TANTANGAN DAN PELUANG PTAI PTAIN DI SERA

TANTANGAN DAN PELUANG PTAI/PTAIN DI ERA GLOBALISASI

Muhammad Abdul Khakim (1520411004)
Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam
Program Magister Pendidikan Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Pendidikan merupakan kegiatan dimana membutuhkan komponen pendidikan yang berjalan
selaras, bervisi sama dan memiliki kualitas yang baik. Namun, tidak semua lembaga
pendidikan tinggi memiliki kulaitas yang baik, khususnya perguruan tinggi Islam. Banyak
yang beranggapan lembaga pendidikan tinggi Islam hanya berorientasi kepada kemampuan
mengaji dan berdakwah saja. Anggapan itu bisa benar, dikarenakan sampai saat ini memang
lembaga pendidikan tinggi Islam menjadi pilihan kedua bagi mahasiswa untuk memutuskan
tempat mereka kuliah. Hal itu disebabkan adanya permasalahan yang dialami lembaga
pendidikan Islam, mulai dari raw input, output, kegiatan belajar bahkan sampai kurikulum
yang kurang bisa difahami masyarakat, bahkan orang yang bergelut di civitas akademika
sendiri. Oleh karena itu, tantangan ke depan lembaga pendidikan tinggi Islam harusnya
dijadikan peluang untuk menjadi peluang dalam rangka mengepakkan sayapnya pada
khazanah keilmuan di negeri ini.

Kata Kunci: PTAI, Tantangan, Peluang
ABSTRACT
Education is an activity that requires an educational component that goes in harmony, the
same vision and have good quality. However, not all higher education institutions have
kulaitas good, especially the Islamic colleges. Many people believe Islamic higher education
institutions is oriented to the ability of the Koran and preach it. The assumption could be true,
because until now it Islamic higher education institutions become a second option for
students to decide where their lectures. This is due to the problems experienced by Islamic
educational institutions, ranging from raw input, output, curriculum and learning activities
even less understandable that people, even those who are struggling in the academic
community itself. Therefore, the challenge ahead Islamic higher education institutions should
be used as an opportunity to be an opportunity in order flapping its wings in the treasures of
knowledge in this country.
Keywords: PTAI, Challenges, Opportunities

1

PENDAHULUAN
Dewasa ini dalam dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi Islam dihadapkan pada
tuntutan masyarakat yang menghendaki agar pendidikan tinggi Islam mampu menghasilkan output

(lulusan) yang benar benar berkualitas tinggi. Lulusan yang mereka kehendaki adalah lulusan yang
selain menguasai ilmu pengetahuan, keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai
suatu kehidupan yang layak dan sejahtera, juga memiliki bekal ilmu pengetahuan agama, moral
akhlak yang mulia, serta amal shalih. Keseimbangan antara penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) dengan penanaman keimanan dan ketaqwaan (imtaq) adalah suatu keniscayaan
yang tidak bisa ditawar lagi.1
Ali Ashrof menambahkan bahwa saat ini telah terjadi pergeseran orientasi dalam kehidupan
manusia. Hal tersebut telah membuat manusia begitu tergila-gila pada prestasi material, sukses,
duniawi, efisiensi dan kesenangan yang serba semu dengan mengizinkan pembaharuan teknologi
yang tidak terkontrol dan menyebabkan penyakit ekologi dan sosial mereka.2
Oleh karena itu, sudah saatnya perguruan tinggi Islam merekonfigurasi tujuan
institusionalnyadengan memperhatikan berbagai tuntutan masyarakat dan zaman yang terus berubah.
Jika tidak, maka perguruan tinggi islam tidak akan bisa bertahan dalam budaya dan umatnya sendiri
seiring dengan pergeseran budaya di era sekarang yang semakin deras. Untuk eksis dalam dunia
yang dinamis, perlunya penguasaan dimensi duniawi yang diwakili tingginya iptek dan ukhrawi
dengan tingginya ketaqwaan dan keimanan adalah suatu yang tidak bisa ditawar lagi.
Untuk dapat mencapai hal tersebut, lembaga pendidikan Islam khususnya perguruan tinggi
Islam dituntut memiliki tiga kekuatan secara seimbang, Pertama , kekuatan dalam sumber daya
manusia (SDM) mulai dari tenaga pendidik (guru/dosen) yang unggul, pengelolaan yang profesional
dan tenaga peneliti dan pengembangannya yang handal. Kedua , kekuatan dalam bidang manajemen

