SIKAP GEREJA TERHADAP KEKUATAN POLITIK

SIKAP GEREJA TERHADAP KEKUATAN POLITIK DAN EKONOMI
(TANGGAPAN ATAS BUKU “PERTAMBANGAN DI FLORES – LEMBATA:
BERKAT ATAU KUTUK?)
Nama : Kristian Yanssen Sahputra
NPM : 11.447

I.

Pengantar
Sejarah pertambangan di Flores telah berlangsung selama 30 tahun terhitung sejak PT

Aneka Tambang dengan mitranya mulai beroperasi pada tahun 1979/1980 di Lingko Lolok –
Satar Punda dari Kecamatan Lambaleda dan di Torong Besi serta Kajaong dari Kecamatan
Reok.1 Selama puluhan tahun juga, sumber daya alam di daratan Flores – Lembata
dieksploitasi secara besar-besaran. Pengeksploitasian secara masif ini sungguh tidak
berdampak pada perkembangan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat Flores – Lembata
seakan dianaktirikan di tanah tumpah darahnya sendiri.
Dalam perspektif penguasa dan pengusaha, tambang yang diyakini sebagai berkat dan
solusi terakhir bagi peningkatan kesejateraan masyarakat. Namun dalam kenyataannya, ada
begitu banyak ketimpangan dan kehancuran baik dalam aspek ekonomi, sosial, budaya
maupun politik. Lemahnya daya tahan masyarakat berhadapan dengan bujuk rayu investor

tambang juga didukung oleh defisitnya perhatian pemerintah terhadap derita yang dialami
masyarakat. Masyarakat seakan melihat tambang sebagai pelarian karena melihat hasil kerja
keras mereka tidak mendatangkan hasil yang memuaskan. Nilai jual hasil usaha mereka
umumnya tidak mampu mencukupi kebutuhan. Hasil pertanian misalnya, tidak mendapat
apresiasi yang layak lewat harga yang pantas. Pemerintah juga mengkondisikan sistem pasar
yang sungguh tidak pro rakyat.
Dalam kegamangan situasi

dan

kondisi

seperti

ini,

Gereja

hadir


dan

mengumandangkan seruan profetiknya sekaligus tindakan nyata melawan segala bentuk
praktik ketidakadilan dalam kehidupan. Gereja menyuarakan sikap menolak tambang.
Keterlibatan gereja menyoraki tambang ini memiliki tujuan mendasar yakni pada
keselamatan universal seluruh ciptaan. Dengan demikian, Gereja turut meyakinkan

1Alex Jebadu dkk (eds.), Pertambangan di Flores – Lembata: Berkat atau Kutuk? (Maumere: Ledalero,
2009), p. vi.

1

masyarakat bahwa pertambangan bukan merupakan berkah bagi masyarakat Flores –
Lembata, tetapi sebuah kutukan yang mampu mematikan kehidupan masyarakat.
II. Tambang di Flores - Lembata: Dosa Para Elitisme Politik dan Ekonomi
2.1. Pengingkaran Terhadap Tujuan Pembangunan Nasional
Pada dasarnya, tujuan pembangunan nasional adalah perwujudan masyarakat adil dan
makmur yang merata material dan spiritualnya. Tegasnya bahwa pembangunan nasional
harus mencerminkan keadilan sosial dan penghargaan terhadap martabat manusia. Sebagai
konsekuensi atas cita-cita pembangunan tersebut, maka kemakmuran hendaknya tidak hanya

dikecap oleh orang-orang yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu tetapi oleh seluruh
lapisan masyarakat. Dengan demikian, pemerataan pembangunan bukan pemerataan yang
statis melainkan merata secara dinamis yang artinya seluruh kekayaan alam, seluruh potensi
bangsa diolah bersama-sama menurut kemampuan dan dimanfaatkan bagi kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat.2
Dalam konteks pertambangan di Flores – Lembata, para penguasa yang bekerjasama
dengan para pengusaha tambang telah meninabobokan masyarakat dengan janji-janji yang
muluk dan menggiurkan. Pembohongan publik menjadi jalan masuk demi kesuksesan dan
keuntungan segelintir orang. Pertambangan dipropagandakan dengan beberapa dampak
positifnya bagi pembangunan seperti3: Pertama: memiliki efek ganda (multiplier effect)
dengan terciptanya usaha-usaha pendukung dan menggairahkan bisnis pengusaha lokal.
Tetapi fakta membuktikan bahwa rantai tata niaga tambang sangat pendek: membutuhkan
teknologi tinggi, modal besar dan kebutuhan tambang juga berasal dari luar lokasi tambang.
Kedua: tambang meningkatkan pendapatan per kapita dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hal ini membingungkan karena pendapatan per kapita dan PAD tidak bisa ditempuh dengan
merusakkan alam, lingkungan dan kehidupan umumnya. Ketiga: pertambangan dapat
meningkat kesejahteraan masyarakat petani khususnya para petani yang berada di sekitar
lokasi tambang. Hal ini sangat bertentangan dengan kajian para ahli yang mengatakan bahwa
sampai sekarang belum pernah ada masyarakat di sekitar kawasan tambang yang benar-benar
sejahtera. Mereka malah menjadi penonton pasif atas pengerukan kekayaan alam.

