MAKALAH PARADIGMA KEMARITIMAN DAN JEJAK

MAKALAH PARADIGMA KEMARITIMAN
DAN JEJAK SEJARAH KEMARITIMAN YANG TERHAPUS
PENGANTAR TEKNOLOGI INFORMASI KEMARITIMAN

DI SUSUN OLEH:
JUPRI ALVIANTO
MONALISA
LISA ROSMALA
ZUL APRIADI
SILVIA MARZALITA
TITI ARIMBA

120155201053
130155201033
130155201048
130155201049
130155201070
140155201026

PRODI TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Tanjungpinang, 29 Februari 2017

Penulis

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR...............................................................................................................1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................3
A.

Latar Belakang........................................................................................................3

B.

Rumusan Masalah..................................................................................................4

C.

Tujuan Penulisan....................................................................................................4

D.

Manfaat Penulisan..................................................................................................4


BAB II..................................................................................................................................6
ISI.......................................................................................................................................6
A.

Pengertian Sosial Budaya Masyarakat Maritim.......................................................6

B.

Aspek Sosial Budaya Masyarakat Maritim..............................................................6

C.

Masyarakat Pesisir..................................................................................................8

D.

Karakteristik Masyarakat Pesisir...........................................................................10

E.


Keadaan Masyarakat Pesisir.................................................................................12

F.

Penyebab Kemiskinan Masyarakat Pesisir............................................................13

G.

Penyebab Kegagalan Membangun Budaya Maritim Bangsa.................................15

H.

Paradigma Pembangunan SDM dengan Konsep Kebudayaan Maritim.................16

I.

Hal-Hal Mendasar dan Mendesak yang Harus Dikerjakan Indonesia....................18

J.


Kemaritiman dalam Prespektif Provinsi Kepulauan Riau......................................19

BAB III...............................................................................................................................22
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................................22
A.

Kesimpulan...........................................................................................................22

B.

Saran....................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................23

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia yang merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di
dunia, dengan jumlah pulai yang mencapai kurang lebih 17.500 buah. Hal

tersebut membuat lebih kurang 60 persen dari total warga negara Indonesia
bermukim di sekitar wilayah pesisir, yang menggantungkan kehidupannya
kepada keberadaan sumberdaya alam pesisir dan lautan. Pola hidup
masyarakat pesisir ini kemudian membentuk suatu kebudayaan dan
karakteritik yang khas dan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir
tersebut.
Namun, keadaan masyarakat pesisir yang terpencil membuat mereka
sangat awam terhadap perkembangan media dan teknologi yang begitu pesat.
Hal ini menyebabkan tingkat pendidikan mereka yang masih sangat rendah.
Pola pikir mereka yang masih menganggap sekolah hanya sekedar buangbuang waktu saja, berdampak pada pola pikir dan kebiasaan lainnya, yang
berakibat pada kurangnya minat untuk lebih mengembangkan diri. Dan tak
ayal, kemisikinan pun menjadi salah satu karakter dari masyarakat pesisir ini.
Jauh

sebelum

Indonesia

merdeka,


semangat

maritim

sudah

menggelora di bumi pertiwi tercinta ini, bahkan beberapa kerajaan pada zaman
itu mampu menguasai lautan dengan armada perang dan dagang yang besar.
Namun, setelah indonesia mengalami penjajahan, semangat maritim itu luntur.
Pola hidup dan orientasi bangsa dibelokkan dari maritim ke agraris (darat).
Sampai sekarang, pemanfaatan dan pengelolaan dibidang maritim
masih sangat kurang, dari berbagai aspek Indonesia masih kalah jauh dari
dunia internasional. Banyak hal yang harus segera diperbaiki.

Kepulauan Riau yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia,
memiliki peluang yang besar untuk dapat berkontribusi membangun
kemaritiman di bangsa ini. Dengan demikian, perlu penanganan secara
komprehensif bagaimana mengelola Kepulauan Riau sebagai model
pembangunan daerah maritim, bahkan model pembangunan poros maritim
dunia.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalahnya
adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan sosial budaya masyarakat maritim?
2. Apa saja aspek sosial budaya masyarakat maritim berdasarkan faktor
3.
4.
5.
6.
7.
8.

