BAB I PENDAHULUAN - Etos Kerja dan Gaya Hidup Masyarakat Slum Area di Kota Medan ( Studi Kasus di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimoon )

       

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak tahun 2003, terjadi perkembangan penduduk dunia yang demikian pesat. Tercatat po

  pulasi penduduk dunia saat ini telah mencapai 6,5 miliar jiwa. Jumlah tersebut akan terus bertambah sehingga pada tahun 2050 diperkirakan mencapai angka 9 miliar. Hal yang menarik bahwa perkembangan penduduk perkotaan ternyata juga meningkat sangat tajam. Pada tahun 2008, batas psikologis 50 persen telah terlampaui. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2010, penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan telah mencapai 118 juta atau sebesar 49,8% dari seluruh penduduk Indonesia. Angka tersebut cukup fantastis, dengan membandingkan kondisi tahun 1950 yang hanya 14,62 juta atau sekitar 12,4% penduduk yang tinggal di perkotaan. Jadi hanya dalam waktu 60 tahun separuh penduduk Indonesia telah bertempat tinggal di wilayah perkotaan. Telah menjadi semacam ge jala yang lazim di perkotaan bahwa pertambahan penduduk akan diikuti pertumbuhan kawas an kumuh ( Slum Area ). Bertambahnya luas kawasan kumuh ( Slum Area ) disebabkan oleh banyak faktor. Antara lain urbanisasi penduduk, tidak tersedianya ruang yang cukup untuk permukiman di kota, ketidakmampuan finansial warga untuk membangun rumah yang layak, serta degradasi permukiman menjadi padat dan kumuh. Faktor penyebabnya begitu kompleks dan saling kait mengait, dalam studi repository usu ( http://reposit ory.usu.ac.id/bitstream/123456789/27046/4/Chapter%20I.pdf ).

  

 

 

  Menurut data BPS 2009, kawasan kumuh ( Slum Area ) di Indonesia tercatat seluas 57.800 hektar pada tahun 2009. Angka ini naik dari tahun 2004 yang luasnya 54.000 hektar. Dalam rentang lima tahun, kawasan kumuh ( Slum Area ) bertambah menjadi 3.800 hektar. Walaupun menurut BPS jumlah masyarakat miskin menurun dari 35 juta jiwa pada tahun 2008 menjadi 32,5 juta jiwa pada tahun 2009. Namun, kawasan kumuh ( Slum Area ) justru semakin meningkat. Berdasarkan data BPS 2008, terdapat 26,9 juta unit rumah yang tidak layak huni di Indonesia, baik yang semi permanen maupun tidak permanen. Jumlah rumah yang tidak terlayani air bersih sebanyak 9,7 juta unit. Sedangkan rumah yang tidak mendapatkan listrik sebanyak 3,9 juta unit dan yang tidak terlayani jamban sebanyak 10,5 juta unit. Untuk menata kawasan kumuh ( Slum Area ), yang paling diperlukan adalah perumahan dan pengendalian alih fungsi, memperbaiki kondisi lingkungan, pemugaran kondisi bangunan, pemeliharaan lingkungan, dan peremajaan terutama daerah kawasan industri yang merupakan kawasan identik dengan lingkungan kumuh dikarenakan kurangnya tempat tinggal bagi para pekerja sehingga menciptakan kawasan kumuh ( Slum Area ) di daerah tersebut.

  Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia, setelah Jakarta dan Surabaya. Perkembangan kota medan juga telah melampaui batas wilayah administratifnya. Kota Medan terus berkembang baik dari segi pembangunan (sarana dan prasarana) maupun jumlah penduduk ( Sirojuzilam, 2011: 152 ). Pada tahun 2010, penduduk Kota Medan mencapai 2,1 juta jiwa. Dibanding hasil sensus penduduk tahun 2005 terjadi pertambahan penduduk sebesar 100.000 jiwa ( 0,5 % ). Data tersebut menunjukkan kota Medan belum terlepas dari masalah kekumuhan.

