FETHISISM PADA PSIKO BEHAVIORAL COSPLAYER DI INDONESIA

FETHISISM PADA PSIKO BEHAVIORAL COSPLAYER
DI INDONESIA
Gideon K. Frederick

Abstrak: Dalam fenomena cosplaying, ditemukan fenomena psikobehavioral yang
aneh. Dimana pengguna kostum memperlihatkan perubahan perilaku yang signifikan. Perubahan perilaku ini terkadang derajatnya bisa sangat kecil dan meyakinkan, hingga yang besar dan terbawa ke kehidupan sehari-hari di luar aktifitas cosplaying. Perubahan ini disinyalir hanya sementara, sebagai bagian dari stage act.
Namun, ternyata, perubahan psikobehavioral temporal ini dapat bermanfaat secara
positif bagi cosplayer, yang sifatnya rehabilitatif, dan kuratif. Hal ini merupakan
salah satu efek yang kebanyakan tidak disadari oleh cosplayer yang pada umumnya
memiliki stigma sosial negatif di masyarakat, hingga fakta bahwa banyak cosplayer
yang memiliki disfungsi sosial.
Key words : Cosplaying, perubahan perilaku, fetishism.

Pendahuluan
Ada tren baru yang mendampingi
masuknya gelombang budaya Jepang
(J-wave) ke Indonesia yang dimulai
kurang lebih tahun 2000. Penetrasi
J-wave ini berupa soft culture maupun
hardculture. Berbagai komunitas hobi


yang berafiliasi dengan produk atau
budaya

Jepang

juga

bermunculan.

Salah satunya adalah komunitas cosplayer. Cosplay berasal dari gabungan kata costume dan play. Makna dari terminologi ini adalah role
play

melalui

penggunaan

kostum.

Kostum yang dipakai dapat berupa


Gideon K. Frederick adalah Staf Pengajar
pada Fakultas Seni Rupa dan Desain,
Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Tangerang.

30

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

e-mail : maria.elena@lecturer.umn.ac.id

Gideon K. Frederick

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

kostum yang menyerupai kostum karak-

cosplay

ter tertentu (biasanya karakter dari


fenomena ini terlihat dangkal. Bah-

media fiksi naratif) atau memiliki tema

wa cosplayer hanyalah sebuah ke-

tertentu (misalnya gothic, punk, atau

giatan komunitas yang sangat eks-

maid). Di Indonesia sendiri, komu-

klusif, namun minoritas di Indonesia;

nitas cosplaying seringkali diisi oleh

tak jarang mendapat cibiran negatif.

orang-orang dengan profil yang sama

dengan yang mengisi komunitas anime,
manga dan produk j-culture lainnya.

berkembang

pesat.

Sekilas,

Mutia Widiasih (23 thn) sehari-hari
adalah mahasiswa pemalu dan jarang
bicara. Ia lebih suka menyendiri, meng-

Seorang penjaga perpustakaan asal

hindari kerumunan, dan enggan ber-

Inggris yang dikenal dengan stage

diri dibawah lampu sorot panggung.


name Calssara adalah orang biasa da-

Namun, ketika ditemui dalam kostum

lam kesehariannya. Namun, dibalikn-

Erin Yaeger, pada event Re:On Com-

ya, ia adalah pemenang World Cosplay

ics Convention, April 2015 lalu di De-

Summit (acara terbesar bagi kegiatan

pok; ia sedang bercosplaying menjadi

cosplaying). Komunitas cosplayer se-

tokoh dalam anime Attack on Titan.


perti Fighting Dreamer Pro adalah komunitas cosplayer besar multinasional
yang dapat menarik 20 juta view dalam
sekali

unggahan

Youtube-nya.

Seo-

rang cosplayer asal Indonesia bernama
panggung Pinky Lu Xun yang menjadi
wakil Indonesia dalam AFA di Sinagapore bahkan adalah seorang arsitek.
Ikao, seorang cosplayer asal Surabaya
adalah seorang akuntan, Shire (nama
asli Bayu Kristanti) adalah seorang ibu
rumah tangga. Pribadi-pribadi biasa
yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga toko, atau seorang pelajar SMU bisa
menjadi selebritis di dunia cosplayer.


