Stop Buang Air Besar Sembarangan. Commun

BAB 1 SEKILAS COMMUNITY-LED TOTAL SANITATION (CLTS) DI INDONESIA

1.1 Umum

Berbagai macam pendekatan pembangunan sanitasi telah dilaksanakan di Indonesia baik pendekatan dari atas (top-down) maupun pendekatan dari bawah ( botom-up). Pendekatan dari atas dicirikan oleh pandangan bahwa masyarakat sasaran idak memiliki kapasitas dan kemampuan dalam seiap tahapan pembangunan sarana. Pendekatan ini memandang masyarakat sasaran lemah dan idak berdaya, karenanya masyarakat hanya layak sebagai obyek penerima saja. Sedangkan rancangan dan pelaksanaan pembangunan sarana dilakukan oleh pihak yang berada di luar masyarakat atau kontraktor, sedangkan masyarakat sendiri hanya sebagai ”penonton” saja. Oleh karenanya, masyarakat sebagai penerima manfaat sarana yang dibangun merasa bahwa pembangunan bukanlah miliknya. Pendekatan semacam ini terbuki kurang berhasil mempertahankan keberlanjutan fasilitas yang telah dibangun, fasilitas banyak yang idak terpelihara bahkan rusak. Buki-buki dapat dilihat di lapangan seperi jamban dan MCK yang telah dibangun namun idak dipergunakan dan dipelihara dengan baik. Sehingga kemudian hanya layak dilihat sebagai monumen belaka.

Pendekatan dari bawah yang dilakukan dalam rangka pembangunan sarana sanitasi juga telah dilakukan. Kegiatan ini berujud seperi jamban bergulir, arisan jamban, dan lain sebagainya. Pendekatan ini lebih berhasil dibandingkan dengan pendekatan yang sebelumnya. Kapasitas dan kemampuan masyarakat sudah memperoleh tempat dalam proses pembangunan Pendekatan dari bawah yang dilakukan dalam rangka pembangunan sarana sanitasi juga telah dilakukan. Kegiatan ini berujud seperi jamban bergulir, arisan jamban, dan lain sebagainya. Pendekatan ini lebih berhasil dibandingkan dengan pendekatan yang sebelumnya. Kapasitas dan kemampuan masyarakat sudah memperoleh tempat dalam proses pembangunan

Sementara hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007 menunjukkan bahwa 24,8% rumah tangga idak menggunakan fasilitas BAB di desa dan di kota. Masih sekitar 70 juta penduduk Indonesia yang BABS, dengan jumlah terbesar berada di perdesaan.

Kondisi tersebut di atas, membawa kita semua pada kesadaran bahwa upaya untuk mengurangi perilaku BABS sampai pada awal tahun 2000 masih belum sepenuhnya berhasil. Penanganan perilaku BABS lebih difokuskan pada pembangunan fasilitas dan pemberian subsidi pembangunan jamban yang ternyata idak sepenuhnya dapat merubah perilaku masyarakat, bahkan hanya menambah jumlah “monumen” jamban/ toilet yang ada. Analisis kriis kemudian membawa kita pada kesimpulan bahwa pendekatan selama ini kurang tepat. Kesadaran ini mendorong kita mulai menggunakan pendekatan baru yang seperi pendekatan Community- Led Total Sanitaion (CLTS). Sejak itu, pendidikan PHBS mulai memasuki era baru. Fokus perubahan perilaku dikedepankan sehingga pemberian subsidi untuk mendorong pembangunan jamban idak lagi menjadi pilihan.

Pemerintah kemudian melirik CLTS sebagai suatu pendekatan baru penanganan BABS. CLTS menekankan pada prakarsa dan kemampuan masyarakat sendiri untuk melakukan ideniikasi masalah, dan kebutuhan serta potensi lokal yang digunakan untuk memecahkan masalah sanitasi yang dihadapinya. Upaya pemecahan masalah ini dalam bentuk kegiatan bersama yang teratur dan sisimais, sehingga menjadi gerakan Pemerintah kemudian melirik CLTS sebagai suatu pendekatan baru penanganan BABS. CLTS menekankan pada prakarsa dan kemampuan masyarakat sendiri untuk melakukan ideniikasi masalah, dan kebutuhan serta potensi lokal yang digunakan untuk memecahkan masalah sanitasi yang dihadapinya. Upaya pemecahan masalah ini dalam bentuk kegiatan bersama yang teratur dan sisimais, sehingga menjadi gerakan

1.2 Perkembangan CLTS

1.2.1 Pencapaian Menurut data per September 2008, pelaksanaan

CLTS di Indonesia telah mencakup 2.312 desa, 213 kabupaten/kota, dan 30 provinsi di Indonesia. Diantaranya yang telah mendeklarasikan sebagai desa ODF, yaitu desa yang seluruh penduduknya idak lagi mempraktekkan BABS, mencapai 123 desa. Tercatat berbagai lembaga, terdiri dari 1 LSM lokal dan 4 LSM/

1 Data yang diperoleh dari bahan yang dipresentasikan pada Pertemuan Stakeholder STBM di Hotel Grand Jaya Raya, Cipayung, Bogor, tanggal 9 – 10 Januari 2009.

2 Lembaga yang dimaksud adalah LSM Lokal: Harfa, Pandeglang; LSM/Organisasi Internasional: PLAN, PCI, ESP (USAID), ISSDP dan TSSM (WSP-World Bank); Pemda Kabupaten : Sumedang, Majalengka, Bandung, Magelang, Agam, Konawe,

Kota Bandar Lampung dan Kota Tarakan ; proyek-proyek yaitu WSLIC-2, CWSH, PAMSIMAS, dan PRO-AIR; sedangkan pihak PT/universitas: Unirta dan UGM Kota Bandar Lampung dan Kota Tarakan ; proyek-proyek yaitu WSLIC-2, CWSH, PAMSIMAS, dan PRO-AIR; sedangkan pihak PT/universitas: Unirta dan UGM

1.2.2 Beragam Pendekatan CLTS Pendekatan CLTS dilaksanakan oleh beragam

penggiat mulai dari pemerintah, LSM, perguruan inggi, dan beragam sumber dana. Keberagaman ini kemudian tercermin pula dalam pendekatan CLTS, sehingga paling idak terdapat 5 (lima) variasi pendekatan, yaitu:

a. Model Pemerintah-Masyarakat.

Contoh penerapan-nya di kabupaten Sumedang. Biaya pelaihan dan pendampingan masyarakat menggunakan dana Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, pemantauan perubahan perilaku dilakukan kader desa dengan bimbingan sanitarian memanfaatkan kartu.

b. Model Proyek-Pemerintah-Masyarakat.

Contoh penerapannya adalah Water and Sanitaion for Low Income Communiies 2, Community Water Sanitaion and Health Project, ProAir. CLTS diadopsi kedalam skema proyek di tengah perjalanan proyek. Sedikit berbeda adalah Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) atau WES Unicef di Indonesia Timur, yakni CLTS diadopsi sejak awal, pada saat perencanaan proyek.

c. Model LSM-Masyarakat.

