MULTIKULTUR DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA.

MULTIKULTUR DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA1
Pudentia MPSS2
Akhir-akhir ini ramai orang bicara tentang multikultur , pluralisme, dan
keharmonisan hubungan antaranggota masyarakat seakan-akan hal ini
bukanlah sesuatu yang memang sudah semula jadi, tetapi sesuatu yang
diperjuangkan. Padahal konsep multikultur seperti yang dipahami banyak
pihak dewasa ini sebenarnya sudah sangat lama berakar di Indonesia
walaupun tidak pernah disebutkan sebagai multiculture. Semboyan Bhineka
Tunggal Ika (Eka) yang tertera dalam lambang Burung Garuda dapat
ditemukan pertama kali pada abad ke-14 dalam Kitab Sutasoma karya Mpu
Tantular yang mengajarkan toleransi agama Hindu Siwa dan agama Budha.
Sebelum semboyan ini dikenal, Indonesia (walaupun pada saat itu belum
disebut Indonesia), telah dikenal melalui kebesaran kerajaan Majapahit (1297
—1527) 3. Pada masa kejayaannya, yaitu masa pemerintahan Hayam Wuruk,
sinkretisme mencapai puncaknya. Agama Hindu – Siwa; Hindu – Wisnu
dengan Buddha hidup bersama secara rukun. Pada masa itu , raja-raja
Majapahit umumnya beragama Siwa, kecuali ibunda raja (Tribuwana Tungga
Dewi) yang menganut paham Budha Mahayana. Bait-bait berikut yang
terdapat pada pupuh ke-139 bait V kitab Sutasoma memperlihatkan
keanekaragaman yang ada dalam satu negera .
1 Makalah ini disampaikan pada Seminar Multikultur: Konsep dan Aplikasinya dalam

Dunia Pendidikan, Yayasan Prayoga Riau, 1 November 2016. Beberapa bagian dari
paparan di atas dikembangkan dari makalah saya berjudul “Multiculture Education as
A Foundation of Peace and Unity in Indonesia” yang disampaikan pada Intercultural and
International Dialogue di Sofia, Bulgaria dan Istanbul (Turkey), 20 April—2 Mei 2013.
2 Dosen dan Peneliti FIB UI, Ketua Asoasiasi Tradisi LIsan (ATL) dan Ketua Tim Ahli Warisan
Budaya Takbenda Kemendikbud RI.
3 Berita tentang kebesaran dan kejayaan Majapahit dapat dibaca lebih lanjut dalam buku
berikut. Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A
Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD
(The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s History
Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory' (The Hague: W. van
Hoeve, 1968.

Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan bebas
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Dengan kekayaan suku bangsa yang berjumlah sekitar 700-an dan
kekayaan bahasa sebanyak 780-an, Indonesia memang pantas dijuluki
sebagai negara multikultur terbesar di dunia. Dalam hal bahasa, Indonesia
telah mencapai kesepakatan untuk menggunakan Ba hasa Indonesia yang
berasal dari bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi
nasional melalui pernyataaan resmi para pemuda sebagai wakil dari
berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia yang dikenal dengan nama
Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Meskipun bahasa Jawa dipakai
oleh sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi karena struktur bahasanya
sangat rumit yaitu mengenal adanya tingkatan dalam berbahasa yang
membedakan bahasa untuk orang tua dan muda, bangsawan dan bukan
atau kelompok terhormat dan kelompok rakyat biasa maka bahasa Jawa dan
juga bahasa Sunda tidak dipilih sebagai bahasa persatuan rakyat Indonesia.
Bahasa Melayu yang sederhana strukturnya dan pada saat itu sudah menjadi
Bahasa pergaulan ( lingua franca) yang sudah menyebar ke segala penjuru
Indonesia akhirnya yang terpilih menjadi bahasa persatuan dan nnormal
sebagai bhasa resmi negara. Tidak dikenal adanya dominasi antara yang

mayoritas dengan minoritas dalam hal ini. Bahasa daerah yang dipakai di
dalam percakapan sehari-hari tetap diakui sebagai bahasa ibu sebagian
rakyat Indonesia. Dalam UU Bahasa, tertera bahwa salah satu fungsi bahasa
daerah adalah sebagai pemerkaya bahasa Indonesia.