historis, geografis, dan sumberdaya manusia?
Apa itu mas yarakat pesisir?
Bagaimana karakteristik masyarakat pesisir?
Bagaimana keadaan masyarakat pesisir?
Apa penyebab kemiskinan masyarakat pesisir?
Apa penyebab kegagalan membangun budaya maritim bangsa?
Bagaimana paradigma pembangunan SDM dengan konsep


kebudayaan maritim?
9. Hal-hal mendasar & mendesak apa saja yang harus dikerjakan
Indonesia?
10. Bagaimana kemaritiman dalam prespektif Provinsi Kepulauan Riau?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai nilai tambah
untuk menambah wawasan bagi para pembaca berkaitan dengan masyarakat
laut dan permasalahan yang ada didalamnya, yang nantinya akan memberikan
kontribusi terhadap penentuan kebijakan – kebijakan yang bersangkutan
dengan masalah-masalah kemaritiman.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang bisa didapat dari makalah ini tentunya dapat
memberikan wawasan kepada pembaca tentang kemaritiman. Dimana kita
ketahui Indonesia merupakan Negara yang kaya akan potensi alam. Selain itu,

mendorong kesadaran kita bahwa kita merupakan generasi berikutnya yang
harus melanjutkan perjuangan para tokoh terdahulu yang memperjuangkan

wilayah maritim.

BAB II
ISI
A. Pengertian Sosial Budaya Masyarakat Maritim
Indonesia merupakan salah satu negara kepualuan terbesar di dunia,
dengan jumlah pulau mencapai kurang lebih 17.500 buah. Sebagai
konsekuensinya,

Indonesia

secara

komparatif

memiliki

keunggulan

dibandingkan negara lain. Pertama keunggulan sumberdaya alam. Sebagai

negara yang lebih kurang dua pertiga dari luas keseluruhan teritorial
negaranya merupakan perairan, dan negara yang memiliki garis pantai
terpanjang di dunia setelah Kanada, secara alami Indonesia mewarisi
kekayaan sumberdaya alam yang melimpah.
Kedua adalah keunggulan sumberdaya manusia. Secara kuantitas,
jumlah penduduk Indonesia merupakan yang terbesar kelima di dunia, yaitu
lebih kurang 220 juta jiwa. Dan lebih kurang 60 persen diantaranya hidup dan
bermukim di sekitar wilayah pesisir, yang menggantungkan kehidupannya
kepada keberadaan sumberdaya alam pesisir dan lautan. Masyarakat pesisir
ini kemudian membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait
dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut. Masyarakat persisir pada
umumnya tidak saja nelayan, melainkan juga pembudidaya ikan, pengolah
ikan bahkan pedagang ikan.
Namun, masyarakat maritim yang mendiami pulau-pulau kecil dan
pantai-pantai terpencil tersebut hampir tidak dikenali oleh sebagian
masyarakat Indonesia. Hal tersebut menyebabkan mereka terpinggirkan dari
berbagai bidang pembangunan bangsa, oleh karena itu perlu adanya upaya
untuk mengenalkan kebudayaan mereka.

B. Aspek Sosial Budaya Masyarakat Maritim


Faktor historis

Sejarah adalah cermin paling jernih, referensi terpercaya untuk suatu
perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik. Bercermin
pada sejarah, kita harus meneguhkan kembali jatidiri bangsa sebagai
penghuni Negara Maritim.
Sejak abad ke-9 masehi, nenek moyang kita telah berlayar jauh
dengan kapal bercadik. Ke utara mengarungi laut Tiongkok, ke Barat
memotong lautan Hindia hingga Madagaskar, ke Timur hingga pulau
Paskah. Hal itu lah yang mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di
Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang
besar.
Budaya kemaritiman bangsa indonesia bukanlah fenomena baru.
Sejarah menunjukkan, kehidupan kemaritiman, pelayaran dan
perikanan beserta kelembagaan formal dan informalnya merupakan
kelanjutan dari proses perkembangan kemaritiman Indonesia di masa
lalu. Sejarah mencatat, bahwa Sriwijaya dan Majapahit pernah
menjadi kiblat di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh


wilayah Asia.
Faktor Geografis
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Luas wilayah Indonesia seluruhnya adalah 5.193.250 km2 Dua pertiga
wilayah Indonesia merupakan perairan atau wilayah laut. Luas
wilayah perairan di Indonesia mencapai 3.287.010 km2 Adapun
wilayah daratan hanya 1.906.240 km2. Wilayah laut teritorial
merupakan laut yang masuk ke dalam wilayah hukum Negara
Indonesia. Berdasarkan ”Territoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonante” tahun 1939, wilayah teritorial Laut Indonesia ditetakkan
sejauh 3 mil diukur dari garis luar pantai.
Berdasarkan letaknya, Indonesia dikelilingi tiga lautan besar, yaitu :
a. Indonesia Bagian Timur berhadapan dengan Samudera Teduh
b. Indonesia Bagian Selatan berhadapan dengan Samudera Hindia
c. Indonesia Bagian Urata berhadapan dengan Laut Tiongkok Selatan