Contoh model ini adalah Yayasan Pancur Kasih di Ponianak atau LAZ Harfa di Pandeglang, lewat pendidikan penyadaran kriis tentang kesehatan atau dalam rangka pemberdayaan ummat sebagai amil zakat.

d. Model Donor-Pemerintah-Masyarakat.

Contoh penerapannya adalah Unicef dengan PCI di Aceh, WSP Bank Dunia di Jawa Timur melalui TSSM.

e. Model perguruan inggi.

Contoh Universitas Tirtayasa di Banten, Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Masyarakat (STIKES) Falatehan Serang, yang hasilnya diteruskan oleh pemerintah daerah setempat seperi yang dilakukan oleh kabupaten Serang pasca Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) oleh Universitas Tirtayasa di Banten.

1.2.3 Penggiat CLTS

Sejak pertama kali diperkenalkan di Indonesia, terdapat paling idak 20 lembaga menjadi penggiat CLTS mulai dari LSM, perguruan inggi, proyek AMPL, dan pemerintah daerah. Berikut ini datar penggiat CLTS yang terideniikasi sampai dengan Februari 2009.

Tabel 1.1 Penggiat CLTS di Indonesia per Februari 2009

No. Lembaga Kategori

Mulai

Jumlah

Jumlah Desa

Kegiatan

kabupaten

Implementasi Stop BABS

1. PLAN Indonesia LSM

8 48 4 2 PCI

2 2 3 3. Yayasan HARFA

LSM

1 10 0 4. LPPM Unirta

LSM

1 - 5. LPPM UGM

Tinggi Perguruan

1 1 0 6. WSLIC 2

Perguruan Tinggi

Proyek 5 26 0 8. PAMSIMAS

29 70 1 10. TSSM-WSP EAP

Proyek 1 1 0 12. CWSHP

Proyek 27 137 8 13. ISSDP

Proyek 1 2 0 14. Pemerintah Daerah

Pemerintah 10 75 6 15. Pemerintah Pusat

tad Tad 16. Yayasan Sehat Papua

1 3 0 Pelaku tambahan, belum ada data : 17. Balifokus

LSM

tad tad 18. Dian Desa

LSM

tad

tad tad 19. Mercy Corp

LSM

tad

tad tad 20 CARE Internaional

2.103 126 Sumber: Lokakarya Konsolidasi Pembelajaran CLTS, 2009.

Total

Keterangan: tad = idak ada data

1.3 Dari CLTS Menuju STBM

Inisiaif Indonesia untuk melaksanakan CLTS, diilhami oleh keberhasilan Bangladesh dalam menerapkan pendekatan CLTS ini yang dimulai pada tahun 1999. Pada bulan Mei 2005, pendekatan CTLS mulai diujicobakan di enam kabupaten yaitu Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Lumajang (Jawa Timur), Sambas (Kalimantan Barat), Muaro Bungo (Jambi), Muara Enim (Sumatera Selatan) dan Bogor (Jawa Barat). Pada pertengahan tahun 2006, dilakukan evaluasi terhadap hasil uji coba dan ternyata di kabupaten Muara Enim, Bogor, Sambas dan Muara Bungo hanya dalam waktu kurang lebih iga sampai empat bulan, masyarakat telah berhasil bebas dari kebiasaan BAB di tempat terbuka. Mereka telah BAB di tempat yang selayaknya, yaitu di jamban yang mereka bangun sendiri, dan semua perubahan tersebut terjadi tanpa pemberian subsidi.

Melihat keberhasilan tersebut, WSP-EAP pada tahun 2006 kemudian mengembangkan lebih lanjut CLTS menjadi TSSM (Total Sanitaion and Sanitaion Markeing) atau yang kemudian kita kenal dengan Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi (SToPS), suatu upaya program yang memfokuskan pada peningkatan akses terhadap sarana sanitasi sebagai kebutuhan masyarakat melalui pemberdayaan dan pemasaran produk sanitasi dengan meningkatkan variasi jenis dan harga yang ada di pasar sehingga terjangkau oleh semua lapisan masyarakat serta mencukupi kebutuhan permintaan pasar. Program ini sedang berlangsung di Jawa Timur pada 29 kabupaten. Pada TSSM mulai ada pembagian peran diantara masyarakat, aparat desa, kecamatan maupun kabupaten; termasuk meningkatkan perhaian pada bagaimana menciptakan kebutuhan, memberikan perhaian pada sisi penawaran dan ramah lingkungan.

Selain itu juga, berbagai pihak kemudian juga mulai mencoba mengadopsi pendekatan CLTS ke dalam kegiatan mereka, diantaranya proyek Second Water and Sanitaion for Low Income Communiies (WSLIC2), Community Water Supply and Health (CWSH), ProAIR, Water and Environmental Sanitaion (WES) UNICEF; beberapa LSM seperi Plan Indonesia, Project Concern Internaional (PCI), Harfa; pemerintah daerah, perguruan inggi seperi Universitas Tirtayasa Banten.

Belajar dari berbagai pengalaman pelaksanaan CLTS dan program lainnya, pelaksanaan CLTS di Indonesia kemudian mengalami berbagai penyesuaian diantaranya dengan menggabungkan CLTS ke dalam suatu wadah program yang disebut Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), yang terdiri dari lima pilar, yaitu Stop BABS (dahulu dikenal sebagai CLTS), Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga (PAM-RT), Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (PSRT) dan Pengelolaan Limbah Rumah Tangga (PLRT). Departemen Kesehatan memperkenalkan STBM sebagai suatu program nasional pada tahun 2009.

Gambar 1.1 Perkembangan CLTS di Indonesia

Dalam perspekif STBM, saat ini CLTS telah berubah nama menjadi Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS). Pelaksanaan Stop BABS idak lagi hanya didominasi pemerintah pusat, bahkan telah melibatkan pemerintah daerah, perguruan inggi, LSM, dan proyek AMPL lainnya.

1.4 Agenda

Berangkat dari implementasi CLTS, TSSM maupun STBM dengan cakupan yang telah tercapai hingga saat ini, kemudian pertanyaan yang muncul, dan perlu mendapat jawaban diantaranya:

• Bagaimana pola penerapan dan perkembangan Stop BABS/CLTS yang telah dilaksanakan oleh masing-masing pelaku?

• Sejauh manakah para pelaku mengacu kepada model baku? • Adakah inovasi-inovasi yang terjadi dalam praktek? • Bagaimanakah keberlanjutan pelayanan di ingkat masyarakat? • Bagaimanakah mekanisme bantuan teknis dan pemantauan serta evaluasi ? • Bagaimanakah peran pemerintah daerah dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pasca pemicuan?

• Adakah pengalaman/pembelajaran spesiik dari masing-masing pelaku berkaitan dengan pelaksanaan di lapangan?

