Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK ) Dalam Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN ( PPATK ) DALAM

MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

T E S I S

OLEH

ANDRY MAHYAR 097005008/ HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

PPATK sebagai suatu badan yang berwenang melakukan analisis terhadap segala transaksi keuangan mencurigakan yang merupakan indikasi terjadinya tindak pidana pencucian uang, lahir bersamaan dengan diundangkannya Undang – Undang No 15 Tahun 2002, tentang tindak pidana pencucian uang yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya Undang – Undang No 25 tahun 2003. Peran PPATK sebagai suatu badan yang dibentuk guna melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi 1. Peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang . 2. Hambatan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

Kerangka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah menggunakan teori Criminal Policy (teori penanggulangan kejahatan), dengan melihatnya dari dua pendekatan yakni pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan nonpenal (pendekatan diluar hukum pidana). Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif,yang bersumberkan dari data-data kepustakaan (library research).

Hasil penelitian ini adalah bahwa Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang berperan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan kewenangan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 yakni dengan diberikannya kewenangan kepada PPATK untuk melakukan penghentian sementara transaksi keuangan yang mencurigakan,. Hambatan - hambatan yang dialami PPATK dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Pertama hambatan dari segi Undang – Undang yang sering sekali mengalami perubahan, Kedua hambatan dari segi penegak hukum yang belum memiliki sumberdaya manusia yang cukup mempuni dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, Ketiga hambatan dari segi budaya hukum adalah kurangnya kesadaran hukum dari semua kalangan dalam mematuhi peraturan yang telah digariskan guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang


(3)

ABSTRACT

INTRAC as an entity authorized to do an analysis of all suspicious financial transactions is an indication of money laundering, was born simultaneously with the enactment of Law - Law No. 15 of 2002, on money laundering which is then enhanced with the birth of Laws No 25 year 2003. INTRAC role as a body set up to conduct prevention and combating of money laundering have expanded with the birth of Law - Law No. 8 of 2010 on Preventing and combating money laundering.

Issues raised in this study include 1. The role of central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) juridically in preventing and combating money laundering. 2. Barriers to the central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) in preventing and combating money laundering.

Theoretical framework that is used as a knife analysis in this study was to use the theory of Criminal Policy (the theory of crime prevention), with a view of the two approaches namely penal approach (application of criminal law) and non penal approach (the approach beyond the criminal law). This study uses normative research methods, which is sourched from the data library (library research).

The results of this study is that the Center for Financial Transaction Reporting and Analysis (INTRAC) that play a role in preventing and combating money laundering authorities have expanded with the birth of Laws No. 8 of 2010 is namely by granting authority to the INTRAC to perform temporary halt suspicious financial transactions ,. Barriers - barriers that prevent the INTRAC in preventing and combating money laundering is the first obstacle in terms of the Acts that often changes, two barriers in terms of law enforcement that do not have adequate human resources well in enforcing the law against money laundering, the three barriers in terms of legal culture is the lack of legal awareness of all circles in complying with regulations that have been outlined to prevent money laundering Keywords: Prevention, Eradication, Money Laundering, INTRAC


(4)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur ke hadirat ALLAH SWT, yang atas ridho dan perkenan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul :

“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY

LAUNDERING)". Sholawat beriring salam penulis hadiahkan kepada Pimpinan

besar Baginda Rosulullah MUHAMMAD SAW, yang telah membawa kita dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Dalam menyelesaikan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karenanya sudah selayaknya penulis menyampaikan untaian terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Dan untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan tersebut penulis haturkan kepada:

1. Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu DTM&H, M.Sc (CTM). Sp.A (K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(5)

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H, selaku Komisi pembimbing yang telah

banyak memberikan arahan, motivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku komisi pembimbing yang dengan sangat

perhatian dan sabar selalu memberikan arahan, masukan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini

6. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku komisi pembimbing yang dengan

sangat sabar selalu memberi masukan, motivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

7. Dr. T. Keizerina Devi. A, SH, CN, M.Hum, selaku penguji, yang telah

memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini

8. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku penguji yang telah banyak memberikan

masukan kepada penulis guna menyelesaikan penulisan tesis ini.

9. Terima kasih juga penulis Ucapkan kepada seluruh rekan – rekan se almamater

hususnya rekan – rekan di kelas Reguler B angkatan 2009 dan rekan – rekan di kelas Hukum Pidana, yang telah banyak memberikan bantuan, masukan serta motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini Disamping itu sujud bakti penulis serta rangkaian ucapan ta’zim penulis sembari mengucapkan Terima Kasih yang tak terhingga Kepada Ayahanda H.SYAIFUL AKHYAR dan Ibunda Hj. MASITHA, yang telah melahirkan,


(6)

membesarkan dan mendidik serta menjadi motivator bagi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan serta tesis ini, “semoga ALLAH selalu me-Ridhoi Ayah dan Mama. Dan terima Kasih juga penulis ucapkan kepada ke Tiga adik penulis ANDINA SASMITA, SH, ANDHIKA YULIA ADHA DAN ANDHINY LARASATI yang selalu membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan penulis.

Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis rangkaikan kepada Istri tercinta SITI HADIAH MAHDALENA,SE, dan kedua bidadari kecil penulis SARAH HAFIZAH RIZQIA DAN ZAHRA RIZQIA, yang selama ini selalu memberikan pengorbanan yang besar serta sabar dalam mendampingi dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan pada Program studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Mudah – mudahan ALLAH menjadikan kalian sebagai istri dan anak – anak yang sholeha

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, maka guna menyempurnakan pengetahuan kita bersama penulis memohon agar kiranya dapat diberikan masukan, saran serta keritik yang membangun agar dapat penulis jadikan acuan dalam meyempurnakan tulisan penulis. Akhiru Kalam “WALLAHU KHOIRURROZIQIN”

Medan, Juni 2011 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A...Latar Belakang ... 1

B...Permasala han ... 14

C...Tujuan Penelitian ... 14

D...Manfaat Penelitian ... 15

E...Keaslian Penelitian ... 15

F...Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 16

1...Kerangka Teori ... 16

2...Konsepsi ... 39

G...Metode Penelitian ... 41

1...Jenis Penelitian ... 41

2...Sumber Data ... 41

3...Teknik Pengumpulan Data ... 42


(8)

4...Analisa Data ... 43 BAB II PERAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS

TRANSAKSI KEUANGAN DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(MONEY LAUNDERING )... 44

A...Tindak Pidana Pencucian Uang ... 44

1...Pengertian ... 44

2...Tahap – Tahap Pencucian Uang ... 49

3...Modus Pencucian Uang ... 50 4...Perkemba

ngan Pencucian Uang ... 54 B...Pe

ran PPATK Dalam Mencegah dan Memberantas Pencucian Uang ... 64 1...Fungsi

PPATK ... 64 2...Wewenan

g PPATK ... 65 vi

3...Pemeriksa an Dan Penghentian Sementara ... 66

4...Be ntuk – Bentuk Penyedia Jasa Keuangan Identifikasi Dan Pelaporan Transaksi Keuangan Bagi Penyedia Jasa Keuangan ... 67


(9)

5...Pe mbuktian Terbalik ... 75 C...Pe

rluasan Peran PPATK Menurut Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 ... 78

BAB III HAMBATAN YANG DIALAMI PUSAT PELAPORAN

DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) ... …...102 A...Ha

mbatan Dari Segi Undang – Undang ...102 B...Ha

mbatan Dari Segi Polisi, Jaksa Dan Para Hakim Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang ...110 1...Ha

mbatan Polisi Dalam Melakukan Investigasi Terhadap Perkara Pencucian Uang ...110 2...Ha

mbatan Jaksa Dan Problem Pembuktian Dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang ...115 3...Ha

mbatan Hakim Dalam Menuntaskan Perkara Pencucian Uang ...117 C...Ha

mbatan Dari Segi Budaya Hukum ...120

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...126 A...Ke


(10)