dan kinerja yang didukung oleh peralatan canggih sehingga dapat mendukung efisiensi dan
akselerasi. Ketiga kekuatan dalam bidang dana yang bersumber dari kekuatan lembaga itu sendiri.
Jika ketiga kekuatan tersebut dapat dimiliki oleh lambaga pendidikan Islam, maka masa depan dunia
pendidikan akan berada di tangan umat Islam dan akhirnya lembaga pendidikan Islam menjadi
pilihan utama masyarakat bahkan menjadi idolanya.3
Sementara itu, Muhadjir Effendi selaku rektor Universitas Muhammadiyah Malang
menyatakan bahwa untuk mencetak output benar-benar berkualitas, perguruan tinggi Islam perlu
melakukan brain washing (cuci otak) agar lembaga pendidikan Islam dapat dimasuki ide-ide yang
bergaya inovatif dan kreatif. Muhadjir melihat ada kegairahan yang luar biasa pada perguruan tinggi
Islam untuk tampil sebagai lembaga pendidikan yang tersdepan. Dengan kondisi seperti ini,

1

Asmaun Sahlan, Religiusitas Perguruan Tinggi (Malang: UIN Maliki Press, 2011), 1.
2
3

Ibid., 2.
Ibid., 3.


2

perguruan tinggi Islam akan mampu menghasilkan output yang dimiliki daya saing tinggi di era
pasar bebas nanti.4

PEMBAHASAN
Landasan dan Tujuan Pendidikan Tinggi Islam
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus
mempunyai landasan atau dasar yang kuat dan kokoh. Untuk mengetahui landasan pendidikan tinggi
Islam, kiranya penulis mengawalinya dengan menelusuri sumber ajaran Islam itu sendiri, sebab dalam
hal ini Islam sebagai acuan utama dlam menggali khazanah keilmuan dalam pendidikan.
1. Landasan Religius
Menurut al-Qur’an, pendidikan berfungsi mempersiapkan manusia agar mampu
mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi dengan baik, sesuai dengan firman Allah dalam
surat Yunus, ayat 14:
          
kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka,
supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.
Tugas manusia di dunia adalah juga sebagai khalifah yang tidak lepad dari hablum
minannas dan minal alam. Dalam rangka mengembangkan segala potensi manusia tidak ada jalan

lain kecuali dengan pendidikan. Dari penjelasan di atas jelas sekali akan pentingnya pendidikan.
Oleh karena itu, pendidikan dalam hal ini pendidikan tinggi harus menggunakan sumber utama
dalam memformulasikan berbagai teori tentang pendidikan tinggi.
Dalam ajaran islam dijelaskan bahwa hadits adalah sumber ajaran di samping al-Qur’an,
kedudukan sunnah di sini adalah menetapkan dan memperkuat hukum dalam al-Qur’an. Sebagai
contoh hadits tentang keutamaan menuntut ilmu: barang siapa keluar rumah menuntut ilmu,
maka dia termasuk di jalan Allah sehingga ia kembali dari menuntut ilmu.

Di sinilah sunnah berisi petunjuk atau pedoman bagi kemaslahatan manusia dalam segala
aspeknya, untuk membina manusia sutuhnya dan menjadi muslim yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah. Sunnah selalu membuka pemahaman manusia terhadap al-Qur’an termasuk yang
berkaitan dengan pendidikan.
2. Landasan Konstitusional
Selain dasar ideal di atas, pendidikan tinggi islam secara konstitusional berdasarkan pada
UUD 1945 pada pasal 31 yang menyatakan tiap-tiap waargha negara berhak mendapatkan

4

Ibid., 4.