  Pemukiman kumuh banyak dijumpai di beberapa kecamatan seperti di Medan Belawan, Medan Labuhan, Medan Marelan, Medan Tembung, Medan Denai, Sunggal, Medan Maimoon, dan Medan Johor. Kawasan kumuh ( Slum Area ) di sebelah Selatan kota Medan banyak ditemukan

  

 

 

  pemukiman kumuh, khususnya di bantaran Sungai Deli. Sedangkan di pusat kota ada di bantaran sungai Babura dan daerah pinggir rel kereta api misalnya di sepanjang Jalan Sutomo - Jalan Thamrin. Hingga pada tahun 2010, luas wilayah kawasan kumuh ( Slum Area ) di Medan mencapai 462,3 hektar di 8 (delapan) kecamatan. Daerah tersebut mencakup 8 ( delapan ) kecamatan yakni Medan Area dengan luas daerah kumuh 27,55 Ha dengan 1.625 masyarakat miskin, Medan Denai 110,4 Ha dengan 6.849 masyarakat miskin, Medan Perjuangan 18,30 Ha dengan 1.067 warga miskin, Medan Belawan 65,35 Ha dengan penduduk miskin 17.716 warga, Medan Deli 116,2 Ha dengan penduduk miskin 25.280 warga, Medan Labuhan 60,5 Ha dengan penduduk miskin 20.599 warga dan Medan Marelan 35 Ha dengan penduduk miskin 11.931 warga, Medan Maimoon 39 Ha dengan penduduk miskin 3.134 warga. Sebagian masyarakat miskin selalu menempati kawasan kumuh ( Slum Area ) yang berada di sekitar kota Medan ataupun kota-kota di Indonesia. ( Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara / BPS Statistics of Sumatera Utara Province 2010 )

  Kemiskinan pada masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) sangat erat kaitannya dengan etos kerja masyarakat kumuh. Etos kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan, sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.

  Seseorang yang memiliki etos kerja tinggi dan positif akan terus berusaha untuk memperbaiki dirinya, sehingga nilai pekerjaannya bukan hanya bersifat produktif materialistik tapi juga melibatkan kepuasaan spiritualitas dan emosional. Sebaliknya seseorang yang memiliki etos kerja rendah dan negatif tidak akan berusaha untuk memperbaiki dirinya, sehingga nilai pekerjaannya tidak bersifat produktif materialistik dan tidak mempunyai kepuasaan spiritualitas

  

 

 

  dan emosional. Dalam studi ilmiah 2011 Putra Indonesia ( http://www.putra-putri- indonesia.com/pengertian-etos-kerja.html ).

  Masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh di beberapa kecamatan kota Medan, identik dengan masyarakat miskin. Kemiskinan itu terlihat dari kondisi fisik rumah yang berupa jenis lantai, jenis dinding, jenis atap, dan ventilasi, serta keberadaan lokasi dan situasi rumah, tempat pembuangan sampah, tempat MCK, sumber air bersih yang biasa digunakan, luas rumah yang ditempati, dan status kepemilikan lahan. Namun terkadang sebagian besar masyarakat miskin memiliki gaya hidup yang tinggi. Fenomena ini terjadi sebagai akibat dari arus globalisasi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Globalisasi telah memunculkan gaya hidup dan konsumtivisme yang kerap mengundang keprihatinan ( Bahtiar, 2002 ).

  Hal tersebut terlihat pada masyarakat di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimoon. Kelurahan Sei Mati terletak di kota Medan, tepatnya di sekitaran jalan Brigdjen Katamso. Kelurahan Sei mati berbatasan dengan kelurahan Sukaraja, kelurahan Teladan Barat, kelurahan Kampung Baru, dan kelurahan Suka Dame. Secara geografis, luas kelurahan Sei Mati adalah 23 Ha. Areal tanah kelurahan Sei mati dimanfaatkan sebagai pemukiman, areal kuburan, areal perkarangan, dan areal perkantoran.

  Pada Gang Ksatria kelurahan Sei Mati, areal pemukiman dan areal kuburan lebih terfokuskan. Dengan luas wilayah Gang Ksatria hanya 6 Ha, diantaranya 2,5 Ha adalah luas areal perkuburan, dan luas 3,5 Ha dihuni oleh 176 Kepala Keluarga. Jumlah keseluruhannya 984 jiwa yang terdiri dari laki – laki sejumlah 446 jiwa dan perempuan 538 jiwa. Dari 176 kepala Keluarga yang ada di Gang Ksatria, beberapa masyarakat menempati tanah wakaf yang semestinya dipakai untuk perkuburan Mandailing. Selain tempat tinggal masyarakat yang ilegal, masyarakat yang tinggal di salah satu permukiman kumuh ini mayoritas bekerja di sektor

  

 

 

  informal antara lain sebagai buruh bangunan, pedagang asongan di lampu merah, penjahit keset kaki, cleaning service di ponsel dan tukang parkir.