B...Sar an ...127

DAFTAR PUSTAKA ...129


(11)

DAFTAR SINGKATAN AML : Anti Money Laundering

BAP : Berita Acara Penyidik

CIFOR : Center For International Forestry Research

DJLK : Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan

FIU : Financial Intelligence Unit

KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi

LTKM : Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan

LTKT : Laporan Transaksi Keuangan Tunai

LPUT : Laporan Pembawaan Uang Tunai

PPATK : Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan

PTPPU : Pusat Tindak Pidana Pencucian Uang

PJK : Penyedia Jasa Keuangan

TPPU : Tindak Pidana Pencucian Uang

TEG : The Egmont Group


(12)

ABSTRAK

PPATK sebagai suatu badan yang berwenang melakukan analisis terhadap segala transaksi keuangan mencurigakan yang merupakan indikasi terjadinya tindak pidana pencucian uang, lahir bersamaan dengan diundangkannya Undang – Undang No 15 Tahun 2002, tentang tindak pidana pencucian uang yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya Undang – Undang No 25 tahun 2003. Peran PPATK sebagai suatu badan yang dibentuk guna melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi 1. Peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang . 2. Hambatan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

Kerangka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah menggunakan teori Criminal Policy (teori penanggulangan kejahatan), dengan melihatnya dari dua pendekatan yakni pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan nonpenal (pendekatan diluar hukum pidana). Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif,yang bersumberkan dari data-data kepustakaan (library research).

Hasil penelitian ini adalah bahwa Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang berperan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan kewenangan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 yakni dengan diberikannya kewenangan kepada PPATK untuk melakukan penghentian sementara transaksi keuangan yang mencurigakan,. Hambatan - hambatan yang dialami PPATK dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Pertama hambatan dari segi Undang – Undang yang sering sekali mengalami perubahan, Kedua hambatan dari segi penegak hukum yang belum memiliki sumberdaya manusia yang cukup mempuni dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, Ketiga hambatan dari segi budaya hukum adalah kurangnya kesadaran hukum dari semua kalangan dalam mematuhi peraturan yang telah digariskan guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang


(13)

ABSTRACT

INTRAC as an entity authorized to do an analysis of all suspicious financial transactions is an indication of money laundering, was born simultaneously with the enactment of Law - Law No. 15 of 2002, on money laundering which is then enhanced with the birth of Laws No 25 year 2003. INTRAC role as a body set up to conduct prevention and combating of money laundering have expanded with the birth of Law - Law No. 8 of 2010 on Preventing and combating money laundering.

Issues raised in this study include 1. The role of central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) juridically in preventing and combating money laundering. 2. Barriers to the central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) in preventing and combating money laundering.

Theoretical framework that is used as a knife analysis in this study was to use the theory of Criminal Policy (the theory of crime prevention), with a view of the two approaches namely penal approach (application of criminal law) and non penal approach (the approach beyond the criminal law). This study uses normative research methods, which is sourched from the data library (library research).

The results of this study is that the Center for Financial Transaction Reporting and Analysis (INTRAC) that play a role in preventing and combating money laundering authorities have expanded with the birth of Laws No. 8 of 2010 is namely by granting authority to the INTRAC to perform temporary halt suspicious financial transactions ,. Barriers - barriers that prevent the INTRAC in preventing and combating money laundering is the first obstacle in terms of the Acts that often changes, two barriers in terms of law enforcement that do not have adequate human resources well in enforcing the law against money laundering, the three barriers in terms of legal culture is the lack of legal awareness of all circles in complying with regulations that have been outlined to prevent money laundering Keywords: Prevention, Eradication, Money Laundering, INTRAC


(14)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemegang peranan kunci dari mekanisme pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Inonesia ada di tangan Pusat Pelaporan Transaksi Analisis Keuangan selanjutnya disingkat PPATK. Karena, jika PPATK tidak menjalankan fungsinya dengan benar, maka efektivitas dari pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak akan tercapai.1

Secara Yuridis memerangi tindak pidana pencucian uang diawali dengan diundangkannya Undang-Undang No.15 Tahun 2002, Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

(UU TPPU).2 PPATK merupakan Lembaga independen yang diberi tugas dan

wewenang dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Dua tugas utamanya yaitu: mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana asal (predicate crimes).

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang menciptakan kewajiban pelaporan yang harus disampaikan kepada PPATK, yaitu: 1.Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, 2. Laporan Transaksi Tunai sejumlah Rp 500.000.000 dalam satu kali atau beberapa kali transaksi dalam satu hari, 3. Laporan pembawaan

1

Ivan Yustiavandana, Arman Nefi dan Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang Di Pasar

Modal, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm 219 2

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan

Terorisme, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm 153


(15)

2

uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah seratus juta rupiah atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu harus melaporkan kepada Dirjen Bea Cukai.3

PPATK memiliki kewenangan terbatas yang diberikan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2003, ini membuat PPATK hanya sebagai pusat pelaporan, sehingga PPATK kurang mampu berperan optimal dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Undang-Undang TPPU membentuk badan khusus untuk pencucian uang, yang disebut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan suatu lembaga independent yang bertanggung jawab kepada Presiden. PPATK berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia dan dalam hal diperlukan dapat dibuka perwakilan PPATK didaerah. PPATK menurut Pasal 18 ayat 1 dibentuk dengan Undang Nomor 15 Tahun 2002. Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang itu maka seketika itu juga lahir pula PPATK. Kemudian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Kemudian dalam Undang–Undang No 8 tahun 2010 secara tegas mengamanatkan dalam Pasal 44 Ayat (1) Huruf I dan pada Pasal 65 Ayat (1) bahwa PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara baik sebahagian maupun seluruhnya transaksi keuangan yang mencurigakan.

3


(16)

3

Upaya mendukung implementasi penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), diperlukan peran serta Pengguna Jasa Keuangan, masyarakat, dan pemerintah untuk memberikan informasi-informasi penting kepada PPATK dan aparat penegak hukum terkait dugaan tindak pidana pencucian uang yang terjadi di bidang kehutanan.

Hal ini mengingat salah satu faktor penting dalam keberhasilan pendeteksian dugaan tindak pidana tersebut adalah dengan ketersediaan informasi, data atau keterangan mengenai pelaku dan pihak yang terlibat dalam rantai kejahatan dimaksud. Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa kejahatan (besar) tetap hidup.4 Kejahatan dan tindak pidana pencucian uang bagaikan dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling membutuhkan dan tidak mungkin dilepaskan satu sama lainnya.

Informasi yang disusun dan disampaikan ke PPATK adalah informasi intelijen yang bersifat rahasia. PPATK akan merahasiakan identitas pemberi informasi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang TPPU. Tindak lanjut dari informasi yang disampaikan sepenuhnya akan menjadi tanggungjawab PPATK sesuai dengan tugas

dan kewenangan PPATK yang diamanatkan oleh Undang-Undang TPPU. 4

Dalam hal ini tidak ada kewajiban bagi PPATK untuk melaporkan perkembangan penanganan kasus secara individual kepada pihak pemberi informasi.5

4

Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, dan Adiwarman, Op.,cit, hlm 6

5


(17)

Pihak pemberi informasi juga wajib menyampaikan identitasnya kepada PPATK guna memperoleh data-data dan informasi tambahan serta konfirmasi terkait dengan informasi yang disampaikan. PPATK akan merahasiakan identitas pihak pemberi informasi agar tidak dapat diketahui oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan.

Penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan rezim pencucian uang merupakan paradigma baru penegakan hukum yang lebih berorientasi pada pengejaran harta kekayaan hasil kejahatan (proceeds of crime). Pendekatan follow the money ini lebih mudah dilakukan karena hasil kejahatan merupakan titik terlemah dari suatu rantai kejahatan. Melalui pentrasiran aliran dana ini juga dapat dengan mudah ditemukan aktor intelektual dari suatu kejahatan. Untuk kasus-kasus pembalakan liar yang merupakan salah satu bentuk yang paling menonjol dari tindak pidana kehutanan, misalnya pentrasiran aliran dana akan mudah untuk mengetahui para cukong (pemilik uang) yang berdiri dibalik pembalakan liar.6

langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah, pertama sudah tentu harus dikatakan bahwa perbuatan pencucian itu adalah tindak pidana. Jadi kriminalisasi dari perbuatan pencucian uang itu ini dilakukan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002. Sebelumnya, pemerintah Republik Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi PBB tahun 1988 tentang Illicit traffic of narcotics, drugs and psychotropic substances. Hasil-hasilnya sudah kita ratifisir, dimana untuk pertama kalinya dalam konvensi international dinyatakan bahwa tindak pidana pencucian uang itu

6


(18)

5

merupakan suatu crime atau tindak pidana dan negara-negara diminta untuk

menyatakan hal tersebut sebagai suatu crime.7 Tindakan lainnya yang dilakukan

pemerintah, misalnya pembentukan lembaga "Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan" yang didirikan bersamaan dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2002 Tentang Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, yang sekarang sudah mulai beroperasi. Diharapkan dengan adanya lembaga ini bukan saja pemerintah akan mudah mendeteksi tindak pidana pencucian uang, tapi lembaga yang baru ini juga dapat membantu penegakan hukum oleh law enforcement agency yang berkaitan dengan predicate crime itu sendiri misalnya korupsi, penyuapan dan lain-lain. Jadi PPATK bisa membantu penegakan hukum sekaligus mendeteksi money laundering itu sendiri.

Upaya lain dari pemerintah, misalnya dikeluarkannya peraturan-peraturan yang berkaitan dengan ini misalnya melarang pembelian saham bank dengan uang money laundering, dilarang mendirikan bank dengan tujuan pencucian uang, kemudian kita juga telah menandatangani memorandum of understanding dengan Thailand untuk meningkatkan upaya-upaya memberantas tindak pidana pencucian uang, karena kejahatan ini merupakan transnational crime, sehingga diperlukan juga kerjasama international dengan lembaga-lembaga di luar. Satu lagi yang hampir terlupa yaitu pemerintah dalam hal ini menteri keuangan dan ketua Bapepam

7 Ibid


(19)

6

termasuk juga BI, sebelumnya telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan mengenai prinsip mengenal nasabah atau know your customer principal.8

Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah memberi manfaat yang nyata bagi lembaga keuangan di dalam mendukung kegiatan bisnis dan meningkatkan pelayanan jasa keuangan kepada masyarakat luas. Di sektor perbankan misalnya, pemanfaatan teknologi telah memungkinkan ditawarkannya jasa keuangan yang lebih bervariatif dan menarik termasuk melayani transaksi-transaksi keuangan yang melintasi batas negara. Jasa pemindahan dana melalui wire transfer yang ditawarkan oleh bank-bank seperti jasa internet banking (cyber/electronic banking) dan electronic fund transfer memungkinkan nasabah perbankan memindahkan dananya dari rekening mereka di satu bank ke bank lain di seluruh dunia dalam waktu yang sangat singkat.9

Kegiatan pencucian uang ini telah menjadi kegiatan kejahatan transnasional. Proses pencucian oleh para pencuci uang tidak hanya dilangsungkan terbatas dalam wilayah satu negara tertentu saja, tetapi harus dilakukan keluar dari negara di mana uang hasil kejahatan diperoleh, yaitu dari kejahatan yang dilakukan oleh negara tersebut dan masuk ke dalam wilayah negara lain, bahkan kebeberapa negara lain. Hasil kejahatan itu dapat diupayakan oleh para pencuci uang yang bersangkutan menjauh dari sumbernya.10

8

info.illog@ppatk.go.id. Diakses pada hari senin, Tanggal 3 Januari 2011

9

Ibid

10

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan


(20)

7

Perkembangan teknologi canggih tersebut ibarat ”pisau bermata dua”, di satu sisi memberikan manfaat yang luar biasa terhadap kualitas layanan jasa keuangan, di sisi lain meningkatkan risiko karena dengan semakin beragamnya instrumen/produk keuangan menjadi daya tarik para pelaku kejahatan memanfaatkan lembaga keuangan sebagai sarana maupun sasaran kejahatannya.11

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang, disebutkan kejahatan-kejahatan atau tidak pidana yang merupakan sumber uang yang nanti dicuci. Dalam Undang-Undang disebutkan 15 macam tindak pidana dalam bahasa Inggris disebut dengan predicate crimes atau predicate offenses yang terdiri dari tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, narkotika psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak-anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, pengelapan dan penipuan. Seluruhnya ada 15 macam tindak pidana. Jadi tindak pidana itu walaupun terjadi di luar negeri, kemudian hasilnya uangnya dibawa ke sini untuk dikaburkan, disembunyikan asal usulnya sehingga muncul seolah-olah uang yang sah , juga dapat dituntut berdasarkan Undang-Undang ini. Karena kita mengatur demikian luas sehingga dimanapun juga terjadinya pidana itu dapat dituntut dengan Undang-Undang disini kalau memang hasilnya dibawa ke Indonesia atau orang yang bersangkutan lari ke Indonesia. Tapi hal ini dengan catatan, disana harus

11

http://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/33_pembangunan-rezim-aml-dan-profesi-akuntan_x.pdf, diakses pada hari senin Tanggal, 28 Februari 2011


(21)

8

merupakan tindak pidana, disini juga merupakan tindak pidana yang kita kenal dengan istilah double criminal. 12

Istilah pencucian uang pertama sekali dikenal di Amerika Serikat pada Tahun 1930-an dimana pencucian uang dimasukkan dalam kategori kejahatan. Istilah “money laundering” ditujukan pertama sekali pada tindakan mafia yang mempergunakan uang hasil kejahatan yang berasal dari pemerasan, penjualan illegal minuman keras dan perjudian serta pelacuran dengan cara membeli Perusahaan Pencucian Pakaian (Laundramat).13

Money Laundering dapat diistilahkan dengan Pencucian Uang atau pemutihan uang, Pendulangan Ulang atau disebut juga dengan Pembersihan Uang dari hasil transaksi gelap (kotor). Money Laundering Merupakan salah satu aspek perbuatan kriminal. Dikatakan demikian karena sifat kriminalitas Money Laundering ialah berkaitan dengan latar belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram atau kotor, lalu sejumlah uang kotor ini dikelola dengan aktifitas-aktifitas tertentu dengan membentuk usaha, mentransfer atau mengkonversikannya ke Bank atau valuta asing sebagai langkah untuk menghilangkan latar belakang dari dana kotor tersebut.14

12

http://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/33_pembangunan-rezim-aml-dan-profesi-akuntan_x.pdf, di Akses pada hari senin tanggal, 28 Februari 2011

13

Erman Rajagukguk, Rezim Anti Pencucian Uang Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, disampaikan pada Video Conference Nasional mengenai Undang-Undang Anti Pencucian Uang, kenali Nasabah Anda dan Pelaporan Transaksi Keuangan yang diselenggarakan PPATK, BI, UI, UGM, USU, UNDIP, UNAIR Dan elips (Di Jakarta: pada tanggal 29 Mei-Oktober 2004), hlm 1.

