PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK): Review terhadap UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA
(PPPK):
Review terhadap UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
Rike Anggun Artisa
rikeanggunartisa@gmail.com
Abstraksi
Tulisan ini ingin mereview salah satu bagian yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 2014
Tentang Aparatur Sipil Negara, yaitu Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
(PPPK). Bagian ini merupakan bagian yang cukup penting dan perlu di manage dengan
proporsional karena berkaitan dengan kinerja dan sumber daya pemerintah.
Kata Kunci : Pegawai, Perjanjian kerja, Aparatur Sipil Negara, UU No.5 Tahun 2014
Pendahuluan
Birokrasi sebagai organisasi pemerintah telah mengalami perjalanan yang cukup
panjang. Berbagai kelemahan yang terdapat di dalamnya menjadi tantangan yang tidak
akan pernah habis untuk diperbincangkan dan dicari jalan keluarnya. Tidak dapat
dipungkiri bahwa sampai saat ini citra negative pada birokrasi masih dapat terlihat. Hal
tersebut bukan tanpa sebab, kinerja birokrasi yang buruk dapat mempengaruhi berbagai
aspek di dalam pembangunan. Hal ini juga yang membuat trust dari masyarakat kepada
birokrasi cenderung rendah. Sudah menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai
pemegang otoritas untuk mengembalikan kepercayaan publik dengan melakukan
perbaikan-perbaikan dalam upaya mereformasi birokrasinya.

Reformasi birokrasi dilakukan untuk mengubah berbagai hal di dalam birokrasi
agar dapat memenuhi harapan publik. Salah satu perubahan mendasarnya adalah pada
manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). SDM sebagai salah satu faktor penting dalam
menopang eksistensi birokrasi namun pada kenyataannya masih banyak permasalahan
yang dihadapi, misalnya terkalit rendahnya kompetensi pegawai yang selanjutnya
berdampak pada rendahnya kinerja birokrasi secara umum. Dengan adanya masalah yang
serius tentang SDM di birokrasi maka reformasi di bidang SDM sudah seharusnya
menjadi agenda mendesak pemerintah demi mewujudkan birokrasi yang professional dan
akuntabel.
Disahkannya UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
merupakan sebuah angin segar dalam upaya mereformasi SDM di birokrasi. Secara
umum UU tersebut mengupayakan adanya sebuah sistem yang dapat mengoptimalkan
potensi SDM untuk pencapaian tujuan birokrasi. Hal tersebut dilakukan dengan
melakukan redefinisi dari peran manajemen SDM. UU tersebut menguraikan berbagai hal
yang berkaitan dengan pengaturan SDM di birokrasi, termasuk tentang pegawai tidak
tetap atau yang di dalam UU tersebut dikenal dengan istilah Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja (PPPK).
Pada pasal 6 UU tersebut disebutkan bahwa pegawai ASN dapat diategorikan atas
dua jenis yaitu PNS yang berstatus pegawai tetap dan PPPK sebagai pegawai dengan
perjanjian kerja. PPPK menarik untuk dibahas mengingat statusnya yang bukan pegawai


Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik
Vol. 06; No. 01; Tahun 2015
Halaman 33-42

Artisa

tetap sehingga memang dibutuhkan aturan yang secara tegas mengatur masa depan PPPK
ini. Selain itu, pegawai tidak tetap di organisasi pemerintah pusat maupun daerah saat ini
jumlahnya cukup besar. Menurut data BKN Tahun 2005 (dalam Simanungkalit, 2013:45),
terdapat 343.158 orang pegawai tidak tetap yang direkrut. Instansi yang melakukan
perekrutan terbanyak adalah instansi pemerintah yang terdapat di pulau jawa yakni
Provinsi Jawa Timur sebanyak 79.507 orang pegawai, Provinsi Jawa Tengah sebanyak
54.586 orang pegawai, dan Provinsi Jawa Barat sebanyak 42.499 orang pegawai.
Sedangkan instansi pemerintah yang paling sedikit melakukan perekrutan adalah Provinsi
Irian Jaya Barat, yakni hanya 337 orang pegawai. Jumlah pegawai tidak tetap ini nantinya
berkaitan dengan isu kontribusi PPPK pada peningkatan kinerja birokrasi dan efisiensi
organisasi dalam menggunakan anggarannya untuk belanja pegawai.
PPPK atau yang sebelumnya dikenal dengan PTT (Pegawai Tidak Tetap) tidak
berkedudukan sebagai pegawai tetap tapi lama kerjanya dibatasi oleh perjanjian kerja.