Ketika ditemui, ia adalah pribadi yang 180 derajat berbeda. Mutia tak
canggung bepergian dari rumahnya di
kawasan Cibubur ke area event dengan
kendaraan umum. Di tempat itu pula,
ia dapat dengan nyaman berjalan jalan
disepanjang koridor pameran, menerima tawaran foto dari pengunjung. Ditambah lagi, ia punya sesi khusus untuk
tampil di panggung sore itu di acara
tersebut. Diwawancarai penulis, ia mengatakan bahwa ia merasa “powerful” di
balik kostum yang ia kenakan. Malik,
seorang mahasiswa UMN, bahkan memakai kostum karakter wanita dalam

Di Indonesia, khususnya di Jakar-

acara cosplayer, yang sering disebut

ta dan beberapa kota kota besar se-

crossdresser. Dalam kasus ini, cosplay-


misal Surabaya, Bandung, Semarang;

er berperan sebagai karakter lawan jenis

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

31

Gideon K. Frederick

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

juga memiliki kesamaan dengan pe

Metodologi

makaian kostum pada acara-acara
Permasalahan yang ingin penulis
coba dalami adalah mengenai bagaimana kostum sebagai sebuah produk

desain, dapat berpengaruh pada perubahan

perilaku

pengguna

secara

signifikan. Dalam hal ini, mengacu
pada fakta bahwa terdapat peruba-

Di Jepang sendiri, komunitas cosplay
yang biasanya juga ikut dikategorikan
sebagai otaku (maniak) jumlahnya tidak banyak. Kelompok-kelompok ini
memperoleh label negatif oleh mas-

han perilaku cosplayer menjadi pri-

yarakat kebanyakan (Garcia 2011: 142).


badi yang benar-benar berbeda ketika

Mereka dicap eksklusif, nerd, tertutup

berbeda ketika melakukan cosplaying.

dan socially disabled. Label ini bukan

Masalah ini akan dicoba untuk dianalisa penulis melalui pendekatan
desain dan psikologi. Teori-teori yang
akan diacu adalah Role Playing dan
Fetishism dari ranah psikologi umum,

datang tanpa sebab. Kebanyakan penggemar anime, manga (komik Jepang),
atau cosplayer memiliki sifat ketertutupan yang sangat jelas dan kuat; hanya
terbuka dengan orang lain jika memili-

dan Reflective Design menurut Donald

ki ketertarikan yang sama dengannya.


Norman dalam bukunya Emotional De-

Prof. Henry Jenkins dalam kuliahnya

sign (2005). Dibantu dengan penelusu-

mengenai Academic Fans, menekan-

ran ekstensif artikel, berita dan sumber

kan bahwa eksklusifitas dari komu-

mengenai budaya pop ini. Titik berat

nitas ini adalah kelemahan sekaligus

analisa data ada pada data primer yaitu

kekuatannya. Ketertutupan komunitas

hasil wawancara, dan FGD yang dilaku-

semacam ini adalah untuk melindu-

kan pada para pelaku fenomena ini.

ngi masuknya anggota baru yang tidak

Sementara data sekunder didapat

memiliki tujuan sama dengan yang

melalui teori, kajian dan artikel ter-

lain, yang mereka khawatirkan dapat

cosplayer.

merusak kekuatan identitas mereka.

kait

psikobehavioral

Cosplay
Cosplay, menurut beberapa peneliti dikategorikan sebagai “aksi teatrikal”
yang interpretasinya mirip dengan pantomim, atau teater. Namun, cosplay

32

seperti Halloween, atau Mardi Gras.

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

Role Play
Definisi role playing yang penulis
gunakan disini adalah definisi yang sering digunakan dalam ranah psikologi.
Yaitu pengubahan/modifikasi perilaku

Gideon K. Frederick

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

seseorang mengikuti peran tertentu.

adalah sebuah desain dimana nilai in-

Pengubahan ini dapat dilakukan se-

trinsik menjadi nilai utama. Reflective

cara sadar, ataupun tidak sadar dengan

design menampilkan citra yang diing-

kedua tujuan bermaksud sosial. Jika

inkan dari penggunanya. Sebaliknya,

dilakukan secara sadar, biasanya pelaku

pengguna juga menerima persepsi yang

role play bertujuan untuk mengisi se-

diharapkannya dari orang lain melalui

buah status sosial tertentu; misalnya ke-

penggunaan produk desain tersebut.

