SEJARAH PEMIKIRAN RIBA Era Tasyri hingga

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam dan semua esensi yang terkandung di dalamnya diturunkan oleh Allah SWT
sebagai rahmatan li al-alamin. Dalam arti singkat, Islam hadir selain sebagai
penyempurna agama terdahulu tapi juga sebagai pedoman bagi seluruh semesta alam
karena kandungannya yang bersifat universal dan selalu sejalan dengan perkembangan
zaman. Segala hal yang telah terlebih dahulu terjadi akan ditanggapi oleh syariat Islam,
apakah hal tersebut baik atau pun buruk sehingga manusia dapat mengambil langkah tepat
dalam menyikapi segala fenomena yang terjadi di alam semesta. Salah aspek serta
fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah dalam bermuamalah atau
perekonomian.
Ekonomi berprinsip syari’ah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan lahir dan
berkembangnya agama Islam di dunia. Ketika Rasulullah SAW berada di Mekkah,
kegiatan ekonomi belum sempat dilaksanakan sebab perjuangan Rasulullah SAW lebih
terpusat pada perekonstruksian tauhid. Setelah beliau hijrah ke Madinah dan diangkat
sebagai pemimpin Madinah, dalam tempo yang sangat singkat beliau mampu
melaksanakan pemerintahan dengan baik dan mencakup keseluruhan aspek mu’amalah
seperti pembentukan instansi negara, politik dalam dan luar negeri serta meletakkan dasardasar sistem keuangan negara.
Menurut Syafi’i Antonio, sebagaimana dikutip oleh Adiwarman Karim, sebagai
penyempurna risalah agama terdahulu, Islam memiliki syari’ah (hukum positif) yang

sangat istimewa, yakni bersifat komprehensif dan universal. Komprehensif berarti syari’ah
Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial
(mu’amalah), sedangkan universal berarti syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap
waktu dan tempat sampai hari kiamat nanti.1
Dalam QS. Al-Anbiya 107, Al-Qur’an tidak memuat berbagai aturan yang
terperinci tentang syariah, dalam sistematika hukum Islam terbagi menjadi dua bidang,
ritual (ibadah) dan sosial (mu’amalah). Hal ini menunjukan bahwa Al-Qur’an hanya
mengandung prinsip-prinsip umum bagi berbagai masalah hukum dalam Islam, terutama
yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mu’amalah. Adapun untuk merespon

1

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada). Cetakan
IV. 2004. 5.

1

perkembangan zaman dan mengatur kehidupan duniawi secara mendetail, Allah SWT
telah menganugerahi manusia dengan akal pikiran.2
Secara historis baik sosio maupun kultural telah terdapat fenomena di dalam

perekonomian pasca dan pra Rasulullah SAW membawa syariat Islam. Hal tersebut adalah
riba. Secara singkat riba berarti sebuah pembebanan utang yang dilakukan oleh si pemilik
dana kepada si peminjam dengan cara mamatok pengembalian yang lebih dari pada utang
pokok di awal. Islam menilai riba sangat tidak manusiawi dan melanggat hak-hak sesama
manusia dan terdapat unsut aniaya di dalam prakteknya. Untuk lebih jelasnya, penulis
akan sedikit membahas permasalahan riba di dalam makalah ini dari awal munculnya
sampai pada ijtihad kontemporer mengenai riba.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas penyusun mencoba menarik beberapa
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa definisi riba dan sejarah munculnya riba?
2. Bagaimana kronologi pengharaman riba?
3. Ada berapakah macam-macam atau jenis riba ?
4. Seperti apakah pemikiran atau praktik riba di masa sekarang ?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk menjawab beberapa perumusan masalah
di atas yaitu:
1. Apa definisi riba dan sejarah munculnya riba?
2. Bagaimana kronologi pengharaman riba?
3. Ada berapakah macam-macam atau jenis riba ?

4. Seperti apakah pemikiran atau praktik riba di masa sekarang ?

2

Ibid,.

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Sejarah Riba
Riba secara bahasa berarti tambahan (‫ )زيادة‬karena salah satu perbuatan riba adalah
meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan. Riba juga berarti berkembang (‫)النام‬
karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang
dipinjamkan kepada orang lain. Riba juga dapat berarti berlebihan atau menggelembung
yang ditarik dari arti dalam al-Qur’an pada surah Al-Hijr ayat 5:3

......   
“Bumi jadi subur dan gembur....”
Riba jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menggunakan kata usury yang

mengandung dua dimensi pengertian. Pertama, tindakan atau praktik peminjaman uang
dengan tingkat suku bunga yang berlebihan dan tidak sesuai dengan hukum. Kedua, suku
bunga dengan rate tinggi.4 Nurul Huda mengutip pendapat Yusuf Qardhawi bahwasanya,
jika ditinjau dari sudut fiqh maka bunga bank adalah riba yang jelas-jelas hukumnya
haram. Atas pendapat sebagian kalangan yang menghalalkan bunga komersial (bunga
dalam rangka usaha) dan mengharamkan bunga konsumtif (bunga dalam rangka
memenuhi kebutuhan sehari-hari). Qardhawi menyatakan bahwa keduanya haram.5
Hendi Suhendi di dalam bukunya Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam,
mengutip pendapat Muhammad Abduh bahwasanya yang dimaksud dengan riba adalah
penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang
yang meminjam hartanya (uangnya) karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam
dari waktu yang telah ditentukan.6
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba dalam istilah hukum Islam,
riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda maupun jasa yang mengaharuskan pihak
pinjaman untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang
meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu. 7 Sehingga dapat
disimpulkan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam meminjam dengan cara membungakan harta atau uang yang dipinjam
tersebut secara batil yang bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
3


Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pers), 2010. 57.
Nurul Huda dkk., Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Cet. I, (Jakarta: Kencana), 2008, 13.
5
Ibid.
6
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah......58.
7
Abdul Rahman Ghazaly , dkk, Fiqh Muamalat.( Jakarta : Kencana Prenada Media) 2010, 217.
4

3

Jauh sebelum Islam datang riba sudah dikenal dan menjadi praktik sehari-hari
bahkan menjadi budaya. Pada masa Yunani sekitar abad VI SM sampai I Masehi telah
terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi bergantung pada
kegunaannya. Pada masa Romawi sekitar abad V SM hingga IV Masehi, terdapat undangundang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut
sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (miximum legal rate). Nilai suku
bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang
membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara

berbunga-bunga (double countable).8
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua
orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato dan Aristoteles mengecam praktik bunga. Plato
mengecam sistem bunga berdasarkan dua hal. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan
dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan karya
untuk mengeksploitasi golongan miskin. Adapun Aristoteles dalam menyatakan
keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of
exchange. Ditegaskannya bahwa uang bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui
bunga.9
Pada masa kenabian Muhammad SAW, praktik riba pun masih terus berlangsung
karena memang telah mengakar di dalam masyarakat dunia. Seorang sahabat yang pernah
berhubungan dengan riba adalah Usman bin ‘Affan. Dia mengambil riba melalui pinjam
meminjam kurma. Sebagai pemilik kebun kurma untuk digarap oleh orang lain, pada saat
memetik hasilnya, si peminjam yang juga penggarap berkata jika si pemilik hanya
mengambil separuh hasilnya saja dan menyerahkan sisanya kepada penggarap, maka
kelak penggarap selaku peminjam akan mengembalikan korma itu dua kali lipat dari
jumlah tersebut ketika akad. Ketika berita ini sampai kepada Nabi, maka Nabi melarang
perjanjian tersebut. Pemberi pinjaman hanya boleh menerima pinjaman sejumlah yang ia
pinjamkan.
Di Madinah transaksi riba biasanya dilakukan oleh orang Yahudi. Hal ini terjadi

ketika orang Yahudi dimintai bantuan untuk persiapan militer di Madinah karena akan
adanya penyerangan dari penduduk Makkah. Namun orang Yahudi menolak permintaan
tersebut, mereka bersedia memberi pinjaman 80 dinar dengan bunga sebesar 50% dalam
jangka waktu satu tahun. 10
8

M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Cet.I, (Jakarta: Gema Insani), 2001, 44.
Ibid., 45.
10
Nurul Huda dkk, Ekonomi Makro......242.
9

4

B. Pengharaman Riba oleh Syariat Islam
1. Landasan Hukum
Riba yang telah mengakar dan menjadi budaya masyarakat setempat tidak bisa
langsung dihapuskan begitu saja. Syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW secara
berangsur dalam meluruskan penyakit riba di masyarakat tersebut. Allah secara
kronologis menurunkan ayat dalam al-Qur’an melalui empat tahap untuk

mengharamkan riba ini. Hal ini sama sekali tidak mengurangi daya kuasa Allah
terhadap hamba-Nya atau bukan berarti Allah tidak bisa langsung memberikan
perintah tegas untuk meninggalkan riba akan tetapi lebih karena sesuatu hal yg sudah
menjadi kebiasaan jika langsung dilarang secara total akan sangat kurang menyentuh
dan memberikan shock kepada umat.
Adapun tahapan-tahapan dalam al-Qur’an mengenai pengharaman riba ini ada
empat.11 Berikut kronologisnya:
a. Menolak anggapan atau paradigma bahwa pinjaman riba yang pada dzahirnya
seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan
mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
Hal ini tertuang di dalam al-Qur’an surah al-Rum ayat 39 :

        
          
  
“Dan sesuatu yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
b. Pada tahap kedua ini pun masih belum secara gamblang mengharamkan riba. Akan

tetapi secara sedikit demi sedikit setelah ayat sebelumnya, riba kembali
digambarkan sebagai sesuatu yang tidak baik. Ayat ini mengancam praktik riba
yang masih saja dijalankan oleh umat Yahudi padahal sebelum Nabi Muhammad
datang, mereka pun telah dilarang untuk melakukan riba. Indikasi mengenai riba
yang sudah ada sebelum Nabi Muhammad SAW datang juga tersirat di dalam ayat
ini, di mana agama samawi lainnya (Yahudi dan Kristen) juga dilarang melakukan
praktik riba. Berikut ayat 160-161 dalam surah al-Nisa’:

       
         

11

M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah......48-50.