Berdasarkan uraian di atas, maka pertambangan pada dasarnya merupakan sebuah
penegasian terhadap tujuan pembangunan yakni kesejahteraan masyarakat. Dalam
pertambangan, nasib sebagian besar masyarakat ditelantarkan dan teralienasi dalam jurang
ketidakadilan.
2.2. Dampak Negatif Pertambangan
2Eko Budi Susilo, Gereja dan Negara (Malang: Averroes Press, 2002), p. 19.
3Bdk. Max Regus, “Malpraktik Kekuasaan”, dalam Alex Jebadu, dkk (eds.), Op. Cit., pp. 164-165.

2

Pada hakikatnya, pertambangan selalu beriringan dengan sejumlah dampak
negatifnya. Ada beberapa dampak langsung dari sebuah industri pertambangan yang
beroperasi di Flores – Lembata khususnya di Manggarai. 4 Pertama: dampak ekologis.
Pertambangan yang selama ini beroperasi di sejumlah wilayah terbukti telah membawa
kerusakan terhadap lingkungan dalam skala yang besar. Hal ini menyangkut kerusakan
terhadap tanah, rusaknya ekosistem hutan, tercemarnya air, hilangnya sumber mata air,
rusaknya ekosistem sekitar lokasi tambang, terutama laut yang menjadi tempat pembuangan
limbah dan efek bahan-bahan peledak yang dipakai. Selain itu, menyusul pula akibat-akibat
lain, seperti banjir, longsor, kemarau panjang, dan kebakaran hutan. Kedua: dampak
kesehatan masyarakat. Kehadiran pertambangan justru menjadi cerita pilu bagi masyarakat,

terutama warga yang ada di sekitar lokasi pertambangan. Debu-debu mangan menyebar ke
mana-mana, hingga menutupi rumah, tanaman, dan mencemari air minum warga. Bahkan,
ada beberapa kejadian kematian warga yang disinyalir karena pencemaran debu mangan,
terutama karena menyerang saluran pernapasan. Ketiga: dampak sosial-budaya. Kehadiran
pertambangan terbukti menimbulkan konflik horizontal di antara masyarakat, maupun konflik
vertikal antara masyarakat dengan pemerintah setempat, dan juga kemungkinan konflik
antara masyarakat lokasi tambang dengan pihak perusahaan, atau juga antara pihak
perusahaan dengan karyawan. Selain itu, ada soal sosial besar lain yang muncul secara nyata
dari industri pertambangan, yakni eksploitasi buruh secara besar-besaran. Tidak diragukan
lagi bahwa praktik ketidakadilan terjadi di lokasi tambang. Para buruh dan karyawan
kerapkali diperlakukan secara tidak layak untuk sebuah standar karyawan di perusahaan
tambang yang penuh resiko itu. Misalnya, peralatan kerja (seperti masker dan sepatu) tidak
disediakan oleh pihak perusahaan, padahal ini sangat riskan bagi kesehatan mereka. Keempat:
dampak ekonomis. Dari segi ekonomi, hadirnya industri pertambangan ternyata tidak
membawa perubahan apa-apa bagi keadaan ekonomi masyarakat. Sebab, pertambangan tidak
banyak menyerap tenaga kerja lokal. Bahkan, upah para buruh pun (yang kebanyakan orangorang lokal) tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Jadi, secara ekonomis, pertambangan
(khususnya di Kabupaten Manggarai) tidak memberikan keuntungan, tetapi malah membawa
kerugian yang tidak sedikit.
2.3. Pertambangan Sebagai Bentuk Praktik Kapitalisme Ekonomi


4Bdk. JPIC – OFM Indonesia, Mencegah Tanah Manggarai Hancur (Jakarta: Sekretariat JPIC OFM,
2008), pp. 40-42.

3

Salah satu bentuk tantangan yang menjadi ciri dominan kebudayaan global adalah
persaingan bebas yang ditentukan oleh hukum dan rasionalitas pasar. Rasionalitas pasar
berasal dari sistem kapitalisme ekonomi di mana seluruh hidupnya dipusatkan pada usaha
memperganda keuntungan ekonomi. Kapitalisme yang ditandai oleh semangat egois dan
individualistis yang tinggi telah membuka peluang bagi manusia untuk menghalalkan segala
cara demi pemenuhan kebutuhan hidup. Orang tidak segan-segan untuk mereduksi alam
secara Akibatnya, pelbagai nilai direduksikan ke dalam nilai ekonomi. Di sinilah terjadi
proses komodifikasi yaitu menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas yang berfungsi
mendatangkan keuntungan ekonomis, termasuk hal-hal yang bernilai secara budaya, mistik,
atau transenden. Singkatnya, rasionalitas kapitalisme global mereduksikan segala nilai ke
dalam satu aspek saja, yaitu ekonomi. Jalan bagi makna dan nilai menjadi tertutup, kecuali
nilai ekonomi semata.
Dalam konteks masalah pertambangan di Flores – Lembata, kapitalisme semakin
menguat ketika para pemilik modal atau penginvestasi bekerjasama dengan penguasa.
Penyatuan dua kekuasaan ini berimplikasi pada sirkulasi keuntungan politik dan ekonomi

