BOOK REVIEW HUKUM DIPLOMATIK TEORI DAN K

REVIEW BUKU HUKUM DIPLOMATIK : TEORI DAN KASUS
Ikhda Zikra
(8111416096)
ikhdazikra@students.unnes.ac.id
DATA BUKU
Nama/Judul Buku
Penulis
Penerbit
Tahun Terbit
Kota Penerbit
Bahasa Buku
Jumlah Halaman
ISBN

: Hukum Diplomatik Teori Dan Kasus
: Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo
: P.T. Alumni
: 2013
: Bandung
: Bahasa Indonesia
: 300 Halaman

: 978-979-414-451-0

HASIL / PEMBAHASAN REVIEW
Sebelum membedah isi buku ini penulis terlebih
dahulu
akan
mendeskripsikan
sosok
Pengarang/Penulis buku yang bertajuk “Hukum
Diplomatik Teori Dan Kasus” ini, beliau adalah Prof.
Dr. Sumaryo Suryokusumo. Sekilas tentang Profl
beliau yang mulai merintis kariernya dalam Dinas
Diplomatik Indonesia sejak awal tahun 1960-an
dengan pengangkatan pertamanya sebagai Atase
pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra,
Australia dan merangkap di Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Selandia Baru yang kemudian diangkat
Kembali sebagai sekreariat III
sebelum beralih
kembali ke Departemen Luar Negeri pada tahun

1963. Kemudian pada tahun 1995 beliau diangakat
kembali menjadi Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh RI untu Republik
Austria dan Slovenia dan bersamaan dengan itu beliau juga diangkat sebagai
Wakil Tetap Republik Indonesia pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
organisasi-Organisasi Internasional lainnyadi Wina, Austria.
Selain profesinya sebagai seorang mantan Diplomat ternyat beliau juga
pernah menjdai Guru Besar dalam bidang Hukum Internasional dan Hukum
Diplomatik pada Fakultas Hukum dan Program Pasca Sarjana Universitas
Padjajaran di Bandung, serta pernah menduduki jabatan sebagai Hakim Agung
Ad-Hoc HAM pada Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Demikaian sekilas
biograf beliau yang banyak sedikitnya telah menjelaskan tentang kemilauan
prestasi beliau dalam dunia hukum khususnya dalam Hukum Diplomasi dan
tentunya ini menjadi modal awal sebagai daya tarik pembaca untuk membaca
dan menggali lebih dalam buku ini, mengingat buku ini tergolong buku yang
mendapat banyak perhatian oleh kalangan pembaca khususnya dalam konteks
ilmu hukum diplomasi karena penulis buku ini telah memiliki reputasi dan prestasi
yang luar biasa hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara beliau menjelaskan
substansi materi yang terlihat seakan-akan sebuah rangkaian kronologis

kehidupan nyata yang membuat pembaca dapat merasakan langsung perasaan

penulis dalam buku ini dan yang menjadi poin pentingnya adalah penggalan dan
penggunaan diksinya yang tidak terlalu flsafatis membuat pembaca dapat
mencerna isi demi isi tulisan buku ini dengan cepat. Materi yang dijelaskan dalam
buku ini sangat runtut sehingga pembaca menikmati alur Materinya dengan baik
sehingga pembaca tidak perlu berbolak-balik memahami isi buku ini hanya karena
alur maju mundur yang digunakan oleh penulisnya mulai dari penjelasan terkait
Pengertian dari Hukum Diplomasi dan Landasan teorinya yang memperkuat
gagasan. Dasar-dasar materi dapat dipahami pembaca untuk lanjutan materi
berikutnya tentunya menjadi alasan tersendiri bagi penulis untuk melakukan
review buku terhadap buku ini yang akan penulis uraikan sebagai berikut:
Buku ini telah menjadi jawaban atas pertanyaan dan kebutuhan besar kaum
pelajar/mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas Hukum yang akan lebih di
pesifkasikan lagi dalam lingkup kekhususan Hukum Transnasional dan
Diplomatik, karena kekurangan dan masih jarangnya kepustakaan mengenai
Hukum Diplomatik ini sendiri. Selain itu buku ini sangat cocok digunakan bagi
mahasiswa yang berniat untuk berkecimpung didunia Diplomatis sebagai calon
Diplomat yang akan menjalankan tugasnya di Luar Negeri dan siapa saja yang
tertarik dalam seluk-beluk Hukum Diplomasi dan Konsuler.
Buku ini tidak hanya menjelaskan tentang praktik dan bentuk hubungan
Internasional antar negara secara umum yang tecangkup dalam Hukum