5

       
   
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka

(memakan makanan) yang baik-baik (yang dulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.
c. Pada tahapan ketiga ini, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan
yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan riba dengan
tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada
masa tersebut. Ayat yang melarang riba jenis ini terdapat di dalam ayat 130 surah
Ali Imran:

      
     
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan keuntungan”.
Perlu dipahami secara seksama dan hati-hati terhadap menafsirkan ayat ini. Jika
diartikan secara harfiah bisa menjadi sebuah permasalahan baru karena akan
menimbulkan pembelaan bahwasanya riba yang diambil tidak dengan berlipat
ganda adalah boleh. Padahal secara umum bahwasanya memang praktik riba pada
masa itu adalah pembungaan uang secara berlipat ganda.

d. Pada tahap terakhir ini Allah SWT dengan tegas dan jelas melarang semua praktik
riba dengan jenis apa pun yang diambil dari tambahan pinjaman. Berikut ayat 278279 dalam surah al-Baqarah:

        
    
   
         
   
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu
pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan juga tidak dianiaya”.
Pengharaman riba pada era tasyri’ tidak hanya terdapat di dalam al-Qur’an,
akan tetapi beberapa hadits Nabi SAW juga memuat larangan praktik riba. Beberapa
hadits yang memuat pembahasan tentang riba adalah sebagai berikut:

‫ة ع‬
‫قععاَ ع‬
‫حددث ععناَ ن‬
‫ن‬
‫ل أع و‬
‫خب ععرن نععيِ ع‬
‫عب ع ن‬
‫ن ن‬
‫و ن‬
‫شعع و‬
‫ل ع‬
‫جاَ ن‬
‫ح د‬
‫حددث ععناَ ع‬
‫ع‬
‫من و ع‬
‫ج بو ن‬
‫ععع ع و‬
‫هاَ ل‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫مععاَ ع‬
‫ة ع‬
‫حي و ع‬
‫ت أب نععيِ ا و‬
‫قععاَ ع‬
‫معر‬
‫فعع ع‬
‫ح د‬
‫شععت ععرىَ ع‬
‫ج ع‬
‫ن أب نععيِ ن‬
‫ل عرأي وعع ن‬
‫بو ن‬
‫فععأ ع‬
‫جاَ م‬
6

‫ف ع‬
‫ن ذعل ن ع‬
‫ك ع‬
‫ه ع‬
‫سو ع‬
‫قاَ ع‬
‫ه‬
‫ه ع‬
‫ل الدلعع ن‬
‫فك ن ن‬
‫م ن‬
‫ج ن‬
‫ل إن د‬
‫م ع‬
‫سعر و‬
‫ن عر ن‬
‫ت ع ع‬
‫ع و‬
‫سأل وت ن ن‬
‫بن ع‬
‫حاَ ن‬
‫ب‬
‫هىَ ع‬
‫ه ع‬
‫عل عي و ن‬
‫م نع ع‬
‫و ع‬
‫ع و‬
‫وث ع ع‬
‫ن ثع ع‬
‫سل د ع‬
‫صدلىَ الل د ن‬
‫ن ال وك عل وعع ن‬
‫ع‬
‫ن الععددم ن ع‬
‫ه ع‬
‫معع ن‬
‫م ن‬
‫ع‬
‫و‬
‫و‬
‫ع‬
‫و‬
‫ع‬
‫وآَك نعع ع‬
َ‫ل الررب عععا‬
‫م ع‬
‫م ع‬
‫و ن‬
‫وا ن‬
‫م ن‬
‫ول ع‬
‫م و‬
‫وك و‬
‫ع ع‬
‫شعع ع‬
‫وال ن‬
‫ش ع‬
‫ب ال ع‬
‫س ن‬
‫ة ع‬
‫ست ع و‬
‫ة ع‬
‫ن ال ع‬
‫ة ع‬
‫ع‬
‫و‬
‫ع‬
‫ع‬
‫وعر‬
‫ص‬
‫م‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ل‬
‫و‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ك‬
‫مو‬
‫و‬
‫ع ن ن ن ع ع ع‬
‫ن ع ر‬
“Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan
darah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak
tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku
menjawab bahwa Rasulullah SAW melarang untuk menerima uang dari transaksi
darah, anjing, dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato
dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para
pembuat gambar”. (HR. Bukhori 2048 Bab al-Buyu’)