yang hanya berkutat di antara para penguasa dan pengusaha. Sumber daya alam pun
dieksploitasi secara masif karena berlandaskan pada keuntungan ekonomi semata. Rakyat
ditelantarkan dan keadilan menjadi sebuah utopia.
Dua persoalan kunci dalam konteks korporasi pemilik modal dalam tambang. 5
Pertama: penguasaan. Korporasi menciptakan mekanisme penguasaan yang sistematis di
wilayah pertambangan sehingga mendapatkan apa yang mereka inginkan dari tujuan
investasi. Kasus-kasus ketimpangan ekonomi dan sosial yang terjadi di sekitar kawasan
pertambangan merupakan ekspresi dari penguasaan total yang dilakukan korporasi terhadap
masyarakat. Kedua: pemiskinan. Penguasaan berkaitan dengan kemiskinan di pihak lainnya.
Penguasaan dan kemiskinan menunjukkan dominasi korporasi dalam keseluruhan ruang
relasi. Penguasaan yang dilakukan korporasi lebih mirip dengan cara mengeruk dan
melumpuhkan sumber daya komunitas lokal. Proses ini menghasilkan kemiskinan bagi
komunitas lokal.
Ada tiga persoalan penting yang merujuk pada keberadaan komunitas lokal ketika
berhadapan dengan kapitalisme yang identik dengan kejahatan ekonomi. 6 Pertama: persoalan
kedaulatan. Masyarakat seharusnya memiliki kedaulatan atas kawasan tempat menjalankan
investasi. Kedaulatan berkaitan dengan kedudukan komunitas lokal dalam kaitan dengan hak
untuk mengatur dirinya sendiri dan bagaimana dunia luar di pandang kehadirannya
5Max Regus, Demokrasi Profetik (Malang: Parrhesia Institute, 2009), pp. 22-23.
6Ibid., pp. 23-24.


4

berdasarkan sudut pandang komunitas. Kedaulatan komunitas lokal atas tanah mengalami
pergeseran ketika korporasi menunjukkan kepentingan yang berbeda dengan aset sumber
daya yang menjadi hak masyarakat. Kedua: soal kesejahteraan. Pertanyaan seberapa besar
kesejahteraan yang dapat dinikmati masyarakat yang beroperasi di wilayahnya. Pertanyaan
mendasar ini tidak hanya berkaitan dengan pengembalian “ekonomis” dari keseluruhan
proses ekonomi politik. Kesejahteraan berelasi dengan aspek-aspek sosial, ekonomi, politik
dan budaya komunitas lokal. Ketiga: terjadinya multi kemiskinan pada masyarakat.
Kemiskinan sosial dan ekonomi menjadi karakter utama yang mengurung masyarakat
misalnya di daerah operasi tambang, masyarkat beresiko kehilangan hak atas tanah dan
hilangya hak-hak sipil.
Pada dasarnya, persoalan di atas terjadi karena para pemilik modal melakukan
interpretasi ekonomi atas sumber daya alam yang sepenuhnya merupakan milik rakyat.
Penginvestasian hanya berpusat pada resiko-resiko ekonomis, tanpa memperhitungkan
kekayaan antropologik, sosial dan budaya masyarakat. Ketiadaan kontrol negara pun
berdampak pada semakin berkembangnya kapitalisme dalam investasi atas tambang.
III. Alasan Mendasar Keterlibatan Gereja Menyoraki Tambang
3.1. Gereja Harus Senasib Dengan Dunia