tika seseorang ditunjuk menjadi pemi-

Pengaruh dari refleksi citra tersebut

mpin kelompok diskusi. Secara tidak

akan memperkuat citra diri (self image)

sadar, role play dilakukan seperti ketika

yang diinginkan pengguna hingga ke

dalam sebuah diskusi kelompok diperlu-

taraf perubahan perilaku. Seorang pe-

kan seorang pemimpin tanpa ditunjuk.

neliti di Inggris melakukan penelitian

Role play juga secara tidak sadar dilakukan dalam permainan video game. Dimana pemain (gamer)
memainkan

karakter

tertentu

den-

gan peran, keahlian dan sifat tertentu
untuk berkelana dalam dunia game.

mengenai efek kostum tim sepakbola
berwarna merah terhadap persentase kemenangan tim. Russell Hill dan Robert
Barton, peneliti di Universitas Durham
melakukan penelitian terhadap persentase kemenangan atlit di event Olimpiade Athena 2004. Dalam penelitian yang

Manfaat dari role play diakui dalam

diterbitkan dalam jurnal Nature (2005),

bidang psikotrapi memiliki efek kura-

kemenangan atlit atlit dengan kostum

tif terhadap penyakit-penyakit sosial.

merah sedikit lebih tinggi daripada atlit

Karenanya, seringkali dipakai untuk

yang mengenakan kostum berwarna lain

menyembuhkan pasien dengan penyakit

(dengan catatan: lebih tinggi pada olah-

psikologis yang membuat mereka sulit

raga tarung seperti tae kwon do, gulat

berkomunikasi dengan dunia luar sep-

dan tinju). Ini semakin diperkuat oleh

erti minder, pemalu, gagap, fobia. Se-

penelitian Andrew Elliott dari Univer-

mentara, pelatihan-pelatihan keahlian

sitas Ludwig Maximillian di Munchen,

tertentu juga mengadopsi sistem role

yang memperkuat kaitan antara “merah”

play ini menjadi metode pengajarannya.

dan “peningkatan kualitas penampilan.”

Reflective Design

Fetishism

Reflective design menurut pencetus
terminologinya sendiri Donald Norman

Fetishism

adalah

sebuah

istilah

yang mengacu pada kepercayaan bah-

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

33

Gideon K. Frederick

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

wa sebuah objek memiliki kekuatan

Earlene berbagai pengembangan kepri-

supernatural. Pada dasarnya, fetish-

badian dan soft skill yang positif. Mis-

ism adalah pemindahan nilai-nilai ter-

alnya, dahulu ia tidak lancar melakukan

tentu ke sebuah objek. Fetishism ini

public speaking, dan tidak terlalu per-

dapat menstimulasi sebuah perilaku

caya diri. Setelah melakukan cosplay se-

tertentu oleh penggunanya yang di luar

jak 2010, lama kelamaan, ia malah me-

kebiasaan. Misalnya seorang atlet yang

nikmati tampil dan berbicara di depan

merasa dirinya berada di puncak per-

umum dengan kepercayaan diri tinggi.

formanya karena membawa jimat keberuntungannya, atau seorang peserta ujian yang merasa jauh lebih percaya diri
karena telah melakukan ritual tertentu.

Analisa Data Primer

Karakter lain, seorang cosplayer dengan nama panggung Ryuichi Takeshima
dikenal sebagai seorang remaja wanita
yang pendiam, pasif dan introvert pada
kesehariannya. Namun, dengan dandanan visual kei2, Takeshima adalah

Bagi M.M Earlene, Vice Director

pribadi yang berbeda diatas panggung.

Cosplay Jakarta Chapter motif terbesar

Takeshima mengatakan bahwa dibalik

dari menjalani “hobi serius” cosplay ini

kostum cosplay, ia mendapatkan ke-

adalah rekreasional prikologis. Ia men-

sempatan dan kebebasan melakukan apa

gibaratkan ada kalanya orang dapat

saja. Ini adalah sebuah tempat baginya

jenuh dari kehidupan sehari-hari dan

untuk menjadi siapapun yang ia suka.