Untuk itu, menjadi suatu keniscayaan mendapatkan jawaban dari pertanyaan di atas. Tulisan berikut yang merupakan ekstraksi dari hasil konsolidasi pembelajaran penggiat Stop BABS diharapkan dapat menjawab sebagian pertanyaan tersebut, sehingga kedepan implementasi Stop BABS sebagai pilar 1 STBM akan lebih efekif dan eisien.

BAB 2 PEMBELAJARAN

Pembelajaran Stop BABS diklasiikasikan dalam lima aspek keberlanjutan, yaitu kelembagaan, pendanaan, sosial, teknologi dan lingkungan.

2.1 Kelembagaan

2.1.1 Contoh nyata sebagai bahan diseminasi yang

intensif mendorong imbulnya komitmen semua pihak

Tahun 2004, WSP-EAP dan WASPOLA sebagai pihak yang membawa CLTS ke Indonesia, memfasilitasi kunjungan Pokja AMPL Nasional ke Bangladesh dan India untuk mempelajari pendekatan CLTS, yang dilanjutkan dengan Pelaihan CLTS bagi 6 daerah percontohan lokasi proyek WSLIC-2 bertempat di kabupaten Lumajang, Jawa Timur pada bulan Mei 2005. Beberapa bulan kemudian, setelah terbuki tercapainya desa ODF/Stop BABS di beberapa lokasi daerah percontohan, kemudian Pokja AMPL Nasional menjadikannya sebagai bahan promosi. Pokja AMPL Nasional bersama WASPOLA melakukan diseminasi ke berbagai penggiat pembangunan AMPL, termasuk proyek AMPL, maupun organisasi

yang

mempunyai kepedulian terhadap sanitasi. Hanya dalam waktu yang idak terlalu lama kemudian beberapa daerah, LSM dan proyek AMPL

Masyarakat Desa Mawar di Alor sedang

tertarik mengadopsi

membuat jamban sederhana (Foto : Pokja AMPL-WES Unicef)

pendekatan ini.

Menyebar ke seluruh Indonesia

Hasil uji coba di 6 lokasi ini kemudian mendorong banyak pihak untuk mulai melaksanakan pendekatan CLTS di berbagai lokasi seperi: (i) WSLIC-2, yang mencakup Jawa Barat di 3 kabupaten: Bogor, Cirebon dan Ciamis; Sumatera Selatan di 4 Kabupaten: Lahat, Muara Enim, Musi Banyuasin dan Banyuasin; Kepulauan Bangka Belitung di kabupaten Belitung; Sumatera Barat di 4 kabupaten: Pesisir Selatan, Solok, Sawahlunto Sijunjung dan Pasaman; Jawa Timur di 14 Kabupaten: Ponorogo, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Mojokerto, Bojonegoro, Lamongan dan Sampang; Nusa Tenggara Barat di 6 kabupaten: Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu dan Bima; Sulawesi Selatan di 3 kabupaten: Bone, Enrekang dan Jeneponto; Sulawesi Barat di 2 kabupaten: Polewali Mandar dan Mamasa; (ii) PCI di kabupaten Pandeglang, Banten dan Nabire, Papua; (iii) PAMSIMAS di 13 propinsi, (iv) TSSM di propinsi Jawa Timur; (v) UNICEF di 7 propinsi (NAD, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua dan Papua Barat); (vi) Plan Internasional Indonesia di beberapa kabupaten propinsi Jawa Tengah, NTT dan NTB; dan (vii) CWSHP di 20 kabupaten pada 4 propinsi (Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi dan Bengkulu)

2.1.2 Pelaksanaan ‘Road Show’ sebagai pembuka

jalan proses internalisasi program Stop BABS ke dalam program pemerintah daerah.

Disadari sepenuhnya bahwa program Stop BABS diinisiasi oleh pemerintah pusat, walaupun pada kenyataannya penyelenggaraan sanitasi telah menjadi kewajiban pemerintah daerah. Untuk itu, upaya advokasi kepada pemerintah daerah termasuk kalangan legislaif dianggap pening untuk dilakukan sebagai upaya menjadikan Stop BABS bagian dari program pemerintah daerah. Dengan demikian pelaksanaan program Stop BABS dimulai dengan upaya penyamaan persepsi diantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Diharapkan dengan demikian pelaksanaan program Stop BABS menjadi satu kesatuan dengan program pembangunan sanitasi di daerah. Upaya advokasi ini yang kemudian dikenal sebagai ‘road show’.

Pada dasarnya road show berbentuk lokakarya, yang diawali dengan penjelasan program Stop BABS yang dihadiri oleh seluruh pihak terkait termasuk Pada dasarnya road show berbentuk lokakarya, yang diawali dengan penjelasan program Stop BABS yang dihadiri oleh seluruh pihak terkait termasuk

Contoh pelaksanaan program Stop BABS yang dimulai dengan road show adalah di daerah binaan Plan Internaional Indonesia seperi di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah; Kabupaten Dompu, NTB; dan daerah kerja proyek TSSM/SToPS di propinsi Jawa Timur. Hal yang sama di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, salah satu daerah Pamsimas yang dianggap sukses. Ciri khas dari keberhasilan upaya road show ini ditandai dengan komitmen dari Bupai termasuk legislaif dalam menjadikan program Stop BABS sebagai program daerahnya. Tidak hanya itu, sebagai contoh Kabupaten Sumedang, bahkan secara signiikan meningkatkan anggaran sanitasi dalam APBDnya.

2.1.3 Internalisasi program Stop BABS kedalam

program pemerintah daerah menjadi jaminan keberlanjutan

Sebagaimana diketahui bahwa tanggap terhadap kebutuhan (demand responsive) merupakan persyaratan utama pelaksanaan program stop BABS. Hal ini berari Sebagaimana diketahui bahwa tanggap terhadap kebutuhan (demand responsive) merupakan persyaratan utama pelaksanaan program stop BABS. Hal ini berari

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan upaya untuk mendorong imbulnya kebutuhan tersebut melalui diseminasi dan advokasi yang merupakan upaya awal. Langkah tersebut perlu diindaklanjui melalui upaya internalisasi program Stop BABS kedalam program pemerintah daerah. Keberadaan Pokja AMPL dapat menjadi pintu masuk. Namun jika belum terbentuk, pembentukan Pokja AMPL merupakan salah satu prioritas. Pokja AMPL dapat menjadi kelompok penggerak perubahan paradigma pengambil keputusan di daerah dan sekaligus pengawal proses internalisasi program Stop BABS.

