Kondisi Umum Pertanian di Indonesia Meng

1

KONDISI PERTANIAN INDONESIA
MENGHADAPI MEA 2015
REZA FATAH NUGRAHA
14 / 363695 / TP / 10839
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014

1. PENGANTAR
Pertanian merupakan salah satu bidang yang penting bagi kelangsungan
hidup manusia. Banyak definisi terkait dengan pertanian yang dikemukakan oleh
beberapa ahli. Salah satunya definisi oleh bapak Abdul Rozaq dalam mata kuliah
Pengantar Teknologi Pertanian yang menjelaskan bahwa pertanian dalam arti luas
merupakan aktivitas manusia untuk menghasilkan biomassa melalui pemanfaatan
energi sinar matahari. Dalam kaitannya dengan bidang pertanian, biomassa
merupakan energi yang diperoleh dari hasil pertanian berwujud pangan yang
dikonsumsi oleh manusia sehari-harinya.
Negara yang identik dengan aktivitas pertanian sebagai sumber mata
pencaharian bagi rakyatnya disebut negara agraris. Indonesia banyak dikenal di
dunia sebagai salah satu negara agraris. Indonesia didukung oleh beberapa faktor

yang memungkinkan pertanian menjadi salah satu sektor penting yang dapat
membantu pembangunan perekonomian negara. Salah satunya adalah letak
geografis Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa. Hal ini menyebabkan
Indonesia memiliki iklim tropis, curah hujan yang cukup tinggi, dan sepanjang

2

tahun selalu mendapat energi dari cahaya matahari. Faktor lain yang mendukung
pertanian di Indonesia adalah tanah yang subur serta ketersediaan air yang
melimpah.
Pertanian di Indonesia sempat mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Pada awal era orde baru, pembangunan ekonomi nasional ditekankan pada bidang
pertanian untuk mewujudkan swasembada pangan. Program swasembada pangan
ini dikhususkan pada pengadaan beras karena sebagian besar penduduk Indonesia
merupakan konsumen beras. Berkat adanya program Pembangunan Lima Tahun
(Pelita) pada tahun 1984 Indonesia berhasil menyatakan diri sebagai negara
swasembada beras. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama dan biaya yang
ditanggung untuk mencapai kondisi swasembada tersebut sangat besar. Hal
tersebut pada akhirnya dipermasalahkan oleh beberapa pihak dan menuai dampak
yang kurang baik bagi keberlanjutan sektor pertanian di Indonesia (Guntoro,

2011:21; Kompas, 2006:9).
Pada masa setelah reformasi tepatnya tahun 2004, Indonesia kembali
berhasil mencapai swasembada beras. Ketersediaan beras di Indonesia saat itu
mencapai kondisi surplus. Namun, hal ini belum bisa dikatakan sebagai prestasi
karena pada saat itu laju impor beras masih tinggi. Hal tersebut berimplikasi pada
tingkat kesejahteraan petani yang menurun karena tidak berdaya terhadap
banyaknya produk impor. Sejak saat itu, angka ekspor pangan Indonesia selalu
lebih rendah dari angka impornya. Hal inilah yang menjadi permasalahan ketika
Indonesia bersiap menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
di tahun 2015. Sektor pertanian Indonesia ditantang untuk mampu bersaing

3

dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina yang saat
ini sektor pertaniannya sedang berkembang dengan pesat (Kompas, 2006:9).
Banyak permasalahan besar lainnya dalam bidang pertanian di Indonesia
yang sampai saat ini terjadi. Permasalahan pertama adalah pengelolaan pertanian
di Indonesia yang masih sangat sederhana dan belum menggunakan teknologi
yang tepat guna. Selain itu pertanian di negara ini masih sangat bergantung pada
iklim padahal akhir-akhir ini kondisi iklim di Indonesia tidak menentu. Hal ini

menyebabkan produksi hasil pertanian menjadi kurang efektif. Kebijakan
pemerintah terkait pengadaan alat dan mesin pertanian juga masih belum jelas.
Indonesia sebenarnya memiliki banyak industri pembuatan alat dan mesin
pertanian dalam negeri yang terus berkembang. Namun, industri tersebut kurang
mendapat perhatian dari pemerintah sehingga harga produksinya menjadi mahal
dan kalah bersaing dengan produk impor. Kesejahteraan petani juga menjadi
masalah utama dalam bidang pertanian di Indonesia. Masalah-masalah tersebut
menarik untuk dibahas terutama saat Indonesia menghadapi MEA tahun 2015.
Oleh karena itu, disusunlah makalah ini untuk memberikan informasi kepada para
pembaca tentang permasalahan pertanian Indonesia menjelang MEA 2015.
Dalam makalah ini, hal pertama yang akan dibahas adalah informasi dan
sejarah mengenai terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Hal kedua
yang akan dibahas adalah berbagai kondisi pertanian di Indonesia saat ini yang
mencakup sistem pertanian, penerapan teknologi di bidang pertanian, keadaan
impor dan ekspor pangan, dan permasalahan alih fungsi lahan pertanian di
Indonesia menjelang MEA. Selain itu akan dibahas pula strategi dan dampak
pertanian Indonesia dalam menghadapi MEA. Diharapkan dengan disusunnya