  Sedangkan parit dan gorong-gorong penuh dengan sampah, toilet umum tidak terawat dan tidak dimanfaatkan, akhirnya masyarakat banyak yang membuang air kecil dan besar langsung ke sungai. Sungai menjadi kotor dan keruh, serta sampah bertumpukan di bibir sungai. Padahal sehari – hari sungai ini digunakan untuk mandi , menyuci piring, dan bahkan juga membilas pakaian serta sayuran. Lokasi rumah yang rapat, minimnya sirkulasi cahaya dan udara. Rumah yang sempit, tata ruang yang tidak berfungsi semestinya ( multi fungsi ) jika pagi dijadikan sebagai ruang tamu, dan malam menjadi ruang tidur. Akses jalan yang tidak merata, berliku – liku dan berkelok – kelok seperti jalan tikus. Daerah ini rentan terkena banjir, karena dekat dengan bibir sungai serta tumpukan sampah yang berserakan. Hal ini menunjukkan betapa kumuhnya daerah ini.

  Dalam kegiatan sehari-hari, masyarakat Gang Ksatria terlihat seperti tidak mempunyai kegiatan yang dinamis dan terlihat stagnan. Pada pagi hari, Ibu – ibu pergi ke sungai menyuci dan mandi, sedangkan bapak - bapaknya ada yang duduk menikmati kopi dan gorengan namun ada juga yang bersiap untuk pergi bekerja, dan anak remajanya belum terbangun. Pada siang hari, aktifitas ibu - ibunya hanya duduk-duduk dan bercerita sesama ibu - ibu yang lain, sedangkan beberapa bapak - bapaknya yang tidak bekerja beserta anak remajanya, berkumpul dalam suatu tempat untuk bermain billiard dan bermain kartu serta aktifitas tersebut berlanjut hingga malam hari. Sedangkan bapak-bapaknya yang bekerja pada siang hari, setibanya pulang ke rumah, mereka akhirnya hanya duduk - duduk, terkadang berkumpul dengan bapak - bapak yang tidak bekerja dan menikmati kopi dan gorengan di kedai. Kemudian, daerah ini juga dijumpai para lelaki dan para perempuan usia produktif yang tidak memiliki pekerjaan (

  

 

 

  pengangguran ). Selain dari hasil pengamatan penulis, hal ini senada dengan yang dikemukakan Ibu Kepala Lingkungan XII / Gang Ksatria, yaitu :

  “ Anak lajang dan gadis di sini yang tamatan Sekolah Dasar mayoritas pengangguran. Itu karena dulu mereka tidak suka untuk sekolah, lebih bagus membantu bapaknya berjualan. Pada akhirnya mereka banyak menghabiskan waktu di tempat billiard dan berleha – leha di depan tv. Mereka itu kebanyakan pendatang, dan sangat susah untuk mendapatkan pekerjaan. “ Sumber wawancara dengan Ibu Mursida, 02 Februari 2014 ) (

  Hal ini menjadi suatu pemandangan yang biasa di daerah ini dan fenomena yang biasa juga dianggap oleh masyarakat.

  Hal ini menunjukkan bahwa betapa kumuh dan rendahnya mata pencaharian serta kurangnya keinginan untuk giat dan ulet bekerja pada masyarakat di kawasan Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati. Meskipun sempitnya areal pemukiman yang mereka tempati dengan bentuk rumah yang tidak tertata, dan rendahnya mata pencaharian masyarakat Gang Ksatria namun terkadang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melebihi batas kewajaran seperti mempunyai peralatan rumah yang mewah dan barang-barang elektronik yang mahal yaitu memiliki handphone berjenis smartphone, mesin cuci, tv ( rata – rata 23 inci ) , kipas angin, kulkas dan ketika membuat suatu acara seperti acara pernikahan, acara ulang tahun, masyarakat di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati merayakannya dengan mewah. Hal inilah yang menggungah penenliti untuk melakukan penelitian ini. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang etos kerja dan gaya hidup pada masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ). Penelitian ini secara sosiologis melihat etos kerja yang rendah tetapi mempunyai gaya hidup

     

  yang tinggi pada masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati kecamatan Medan Maimoon.