rutinitas, dan mencari kesenangan yang
tak terduga dengan menjalani kehidupan
yang lain; yaitu dengan cara menjadi
orang lain (cosplaying). Menariknya, ia
menjalani cosplay ini tanpa kehilangan
konsep diri (persona) aslinya. Karena
itu, biasanya ia memilih karakter-karakter yang sesuai atau merepresentasikan
pandangannya terhadap hidup. Melalui
kostum-kostum itu, Earlene mendapatkan legitimasi atau (menurut istilahnya
sendiri), sebuah “excuse” untuk menjadi
siapapun yang ia inginkan. Di sisi lain,
profesi cosplayer ini juga memberikan

34

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

Kasus lain, misalnya pada cosplayer Haruka Ryuki yang bernama
asli Ashariyah Sofura Wijaya. Berbeda
dari motivasi motivasi cross player sebelumnya, Ryuki justru selalu memilih cosplay menjadi karakter laki-laki
tanpa disertai penjiwaan. Namun, ia
tidak pernah memilih melakukan cosplay karakter wanita. Ketika ditemui
2

Visual kei adalah jenis band rock, metal, atau grunge dengan aksen pada aksi panggung dan kostum.
Kostum visual kei mirip seperti gabun-gan atara
Kiss, gender bend, dan anime Jepang. Kostum dan
dandanan visua kei telah menjadi genre tersendiri
dalam perbendaharaan fashion Jepang.

Gideon K. Frederick

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

dalam kostum Ririchiyo dari anime

pada setiap konsernya di Australia. Di

Inu x Boku, ia mengatakan bahwa ia

Jepang, ia hadir dalam berbagai acara

sangat nyaman memiliki penampilan

cosplay

laki-laki. Seluruh preferensi karakter

karakter wanita yang sangat berbe-

cosplay Ryuki yang kesemuanya ada-

da dari bentuk fisik dan citra Magar-

lah laki-laki, dikatakannya adalah tem-

ey. Magarey mengakui bahwa ia ada-

patnya untuk menyalurkan alter egon-

lah seorang “anak perempuan yang

ya sebagai “Ashariyah yang laki-laki.”

terperangkap

Kasus lain, melalui sesi FGD, dida-

dan

dewasa”

mengenakan

dalam

pada

tubuh

majalah

kostum

lelaki

Tokyodesu.

patkan bahwa ada pula cosplayer yang

Ada pula orang yang melakukan

menjadikan cosplay sebagai pelam-

cosplay untuk membuat sebuah per-

pia- san emosi akibat trauma psikol-

nyataan ideologis. Vishvajit Singh, seo-

ogis. Cosplayer pria yang dimaksud

rang imigran Pakistan yang tinggal di

dikenal selalu melakukan cross gender

Amerika kerap mendapatkan panggilan

cosplay; dengan karakter yang sama

“teroris” dari pejalan kaki di New York,

sejak beberapa tahun aktif di kegia-

tempatnya tinggal. Merasa terisolasi

tan ini. Diskusi menyiratkan bahwa

karena tidak pernah ada yang menga-

ada trauma bermotif lesbianisme yang

jaknya berbicara, Ia kemudian men-

melandasi motif cross playingnya. Ada

genakan kostum Captain Amerika tanpa

pula cosplayer yang memiliki motif

topeng, dengan sorban birunya tetap

pencarian popularitas dan eksistensi.

dikepalanya. Wajahnya yang berku-

Ladybeard, seorang cosplayer lelaki
berbadan besar berotot, dengan janggut
berewok; yang melakukan cross play
Chun-Li dari video gim Street Fighter.
Aksi yang dilakukannya pada Summer
Comicket 14 Agustus 2015 di Tokyo
menarik perhatian pengunjung hingga
masuk surat kabar lokal. Ladybeard yang
bernama asli Richard Magarey, seorang
warga Australia yang berprofesi sebagai
atlet gulat dan penyanyi band lokal be-

lit gelap dengan janggut ala Sikh tetap
dibiarkan. Secara tak terduga, pejalan
kaki New York memberikan perhatian,
memfotonya, yang membuatnya merasa
seperti selebritis. Dan akhirnya, ia mulai
mampu memulai pembicaraan, bahkan
membentuk komunitas cosplay di New
York dimana ia merasa diterima. Pada
kasus Singh, cosplay berhasil menjadi
sebuah penghubung antar 2 kebudayaan
dengan cara menabrakkan sterotipe.