14

N.H.T Siahaan, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm 3


(22)

9

Pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk melegalkan uang hasil kejahatan dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu ternyata jumlah uang yang dicuci sangat besar, ini artinya hasil kejahatan tersebut telah mempengaruhi neraca keuangan nasional bahkan global dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Bahaya selanjutnya pencucian uang membuat para pelaku kejahatan terutama organizrd crime untuk mengembangkan jaringan dengan uang yang telah dicuci tersebut. Selain itu membuat para pelaku kejahatan seperti korupsi, narkotika dan kejahatan perbankan leluasa menggunakannya sehingga dengan demikian kejahatan-kejahatan tersebut akan semakin marak.15

Praktek pencucian uang berpotensial mengganggu perekonomian baik nasional maupun internasional karena membahayakan operasi yang efektif dari perekonomian dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang buruk, terutama pada Negara-negara tertentu. Praktek pencucian uang dapat menyebabkan fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga, selain itu uang hasil dari pencucian uang hasil dari pencucian uang dapat saja beralih dari satu negara yang perekonomian baik ke negara yang perekonomian kurang baik. Sehingga secara perlahan-lahan dapat menghancurkan finansial dan menggurangi kepercayaan publik kepada sistem

15

Yenti Garnasih, Kriminalisasi Terhadap Pencucian Uang Di Indonesia Dan Permasalahan Implementasinya. Makalah yang disampaikan pada Pelatihan Penerapan Undang-Undang Anti Pencucian Uang Untuk Memberantas Kegiatan Illegal Logging Di Wilayah Sumatera Utara, yang diselenggarakan Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan USU (Di Medan: pada tanggal 10-11 Januari 2005), hlm 5


(23)

10

finansial, yang dapat mendorong kenaikan resiko dan ketidakstabilan dari sistem itu yang berakibat pada berkurangnya angka pertumbuhan dari ekonomi dunia.16

Kejahatan money laundering itu sangat potensial dalam mempengaruhi atau mengganggu perekonomian baik nasional maupun internasional karena membahayakan efektifitas operasional sistem perekonomian dan bisa menimbulkan kebijakan ekonomi yang buruk, terutama pada negara-negara tertentu.17

Kegiatan pencucian uang ini telah menjadi kegiatan kejahatan transnasional. Proses pencucian oleh para pencuci uang tidak hanya dilangsungkan terbatas dalam wilayah satu negara tertentu saja, tetapi harus dilakukan keluar dari negara di mana uang hasil kejahatan diperoleh, yaitu dari kejahatan yang dilakukan oleh negara tersebut dan masuk ke dalam wilayah negara lain, bahkan kebeberapa negara lain. Hasil kejahatan itu dapat diupayakan oleh para pencuci uang yang bersangkutan menjauh dari sumbernya.18

Pemicu dari tindak pidana pencucian uang sebenamya adalah suatu tindak pidana atau aktivitas kriminal, seperti perdagangan gelap narkotika, korupsi dan penyuapan. Kegiatan money laundering ini memungkinkan para pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul sebenarnya dari suatu dana atau

16

Bismar Nasuition, Pemahaman Undang-Undang Anti Pencucian Uang Untuk Membentuk Rezim Anti Money Laundering Di Indonesia, disampaikan pada Workshop Pemahaman Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dibidang Kepabeanan yang diselenggarakan atas kerjasama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Wilayah I Medan dengan Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, (Medan: tanggal 2 Februari 2005), hlm 1

17

Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering Di Indonesia, (Bandung: Books Terrace & Library, 2008), hlm 2 .

18

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan


(24)

11

uang hasil tindak pidana yang dilakukan. Melalui kegiatan ini pula para pelaku akhimya dapat menikmati dan menggunakan hasil tindak pidananya secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang sah llegal dan selanjutnya mengembangkan lagi tindak pidana yang dilakukannya. Dengan semakin berkembang hasil tindak pidana dan tindak pidana itu sendiri, mereka dapat mempunyai pengaruh yang kuat di bidang ekonomi atau politik yang sudah tentu dapat merugikan orang banyak.

Michel Camdessus, mantan Managing Director International Monetary Fund memperkirakan volume dari cross-border money laundering sekitar dua sampai lima perseen dari Gross Domestic Product dunia yang diperkirakan mendekati USD600 milliar.19 Sebagian dari jumlah tersebut yang cukup substansial terjadi di Amerika Serikat.

Berbagai negara, seperti di negara-negara berkembang masalah money laundering ini sudah diatur dalam Undang-Undang yang menyatakan perbuatan ini sebagai tindak pidana dan menghukum para pelakunya. Dalam Black’s Law Dictionary, money laundering diartikan sebagai berikut:

Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced. 12 Perkembangan berikutnya pengertian money laundering dimuat dalam berbagai literatur maupun peraturan yang diberlakukan oleh beberapa negara dan

19

The National Money Laundering Strategy, The Department of the Treasury and The Department of Justice, USA, hlm 4.


(25)

organisasi internasional. Salah satu pengertian yang menjadi acuan di seluruh dunia adalah pengertian yang dikuat dalam the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1997. Secara lengkap pengertian money laundering tersebut adalah:

The convention or transfer of properly, knowing that such properly is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of parlicipation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the properly or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of properly, knowing that such properly is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of parlicipation in such an offence or offences.20

Money Laundering merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas, maka money laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.

20


(26)

13

Pencegahan dari pemberantasan kegiatan money laundering dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak pidana dan mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang berwajib dapat mengindentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius.

Adapun pokok-pokok yang diatur dalam Undang-Undang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:21

1. Pengaturan cara perbuatan pencucian uang.

2. Pengertian kegiatan pencucian uang, dan tindak

pidana yang merupakan sumber pencucian uang (predicate crimes), yaitu tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan, tindak pidana yang berkaitan dengan perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perjudian, atau terorisme. Di dalam predicate crimes tersebut tidak termasuk tindak pidana pemalsuan seperti pemalsuan uang dan penggelapan pajak (tax evasion).

3. Pelaku tindak pidana pencucian uang dapat

dikenakan sanksi pidana dan denda.

4. Lembaga keuangan wajib melaporkan transaksi

keuangan yang mencurigakan dan transaksi keuangan yang berjumlah paling sedikit Rp.100.000.000, (seratus juta rupiah) dengan ancaman denda pidana untuk kesengajaan tidak melaporkan.

5. Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang (KPTPPU).

14

6. Kewajiban nasabah deposan (perorangan

maupun koperasi) untuk menyampaikan identitas secara lengkap dan benar tennasuk untuk nasabah bank, reksa dana dan perusahaan efek.

7. Perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi.

21

Naskah Akademik, Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan


(27)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimana peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK)

secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (money laundering)?

2. Hambatan apa saja yang dialami oleh pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (money laundering)?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan

(PPATK) secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (money laundering)?

2. Mengetahui Hambatan apa saja yang dialami oleh pusat pelaporan dan

analisis transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (money laundering)?

15


(28)

Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan tesis ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengembangan ilmu hokum khususnya dalam bidang hokum pidana mengenai penanganan kasus (money laundering).

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

a. Aparat penegak hukum agar dapat mengetahui bagaimana

tindakan penegakan hukum dalam penanganan kasus (money laundering).

b. Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap

pembaharuan hukum pidana dalam perumusan perundang-undangan yang berkaitan dengan (money laundering).

E. Keaslian Penelitian

Ada beberapa judul tentang money laundering namun tentang Peran PPATK belum pernah diteliti. Jadi penelitian yang akan saya buat adalah dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dalam Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.


(29)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.22

Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut Criminal Policy. Istilah ini agaknya kurang pas kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “kebijakan krinimal,” karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan (kriminal).23

Menurut Sudarto, pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:24

a. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas

dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi

dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

17

c. dalam arti paling luas (yang beliau ambit dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui

22

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, CV. (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm 27

23

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm 50-51

24

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: PT. Citra Aditya Bakti,1996), hlm 1


(30)

Dalam pembahasan mengenai tinjuan yuridis terhadap peran pusat pelaporan dan analisis keuangan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, maka teori utama yang dipergunakan sebagai alat atau pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori “Kebijakan Kriminal” (Criminal Policy).