‫و‬
‫وي ععع ن‬
‫ة ن‬
‫م ع‬
‫ح ع‬
‫حددث ععناَ ي ع و‬
‫حاَقن ع‬
‫س ع‬
‫ع‬
‫حددث ععناَ إ ن و‬
‫حعيىَ ب وعع ن‬
‫حععددث ععناَ ن‬
‫ن ع‬
‫هعع ع‬
‫عاَ ن‬
‫صععاَل ن ل‬
‫ع و‬
‫حعيىَ ع‬
‫قاَ ع‬
‫ر‬
‫د ال و ع‬
‫ن ع‬
‫ت ن‬
‫سدلم ل ع‬
‫قب ع ع‬
‫غععاَ ن‬
‫عب وعع ن‬
‫س ن‬
‫م و‬
‫ن يع و‬
‫ع ن‬
‫ل ع‬
‫ن ع‬
‫ة ب وعع ع‬
‫ع و‬
‫اب و ن‬
‫ف ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ه ع‬
‫جععاَءع ب نعل ل‬
‫قاَ ع‬
‫ل‬
‫د ال و ن‬
‫ه ع‬
‫س ن‬
‫ي عر ن‬
‫عي ل‬
‫س ن‬
‫ل ع‬
‫م ع‬
‫ع أعباَ ع‬
‫ه ع‬
‫عن و ن‬
‫يِ الل د ن‬
‫ر د‬
‫أن د ن‬
‫ض ع‬
‫خدو ن‬
‫ف ع‬
‫يِ ع‬
‫قععاَ ع‬
‫ه‬
‫ه ع‬
‫عل عي و ن‬
‫و ع‬
‫ل ل ععع ن‬
‫م ب نت ع و‬
‫سل د ع‬
‫صدلىَ الل د ن‬
‫يِ ع‬
‫إ نعلىَ الن دب ن‬
‫ه ع‬
‫ر ب عورن نعع ي‬
‫ر‬
‫معع ل‬
‫ع‬
‫ل ع‬
‫ذا ع‬
‫ل ب نعل ل‬
‫قاَ ع‬
‫ه ع‬
‫ن‬
‫ه ع‬
‫ن ع‬
‫م ن‬
‫عل عي و ن‬
‫كععاَ ع‬
‫و ع‬
‫ن أي و ع‬
‫م و‬
‫سل د ع‬
‫صدلىَ الل د ن‬
‫يِ ع‬
‫ه ع‬
‫الن دب ن ي‬
‫ي ع‬
ِ‫ي‬
‫صععاَ ع‬
‫ع ل نن نطو ن‬
‫ن‬
‫ت ن‬
‫ملر عر ن‬
‫فب ن و‬
‫ع ن‬
‫ععع ع‬
‫من و ن‬
‫د ي‬
‫عن ودععناَ ت ع و‬
‫ن بن ع‬
‫ه ع‬
‫م الن دب نعع د‬
‫صععاَ ل‬
‫عي و ن‬
‫ف ع‬
‫م ع‬
‫قععاَ ع‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه ع‬
‫ه ع‬
‫عل عي وعع ن‬
‫عل عي وعع ن‬
‫و ع‬
‫صععدلىَ الل دعع ن‬
‫سععل د ع‬
‫صدلىَ الل دعع ن‬
‫يِ ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ل الن دب نعع ي‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫د‬
‫ع‬
‫و‬
‫ععع و‬
‫ع‬
‫ل‬
‫ف‬
‫ت‬
‫ل‬
َ‫ععا‬
‫ب‬
‫ر‬
‫ال‬
‫ن‬
‫عع‬
‫ي‬
‫ع‬
َ‫ععا‬
‫ب‬
‫ر‬
‫ال‬
‫ن‬
‫عع‬
‫ي‬
‫ع‬
‫ه‬
‫و‬
‫أ‬
‫ه‬
‫و‬
‫أ‬
‫ك‬
‫ل‬
‫ذ‬
‫د‬
‫ن‬
‫ع‬
‫م‬
‫ل‬
‫س‬
‫و ع ع ن و ع ن‬
‫ع ع‬
‫ر ع‬
‫ر ع‬
‫ع و ن‬
‫د و د و ع و ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ي ع‬
‫ما و‬
‫ن تع و‬
‫ن إن ع‬
‫ه‬
‫ع آَ ع‬
‫ر ن‬
‫تأ و‬
‫فب ن و‬
‫ذا أعردو ع‬
‫ولك ن و‬
‫خعر ث ن د‬
‫ع الت د و‬
‫ر ع‬
‫ع‬
‫شت ع ن‬
‫شت ع ن‬
‫معر ب نب عي و ل‬
“Pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan
Rasulullah

SAW

dan

beliau

bertanya

padanya,

“Dari

mana

engkau

mendapatkannya?” Bilal menjawab, “Saya mempunyai sejenis kurma dari jenis yang
rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk
dimakan oleh Rasulullah SAW”. Selepas itu Rasulullah SAW berkata, “hati-hati!
Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini,
tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang
mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut
untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu”. (HR. Bukhori 2145 bab alWakalah)
Dalil-dalil nash di atas telah jelas mengatakan bahwa riba adalah haram, baik
apa pun jenisnya karena akan menimbulkan unsur aniaya pada pihak lain.
Bagaimanapun juga, larangan mutlak riba di dalam al-Qur’an adalah sebuah seruan
perintah untuk mendirikan sistem ekonomi yang menghapus semua bentuk ekploitasi,
khususnya, ketidakadilan para pemberi pinjaman telah menjadi keyakinan sebagai cara