Ketika dunia terbagi menjadi dua kelompok besar Pasca Perang Dunia
ke-II, , yaitu Blok Barat yang berpaham Liberal diketuai oleh Amerika dan
Blok Timur yang berpaham Komunis dengan ketuanya Uni Soviet, Indonesia
berperan aktif sebagai anggota negara pencetus kelompok negara Nonblok
bersama negara-negara India, Mesir, Ghana, serta Yugoslavia. Atas inisiatif
pemimpin lima negara ini terbentuklah sebuah organisasi yang disebut
Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non-Aligned Movement (NAM). Pemimpin
kelima negara tersebut antara lain Soekarno (Presiden Indonesia), Pandit
Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Gamal Abdel Naser (Presiden
Mesir), Josep Broz Tito (Presiden Yugoslavia), dan Kwame Nkrumah (Presiden
Ghana), Gerakan Non-Blok didirikan pada tanggal 1 September 1961.
Gerakan ini diilhami oleh Dasasila Bandung yang disepakati pada Konferensi
Asia Afrika tahun 1955. Gerakan Non-Blok sendiri bermula dari sebuah
Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika tersebut, sebuah konferensi yang
diadakan di Bandung, Indonesia, pada tahun 1955.

Semangat perjuangan Gerakan Non-Blok memperlihatkan semangat
multikultur yang bersifat universal sebagai berikut.


Mengembangkan

solidaritas

antara

sesama

negara

berkembang

dalam mencapai persamaan, kemakmuran, dan kemerdekaan.


Turut serta meredakan ketegangan dunia akibat perseteruan antara

Blok Barat dan Blok Timur



Berusaha

membendung

pengaruh

buruk,

baik

dari

Blok

Barat


maupun Blok Timur
Kata "Non-Blok" diperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri India
Nehru dalam pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka. Dalam pidato itu,
Nehru menjelaskan lima pilar yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk
membentuk relasi Sino-India yang disebut dengan Panchsheel (lima

pengendali). Prinsip ini kemudian digunakan sebagai basis dari Gerakan NonBlok. Lima prinsip tersebut adalah:
1. Saling menghormati integritas teritorial dan kedaulatan.

2. Perjanjian non-agresi
3. Tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain
4. Kesetaraan dan keuntungan bersama
5. Menjaga perdamaian
Sebagai bagian dari negara non blok yang tidak berafiliasi ke Barat atau
ke Timur, Indonesia juga aktif dalam program Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) , yang antara lain secara signifikan diperlihatkan dalam program
Education for all (EFA). Saat ini Indonesia sudah menjalankan tahap lanjutan
dari Program Bebas Pendidikan Dasar (yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah) ke Program Pendidikan Menengah Atas. Sekolah Negeri wajib
menerima siswa Indonesia yang ingin bersekolah di Sekolah Dasar, Sekolah

Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan . Negara
menjamin hal ini, yang artinya siapa saja dapat bersekolah secara gratis.
Pendidikan yang dijalankan oleh masyarakat atau biasa dikenal
dengan sekolah swasta yang telah dirintis oleh Taman Siswa,
Muhammadiyah, NU Maarif, Majelis Kristen dan Majelis Katolik sejak awal
berdirinya, jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk sudah
memperlihatkan semangat multikultur dalam penyelenggaraannya. Yang
diutamakan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan
pendidikan kepada anak-anak Indonesia. Sekolah-sekolah swasta ini
dimaksudkan juga untuk mengembangkan kekhususan yang dimiliki masingmasing pendirinya untuk mengimbangi dan sekaligus melengkapi
pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan saat

ini menjadi mitra pemerintah untuk bersama-sama mewujudkan tujuan
pendidikan nasional yang telah ditetapkan dalam UU SISDIKNAS.
Kesemua hal yang dilakukan di atas dijamin dalam UUD 45 yang sekali
lagi meskipun tidak menyebutkan prinsipnya sebagai multikultur, tetapi pada
kenyataannya merupakan jaminan tertinggi negara mengakui keragaman .
Pasal -pasal yang menjamin adalah Pasal 18 A (BAB VI).
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan

memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Pasal 18 B
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28 E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
Dalam kehidupan sehari-hari yang justru menarik adalah kebiasaan
yang sudah berjalan dalam masyarakat tradisi seperti yang dilakukan oleh
orang Toraja ketika menyediakan hidangan untuk tamu atau kerabatnya
yang beragama Muslim. Mereka menyimpan khusus peralatan makan yang
disebutnya Parewa Sallang (peralatan Muslim) yang disimpan di lemari
khusus. Juga kebiasaan orang di daerah Kudus yang tidak makan dan tidak
menyembelih hewan sapi untuk menghormati kerabat atau orang yang
beragama Hindu di daerah tersebut. Sebagai gantinya mereka biasa makan
daging kerbau Masih banyak contoh yang dapat diketengahkan yang
memperlihatkan bagaimana justru masyarakat tradisi telah bersikap

multikultur sejak lama. Orang Melayu memiliki “Tunjuk Ajar” dalam menjaga
persatuan dan keutuhan…

Bila hidup berpecah belah; banyaklah laku yang menyalah
Bila hidup berpecah belah; di sanalah tempat binasa marwah
Bila hidup tidak mufakat; pikiran panjang menjadi singkat4.
Multikultur mulai di Amerika dan di Eropa Barat pada sekitar tahun
1960-an sebagai sebuah gerakan atau pemikiran untuk menuntut
persamaan hak untuk semua warga negara5. Terjadi diskriminasi oleh
golongan mayoritas orang kulit putih dan beragama Kristen. Situasi menjadi
lebih sulit di Eropa Barat, khususnya dengan masuknya kaum imigran dalam
jumlah yang relative besar yang dianggap mengancam kehidupan orang
tempatan. Multikultur muncul sebagai tindak lanjut dari Pluralisme.
Pluralisme merupakan keragaman budaya yang ada termasuk di Indonesia,
sedang multikultur merupakan sikap menerima dan mengakui keragaman
atau perbedaan yang ada sama dengan yang ada pada kita. Pada tahuntahun berikutnya muncul tuntutan perlunya untuk mereformasi sistem
pendidikan dengan konsep multikultur6.
Gerakan ini menuai pro dan kontra khususnya di Indonesia. Tidak
semua pihak mau menerima hal ini, khususnya kalau menyinggung ranah
agama atau kepercayaan. Sulit untuk menerapkan konsep multikultur dalam

pendidikan agama. Untuk bersikap toleran saja sudah dianggap sebagai
sikap yang sangat maju. Pendidikan multikultur dikuatirkan akan membuat
siswa tidak lagi memahami ajaran agama yang sakral dan normatif , tetapi
cenderung ke arah yang profan dan historik. Dengan kata lain pendidikan
agama yang memakai konsep multikultur cenderung bukan ke arah
“pembenaran mutlak” yang dianggap berbagai pihak sebagai hal yang
penting. Munculnya sikap yang inklusif dan adanya pengakuan atas
4Tenas Effendy. T unjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu Riau. Jogyakarta: Balai
Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita, 2004.
5 Lihat lebih lanjut tulisan James A Banks, Multiculture and Goals, 1997 dan Bhikhu
Parekh, Rethinking Multiculturaism:Cultural Diversity and Political Theory, Harvard:
Harvard University Press, 2000.
6 Di Indonesia ada juga gerakan yang dibuat oleh kelompok pakar pendidikan seni dalam
program Pendidikan Seni Nusantara. Lihat juga tulisan Pudentia MPSS, “Peranan Pendidikan
Seni Nusantara dalam Pembentukan Pluralism”, Media Indonesia, 2002.

pembenaran yang relatif dianggap oleh beberapa pihak tertentu merupakan
ancaman 7. Pendidikan yang induktif -partisipatif bukan deduktif - normatif
dalam pendidikan multikultur ditolak Karena dianggap menyandang misi
pluralisme agama, humanisme, dan demokrasi.