4


makalah ini, pembaca akan mendapatkan informasi tentang keadaan pertanian
Indonesia saat ini untuk menghadapi MEA tahun 2015 mendatang.
2. KONDISI PERTANIAN INDONESIA MENGHADAPI MEA 2015
Kerjasama ekonomi di kawasan Asia Tenggara dimulai sejak disahkannya
Deklarasi Bangkok pada tahun 1967. Deklarasi ini merupakan awal pembentukan
ASEAN yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan
sosial, dan pengembangan kebudayaan. Dalam perkembangan selanjutnya,
kerjasama di bidang ekonomi diarahkan kepada pembentukan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). Pembentukan MEA mulai dibahas dalam KTT ASEAN
ke-9 di Bali pada tahun 2003. ASEAN menyepakati perwujudan MEA ini
diarahkan pada integrasi ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada
ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint (Tim Departemen Perdagangan
RI, 2008:v).
AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN
dalam mewujudkan MEA 2015. Dalam blueprint ini memuat 4 pilar utama
sebagai pedoman. Pilar pertama adalah ASEAN sebagai pasar tunggal dan
berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang,
jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan aliran modal yang lebih bebas. Pilar yang
kedua adalah ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan
elemen pengaturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan

intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce. Pilar ketiga
berbunyi ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata
dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah dan prakarsa integrasi

5

ASEAN untuk negara Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam. Pilar keempat
adalah ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan
perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan
ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi
global (Tim Departemen Perdagangan RI, 2008:8--9).
Isi dari pilar pertama dan kedua dalam blueprint di atas semakin
menegaskan bahwa akan ada kompetisi yang tinggi antarnegara anggota ASEAN
dalam bidang apapun yang menyokong perekonomian suatu bangsa. Pertanian
merupakan salah satu bidang penyokong perekonomian Indonesia karena sebagian
besar rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya pada bidang ini. Salah satu
konsekuensi dengan adanya MEA di bidang pertanian adalah nantinya akan
semakin banyak produk-produk impor dari negara-negara tetangga yang dijual di
pasaran secara bebas dengan harga yang relatif murah.
Melihat persaingan yang akan semakin ketat, petani Indonesia dituntut

untuk memproduksi pangan dengan kualitas dan harga yang mampu bersaing
dengan produk impor. Untuk mendukung produksi pangan dengan baik,
diperlukan efisiensi dan optimalisasi di bidang pertanian. Namun, hal tersebut
masih belum diterapkan dalam pertanian di Indonesia, terutama pada petani-petani
kecil. Kondisi pertanian Indonesia saat ini masih mengalami banyak kendala
dalam penerapan sistem dan teknologinya.
Dalam penerapan sistemnya, masih banyak petani di Indonesia yang
bergantung pada sistem pertanian tadah hujan. Inilah yang menyebabkan produksi
menjadi kurang maksimal karena tidak sedikit aktivitas pertanian hanya

6

menggantungkan suplai air pada saat musim penghujan saja. Hal tersebut dapat
menjadikan lahan pertanian menjadi kurang produktif. Namun, tidak sedikit pula
petani yang menerapkan sistem pertanian berkelanjutan dengan program
pergiliran

tanaman.

Sistem


ini

merupakan

usaha

untuk

meningkatkan

produktivitas pangan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan,
terutama pengembalian nutrisi dalam tanah. Ada pula petani yang menerapkan
System of Rice Intensification (SRI). Dengan SRI, sumberdaya alam yang
digunakan dalam aktivitas pertanian akan menjadi efisien dan produk yang
dihasilkan juga optimal.
Saat ini pertanian di Indonesia mulai bergerak ke arah pertanian organik.
Bapak Sunarto Goenadi dalam kuliah Ilmu Lingkungan menjelaskan bahwa
pertanian organik merupakan salah satu dari sekian banyak cara yang dapat
digunakan untuk mendukung lingkungan. Sistem produksi organik didasarkan

pada standar produksi yang spesifik dan tepat. Hal ini bertujuan untuk mencapai
agroekosistem yang optimal dan berkelanjutan baik secara sosial, ekologi,
maupun ekonomi. Tujuan dari sistem pertanian organik adalah menghasilkan
bahan pangan yang memenuhi standar kualitas yang baik dan mendorong
terjadinya daur ulang biologis secara alami. Selain itu juga bisa memanfaatkan
sumberdaya pertanian terbarukan tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan.
Sayangnya, penerapan sistem pertanian yang baik di Indonesia masih
menemui banyak kendala. Salah satu contohnya adalah kurangnya pemahaman
petani terhadap sistem pertanian modern. Masih banyak petani yang tetap
berpedoman pada sistem pertanian tradisional. Hal tersebut tidaklah salah, namun
tetap diperlukan adanya penyesuaian sistem pertanian yang modern karena