7

mendapatkan laba tanpa membagai resiko bersama. Sementara bagi para pengusaha
(pihak peminjam), meskipun mereka bekerja keras dan mengatur segala usahanya,
tidak menjadikan hal tersebut sebagai sebuah keyakinan untuk mendapatkan laba.
Larangan riba di dalam al-Qur’an adalah suatu jalan untuk menstabilkan kesetaraan
antara pihak peminjam dan pengelola uang pinjaman. Jadi setiap tahapan penghraman
riba di dalam al-Qur’an merupakan perintah agama bukan sebagai sebuah bagian
integral dari ekonomi Islam.12
2. Pandangan Ulama Fiqh
Para ulama sepakat bahwa riba itu diharamkan. Riba adalah sebuah usaha
mencari keuntungan dengan jalan yang tidak benar karena menguntungkan satu pihak
oleh karena itu sangat dibenci Allah SWT. Riba akan menyulitkan hidup manusia,
terutama mereka yang memerlukan pertolongan. Menimbulkan kesenjangan sosial
yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa
kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
Pandangan para ulama fiqh ini paling tidak mempengaruhi pemikiran para
pakar dalam menetapkan dalil riba di kemudian hari di samping Al-Qur’an dan Hadits
yang sudah ada. Ibnu Rushdy dari mazhab Maliki yang condong pada pendapat Hanafi
tentang riba, kesamaan ukuran. Menurut ibnu Rushdy13 yang berada di balik ketentuan
riba adalah tujuan untuk menjunjung tinggi keadilan dalam pertukaran. Ini juga yang
kemudian mempengaruhi pemikiran bahwa pinjama qard tanpa bunga sah, sedang jual
beli dengan penangguhan barang ribawi untuk memperoleh barang ribawi lain dengan
harga sama yang dihutang tidak sah. Ketidakabsahan itu karena masuknya unsur
ketidak setaraan dalam jual beli yang akan memicu ketidakadilan. Sedang dalam
analisis teknis fiqh, pinjaman selalu siap dibayar, dapat diminta sewaktu-waktu,
sebuah ketentuan yang menguntungkan pemberi pinjaman dan mengurangi risiko
pasarnya.
Ibn Qayyim dari mazhab Hambali juga memaparkan bahwa dalil bagi
pelarangan adalah untuk mencegah eksploitasi dari kaum yang kuat atas kaum yang
lemah, memaksa investor menanggung risiko investasi, meminimalkan perdagangan
uang dan bahan makanan, serta mengaitkan keabsahan keuntungan dengan
pengambilan risiko.14 Imam Hanafi, imam Malik dan imam Hambali membagi riba
12

Abu Umar Faruq Ahmad, dan M. Kabir Hassan, Riba and Islamic Bank, Journal of Islamic Economics,
Banking and Finance. 2015, 5.
13
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah, (Semarang: Asy-Syifa),1990,9.
14
Frank E. Vogel, Samuel L. Hayes, III, Hukum Keuangan Islam Konsep, Teori dan Praktik, Terj. M. Sobirin
Asnawi, (Bandung: Nusa Media) 2007, 96.

8

menjadi dua bagian, yaitu riba fadhl (jaul beli barang sejenis dengan adanya tambahan
pada salah satunya) dan riba nasi’ah (menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang
satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan). Sedang imam Syafi’i membagi
riba menjadi tiga bagian, yaitu riba fadhl (menjual barang dengan sejenisnya tetapi
yang satu dilebihkan), riba yad (jual beli dengan mengakhirkan penyerahan barang
tanpa harus timbang terima), dan riba nasi’ah (jual beli yang pembayarannya
diakhirkan tetapi harganya ditambah).15 Untuk pembagian jenis/macam-macam riba
penyusun bahas di dalam sub bab berikutnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai ‘illat keharaman riba, baik itu riba fadl
(jual beli) maupun riba al-nasi’ah (pinjaman). Kalangan ulama Hanafiyyah serta salah
satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa riba al-fadhl hanya
berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta.
Apabila yang dijadikan ukuran adalah adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi
tidak termasuk riba al-fadhl. Mereka menyandarkan pendapatnya pada Hadits
Rasulullah yang artinya:
“(Memperjualbelikan) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan
garam(haruslah)

sama,

seimbang,

dan

tunai.

Apabila

jenis

yang

diperjualbelikan berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh
berlebih) asal dengan tunai” (HR. Muslim dari ‘Ubadah ibn al-Shamit).
Dua jenis pertama (emas dan perak), menurut mereka diperjualbelikan dengan
cara timbangan khusus (al-wazn) dan empat jenis buah-buahan diperjualbelikan
dengan cara per-kilogram (al-kail). Sedangkan illat keharaman riba al-nasi’ah menurut
ulama Hanafiyyah adalah kelebihan pembayaran dari harga barang yang ditunda
pembayarannya pada waktu tertentu. Unsur kelebihan pembayaran yang boleh berlipat
ganda apabila utang tidak boleh dibayar pada saat jatuh tempo, menurut ulama
Hanafiyyah merupakan suatu kezaliman dalam bermuamalah.
Sedangkan ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendirian bahwa ‘illat
keharaman riba al-fadhl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan
harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk atau pun belum dibentuk.
Oleh sebab itu, apa pun bentuk emas dan perak apabila sejenis tidak boleh
diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Jika
dilebihkan harga salah satu dari keduanya maka kelebihan itu masuk riba al-fadhl, dan
15

Lihat Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Terj: Abdul Hayyie el-Kattani dkk, Jilid V, Cet.I,
(Jakarta: Gema Insani), 2011, 307-310.