Gereja yang mendunia tidak hanya menuntut warganya untuk bersikap sentire cum
ecclesia yang berarti merasa bersama Gereja, bertanggungjawab hanya kepada Gereja tetapi
juga bersikap sentire cum mundo yang berarti merasa senasib dengan dunia dan seluruh umat
manusia serta segenap ciptaan. Komitmen ini menemukan rumusan padatnya dalam kalimat
pertama Dokumen Konsili Vatikan II “Gaudium et Spes” yang menyatakan bahwa
kegembiraan dan harapan, duka dan derita umat manusia adalah juga derita dan harapan umat
Kristus. Dengan demikian, segala bentuk pertumbuhan dunia dan kehidupan manusia tidak
menyebabkan Gereja mengambil jarak dari dunia.
Gereja tidak bisa melepaskan diri dari dunia. Ia tidak semestinya membentuk kisa
atau gettho yang steril dari dunia. Ia semestinya berpijak pada dunia dalam pergumulan hidup
segenap ciptaan. Keterlibatan dan tanggung jawab Gereja dalam dunia bertujuan untuk
menyelamatkan manusia dan segenap ciptaan dari maraknya budaya kematian dalam
berbagai bentuknya. Dengan demikian, Gereja dituntut untuk mampu membaca tanda-tanda
zaman. Hal ini penting agar Gereja bisa menilai situasi manusia dan memilih nilai
berdasarkan nilai dalam Injil. Peran ini semakin terwujud jika Gereja tetap memperhatikan
ortopraksis (tindakan nyata) dan bukan hanya ortodoksi (ajaran iman).
3.2. Tambang Memuat Persoalan Ketidakadilan atas HAM
5

Ketidakadilan merupakan buah ketamakan, egoisme dan hawa nafsu memiliki. Setiap

bentuk ketidakadilan bertentangan dengan semangat Injil karena ketidakadilan mengingkari
martabat dan hak-hak manusia sebagai citra Allah. Ketidakadilan yang nampak dalam
pengeksploitasian sumber-sumber alam dan ketamakan baik perorangan maupun kolektif
sangat bertentangan dengan makna penciptaan pada awal mulanya. Dengan demikian,
ketidakadilan dapat dilihat sebagai ateisme praktis dan mengingkari Allah.7
Beberapa indikasi maraknya ketidkadadilan terhadap HAM dalam tambang di Flores
– Lembata. Pertama: pertambangan merenggut hak-hak penduduk lokal. Sebagai contoh: di
Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur, sekitar 22 perusahan
pertambangan melakukan aksi pertambangan. Di sana juga terdapat 20 izin kuasa
pertambangan yang aktif, mencakup 12 izin eksplorasi, izin persiapan eksploitasi, 3 izin
eksploitasi dan 4 izin usaha pertambangan (penjualan dan pengangkutan). 8 Terlepas dari
syarat legal – formal yang terpenuhi, sebuah kenyataan yang terjadi bahwa lokasi
pertambangan itu sebagian besar terletak di lokasi tanah pertanian dan perkebunan
masyarakat, sejumlah kawasan hutan desa, hutan lindung, daerah pesisir pantai serta tanahtanah adat. Pertambangan di daerah seperti ini berimplikasi pada hilangnya hak ekonomi
masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupan (lenyapnya berbagai jenis tanaman
komoditi dan lahan-lahan garapan masyarakat). Kedua: pertambangan mengangkangi
substansi demokrasi. Esensi demokrasi itu sendiri adalah rakyat harus dilibatkan dalam setiap
kegiatan pengambilan keputusan secara bebas, tanpa paksaan. Berdasarkan hal ini, eksplorasi
dan eksploitasi tambang di Flores – Lembata kerap diwarnai pembohongan seperti rencana
pertambangan marmer di daerah garapan masyarakat Tiwutora, Desa Ondorea, Kecamatan

Nangapanda, Kabupaten Ende di mana rakyat sama sekali tidak dilibatkan dalam proses
sosialisasi. Ketiga: di wilayah yang sudah dieksploitasi terjadi eksploitasi terhadap para
buruh oleh perusahaan. Perusahaan memperkerjakan buruh dengan jam kerja yang
melampaui jam kerja buruh (di atas 8 jam sehari), juga sistem penggajian yang tidak sesuai
dengan upah minimum pekerja.9 Keempat, pertambangan mencabut hak masyarakat untuk
hidup tentram dan damai. Sebagai Hak Asasi Manusia, hak untuk hidup aman dan tentram di
atas dunia mensyaratkan terpenuhinya sejumlah kebutuhan masyarakat (syarat minimum)
termasuk lingkungan hidup yang bersih dan kondusif.10 Belakangan ini, perlindungan
7Eduard R. Dopo (ed.), Keprihatinan Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1992), p. 50.
8Bdk. S. Tupeng Witin, “Rencana Tambang Marmer Resahkan Warga (Masih Tahap Basecamp)”, dalam
Alex Jebadu dkk (eds.), Op. Cit., pp. 3-7.
9Simon B. Tukan, “Industri Pertambangan: Mesin Penghancur yang Masif di Manggarai” dalam Ibid., p.
290.
10G. J. Aditjondro, Korban-Korban Pembangunan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p. 330.