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa "modern criminal science" terdiri dari tiga komponen "Criminology", "Criminal Law" dan "Penal Policy". Kemukakan olehnya, bahwa "Penal Policy" adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi ped o ma n t i d a k h a n y a k e p a d a p e mb u a t u n d a n g - u n d a n g , t e t a p i j u g a k e pada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada

para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.25

Mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada t e m p a t b a g i s u a t u i l m u p e n g e t a h u a n y a n g m e n g a m a t i d a n menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama

25


(31)

18

untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak

pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan

kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.26

Istilah “kebijakan" dalam tulisan ini diambil dari istilah "policy" (Inggris) atau “politiek" (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dengan berbagai istilah, antara lain "penal policy", "criminal law atau "strafrechtspolitiek".27 Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum.28

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto,”Politik Hukum” adalah: 19

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

26

Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian

Perbandingan, (Bandung: Citra Aditya, 2005), hlm 23 27

Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit., hlm 27

28

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2005), hlm 11


(32)

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Pertanyaan tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan. Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang masuk dalam kategori cybercrime sebagai tindak pidana sebagaimana diulas dalam buku tersebut, ada beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu:29 1. Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang

berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime dalam perundangan tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenai kategori beberapa perbuatan. Misalnya

29


(33)

20

carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kategori penipuan, ada pula

yang memasukkan dalam kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu

dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.

2. Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, menyebabkan munculnya bermacam-macam undang-undang khusus.

3. Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi

materi/substansi dan harmonisasi eksternal (internasional/global) –lihat hal. 43-44. Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP yang akan terkena dampak dari dibuatnya undang-undang tentang cybercrime. Kementerian Komunikasi dan Informasi mencatat ada 21 undang-undang dan 25 Rancangan Undang-Undang yang akan terkena dampak dari undang-undang yang mengatur cybercrime. Ini merupakan pekerjaan besar di tengah kondisi bangsa yang belum stabil secara politik maupun ekonomi. Harmonisasi eksternal berupa penyesuaian perumusan pasal-pasal cybercrime dengan ketentuan serupa dari negara lain, terutama dengan Draft Convention on Cyber Crime dan pengaturan cybercrime


(34)

21

dari negara lain. Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur cybercrime, lebih dari itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya.

4. Berkaitan dengan harmonisasi substansi, ada yang bagian yang tak disinggung

dalam buku tersebut, terutama mengenai jenis pidana. Mengingat cybercrime merupakan kejahatan yang menggunakan atau bersaranakan teknologi komputer, maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi pelakunya. Jenis sanksi pidana tersebut adalah tidak diperbolehkannya/dilarang sipelaku untuk menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu. Bagi pengguna komputer yang sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan untuk tidak menggunakan komputer merupakan derita yang berat. Jangan sampai terulang kembali kasus Imam Samudera terpidana kasus terorisme Bom Bali I – yang dengan leluasa menggunakan laptop di dalam selnya.

5. Setelah harmonisasi dilakukan, maka langkah yang selanjutnya adalah

melakukan perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara. Cybercrime dapat dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan kerjasama dengan negara lain perlu dilakukan terutama untuk menentukan yurisdiksi kriminal mana yang hendak dipakai. Pengalaman menunjukkan karena ketiadaan perjanjian ekstradisi, kepolisian tidak dapat membawa pelaku kejahatan kembali ke tanah air untuk diadili.


(35)

22

6. Hal lain yang luput dari perhatian adalah pertanggungjawaban Internet

Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet dan Warung Internet (Warnet) yang menyediakan akses internet. Posisi keduanya dalam cybercrime cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju jaringan informasi global, apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung tombak untuk mengurangi kesenjangan digital di Indonesia. Bentuk pertanggungjawaban pidana apa yang mesti mereka terima jika terbukti terlibat dalam cybercrime. Apakah pertanggungjawabannya dibebankan secara individual atau dianggap sebagai suatu korporasi. Ini akan memiliki konsekuensi tersendiri.

Kebijakan penanggulangann kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana),30 sebagaimana diuraikan dibawah ini: a. Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy)

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur "non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani fakor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang pusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Menurut W.A. Bonger

30


(36)

23

menyatakan bahwa kebijakan criminal adalah merupakan kriminologi yang diamalkan yakni tentang tindakan-tindakan yang harus diambil terhadap penjahat.31

Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab tirnbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat (community planning mental health), kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental health), social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administrative & civil law).32

Berdasarkan berbagai keterangan di atas, maka telah diungkap bahwa kejahatan berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karena it u perl u la ngkah-l angka h p en an gg ula ng an ya ng didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di

dalam masyarakat (community crime prevention).33 Program-program yang dapat

31

W.A.Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982), hlm 1-2

32

Ibid, hlm 58

33


(37)

24

dilakukan oleh community crime prevention antara lain (1) pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang; (2) pembinaan tenaga kerja; (3) pendidikan; (4) rekreasi; (5) pembinaan mental melalui agama; dan (6) desain tata ruang fisik kota.

Program pencegahan terhadap penyalahgunaan obat-obatan terlarang dilakukan melalui pendekatan pembinaan terhadap pengguna atau pecandu Napza (narkotika, psikotropika dan zat aditif). Pendekatan ini memperbolehkan para pecandu untuk dibina sesuai dengan kebutuhan kesehatannya sampai mereka memperoleh kembali statusnya kembali sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itulah, program pembinaan ini harus me l i p u t i s e c a r a k o m p r e h e n s i f d a r i pr ogr a m pe mbi n a a n penyalahgunaan Napza ini yang harus tergabung secara keseluruhan dalam suatu sistem pembinaan, yaitu: (1) pelayanan (crisis center) bagi pecandu; (2) fasilitas dan personel pembinaan; (3) fasilitas dan personel untuk program melawan kecanduan narkotika; (4) staff untuk program community therapeutic yang seluruhnya atau sebagian besar berasal dari mantan pengguna napza; (5) fasilitas pembinaan di tertutup atau terbuka.

Tingginya arus urbanisasi di perkotaan menyebabkan lapangan pekerjaan menjadi semakin sempit. Sementara tuntutan kehidupan menjadi sesuatu yang mutlak harus dipenuhi. Pada akhirnya tuntutan dibidang perekonomian dalam kehidupan sering menjadi faktor yang berkorelasi dengan terjadinya kejahatan. Program pencegahan yang dapat dilakukan antara lain


(38)

25

dapat berupa:34

1. memperluas kesempatan kerja bagi para pemuda;

2. memperluas kesempatan kerja bagi pelaku dan mantan pelaku kejahatan;

3. menghilangkan penghalang bagi mantan pelaku kejahatan untuk

bekela;

4. menciptakan program tenaga kerja publik;

5. memperluas kesempatan kerja bagi para mantan pemakai napza;

6. Usaha menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan

masyarakat di area yang miskin;

Pendidikan melalui lembaga sekolah dapat menggunakan pengaruhnya untuk mencegah terjadinya kejahatan kepada siswa-siswanya melalui peningkatan kepekaan siswa terhadap lingkungan kehidupannya, baik keluarga, kelompok belajar, maupun lingkungan tempat tinggalnya. Lebih dari itu, sekolah harus melibatkan diri dalam penanggulangan kejahatan mulai dari tahun-tahun ajaran baru dengan cara mendata secara komprehensif informasi tentang siswa, baik berupa identitas dan latar belakang kehidupan mereka. Dengan demikian diharapkan sekolah dapat merumuskan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswanya. Oleh karena itu, beberapa program yang dapat dilakukan sekolah antara lain:35

1. Mengadopsi program-program pelatihan guru untuk para orang tua

siswa;

34

Ibid

35


(39)