3

pengajaran, dan pemerintah mengusahakan mmengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
3. Landasan Operasional
Secara operasional, pendidikan tinggi Islam didasarkan pada PP. No. 30 Tahun 1990
tentang Pendidikan Tinggi dan PP. No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi.
Dengan demikian, pendidikan tinggi Islam memiliki landasan yang kuat, baik landasan
Religius, Konstitusional maupun Operasional. Berdasarkan landasan tersebut, akan ditetntukan arah
gerak dari pendidikan tinggi yang mengemban tanggung jawab kehidupan generasi bangsa di masa
yang akan datang.5
Masalah dan Tantangan Pendidikan Tinggi Islam
1. Masalah Tenaga Pengajar
Masalah pada perguruan tinggi Islam di negeri ini adalah dimana orang jenius dan
berpengalaman luas tertarik masuk pada lembaga pendidikan umum. Akibatnya, lembaga
pendidikan tinggi Islam diisi oleh orang yang kurang kompeten dalam bidangnya, sehingga
keadaan pendidikan menunjukkan grafik yang semakin menurun dari persepektif mutu
pendidikannya. Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari hedonisma pada era sekarang dimana
orang menilasi bahwa kedudukan, harta dan martabat seseorang bukanlah dari kualitas iman dan
ilmunya, melainkan banyaknya harta, fasilitas dan tahta yang dimilikinya.6

Secara umum jumlah ratio pengajar dan mahasiswa pada pendidikan tinggi Islam
sebenarnya belum mencukupi, kendati demikian belum sampai menghambat proses perkuliahan
di kampus. Dari segi kualitas, bila ditujukan pada kualitas dosen, memang masih terdapat
kesenjangan antara dosen berpendidikan S1, S2 dan S3.meskipun pemerintah menetapkan
standarisasi kualifikasi tenaga pendidik, namun faktanya banyak perguruan tinggi yang
mengedepenkan kulaitas daripada kualifikasi dosen, sehingga mempertahankan dosen dengan
gelan S1.7
2. Masalah Raw Input
Setelah diresmikannya SISDIKNAS dan PP NO. 27 (sekolah), NO. 28 (Pendidikan Dasar),
NO. 29 (Pendidikan Menengah) dan NO. 30 (Pendidikan Tinggi) menjelaskan bahwa madrasah
mulai dari tingkat MI, MTs dan MA desebut dengan sekolah berciri khas Islam. Konsekuensinya
adalah pendidikan dengan kurikulum sama dengan sekolah umum namun ditambahi ciri khas
Islam.
5
6

Ibid., 18.
Ibid., 6.

7


Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2007), 123.

4

Disebabkan pembagian program yang seperti itu, maka dapat diambil kesimpulan siswa
tidak dipersiapkan secara akademik untuk memasuki PTAI/IAIN. Kesiapan mental siswa MA
juga bukan ditempa untuk memasuki PTAI. Hal ini terbukti banyak lulusan berprestasi di tingkat
MA yang tidak tertarik mendaftarkan diri di perguruan tinggi Islam. Begitu pula sebaliknya,
banyak siswa SMA atau SMK yang justru diterima di PTAI sehingga menimbulkan permasalahan
baru, dikarenakan mahasiswa belum memiliki basic keilmuan agama.8
3. Masalah Raw Output
Permaslaahan yang paling sering dari output PTAI adalah lapangan kerja, dan persoalan ini
tidak hanya di alami perguruan tinggi Islam saja, namun semua perguruan tinggi. Lantas, apa
yang dapat diperbuat untuk hal itu? Tentu, sikap mental dan menggantungkan harapan sebagai
pegawai negeri semata-mata harus dikikis.9
Pertanyaan lain adalah mengapa pengangguran juga dialami oleh banyak pemuda yang
notabene terdidik? Lalu apa yang salah dengan pendidikan di perguruan tinggi selama ini?
Apakah kurikulum perguruan tinggi bagaikan menara gading yang tidak sejalan dengan