Diplomatik. Namun juga berusaha mengembangkan teori khususnya yang lebih
dititik beratkan pada segi hukum internasional seperti prinsip kesepakatan
bersama (Principle of Mutual Consent), prinsip timbal balik (Principle recipropicity)
prinsip komunikasi bebas (Principle of Free Communication), prinsip tidak dapat
diganggu gugat (Principle Inviolability), prinsip layak an umum (principle pf
reasonable and normal), prinsip ekstrateritorial (principle of extraterritoriality),
dan prinsip-prinsip lainnya yang berhuungan dan penting dalam hubungan
diplomatik antar negara didunia.
Walaupun hukum diplomasi ini melibatkan banyak instrument hukum
internasional seperti Konvensi Wina tahun 1961, 1963,dan 1975, Konvensi New
York 1969, dan 1973 serta instrument Hukum Internainl lainnya. Namun, arah
pandang pandang dan pembahasan buku ini lebih memfokuskan dirinya pada
Konvensi Wina tahun1961 mengenai Hubungan Diplomatik. Meskipun demikian,
guna adanya suatu komparasi (perbandingan) lebih lanjut dalm buku ini telah
dilampirkan pula instrument-instrument pendukung tersebut yang dianggap
relevan dengan Hukum Diplomatik.
Lebih jauh buku ini berbicara mengenai berbagai aspek hukum diplomatik
yang penting yaitu tidak diganggu gugatnya para pejabat diplomatik yang
berada disuatu negara meliputi tempat tinggalnya termasuk gedung perwakilan
dan rumah kediaman Kepala Perwakilan, Kewajiban-kewajiban hukum baik bagi

negara pengirim maupun negara penerima, pembatasan-pembatasan secara
hukum bagi yang menikmati kekebalan dan kesitimewaan diplomatic/ penerimaan
dan penolakan dalam pengangkatan para Diplomat termasuk Duta Besar (persona
Grata dan Persona Non Grata), pemberian suaka politik dan diplomatic dan
lainnya.
Disamping itu berbagai kasus hukum diplomasi yang terjadi dalam lalulintas hubungan hukum Internasional juga diangkat didalam buku ini sehingga

pembaca tidak hanya kabur pada landasan-landasan teori yang abstrak namun,
juga didukung oleh fakta-fakta konkret untuk memperjelas atau meneguhkan
teori tersebut, selain itu dengan adanya kasus itu pembaca dapat mudah
memahami substansi materi sehingga tidak mengawang-ngawang pada sesuatu
konsep berpikir yang abstrak, baik kasus yang melibatkan perwakilan Diplomat
Indonesia maupun perwakilan Diplomatik Asing turut serta dalam memberikan
sumabangsih dalam perkembangan Hukum Diplomastik di Indonesia.
Warna sumber dalam buku ini semakin terpancar dengan adanya masukanmasukan materi dari pewakilan diplomatik asal luar negeri (asing) sehingga tidak
hanya terpaku pada pengalaman-pengalaman keemasan para Diplomat dalam
negeri akan tetapi juga melibatkan pengaruh teori dan konsep berpraktik dalam
dunia diplomasi tentunya menjadi daya simpatik tersendiri untuk menarik minat
pembaca khususnya bagi mahasiswa fakultas hukum yang tengah
mempersiapkan diri menjadi calon diplomat atau yang menggemari seluk-beluk