26

2. Mengajarkan dan menerapkan proses demokrasi dan sikap yang adil di

dalam aktivitas sekolah;

3. Menuntaskan kebutahurufan semenjak pendidikan dasar;

4. Menyediakan pelayanan bahasa khusus untuk siswa-siswa yang beda

budaya;

5. Mengembangkan program-program penyiapan karir di sekolah;

6. Menyediakan dukungan terhadap pelayanan yang efektif di sekolah;

7. Menawarkan program pendidikan altematif bagi siswa yang sering

berprilaku menyimpang;

8. Membuka sekolah seluas-luasnya untuk aktivitas kemasyarakatan;

9. Mengadopsi merit policy pelatihan dan promosi untuk guru-guru.

Kegiatan rekreasi juga dapat menjadi upaya pencegahan kejahatan. Rekreasi adalah sesuatu yang sudah mentradisi bagi semua orang. Rekreasi dapat memulihkan kembali kelelahan baik fisik maupun psikis seseorang dari aktivitas pekerjaannya. Dalam konteks ini, rekreasi menjadi alternatif kegiatan positif dari pada melakukan kejahatan, terutama bagi anak-anak muda. Hal ini dinyatakan lebih lanjut oleh Chamelin:36

"Because recreation activities have a strong appeal for young people, delinquency is less likely to flourish in those community where opportunities for wholesome recreation are abundant and attractive, as opposed to cities or neighbourhoods where adequate facilities are lacking. Simpli put, young people angaged in recreation activities on the playground cannot at the same time be robbing a bank, breaking into a hone or perpetrating some other crime. "

36


(40)

27

Pendidikan keagamaan terhadap seseorang merupakan upaya yang masih untuk mereduksi terjadi kejahatan. Dalam konteks ini adalah bagaimana menciptakan komunitas masyarakat yang religius sesuai dengan agama dan kepercayaannya masingmasing sehingga dapat mendorong anggota masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Selain itu juga, lembaga-lembaga keagamaan mempunyai landasan yang kuat untuk melibatkan para anggotanya dalam

upaya penanggulangan kejahatan.37 Sedangkan komunitas-komunitas

keagamaan ini mendorong para anggota perkumpulannya yang tersebar diseluruh belahan dunia untuk melakukan kegiatan penanggulangan kejahatan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait. Secara khusus, komunitas religius ini dapat melakukan:38

1. pendataan dan pendaftaran bagi komunitas-komunitas keagaaman

untuk berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan;

2. m e n d o r o n g l e m b a g a k e a g a m a a n u n t u k menginformasikan di daerah masing-masing tentang permasalahan kejahatan;

3. mendata lembaga keagamaan yang mendukung upaya penanggulangan

kejahatan;

4. membuka fasilitas-fasilitas rumah ibadah untuk keperluan program

penanggulangan kejahatan;

5. mempromosikan partisipasi kelompok-kelompok keagamaan dalarn sistem

peradilan pidana.

37

Ibid

38


(41)

28 Penanggulangan kejahatan melalui desain lingkungan di atas mirip dengan pendekatan situational crime prevention (selanjutnya disebut SCP). Pendekatan SCP bertujuan untuk mempromosikan masyarakat bebas dari kejahatan (a less criminal society) dengan cara membatasi ruang gerak pelaku kejahatan. Strategi yang dilakukan berupa:

1. Penguatan pada target kejahatan (Target hardening) yang meliputi

penguncian pada steer mobil (steering column locks on cars) dan kamera anti perampokan di bank (anti-robbery screen i n banks) serta lain-lain.

2. Mengontrol akses terhadap target kejahatan (controlling access to crime

target), meliputi pemagaran sekeliling perumahan untuk mencegah tindakan perusakan.

3. Membelokan para pelaku dari target (deflecting offenders from targets),

meliputi memisahkan fans pada pertandingan bola kaki.

4. Mengontrol fasilitas untuk terjadinya kejahatan (controlling crime

facilitators), misalnya pasfoto di kartu kredit, password di mobile phone.

5. Pemeriksaan di tempat masuk dan tempat keluar (screening entranccs and

exits), misalnya pemeriksaan bagasi di bandara.

6. Pengawasan secara formal (formal surveillance), misalnya penggunaan

kamera pengawas di jalan raya dan lampu lalu lintas, alaram perampokan.

7. Pengawasan oleh pegawai (surveillance by employees), misalnya tempat

pembayaran dan lokasi parkir yang dapat dilihat oleh pegawai dan penggunaan kamera pengawas.


(42)

29 8. P e n g a w a s a n a l a m i ( n a t u r a l s u r v e i l l a n c e ) , m i s a l n y a

pembangunan ruang aman dalam tata ruang lingkungan, membangun lampu penerangan jalan, dan pengawasan tempat tinggal penduduk.39

Situational Crime Prevention seperti di atas dapat bekerja baik secara reaktif terhadap persoalan yang timbul oleh kejahatan, maupun bersifat antisipasi melalui analisas pengaruh yang dit i m b u l k a n d a r i k e j a h a t a n - k e j a h a t a n . karena itu strategi penanggulangan kejahatan melalui Situational Crime Prevention merupakan kerja yang dapat dilakukan secara lokal, nas i o n a l d a n b a h k a n i n t e r n a s i o n a l y a n g m e m b u t u h k a n keterlibatan seluruh sektor meliputi instansi pemerintah, swasta, dan pemerintah daerah.

b. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Istilah "kebijakan" berasal dari bahasa Inggris "policy"atau bahasa Belanda "politiek". Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata "politik", oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari imu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.40

Yang dimaksud dengan Politik hukum ialah kebijakan negara dengan

39

Ibid

40


(43)

30 perantaraan badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Untuk hukum pidana melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Pembuatan undang-undang merupakan proses sosial dan politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh pengusaha untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertentu. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa undang-undang mempunyai dua fungsi yaitu:41

1. fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan

2. fungsi instrumental.

Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang

41

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1987), hlm 126


(44)

31 terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan.42

Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politi yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku m e n g a t u r b e r b a g a i h a l k e h i d u p a n b e r m a s y a r a k a t d a n bernegara.43 Mahfud M.D., juga memberikan definisi politi hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telat dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga m e n c a k u p p u l a p e n g e r t i a n t e n t a n g b a g a i m a n a p o l i t i k mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagaI pasal-pasal yang bersffat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya.

Dalam tiap-tiap pembentukan hukum, permulaannya adalah suatu perencanaan yang didasarkan pada situasi kenyataan kehidupan yang diarahkan ke satu tujuan yang tidak yuridis, yaitu suatu kepentingan atau suatu nilai yang akan dicapai diwaktu yang akan datang.44

Salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat moderen adalah penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Disini hukum tidak hanya dipakai

42

Mahmud Mulyadi, Op.cit., 66

43

Solly Lubis, Serba Serbi Politik Dan Hukum, (Bandung: Mandara Maju, 1998) hlm 49

44

Roeslan Saleh, Pembentukan Hukum dan Penemuan Hukum, BPHN, (Majalah Hukum Nasional, No.1 Tahun 1995), hlm 42


(45)

32 untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat melainkan juga untuk mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.45

Sebagai teori pendukung dalam penulisan disertai ini digunakan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Laurence Friedman. Menurut Laurance Friedman sistem hukum meliputi 3 (tiga) elemen yaitu: struktur, substansi dan budaya hukum46 yang dimaksudkan dengan sbuktur sistem hukum adalah: The structures of legal system consist of elemen of this kind- the number and size of courts; their jurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and how and why), and modes of appeal from one court to another. Structure also mean lou, and the legislature is organized... and so on". (artinya jumlah dan ukuran pengadilan jenis yurisdiksi dan cara-cara banding dari satu pengadilan kepada pengaditan lainnya. Struktur juga dapat berarti bagaimana badan pembuat undang-undang diatur....dan sebagainya).