9

apabila kelebihan itu dikaitkan dengan dengan pembayaran tunda maka menjadi riba
al-nasi’ah.16
Sedangkan dalam sisi pandangan yang lain, hasil penelitian oleh Mohammad
Mazhar Iqbal mengemukakan pendapat bahwa riba dalam peminjaman bisa terjadi
karena pertukaran barang dengan barang disertai oleh tenggang waktu. Pada transaksi
yang demikian, perubahan harga pada komditas menguntungkan salah satu pihak dan
merugikan pihak lain. Oleh karena itu, kedua belah pihak tidak boleh menyepakati
pertukaran itu. Dalam perekonomian modern, sejak barang telah disiapkan sebagai
subjek bersama, pihak perusahaan penyedia yang menetapkan perubahan harga yang
terlalu tinggi bisa dikategorikan riba. Akan tetapi jika terdapat metode lain yang
bekerja di luar sistem ribawi harus diambil untuk menghindari perubahan nilai tukar
dalam jual beli.17
Maksud dari pelarangan riba pada masa Rasulullah SAW adalah untuk
menghindari ekploitasi sepihak yang dilakukan oleh pihak pemodal. Kenyataannya
adalah bahwa intelektualitas dan kerangka teologi yang disatukan dalam satu bingkai
tidak mampu menunjukkan sebuah hasil asli dan memadai mengenai pemahaman
sejauh mana sifat eksploitasi dalam dunia bisnis kontemporer.18
C. Macam-macam Jenis Riba
Secaris besar riba dibagi menjadi dua bagian, riba nasi’ah (pinjaman) dan riba fadl
(jual beli). Namun di dalam penjabaran yang lebih mendetail terdapat beberapa pandangan
mengenai jenis-jenis riba. Ada yang mengkategorikan empat, tiga dan hanya dua jenis
saja. Adiwarman Karim membagi jenis-jenis riba menjadi tiga macam 19 dalam konteks
perbankan yang berupa, Riba Fadl, Riba Nasi’ah, dan Riba Jahiliyyah. Sedangkan
Wahbah al-Zuhaili membagi riba mengacu kepada definisi mazhab fiqh klasik sebagai
berikut:
1. Riba Fadl
Riba fadl dalam jual beli adalah tambahan pada harta dalam akad jual beli
seusai ukuran syariat (takaran atau timbangan). Pengertian dari “ukuran syariat”
berfungsi untuk bahwa barang yang diukur dengan satuan panjang atau satuan biji
16

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Cet.II, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007, 184-186.
Muhammad Riza Iqbal, a Broader Definition of Riba, 2010, 21.
18
Mohammad Omar Farooq, The Riba-Interest Equation and Islam: Reexamination of the Traditional
Arguments, November 2015, 21.
19
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Ed. III, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 2007,
36.
17

10

(secara bijian) tidak masuk dalam kategori riba. Begitu pula dengan harta qimiyat
(barang yang dihitung dengan nilai), seperti jenis-jenis kebun, karpet, perkakas, tanah,
pohon, dan lain-lain sehingga tidak diharamkan adanya penambahan dan dibolehkan
mengambil banyak dengan imbalan yang lebih sedikit. Dalam akad tukar menukar
barang-barang tersebut tidak mengikuti ukuran takaran atau timbangan. Riba fadl
hanya terjadi pada barang yang ditakar dan barang yang ditimbang.20
2. Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah dalam transaksi jual beli didefinisikan oleh ulama Hanafiyyah
sebagai penambahan waktu penyerahan barang, dan penambahan barang pada utang
dalam pertukaran dua barang berbeda jenis yang ditakar atau ditimbang, atau dua
barang sejenis meskipun bukan barang yang ditakar atau ditimbang. Maksudnya,
menjual satu jenis barang dan ditukar dengan jenis yang sama atau dengan jenis yang
lain dengan tambahan (dalam barang-barang yang ditakar atau ditimbang) sebagai
kompensasi dari penangguhan penyerahan.21
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan riba nasi’ah yaitu melakukan jual beli
dengan penyerahan barang pada jarak waktu tertentu (non tunai) tanpa memenuhi
harga sebagai kompensasi dari penangguhannya, baik pertukaran antara dua barang
sejenis atau tidak, dan ukurannya sama maupun tidak.22
3. Riba Jahiliyyah
Riba Jahiliyyah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman,
karena si peminjam tidak mampu mengembalikkan dana pinjaman pada waktu yang
telah ditetapkan. Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyyah tergolong
riba nasi’ah. Dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong sebagai riba
fadl.23 Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa pengharaman riba jenis ini untuk
menutup pemanfaatan pihak tertentu terhadap ketidakmampuan peminjam dalam
memenuhi kewajibannya. Riba Fadl diharamkan untuk menutup terjadinya riba
nasi’ah. Sesuatu yang diharamkan secara zatnya maka tidak dibolehkan kecuali dalam
keadaan darurat.24 Pada dasarnya, riba Jahiliyyah merupakan padanan dari riba fadl
dan nasi’ah jika kita cermati sifat, dan jenis pertukarannya.
4. Riba Qardh

20

Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy......, 309.
Ibid., 310.
22
Ibid., 312.
23
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis......40.
24
Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy ...... 337.
21