Pihak yang mau menerima konsep multikultur dalam bidang
pendidikan, termasuk pendidikan agama menganggap pendidikan harus
dimulai dari penghormatan atas hak dan kebebasan masing-masing pribadi8.
Multikulturalisme mengandung nilai-nilai yang bisa sama-sama dihargai
untuk mewujudkan kemanusiaan yang lebih beradab9. Multikultur
memungkinkan sikap penghargaan kepada yang berbeda , sikap inklusif, dan
pada akhirnya dapat bekerja sama dalam mengolah keanekaragaman
kultural sebagai sumber pembentukan karakter bangsa10.
Dialog dalam keterbukaan sikap menjadi kata kunci dalam
pendidikan multikultur. Bila kita mungkin tidak menolak “kebenaran” yang
dimiliki pihak lain sama ada dengan “kebenaran” yang kita miliki maka
sangat mungkin konsep multikultur ini diterapkan dalam dunia pendidikan
kita. Sikap tidak menolak keberadaan yang lain dan sikap mampu
menghormati dengan ketulusan dan keiklasan atas adat yang berlaku yang
dimiliki pihak lain termasuk di dalamnya tradisi dan kepercayaan yang
mungkin berbeda dari yang kita miliki akan sangat memungkinkan konsep
multikultur dimasukkan dalam dunia pendidikan11. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, multikultur pada awalnya merupakan pemikiran untuk
perjuangan hak kewarganegaraan12 (civic idea) untuk meminta keadilan dan
7 Lihat lebih lanjut Abdul Kohar Umar,”Pendidikan Agama Berbasis Multikulturalisme: Studi
Kritis”, Desember 2012.
8 J Drost, Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 1999.
9 Penjelasan lanjutan dapat dilihat pada Ahmad Syafii Maarif, ISLAM dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan Pustaka,
2009.
10 Lihat lebih lanjut Multikulturalisme:Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia (ed. A. Eddy
Kristiyanto OFM dan William Chang OFM Cap), Jakarta: Obor, 2014.
11 Gereja Katolik memiliki pegangan untuk konsep multikultur dengan adanya Konsili
Vatikan II.
12 Tariq Modood, Multiculturalism: A Civic Idea , second edition, Cambridge, UK: Polity Press,
2007, 2013.

kesetaraan. Beberapa negara secara faktual dapat dikatakan memakai
konsep multikultur, tetapi secara kebijakan negara, ternyata tidak demikian.
Misal Turki yang tetap Muslim meskipun di sana ada Kristen dan Yahudi.
Begitu juga Malaysia. Hal lain yang perlu juga diperhatikan bersama adalah
yang dimaksud dengan “keadilan” dalam perlakuan untuk semua dengan
takaran proporsional atau penerimaan atas sesuatu yang berbeda dari yang dimiliki

tersebut dalam takaran yang sama. Masih cukup sulit untuk mencapai apa
yang dikatakan sebagai langkah multikultur yang memberi “ pengakuan
pada pluralisme bahwa yang berbeda-beda tersebut sama /setara,
sementara di pihak lain situasi global dalam hal ekonomi dan budaya, dunia
yang nyaris tanpa sekat mengikat masyarakat multikultur13.
Biasanya pada tahap awal agama dan kepercayaan tidak dimasukkan
dalam pembiaraan multikultur ini karena masih terlalu sensitif bila tidak jelas
dipahami bersama mengenai makna dan tujuannya. Peristiwa-peristiwa
budaya yang terjadi dalam sebuah masyarakat pastilah tidak dapat
dilepaskan dari masalah yang muncul akibat adanya perubahan budaya.
Hobsbawn memperlihatkan adanya tiga kemungkinan perubahan budaya (1)
revived, yaitu kebudayaan yang telah lama tidak muncul, kemudian
dimunculkan kembali oleh pihak tertentu dalam bentuk yang disesuaikan
dengan kondisi yang ada; (2) re-credited adalah kebudayaan yang
diciptakan kembali dengan dasar kombinasi dari beberapa tradisi, atau
berdasarkan inspirasi suatu tradisi, dan (3) invented, yaitu bentuk baru suatu
kebudayaan yang sebelumnya tidak dikenal tetapi kemudian dikenali
kembali dan dijadikan identitas formal suatu komunitas atau identitas
wilayah administrasi pemerintahan14.
Saat sekarang yang sangat strategis untuk dikelola sehubungan
dengan isu multikultur adalah warisan budaya yang kita miliki baik yang
merupakan Intangible Cultural Heritage (ICH) atau Warisan Budaya Takbenda
(WBTB) maupun yang Tangible Cultural Heritage (TCH) atau Warisan Budaya
13 Bhiku Parekh, Rethinking Multiculturalism, 2008.
14 Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger (eds.), The Invention of Tradition. Cambridge
University, 1992.