6

terhadap lingkungan alam telah mulai diperhitungkan sebagai jaminan hidup bagi martabat
manusia. Kita tidak dapat berbicara tentang pemenuhan HAM dengan mengorbankan alam
dan semua makhluk hidup lain.11 Ketika pemerintah mengabaikan kesejahteraan masyarakat
lewat praktik KKN, pembiaran terhadap aktivitas pertmbangan yang eksploitatif dan
destruktif semakin memperjelas praktik penistaan pemerintah terhadap hak-hak asasi
masyarakat.
3.3. Pertambangan Mengingkari Hak Asasi Alam
Martabat manusia tidak dapat dipenuhi melalui hak-hak asasi manusia dengan
mengorbankan alam dan semua makhluk hidup lain. Hak-hak asasi itu hanya dapat dipenuhi
dalam keselarasan hidup dan tindakan melestarikan alam. Jika hak-hak asasi manusia tidak
disatukan ke dalam hak-hak fundamental alam, hak-hak tersebut tidak bisa diklaim memiliki
ciri universal.12 Karena itu, hak-hak asasi manusia harus diselaraskan dengan hak-hak alam.
Jika manusia mempunyai hak asasi atau hak-hak fundamental, alam pun memiliki hak
asasi (the right of nature) di samping apa yang disebut natural rights.13 Alam semesta
memiliki hak dalam arti negatif, yakni tidak boleh dihancurkan atau diintervensi secara
sewenang-wenang. Hak-hak tersebut termaktub dalam hak atas perlindungan, kebebasan
untuk bertumbuh dan berkembang. Jika alam dihancurkan, maka ia harus dipulihkan kembali.
Dengan kata lain, seluruh ciptaan berhak atas restitusi atau keadilan retributif. 14 Hal ini
menegaskan bahwa ciptaan lain juga memiliki hak, sekurang-kurangnya hak untuk hidup,
yang pada gilirannya membangkitkan dalam diri manusia dan tanggung jawab atas kehidupan
segenap ciptaan.
IV. Sikap Gereja Terhadap Para Elitisme Politik dan Ekonomi dalam kaitannya dengan
Pertambangan
4.1. Hubungan Gereja dengan Kekuatan-Kekuatan Ekonomi dan Politik
Uraian tentang pola hubungan yang dibangun antara Gereja dan negara yang
terejawantah dalam kekuatan-kekuatan politik dan ekonominya sangat jelas terlampir dalam
Dokumen Konsili Vatikan II yakni Gaudium et Spes (GS)15:
“Berdasarkan tugas maupun wewenangnya Geeja sama sekali tidak dapat
dicampuradukkan dengan Negara dan tidak terikat pada sistem politik manapun

11Franz Ceunfin (ed.), Hak-Hak Asasi Manusia Aneka Suara dan Pandangan, Jiid II (Maumere:
Ledalero, 2006), p. 243.
12Ibid., p. 256.
13Ignas Kleden, “Globalisasi dan Implikasi Sosial Budaya”, dalam Romanus Satu dan Herman Wetu
(Ed.), Gereja Milenium Baru (Tangerang: Yayasa Gapura: 2000), p. 26.
14Peter C. Aman, “Manusia dan Ciptaan: Perspektif Moral”, dalam Basis, Tahun ke 56, Nomor 05-06,
Mei-Juni 2006, p. 14.
15R. Hardawiryana (penterj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), p

7

juga. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendensi pribadi
manusia (GS 76 par. 2)
“Di bidang masing-masing, Negara dan Gereja bersifat otonom, tidak saling
bergantung. Tetapi kedua, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan
pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan semakin efektif jika
dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, dengan menjalin kerja sama
yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan semasa. Manusia tidak
terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah
manusiawi ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal.
Gereja yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya,
supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah
keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran injil, dan dengan menyinari
semua bidang manusiawi melalui ajaranNya dan melalui kesaksian umat Kristen,
Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab
politik para warga negara (GS 76 par. 3).

Berdasarkan pernyataan di atas, kita dapat menyimpulkan dua hal penting. 16 Pertama:
dinyatakan bahwa yang menjadi tujuan usaha, baik Negara maupun Gereja adalah sama, yaitu
manusia. Kedua: dalam menjalankan tugas itu, baik Negara maupun Gereja, masing-masing
otonom. Gereja Katolik mengakui otonom setiap negara di bidang kehidupan kemasyarakatan
yang diselenggarakan serta berkembang menurut hukumnya sendiri, yang tidak dapat
disamakan dengan kaidah-kaidah agama apa pun. Sementara itu, Gereja mempunyai
panggilannya sendiri dan menghendaki kebebasan untuk menjalankan tugas-tugasnya demi
kesejahteraan semua masyarakat dan demi keselamatan manusia seutuhnya, baik yang
bersifat rohani maupun jasmani.
Sesuatu yang tidak dapat dimungkiri bahwa hubungan atau relasi itu akan tetap
diliputi oleh interpretasi dengan latar kepentingan yang ada. Berhadapan dengan hal ini,
Gereja dan Negara harus menyadari bahwa segala kesalahpahaman antara keduanya harus
dicairkan sehingga friksi-friksi yang terjadi di antara keduanya tidak menimbulkan konflik.
Selain itu, otonomi timbal balik antara Gereja dan Negara tidak mencakup sebuah pemilahan
yang menafikan kerja sama. Keduanya, meskipun dengan hak-hak yang berbeda-beda,
melayani panggilan personal dan sosial dari manusia yang sama. Oleh karena itu, Gereja dan
Negara harus bahu-membahu dalam mengusahakan penegakan keadilan dan mengusahakan
kesejahteraan seluruh rakyat serta keutuhan ciptaan. Akan tetapi sebagai lembaga keagamaan
yang otonom, gereja mengemban fungsi dan otoritas yang bebas dari pengaruh Negara, dan
sebaliknya Gereja tidak berhak untuk mengatur kehidupan negara karena Negara mempunyai
p. 50.