Hal itu senada dengan yang terdapat di dalam Pasal 1 Ayat 4 UU ASN bahwa PPPK
adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat
berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan
tugas pemerintahan. Di dalam UU tersebut juga disebutkan bahwa manajemen PNS dan
PPPK dilakukan dengan menggunakan sistem merit. Sistem ini merujuk pada kondisi
dimana pegawai yang menduduki posisi atau jabatan tertentu harus sesuai dengan
kecakapan, keahlian atau kompetensi yang dimilikinya. Dengan menerapkan sistem merit
diharapkan PPPK ini dapat mendukung kinerja birokrasi. Hal-hal tersebut yang kemudian
mengundang rasa ingin tau tentang bagaimana PPPK diatur dalam UU ini. Tulisan ini
ingin membahas tentang bagaimana UU No. 5 Tahun 2014 sebagai aturan terbaru dalam
manajemen pegawai mengatur tentang PPPK, perubahan pokok apa saja yang terjadi
didalamnya serta problematika apa yang diperkirakan dapat muncul terkait PPPK dengan
diberlakukannya UU tersebut.
Konsep tentang Pegawai Tidak Tetap
Sebelum masuk pada bahasan tentang bagaimana UU ASN mengatur tentang
PPPK dengan segala problematikanya, akan lebih baik jika kita memahami terlebih dulu
konsep dan sejarah awal mula adanya istilah pegawai tidak tetap sebagai bahan
perbandingan antara teori dan praktiknya. Banyak sebutan untuk jenis pekerja yang tidak
tetap ini, diantaranya pegawai tidak tetap, pegawai kontrak, pekerja temporer, dan lainlain namun tetap merujuk pada hal yang sama. Istilah pegawai tidak tetap atau temporary
employee adalah pegawai atau pekerja yang direkrut pada pekerjaan yang berdasarkan

suatu kontrak dan dibatasi oleh waktu tertentu (Heathfield, 2013 dalam Purwoko
2013:14). Pendapat selanjutnya datang dari Kirk dan Belcovics (2008, dalam
Simanungkalit, 2013:44) pegawai tidak tetap didefinisikan sebagai individu-individu
yang secara langsung direkrut atau melalui agen tenaga kerja dan kemudian diperkerjakan
oleh organisasi untuk mengisi jabatan atau pekerjaan dengan jangka waktu tertentu atau
terbatas.
Selain itu Purwoko (2013:14) mengemukakan bahwa temporary employee adalah
pegawai yang dikontrak dengan jangka waktu tertentu dan tugas tertentu atau pegawai
kontrak dengan jangka waktu tetap, pegawai yang berasal dari agen penyedia tenaga
kerja, tenaga kerja lepas dan tenag kerja untuk pekerjaan musiman. Dari beberapa
pengertian dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan temporary employee
adalah seseorang yang bekerja di dalam rentang waktu tertentu dan memiliki batasan yang

www.journal.uniga.ac.id

34

Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik
Vol. 06; No. 01; Tahun 2015
Halaman 33-42


Artisa

telah disepakati sebelumnya serta dapat direkrut langsung oleh organisasi atau melalui
agen penyalur pekerja.
Ternyata setiap Negara memaknai istilah temporary employee ini berbeda-beda.
Misalnya, di Australia temporary employee adalah pegawai dengan sistem kontrak yang
masa kerjanya tidak lebih dari satu tahun dan dapat direkrut kembali secara langsung atau
melalui agen penyedia tenaga kerja. Sedangkan di Jepang, temporary employee adalah
pegawai kontrak dengan waktu tidak lebih dari satu tahun, pegawai proyek tertentu,
pegawai lepas, pegawai musiman atau pegawai yang pekerjaannya kurang dari satu tahun.
Kemudian di Kanada, temporary employee adalah pegawai yang bekerja pada pekerjaan
temporer yang telah ditentukan masa berakhirnya berdasarkan kontrak ataupun waktu
penyelesaian suatu proyek. Dari beberapa pemaknaan di Negara-negara tersebut tentang
temporary employee, dapat diketahui bahwa temporary employee hanya memiliki masa
kerja atau kontrak yang singkat yaitu tidak lebih dari satu tahun, dan dapat direkrut
kembali sesuai dengan kebutuhan.
Adanya pegawai tidak tetap tentu dilatarbelakangi oleh suatu sebab. Semula,
temporary employee adalah sebuah respon dari adanya kebutuhan organisasi dalam
memenuhi tuntutan perubahan. Organisasi dihadapkan pada kondisi lingkungan yang