raliran metal. Magarey awalnya memang
memiliki tendensi berkostum wanita

Analisa

Data

Sekunder

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

35

Gideon K. Frederick

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

Cosplay dan Alter Ego Pemenuhan Kebutuhan Emosional
Dalam kata pengantar buku seri fotonya yang berjudul Fandomania: Characters and Cosplay (Aperture, 2007), Elena Dorfman memfoto karakter-karakter
cosplay dan mewawancarai mereka
selagi berpose di depan kamera seperti
seorang psikiater kepada pasiennya. Ia
menanyakan apa yang mereka rasakan
dalam kostum tersebut, siapa mereka
sebenarnya, atau apa yang ingin mereka lakukan jika mereka benar-benar
karakter dalam kostum tersebut. Hasilnya adalah pribadi-pribadi yang menginginkan sebuah alter ego, sebuah priba-

Earnhart datang dengan kostum Batgirl
dan Robin. Roecks yang bekerja sebagai
asisten visual efek mengatakan pada
majalah online Hero Complex bahwa
ketika ia datang dalam kostum cosplay,
mereka bukanlah orang biasa lagi. Mereka menjadi “somebody.” Padahal, yang
mereka lakukan hanyalah memakai baju
yang berbeda dari biasanya. Juru bicara
konvensi tahunan budaya pop terbesar di dunia itu, David Glanzer mengatakan, daya tarik cosplay adalah fantasi
yang menjadi nyata selama beberapa
jam, dan menjadi dipuja oleh orang lain.

Topeng dan Identitas dalam
Psikologi

di baru dimana mereka bisa keluar dari

Dalam tulisan ilmiahnya yang ber-

berbagai hal yang tak diinginkannya da-

judul “Question of Identity: Is The Hulk

lam kehidupan aslinya. Di depan Dorf-

the Same Person as Bruce Banner?” oleh

man, para cosplayer mengakui bahwa

Kevin Kinghorn dalam Superheroes and

dengan kostum tersebut, mereka dapat

Philosophy (Open Court, 2005); King-

mengeluarkan

yang

horn membuat ilustrasi yang menarik

tidak pernah mereka dapatkan di ke-

untuk menerangkan identitas dalam

hidupan nyata, bahkan persona-persona

karakter superhero. Jika Bruce Ban-

yang mereka impikan. Buku Dorfman

ner (karakter rekaan Stan Lee dari pe-

memberi pernyataan bahwa cosplayer

nerbit Marvel) dipidana di pengadilan,

adalah orang-orang yang gagal secara so-

atas kriminalitas yang dilakukan The

sial dan melarikan diri pada suatu false

Hulk (alter ego Bruce Banner); apa-

identities dan membentuk komunitas

kah tuduhan itu tidak salah alamat?

eksklusif dimana mereka dapat berpo-

Kinghorn menunjukkan bahwa secara

tensi penuh secara sosial. Dalam Comic

fisik dan kimiawi tubuh maupun sel-

Con International 2012, Briana Roecks,

sel dari Bruce Banner tidaklah sama

seorang fan girl dan pasangannya Adam

dengan The Hulk. Pengidentifikasian

36

person-persona

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

Gideon K. Frederick

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

ini disebut bodily identity. Karena itu,

2012); bahwa kostum superhero bu-

Kinghorn

pendekatan

kanlah sebuah “topeng” untuk menu-

John Locke mengenai peranan ingatan/

tupi identitas asli. Namun, “topeng”

memori. Locke mengindikasikan bahwa

lebih merupakan alat untuk mempro-

seseorang dapat dikatakan sama jika ia

duksi sebuah identitas baru, lengkap

memiliki mental realm yang sama. Hulk

dengan persona baru pula (hlm.137).

dan Banner dikatakan adalah satu per-

Ini bukan merupakan sebuah alter

sona yang sama karena keduanya juga

ego, melainkan lebih mirip sebuah

memiliki ingatan yang sama mengenai

false identities yang secara sadar dib-

segala sesuatu. Ketika dalam kondisi

uat karena kebutuhan (baca: tuntutan).

menggunakan

Hulk, pada serial televisi Hulk (1970)
dan film layar lebar Hulk (2003), digambarkan

Hulk

masih

mengingat

beberapa orang yang dikenalnya, misalnya Betty Ross. Dan, the Hulk pun
masih mengingat siapa temannya dan
musuhnya

dalam

situasi

tersebut.