perkembangan masyarakat dan salah arah?
Tak kurang dari direktorat penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, depdiknas
menyatakan bahwa ada yang kurang dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia selama ini.
Menurutnya, keterpurukan negara saat tersebut menyadarkan masyarakat akan ketidak lengkapan
pendidikan yang telah dilaksanakan selama ini.10
Jawabannya adalah memberikan keterampilan berwiraswasta kepada mahasiswa adalah
suatu keharusan. Keterampilan itu dapat diberikan dalam bentuk intra kurikuler, ekstrakurikuler
ataupun pelatihan-pelatihan yang terjadwal. Selain itu, pengembangan keprofesian yang dimiliki
oleh alumni PTAI harus dapat dipertahankan dan ditingkatkan serta dapat dijual di masyarakat,
artinya masyarakat membutuhkannya.11
4. Masalah Kurikulum dan Materi
Sejauh ini, ada semacam kritikan lulusan PTAI belum memiliki keahlian yang benar-benar
dibutuhkan oleh masyarakat. Karena itu, peninjauan ulang terhadap pembidangan ilmu di
lembaga perguruan tinggi agama menjadi mutlak diperlukan. Paling tidak, peninjauan ini
memberikan arah dan tujuan dalam mencetak para sarjana Islam. Karena pembidangan pada
pendidikan Tinggi islam dinilai didesain untuk bergelut dengan tradisi normatif-klasik, kurang
8

Ibid., 122.
Ibid., 124.

10
Emzir and Sam Muchtar, Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Pendidikan (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
87–88.
9

11

Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia, 124.

5

bersentuhan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti berkembang di perguruan tinggi
barat.12
Sementara itu secara eksternal, pendidikan tinggi Islam dihadapkan pada dua problem
mendasar, yaitu: pertama, krisis etika dan moral anak bangsa yang berpuncak pada kerusuhan
yang telah memporak-porandakan nilai agama dan masyarakat. Etika dan tatakrama yang selama
ini terinternalisasi dalam budaya anak bangsa yang santun, berubah menjadi gugusan retorika
yang tidak bermakna. Kedua, tantangan masyarakat global, dimana era globalisasi yang mulai
kita masuki sekarang ini ditandai dengan berbagai kata kunci seperti kompetisi, transparansi,
efisiensi, kualitas dan profesionalitas serta kecenderungan baru masyarakat global pada wacana

dan praktek demokrasi.13
Kontroversi mengenai Pendidikan Agama khususnya di perguruan tinggi Islam beberapa
waktu yang lalu, misalnya apakah perlu pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah umum
tidak lepas dari sterilitas ilmu agama dari ilmu-ilmu yang lain, sehingga tampil dengan wajah
yang normatif dan gerang tetapi loyo, tidak pernah mampu menjawab berbagai persolan yang ada.
Karena itu, banyan berpandangan tidak adanya guna belajar agama karena di negara kita terbukti
dengan belajar agama di semua jenjang pendidikan formal ternyata Korupsi masih saja terjadi dan
semakin parah, demikian juga dengan pelanggaran HAM dan penyalah gunaan kekuasaan.
Sementara bercermin dengan negara-negara tetangga yang tidak mengajarkan agama seperti
korea dan jepang kehidupan sosial justru lebih tertib. Saya kira, pendidikan agama akan terus
menuai gugatan kalau fakultas Tarbiyah khususnya tidak segera berbenah.14
5. Masalah Belajar Mengajar
Maslah belajar mengajar ini bergantung pada dua hal pokok. Pertama, sarana dan fasilitas.
Sampai sekarang masalah ini secara umum terpenuhi hal-hal yang bersifat primer. Kedua,
keterampilan tenaga mengajar. Masalah ini masih perlu ditingkatkan. Selain dari keterampilan
mengajar sikap mental adalah salah satu yang paling menentukan kesuksesan proses belajar
mengajar.15
Peluang Pengembangan Pendidikan Tinggi Islam
Terkait persoalan di atas, IAIN bertransformasi menjadi UIN karena dianggap perlunya
intergrasi keilmuan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Misalnya ilmu sosial, humaniora dan ilmu
alam harus dipadukan menjadi bangunan keilmuan yang saling mendukung, dan tidak terpisah-pisah
sebagaimana yang terjadi sekarang ini bukan sekedar interdisipliner yang dikembangkan sesuai
12

Akh Minhaji and Kamaruzzaman, Masa Depan Pembidangan Ilmu Di Perguruan Tinggi Agama Islam (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2003), 48.
13
Sahlan, Religiusitas Perguruan Tinggi, 6.
14
Imam Machali and Musthofa, Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media dan Presma
Tarbiyah UIN, 2004), xii.
15
Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia, 124.