makin berkembang dengan permasalahan yang juga makin kompleks. Hal itu menuntut
adanya fleksibilitas dalam hubungan kerja sehingga dapat mengatasi segala masalah.
Fleksibilitas ini dianggap menguntungkan karena organisasi tidak perlu mengeluarkan
biaya rekrutment yang besar karena rekrutmen temporary employee cenderung dilakukan
dengan sederhana. Selain itu beban kerja organisasi juga dapat terselesaikan dan oranisasi
tidak memiliki kewajiban untuk memberikan berbagai fasilitas dan tunjangan layaknya
kepada pegawai tetap karena sifatnya yang sementara.
Gesteby dan Wennerhag, 2011 (dalam Puwoko, 2013:15) memaparkan beberapa
alasan dan tujuan digunakannya temporary employee, yaitu:
1. Temporary employee dibutuhkan pada saat terjadi peningkatan bisnis yang
sifatnya sementara.
2. Dengan memperkerjakan temporary employee, organisasi jauh lebih fleksibel jika
sewaktu-waktu hendak mengurangi ataupun menambah tenaga kerja.
3. Temporary employee dapat dpakai untuk mengisi dan menggantikan pegawai
yang cuti sakit ataupun cuti panjang.
4. Temporary employee direkrut untuk suatu proyek khusus yang berjangka waktu
tertentu atau untuk kebutuhan akan tenaga kerja dengan kemampuan khusus yang
tidak terdapat di organisasi tersebut.
5. Perekrutan dengan status temporary employee menguntungkan sebagai alat
penyaringan pegawai baru yang lebih efisien.

Tujuan digunakannya temporary employee seperti yang dikemukakan diatas
memang dapat menguntungkan organisasi yang menggunakan jasa pekerja, namun
apakah keuntungan juga didapatkan oleh para pekerja tidak tetap ini. Berbagai masalah
timbul seiring dengan penggunaan pegawai tidak tetap di birokrasi, misalnya bagaimana
jaminan atas nasibnya setelah masa kerjanya berakhir, apakah akan diperpanjang atau
tidak, dan jika tidak apakah akan langsung mendapatkan pekerjaan baru. Hal-hal itu yang
mungkin menjadi topic-topik diskusi yang berkembang. Penggunaan temporary
employee mungkin saja efektif bagi pegawai di perusahaan swasta, namun apakah hasil
yang sama akan terjadi di organisasi publik.

www.journal.uniga.ac.id

35

Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik
Vol. 06; No. 01; Tahun 2015
Halaman 33-42

Artisa


Kemudian, apakah dengan status pegawai yang hanya sementara dapat memicu
mereka untuk bekerja dengan optimal. Ada sebuah studi yang menyebutkan bahwa
temporary employee cenderung memiliki komitmen yang rendah dalam bekerja. Getsby
dan Wennerhag, 2011 (dalam Purwoko, 2013:16), mereka menyimpulkan tentang
temporary employee, diantaranya adalah:
1. Temporary employee cenderung memiliki motivasi kerja yang lebih rendah
dibandingkan pegawai permanen.
2. Menggunakan temporary employee dapat beresiko mengikis human capital
organisasi karena tidak merasa terikat pada organisasi.
3. Terdapat kemungkinan terjadi konflik antara temporary employee dan pegawai
permanen.
Temuan lain yang dapat dijumpai di Indonesia tentang masalah-masalah temporary
employee di birokrasi adalah adanya pandangan yang salah kaprah dimana pengangkatan
pegawai tidak tetap dijadikan sebuah jalan pintas untuk memasukan seseorang menjadi
pegawai yang nantinya dapat diangkat sebagai pegawai tetap. Jika dipandang dari konsep
normative dari temporary employee yang dijabarkan sebelumnya, seharusnya pegawai
menyadari dan tidak berhadap akan diangkat menjadi pegawai tetap. Dengan masa
kontrak satu tahun yang dapat diperpanjang sampai tiga atau empat tahun maka pegawai
hanya akan bekerja di tempat itu hanya dalam jangka waktu tertentu. Pada kondisi
ekstrim, ada orang yang rela bekerja berpuluh-puluh tahun menjadi pegawai tidak tetap

dengan harapan akan diangkat menjadi pegawai tetap. Rumitnya pandangan-pandangan
yang terlanjur salah kaprah tentang pegawai tidak tetap dalam birokrasi di Indonesia
menimbulkan pertanyaan besar tentang apakah sistem fleksibilitas tenaga kerja
(berdasarkan padangan normative) ini dapat efektif jika dilakukan di birokrasi. Hal ini
akan dikupas di dalam poin-poin berikutnya dalam tulisan ini.
Kemudian dari pemaparan di atas juga telah disebutkan bahwa temporary
employee diangkat berdasarkan kebutuhan organisasi, namun gambaran yang dapat kita
lihat di birokrasi Indonesia, pengangkatan pegawai tidak tetap lebih banyak dikarenakan
alasan politis dibandingkan dengan kebutuhan organisasi. Selain itu tentang isu
rendahnya komitmen dan kinerja temporary employee yang juga telah disinggung di atas,
memang tidak dapat dipungkiri hal tersebut terindikasi juga terjadi di Indonesia. Namun,
ada juga temuan yang lebih menarik di beberapa tempat dimana pegawai tidak tetap justru
memiliki beban kerja yang lebih banyak di bandingkan dengan PNS yang berkedudukan
sebagai pegawai tetap dan pelaksana utama birokrasi.
Dari pemaparan diatas dapat diketahui bahwa temporary employee secara konsep
dan praktiknya di Indonesia banyak mengalami pergeseran. Masalah-masalah yang ada
terkait pegawai tidak tetap di birokrasi menjadi hal yang sudah lama berlangsung. Maka
dari itu, pemerintah melalui UU No. 5 Tahun 2014 berupaya melakukan pengaturan ulang
mengenai pegawai tidak tetap atau PPPK ini. Di dalam UU tersebut diatur mengenai
manajemen PPPK yang selanjutnya dapat dijadikan landasan hukum dalam mengelola