Substansi hukum diartikan" the actual rules, norms, and behaviour patterns of people inside the system"(artinya aturan-aturan yang berlaku, norma-norma dan pola-pola penilaian manusia di dalam sistem). Budaya hukum (legal cultural) di artikan sebagai" people's attitude toward law and the legal system their beliefs, values, ideas, and expectations, it is that part of the general culture which concern the legal system"(artinya sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai pandangan-pandangan/pikiran-pikiran,

45

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 206

46

W.Friedmen, Legal Theory, (London: Stevens and Sound Limited, Fourth Edition,1960) hlm 7-8


(46)

33 harapan-harapan, hal ini adalah bagian-bagian dari budaya hukum yang berkenaan dengan sistem hukum. artinya dengan perkataan lain, budaya hukum adalah iklim dari pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindarkan atau disalahgunakan, tanpa budaya hukum, sistem hukum adalah tidak berdaya ibarat ikan mati yang terletak dalam sebuah keranjang, bukan ikan yang hidup berenang di dalam laut.

Ketiga unsur hukum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: yakni substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan serta hubungan-hubungan hukum. Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan formalnya yaitu memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Kultur hukum adalah unsur yang terpenting dalam sistem hukum yakni tuntutan dan permintaan. Tuntutan datangnya dari rakyat atau para pemakai jasa hukum. Dibelakang tuntutan itu, kecuali didorong oleh kepentingan, terlihat juga faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum, kultur hukum mengandung potensi untuk dipakai sumber informasi guna menjelaskan sistem hukum.47

Setiap sistem hukum moderen seyogianya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan ‘dengan berbagai

47


(47)

34 cara’ karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai

pengaruh yang baik dalam konsep maupun implementasinya.48

Menurut Algra dan Van Duy Vendijk49 Teori sistem adalah "aliran

yang paling terpenting dalam positivisme hukum, yang intinva bahwa hukum adalah suatu stelsel dari aturan yang berkaitan satu sama lain secara organis, secara piramida dari norma-norma yang terbentuk secara hirarkhi". Sistem hukum merupakan "kesatuan hakiki dan terbagi-bagi dalam bagian-bagian, di dalam mana setiap

masalah atau persoalan menemukan jawaban atau penyelesaiannya".50 Unsur

sistem adalah peraturan hukum (norma hukum) asas-asas hukum, yang menjadi fundamen dan pengertian-pengertian hukum. Unsur sistem hukum itu dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat keharmonisan. dan dapat dihindarkan tumpang tindih diantara masing-masing unsur-unsur tersebut. Kalau terdapat konflik antara unsurunsur sistem hukum, maka solusinya adalah terletak dalam sistem hukum itu sendiri. Yang menyelesaikan konflik di dalam sistem hukum adalah asas hukum karena di dalam asas hukum itulah terdapat cita-cita, pembentuk undang-undang. Cita-cita saja tidak cukup, apabila tidak didukung oleh struktur kelembagaan dan budaya hukumnya. Berjalan atau tidaknya suatu peraturan hukum adalah budaya hukum masyarakatnya.

48

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban

Pidana Tanpa Kesalahan,(Jakarta: Kencana,2005), hlm 61 49

Algra N.E dan K. Van Duyvendijk, Mula Hukum, (Jakarta: Bina Cipta,1983), hlm 139

50


(48)

35 Budaya hukum terdiri dari dua unsur yakni budaya hukum yang

berkaitan dengan nilai hukum keacaraan dan nilai hukum substantif.51

Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.52 Oleh karena masyarakat hukum itu berubah-ubah dari waktu ke waktu maka konsep budaya hukum substantif sangat dipengaruhi oleh ide, gagasan, pemikiran, ekonomi, sosial dan politik yang

begitu cepat berubah yang tercermin dari perilaku hukurn substantif.53 Dari

sudut budaya hukum haruslah diarahkan pada pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengidentifikasi variabel-variabel dalam budaya hukum dan institusi

hukum yang mampu meningkatkan efektivitas hukum.54

Budaya hukum berhubungan dengan sikap dan perilaku. Betapa budaya dan perilaku hukum menjadi faktor penentu vang penting. Cita-cita hukum, tujuan pembangunan hukum, tidak dapat dicapai dengan mengabaikan peranan dan sumbangan budaya hukum. Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum.

51

Daniel S.Lev, Hukum dan Politik Hukum Di Indonesia Keseimbangan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm 119

52

Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi

Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar (Jakarta:

Universitas Indonesia, 1997), hlm 19

53

Daniel S.Lev, Op.Cit, hlm 119

54

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, (Medan: Pidato diucapkan Pada Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004), hlm 21


(49)

36 Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi lebih daripada itu mengandung unsurunsur spiritual, yaitu kepercayaan, kewibawaan hukum dapat dinimuskan sebagai suatu kondisi psikologis

masyarakat yang menerima dm menghormati hukum.55 Sektor budaya dikehendaki

untuk mampu mempertahankan asas-asas tertinggi yang mengatur kehidupan masyarakat yang bersumber pada kebenaran jati sebagai salah satu kategori yang menjadi lingkungan masyarakat.56

Teori- teori hukum memaparkan tiga hal tentang berlakunya hukum:

1. Kaidah hukum yang berlaku secara yuridis, apabila penentuannya

didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen) atau menurut cara yang telah ditetapkan (W.Zevenbergen), atau apabila menunjukkan hubungan terhadap keharusan suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A.Logemann);

2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif,

artinya diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang dibutuhkannya (A.A.G. Peters), atau dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walauptLn tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);

3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, apabila kaidah hukum

tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.57

Jadi semakin jelas bahwa hukum tidak dapat dilihat semata-mata sebagai

55

Satjipto Rahardjo, Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum, (Jakarta: Makalah Pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII, BPHN,1997)

56

Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia SEbuah Pendekatan

Lintas Disiplin, (Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan I, 2009), hlm 33 57

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hlm13


(50)

37 perwujudan atau pencerminan dari konsep-konsep dari peraturan hukum. Hukum di dalam realitas pemyataannya harus dilihat sebagai perwujudan dan pencerminan dari struktur masyarakat. Budaya hukum dengan sistem hukum dihubungkan lewat tradisi hukum. Tradisi hukum yang dimaksudkan adalah suatu kumpulan sikap-sikap yang dipengaruhi oleh sejarah yang berakar sangat mendalam mengenai sifat hukum, peranan hukum dalam masyarakat dan pemerintahan, organisasi dan berjalannya suatu sistem hukum dan mengenai cara hukum dibuat atau seharusnya dibuat, diterapkan, dikaji, disempurnakan dan diajarkan. Tradisi hukum menghubungkan sistem hukum dengan budaya, dimana kebudayaan merupakan bagian dari pencerminan tradisi hukum.

Penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukurn. janji dan kehendak tersebut, misalnya untuk memberikan hak kepada seseoorang, memberikan perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya.58

Faktor manusia dalam hubungannya dengan penegakan hukum. Apabila di sini dilibatkan tingkah laku manusia, maka sesungguhnya hanya merupakan suatu kelanjutan saja dari metode yang dipakai. Dalam perumusannya secara negatif, metode tersebut menolak cara pengkajian hukum yang didasarkan pada apa

58


(51)

38 yang tertera secara hitam-putih berupa peraturan hukum. Metode yang lazim disebut sebagai normatif-dogmatis, bertolak dari keharusan-keharusan yang tercantum dalam peraturan hukum dan menerimanya sebagai kenyataan. Dengan demikian, maka diabaikanlah keterlibatan manusia di dalam pembicaraannya. Tanda bahaya yang bersifat konservatif tentang terkikisnya otoritas, penyalahgunaan aktivisme hukum, dan macet “hukum dan ketertiban” (law and order) diteriakkan dalam gerakan pembaruan kembali yang radikal yang berfokus pada mandul dan korupnya tertib hukum.59

Berdasarkan uraian diatas dan dihubungkan dengan peran Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai suatu badan yang dibentuk oleh Undang-Undang yang mengatur tentang tindak pidana Money Laundering, maka PPATK dapat digolongkan sebagai suatu komponen dari sistem peradilan pidana di Indonesia yang memiliki kedudukan yang sama dengan komponen sistem peradilan pidana di Indonesia lainnya seperti, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan serta yang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memiliki fungsi sebagai suatu badan pelaksanaan dari kebijakan penal dalam pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) di Indonesia.