6

kehendak masing-masing pribadi, tetapi pola yang harus dikembangkan oleh semua pemegang disiplin
ilmu tertentu.
Dari pernyataan di atas, maka dengan sendirinya akan terjadi penyatuan antara ilmu dengan
wahyu. Hal ini dibuktikan dengan membuat hubungan aqidah-humaniora, muamalah-teknologi dan
akhlak-ilmu sosial. Adapun aqidah, muamalah dan akhlah didasarkan pada sumber utama yaiut alQur’an dan Hadits. Adapun humaniora, teknologi dan ilmu sosial adalah hasil kreasi manusia yang
diperoleh melalui akal pikiran. Perpaduan ini pada gilirannya akan mengikis anggapan bahwa agama
dan ilmu harus dipisahkan.padahal pemisahan itu menimbulkan sikap sekuleritas yang memisahkan
urusan agama dan dunia.16
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan harus melanjutkan pola pengembangan keilmuan semacam
ini, karena di sinilah produsen tenaga guru PAI dan tenaga kependidikan Islam. Kalau tidak, fakultas
Tarbiyah justru menjadi problem maker bagi pengembangan pendidikan Islam, karena selalu
mereduksi tenaga-tenaga Pendidikan islam yang tidak kompeten.17
Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Suprayogo berpendapat bahwa untuk menghadapi
berbagai persoalan berat tersebut yang diperlukan dari kita semua adalah
1. Menumbuhkan keinginan semua pihak untuk maju
2. Dibangun komunikasi atau silaturohmi akademik yang mantap sehingga melahirkan wacana
dan suasana keilmuan yang kondusif di kalangan warga kampus.
3. Tumbuhnya rasa tanggung jawab atau amanah yang tinggi pada semua pihak dalam
mengembangkan lembaga
4. Memiliki semangat beramal shalih dan berjuang di jalan Allah melalui pengembangan ilmu
pengetahuan.18
Dalam mengantisipasi berbagai tantangan modernitas dan mengatasi berbagai persoalan etika
peserta didik, pembelajaran pendidikan agama tidak mungkin dapat dengan baik sesuai dengan misi
dan tujuan bilamana hanya berkutat pada transfer ilmu atau pemberiani lmu pengetahuan agama
sebanyak-banyaknya kepada peserta didik, atau lebih menekankan aspek kognitif. Pembelajaran PAI
justru harus dikembangkan ke arah proses internalisasi nilai afektif yang tentunya diimbangi dengan
kognitif , sehingga timbul dorongan yang sangat kuat untuk mengamalkan dan mentaati ajaran dan
nilai-nilai dasar agama yang telah terinternalisasikan dalam diri peserta didik.19
Dinamika kehidupan masyarakat yang kian tak terelakkan menuntut instistusi pendidikan
tinggi untuk melakukan pemikiran ulang secara menyeluruh mengenai arah pengembangannya mulai
dari struktur epistemologis keilmuan keislaman, reformasi bidang-bidang ilmu keislaman hingga

16

Minhaji, Masa Depan Pembidangan Ilmu Di Perguruan Tinggi Agama Islam, 52.
Machali, Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi, xiii.
18
Sahlan, Religiusitas Perguruan Tinggi, 8.
19
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2010), 149–150.
17