dan menata PPPK yang nantinya dapat berkontribusi di dalam keberhasilan pelaksanaan
reformasi birokrasi. Lalu bagaimana sebenarnya manajemen PPPK yang diatur di dalam
UU No. 5 Tahun 2014 tersebut, penjelasannya akan dijabarkan dibawah ini.
Manajemen PPPK di dalam UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

www.journal.uniga.ac.id

36

Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik
Vol. 06; No. 01; Tahun 2015
Halaman 33-42

Artisa

Sebelum mengenal PPPK, Indonesia sudah banyak mengenal istilah pegawai
tidak tetap di birokrasi, misalnya pegawai outsourcing yang menangani permasalahan
kebersihan dan keamanan lingkungan organisasi. Pegawai outsourcing ini tidak
berhubungan langsung dengan pekerjaan inti organisasi namun sebagai pendukung
kegiatan operasional. Selain itu, dikenal juga tenaga honorer atau Pegawai Tidak Tetap

(PTT) yang tugasnya membantu PNS dalam melaksanakan tugas. Perbedaan antara
pegawai outsourcing dengan honorer atau PTT tadi terletak dari penanggung jawabnya.
Pegawai outsorcing tidak ditangani langsung oleh birokrasi karena penyediannya
dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja, sedangkan tenaga honorer atau PTT
ditangani langsung oleh birokrasi/pemerintah dari mulai rekrutment, penggajian sampai
pada pemberhentiannya.
Sebelum lebih jauh membahas bagaimana manajemen PPPK diatur di dalam UU
ASN ini, kita bisa melihat terlebih dahulu perubahan unsur-unsur pegawai yang terdapat
pada UU yang pernah berlaku di Indonesia. Perubahan tersebut dapat kita lihat di dalam
tabel di bawah ini:
Tabel Perubahan Unsur-unsur Pegawai di Birokrasi
UU No. 8 Tahun 1974
Pegawai Negeri terdiri
dari:
1. PNS
2. Anggota ABRI
PNS terdiri dari:
1. PNS Pusat
2. PNS Daerah
3. PNS lain yang
ditetapkan dengan
PP
Sumber: Hidayat (2014:35)

UU No. 43 Tahun 1999
UU No. 5 Tahun 2014
Pegawai negeri terdiri dari: Pegawai ASN terdiri dari:
1. PNS
1. PNS
2. Anggota TNI
2. PPPK
3. Anggota Polri
PNS terdiri dari:
1. PNS Pusat
2. PNS Daerah
3. Pegawai tidak tetap

Dari tabel tersebut, dapat diketahui bahwa saat ini yang disebut ASN adalah PNS dan
PPPK. Pengelolaan ASN sifatnya nasional yang berarti tidak ada lagi istilah pegawai
pusat atau pegawai daerah. ASN akan dikelola secara independen oleh Komite Aparatur
Sipil Negara (KASN) yang diharapkan dapat mendorong profesionalisme dan netralitas
aparatur.
PPPK diatur melalui manajemen PPPK yang didalamnya memuat aturan tentang
penetapan kebutuhan, pengadaan, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan, pengembangan
kompetensi, pemberian penghargaan, disiplin, pemutusan hubungan kerja, sampai pada
perlindungan yang dapat diperoleh PPPK (Pasal 93).
1. Penetapan kebutuhan dan Pengadaan PPPK
Keberadaan PPPK tidak dipungkiri cukup membantu menyelesaikan pekerjaan
PNS di birokrasi namun harus diakui juga menimbulkan banyak permasalahan.
Permasalahan tentang pengadaan PPPK telah disinggung secara singkat di bagian
sebelumnya. Perekrutan seringkali diwarnai dengan motif politis dari pihak-pihak tertentu
dan pengadaan juga seringkali dilakukan tanpa melalui seleksi yang ketat sehingga yang

www.journal.uniga.ac.id

37

Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik
Vol. 06; No. 01; Tahun 2015
Halaman 33-42