ilmu hukum diplomasi .Secara substansial pada bab dua buku ini kita akan
menelaah lebih lanjut mengenai Kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang
akan tetap berlangsung sampai diplomat mempunyai waktu sepantasnya
menjelang keberangkatannya setelah menyelesaikan tugasnya di suatu negara
penerima. Namun negara penerima setiap kali dapat meminta negara pengirim
untuk menarik diplomatnya apabila ia dinyatakan persona non grata. Kekebalan
dan keistimewaan bagi perwakilan asing di suatu negara pada hakikatnya dapat
digolongkan dalam tiga kategori, yaitu dengan membedakan sifat kekebalan dan
keistimewaan yang keduanya diberikan kepada perwakilan diplomatik.
Pertama, kekebalan tersebut meliputi tidak diganggu-gugatnya para
diplomat termasuk tempat tinggal serta miliknya seperti yang tercantum di dalam
Pasal-pasal 29, 30, dan 41, serta kekebalan mereka dari yuridiksi baik
administrasi, perdata maupun pidana (Pasal 31).
Kedua, keistimewaan atau kelonggaran yang diberikan kepada para
diplomat yaitu dibebaskannya kewajiban mereka untuk membayar pajak, bea
cukai, jaminan social dan perorangan (Pasal-pasal 33, 34, 35, dan 36).
Ketiga, kekebalan dan keistimewaan yang diberikan pada perwakilan
diplomatik bukan saja menyangkut tidak diganggu-gugatnya gedung perwaklian
asing di suatu negara tersebut arsip dan kebebasan berkomunikasi, tetapi juga
pembebasan dari segala perpajakan dari negara penerima (Pasal-pasal 22, 23, 24,

26, dan 27).
Pada bab berikutnya pembahasan akan lebih spesifk terhadap
implementasi keistimewaan dan kekebalan diplomatik berupa Tidak diganggugugatnya gedung perwakilan asing suatu negara pada hakikatnya menyangkut
dua aspek. Aspek pertama adalah mengenai kewajiban negara penerima untuk
memberikan perlindungan sepenuhnya sebagai perwakilan asing di negara
tersebut dari setiap gangguan. Bahkan bila terjadi keadaan luar biasa seperti
putusnya hubungan diplomatik atau terjadinya konfik bersenjata antara negara
pengirim dan negara penerima, kewajiban negara penerima untuk melindungi
gedung perwakilan berikut harta milik dan arsip-arsip tetap harus dilakukan.
Aspek kedua adalah kedudukan perwakilan asing itu sendiri yang menyatakan
kebal dari pemeriksaan termasuk barang-barang miliknya dan semua arsip yang
ada di dalamnya. Di dalam Konvensi Wina 1961, secara jelas memberikan
batasan bahwa gedung perwakilan merupakan gedung-gedung dan bagian-

bagiannya dan tanah tempat gedung itu didirikan, tanpa memperhatikan siapa
pemiliknya yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut
termasuk rumah kediaman kepala perwakilan.Gedung perkalilan asing tidak dapat
diganggu-gugat, bahwa para petugas maupun alat negara setempat tidak dapat
memasukinya tanpa izin kepala perwakilannya. Namun apabila negara penerima
mempunyai bukti-bukti atau dakwaan yang kuat bahkan fungsi perwakilan asing

tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi
Wina 1961, pemerintah negara penerima dalam keadaan seperti itu dapat
memasuki gedung perwakilan tersebut.
‘‘The premises of the mission must not be used in any manner incompatible
with the function of the mission as laid down in the present convention or by
other rules of general international law or by any special agreements in force
between the sending and the receiving state”.
Persoalan bisa atau tidaknya perwakilan asing dimasuki oleh petugas atau
alat-alat negara setempat dapat pula di ambil suatu kasus di depan Kedutaan
Besar Libya di London pada waktu terjadi unjuk rasa secara tenang pada tanggal
17 April 1989 di mana penembakan telah dilakukan dari dalam gedung sehingga
menewaskan seorang polisi wanita. Setelah terjadi pengepungan, orang-orang
Libya yang ada di dalam telah meninggalkan gedung dan kemudian dilakukan
penggeledahan dengan kehadiran diplomat Arab Saudi. Senjata-senjata dan bukti
lain yang berkaitan dengan peradilan telah ditemukan. Apakah penggeledahan
semacam itu diperbolehkan? Inggris beranggapan bahwa Pasal 45 (a) Konvensi
Wina 1961 tidak berarti bahwa gedung perwakilan itu tetap tidak dapat diganggu
gugat dan hal ini kelihatannya benar. Ada perbedaan antara tidak diganggu-gugat
di bawah Pasal 22 dan menghormati serta melindungi yang tersebut dalam Pasal
45 (a). saran juga telah dipermasalahkan bahwa hak bela diri dapat juga