Role Play sebagai Rehabilitasi Disabilitas Sosial
Pendiri dan CEO Game Loft, Ray
Estabrook mengatakan bahwa melalui
game, seorang pribadi dapat belajar menerima dan menyelesaikan tantangan

Dari pemaparan Kinghorn, kita dapat

dalam lingkungan non akademis tanpa

menyimpulkan bahwa seseorang indi-

konsekuensi, dan beban dunia nyata.

vidu yang sedang melakukan cosplay-

Feedback dan apresiasi atas kemena-

ing adalah orang yang sama. Walaupun,

ngan dalam game itu sendiri ternyata

mereka menunjukkan kepribadian yang

cukup efektif untuk mengembalikan

berbeda, secara mental realm mereka

rasa percaya diri anak. Game Loft ada-

tetaplah orang yang sama. Kepri-

ba-

lah komunitas bermain boardgame,

dian yang berbeda yang sering ditun-

khususnya seri Dungeon and Dra-

jukkan oleh seseorang dalam balutan

gons. Dalam boardgame, peserta ber-

kostum cosplay adalah sebuah kesada-

main dengan beberapa orang, dapat

ran, terlepas dari motivasi apapun ses-

berkelompok atau secara individual.

eorang mensubtitusi kesadaran menge-

Peserta tidak bermain menggunakan

nai identitas dan konsep dirinya sendiri.

stik/controller game, dan layar televi-

Travis Langley, seorang peneliti budaya pop Amerika juga menyebutkan
dalam Batman and Psychology: A Dark
and Stormy Knight (John Wiley & Sons:

si. Mereka menggunakan kisah mereka
sendiri untuk bercerita, mulut merekamasing masing untuk berkomunikasi satu sama lain, dan imajinasi untuk

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

37

Gideon K. Frederick

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

mengembangkan plotnya. Yang pal-

themaskonline;

ing penting, adalah boardgame Dun-

menunjukkan tidak ada efek-efek sim-

geon and Dragons bersifat role play.

tomatis, diagnostik dan patologis terkait

Artinya pemain memilih salah satu

cosplay. Masyarakat cenderung menilai

karakter yang ada, dengan seperangkat

bahwa cosplayer adalah orang-orang

kemampuan dan sifat tertentu, peran

pengidap Asperger Syndrome, kelainan

yang spesifik dalam sebuah permainan

kepribadian anti sosial, dan kegama-

multiplayer. Pada karakteristik inilah

ngan sosial (social anxiety disorder),

pemain dapat belajar untuk saling ber-

atau penyakit-penyakit mental lainnya.

komunikasi, saling bekerjasama, mem-

Penelitiannya justru menunjukkan hal

bentuk tim dan akhirnya melahirkan

sebaliknya. Komunitas cosplay adalah

pertemanan. Sebagai game role play,

kumpulan orang-orang paling liberal

setiap pemain juga memiliki kelema-

yang pernah ada, bersatu hanya dengan

han dan kelebihan. Pemahaman men-

satu kesamaan: kesukaan pada sebuah

genai kelemahan dan kelebihan teman

karakter dan memakai kostum. Wani-

tim juga mengajarkan empati pada

ta, pria, atlit, akuntan, pengangguran,

anak-anak. Mereka belajar untuk me-

besar, kecil, gay, lesbian, kulit hitam

mahami orang lain, dan menumbuh-

maupun kulit putih melakukan cosplay.

kan sikap saling tolong menolong.

Selain itu, cosplay juga memberikan

Akhir 2012, iklim cosplay di Amerika sedang memanas. Cosplayer diasosiasikan dengan kisah-kisah kriminal
yang melibatkan kekerasan dan penyakit mental. Selain laporan dalam lingkup konvensi komik, media kebanyakan mengambil posisi berseberangan
terhadap cosplayer. Entah berita dengan nada menyalahkan, berita dengan

bahwa

penelitiannya

aspek-aspek yang menyehatkan, tulisnya. Menurut Letamendi, rasa berkomunalitas, persahabatan yang melampaui
kota bahkan negara, keuletan dan kerja
keras dalam membuat sesuatu dengan
tangan sendiri, dan keberanian untuk
menampilkan ekspresi yang tidak tampak dalam keseharian masing-masing.
Psikolog yang sangat tertarik pada

foto yan merendahkan, atau tuduhan

fenomena

langsung bahwa memakai kostum ber-

pop, Robin Rosenberg menulis dalam

sayap dan warna warni adalah sebuah

Psychology Today3 bahwa pelaku cos-

ancaman

masyarakat. Dr.