Artisa

terpilih adalah orang-orang dengan kompetensi yang rendah. UU ASN berupaya untuk
mengatasi persoalan tersebut dengan menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan
PPPK berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja yang dilakukan untuk jangka
waktu lima tahun yang diperinci per satu tahun berdasarkan prioritas kebutuhan (Pasal
94). Selain itu penerimaan calon PPPK dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah melalui
penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan instansi
pemerintah dan persyaratan lain yang dibutuhkan jabatan (Pasal 97).
Pengadaan PPPK yang selama ini terkesan carut marut atau ‘ngasal’ memang
menjadi cikal bakal berkembangnya jumlah pegawai tetap di Birokrasi, sayangnya
tingginya jumlah pegawai tidak tetap ini sering kali tidak diikuti dengan kinerja yang
baik. Adanya analisis terhadap kebutuhan PPPK ini dirasa baik agar nantinya PPPK yang
direkrut mempunyai posisi dan tugas yang jelas. Harapannya juga terbentuk
keseimbangan antara kebutuhan pekerjaan dengan jumlah PPPK. Penilaian yang
dilakukan dengan memperhatikan kompetensi dan kualifikasi pegawai ini menunjukan
bahwa UU ini telah mengadopsi sistem merit dalam pengadaan PPPK.
Tahapan dalam pengadaan calon PPPK sesuai dengan UU ASN Pasal 95 Ayat 2
adalah tahap perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman
hasil seleksi, dan pengangkatan menjadi PPPK. Setelah diangkat menjadi PPPK dan
melaksakan tugasnya, PPPK ini tidak serta merta dapat secara otomatis diangkat menjadi
Calon PNS karena untuk itu PPPK harus mengikuti semua proses seleksi Calon PNS
seperti pada umumnya seleksi dilakukan (Pasal 99). Hal diatas mungkin tidak akan terlalu
berpengaruh pada PPPK yang baru akan melamar tetapi bagaimana dengan pegawai tidak
tetap yang sudah ada atau bekerja di instansi pemerintah sebelum UU ini berlaku. Harus
ada penataan kembali pegawai tidak tetap yang telah bekerja disesuaikan dengan
kebutuhan dan kompetensinya. Perlu juga dilakukan upaya sosialisasi aturan terbaru yang
mengatur mengenai PPPK agar perubahan yang ada dapat dipahami dan dimaklumi oleh
semua pihak.
2. Penggajian dan tunjangan
Seperti yang telah disebutkan bahwa di dalam UU ASN ada dua kategori pegawai
yaitu PNS dan PPPK. Masing-masingnya tentu memiliki hak yang berbeda termasuk di
dalam urusan gaji dan tunjangan. Jika PNS memiliki hak terkait gaji, tunjangan dan
fasilitas, cuti, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, perlindungan dan pengembangan
kompetensi. Maka PPPK hanya memiliki hak terkait gaji, tunjangan, cuti, perlindungan
dan pengembangan kompetensi. Di dalam UU ASN diatur bahwa gaji yang diberikan
pada PKKK diberikan berdasarkan beban kerja, tanggung jawab jabatan dan resiko
pekerjaan (Pasal 101 Ayat 2) dan dibebankan pada APBN untuk PPPK di instansi pusat
sedangkan untuk instansi di daerah dibebankan pada APBD (Pasal 101 Ayat 3). Selain
gaji, PPPK juga berhak menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 101 Ayat 4).
Dari pemaparan diatas dapat terlihat bahwa sistem pembayaran yang dilakukan
pada PPPK telah diupayakan untuk menggunakan sistem merit dimana pembayaran
didasarkan pada beban kerja, tanggung jawab jabatan dan resiko pekerjaan. Namun
terdapat perbedaan antara PNS dan PPPK terkait jaminan pensiun dan jaminan hari tua.
Tunjangan-tunjangan yang diterima oleh PPPK diintegrasikan dengan sistem jaminan
social nasional (Pasal 106 Ayat 1 dan 2). Hal ini tentu menimbulkan gap antara PNS dan
PPPK dimana PNS merasa berada di kelas yang lebih baik. Hal ini yang kemudian harus

www.journal.uniga.ac.id

38

Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik
Vol. 06; No. 01; Tahun 2015
Halaman 33-42

Artisa

menjadi focus pemerintah dalam mengelola PPPK untuk memastikan bahwa posisi
sebagai PPPK di instansi pemerintah tetap mendapatkan minat dari masyarakat, tentu
dengan gambaran rentang waktu bekerja yang tidak tetap. Selain itu, potensi konflik yang
berawal dari kecemburuan akan selalu ada dalam konteks hubungan antara PNS dan
PPPK. Perlu mekanisme terbaik dalam pemberian tunjangan kepada PNS dan PPPK agar
tercipta rasa keadilan di dalam ASN yang tentu juga mempertimbangkan kemampuan
organisasi.

3. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Kompetensi
Dalam mengefektifkan kinerja PPPK, maka UU ASN mengakomodasi aturan
tentang adanya penilaian kinerja dan pengembangan kompetensi bagi PPPK. Penilaian
kinerja bagi PPPK ini bertujuan untuk menjamin objektivitas prestasi kerja yang sudah
disepakati berdasarkan perjanjian kerja antara Pejabat Pembina Kepegawaian dengan
pegawai yang bersangkutan (Pasal 100 Ayat 1). Hal-hal yang dinilai mencakup target,
sasaran, hasil, manfaat yang dicapai dan perilaku pegawai dan dilakukan dengan objektif,
akuntabel, partisipatif, terukur dan transparan (Pasal 100 Ayat 2 dan 3). Penilaian kinerja
kepada PPPK dilakukan oleh atasan langsung dari PPPK tersebut juga oleh rekan kerja
setingkat maupun bawahannya. (Pasal 100 Ayat 5 dan 6). Dengan demikian, penilaian
kinerja yang diamanatkan oleh UU ini didasarkan pada penilaian dari semua arah, yaitu
atasan, setingkat dan bawahan. Hal itu baik untuk menjaga objektifitas penilaian kinerja,
harapannya penilaian kinerja dapat menggambarkan kondisi sebenarnya sehingga hasil
penilaian kinerja dapat dipergunakan sebagai mana mestinya.
Untuk PPPK yang telah dinilai kinerjanya namum tidak dapat mencapai target
kinerja yang telah disepakati di dalam perjanjian kerja maka akan diberhentikan dari
PPPK (Pasal 100 Ayat 9). Hal tersebut adalah sebuah langkah yang tegas guna
memastikan bahwa PPPK yang bekerja benar-benar yang dapat menjaga
profesionalitasnya. Harapan lainnya adalah image negative yang melekat pada pegawai
tetap bahwa mereka memiliki kinerja yang rendah dapat sedikit demi sedikit terkikis.
Dengan adanya aturan yang tegas seperti itu maka diperlukan komitmen dalam
pelaksanaannya. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi pihak-pihak pemangku kepentingan
untuk dapat mengawasi pelaksanaannya.
Lalu hasil dari penilaian kinerja salah satunya dapat digunakan untuk
pengembangan kompetensi PPPK. Sesuai dengan Pasal 102 bahwa PPPK diberikan
kesempatan untuk mengembangkan kompetensi yang dilakukan melalui perencanaan
oleh setiap instansi pemerintah setiap tahunnya. Pengembangan kompetensi bagi PPPK
mungkin dapat memberikan angin segar yang berarti pemerintah juga peduli atas
kompetensi PPPK. Namun pengembangan kompetensi yang dilakukan untuk PPPK ini
tidak akan berpengaruh terhadap pengembangan karir PPPK karena memang tidak ada
pola karir yang dapat ditempuh oleh PPPK. Pengembangan kompetensi PPPK ini hanya
digunakan untuk meningkatkan kemampuan PPPK terkait profesionalisme mereka dalam
bekerja.
Selain itu, pengembangan kompetensi bagi PNS mungkin dapat dijadikan sebagai
investasi di bidang SDM yang nantinya PNS tersebut dapat memberikan feed back bagi
organisasi mengingat PNS tersebut tidak akan pergi/berhenti. Lalu bagaimana dengan
pengembangan kompetensi PPPK, apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai investasi

www.journal.uniga.ac.id

39

Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik
Vol. 06; No. 01; Tahun 2015
Halaman 33-42