diterapkan dalam hubungan itu. Hal itu telah digunakan untuk membenarkan
penggeledahan orang-orang yang tinggal di Kedutaan Besar Libya dan
kemungkinannya telah dicatat bahwa dalam keadaan tertentu yang terbatas hal
itu dapat digunakan untuk membenarkan masuknya ke dalam suatu Kedutaan
Besar.Keterwakilan negara yang dianggap suci (sancti habentur legati) tersebut
memang sudah merupakan ungkapan yang sudah lama sekali yang kemudian
menjiwai prinsip tidak diganggu gugatnya misi diplomatik.
Jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik
dengan negara lain melalui suatu instrument atas dasar asas timbal balik
(principle of reciprocity) dan asas saling menyetujui (principle of mutual consent),
negara-negara tersebut sudah harus memikirkan pembukaan suatu perwakilan
diplomatik dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut baik dalam
tingkatnya maupun jumlah anggota staf perwakilan yang telah disetujui bersama
atas dasar asas yang wajar dan pantas (principle of reasonable and normal).
Jika negara pengirim tetap dengan pendiriannya untuk memangkat
seseorang yang tidak dapat merugikan sendiri terhadap maksud dan tujuan yang
akan dicapai, tetapi juga dapat menciptakan situasi yang biasa mempengaruhi
hubungan baik kedua negara tersebut. Pengangkatan seorang Duta Besar di
suatu negara penerima oleh negara pengirim terlebih dahulu harus dimintakan
persetujuan (agreement) dari negara penerima.


Pengangkatan Duta Besar dan Atase Pertahanan yang memerlukan
persetujuan terlebih dahulu sebagai orang-orang yang dapat diterima untuk
memangku jabatan-jabatan tersebut (persona grata).
Jika negara penerima menganggap bahwa seseorang itu tidak dapat
diterima karena kegiatan-kegiatan dan kecenderungan-kecenderungan politiknya
di masa lampau atau latar belakang lainnya, negara penerima dapat
memberitahukan kepada negara pengirim ketidak setujuannya untuk menerima
pengangkatan ambassador designate melalui sebuah anggota diplomatik yang
menyatakan calon tersebut sebagai persona non grata. Penolakan agreement
bagi calon Duta Besar oleh negara penerima tidak perlu diberikan alasan apapun,
sebaliknya negara pengirim juga tidak perlu untuk menanyakan alasan penolakan
untuk memberikan agreement tersebut. Hal tersebut tertuang pada Pasal 4 (1)
dan Pasal 9 (1) Konvensi Wina.
Penolakan untuk menerima seorang calon Duta Besar dengan pertimbangan
kondisionalitas politik seperti “Kondisi hak-hak azasi manusia di suatu negara”
terjadi dalam kasus pencalonan Duta Besar Indonesia untuk Australia yaitu Letnan
Jenderal HBL Mantiri. Walaupun agreement telah diberikan oleh Australia
kepadanya, namun akhirnya dengan “Peristiwa 12 November di Dili” yang dinilai
merupakan pelanggaran hak-hak azasi manusia sehingga mengakibatkan

pembatalan pencalonan tersebut oleh Indonesia.
Dilanjutkan dengan pembahasan perlindungan hak diplomatik pada bab
terakhir buku ini dengan mengangkat kasus Persetujuan pemerintah Australia itu
telah dipertegas lagi pada tanggal 9 juni 1995 oleh Perdana Menteri Australia Paul
Keating di Parlemen Australia dengan menegaskan bahwa pemerintahannya tidak
melihat situasi apapun dimana harus menolak pencalonan HBL Mantiri: “There
are no circumstances that I can see where we would or should reject a nomination
by the President”. “It is the right of every government to choose its own
ambassador and propose the candidate to the government of the country where
the candidate is seldom rejected except in the most extraordinary
circumstances”. Konvensi Wina 1961 tidak memuat ketentuan-ketentuan
mengenai suaka, meskipun Pasal 41 (3) menyebutkan tentang “persetujuan
khusus” yang dapat memberikan peluang terhadap pengakuan secara bilateral,
hak untuk memberikan suaka kepada pengungsi poltik di dalam Pasal 41 (3)
tersebut dibuat sedemikian samar agar memungkinkan suaka diplomatik
diberikan diberikan baik atas dasar instrumen yang ada maupun hukum
kebiasaan. Instrumen yang dapat di ambil sebagai contoh misalnya, Konvensi
Caracas 1954 yang memberikan hak kepada para pihak untuk memberikan suaka
di wilayah negara-negara pihak lainnya. Dalam tahun 1973, misalnya, tatkala
terjadi coup d’etat di Chile, lebih dari 1000 orang yang ada keterlibatan dengan
penggulingan pemerintah Allende telah masuk di berbagai Keduataan Besar Asing
untuk meminta tempat perlindungan, 300 di antaranya berada di Kedutaan Besar
Mexico, 250 orang di Kedutaan Besar Panama dan 100 orang berada di Kedutaan
Besar Venezuela. Walaupun selama ini Konvensi Caracas yang merupakan satusatunya perjanjian yang mengakui pemberian suaka, namun dalam praktiknya
banyak negara yang melakukannya atas dasar hukum kebiasaan.
Berapa lama kepada para pengungsi atau pelarian politik dapat diberikan
perlindungan atau suaka di gedung perwakilan asing yang berada di suatu
negara? Masalah ini juga tidak di atur dalam prinsip-prinsip hukum diplomatik