  1.2. Perumusan Masalah Masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) merupakan sekelompok individu yang miskin

  yang menempati kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan- bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak huni, seperti pinggiran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan. Meskipun begitu sebagian masyarakat slum area banyak berperilaku konsumtif dan bergaya hidup yang tinggi, dan tidak jarang pendapatan dari hasil kerjanya banyak dihabiskan dengan membeli barang yang tidak penting dibandingkan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jadi, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

  1. Mengapa masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) dengan etos kerja rendah tetapi mempunyai gaya hidup tinggi ?

  2. Bagaimana masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) memenuhi kebutuhan gaya hidup tinggi mereka?

  1.3. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian dibuat untuk mengungkapkan keinginan peneliti dalam suatu penelitian ( Bungin, 2008 : 75 ).

  

 

 

  Maka tujuan penelitian yang hendak di capai melalui penelitian ini adalah : 1.

  Untuk mengetahui masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) dengan etos kerja rendah tetapi gaya hidup tinggi.

2. Untuk mengetahui cara masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) memenuhi kebutuhan gaya hidup tinggi.

1.4. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan ilmiah yang berkaitan dengan masalah etos kerja dan gaya hidup masyarakat slum area di perkotaan serta dapat memberikan masukan bagi instansi terkait di kota Medan berupa informasi dan data pendukung bagi kajian sosiologi khususnya dalam bidang sosiologi perkotaan.

  2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi peneliti berupa fakta-fakta temuan di lapangan dalam meningkatkan daya kritis dan analisis peneliti sehingga memperoleh pengetahuan tambahan dari penelitian tersebut, dan diharapkan menjadi referensi penunjang bagi pihak-pihak yang berkompeten, serta bagi instansi terkait di kota Medan.

1.5. Defenisi Konsep

  Defenisi konsep dalam penelitian ilmiah dibutuhkan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman konsep yang dipakai, maka

  

 

 

  diberikan batasan-batasan makna dan arti konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi konsep-konsep dalam penelitian ini adalah:

  1. Etos Kerja, yaitu totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik.

  2. Gaya Hidup, yaitu pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan.

  3. Perilaku Konsumtif, yaitu suatu perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kencenderungan untuk mengkonsumsi sesuatu tanpa batas dimana individu lebih mementingkan faktor keinginan dari pada kebutuhan serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah berlebihan, pengunaan segala hal yang paling mewah yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik.

  4. Kawasan Kumuh ( Slum Area ), yaitu sebagai suatu kawasan pemukiman atau pun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan- bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman di banyak kota besar, oleh penduduk miskin yang berpenghasilan rendah tetap dijadikan tempat tinggal, seperti pinggiran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan.

  

 

 

  5. Masyarakat Kawasan Kumuh ( Masyarakat Slum Area ), yaitu sekelompok individu yang miskin yang menempati kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni, seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan.

  6. Nilai – nilai sosial, yaitu nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat.

  Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai.

  7. Rentenir, atau sering juga disebut tengkulak adalah orang yang memberi pinjaman uang tidak resmi atau resmi dengan bunga tinggi. Pinjaman ini tidak diberikan melalui, misalnya bank, dan bila tidak dibayar akan diperlukan atau dipukuli. Tengkulak biasanya beroperasi disaat panen gagal, ketika para petani sangat membutuhkan uang namun tidak dapat memberi jaminan kepada bank. Sasaran rentenir lainnya adalah konsumen produk perbankan yang telah dimasukkan ke daftar

  • – hitam karena bermasalah dengan bank ( kredit, macet, dsb ). Atau pengusaha pengusaha kecil menengah yang kesulitan akses permodalan dari bank serta rumah tangga
  • – rumah tangga yang memerlukan dana cepat. Pinjaman dari tengkulak tidak memerlukan jaminan sertifikat rumah atau barang berharga lainnya ( kebanyakan hanya memerlukan KTP atau identitas lainnya ), namun memiliki risiko tinggi.

     

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Etos Kerja Masyarakat Kawasan Kumuh ( Slum Area ) Etos adalah sikap dasar seseorang atau kelompok orang dalam melakukan kegiatan tertentu

  ( Suseno, 1991 : 56 ), Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik.

  Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu ( kelompok ) dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja. Mengingat kandungan yang ada dalam pengertian etos kerja adalah unsur penilaian, maka secara garis besar dalam penilaian itu, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penilaian positif dan negatif. Berpangkal tolak dari uraian itu, maka jika suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:

  1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia yaitu diorientasikan pada ukuran hasil dan kualitas kerja yang lebih baik dan bermutu.

  2. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia.

  3. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.

  

 

 

  4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,

  5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah. Bagi individu atau kelompok masyarakat, yang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu;

  1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri, 2.

  Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia, 3. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan, 4. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,

  5. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup, 6.

  Tidak dapat memisahkan antara waktu bekerja dengan waktu senggang. ( http://www.psychologymania.com/2012/11/pengertian-etos-kerja.html ) Etos atau semangat kerja, merupakan karakteristik pribadi atau kelompok masyarakat yang dipengaruhi oleh orientasi nilai – nilai budaya mereka. Antara etos kerja dengan nilai budaya masyarakat seakan sulit dipisahkan ( Syahrial de Saputra T, 1996 ). Etos ( etika ) kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Agama, dasar pengkajian makna etos kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max

  Weber ( dalam Taufik Abdullah, 1988 : 6 ), Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas yang lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak

     

  seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya, jika ia sungguh- sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan.

  2. Budaya, bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya. Kemudian etos budaya ini secara operasional juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja.

  3. Sosial politik, tinggi atau rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.

  4. Kondisi lingkungan ( geografis ), adanya indikasi bahwa etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.

5. Pendidikan, etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia.

  Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang

  

 

 

  merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi.

  6. Motivasi intrinsik individu, dikatakan individu memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi kerja, yang mempengaruhi etos kerja seseorang. Ini menurut studi yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dalam website (http:www.stan.ac.id/aspek-aspek-etos-kerja-dan-faktor-yang-mempengaruhi).

  Dalam penelitian ini, faktor lingkungan, pendidikan dan motivasi instrik individu yang relevan dalam mengkaji penelitian ini. Menurut Koentjaraningrat ( dalam Sjafri, 2002 : 12 ) dari hasil kajian, mayoritas bangsa Indonesia masih memandang bekerja itu adalah dengan tujuan untuk mencari nafkah dan mendapatkan status sosial. Cukup menarik bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia kata bekerja selalu dikaitkan dengan upaya untuk mengisi perut. Jika seseorang akan pergi bekerja, sering ia mengatakan pergi mencari makan. Hal ini mencerminkan bahwa orientasi nilai budaya bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan kegiatan bekerja hanyalah sekedar untuk mencari nafkah.

  Ini bertentangan dengan kajian Mc Clelland yaitu penyebaran inovasi untuk berprestasi ( kebutuhan untuk berprestasi ). Motivasi untuk berprestasi adalah perjuangan untuk mencapai sukses dengan cara berupaya sendiri dalam situasi yang membutuhkan penilaian pelaksanaan pekerjaan seseorang dalam kaitannya dengan standar keunggulannya. Ada beberapa sikap dan perilaku yang dikaitkan dengan motivasi untuk berprestasi yang dihasilkan oleh sindrom

  

 

 

  kepribadian. Di sini, perilaku, motivasi untuk berprestasi, ternyata berkaitan dengan mobilitas ke atas, frekuensi bepergian, lamanya jam kerja, keinginan untuk mengakumulasi kapital, aspirasi untuk mendidik anak, dan aktivitas berusaha. Disisi sikap terlihat dorongan inovatif, ketinggian rasa tanggung jawab, rencana tindakan, pilihan atas perhitungan rasional dan kesediaan untuk memikul resiko tingkat menengah ( Stzompka, 2004 : 283 ). Namun, dalam penelitian ini masyarakat yang berada di kawasan kumuh sebagian besar memiliki pemandangan bahwa bekerja itu hanya sekedar untuk makan, mengisi sejengkal perut.

2.2. Perilaku Konsumtif Pada Masyarakat Kawasan Kumuh ( Slum Area )

  Menurut Hendro ( 2001 : 48 ) bahwa pemukiman kumuh ( Slum Area ) yang tersebar pada beberapa bagian kota di negara – negara berkembang, khususnya yang terdapat di kota – kota Indonesia. Pusat kota yang terdiri dari taman dan ruang terbuka yang semula cukup banyak tersedia, beralih rupa menjadi bangunan yang makin memperpadat lingkungan. Dalam beberapa kasus paru – paru kota dan menjadi lambang kebanggaan penduduk, terpaksa merelakan diri untuk diubah fungsinya menjadi kawasan pertokoan dan perdagangan. Bertambah luasnya kawasan pertokoan dan perdagangan membuat masyarakat berperilaku konsumtif ( Eko Budihardjo dan Sudanti, 1993 : 5 ).