Artisa

padahal PPPK tidak berstatus tetap atau bisa berhenti sesuai dengan perjanjian kerja.
Dengan kata lain, hasil dari pendidikan dan pelatihan yang merupakan bagian dari
pengembangan kompetensi PPPK akan terbawa oleh PPPK ke tempat lain. Isu tersebut
yang mungkin harus diperhitungkan oleh pemangku kepentingan karena berkaitan
dengan efisiensi organisasi.
4. Pemutusan Hubungan Kerja
PPPK diangkat dan ditetapkan oleh keputusan pejabat Pembina kepegawaian
yang masa kerjanya telah diatur paling singkat satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai
dengan kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja (Pasal 98). Jadi PPPK dapat
diberhentikan ketika sudah habis masa perjanjian kerjanya dan jika berdasarkan hasil
penilaian kinerja PPPK tersebut menujukan hasil yang kurang baik. Di pasal 98
disebutkan batas minimal perjanjian kerja yaitu satu tahun dan dapat diperpanjang, namun
tidak ada batas maksimal waktu perjanjian kerja. Hal ini tentu menimbulkan
kekhawatiran tentang kejelasan masa kerja. Penting dalam memberikan ketegasan tentang
batas maksimal kontrak seorang PPPK. Jika batas maksimal waktu kontrak tidak
ditetapkan secara tegas, dikhawatirkan akan timbul potensi politisasi pada perpanjangan
kontrak PPPK oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu, potensi
penyelewengan tersebut harus diatasi dengan penetapan batas maksimal kontrak kerja
PPPK.
Selain itu, pada pasal 105 A Ayat 1 disebutkan bahwa pemutusan kerja PPPK juga
dapat terjadi karena ada perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang
mengkibatkan pengurangan PPPK. Hal ini juga perlu diperhatikan kejelasannya, apakah
dengan kondisi seperti itu akan dilakukan pemutusan kerja sepihak. Lalu kompensasi apa
yang akan diterima oleh PPPK ketika hal itu terjadi. Kerentanan status PPPK ini tentu
menjadikan PPPK bukanlah sebuah posisi yang menarik bagi masyarakat. Lalu hal ini
juga sedikit banyak akan mempengaruhi motivasi PPPK dalam bekerja. Hal-hal tersebut
lah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk dapat memastikan
keadilan dan kesejahteraan bagi PPPK.
Sistem hubungan kerja yang fleksibel seperti ini bukan hal yang baru, sistem
perburuhan di Indonesia sudah sejak lama menerapkan perjanjian kerja waktu tertentu
yang dilegalkan menurut UU No. 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan. Penggunaan
sistem perjajian kerja waktu tertentu di birokrasi juga bukan tanpa alasan. Sistem
pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS di dalam kerangka PP No. 48 Tahun 2005
menuai kritik karena tidak mencerminkan kebutuhan riil dan tidak sesuai dengan prinsip
merit. Dampaknya adalah anggaran belanja pegawai yang besar yang bahkan
mengalahkan besarnya anggaran untuk pembangunan. Kemudian UU ASN ingin
menerapkan sistem merit yang mengangkat pegawai tidak tetap sesuai dengan kebutuhan
kerja dan keberlanjutan waktu kerjanya didasarkan pada perjanjian kerja dan hasil dari
penilaian kinerja. Apakah dengan adanya sistem perjanjian kerja waktu tertentu di
birokrasi itu berarti kebijakan tentang PPPK di birokrasi sudah mengadopsi sistem pasar
kerja yang fleksibel seperti di swasta. Lalu apakah hal tersebut juga dapat dikatakan
sebagai liberalisasi pasar kerja organisasi publik. Dan selanjutnya apakah PPPK diatur
oleh UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hal tersebut akan dibahas pada
poin selanjutnya.
Hubungan Hukum PPPK

www.journal.uniga.ac.id

40

Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik
Vol. 06; No. 01; Tahun 2015
Halaman 33-42

Artisa

Hal yang penting untuk disoroti selanjutnya adalah tentang hubungan hukum
PPPK. Adanya aturan tentang PPPK di dalam UU ASN maka PPPK tidak diatur dengan
UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan walau sama-sama menggunakan sistem
perjanjian kerja waktu tertentu. PPPK akan diatur dalam ranah publik yaitu oleh UU ASN
yang akan dijabarkan kedalam peraturan pelaksana yang saat ini masih diformulasikan.
PP yang akan mengatur tentang PPPK ini diharapkan dapat mengatur secara jelas dan
tegas agar nantinya tidak menimbulkan persoalan di masa depan.
Secara konsep, status hukum PNS dan PPPK sudah jelas berbeda, PNS adalah
seseorang yang memiliki kekuatan hukum untuk mengambil kebijakan berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya. Sedangkan PPPK adalah pegawai pemerintah yang
memiliki keahlian khusus dan bertugas sebagai pelaksana. Ridwan (2013:60)
memaparkan bahwa PNS memiliki hubungan dinas publik dan mengsyaratkan adanya
mono loyalitas. PPPK memilliki hubungan hukum yang bersifat keperdataan atau
hubungan hukum yang bersifat kontraktual. Dengan demikian yang membedakan antara
PNS dan PPPK adalah hubungan hukumnya. Dengan adanya perbedaan hubungan hukum
tesebut maka tentu aturan yang berlaku bagi PNS tidak berarti berlaku juga untuk PPPK.
Sehubungan dengan hubungan hukum PPPK yang sebatas hubungan secara
perdata maka memang diperlukan kejelasan dari sisi aturan dan kesepakatan dari sejak
rekrutment sampai bagaimana hubungan kerja berakhir. Selain itu, perlu juga ditetapkan
secara jelas dari awal mengenai jenis pekerjaan dan hak serta kewajibannya. Dengan
begitu ada kepastian secara hukum bagi PPPK.
Di dalam UU ASN ini ternyata dimungkinkan juga bagi PNS yang sudah pensiun
untuk pindah menjadi PPPK dengan syarat tertentu seperti memiliki kompetensi yang
dibutuhkan dan tidak melampaui batas usia maksimal. Hal ini juga ditegaskan oleh
Prasojo (2014)1 bahwa orang yang sudah diatas 60 tahun atau sudah pensiun bisa ke PPPK
karena kemampuannya. Adanya aturan seperti itu menimbulkan kekhawatiran tentang
terhambatnya regenerasi pada organisasi karena yang bekerja di tempat tersebut hanya
orang-orang yang sama. Apakah hal itu juga telah memperhatikan keadilan bagi PPPK
yang berarti ruang bagi masyarakat untuk menjadi PPPK akan berkurang karena terisi
oleh PNS yang pindah menjadi PPPK.
Kesimpulan
Tujuan utama dibutuhkannya PPPK di birokrasi adalah untuk membantu PNS
dalam mengerjakan tugasnya demi optimalisasi kinerja birokrasi. Maka, keberadaan
PPPK ini diupayakan untuk menciptakan aparatur yang kompetitif dan professional.
Namun sebenarnya keberadaan pegawai tidak tetap ini adalah buah dari ketidakmampuan
sebuah sistem dalam menciptakan pegawai (tetap) yang dapat mengerjakan semua beban
organisasi. Keberadaan PPPK ini walaupun dapat diakui bisa membantu beban organisasi
namun permasalahan tidak bisa lepas darinya. Lalu bagaimana UU ASN ini dapat
memastikan bahwa PPPK dapat berkontribusi positif terhadap perwujudan reformasi
birokrasi. Hal itu yang tentu kita semua tunggu. Saat ini terdapat 24 peraturan pelaksanaan
UU ASN sedang disiapkan oleh Pemerintah yang terdiri atas 19 Peraturan Pemerintah, 4