59

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010), hlm 5


(52)

39 2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.60 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefenisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

1. PPATK adalah Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan.

2. Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayar,

membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, mentitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.61

3. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda yang tidak

bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

4. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

5. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau

menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk

60

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Doubel Track System

Dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 7 61


(53)

40

6. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang

keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan kekuasaan termasuk tetapi tidak terbatas pada Bank, Lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.

7. Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan Yang selanjutnya disebut

PPATK adalah lembaga independent yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

8. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,

dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tetapi tidak terbatas pada:

a. tulisan, suara, atau gambar

b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya

c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau


(54)

41 G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau

norma-norma hukum positif.62 Dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian untuk

menganalisis Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (money laundering).

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hirarki63 seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan PPATK yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang PPATK yang merupakan perubahan dari Undang-undang NO. 15 Tahun 2002 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.

b. Bahan Hukum Sekunder

62

Jhony Ibrahim, Teori dan Penelitian Metodologi Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hlm 282

63


(1)

Tindak Pencucian Uang menyadari bahwa pemberantasan praktik-praktik pencucian uang di Indonesia tidak efektif apabila terhadap para penegak hukum, baik pihak kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman yang melakukan penyidikan, menuntut, dan memeriksa perkara-perkara tindak pidana pencucian uang tetap diberlakukan ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan, maka oleh karena itu dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, Kejaksaan dan Hakim dapat mengenyampingkan ketentuan kerahasiaan bank sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang – Undang No 8 tahun 2010. Kedua, Hambatan dari segi Polisi, Jaksa, Dan Para Hakim Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu Struktur kelembagaan mulai dari lembaga pengawas dan pengatur yang belum terbentuk, lambannya informasi intelijen tentang transaksi keuangan mencurigakan dan kurangnya kerjasama antar lembaga. Ketiga, Hambatan dari segi budaya hukum yaitu Kerjasama dan koordinasi yang baik juga didukung dengan budaya hukum serta sumber daya manusia. Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat.


(2)

128 B. Saran

1. Perlu adanya Peran PPATK lebih ditingkatkan dalam pemahaman tentang Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan kerjasama yang baik antara pihak-pihak yang terkait seperti PJK, PPATK, Bank Indonesia, penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) dan pemerintah (Dirjend Pajak dan Dirjend Imigrasi) untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

2. Perlu adanya sumber-sumber yang terkait di dalamnya mengenai hambatan tindak pidana pencucian uang serta kesadaran hukum dari seluruh PJK dan masyarakat khususnya nasabah bank baik untuk mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang TPPU dan peraturan Bank Indonesia tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Serta didukung oleh mental profesionalitas yang tinggi, aparat penegak hukum, PJK dan PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arief, Barda, Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Prenada, 2008

---, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: Citra Aditya; 2005

---, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada; 2006

---, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Semarang: PT. Citra Aditya Bakti, 1996

Anwar, Yesmil dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Grasindo 2008 Akademik, Naskah, Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan Dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: 2006

Bonger, W, A, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982

Duyvendijk Algra N.E dan K. Van, Mula Hukum, Jakarta: Bina Cipta, 1983

Ehrmann Henry W, Menyetir Pendapat Merrymann dan Jhon Henry Dalam Cita-Cita Winda Priapanty, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi, Perlindungan Rahasia Dagang Di Bidang Farmasi, Jakarta: Candra Pratama, 1999

Gultom, Binsar, Pandangan Kritis Seorang Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2005

Hart, H.L.A, Konsep Hukum, Nusa Media, Bandung, 2009

Ibrahim, Jhony, Teori dan Penelitian Metodologi Hukum Normatif, Bayumedia: Surabaya, 2008


(4)

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002 Lubis M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994 ---, Serba Serbi Politik Dan Hukum, Bandung: Mandara Maju, 1998 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006

Marpaung, Leden, Asas, Teori, Praktik, Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005 Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008

Nonet, Philippe, dan Selznick Philip, Hukum Responsif, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010

Prakoso, Djoko, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1987

Prasetyo, Teguh, dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2005

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK): Indonesia Melawan Praktik Pencucian Uang. Jakarta: PPATK, 2003

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000

---, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008

---, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia SEbuah Pendekatan Lintas Disiplin, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan I, 2009 ---, Penegakan Hukum, Genta Publishing: Yogyakarta, 2009

Remy, Sjahdeini, Sutan, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004

Sholehuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Doubel Track System Dan Implementasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007

Siahaan, N.H.T, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005


(5)

Soekanto, Soerjono dan Abdullah, Mustafa, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali Pers, 1982

Suharto, RM, Hukum Pidana Materil, Jakarta: Sinar Grafika, 2002

Syamsudin, M., Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007

S.Lev, Daniel, Hukum dan Politik Hukum Di Indonesia Keseimbangan dan Perubahan, Jakarta: LP3ES, 1990

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode Dan Permasalahannya, Jakarta: ELSAM Dan HUMA, 2002

B. Makalah

Garnasih Yenti, Kriminalisasi Terhadap Pencucian Uang Di Indonesia Dan Permasalahan Implementasinya. Makalah yang disampaikan pada Pelatihan Penerapan Undang-Undang Anti Pencucian Uang Untuk Memberantas Kegiatan Illegal Logging Di Wilayah Sumatera Utara, yang diselenggarakan Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan USU Di Medan, pada tanggal 10-11 Januari 2005

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Medan: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004

---, Pemahaman Undang-Undang Anti Pencucian Uang Untuk Membentuk Rezim Anti Money Laundering Di Indonesia, disampaikan pada Workshop Pemahaman Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dibidang Kepabeanan yang diselenggarakan atas kerjasama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Wilayah I Medan dengan Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, tanggal 2 Februari 2005

Nasution, Bismar, Rejim Anti-Money Laundering Di Indonesia, Bandung: Books Terrace & Library, 2008

Radjagukguk, Erman, dalam Money Laundering Crime Dalam Hukum Perbankan, 2004


(6)

The National Money Laundering Strategy, The Department of the Treasury and The Department of Justice 2000, USA.

Saleh, Roeslan, Pembentukan Hukum dan Penemuan Hukum, BPHN, Majalah Hukum Nasional, No.1 Tahun 1995

W.Friedmen, Legal Theory, London: Stevens and Sound Limited, Fourth Edition, 1960

Rajagukguk, Erman, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Indonesia, Jakarta, 1997

---, Rezim Anti Pencucian Uang Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, disampaikan pada Video Conference Nasional mengenai Undang-Undang Anti Pencucian Uang, kenali Nasabah Anda dan Pelaporan Transaksi Keuangan yang diselenggarakan PPATK, BI, UI, UGM, USU, UNDIP, UNAIR Dan elips Di Jakarta, pada tanggal 29 Mei-Oktober 2004

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Medan: Pidato diucapkan Pada Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004

Rahardjo, Satjipto, Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum, Jakarta: Makalah Pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII, BPHN, 1997

info.illog@ppatk.go.id.

http://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/33_pembangunan-rezim-aml-dan-profesi-akuntan_x.pdf

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2010/07/31/585/revisiuu-pencucianuangsangat-diperlukan

C. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010