Walaupun demikian, terdapat contoh keika Pokja AMPL belum terbentuk, namun pemerintah daerah terpicu untuk melaksanakan program Stop BABS, yaitu di Kabupaten Trenggalek melalui proyek TSSM. Proses internalisasi program Stop BABS terlihat dari indikator dikeluarkannya Surat Keputusan Bupai Nomor

15 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan STBM, tersedianya

Dukungan Pemerintah Daerah sebagai Faktor Utama Keberhasilan Kabupaten Trenggalek

Dukungan pemerintah daerah ditunjukkan melalui (i) penerbitan Surat Keputusan Bupai Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat; (ii) penyediaan anggaran dana pendukung program dari APBD Tahun 2009 sebanyak Rp. 400 juta; (iii) promosi yang dilakukan baik (a) melalui siaran radio di RKPD, ADS, Kamajaya, Dimas Suara untuk acara interakif, maupun (b) hasil pemantauan oleh im hubungan masyarakat kabupaten dimuat di media massa lokal, (c) himbauan Bupai untuk masyarakat melalui koran Jawa Pos, (d) deklarasi desa Stop BABS (e) kerjasama melalui tokoh agama (Kyai dan Nyai), (f) penyebaran lealet, dan poster, (g) penempelan siker untuk rumah yang sudah memiliki jamban sehat (merah = idak memiliki sarana jamban, kuning = jumbleng terbuka/jamban idak sehat, hijau = jamban sehat), (h) peta sosial sebagai alat pemantauan dan alat memicu ulang masyarakat.

alokasi dana APBD, berkembangnya kegiatan promosi STBM oleh pemerintah daerah, serta pemantauan ruin.

Hingga 2008, di Kabupaten Trenggalek telah dilakukan pemicuan di 157 desa/kelurahan, dengan hasil sebanyak 29 desa dan 67 dusun telah mencapai Stop BABS, serta terus dilakukan pemantauan perkembangan program di lapangan dengan target selain terus menambah desa Stop BABS juga akan mengembangkan pilar STBM lainnya. Hal ini terjadi karena ihak pemerintah kabupaten telah menetapkan TSSM sebagai prioritas program.

Hal yang sama terjadi di Kabupaten Muaro Jambi, melalui dukungan dana APBD dan proyek CWSHP, desa Muaro Pijoan dan Mendaro Laut berhasil mencapai stop BABS. Bahkan 5 desa lainnya juga sudah stop BABS, yang salah satu diantaranya adalah Desa Marasebo tempat pencanangan PHBS oleh Bupai Muaro Jambi, pada tahun 2008.

Langkah pemerintah Kabupaten Sumedang bahkan lebih jauh. Misalnya, Stop BABS dimasukkan sebagai salah satu kegiatan dari PPK–IPM (Program Pengembangan Kompetensi–Indeks Prestasi Manusia). Demikian juga dengan Program Desa Siaga yang salah satu indikatornya adalah Stop BABs dan pengelolaan sampah.

Jumlah desa di kabupaten Sumedang

sebanyak 279 desa, kegiatan pemicuan Stop BABS telah dilakukan di 45 desa, sebanyak 55 dusun dan

9 desa telah mencapai Stop BABS dan telah mendapatkan piagam dekalarasi Stop BABS dari Bupai Sumedang pada pertengahan tahun 2009. Foto: Ekki R, Sumedang

Program Stop BABS juga masuk dalam musrenbang di ingkat kecamatan dan kabupaten. Disamping itu, kegiatan di Klinik Sanitasi diarahkan untuk melakukan pelaihan Stop BABS bagi kader-kader Posyandu.

2.1.4 Kerjasama pemerintah daerah dengan berbagai

pihak dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program mempercepat pencapaian Stop BABS.

Untuk keberhasilan dan kesinambungan program Stop BABS di suatu daerah seyogyanya dilakukan penyusunan rencana secara bersama antara pemerintah dan para pemangku kepeningan lain di ingkat lapangan. Pemerintah diposisikan sebagai pihak pemilik program, dan pihak luar berperan sebagai pendukung pemerintah dalam melaksanakan tugas pelayanan dasar bagi masyarakat. Walaupun pada tataran praktek, porsi besar pekerjaan pihak luar/ LSM terlihat lebih besar, namun hal ini idak merubah tanggung jawab pemerintah dalam pelayanan dasar.

Sebagai contoh, pelaksanaan Stop BABS di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Hal ini berawal dari inisiaif Plan Internasional Indonesia untuk melaksanakan CLTS di Kabupaten Grobogan, yang kemudian ditanggapi dengan posiif oleh Pemerintah Kabupaten Grobogan. Terlebih di Kabupaten Grobogan telah terbentuk Pokja AMPL dan beberapa personilnya pernah mengikui pelaihan CLTS yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Jajaran Pemerintah Kabupaten Grobogan memberi dukungan penuh, mulai dari Bupai, Kepala Dinas Kesehatan dan jajarannya, pemerintah kecamatan, sekolah dan pemerintah desa. Salah satu bentuk dukungannya adalah dengan membentuk Tim CLTS di ingkat Kabupaten dan kecamatan, yang diikui Sebagai contoh, pelaksanaan Stop BABS di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Hal ini berawal dari inisiaif Plan Internasional Indonesia untuk melaksanakan CLTS di Kabupaten Grobogan, yang kemudian ditanggapi dengan posiif oleh Pemerintah Kabupaten Grobogan. Terlebih di Kabupaten Grobogan telah terbentuk Pokja AMPL dan beberapa personilnya pernah mengikui pelaihan CLTS yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Jajaran Pemerintah Kabupaten Grobogan memberi dukungan penuh, mulai dari Bupai, Kepala Dinas Kesehatan dan jajarannya, pemerintah kecamatan, sekolah dan pemerintah desa. Salah satu bentuk dukungannya adalah dengan membentuk Tim CLTS di ingkat Kabupaten dan kecamatan, yang diikui

2.1.5 Pemicuan Stop BABS perlu dilakukan secara

terencana

Terdapat kesalahkaprahan bahwa pemicuan dapat dilakukan dimana saja dengan tanpa persiapan. Pada dasarnya idak ada panacea atau obat untuk segala penyakit. Perlu disadari juga bahwa program Stop BABS yang mengharamkan subsidi idak selamanya dapat dilaksanakan dengan mudah bahkan idak mungkin dilaksanakan pada kondisi ekstrim. Prinsip tanpa subsidi ini hanya dapat terlaksana keika biaya pembangunan jamban terjangkau oleh masyarakat. Namun pada beberapa lokasi dengan kondisi seperi ingkat kepadatan sangat inggi di perkotaan, kondisi isik yang berupa rawa, tepi pantai, daerah cadas, dan daerah air tanah inggi, mempunyai konsekuensi biaya pembangunan jamban idak terjangkau masyarakat. Selain itu, lokasi desa yang telah dimasuki proyek yang memberikan subsidi jamban akan sulit dimasuki program Stop BABS. Kondisi ini perlu diketahui sebelum dilakukan pemicuan, sehingga fasilitator telah menyiapkan strategi terkait kendala yang akan dihadapi.

Penetapan prioritas desa yang akan digarap juga tergantung pada ingkat kesulitan yang akan dihadapi. Biasanya prioritas utama diberikan pada desa yang tanpa kendala berari. Sebagian besar keberhasilan desa mencapai Stop BABS adalah dimulai dari desa tanpa kendala yang berari. Hal ini juga terkait dengan kemampuan fasilitator yang mungkin masih perlu banyak pengalaman.