7

reinstitusionalisasi khususnya dalam hal pembukaan jurusan dan prodi-prodi baru, dan penjabaran
kurikulumnya.
Peningkatan kualitas PTAI dapat dilakukan melalui beberapa strategi: Pertama, melakukan
pengembangan kurikulum agar eksistensinya mampu beradaptasi dengan perkembangan masyarakat
dan mampu menghasilkan sarjana-sarjana qualified sesuasi spesifikasi keahliannya. Pengembangan
kurikulum setidaknya menggunakan pendekatan akademik, teknologi dan humanistik. Kurikulum
PTAI setidaknya menghindari dikotomi pendidikan, justru keilmuan harus dibangun secara integratifinterkonektif dalam ragam bidang keilmuan. Kedua, melakukan pembenahan dalam manajemen
penyelenggara PTAI. Untuk mewujudkan perguruan tinggi yang qualified diperlukan manajemen yang
fungsional dan profesional. Manajemen dikatakan fungsional manakala mampu melaksanakan fungsi
manajemen secara efektif dan efisien. Dan profesional manakala dalam pelaksanaannya menggunakan
pertimbangan-pertimbangan profesional. Ketiga, penyediaan SDM yang handal. Penyeleggara di sini
meliputi pimpinan , tenaga pengajar dan karyawan serta unsur yang harus memiliki visi dan misi yang
sama terhadap pelasanaan proses pendidikan. Keempat, peningkatan kemampuan leadership. Pimpinan
perguruan tinggi agama harus dapat menerapkan pola kepemimopinan yang efektif dan memiliki visi
kelembagaan yang jelas. Kepemimpinan yang efektif memiliki kemampuan memberdayakan sumbersumber daya yang ada, mensinergikan berbagai kelompok kepentingan, memiliki terobosan dan
komitmen untuk kepentingan lembaga, selain itu mampu membuat program kegiatan maupun
kebijakan yang relevan.
Upaya peningkatan peran PTAI masih dihadapkan pada masalah klasik yang telah diketahui
oleh penyelenggara dan pembina instiusi, namun pemecahannya masih menggantung. Maslah tersebut
terkait dengan istilah nama fakultas, jurusan dan prodram studi yang tidak membumi. Fakultas
Tarbiyah, Syari’ah, Adab, Dakwah; Jurusan atau Prodi Ahwalus-Syakhsiyyah, Muamalah, Jinayah,
Aqidah Filsafat, dan sejenisnya merupakan contoh nama fakultas dan program studi yang tidak
dipahami oleh khalayak masyarakat, termasuk oleh sebagian civitas akademika dan pegawai PTAI
sendiri. Problem lain yang dihadapi perguruan tinggi ini, yakni proses pembukaan program studi yang
tidak mudah, padahal program studi tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat.20

20

Zurqoni, Meretas Peran Perguruan Tinggi: Refleksi Atas Idealitas Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, n.d.), 8–11.

8

SIMPULAN
Pendidikan pada perguruan tinggi Islam memiliki landasan yang kuat. Yaitu landasan spiritual
sebagaimana dalam al-Qur’an dan hadits, landasan Konstitusional dalam Pancasila dan UndangUndang, serta landasan Operasional dalam PP No. 30 Tentang perguruan Tinggi.
Namun, adalam pelaksanaannya Perguruan Tinggi Islam mengalami berbagai masalah dan
tantangan. Diantara tantangan tersebut adalah masalah raw input, raw output, kegiatan belajar
mengajar, kurikulum dan tenaga pengajar harus profesional.
Namun, di era globalisasi saat ini, permasalahan klasik sikap dan etika peserta didik menjadikan
perguruan tinggi Islam menjadi ujung tombak dan memiliki tempat strategis dalam menunjukkan
peran di kancah pendidikan di Indonesia.

RUJUKAN
Arifi, Ahmad. Politik Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras, 2010.
Daulay, Putra. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia . Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2007.
Emzir, and Sam Muchtar. Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Pendidikan.
Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Machali, Imam, and Musthofa. Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi. Jogjakarta: ArRuzz Media dan Presma Tarbiyah UIN, 2004.
Minhaji, Akh, and Kamaruzzaman. Masa Depan Pembidangan Ilmu Di Perguruan Tinggi
Agama Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2003.
Sahlan, Asmaun. Religiusitas Perguruan Tinggi. Malang: UIN Maliki Press, 2011.
Zurqoni. Meretas Peran Perguruan Tinggi: Refleksi Atas Idealitas Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, n.d.

9