Benda. Konvensi perlindungan untuk ICH sudah tersedia yaitu Konvensi
UNESCO tahun 2003 dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 78 tahun 2007. Secara khusus kekayaan budaya yang
Intangible Cultural Heritage (ICH) belum mendapatkan perhatian yang
proporsional dalam kurikulum pendidikan.
Bila kita cermati bersama berapa banyak muatan materi mengenai
kekayaan yang luar biasa yang dimiliki Indonesia sebagai negara multikultur
terbesar di dunia? Berapa banyak yang mengetahui hal ini bahkan seringkali
kekayaan yang luar biasa tersebut tidak disadari oleh warganya sendiri.
Berapa banyak waktu dalam pembelajaran di sekolah yang dapat dimasuki
oleh materi pemahaman kekayaan budaya Indonesia, baik yang sudah diakui
dunia maupun yang belum diakui tetapi sudah terbukti penting perannya
selama ini dalam membangun peradaban Indonesia dan dunia? Apakah
secara umum kita telah mengetahui bahwa penetapan kekayaan budaya di
tingkat dunia dalam 3 kategori (ICH , Warisan Dunia, dan Memory of the
World/MOW)? Berapa banyak yang menyadari bahwa penetapan dan
aktivitas kita di UNESCO merupakan strategi diplomasi budaya yang luar
biasa mengingat UNESCO memiliki 190-an negara anggota?
Untuk sekedar penyegaran awal dapat disebutkan beberapa contoh saja
yang relevan dalam pembicaraan ini, yaitu wayang, keris, batik,
angklung,tari saman, noken, dan tiga genre tari Bali yang sudah diakui
sebagai Masterpieces of Intangiable Cultural Heritage , Subak dengan filosofi
Tri Hita Karana-nya setelah 9 tahun diperjuangkan akhirnya baru-baru ini
diakui sebagai Warisan Dunia versi UNESCO, dan I Lagaligo,
Negarakertagama, Babad Diponogoro, Konferensi Asia Afrika sebagai
Memory of the World (MOW). Dua kategori penghargaan telah lama dikenal
di dunia dan di Indonesia (tetapi hanya untuk kalangan terbatas) yaitu
Masterpieces of Intangiable Cultural Heritage (=MICH) dan World Heritage
(=WH).
Menarik untuk melihat perbandingan penghargaan tersebut di
antara berbagai negara untuk memahami mengapa isu budaya di Indonesia

meskipun selalu diwacanakan sebagai sesuatu yang penting tetapi pada
kenyataannya tidak diimplementasikan dalam program yang signifikan.
Bandingkan Indonesia yang memiliki paling tidak 17.000 pulau, 870-an
bahasa daerah, dan 550 etnis hanya memiliki 7 warisan budaya yang diakui
dalam program ICH (keris, wayang, batik, angklung, noken, dan tari saman)
sementara China memiliki 31 buah yang terdaftar; Jepang: 21, Korea: 14, dan
India: 8. Untuk kategori WH Indonesia memiliki 8 warisan budaya yang diakui
dunia, yaitu Borobudur, Prambanan, Sangiran, Subak, Taman Lorentz,
Komodo, Ujung Kulon, dan Hutan Tropis di Sumatera yang terkena angka
merah karena terbukti tidak dipelihara dengan baik. Bandingkan dengan Itali
yang memiliki 49 warisan budaya yang menjadi warisan dunia; China 45;
Spanyol 43; German dan Perancis masing-masing mencatatkan 39 warisan
budayanya; India 30 dan Brasil serta Australia mempunyai 19 warisan
budaya yang tercatat sebagai warisan dunia. Ini adalah tantangan sekaligus
refleksi untuk kita. Bagaimanakah kita akan memperkenalkan warisan
budaya dengan segenap kearifan lokal dengan keunggulan seperti yang
telah diperlihatkan di atas kepada dunia kalau kita sendiri tidak menyadari
akan adanya warisan tersebut dan memahaminya.
Paparan ini sebaiknya juga ditutup dengan konvensi dunia yang
menjamin adanya keberagaman budaya, yaitu Konvensi UNESCO 2005
tentang Keberagaman Budaya. Konvensi ini dan berbagai produk hukum adat
dan hokum formal semoga dapat lebih memungkinkan konsep multikultur
dapat diimplementasikan sebagai landasan berpijak pembuatan materi
pembelajaran di sekolah dan untuk kepentingan umum lainnya yang
menjamin kedamaian dan meningkatkan kesadaran untuk saling
menghargai.

Pekanbaru, 1 November 2016