Hal tersebut mempengaruhi adanya:
a) Usaha kegiatan pelayaran, perikanan, serta pelabuhan di wilayah
Indonesia.
b) ditinjau dari segi ekonomi, Indonesia mempunyai potensi besar

untuk mengembangkan usaha-usaha yang dimungkinkan oleh


keadaan maritimnya.
Faktor Sumberdaya
Pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir telah ada sejak
zaman nenek moyang mulai memanfaatkan sumberdaya alam tersebut
untuk menunjang kehidupan mereka. Sebelum era modern pengelolaa
sumberdaya alam masih bersifat lokal, dimana struktur masyarakat
dan aktivitasnya masih senderhana. Beberapa ciri dari pengelolaan
sumberdaya alam secara tradisional anatara lain adalah:
1) Pengelolaan sumberdaya alam cenderung berkelanjutan
2) Struktur pihak yang terlibat masih sederhana
3) Bentuk pemanfaatannya terbatas dan termasuk skala kecil
4) Tipe masyarakat dan kegiatannya relatif homogen
5) Komponen pengelolaannya (manajemen) berasal dan berakar pada
masyarakat
6) Rasa kepemilikan dan ketergantungan terhadap sumberdaya alam
tinggi
7) Rasa untuk melindungi dan menjaga juga tinggi
Budaya, tatanan hidup, dan kegiatan masyarakat relatif homogen dan
masing-masing individu merasa mempunyai kepentingan yang sama
dan tanggung jawab dalam melaksanakan dan mengawasi hukum yang
sudah disepakati bersama. Keadaan ini dapat menjamin pemanfaatan
sumberdaya alam secara lestari.

C. Masyarakat Pesisir
Masyarakat sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap
diri mereka sebagai suatu kesatuan social dengan batas yang dirumuskan
secara jelas(Arif Satria, 2002:8).

Adapun wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan
dan lautan, yang apabila ditinjau dari garis pantai, maka wilayah pesisir
memiliki dua macam batas, yaitu batas sejajar garis pantai dan batas yang
tegak lurus garis pantai. Dengan demikian, masyarakat pesisir adalah
sekelompok manusia yang secara relative mandiri, cukup lama hidup
bersama, mendiami suatu wilayah pesisir, memiliki kebudayaan yang sama,
yang identik dengan alam pesisir, dan

melakukan kegiatannya di dalam

kelompok tersebut.
Atau pengertian lain dari masyarakat pesisir adalah kelompok orang
yang bermukim di wilayah pesisir, mempunyai mata pencaharian dari sumber
daya alam dan jasa-jasa pedagang, pengelola ikan, pemilik atau pekerja
perusahaan perhubungan laut, pemilik atau pekerja pertambangan dan energi
di wilayah pesisir, pemilik atau pekerja industri maritim misalnya galangan
kapal.
Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat
yang pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya, bahwa
struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik
masyarakat perkotaan dan pedesaan.
Hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir, hidup di dekat
pantai merupakan hal yang paling diinginkan untuk dilakukan mengingat
segenap aspek kemudahan dapat mereka peroleh dalam berbagai aktivitas
kesehariannya. Dua contoh sederhana dari kemudahan-kemudahan tersebut
diantaranya: Pertama, bahwa kemudahan aksesibilitas dari dan ke sumber
mata pencaharian lebih terjamin, mengingat sebagian masyarakat pesisir
menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan potensi perikanan dan laut
yang terdapat di sekitarnya, seperti penangkapan ikan, pengumpulan atau
budidaya rumput laut, dan sebagainya. Kedua, bahwa mereka lebih mudah
mendapatkan kebutuhan akan MCK (mandi, cuci dan kakus), dimana mereka
dapat dengan serta merta menceburkan dirinya untuk membersihkan
tubuhnya; mencuci segenap peralatan dan perlengkapan rumah tangga, seperti

pakaian, gelas dan piring; bahkan mereka lebih mudah membuang air (besar
maupun kecil). Selain itu, mereka juga dapat dengan mudah membuang
limbah domestiknya langsung ke pantai/laut.

D. Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu
yang khas/unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang
perikanan itu sendiri. Karena sifat dari usaha-usaha perikanan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan pasar, maka
karakteristik masyarakat pesisir juga terpengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Adapun sifat dan karakteristik masyarakat pesisir adalah sebagai berikut:
1. Sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan. Contohnya seperti usaha
perikanan tangkap, usaha perikanan tambak, dan usaha pengelolaan
hasil perikanan yang memang dominan dilakukan.
2. Sangat di pengaruhi oleh faktor lingkungan, musim dan juga pasar.


Faktor Lingkungan
Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah
bahwa keberlanjutan atau keberhasilan usaha tersebut sangat
bergantung pada kondisi lingkungan, khususnya air. Keadaan ini
mempunyai implikasi yang sangat penting bagi kondisi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat pesisir. Kehidupan masyarakat pesisir
menjadi sangat tergantung pada kondisi lingkungan itu dan
sangat

rentan

terhadap

kerusakan

lingkungan, khususnya

pencemaran, karena limbah industri maupun tumpahan minyak,
misalnya, dapat

menggoncang

sendi-sendi

ekonomi masyarakat pesisir. Pencemaran

kehidupan
di

pantai

sosial
Jawa

beberapa waktu lalu, contohnya, telah menyebabkan produksi
udang tambak anjlok secara drastis. Hal ini tentu mempunyai
konsekuensi yang besar terhadap kehidupan para petani tambak
tersebut.



Faktor Musim
Karakteristik lain yang sangat menyolok di kalangan masyarakat
pesisir

khususnya masyarakat nelayan,

mereka pada musim.

Ketergantungan pada musim ini semakin

besar bagi para nelayan kecil.
para nelayan

adalah ketergantungan

sangat

Pada

musim

penangkapan

sibuk melaut. Sebaliknya, pada

musim

peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak
nelayan yang terpaksa menganggur.


Faktor Pasar
Karakteristik lain dari usaha perikanan yang dilakukan oleh
masyarakat pesisir ini adalah ketergantungan pada pasar. Tidak
seperti petani padi, para nelayan dan petani tambak ini sangat
tergantung pada keadaan pasar.

Hal ini disebabkan karena

komoditas yang dihasilkan oleh mereka itu harus dijual baru bisa
digunakan untuk memenuhi keperluan hidup.

Jika petani padi

yang bersifat tradisional bisa hidup tanpa menjual produknya atau
hanya menjual sedikit saja, maka nelayan dan petani tambak harus
menjual sebagian besar hasilnya.

Setradisional atau sekecil

apapun nelayan dan petani tambak

tersebut,

menjual

sebagian

mereka

harus

besar hasilnya demi memenuhi kebutuhan

hidup.
Karakteristik di atas mempunyai implikasi yang sangat penting,
yakni

masyarakat perikanan

Perubahan

harga

produk

sangat
perikanan

peka

terhadap

harga.

sangat mempengaruhi

kondisi sosial ekonomi masyarakat perikanan.
3. Struktur masyarakat yang masih sederhana dan belum banyak dimasuki
oleh pihak luar. Hal ini dikarenakan baik budaya, tatanan hidup, dan
kegiatan masyarakat relatif homogen dan maasing-masing individu

merasa mempunyai kepentingan yang sama dan tanggung jawab dalam
melaksanakan dan mengawasi hukum yang sudah disepakati bersama.
4. Sebagian besar masyarakan pesisir bekerja sebagai Nelayan. Nelayan
adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang mata
pencahariannya atau kegiatan usahanya melakukan penangkapan ikan.

E. Keadaan Masyarakat Pesisir
Keadaan masyarakat pesisir sebagai berikut :


Pendapatan nelayan bersifat harian tidak dapat ditentukan
jumlahnya karena pendapatan sangat tergantung oleh musim.



Tingkat pendidikan nelayan redah sehingga tidak ada pekerjaan
lain yang bisa dilakukan selain meneruskan pekerjaan sebagai
nelayan.
Pada umumnya masyarakat di daerah-daerah pesisir yang sangat