11

Riba Qardh (pinjaman) adalah jika seseorang meminjamkan orang lain sejumlah uang
dengan kesepakatan bahwa orang tersebut akan mengembalikan dengan tambahan
tertentu, atau jika masyarakat telah terjadi kebiasaan untuk mengembalikan pinjaman
dengan tambahan tertentu. Bisa juga dengan mensyaratkan pembayaran tambahan
tertentu yang dibayarkan setiap bulan atau setiap tahun.25
D. Riba dalam Ijtihad Kontemporer
Sejatinya di dalam praktek kehidupan sehari-hari dapat dijumpai berbagai macam
praktik ribawi yang secara sadar maupun tidak. Akan tetapi dalam pandangan ijtihad
kontemporer yang paling sering dijumpai dalam kajian riba adalah bunga bank. Bunga
bank sangat disoroti terkait riba karena bank merupakan faktor sentral dalam
perekonomian untuk masa kini.
Definisi bank dalam undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Orang yang menyimpan uangnya di bank diberikan keuntungan oleh bank yang
disebut dengan bunga bank berdasarkan persentase uang yang disimpannya. Bank
biasanya memberikan pinjaman kepada nasabah untuk keperluan produktif maupun
konsumtif, seperti modal berdagang, pengembangan usaha dan lain-lain. Namun ada juga
pinjaman atau kredit yang diberikan bank untuk keperluan konsumtif seperti kredit
Pemilikan Rumah (KPR). Uang simpanan nasabah di dalam suatu bank tidak akan
didiamkan begitu saja tetapi uang itu akan dijalankan untuk melancarkan perekonomian
atau melaksanakan pembangunan. Dari keuntungan bank inilah sebagian diberikan kepada
nasabah sebagai bunga bank.
Para ulama mazhab tidak pernah membahas kaitan antara bunga bank dengan riba
karena pada masa itu sistem perekonomian dengan bank belum ada. Pembahasan
mengenai bunga bank baru ditemui di dalam literatur fiqh kontemporer. Perdebatan para
pemikir kontemporer mengenai bunga bank sampai sekarang masih terjadi antara pihak
yang mengharamkan bunga dan pihak yang membolehkan bunga bank. Masing-masing
memilik argumentasi akademik dan juga manhaj berpikir yang tidak bisa disalahkan.
Kontroversi mengenai penafsiran teknis dari riba ini berlangsung sejak abad ke-18. 26
Tokoh-tokoh tersebut adalah Muhammad Abduh, Rashid Rida, Mahmud Shalut, Abdul
Wahab Khallaf, dan Ibrahim Z. Al-Badawi. Para tokoh ini berpendapat bahwa bunga bank
sah selama pengambilan dari pokok pinjamannya tidak luar biasa tinggi. Mereka
25
26

Ibid.
Nurul Hak, Ekonomi Islam: Hukum Bisnis Syari’ah, Cet.I, (Yogyakarta: TERAS),2011, 97.

12

memahami ayat 130 surah Ali Imran bahwa yang dilarang dalam Islam itu adalah usury
yang telah lama berlaku pasca Islam, bukan interest dalam sistem keuangan modern ini.
Lebih lanjut lagi, pandangan pragmatis ini mengatakan bahwa tidak ada hadits yang
kuat dalam menjelaskan bahwa sistem keuangan modern ini dapat dikaitkan dengan riba
yang dilarang pada zaman Rasulullah SAW. Laporan mengenai riba dalam hadits
dianggap ambivalen dan tidak konsisten. Selain dari pada itu, bunga bank dianggap
sebagai suatu kebutuhan untuk pembangunan ekonomi negara. Bunga dimaksudkan untuk
menggalakkan tabungan dan menerahkan modal untuk membiayai investasi-investasi
yang produktif.27 Fazlul Rahman mengatakan pandangan otoriter yang lain bahwasanya
riba fadhl dalam hadits adalah pokok (asal mula) terjadinya riba yang lain, sehingga sudah
dapat disimpulkan bahwa tidak ada lagi penjelasan atau penjabaran mengenai riba
(berbeda dengan bunga bank).28
Berlainan dengan pandangan pragmatis yang diusung para tokoh pemikir Islam di
atas, pandangan konservatif yang diusung oleh M. Umer Chapra mengartikan bunga bank
adalah riba baik diartikan sebagai interest maupun usury. Setiap imbalan yang telah
ditentukan sebelumnya atas suatu pinjaman sebagai imbalan (retuern) untuk pembayaran
tertunda atas pinjaman adalah riba, karena itu dilarang oleh agama. Riba yang demikian
disebut riba al-nasi’ah.
Isitilah nasi’ah berasal dari kata nasa’a, yang berarti menunda atau menunggu yang
mengacu kepada waktu yang membolehkan penerima pinjaman membayar kembali
pinjamannya yang merupakan imbalan dari “tambahan” atau “premium” yang
diberikannya.29 Dengan pengertian lain, riba nasi’ah adalah imbalan yang diberi oleh
penerima pinjaman kepada pemberi pinjaman, karena penerima pinjaman telah diberi
penundaan waktu untuk mengembalikan pinjaman itu.
Sebagai penganut pandangan konservatif, Umer Chapra menegaskan dengan
mengemukakan bahwa riba nasi’ah mengacu pula pada bunga pinjaman yang dikenal
dalam sistem perbankan modern. Chapra memastikan bahwa tidak ada perbedaan di antara
semua aliran hukum Islam bahwa riba nasi’ah adalah haram. Sifat larangan tegas, mutlak,
dan tidak dapat ditafsirkan lain (strict, absolute, and unambiguous). Tidak dimungkinkan
untuk memperdebatkan bahwa riba mengacu pada usury dan bukan pada bunga (interest),
karena Nabi SAW melarang pengambilan yang berupa pemberian, jasa, atau kebaikan

27

Ibid., 95-96.
Fazlul Rahman, Riba and Interest, Islamic Studies, No.1, March 1964, 30.
29
M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Terj: Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: Gema Insani Press), 2000, 57.
28