2.1.6 Pendampingan intensif memberikan lebih

banyak kesempatan bagi masyarakat untuk berinteraksi

Pelaksanaan pemicuan yang disertai pendampingan secara intensif merupakan salah satu kunci keberhasilan perubahan perilaku masyarakat. Keberadaan fasilitator yang seiap saat berada di tengah masyarakat memungkinkan masyarakat mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk bertanya langsung. Kondisi ini biasanya hanya dapat dipenuhi oleh LSM baik internasional maupun lokal. Mereka dapat mengerahkan tenaga fasilitator untuk mendampingi masyarakat sepanjang waktu karena mempunyai sumber daya yang memadaibaik dalam jumlah maupun jenis keahlian.

• Pelaihan CLTS yang dikelola PCI bekerja sama dengan Pokja AMPL Banten dan

LSM internasional dan LSM lokal tersebut mengerahkan tenaga pendamping masyarakat, yang mendampingi masyarakat sejak pemicuan, pendampingan pembangunan sarana jamban, mela- kukan pemantauan dan evaluasi, sehingga tercapainya Stop BABS secara bertahap sejak ingkat kampung atau dusun, berlanjut ke ingkat desa dan menyebar ke desa lainnya di kecamatan tersebut.

Pendampingan Intensif Menuju Stop BABS

Pada tahap awal pelaksanaan CLTS di Indonesia, PCI dan Plan Internasional Indonesia merupakan LSM internasional yang berkiprah menggunakan pendekatan CLTS sebagai bagian dari program layanannya di beberapa daerah di Indonesia. PCI memulai program CLTS sebagai salah satu sub program

WAHANA

Sehat (Warga

Akif Hidup Anak Sehat) di 5 kecamatan (Sakei, Pagelaran, Paia, Sukaresmi dan Angsana) pada 29 desa. Dimulai dengan pelaihan CLTS pada pertengahan Desember 2005, pada bulan September 2006 telah menunjukkan hasil yang baik seperi dapat dilihat pada graik di atas. Menyadari bahwa angka cakupan belum mencapai seluruh desa pada lokasi tersebut, PCI menyerahkan pengelolaan program CLTS tersebut kepada LSM lokal, Lembaga Amil Zakat Harfa yang meneruskan program di 2 kecamatan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Pandeglang. Selanjutnya pemerintah daerah yang meneruskan di 6 kecamatan lain. Sementara Plan Internasional Indonesia melaksanakan program CLTS di kabupaten Dompu dengan cara melakukan intervensi langsung kepada aparatur pemerintahan di kecamatan dan desa serta kader di kecamatan Hu’u pada 3 desa, serta di kabupaten Grobogan dengan cara melakukan intervensi melalui roadshow kepada pimpinan daerah sehingga memungkinkan terbentuknya Tim CLTS sejak kabupaten sampai ke desa. Sedangkan Yayasan Pancur Kasih, yang merupakan LSM lokal, melaksanakan CLTS pada desa percontohan di masing- masing 2 desa di kabupaten Landak dan kabupaten Kubu Raya, melalui program pendidikan kriis kesehatan.

2.1.7 Dukungan aparat desa perlu digalang

Aparat desa seyogyanya merupa-kan petugas yang berhubungan erat dengan keseharian masyarakat. Sehingga keterlibatan aparat desa dalam pelaksanaan program Stop BABS dapat mempercepat penerimaan masyarakat. Namun terlebih dahulu perlu dilakukan upaya memberi pemahaman tentang program Stop BABS, baik mengenai maksud dan tujuan program, bagaimana cara melakukannya, dan dukungan apa yang diperlukan dari aparat pemerintah.

Sebagai contoh Desa Marga Jaya di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Desa Ulaweng Riaja, Kabupaten

Saefudin Juhri sebagai Kepala Desa/Kuwu Marga Jaya turun langsung melakukan pemicuan. Foto: Owin Jamasy.

Bone, Sulawesi Selatan yang merupakan lokasi proyek WSLIC-2. Kepala Desa berikut perangkat desa, tokoh masyarakat dan kader kesehatan desa tergabung dalam wadah Tim CLTS, ikut terlibat dalam pemicuan. Keterlibatan kepala desa berikut perangkatnya merupakan bantuan yang sangat berharga dalam mempercepat pencapaian stop BABS. Walaupun disadari juga bahwa faktor lain turut mempengaruhi keberhasilan seperi pengetahuan masyarakat tentang dampak negaif dari membuang kotoran di sembarang tempat, ketersediaan air, dan ketersediaan material lokal atau material pendukung dari toko.

Sementara di Desa Babat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, keterlibatan pemerintah desa dalam Tim Gerakan Pemberantasan Tai yang dibentuk bersama masyarakat, sehingga dalam jangka 4 minggu desa tersebut mampu mencapai Stop BABS.

Bentuk lain keterlibatan aparat pemerintahan desa berupa pemberian legiimasi dari kepala desa/lurah kepada pelaksana program Stop BABS di desa, yang dapat mempercepat proses pemicuan di ingkat masyarakat.

Di desa Sindanglaya, kecamatan Pagelaran kabupaten Pandeglang, Banten, legiimasi diberikan kepada Tim Kesehatan Desa melalui SK Kepala Desa, yang kemudian membentuk Tim Pemberantas Tai/ Waduk (TPT/TPW) di seiap dusun. Perubahan yang terjadi di desa tersebut berdampak pada perkampungan idak bau kotoran manusia, padahal sampai awal tahun 2005, bau kotoran manusia sangat terasa karena kotoran ada dimana-mana (pinggir jalan, kebun, sawah, kali dan lapangan bola). BABS menjadi hal memalukan dan dipandang idak baik.

Namun mendapatkan dukungan kepala desa idak selamanya mudah dilakukan. Pengalaman PCI di kabupaten Pandeglang, Banten keika praktek pemicuan dilakukan di desa Kertasana, kecamatan Pagelaran, Kepala Desanya idak yakin masyarakatnya mampu berubah, serta mampu membangun sendiri jamban sesuai dengan kemampuannya. Alasannya adalah masyarakat akan bergerak setelah mendapatkan subsidi, misalnya untuk membangun jamban diberi subsidi 1 zak semen. Tapi setelah Kepala Desa diajak berkeliling melakukan pengamatan lapangan, dengan mata kepalanya sendiri melihat sebaran inja ada dimana mana, serta melihat sendiri masyarakatnya mau berubah, barulah kemudian Kepala Desa mendukung pelaksanaan Stop BABS. Kemudian desa ini menjadi salah satu desa yang berkontribusi terhadap jumlah jamban yang terbangun tanpa subsidi sehingga Kabupaten Pandeglang,

Banten Encep Mahpud

mendapatkan Penghargaan Kepala Desa Sindanglaya MURI pada tahun 2007 sebagai Kabupaten Pandeglang Foto : WASPOLA mendapatkan Penghargaan Kepala Desa Sindanglaya MURI pada tahun 2007 sebagai Kabupaten Pandeglang Foto : WASPOLA

2.1.8 Menjadikan Puskesmas dan Posyandu berikut

jajaran petugas kesehatannya sebagai ujung tombak mempercepat penerimaan masyarakat

Jajaran dinas kesehatan, mulai dari kabupaten, kecamatan, sampai di desa merupakan para penggiat Stop BABS yang potensial, disamping merubah perilaku hidup bersih merupakan tugas pokok dan fungsi mereka, kapasitas sumber daya manusianya pun relaif memenuhi syarat. Petugas sanitarian, bidan desa, termasuk kader posyandu yang berasal dari masyarakat merupakan ujung tombak pelaksanaan Stob BABS yang dapat diandalkan.