terpencil dan jauh dari jangkauan media sehingga secara garis besar mereka
sangat awam terhadap perkembangan media yang begitu pesat yang diiringi
dengan teknologi yang semakin canggih. Karena kebanyakan dari masyrakat
itu sendiri banyak yang menggantungkan kehidupanya semata-mata pada
hasil laut, masyarakat seakan tidak perduli dengan perkembangan media dan
teknologi yang beredar di dalam masyarakat luas. Jangankan perkembangan
media yang begitu pesat masalah pendidikan pun mereka kesampingkan. Bagi
mereka sekolah itu bikin habis waktu mendingan mereka turun di laut
mencari dan kemudian hasil dari laut itu mereka jual yang kemudian dapat
meenghasilkan uang. Maka dari itu tidak sedikit dari mereka yang tidak
menamatkan pendidikanya sekolah dasar, SMP, dan SMA. Fenomena ini
terjadi secara turun temurun dan mereka mengganggap hal biasa dan tidak
berpengaruh pada lingkungannya, karena mereka beranggapan tanpa berusaha
dalam hal ini turun ke laut mereka tidak bisa makan.
Kemudian di bidang pendidikan masyarakat

menomor duakan

pendidikan seperti yang dipaparkan diatas tadi bahwa sekolah itu sama saja

dengan buang-buang waktu, dan lebih baik turun ke laut untuk mencari
kehidupan yang dapat menghasilkan uang, sebenarnya ini paradigma berpikir
yang keliru karena mereka tidak punya kapasitas atau perantara untuk sampai
pada sejauh pemikiranya tentang pentingnya dari pada pendidikan itu sendiri.
Selain dari pada pendidikan sebagian besar masyarakat bajo pun gagap
teknologi, seperti media yang saat ini sangat canggih seperti internet mereka
sama sekali tidak bisa mengoperasikannya. Bahasa yang digunakan
masyarakat pesisir agak berbeda dengan masyarakat di daerah yang jauh dari
pesisir atau masyarakat kota.
Bentuk rumah masyarakat pesisir dominan rumah panggung, ada



yang menggunakan kayu maupun semen, tetapi kebanyakan
menggunakan kayu mungkin untuk mengurangi rasa panas atas
terik matahari.


Bahasa yang digunakan masyarakat pesisir agak berbeda dengan
masyarakat di daerah yang jauh dari pesisir atau masyarakat kota.

F. Penyebab Kemiskinan Masyarakat Pesisir
Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi
dimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang
menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial. Untuk kita, terlebih dahulu harus
diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan
nelayan.
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai disebabkan
oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu,
kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi,
teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros,
menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang
sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat
pesisir sebagat salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.

Kondisi Alam
Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi
disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang
selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik
yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan
semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan
kemiskinan setiap tahunnya.
Tingkat pendidikan nelayan
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi
modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil
tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding
lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini
teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami
proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan
oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan
teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya
menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut
salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan
pengusaaan nelayan terhadap teknologi.
Pola kehidupan nelayan sendiri
Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap
menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati
justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang
siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk
memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai
kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar
masyarakat miskin semakin lemah
Pemasaran hasil tangkapan

Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan
mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.
Program pemerintah yang tidak memihak nelayan
Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan
momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada
jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10
liter solar sekali melaut, maka setiap sampan akan mengelurakan
biaya Rp.21.000 dalam
sebesar Rp.2100.

kondisi

Tetapi

pada

harga

normal

umumnya

atau

nelayan

di

pangkalan

membeli

harga

solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain
di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai
pasarnya dan semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga
tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut,
meskipun dengan kondisi pas-pasan.
Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru,
masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi
jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal pelarangan
penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah jamu laut, dilarang
pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian ada waktu pemulihan
sumber daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah
laut dengan hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi
seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya
menjadi ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara
sejak lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya
dikuasai segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh kapal-kapal asing.

G. Penyebab Kegagalan Membangun Budaya Maritim
Bangsa
Sejak zaman kerajaan-kerajaan jauh sebelum Indonesia merdeka,
semangat maritim sudah menggelora di bumi pertiwi tercinta ini, bahkan
beberapa kerajaan zaman itu mampu menguasai lautan dengan armada perang
dan dagang yang besar. Namun semangat maritim tersebut menjadi luntur
tatkala Indonesia mengalami penjajahan oleh pemerintah kolonial belanda.
Pola hidup dan orientasi bangsa “dibelokkan” dari orientasi maritime ke
orientasi agraris (darat).
Kondisi hilangnya orientasi pembangunan maritim bangsa Indonesia
semakin jauh tatkala memasuki era Orde Baru, kebijakan pembangunan
nasional lebih diarahkan ke pembangunan berbasis daratan (land based
oriented development) yang dikenal dengan agraris, bahakan dengan bangga
indonesia didelaksikan sebagai negara agraris penghasil produk rempahrempah dan produksi pertanian yang spektakuler. Kebijakan Orde Baru ini
sejalan dengan perlakuan pemerintah kolonial Belanda saat menjajah bangsa
Indonesia.
Pada era kolonial, orientasi dan semangat maritim bangsa Indonesia
dibelokkan dari orientasi maritime ke orientasi daratan untuk mengahasilkan
komoditas perdagangan rempah-rempah yang merupakan primadona dan
menguntungkan pihak penjajah. Menjadi pertanyaan mendasar, mengapa era
Orde Baru melakukan kesalahan fatal dalam menentukan arah kebijakan
pembangunan nasional. Jawaban dari pertanyaan tersebut sangat sulit terjawab
hingga kini. Kekonyolan tersebut terus berlanjut tatkala memasuki era
Reformasi, dimana orientasi kebijakan pembangunan nasional semakin tidak
jelas.