7

perkembangan teknologi berjalan semakin cepat dan pertanian dituntut untuk ikut
berkembang. Kendala lainnya adalah kurangnya sosialisasi dan pendampingan
petani oleh penyuluh yang lebih memahami ilmu-ilmu budidaya dan mekanisasi
di bidang pertanian.
Beralih ke penerapan teknologi, Indonesia masih jauh tertinggal oleh
negara-negara agraris di Asia seperti Jepang, India, bahkan Thailand. Salah satu

contoh penerapan teknologi pertanian yang baik dan modern terdapat di negara
Jepang. Hampir seluruh aktivitas pertanian di Jepang menggunakan teknologi dan
mekanisasi. Salah satu contohnya adalah sistem pengairan yang memanfaatkan air
dari dalam tanah dan dipompa menggunakan tenaga listrik yang dihasilkan oleh
panel surya.
Sementara itu petani di India sudah banyak yang menggunakan mesin
Rice Transplanter, sebuah alat penanam benih padi secara otomatis menggunakan
tenaga mesin penggerak. Dengan menggunakan Rice Transplanter, petani dapat
menghemat tenaga serta waktu untuk menanam benih padi di lahan. Jika petani
menggunakan mesin tersebut, waktu yang diperlukan untuk menanam benih di
satu petak sawah seluas 10 hektar hanya beberapa jam saja sedangkan jika
menggunakan tenaga manual maka waktu untuk menanam benih padi saja bisa
sampai beberapa hari.
Penerapan teknologi pertanian di Indonesia sendiri masih dirasa kurang.
Hal ini karena teknologi dan mekanisasi yang berbasis pertanian hanya bisa
dirasakan oleh sebagian kecil petani serta sebagian besar industri perkebunan dan
pertanian. Keterbatasan lahan dan biaya yang dimiliki petani menjadi salah satu

8


kendala dalam hal penerapan teknologi pertanian. Lahan yang dimiliki petani di
Indonesia terlalu sempit untuk mesin-mesin pertanian seperti yang ada di Jepang
maupun India sehingga tidak bisa beroperasi dengan baik. Selain itu, hambatan
juga terjadi karena sebagian besar petani di Indonesia masih belum bisa menerima
modernisasi pertanian karena masih terbiasa bercocok tanam dengan cara-cara
tradisional. Selain itu, masih banyak petani yang takut akan berbagai
kemungkinan yang terjadi karena penerapan teknologi modern dalam bidang
pertanian. Misalnya saja pengurangan tenaga kerja karena penggunaan teknologi
mekanisasi tidak membutuhkan banyak tenaga untuk pengoperasiannya.
Sebenarnya sudah banyak ahli mesin pertanian di Indonesia yang memulai
usaha pembuatan alat dan mesin pertanian yang tepat guna bagi petani Indonesia.
Produk alat dan mesin yang dihasilkan tidak jauh berbeda kualitasnya dengan
produk hasil luar negeri. Namun, masih banyak masalah yang melingkupi bidang
ini sehingga sebagian besar alat dan mesin pertanian sulit untuk dijual di pasar
secara bebas. Kurangnya dukungan dari petani, pemerintah pusat, dan pemerintah
daerah menjadi salah satu penyebabnya. Akibatnya para produsen alat dan mesin
pertanian dari dalam negeri tersebut masih menemui kesulitan untuk dapat
mengembangkan produknya.
Melihat banyaknya permasalahan yang terjadi di lahan pertanian, tidak
mengherankan apabila pengadaan pangan di Indonesia masih bergantung pada

produk impor. Pada tahun 2011, data yang diperoleh Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan bahwa impor beras Indonesia dari Thailand, Vietnam, Tiongkok,
Pakistan, dan Amerika Serikat (AS) mencapai 2,75 juta ton dengan nilai US$ 1,5
miliar atau 5% dari total kebutuhan dalam negeri. Sementara itu volume impor