1

Disampaikan di acara Diseminasi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara di Universitas
Indonesia, tanggal 17 Maret 2014. Dilihat di: http://reformthereformers.org/download/fieldreport/Laporan_Kegiatan_Diseminasi_UU-5-2014_EM-1.pdf.

www.journal.uniga.ac.id

41

Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik
Vol. 06; No. 01; Tahun 2015
Halaman 33-42

Artisa

Peraturan Presiden dan 1 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi.
Sistem merit yang diterapkan di dalam UU ASN ini membuka harapan baru untuk
mewujudkan birokrasi yang berkinerja baik karena SDMnya yang berkualitas. Namun semerit apapun sebuah sistem jika berhadapan dengan situasi yang tidak ideal maka
pelaksanaannya akan sulit mencapai harapan. Kita tidak boleh melupakan bahwa teknikteknik yang berhasil diterapkan di swasta atau perusahaan tidak berarti akan berhasil juga
jika di tetapkan pada organisasi publik. Pemerintah harus dapat merespon dan peka
terhadap isu-isu yang berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan untuk dapat menarik
orang-orang terbaik menjadi PPPK.
Tantangan bagi pemerintah untuk dapat membagi jenis pekerjaan yang harus
dikerjakan baik oleh PNS maupun PPPK secara jelas dan adil. Lalu pemerintah juga harus
menyiapkan reward dan punishment bagi PPPK sehingga kinerjanya dapat terus
terkendali. Selain itu perlu ada monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan untuk
mengetahui perbaikan-perbaikan apa saja yang dibutuhkan di dalam manajemen PPPK.
Tujuan akhirnya adalah terwujudnya SDM yang berkualitas yang mampu membuat
kinerja birokrasi optimal sehingga pembangunan dan pelayanan publik dapat
terselenggara dengan baik juga.

Daftar Pustaka
Hayat. 2013. Profesionalitas dan Proporsionalitas: Pegawai Tidak Tetap dalam Penilaian
Kinerja Pelayanan Publik. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Vol. 7, No. 2,
November 2013 Hal. 24-39.
Hidayat. 2014. Analisis Kebijakan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Makalah. Magister Administrasi Pemerintahan Daerah, IPDN, Bandung.
Purwoko, Anang P. 2013. Pegawai Tidak Tetap: Tinjauan Literatur sebagai Perbandingan
dengan Praktek pada Organisasi Publik di Indonesia. Jurnal Kebijakan dan
Manajemen PNS Vol. 7, No. 2, November 2013 Hal. 12-23.
Ridwan. 2013. Kedudukan Hukum Pegawai Tidak Tetap di Lingkungan Instansi
Pemerintah. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Vol. 7, No. 2, November 2013
Hal. 54-65.
Simanungkalit, JHUP. 2013. Penataan Pegawai Tidak Tetap di Lingkungan Instansi
Pemerintah. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Vol. 7, No. 2, November
2013. Hal 40-43.
Alfie,

Imam. 2013. Memastikan
__________:____________

Perubahan

yang

Nyata

dari

UU

ASN.

Laporan Diseminasi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara di Universitas
Indonesia, tanggal 17 Maret 2014.

www.journal.uniga.ac.id

42