play juga mengalami “ledakan emosi”

Andrea Letamendi, seorang psikolog

yang signifikan ketika berada di balik

klinis menulis dalam blog nya Under-

kostum. Kedua narasumber yang ter-

terhadap

psikologi

terkait

budaya

gabung dalam San Diego Fan Force

38

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

Gideon K. Frederick

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

tersebut dalam tulisan Rosenberg mengatakan bahwa mereka merasa “dapat
melakukan lebih” sebagai seorang fan
kepada orang lain. Anak-anak merasa
senang bertemu mereka, orang-orang
ingin bertemu dan berfoto bersama mereka. Mereka juga pergi ke rumah sakit

Temuan
Berdasarkan

analisa

data

liter-

atur dan data lapangan, dari fenomena ini terdapat beberapa hal yang
menjadi temuan penulis terkait perubahan

psiko-behavioral

cosplayer.

lokal untuk mengunjungi anak-anak

1. Ada beberapa jenis motif yang

yang sakit untuk menghibur mereka.

melandasi

Rosenberg bahkan mencatat seorang

rang cosplayer. Ini juga terma-

cosplayer yang sebenarnya tidak begitu

suk dalam derajat transforma-

menyukai anak-anak, namun begitu ia

sinya

dan

mengenakan kostum Batman; ia mera-

yang

mengalami

sa nyaman dikelilingi anak-anak dan
le- bih sabar meladeni mereka. Dalam
kasus ini, kostum, konteks, dan kekuatan situasional dapat mentransformasi
sebuah kepribadian. Kostum adalah yang
paling esensial dalam transformasi ini.

transformasi

aspek

persona

seo-

apa

transformasi.

Motif-motif cosplaying kebanyakan
bersifat psikologis, misalnya rekreasi
psikologis dengan cara keluar dari identitas sehari-hari, pencarian tantangan,
trauma psikologis, bentuk fanatisme,
pemenuhan kebutuhan sosial, dan re-

Cosplay dapat menjadi sebuah pe-

habilitasi kemampuan sosial. Motif yang

nyaluran, untuk melarikan diri dari

juga ditemukan adalah motif ideolo-

sebuah lingkungan dimana seseorang

gis. Pada motif rekreasional, cosplayer

merasa

seseorang

berusaha keluar dari kestatisan hidup

dapat merasa termarjinalisasi, terisolasi

sehari-hari dengan mengganti realita

dalam rutinitas kesehariannya. Ironis-

melalui transformasi identitas. Bebe-

nya, dengan mengenakan kostum dan

rapa cosplayer dengan motif pencari

topeng, ternyata dapat menelanjangi

tantangan dapat dilihat pada kecen-

seluruh hambatan dan perbedaan sosial

derungannya untuk melakukan cosplay

yang ada. Cosplay dapat memberi tem-

yang sulit, cross gender dan trolling.

pat untuk seseorang merasa bebas dan

Cosplaying sebagai bentuk fanatisme

terlepaskan, mengeksplorasi emosi-emo-

adalah variasi bentuk kecintaan seseo-

si baru seperti kemarahan, kekuatan,

rang terhadap hobinya. Dengan meniru

kesombongan, sensualitas, atau ambisi.

karakter yang disukai, cosplayer merasa

gagal.

Terkadang,

telah melakukan hal yang sama (mem-

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

39

Gideon K. Frederick:

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

peroleh sensasi dan impresi) seperti yang

melalui komunitas cosplaying itu sendiri.