H. Paradigma Pembangunan SDM dengan Konsep
Kebudayaan Maritim
Bung Karno dalam pidatonya pada saat peresmian Institut Angkatan
Laut Tahun 1953 yang saat ini bernama Akademi TNI Angkatan Laut, pernah
mengatakan untuk kembali menjadi bangsa pelaut dalam arti yang seluasluasnya. Menurutnya menjadi bangsa pelaut bukan menjadi jongos-jongos
kapal tetapi menghidupi laut itu sendiri. Tampaknya benar apa yang telah
dikatakan oleh bapak proklamasi kita tentang laut. Dengan laut akan
mempunyai kepentingan besar terhadap ekonomi, politik, kebudayaan,
kemakmuran dan pengaruh luar negeri suatu bangsa dan apabila diarahkan
berpusat ke laut barangkali kita akan menjadi negara besar yang kuat.
Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI melalui Deklarasi
Djuanda memberikan sebuah pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di
mana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan pemisah. Penegasan ini
bersamaan dengan upaya memperpanjang batas laut teritorial menjadi 12 mil
dari pantai, kemudian diperjuangkan oleh Indonesia untuk mendapat
pengakuan internasional di PBB. Kendati prinsip negara kepulauan mendapat
prokontra, tetapi pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang
Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea,
disingkat UNCLOS) yang mengakui konsep negara kepulauan termasuk
mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Setelah diratifikasi oleh 60
negara maka UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994.Indonesia
mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional sebesar 3,1 juta
km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda,
ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan
internasional

dimana

Indonesia

mempunyai

hak

berdaulat

untuk

memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di
bawahnya.
Kekayaan laut Indonesia diperkirakan menyimpan potensi kekayaan
alam yang dapat dieksploitasi senilai 156 miliar dollar AS pertahun atau

sekitar Rp. 1.456 triliun. Berdasarkan ketentuan IMO, luas laut territorial
yang dilaksanakan sejak Deklarasi Djuanda 1957 sampai dengan Unclos 1982
mempunyai sumberdaya kelautan yang melimpah dan akan menjadi sumber
devisa yang luar biasa jika dikelola dengan baik.
Indonesia sampai saat ini masih merupakan kawasan archipelago state
terbesar didunia. Kepulauan diartikan sebagai kumpulan pulau sedangkan
istilah archipelago berasal dari bahasa latin “archipelagus” yang berasal dari
kata archi yang berarti utama dan pelagus yang berarti laut, sehingga memiliki
arti “laut utama”. Istilah ini mengacu pada Laut Tengah pada masa Romawi.
Oleh sebab itu makna asli dari kata archipelago sebenarnya bukan merupakan
“kumpulan pulau”, tetapi laut dimana terdapat sekumpulan pulau. Konsep
archipelagic state yang dikembangkan Indonesia mengacu kepada makna
negara kepulauan “harus diganti dengan konsep negara maritim”, yaitu negara
laut yang memiliki banyak pulau.

I. Hal-Hal Mendasar dan Mendesak yang Harus
Dikerjakan Indonesia
Dekade ini di dunia, pembangunan maritim berada dalam posisi
strategis seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik
ke Asia Pasifik. Hal ini terlihat 70 persen perdagangan dunia berlangsung di
kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen produk dan komoditas yang
diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300
triliun dolar AS per tahun. Potensi yang sangat besar ini dimanfaatkan oleh
Singapura dengan membangun pelabuhan pusat pemindahan (transhipment)
kapal-kapal perdagangan dunia. Negara yang luasnya hanya 692.7 km2
dengan penduduk 4,16 juta jiwa itu telah menjadi pusat jasa transportasi laut
terbesar di dunia. Bahkan ekspor barang dan komoditas dari Indonesia sebesar
70 persen melalui Singapura. Kapal yang menghubungkan antar pulau
sebagian besar berbendera Singapura khususnya kapal yang memuat barangbarang terkait dengan berbagai macam industri.