13

sebagai suatu syarat bagi pinjaman yang dimaksud, banyak atau sedikit, asalkan itu
sebagai tambahan atas pokok pinjaman.30
Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa bunga bank termasuk dalam riba nasi’ah.
Sebuah bank akan memberikan atau meminjamkan modal yang ditentukan tempo
pelunasannya dengan bunga per tahun atau per bulan, 7%, 5%, 2.5% dan sebagainya.
Transaksi ini adalah tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil. Fokus
perhatian bank adalah meminjam uang dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak
lain (kreditur) yang membutuhkan. Al-Zuhaili mengutip pendapat Ali Salus bahwa bank
memberikan bunga kepada nasabah dan menarik bunga dari pada kreditur. Perbedaan
antara kedua bunga tersebut adalah pada sumber kucuran uang. Dengan demikian tugas
bank adalah memperjualbelikan utang. Selain itu, tugas bank kedua adalah menciptakan
utang atau meminjamkan sesuatu yang belum benar-benar ia pinjam sendiri dari orang
lain (belum dikuasai sendiri) atau dengan kata lain meminjamkan sesuatu yang tidak
dimilikinya.31
Adiwarman Karim menganggap riba melanggar prinsip transaksi dalam Islam.
Dalam buku Bank Islam, Adiwarman memasukkan riba sebagai hal yang melanggar
prinsip La Tazhlimuuna wa la Tuzhlimuun. Sehingga bunga bank konvensional akan
membuat para kreditur kesulitan untuk membayar pinjaman yang dia peroleh dari bank
karena adanya beban bunga.
Banyak buku dan artikel ekonomi Islam yang muncul selama seperempat abad
terakhir. Literatur ini berkonsentrasi utama pada aturan umum dan prinsip-prinsip sistem
ekonomi Islam. Penulisan itu dilakukan pada sebuah yang uji validitas dan argumen
filosofis yang membahas tentang riba. Uji tesis yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari
Muhammad Arif, Ashiq Hussain, dan Muhammad Azzem mengungkapkan beberapa
hipotesa berupa:
1. Zakat itu dikumpulkan dan disebarkan sesuai dengan perintah agama Islam. Zakat
adalah sebuah dana yang menjadi suatu cabang khusus di dapartemen eksekutif
pemerintahan. Zakat adalah sebuah nilai konstan berdasar rasio nilai bersih. Tidak
terdapat batasan dalam pengumpulan dan penyaluran zakat kepada satu dari delapan
asnaf.
2. Riba tidak ada. Tidak ada bunga pinjaman. Mudharabah adalah cara kerja sama yang
sah. Ini adalah sebuah cara untuk memberikan suntikan dana dalam rangka kerja sama

30
31

Ibid., 58.
Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy ...... 319.

14

di sektor produksi di mana para pengusaha bekerja sama dengan rab al-mal dan
pendapatan bersih akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.
3. Kondisi perekonomian telah dibagi ke dalam berbagai sektor. Pengembangan pasar
dan institusi untuk memproduksi barang, konsumsi barang dan instrumen keuangan
sebagai pencatatan (SUKUK).
4. Keuntungan maksimal dianggap sebagai tujuan utama dari perekonomian.
Secara singkat, penyusun mengutip hasil dari beberapa varian pola uji tesis dari:
Model sektor konsumsi dan sektor invenstasi dan menemukan hasil sebagai berikut:
Model ekonometrik yang diperkirakan oleh 2SLS. Hasil dari konsumsi fungsi adalah:
C = a + b GDP
C = - 28858.35 + 0.825 GDP
(0.125)
(16.29)
R2 = 0,98
Hasil dari fungsi pendapatan adalah:
Y=c+dI
Y = 768317.7 + 5.29 I
R2= 0,79
Perkiraan model menunjukkan bahwa pemasukan memiliki hubungan positif
dengan investasi lalu konsumsi tergantung pada pendapatan. Dengan demikian konsumsi
dan invesatsi positif masuk dalam kategori riba dalam ekonomi bebas saat ini.32
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari berbagai uraian yang telah penyusun paparkan di atas, dapat penyusun tarik
beberapa kesimpulan sebagai penutup dari makalah ini sebagai berikut:
1. Riba secara definisif harfiyah adalah penambahan, atau berkembang. Dalam artian istilah,
riba adalah penambahan lebih dari suatu harga (utang) pokok yang ditetapkan karena
adanya penudaan pembayaran.
2. Pengharaman riba melalui al-Qur’an diturnkan secara bertahap, tidak serta merta turun
dalam satu perintah karena praktik riba telah mengakar dalam masyarakat Arab dan sudah
ada pra Islam.
3. Secara garis besar riba ada 2 macam; Riba al-Fadhl dan riba al-nasi’ah. Namun dalam
pemahaman secara praktik dan menelisik definisi serta ‘illat riba, para ulama akhirnya
memiliki pendapat yang berbeda mengenai jenis-jenis Riba. Penyusun sendiri mengambil

32

Muhammad Arif, Ashiq Hussain, dan Muhammad Azzem, Riba Free Economy Model, International Journal of
Humanities and Social Science Vol. 2 No. 6, Maret 2012, 155.

15

empat jenis riba setelah melakukan telaah literatur dan perbandingan pemikiran ulama
fiqh klasik dengan ulama kontemporer.
4. Praktik riba di masa modern ini dapat dijumpai pada transaksi perbankan. Terlepas dari
perdebatan para pakar perbankan dan ulama fiqh, secara kasat mata bunga bank termasuk
dalam riba al-nasi’ah karena adanya konsep the value time of money yang mana terdapat
unsur aniaya dalam prakteknya.

16