atau hukum kebiasaan internasional. Para pengunjuk rasa dari Timor Timur telah
berada di dalam lingkungan Kedutaan Besar Amerika Serikat selama 12 hari.
Dalam bulan November 1979, Pemerintah Argentina telah memberikan
perlindungan terhadap bekas Presiden Campora yang telah diberikan suaka di
Kedutaan Besar Argentina di Mexico dan berada di sana lebih dari 3 tahun (19761979). Lebih lama lagi terjadi di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Budapest
pada waktu diberikan suaka kepada Kardinal Mindszenty, seorang Uskup Besar
Katolik Hongaria dalam tahun 1975 diizinkan untuk meninggalkan Gedung
Kedutaan Besar terbang menuju Roma 19 tahun kemudian. Hal yang tidak kalah
menarik adalah dengan adanya istilah-istilah diplomatik yang akan mempercaya
kosakata kita dalam persistilahan yang ada dalam hukum diplomasi kemudian
tidak lupa pula ditambahakan lampiran-lampiran pada lembaran terakhir buku ini
meliputi mengenai beberapa hal, yaitu:
1. Vienna Convention on Diplomatic Relation and Optional Protocols;
2. Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocols;
3. Vienna Convention on Special Mission and Optional Protocols;
4. Vienna Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Againts
Internationally Protected Person, Including Diplomatic Agents;
5. Vienna Convention on the Representation of States in Their Relation with
International;
6. Organization of a Universal Character Resolution of the United Nations
General Assembly.
Menyikapi kelebihan-kelebihan dalam buku yang bertajuk “Hukum
Diplomasi Teori Dan Kasus” ini, ternyata terdapat beberapa kekurangan yang jika
dibandingkan dengan kelebihannya akan memiliki presentase yang jauh lebih
sedikit yakni sekitar 15% dari total keseluruhan isinya. Diantaranya kekurangan
buku ini adalah hanya terfokus pada pembahasan Konvensi Wina tahun1961 dan
1963 sementara konvensi-konvensi diatas hanya terkesan sebagai faktor
pelengkap saja karena tidak adanya pembahasan lebih lanjut tekait konvensikonvensi yang telah dijabarkan tersebut diatas.
Kemudian dari total 300 jumlah halaman keseluruhan muatan materi ini
ternyata hanya 52% saja yakni hanya sampai pada halaman 1-160 kemudian
pemabaca hanya akan melihat lampiran konvensi-konvensi yang tidak diberi
penjelasan lebih lanjut dan menggunakan bahasa inggris yang tentunya
menyulitkan pembaca yang kurang berkompeten dalam berbahasa inggris
seharusnya perlu di tambahkan konvensi-konvensi yang telah diserap dan
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia agar mudah dipahami. Demikianlah
hasil review buku ini, akhir kata penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa karena dalam rentang waktu 7 hari penulis telah menyelesaikan
pengkajian buku ini yang telah penulis rangkum dalam bentuk upaya mengkritisi
isi buku ini sebagai bentuk review buku yang bertujuan untuk menambah
wawasan penulis dan pembaca khususnya dalam lingkup jurusan ilmu hukum,
sekaligus pemenuhan nilai mata kuliah Hukum Internasional.