Pembangunan

maritim

melibatkan

berbagai

sektor

karena

permasalahan yang berkaitan dengan maritim sudah sedemikian kompleksnya.
Beberapa hal yang dapat menjadi hambatan pembangunan industri maritim
nasional adalah sistem kredit dimana bunga pinjaman untuk industri maritim
sangat besar. Dalam hal ini pemerintah dapat meniru program yang dilakukan
oleh Pemerintah Jepang yang memberikan kemudahan kredit senilai 2 persen
untuk industri maritim terutama bagi nelayannya. Kondisi yang terjadi di
Indonesia sangat bertolak belakang dengan Jepang, dimana untuk KUR bagi
nelayan juga masih memberatkan dan implementasinya belum terlaksana
dengan baik.
Kualitas dan kuantitas sumber daya maritim di Indonesia selama ini
patut dievaluasi kembali. Sumber daya manusia yang handal dan kompeten
diperlukan dalam pembangunan yang bervisi maritim.Telah diketahui bersama
bahwa Indonesia memiliki ZEE yang terbentang seluas 2,7 juta km persegi
dengan kekayaan laut didalamnya yang dapat menjadi ekonomi negara apabila
dimanfaatkan secara optimal. Memang dibutuhkan suatu koordinasi bersama
antara pemerintah, swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mengubah
paradigma pembangunan SDM dengan konsep kebudayaan maritim, yaitu
melalui pengetahuan kebudayaan maritim yang berwawasan dunia dengan
melakukan adaptasi inovatif yang disesuaikan dengan budaya kita. Dalam
pembangunan maritim ini diperlukan kualitas SDM karena sebagai ujung
tombak pembangunan. Karena tidak hanya mengandalkan kemajuan IPTEK
saja namun harus ada sumber daya manusia yang mengelolanya dengan baik.
Pembangunan kelauatan harus segera diwujudkan karena masih
banyak tersimpan potensi kelautan yang tersimpan, biodiversity di Indonesia
dapat menjadi sarana penelitian. Salah satu sebab dari rendahnya SDM di
tingkat maritim adalah rendahnya sumber daya pelaut yang dimiliki oleh
Indonesia. Krisis tenaga pelaut di Indonesia hingga kini masih menjadi
masalah serius. Jumlah lulusan pendidikan tersebut belum seimbang dengan
kebutuhan di bidang pelayaran. Di sektor angkutan laut, kondisi yang ada saat

ini adalah minimnya tenaga pelaut. Para lulusan pelaut ini di tingkat perwira
hampir 75% memilih bekerja di kapal asing atau berbendera asing daripada
mengabdikan diri sendiri di pelayaran nasional dengan alasan penghasilan
yang diterima di kapal asing lebih besar.
Pembenahan manajemen pelabuhan di Indonesia, untuk meningkatkan
efisiensi dan produktivitas pembangunan prasarana dan sarana penunjang
pelayaran. Perusahaan pelayaran nasional kalah bersaing di pasar pelayaran
nasional dan internasional, karena kelemahan di semua aspek, seperti ukuran,
umur, teknologi, dan kecepatan kapal.

J. Kemaritiman dalam Prespektif Provinsi Kepulauan Riau
Kepulauan Riau dapat kita katakan sebagai miniatur negara Indonesia
yang merupakan negara maritim, karena Kepri merupakan wilayah
pemerintahan yang lebih banyak pulau-pulau yang bersebar, menurut data
maka ada 2.408 pulau yang tersebar di Provinsi Kepulauan Riau. Dengan
demikian perlu penanganan secara komprehensif bagaimana mengelola
Kepulauan Riau sebagai model pembangunan daerah maritim, bahkan model
pembangunan poros maritim nasional.
Ada 3 dimensi utama yang perlu kita perhatikan untuk kita jadikan
bagaimana proses pembangunan maritim di Kepulauan Riau dapat berjalan
secara berkesinambungan atau berkelanjutan (sustainable) dalam konteks
Maritim Governance.


dimensi pengelolaan sumber-sumber daya (resources), baik sumber
daya alam maupun sumber daya manusia.