16Ignatius Suharyo, The Cahtolic Way: Kekatolikan dan Keindonesian Kita (Yogyakarta: Kanisius, 2009),

8

fungsi tersendiri dalam menjalankan panggilannya di dunia (Rm.13:16-17; I Ptr.2:13-14).
Dengan demikian, Gereja dan Negara harus membina hubungan yang koordinatif dan bukan
hubungan subordinatif di mana yang satu menguasai yang lain.
Gereja dan Negara masing-masing mempunyai tugas panggilannya yang harus
dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab untuk kebaikan seluruh manusia bahkan seluruh
ciptaan. Gereja mempunyai kewajiban untuk menaati hukum negara, sebaliknya Negara
berkewajiban mengayomi dan melindungi seluruh rakyatnya, termasuk Gereja agar leluasa
dalam menjalankan fungsi dan panggilannya masing-masing.
4.2. Sikap Gereja terhadap Kekuatan-Kekuatan Ekonomi dan Politik dalam kaitannya
dengan Persoalan Tambang
Berdasarkan uraian tentang hubungan Gereja dan Negara yang nyata dalam kekuatankekuatan ekonomi dan politiknya, kedua lembaga ini merupakan lembaga-lembaga otonom
sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan distingtif guna membedakan ruang
perhatiannya. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Gereja akan apatis dalam ranah
ketidakadilan dan penindasan yang disebabkan oleh kehadian para elitisme ekonomi dan
politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.2.1. Fakta Lapangan Tentang Ketidaksiapan Gereja Menyoraki Tambang
De facto, Gereja sebagai salah satu lembaga pejuang keadilan terutama dalam
kaitannya dengan masalah tambang terkadang belum begitu siap untuk bersuara. George Y.
Aditjondro mengemukakan sejumlah alasan struktural ketidaksiapan Gereja.17 Pertama:
kompleks minoritas yang diidap sebagian besar pemimpin Gereja yang membuat mereka
takut mengecam proyek-proyek raksasa yang didukung oleh pemerintah. Kedua: mentalitas
daerah tertinggal yang mendorong para pemimpin informal dan formal untuk mendukung
industrialisasi secara tidak kritis. Dukungan terhadap proyek-proyek raksasa diharapkan
mampu untuk menciptakan lapangan kerja yang luas bagi ekonomi setempat. Ketiga: latar
belakang pendidikan para pemimpin Gereja umumnya didominasi oleh teologi dan ilmu
sosial tanpa mendalami masalah lingkungan ekonomi dan politik. Hal ini dapat dibuktikan
oleh kurangnya para agen pastoral yang mengambil studi teologi lingkungan hidup. Keempat:
rasa terima kasih para pemimpin Gereja yang berlebihan kepada para donatur yang memiliki
andil besar dalam pembangunan fisik Gereja.
Atas dasar ketidaksiapan ini, maka muncul variasi sikap yang ditunjukkan oleh para
agen pastoral di lapangan berkaitan dengan masalah tambang tersebut.18 Pertama: sikap
17George Y. Aditjondro, “Gereja Belum Siap Komunikasikan Dampak Negatif Pertmabangan”, dalam
Alex Jebadu dkk (Eds.), Op. Cit., pp. 54-55.
18Bdk. Robert Mirsel, “Masalah Tambang sebagai Masalah Pastoral”, dalam Ibid., pp. 366-369.