Keterlibatan sanitarian sudah jelas, karena memang bidang tugasnya, sehingga peran supervisi melekat pada dirinya. Sedangkan peran bidan, dilakukan seiring dengan tugasnya melayani kesehatan ibu dan anak, termasuk dalam proses persalinan, sehingga peran memberikan moivasi lebih menonjol. Beberapa contoh sukses atas peran jajaran dinas kesehatan adalah di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang bertumpu pada igur kepala puskesmas dan bidan desa. Sementara di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat keterlibatan akif kepala Dinas Kesehatan beserta jajarannya dalam upaya menjadikan program Stop BABS sebagai program prioritas pemerintah daerah.

Salah satu faktor pendorong percepatan pencapaian desa Stop BABS di Kabupaten Sumedang adalah pelaihan kepada petugas sanitasi Puskesmas dan Kader Posyandu/Dasawisma sejak awal. Pelaihan dilakukan 2 angkatan dalam 1 tahun anggaran, sedangkan Salah satu faktor pendorong percepatan pencapaian desa Stop BABS di Kabupaten Sumedang adalah pelaihan kepada petugas sanitasi Puskesmas dan Kader Posyandu/Dasawisma sejak awal. Pelaihan dilakukan 2 angkatan dalam 1 tahun anggaran, sedangkan

2.1.9 Adopsi program Stop BABS dalam proyek

AMPL mempercepat upaya pengarusutamaan program Stop BABS

Kemampuan pemerintah daerah dalam pembangunan AMPL masih relaif terbatas. Untuk itu, pemerintah pusat melalui sumber dana hibah dan pinjaman banyak melakukan intervensi pembangunan AMPL di daerah. Pembangunan AMPL diserahkan pelaksanaannya melalui proyek AMPL yang tersebar di seluruh Indonesia.

Seluruh proyek AMPL telah mengadopsi program Stop BABS. Keberadaannya di hampir seluruh Indonesia membantu pemerintah pusat dalam memperkenalkan program Stop BABS kepada pemerintah daerah maupun pelaku pembangunan AMPL lainnya. Keterlibatan proyek AMPL dalam pelaksanaan program Stop BABS akan membantu mempercepat pengarusutamaan program di daerah.

Sebagai contoh, proyek WSLIC-2 telah berhasil membebaskan 37 desa dari praktek BABS, proyek CWSH menghasilkan 8 desa Stop BABS, Pamsimas menghasilkan 5 desa Stop BABS, TSSM menghasilkan

62 desa Stop BABS, WES Unicef menghasilkan 1 desa Stop BABS. Sementara jumlah desa yang dalam pendampingan proyek AMPL mencapai sekitar 2.000 desa. Kesemuanya berpotensi menjadi desa Stop BABS dalam waktu dekat.

2.1.10 Mahasiswa berpotensi menjadi ujung tombak

pemicuan Stop BABS melalui program Kuliah Kerja Mahasiswa

Foto : POKJA AMPL

Program kuliah kerja mahasiswa yang mengerahkan mahasiswa dalam jumlah banyak ke desa- desa, merupakan ajang yang potensial dalam melibatkan mahasiswa dalam pelaksanaan Stop BABS. Dengan pembekalan yang memadai, mahasiswa dapat berperan menjadi fasilitator pemicu perubahan di ingkat masyarakat. Melalui kerja sama antara pemerintah daerah dan perguruan inggi, dapat dibangun suatu sinergi untuk membantu masyarakat desa dalam memperbaiki kualitas hidupnya.

Keterlibatan perguruan inggi pertama kali oleh Universitas Tirtayasa pada tahun 2007, melalui pelaihan yang diikui 108 orang, terdiri dari 26 dosen,

5 sanitarian dari 5 Puskesmas lokasi KKM serta 7 orang peserta tambahan dari P2KP Banten, yang dilanjutkan dengan pemicuan CLTS di 14 desa. Program kemudian berjalan dengan lebih baik pada tahun 2008, masih di

5 Kecamatan, Carenang, Curug, Pontang, Tirtayasa, Tunjung Teja di kabupaten Serang. Pada tahap awal dilaih sebanyak 75 orang terdiri dari 34 dosen, 14 mahasiswa, sisanya berasal dari PKK, Sanitarian, Bidan, 5 Kecamatan, Carenang, Curug, Pontang, Tirtayasa, Tunjung Teja di kabupaten Serang. Pada tahap awal dilaih sebanyak 75 orang terdiri dari 34 dosen, 14 mahasiswa, sisanya berasal dari PKK, Sanitarian, Bidan,

Sedangkan di Universitas Gajah Mada telah dilaih 22 mahasiswa yang tergabung dalam komunitas

Waterplan Community terkait Teknis Pemicuan CLTS. Pelaihan ditangani oleh Pokja AMPL Nasional bekerjasama dengan LPPM UGM, dilanjutkan pemicuan

CLTS di Desa Hargomulyo, Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul; serta dikembangkan masing masing di 2 desa di Kabupaten Gunung Kidul dan Sleman. Sementara STIKES Falatehan Serang, yang ikut serta dalam pelaihan tahun 2008 sebanyak 2 dosen dan 1 mahasiswa sedang mengembangkan desa model, di Desa Terumbu, Kecamatan Kilasah di kota Serang.

2.1.11 Format dan bentuk pemantauan yang sederhana

oleh kader di ingkat desa mendukung upaya pemantauan dan evaluasi program Stop BABS secara keseluruhan

Salah satu kendala dalam pelaks-anaan program AMPL selama ini adalah kesulitan memperoleh data yang dapat diandalkan. Sebagian besar disebabkan bentuk format pelaporan yang rumit dan sulit dipahami. Melalui pelaksanaan program Stop BABS kemudian ditemui beberapa upaya pencatatan kemajuan pelaksanaan kegiatan yang sederhana dan dilaksanakan langsung oleh kader di lapangan.

Dari format yang tersusun dari daerah inilah kemudian diharapkan data yang didapatkan dapat

Format pemantauan skala desa. Tabel : Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang

berkembang menjadi data nasional. Sementara format pemantauan dan evaluasi dapat menjadi embrio bagi upaya mendapatkan format pemantauan dan evaluasi yang mudah, dan dapat dilaksanakan.