  Hal tersebut dipengaruhi juga dengan modernisasi. Dalam bidang ekonomi pada modernisasi, ditandai dengan semakin kompleknya kebutuhan manusia akan barang dan jasa.

  Peningkatan konsumerisme, pendapatan, dan konsumsi barang dianggap sebagai simbol peran yang penting ( Sunarto, 2012 : 83 ). Perilaku konsumtif menunjukkan suatu perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kencenderungan untuk mengkonsumsi sesuatu tanpa batas di mana individu lebih mementingkan

     

  faktor keinginan dari pada kebutuhan serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan. Menurut web Abu Daud ( http://abudaud2010.com/2010/12/p engertian-prilaku-konsumtif.html ) menyatakan bahwa perilaku konsumen tidak hanya melibatkan apa yang dikonsumsi seseorang tetapi juga menyangkut di mana, seberapa sering, dan dalam kondisi seperti apa barang dan jasa tersebut dikonsumsi. Seseorang yang konsumtif mempunyai karakteristik sebagai berikut :

  1. Membeli produk untuk menjaga status, penampilan, dan gengsi.

  2. Memakai sebuah produk karena adanya unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk tersebut.

  3. Adanya penilaian bahwa dengan memakai atau membeli produk dengan harga yang mahal akan menimbulkan rasa percaya diri.

  4. Membeli produk dengan pertimbangan harga bukan karena manfaat dan kegunaannya.

  5. Membeli karena kemasan produk yang menarik.

  6. Membeli produk karena iming-iming hadiah.

  7. Mencoba produk sejenis dengan dua merk yang berbeda. Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif ( tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, atau bersikap ) maupun aktif ( melakukan tindakan ). Konsumtifisme, dalam pandangan ekonomi adalah gaya hidup yang mengutamakan keinginan untuk mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Sifat ini cenderung mengabaikan faktor pendapatan dan

  

 

 

  ketersediaan sumber daya ekonomi, yang seharusnya menjadi pertimbangan utama seseorang sebelum melakukan tindakan konsumsi. Dalam tataran yang lebih luas, jika tidak mampu megendalikan sifat konsumtifisme-nya, tentu akan menjadi bahaya komunal yang sanggup menggulung bangsa ini pada kebangkrutan.

  Dalam perspektif psikologis, pola hidup konsumtif adalah produk kebudayaan hedonis dari sebuah masyarakat yang “ sakit ” atau setidaknya tengah mengalami benturan kebudayaan.

  Pola hidup ini terbentuk secara sadar atau tidak sadar berasal dari pola hidup yang dijalani manusia setiap harinya. Proses pembentukan perilaku manusia, termasuk juga perilaku konsumerisme umumnya berasal dari stimulus yang diterima oleh panca indera melalui proses sosial atau melalui media audio visual yang kemudian terinternalisasi dan membentuk kepribadian. Saat sekarang, pola hidup konsumtifisme sebenarnya secara pelan-pelan sedang diajarkan oleh media, masyarakat dan bahkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Di televisi, majalah dan koran yang setiap hari gencar menayangkan gaya hidup glamour, penuh dengan sikap konsumtif yang dipamerkan terang-terangan.

  Berdasarkan hasil kajian, bahwa “ ukuran seseorang dikatakan sukses apabila ia mampu menumpuk barang-barang mewah di rumah, tanpa peduli apakah barang-barang tersebut diperoleh dengan cara berhutang. Lebih parah lagi, sekolah sebagai penyelenggara pendidikan ternyata ikut memberi andil bagi pembentukan sifat konsumtifisme dengan melegalkan kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti terang-terangan membawa handphone ( HP ). Suasana yang sebaliknya terjadi di perpustakaan-perpustakaan yang sunyi. Budaya konsumtifisme merupakan paradoks atas budaya produktif yang semestinya menjadi kebiasaan bangsa yang tengah merangkak maju seperti bangsa Indonesia. Konsumtifisme yang sifatnya menghabiskan sumber daya, jika tanpa diimbangin kemampuan dan kreativitas berproduksi, hanya akan menggiring

     

  bangsa ini menjadi bangsa yang kalah dalam bersaing dengan bangsa lain, serta berpotensi kehilangan sumber daya ekonomi yang dibutuhkan untuk kehidupan generasi mendatang “, di da lam web Riski ( http://riskiariyani.com/2011/12/01/contoh-prilaku-konsumtif-masyarakat ).