9

mendukung eksploitasi tambang. Alasan utama pro tambang dari para agen pastoral tersebut
sejalan dengan alasan pemerintah yakni tambang akan membawa kesejahteraan bagi
masyarakat. Sikap semacam ini menggambarkan adanya suatu upaya saling dukung antara
pemerintah dan pihak pemimpin Gereja. Sikap saling dukung ini bisa saja dilatarbelakangi
suatu janji dan pengharapan bahwa Gereja juga akan mengambil keuntungan dari usaha
tambang. Kedua: sikap ragu-ragu. Sikap ini muncul karena ketakutan para agen pastoral
untuk bertabrakan dengan penguasa politik dan ekonomi. Selain itu, rasa kurangnya percaya
diri dan kecemasan harga dirinya direndahkan ketika berhadapan dengan sejumlah sindirian
dan kritikan dari pemerintah dan pengusaha. Ketiga: sikap masa bodoh (indiferent). Hal ini
diakibatkan oleh ketidakminatan para gembala atau juga karena mereka tidak memiliki
pemahaman yang komprehensif tentang tugas kegembalaan. Selanjutnya, keterlibatan dalam
membela kepentingan umat yang terancam dilihat sebagai sesuatu yang tidak perlu dan tidak
mendesak. Mereka menganggap bahwa keterlibatan semacam itu bukan sesuatu yang bersifat
mewajibkan melainkan sebuah pilihan. Puncak dari sikap masa bodoh adalah “cuci tangan”
terhadap segala bentuk kegelisahan umatnya. Keempat: sikap menolak tambang. Sikap para
gembala seperti ini ditopang atas dasar keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat akar
rumput dimana tanah dan lingkungan hidupnya sedang terancam karena adanya eksploitasi
tambang.
4.2.1. Tolak Tambang Sebagai Opsi Utama Gereja
Sikap menolak tambang sebagai salah variasi sikap para agen pastoral, mestinya
berakar dan dihidupi oleh segenap agen pastoral Gereja. Alasan mendasarnya bahwa setiap
pelayanan pastoral Gereja berusaha menjawab persoalan-persoalan umat yang aktual.
Pertambangan juga menjadi pokok perhatian kegiatan pastoral Gereja karena masalah
pertambangan merupakan problem yang dihadapi umat. Hal ini beralasan karena penguasa
yang adalah representasi rakyat tidak terbukti membela hak rakyat dengan segala
kegelisahannya. Di samping itu, para investor yang diharapkan dapat memajukan kehidupan
perekenomian dan kesejahteraan para warga di sekitar lokasi yang diinvestasi juga tidak
menampakkan keberpihakannya. Para penguasa dan para investor semakin menumbuhkan
jurang perbedaan dan menabur konflik. Di tengah kegamangan dunia seperti ini, Gereja tidak
boleh menutup mata dan nyaman dalam menara gadingnya. Gereja mesti mesti menunjukkan
keberpihakannya kepada golongan atau kelompok yang menderita. Umat Allah sebagai pihak
yang dikorbankan adalah manusia yang juga merupakan bagian dari keseluruhan kosmos.
Dengan kata lain, perhatian terhadap persoalan tambang memang menjadi bagian dari

10

pelayanan pastoral karena konteks

pelayanan pastoral adalah penyelamatan universal;

penyelamatan seluruh ciptaan yakni manusia dan alam.
Dalam kaitannya dengan pertambangan di Flores – Lembata, kita menemukan
sejumlah tindakan penipuan, manipulasi, penghancuran yang masif terhadap alam,
pengerukkan sumber daya alam secara besar-besaran, penggusuran komunitas lokal dan
berbagai ketimpangan lainnya. Ketimpangan-ketimpangan tersebut disebabkan oleh para
investor

dan penguasa birokrasi (pemerintah), legislatif dan pihak keamanan. Tanpa

menafikan kiprah dan sepak terjang elemen masyarakat, Gereja Katolik sebagai sebuah
institusi religius, tampil sebagai salah satu oposan kaum kapitalis dan pro tambang. Meskipun
belum menampakkan hasil yang maksimal, optimalisasi pergerakan dan acuan Gereja, di
antaranya tercermin lewat aksi Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice,
Peace, and Integrity of Creation atau JPIC). Pemeliharaan keutuhan ciptaan adalah dasar
legitimasi terhadap panggilan profetik dan praksis pastoral Gereja Katolik.
Dalam menanggapi persoalan tambang, sikap apatis dan tutup mulut Gereja Katolik
dapat dilihat sebagai bentuk afirmasi terhadap laju pertambangan. Gereja juga tidak
diharapkan mengambil posisi netral. Netral dalam situasi penindasan dan ketidakadilan
adalah sama dengan mendukung penindasan dan ketidakadilan itu sendiri. Atas dasar ini,
maka Gereja dituntut untuk memiliki opti yang jelas. Dalam konteks masalha pertambagan,
opsi Gereja yang semestinya adalah sikap menolak tambang.
Melihat dampak-dampak yang ditimbulkan dari industri pertambangan, kita bisa
mengatakan

