimilikinya. Bagi aktor
politisi/birokrat, membangun relasi dengan
NGO/LSM lokal, maka akan memperoleh
keuntungan ganda, yaitu: (1) kekuasaan aktor
akan bertahan karena memperoleh dukungan
dari NGO/LSM lokal; dan (2) kemungkinan
kekuasaan aktor akan bertambah luas
dikarenakan aktor politisi/birokrat memiliki
kemampuan mengakumulasi modal sosial yang
dimiliki NGO/LSM lokal tersebut.

Jurnal Sosial Humaniora ISSN 2087-4928 Volume 2 Nomor 2, Oktober 2011

Tabel 3. Strategi yang diproduksi dari relasi
aktor NGO/LSM – politisi/birokrat –
pengusaha
Aktor
Lokal
Politisi/
Birokrat

NGO/LSM
Besar (Jar. Luas)

• Strategi
reproduksi
simbolik; dan

• Strategi
reproduksi
wacana

• Strategi invasi • Strategi
kekuasaan.
perlawanan
Pengusaha • Strategi invasi
ekonomi; dan
• Strategi
dukungan
simbolik.
Selanjutnya relasi antar pengusaha – NGO/
LSM lokal memproduksi dua bentuk strategi,
yaitu strategi invasi ekonomi dan strategi
dukungan simbolik. Khusus strategi yang
terakhir, merupakan tindakan pendukungan
aktor terhadap aktor lainnya dikarenakan
adanya share yang diperoleh dari relasi antar
aktor. Dalam hal ini, pengusaha akan merasa
tenang dan dapat memperluas kekuasaan
ekonominya dikarenakan LSM lokal yang
memiliki kemampuan memobilisasi [identitas]
etnik (massa berbasis etnik) mendukung
aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh aktor
tersebut. Kemudian relasi antar NGO/LSM besar
– politisi/birokrat – pengusaha memproduksi
dua bentuk strategi, yaitu strategi reproduksi
wacana dan strategi perlawanan (lihat Tabel 3).
Aktor Politisi/Birokrat – Pengusaha
Meski relasi antar aktor ini (Tabel 4) tidak
sekompleks dengan sebelumnya, akan tetapi
dari relasi cenderung equal ini membentuk tiga
strategi, yaitu strategi invasi kekuasaan, strategi
invasi ekonomi, dan strategi dukungan modal.
Strategi invasi kekuasaan bertujuan mempertahankan dan memperluas kekuasaan aktor dari
kekuasaan yang dimiliki sebelumnya. Meski
strategi ini menguntungkan aktor politisi atau
birokrat, akan tetapi pengusaha menganggap
bahwa dengan membantu mempertahankan
atau memperluas kekuasaan politisi/birokrasi,
maka akan berdampak terhadap keamanan dan
perluasan kekuasaan ekonomi yang akan
dilakukan aktor ini.

155

Tabel 4. Strategi yang diproduksi dari relasi
politisi/birokrat – pengusaha
Aktor

Politisi/Birokrat

• Strategi invasi kekuasaan;
• Strategi invasi ekonomi;
Pengusaha
dan
• Strategi dukungan simbolik
Selanjutnya telah disebutkan bahwa invasi
ekonomi atau dapat juga disebut strategi kapital
ekonomi (Rusdiarti 2004) bertujuan untuk
mempertahankan dan meningkatkan modal
ekonomi yang sudah dimiliki aktor. Sifat ekspansif yang embedded dalam diri pengusaha dan
keinginan politisi/birokrat untuk menambah
modal ekonomi yang dimiliki sebelumnya
menempatkan strategi ini memainkan peran
yang cukup penting. Sebagaimana ditunjukkan
dalam pesta demokrasi lokal, yakni pilkada.
Kemudian strategi yang terakhir adalah dukungan simbolik. Kekuasaan yang dimiliki aktor
politisi dan birokrat untuk memobilisasi massa
berbasis etnik memberikan keuntungan tersendiri bagi pengusaha untuk mengamankan asset
dan memperluas usaha yang dimilikinya.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Untuk memahami ruang pertarungan dan
strategi aktor di arena ekonomi politik lokal,
maka penting memahami praktik aktor di arena
ekonomi politik lokal. Setidaknya terdapat
beberapa tempat praktik aktor di arena
ekonomi politik lokal, yaitu praktik kultur
kekuasaan etnik, praktik peng-organisasian
ekonomi identitas, dan praktik politik identitas.
Kemudian dari ketiga tempat praktik aktor
tersebut, memiliki irisan sehingga membentuk
kategori ruang pertarungan antar aktor di arena
ekonomi politik lokal. Adapun ruang pertarungan, didasarkan pada prinsip hieraki, kekuatan modal, relasi, dan habitus aktor.
Di arena ekonomi politik lokal, terdapat tiga
ruang pertarungan aktor, pertama, ruang
pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis, yaitu
ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara
praktik kultur kekuasaan etnik dengan
pengorganisasian ekonomi identitas; kedua,
ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis,
yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi
diantara praktik kultur kekuasaan etnik dengan
praktik politik identitas; dan ketiga, ruang