  Dalam penelitian ini, menyebutkan bahwa perilaku konsumtif ini tidak hanya melanda masyarakat kalangan atas, namun ditiru ( diimitasi ) juga oleh masyarakat kalangan bawah.

2.3. Gaya Hidup Pada Masyarakat Kawasan Kumuh ( Slum Area )

  Gaya hidup dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang – lambang sosial. Menurut Piliang ( dalam Agus Sachari , 2007 : 73 ), gaya hidup dapat dipahami sebagai sebuah karakteristik seseorang secara kasatmata, yang menandai sistem nilai, serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Gaya hidup merupakan kombinasi dan totalitas cara, tata, kebiasaan, pilihan serta objek – objek yang mendukungnya, dalam pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu. Oleh karena itu, menurut Koentjaraningrat (1974 : 8 ) bahwa suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

  Gaya hidup adalah pandangan yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya.

  Untuk merefleksikan gambaran inilah dibutuhkan simbol-simbol status tertentu yang sangat

  

 

 

  berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang didorong oleh orientasi diri memiliki tiga kategori yaitu prinsip, status, dan tindakan. Bagi orang yang orientasi dirinya bertumpu pada prinsip, dalam mengambil keputusan pembelian berdasarkan keyakinannya, sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Bisa dikatakan tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang gaya hidupnya bertumpu kepada aksi, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko. Sehingga demikian dapatlah dikatakan bahwa gaya hidup berkaitan dengan bagaimana seseorang memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk merefleksikan dirinya berdasarkan nilai, orientasi, minat, pendapat yang berkaitan dengan status sosialnya. Gaya hidup setiap kelompok akan mempunyai ciri-ciri unit tersendiri. Gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu ( aktivitas ), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya ( ketertarikan ), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia di sekitarnya ( pendapat ), dalam web Frommarketing ( http://frommarketing.com/2009/08/definisigayahidup.html ).

  Gaya hidup pada masyarakat Slum Area memperlihatkan budaya bermalas – malasan, berleha – leha, dan ngerumpi. Bekerja hanya untuk sejengkal perut. Jam kerja tidak menentu.

  Tidak ada cita – cita dan harapan yang jelas. Orientasi diri berprinsip bahwa memiliki suatu barang hanya ikut – ikutan saja dan sekedar untuk mengejar gengsi. Kontras sekali gaya hidup yang terkait dengan barang yang mereka miliki.

  

 

 

2.4. Sektor Informal Pada Masyarakat Kumuh ( Slum Area )

  Dalam skripsi yang dilakukan oleh Risha ( 2012 ) Jurusan Sosiologi, FISIP Universitas Hasanuddin Makassar bahwa penduduk pemukiman kumuh disebut massa apung, yaitu masyarakat yang memiliki pekerjaan berganti-ganti dan dominan pada sektor informal. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ciri mereka adalah menghasilkan barang dan jasa hanya untuk konsumsi hari ini bagi anggota keluarga yang bersangkutan.

  Menurut Sumalyo ( dalam skripsi Risha, 2012 ) pemukiman kumuh adalah suatu kawasan di perkotaan yang penduduknya hidup dalam kondisi soaial ekonomi yang rendah dan penduduknya berasal dari pedesaan. Kedatangan penghuni migran atas dasar adanya kontak atau hubungan dengan saudara, kerabat yang sudah berada terlebih dahulu di kota pendidikan bukanlah masalah bagi mereka datang ke kota, dasar pendidikan yang dimilikinya adalah pendidikan rendah ( di bawah SMA ) serta tidak memiliki keterampilan. Maka penyesuaian pola hidup para pendatang dengan dengan kehidupan social ekonomi perkotaan tidak dapat berlangsung secara cepat dan gaya hidup pedesaan atau tradisional masih dijalankan. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar penghuni pemukiman kumuh bergerak dalam kehidupan sektor informal dangan pendapatan yang terbatas dalam menghadapi kehidupan perkotaan. Dengan keterbatasan ekonomi dan pola hidup pedesaan, rumah-rumah dihuni secara terbatas dalam hal kontribusi material bangunan dan fasilitas lingkungan seadanya.