bahwa

kebijakan

pertambangan

sebetulnya

bukan

membawa

berkat

(kesejahteraan dan kemakmuran), melainkan membawa kutukan (kehancuran, kemiskinan,
dan penyakit) bagi masyarakat. Oleh karena itu, amatlah tepat dan bijak jika pemerintah
mulai mempertimbangkan kembali seluruh kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada
kehidupan. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan pertambangan yang ternyata
lebih banyak merugikan masyarakat (yang menjadi tujuan dan sasaran pembangunan) serta
lingkungan hidup, daripada kesejahteraan yang dijanjikan. Jika kita menginginkan
kesejahteraan, maka tambang bukanlah pilihan yang tepat, strategis, dan bijaksana.
Gereja sebagai perintis tolak tambang tentu perlu diikuti oleh usaha semua elemen
untuk memperlihatkan bahwa Flores - Lembata masih bisa mengembangkan potensi-potensi
lainn. Hanya, selama ini kita belum bekerja optimal. Karena itu, tambang hanyalah solusi
bagi mereka yang berpikir pragmatis dan oportunis. Potensi yang dimiliki Flores - Lembata
sebenarnya cukup. Sekali lagi, sikap yang dibutuhkan adalah pelaksanaan program-program
yang berspirit pemberdayaan masyarakat, sehingga hasilnya berlaku dalam jangka panjang,

11

juga reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, sehingga dana yang diperuntukkan bagi
optimalisasi potensi-potensi daerah betul-betul sampai di tangan masyarakat.
Dan, tidak kalah pentingnya adalah bekerja serius, berpikir serius untuk Flores –
Lemabata dan NTT pada umumnya. Tambang tetap bukan solusi. Ketika menerima tambang,
kita sebenarnya sedang bergerak mendekati pintu kehancuran dan krisis yang keparahannya
melebihi apa yang kita alami sekarang. Kita tetap mengharapkan lahirnya gagasan cerdas
yang diikuti aksi nyata dari pemerintah, LSM dan Gereja di NTT. Lembaga-lembaga
penelitian di bidang pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan perlu berusaha melahirkan
inovasi baru demi optimalisasi potensi-potensi ekonomi masyarakat.
V. Penutup
Dari sejumlah gagasan yang saya paparkan dalam tulisan ini, akhirnya saya sampai
pada suatu kesimpulan bahwa kebijakan pertambangan sebagai salah satu strategi
pembangunan terbukti gagal mewujudkan cita-cita kesejahteraan bersama (bonum commune).
Bahkan, kebijakan pertambangan dinilai bertentangan dengan keadilan sosial yang menjadi
arah dan tujuan pembangunan bangsa Indonesia. Hal ini terjadi karena minimnya partisipasi
masyarakat serta tidak adanya konsultasi publik yang menjadi basis setiap kebijakan publik.
Masyarakat pun menyadari bahwa janji kesejahteraan hanyalah ilusi dan trik tipu daya
belaka. Oleh karena itu, dalam menentukan dan memutuskan setiap kebijakan publik sudah
sepatutnya pemerintah—baik pusat maupun daerah—perlu melibatkan semua pihak termasuk
masyarakat. Selain itu, pemerintah dan pengusaha juga perlu mempertimbangkan dimensi
sosial, budaya, ekonomi, ekologi, dan religius yang merupakan elemen dasar dari bangunan
suatu masyarakat. Tanpa mempertimbangkan dan memperhatikan dengan sungguh dimensidimensi tersebut, kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah hanya menuai protes dan
kritikan pedas masyarakat.
Alternatif yang ditawarkan kelompok tolak tambang khususnya Gereja Katolik
sebenarnya bukan sesuatu yang sama sekali baru, hanya butuh kemauan untuk berusaha dan
kerelaan untuk “bekerja lebih” bagi masyarakat. Pesan mereka amat sederhana, yakni, jangan
terima tambang, optimalkan potensi yang sudah ada, potensi yang bisa menjamin
kelangsungan hidup manusia dan alam di NTT.

12

DAFTAR PUSTAKA
DOKUMEN
Hardawiryana, R. (penterj.). Dokumen Konsili Vatikan II . Jakarta: Obor. 1993.

BUKU-BUKU
Aditjondro, G. J. Korban-Korban Pembangunan. Yogyakarta: Kanisius. 2003.
Ceunfin, Franz (ed.). Hak-Hak Asasi Manusia Aneka Suara dan Pandangan, Jiid II.
Dopo, Eduard R. (ed.). Keprihatinan Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius. 1992.
Maumere: Ledalero. 2006.
Jebadu, Alex dkk (eds.), Pertambangan di Flores – Lembata: Berkat atau Kutuk? Maumere:
Ledalero. 2009.
JPIC – OFM Indonesia. Mencegah Tanah Manggarai Hancur. Jakarta: Sekretariat JPIC
OFM. 2008.
Regus, Max. Demokrasi Profetik. Malang: Parrhesia Institute. 2009.
Satu, Romanus dan Herman Wetu (eds.). Gereja Milenium Baru. Tangerang: Yayasa Gapura.
2000.
13

Suharyo, Ignatius. The Cahtolic Way: Kekatolikan dan Keindonesian Kita. Yogyakarta:
Kanisius. 2009.
Susilo, Eko Budi. Gereja dan Negara. Malang: Averroes Press. 2002.
MAJALAH
Basis, Tahun ke 56, Nomor 05-06, Mei-Juni 2006

14