Sebagai contoh, PCI melalui programnya di kabupaten Pandeglang, Banten mengembangkan format pemantauan dan evaluasi yang sederhana. Kader atau Tim CLTS desa melakukan pemantauan, kemudian petugas lapangan PCI melakukan rekap perkembangan seiap desa, dan digabungkan di ingkat kecamatan. Format pemantauan dan evaluasi tersebut terus dikembangkan PCI melalui programnya di Kabupaten Nabire, Papua; Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, NAD.

Sementara di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pemantauan dilakukan melalui kunjungan rumah oleh Kader Dasa Wisma. Pencatatan atas perubahan perilaku menggunakan formulir yang disiapkan oleh Dinas Kesehatan. Selain itu dipergunakan Siker STBM melalui

Program Lingkungan Sehat Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, maupun

Pamsimas. Hasil pemantauan kader tersebut

kemudian dicatat dalam format laporan yang disiapkan Siker STBM ditempel di seiap rumah.

Dinas Foto : Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang Kesehatan Sumedang, untuk kemudian direkap oleh Puskesmas

dan Dinas Kesehatan sehingga akhirnya tersedia laporan perkembangan program Stop BABS bulanan.

2.1.12 Deklarasi Stop BABS (ODF) memicu daerah lainnya

Deklarasi ODF di Desa Sawe Kecamatan Huu di Kabupaten Dompu oleh Bupai Dompu, deklarasi ODF di Desa Sukawening Kecamatan Ganeas oleh Bupai Sumedang, serta pemberian Penghargaan Museum Rekor Indonesia (Muri) kepada kabupaten Pandeglang

untuk

Pembuatan

Jamban Terbanyak Tanpa Subsidi Selama

Satu Tahun (sekitar 2.000 jamban), adalah contoh deklarasi yang kemudian memicu, desa lain di wilayah kabupatennya

masing masing; bahkan memicu kabupaten lainnya.

Foto : WASPOLA

2.1.13 Peluang usaha penyediaan fasilitas sanitasi

dasar paska pemicuan Stop BABS .

Sesuai dengan judul programnya, Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi, maka yang menjadi perhaian adalah bagaimana menjawab permintaan masyarakat akan sarana sanitasi dasar, yang murah, sehat dan ramah lingkungan. Adalah Sumadi yang menunjukkan, pengabdian dan totalitas dalam menggauli profesinya menuju kesuksesan, bukan hanya sebagai sanitarian, namun, juga sebagai pengusaha yang berurusan dengan sanitasi dasar ini. Berurusan dengan inja sudah pasi menjijikkan. Tetapi, idak bagi Sumadi yang berprofesi sebagai sanitarian Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH

Persoalan seputar inja bagi sanitarian adalah persoalan pening yang bila idak ditangani dengan benar bisa menjadi malapetaka. ”Kalau mereka sakit- sakitan, uangnya habis dipakai berobat, ya miskin terus,” kata Sumadi. Prihain dengan rendahnya kesadaran masyarakat menggunakan jamban, Sumadi melakukan survei di Desa Begendeng, Kecamatan Jaikalen, kabupaten Nganjuk. Begendeng dipilih sebagai sasaran survei karena pola sanitasi masyarakatnya yang buruk.

Desa ini terletak di muara Sungai Brantas dan Sungai Widas. ”Di dua sungai itulah masyarakat melakukan MCK (mandi, cuci, kakus) sehari-hari,” kata Sumadi. Hasil survei tak jauh dari dugaan. Dari 267 rumah di Begendeng, tercatat hanya empat rumah yang memiliki jamban dengan desain Desa ini terletak di muara Sungai Brantas dan Sungai Widas. ”Di dua sungai itulah masyarakat melakukan MCK (mandi, cuci, kakus) sehari-hari,” kata Sumadi. Hasil survei tak jauh dari dugaan. Dari 267 rumah di Begendeng, tercatat hanya empat rumah yang memiliki jamban dengan desain

2.2 Pendanaan

2.2.1 Opimalisasi sumber daya yang ada dengan mengadopsi program Stop BABS kedalam program yang telah berjalan

Salah satu upaya daerah dalam membiayai program Stop BABS adalah dengan cara mengadopsi kegiatan Stop BABS kedalam program yang telah berjalan. Tentunya hal ini dengan mudah dapat dilakukan karena pada dasarnya kegiatan Stop BABS adalah bagian dari kegiatan PHBS.

Salah satu contoh adalah upaya Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat mengadopsi kegiatan Stop BABS kedalam kegiatan terkait seperi Program

Pengembangan Kompetensi-Indeks Prestasi manusia (PPK-IPM), dan Program Desa Siaga. Bentuk opimalisasi pembiayaan diantaranya pembiayaan kegiatan pelaihan Stop BABS dibiayai dari dana PPK-IPM dan Desa Siaga yang dilakukan di desa. Sedangkan kegiatan pemicuan dibiayai dari anggaran Klinik Sanitasi. Sehingga kebutuhan dana ekstra bagi pelaksanaan program Stop BABS dapat diminimalkan.

Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang juga bekerjasama dengan Bank Jabar dalam memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) melalui program Desa Binaan. Program Stop BABS merupakan salah satu kegiatannya, yang akan dimulai tahun 2010 di

10 desa.

2.2.2 Masyarakat mempunyai inisiaif sendiri dalam menyelesaikan keterbatasan pendanaan

Pada dasarnya masyarakat yang sudah terpicu dapat membangun sarana jamban sesuai dengan kemampuannya. Tidak ada alasan bagi masyarakat miskin untuk idak mampu membangun sarana jamban yang paling sederhana (lihat Boks Contoh Mbok Supi di Kabupaten Trenggalek). Namun demikian,

Rumah dan Jamban mbok Supi di Desa Tumpuk, Kecamatan Tugu, Trenggalek, bangga dengan jambannya seharga 4,5 juta rupiah, hasil menabung dari penghasilannya sebagai pemijat, selama setahunan. Foto : TSSM Kabupaten Trenggalek.

pada beberapa kasus, khususnya daerah sulit perlu diperimbangkan pendanaan alternaif untuk membantu masyarakat yang idak mampu. Apabila dimungkinkan dapat didorong pembentukan unit kredit masyarakat untuk pembangunan jamban.

Sebagai contoh Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) desa Sungai Rangas Hambu Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar Baru mengembangkan jamban melalui arisan jamban. Terobosan ini dilakukan karena harga per-unit jamban relaif mahal. Dengan anggota 38 orang, mereka melakukan arisan jamban Rp 25.000,-/orang /bulan. Perlahan tapi pasi jumlah keluarga yang memiliki jamban meningkat. Begitu juga dengan Jorong Parang Doto, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, yang memanfaatkan keberadaan Kelompok Tani Perempuan. Seiap pertemuan kelompok mereka melakukan arisan kloset, dan seiap pertemuan terdapat dua orang yang mendapat giliran memperoleh kloset.