9

kedelai tercatat 60% dari total konsumsi dalam negeri yaitu sekitar 3,1 juta ton
dengan nilai US$ 2,5 miliar (http://www.kemenperin.go.id/artikel/3845/DefisitPangan-US$-9,2-M).
Munculnya permasalahan terkait dengan konversi lahan pertanian ke
nonpertanian juga bisa menghambat kesiapan pertanian Indonesia menghadapi
MEA. Alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian dinilai sudah tak
terkendali, menyusul pesatnya perkembangan sektor industri dan pemukiman di
Indonesia. Setiap tahun diperkirakan 80 ribu hektar lahan pertanian hilang.
Menurut Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan Ditjen PSP Kementerian
Pertanian Republik Indonesia, Tunggul Imam Panuju, regulasi tentang alih fungsi
lahan harus dijalankan secara ketat dan terkontrol mulai tingkat pusat sampai ke
daerah. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, diperkirakan tahun 2025 nanti luas
lahan sawah di Indonesia hanya akan tersisa dua juta hektar. Jika hal ini dibiarkan
maka akan berdampak pada menurunnya produktivitas sektor pertanian. Dengan
demikian cita-cita Indonesia sebagai negara swasembada pangan akan semakin
sulit untuk terwujud. Justru sebaliknya akan mengancam ketahanan pangan
nasional (http://www.pikiran-rakyat.com/node/263653).
Keadaan seperti ini menjadi sebuah pukulan terhadap bangsa Indonesia
terutama pemerintah yang dituntut untuk bisa mengembalikan negara ini menjadi
negara swasembada pangan. Keterpurukan Indonesia di sektor pertanian menjadi
sinyal yang kurang baik bagi Indonesia ketika memasuki era MEA. Apabila
keadaan seperti ini terus berlanjut, sektor pertanian Indonesia diperkirakan akan
sulit bersaing di kawasan Asia Tenggara. Namun, Indonesia masih memiliki
harapan untuk tetap bersaing di pasar bebas MEA. Sektor pertanian memiliki

10

beberapa strategi untuk menghadapi persaingan dengan negara-negara tetangga.
Salah satunya strategi yang disiapkan oleh KADIN Indonesia yang disampaikan
dalam PENAS Petani dan Nelayan XIV tahun 2014. Salah satunya adalah
prioritas pengembangan agroindustri yang memiliki daya saing relatif lebih baik
dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya diantaranya produk berbasis kelapa
sawit, kakao, dan karet; ikan dan produk olahannya; makanan dan minuman;
hortikultura; pupuk dan petrokimia; serta mesin peralatan pertanian yang
digunakan untuk meningkatkan produksi.
Disamping itu ada beberapa usulan mengenai langkah-langkah persiapan
menghadapi MEA 2015. Pertama, mengintensifkan sosialisasi MEA 2015 kepada
stakeholder industri, koperasi, dan petani. Kemudian mengaktifkan kegiatan besar
sektor agroindustri di dalam negeri dan luar negeri. Percepatan pemberlakuan
safeguard dan antidumping bagi produk impor tertentu yang bisa merusak industri
dalam negeri. Percepatan pembangunan resi gudang, cold storage, dan tempat
pengering dengan fasilitas pemberian insentif. Memasukkan unggas ke dalam
Sensitive List. Penguatan industri kecil dan menengah. Mengembangkan
wirausaha baru industri kecil dan menengah. Mewujudkan inovasi pembiayaan
agribisnis

serta

menyusun

jaringan

database

yang

mudah

diakses

(http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/bahanseminarkadinpenas.pdf).

3. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa
beberapa sektor pertanian Indonesia masih kurang siap untuk menghadapi MEA

11

2015 terutama untuk bahan pangan pokok. Indonesia masih belum mampu
bersaing dengan Thailand dan Vietnam dalam hal swasembada bahan pangan
pokok di dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan pokok saja
Indonesia masih harus mengimpor dari kedua negara tersebut.
Indonesia harus melakukan perbaikan dalam sistem, mekanisasi,
pengelolaan lahan, pengolahan produk, dan tenaga pertaniannya. Pemerintah
harus berusaha agar sektor bahan pangan pokok tidak hanya dikuasai oleh swasta
nasional maupun multinasional. Pemerintah harus berani tegas agar sumberdaya
alam pertanian Indonesia tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi maupun
kelompok. Semua lapisan masyarakat di Indonesia juga harus ikut membantu
tugas pemerintah dalam mengawasi kebijakan terkait bidang pertanian dan
melaksanakan peranannya masing-masing. Namun di balik itu semua, Indonesia
beruntung masih memiliki sektor perikanan dan perkebunan yang siap bersaing
dengan negara-negara lain di ASEAN. Meskipun masih butuh banyak perbaikan
tetapi hal itu sudah memberi rasa optimisme bahwa Indonesia mampu bersaing
secara kompetitif di pasar bebas MEA.