156

Sjaf et al.

pertarungan kekuasaan ekonomi-politik, yaitu
ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara
praktik pengorganisasian ekonomi identitas
dengan praktik politik identitas.
Selanjutnya untuk memenangkan pertarungan di atas, maka akor menerapkan strategi
agar mampu tampi sebagai pemenang dalam
pertarungan tersebut. Setidaknya, terdapat
empat strategi yang diproduksi dari relasi antar
aktor, yaitu: (1) strategi yang diproduksi dari
relasi aktor kampus–NGO/LSM, seperti: reproduksi simbolik, investasi simbolik, reproduksi
wacana, membangun aliansi; dan edukatif; (2)
strategi yang diproduksi dari relasi aktor
kampus–politisi/birokrat–pengusaha, seperti:
reproduksi simbolik, investasi simbolik, invasi
ekonomi, dukungan wacana, penyusupan simbolik, dan perlawanan; (3) strategi yang
diproduksi dari relasi aktor NGO/LSM–pengusaha–politisi/birokrat, seperti reproduksi simbolik, invasi kekuasaan, invasi ekonomi, dukungan simbolik, reproduksi wacana, dan
perlawanan; dan (4) strategi yang diproduksi
dari relasi aktor politisi/birokrat–pengusaha,
seperti: invasi kekuasaan, invasi ekonomi, dan
dukungan simbolik.

DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu P. 2011. Choses Dites: Uraian dan
Pemikiran. Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hlm. 82.
Bourdieu P and Loic JD Wacquant. 1992. An
Invitation to Reflexive Sociology. The University of Chichago Press. Chicago.

Strategi aktor di arena ekonomi politik lokal

Calhoun C. 1993. Habitus, Field, and Capital: The
Question of Historical Specifity. Pp. 72.
Furnivall JS. 2009. Hindia Belanda: Studi
tentang Ekonomi Majemuk. Freedom Institute. Jakarta.
Granovetter M and Swedberg R. 1992. The
Sociology of Economic Life. Westview Press,
San Francisco, USA.
Hardiman FB. 2009. Demokrasi Deliberatif.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Maunati Y. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi
dan Politik Kebudayaan. LKIS. Yogyakarta
Mutahir A. 2011. Intelektual Kolektif Pierre
Bourdieu: Sebuah Gerakan untuk Melawan
Dominasi. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hlm.
56.
Nordholt HS dan Klinken [ed.]. 2007. Politik
Lokal di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Rusdiarti SR. 2004. Bahasa, Kapital Simbolik
dan Pertarungan Kekuasaan: Tinjauan Filsafat Sosial Pierre Bourdieu tentang Bahasa.
Tesis Pascasarjana. Departemen Filsafat FIB
[tidak dipublikasikan]. Depok. Hlm. 57-60
Swedberg R. 1998. Max Weber and the Idea of
Economic Sociology. Princeton University
Press. New Jersey, USA:
Tadjoeddin MZ. 2002. Anatomi Kekerasan Sosial
dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia
1990-2001. United Nations Support Facility
for Indonesian Recovery (UNSFIR). Jakarta.
Wacquant, Loïc JD. 2002. From Slavery to Mass
Incarceration: Rethinking the “Race Question” in the US. New Left Review 13: 41-60.