Beberapa wanita Kelompok Arisan Jamban desa Rorurangga Pulau Ende, NTT juga memprakarsai hal yang sama. Sii Sarifah, seorang ibu muda dua anak, bersama dengan beberapa ibu rumah tangga mendirikan kelompok ini di desanya. “Dalam waktu dekat, saya

akan memiliki jamban rumah tangga saya sendiri,” kata

Sii antusias. Pelaksanaan ini didukung oleh sebuah peraturan desa di masing-masing 7 desa di Pulau Ende.

Sementara Bengkel Sanitasi Desa Bocor Kabupaten Kebumen, Jawa tengah mengereditkan cetakan bangunan atas dan kloset senilai Rp 60.000 sebanyak 6 kali.

Masyarakat Desa Salam Harjo salah satu desa CWSHP di Kabupaten Bengkulu Utara, telah mendapat kemudahan dari toko material terdekat untuk menyicil kebutuhan membuat jamban seperi semen, PVC, bahkan kloset. Cicilan dilakukan seiap minggu dari hasil kebun penduduk berupa kopi dan kelapa sawit. Masyarakat Desa Salam Harjo yang awalnya hanya memiliki 16 jamban, selama berselang 2 bulan semua kepala keluarga yang mencapai 118 KK di desa itu telah memiliki jamban keluarga.

2.2.3 Perubahan skema dana bergulir menjadi non

subsidi lebih menjanjikan

program Stob BABS diperkenalkan, pembangunan sanitasi khususanya di perdesaan banyak mempergunakan skema dana bergulir. Dana bergulir tersebut berupa dana stimulan yang diberikan oleh proyek kepada kelompok masyarakat. Anggota kelompok kemudian menentukan urutan penerima bantuan. Secara teoritis hal ini cukup baik, tetapi dalam praktek banyak ditemui kegagalan, terlihat dari kenyataan bahwa dana hanya bergulir satu kali pada penerima gelombang pertama. Masyarakat miskin juga hampir tidak dapat mengakses dana tersebut, karena tidak memiliki kemampuan untuk menyicilnya.

Jauh

sebelum

Secara umum, ditengarai faktor penyebab kegagalan adalah belum terjadinya perubahan perilaku masyarakat sehingga belum timbul adanya kebutuhan masyarakat terhadap jamban. Kemudian tidak ada hukuman bagi penerima bantuan yang tidak mengembalikan dana bergulir tersebut.

Sementara perubahan dana bergulir sanitasi menjadi tanpa subsidi melalui program Stop BABS, terbuki menunjukkan kinerja yang lebih baik. Lebih banyak masyarakat yang terpicu membangun sarana jamban, walaupun tanpa dana simulan. Hasilnya ini terlihat di berbagai lokasi proyek WSLIC-2, diantaranya Kabupaten Ciamis (Jawa Barat), Muara Enim (Sumatera Selatan), Trenggalek (Jawa Tengah), Bone (Sulawsi Selatan), Sawahlunto Sijunjung (Sumatera Barat). Sedangkan di lokasi proyek CWSH hasilnya terlihat di Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat).

2.3 Sosial dan Budaya

2.3.1 Kampiun sebagai penggerak utama program

Stop BABS

Keberhasilan pencapaian stop buang air sembarangan, sebagai hasil dari pemicuan, tergantung banyak hal, tetapi yang utama adalah keberadaan kampiun. Kampiun adalah orang yang terpicu, termoivasi dan memiliki komitmen dalam pelaksanaan program. Dalam beberapa hal, kiprah kampiun ini idak selalu mendapatkan dukungan dari sistem yang ada, namun demikian kampiun tetap melakukan kegiatan sesuai dengan kapasitasnya. Seorang kampiun dapat berasal dari berbagai golongan, baik pegawai pemerintah, swasta, pemuka masyarakat, tokoh agama, guru sekolah, ibu rumah tangga, bahkan pemuda.

Dipercayai bahwa pada seiap keberhasilan pelaksanaan program Stop BABS terdapat seorang kampiun yang mengawal. Jika semua disebutkan satu per satu, akan banyak sekali nama yang perlu dicantumkan. Namun dari sejumlah nama tersebut, beberapa yang dapat disebutkan sementara ini adalah Drg. Agusin yang Dipercayai bahwa pada seiap keberhasilan pelaksanaan program Stop BABS terdapat seorang kampiun yang mengawal. Jika semua disebutkan satu per satu, akan banyak sekali nama yang perlu dicantumkan. Namun dari sejumlah nama tersebut, beberapa yang dapat disebutkan sementara ini adalah Drg. Agusin yang

Kecamatan Lembak merupakan kecamatan Stop BABS (ODF) yang pertama

Drg. Agusin, Kepala Puskesmas Kec. Lembak, Kab. Muara Enim, di Indonesia. Muhamad Sholeh Sumatera Selatan.

dari Dinas Kesehatan dan

Foto : WASPOLA

Sudarto dari Bappeda berkiprah dalam pengawalan program

Stop BABS yang dilakukan oleh Plan Internaional Indonesia di kabupaten Grobogan. Ekki Riswandiyah dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat berhasil memanfaatkan semua sumber daya yang ada untuk penyelenggaraan Stop BABS yang juga didukung oleh Bupai Sumedang yang terlibat dalam pencanangan desa Stop BABS (ODF).

Foto : Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang

Selain itu, Abdul Sikin, pegawai pemerintah Kecamatan Huu di Kabupaten Dompu, NTB akif melakukan pelaihan pemicuan, mengatur strategi pemicuan, dan pemantauan pelaksanaan Stop BABS di Kecamatan Huu. Encep Mahmud, Kepala Desa Sindanglaya, Kabupaten Pandeglang membuat SK Kepala Desa tentang Tim Pemberantas Tai. Saefudin Juhri sebagai Kepala Desa/Kuwu Marga Jaya turun langsung melakukan pemicuan. Sulastri, dari Desa Kenongo, dan Masduki dari Desa Tanggung, Kecamatan Gucialit, Kabupaten Lumajang, serta Cicih Sukaesih Kader Desa

Sukawening, Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang, misalnya, merekalah yang menjelaskan peningnya perubahan kebiasaan dan rencana kerja kepada warga masyarakat di desanya masing masing, sehingga desanya mencapai Stop BABS (ODF).

Lukman, kader dari desa Meunasah kecamatan Susoh, kabupaten Aceh Barat Daya, sedang menjelaskan proses pembuatan jamban. Foto : PCI Aceh

Pada kondisi tertentu, bahkan kampiun sendiri masih melakukan praktek BABS. Untuk itu, kampiun tersebut yang terlebih dahulu membangun jamban, supaya menjadi contoh yang nyata bagi masyarakatnya. Misalnya, hal ini terjadi dengan Lukman – kader Desa Meunasah, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya. Segera setelah menyelesaikan pelaihan pembuatan jamban oleh Fasilitator Teknik Program WES Unicef yang dilaksanakan oleh PCI di Tapaktuan dan sekitarnya, Lukman membangun sendiri jambannya dan kemudian masyarakat mengikuinya.

2.3.2 Kaum perempuan sebagai kampiun program

Stop BABS dan pendorong utama perubahan perilaku masyarakat.