  Pengertian sektor informal menurut Hart ( dalam Manning, Cris dan Effendi, 1996 ), yaitu memiliki ciri-ciri seperti mudah keluar masuk pekerjaan, mengusahakan bahan baku lokal tanpa berdasarkan hukum formal, unit usaha merupakan keluarga, jangkauan operasionalnya sempit, kegiatannya bersifat padat karya dengan menggunakan teknologi yang masih sederhana ( tradisional ), pekerja yang terlibat di dalamnya memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah

  

 

 

  serta keahlian yang kurang memadai, kondisi pasar sangat bersaing karena menyangkut hubungan antara penjual dan pembeli yang bersifat personal dan keadaanya tidak teratur.

  Prakarsa dari Hart ini kemudian diteruskan oleh ILO ( International Labour Organization ) dalam berbagai studinya di negara-negara sedang berkembang ( Sjahrir, 1985 ) menyatakan bahwa kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha yang timbul tidak menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal. Pada umumnya, unit usaha tidak mempunyai izin usaha. Pola kegiatan usaha tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Pada umumnya, kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub sektor ke lain sub sektor. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil; tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. Pada umumnya, usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi kota atau desa yang berpenghasilan rendah, tetapi terkadang juga berpenghasilan menengah.

  Berdasarkan konsep yang telah ada sebelumnya dan disesuaikan dengan kondisi saat ini maka yang digolongkan ke dalam sektor informal dalam masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ), yaitu pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, pemodalan, maupun penerimaannya. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian dan tidak mempunyai keterkaitan dengan usaha lain yang besar. Lokasi usaha ada yang menetap dan ada yang berpindah-pindah dan tidak membutuhkan tingkat pendidikan tinggi. Merupakan usaha kegiatan perorangan ataupun unit usaha kecil yang

  

 

 

  memperkerjakan tenaga kerja yang sedikit dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama.

  Dalam penelitian ini, para penghuni daerah Slum Area umumnya menyebar bekerja di sektor informal non produktif. Dengan pekerjaan yang bercirikan seperti ini, yaitu penghasilan yang relatif sedikit, pendapatan yang tidak tetap, jam kerja yang tidak menentu, rawan terhadap pemecatan, dan penggusuran, bahkan pelacuran dan penjualan narkoba. Hal ini merupakan ciri umum sektor informal Indonesia, khususnya di Medan yang identik dengan pendidikan rendah dan merupakan warga miskin perkotaan.

Dokumen yang terkait

Etos Kerja dan Gaya Hidup Masyarakat Slum Area di Kota Medan ( Studi Kasus di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimoon )

1 70 122

Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Pasar Sukaramai (Studi Kasus Pada Masyarakat Kelurahan Tegal Sari I Kecamatan Medan Area Kota Medan )

5 118 98

Partisipasi Masyarakat dalam Program Keluarga Berencana (KB) Nasional di Kelurahan Sei Rengas Permata Kecamatan Medan Area Kota Medan

0 41 83

Spekulasi Tanah Dalam Pembangunan CBD (Central Bussiness District) di Kota Medan (Studi Deskriptif di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun)

2 36 120

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Pasar Modern terhadap Pedagang Pasar Tradisional dan Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah di Kecamatan Medan Area

0 1 7

BAB I PENDAHULUAN - Usahatani dan Strategi Pengembangan Pertanian Organik Vertikultur di Kecamatan Medan Marelan Kota Medan (Studi Kasus : Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan )

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Peranan Pekerja Sosial Masyarakat ( PSM ) Dalam Penanganan Lanjut Usia Di Jalan Marelan Gang Sepakat Kelurahan Rengas Pulau Kecamatan Medan Marelan

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Program Raskin ( Beras untuk Masyarakat Miskin ) di Kecamatan Medan Sunggal (Studi pada Kelurahan Babura)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN - Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Publik ( Studi Pada Pembuatan E-KTP di Kecamatan Stabat )

0 1 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Etos Kerja dan Gaya Hidup Masyarakat Slum Area di Kota Medan ( Studi Kasus di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimoon )

0 0 12