dilakukan fans lainnya (misalnya meng-

Mereka merasa lebih diterima, lebih per-

koleksi mainan). Cosplaying juga dapat

caya diri dalam bergaul dan bekerjasama

menjadi sarana pemenuhan kebutuhan

dengan orang lain. Pengalaman ini ditu-

sosial seperti attention deficit, isolasi

larkan ke dalam persona sehari-hari se-

sosial, dan social skill disorder. Tahap

hingga terdapat perkembangan kemam-

selanjutnya dari motif ini adalah reha-

puan sosial yang positif. Keuntungan

bilitatif. Jika cosplaying terus menerus

ini juga dirasakan pada orang lain yang

dilakukan, cosplayer merasa mendapat

melihat cosplayer. Mereka mendapat

peningkatan kemampuan sosial dan

sensasi yang sama ketika mereka me-

keterampilan-keterampilan sosial yang

lihat seorang artis pujaan mereka, dan

selama kurang atau tidak ia miliki.

apa yang dilakukan cosplayer menja-

Sementara cosplaying dengan mo-

di lebih bermakna bagi seorang fan.

tif ideologis adalah penggunaan cosplay

3. Kostum menjadi sebuah sara-

sebagai pembentuk sebuah statement

na, device yang signifikan dalam

yang sidatnya ideologis namun personal.

transformasi seorang cosplayer.

2. Ditemukan benefit yang sig-

Tidak ditemukan bukti fetishism

nifikan

dari

transformasi

cos-

player baik terhadap sisi fisikal,
sosial maupun (terutama) emosional yang disengaja maupun tidak

disengaja

(tidak

disadari).

yang kuat pada device ini, namun
pada preferensi pemilihan kostum
ditemukan
yang

fethisme

dilandasi

pada

yang

kuat

fanatisme

pada karakter fiksi pilihannya.

Benefit ini dapat berorientasi kel-

Ide bahwa melalui pemakaian se-

uar (outward) ataupun (inward).

buah kostum untuk “menciptakan” se-

Banyak cosplayer yang merasa lebih berdaya secara sosial ketika berada di
balik kostum. Banyak bukti yang menunjukkan perubahan perilaku yang tidak
pernah

mereka

lakukan

sehari-hari.

Terlebih, perilaku tersebut biasanya
lebih positif dari yang mereka miliki sehari-hari. Dalam kegiatan cosplaying,
banyak pelaku juga merasa lebih mampu
berdaya di dalam masyarakat, setidaknya

40

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

buah identitas baru, terutama yang lebih
positif; disebutkan oleh banyak cosplayer. Kostum bukanlah untuk menutupi
apa yang harusnya tidak ditunjukkan,
melainkan untuk menciptakan identatas
baru yang lebih sesuai dengan ekspektasi pelaku maupun orang banyak. Mengenai preferensi pemilihan kostum
yang melandasi transformasi perilaku
yang positif ini, tidak ditemukan bukti

Fethisism pada Psiko Behavioral
Cosplayer di Indonesia

Gideon K. Frederick

yang kuat dan cukup banyak. Hanya saja,

“topeng” untuk menciptakan sebuah

setiap cosplayer memiliki preferensi yang

identitas baru yang lebih positif bagi di-

jelas dalam pemilihan cosplaying-nya.

rinya maupun orang lain. Efek transfor-

Kesamaan prinsip, kesamaan bentuk

masi ini, secara nyata dapat dirasakan

penampilan, dan yang paling penting;

sangat positif bagi banyak cosplayer.

cosplayer memiliki kecintaan yang kuat
terhadap karakter yang akan dimainkan.
Pada tahap ini, sedikit indikasi fetishism ditunjukkan oleh para cosplayer.

Kesimpulan
Asumsi awal penulis bahwa terdapat
indikasi fetishism dalam transformasi perilaku yang ditunjukkan melalui
beberapa fenomena cosplayer, tidak
ditemukan. Namun, gejala awal fetishism; yaitu kepercayaan bahwa sesuatu
benda (dalam hal ini kostum) dapat memberi sebuah kekuatan lebih pada penggunanya terdapat pada banyak kasus.
Melalui kostum, banyak cosplayer dapat melakukan hal-hal yang tidak
dapat mereka sendiri perkirakan. Mereka mendapat pengalaman dan perkembangan kepribadian yang positif secara
signifikan ketika melakukan cosplaying. Terdapat banyak motif-motif dalam
melakukan cosplaying, dan semuanya
terbukti sesuai dengan asumsi awal, yaitu berelasi dengan motif psikologis. Mekanisme transformasi perilaku ini memiliki satu syarat yang khusus, yaitu adanya
sebuah kostum yang berfungsi sebagai

VOL. V, NO.01 , MARET 2014

41