Kedua Kelembagaan (organization), yakni berupa desain struktur,
fungsi, dan aplikasi kerja.



Ketiga Regional Development, yakni pembangunan regional
dengan pemanfaatan potensi maritim dengan memanfaatkan
kekuatan 3 pilar good governance; pemerintah, dunia usaha, civil
society.

Adapun contoh pengaplikasian kemaritiman di Kepulauan Riau
diantaranya:
1.

Didalam bidang pendidikan, seperti perguruan tinggi UMRAH di
kepulauan riau yang mengangkat tema kemaritiman bahkan sampai
dimasukkan kedalam pembelajaran.

2.

Dibidang pariwisata, sudah tentunya kita tahu pariwisata di
kepulauan riau hamir semuanya bertema kemaritiman.

3.

Dibidang ekonomi kepulauan riau banyak mengangkat tema
dibidang kemaritiman, seperti menjadikan makanan gonggong
sebagai makanan khas ibu kota provinsi kepulauan riau, serta
pembangunan FTZ (Free Trade Zone).

4.

Dan yang paling penting pemerintah kepulauan riau bukan hanya
peduli

terhadap

perspektif

luarnya

saja,

pemerintah

juga

memperdulikan internalnya seperti SDM, Teknologi dan SDA
kedepannya.
Perlu langkah-langkah konkrit didalam mengelola sumber daya alam dan
sumber daya manusia Kepulauan Riau, pemanfaatan dan pengunaan potensi
Kepulauan Riau harus dilakukan secara terukur dan terkendali serta bermanfaat
guna bagi masyarakat Kepulauan Riau, alih teknologi dan pemanfaatan wilayah
Kepulauan Riau dengan tidak merusak lingkungan ekosistem hayati (go green
development).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya lautnya masih sangat kurang,
dan itu berdampat pada kesejahteraan masyarakat yang tinggal di pesisir
pantai
Masyarakat pesisir yang ada di nusantara yang memiliki
kebergamanan sosial dan budaya serta membentuk karakteristik yang
berbeda pula. Bagi masyarakat pesisir hidup di dekat pantai merupakan
suatu kemudahan untuk memenuhi segala aktifitas keseharian mereka. Hal
itu pula yang membuat mereka menjadi terpencil dan jauh dari
perkembangan media dan teknologi. Kurang nya pengetahuan yang
dimiliki oleh masyarakat, membuat daya saing mereka menjadi lemah, dan
berujung pada kemiskinan.
Selain kesejahteraan masyarakat pesisir yang masih kurang,
pembenahan Indonesia terhadap bagian-bagian maritim pun masih harus
terus dilakukan. Salah satunya, kepulauan riau yang merupakan sebuah
miniatur dari Indonesia terhadap misi untuk menjadi poros maritim dunia.

B. Saran
Perlu adanya peningkatan ataupun perbaika terhadap sistem
birokrasi di Indonesia yang berkaitan dengan kemaritiman. Hal tersebut
untuk meningkatkan efektifitas, dan daya saing masyarakat Indonesia
dalam bidang maritim di nasional maupun internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Ahdiat. 2012. Sistem Sosial Masyarakat Pantai. Makalah pada Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Alfiandri.

2015.

Kepri,

Pembangunan

Maritim.

http://alfiandribintan.blogspot.co.id/2015/11/kepri-pembangunanmaritim.html. (diakses pada tanggal 5 Maret 2017).
Bengen, Dietriech G. 2001. Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.
Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Hamdani, Haris dan Kusuma Wulandari. 2013. Faktor Penyebab Kemiskinan
Nelayan Tradisional. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa.
Horton et al 1991 dalam Arif Satria Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir,
Penerbit Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2002, halaman 8.
Ramadhan, Muhammad Isnainy. 2013. Karakteristik Masyarakat Pesisir.
http://bangrama.blogspot.co.id/2013/11/karakteristik-masyarakatpesisir.html. (diakses pada tanggal 5 Maret 2017).
Sarni, sani. 2012. Kemiskinan Pada Masyarakat Nelayan di Indonesia.
https://sanibo.wordpress.com/2012/07/07/kemiskinan-pada-masyarakatnelayan-di-indonesia/. (diakses pada tanggal 6 Maret 2017).
Wahyudin, Yudi. 2015. Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir.
https://www.researchgate.net/publication/282662169. (diakses pada tanggal 5
Maret 2017).

Yuliati. 2014. Kejayaan Indonesia Sebagai Negara Maritim (Jalesveva
Jayamahe). Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Tahun. 27,
No. 2.