Strategi Komunikasi Antar Anggota Dalam

Strategi Komunikasi Antar Anggota Dalam Kelompok Penyandang
Tunarungu (Studi Kualitatif Deskriptif Komunikasi Verbal – Non verbal
Antar Pribadi Pada Anggota Tunarungu Di Malang)
Oleh: Ade Nugroho Novia Pradana, S. Ikom
Pembimbing: Mondry dan Isma Adila
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Abstrak
Interaksi merupakan kebutuhan pokok manusia dalam bersosialisasi dengan
lingkungan hidupnya. Pada penelitian ini interaksi tidak hanya dilakukan oleh
masyarakat normal, tetapi interaksi juga dilakukan oleh para penyandang
tunarungu. Mereka melakukan komunikasi dengan cara khusus agar pesan yang
terjadi tidak kehilangan maknanya secara utuh. Cara-cara ini dibentuk sesuai
pengalaman masing-masing pribadi melalui pendekatan teori penetrasi sosial.
Dari awal pertemuan hingga terbentuk kelompok tunarungu kota Malang cara
pendekatan berbeda-beda hingga saling menemukan kenyamanan komunikasi
pada tujuan saling keterbukaan komunikasi. Melalui proses pendekatan hubungan
ini, peneliti ingin melihat cara-cara yang berulang dan selalu digunakan hingga
menjadi strategi komunikasi bagi penderita tunarungu. Strategi tersebut dilihat
dari interaksi sehari-hari pada anggota tunarungu kota Malang. Karena
keterbatasan interaksi maka peneliti melihat pada jenis komunikasi nonverbal,

karena secara fungsional kemampuan verbal mereka berkurang jika dibandingkan
dengan orang normal. Pada komunikasi nonverbal ini, penyandang tunarungu
dapat mencari cara komunikasi yang lebih mudah, yaitu melalui media-media
bantu komunkasi. Media tersebut mencul dalam bentuk tulisan, aplikasi gadget
seperti chatting, simbol-simbol, bahasa isyarat khusus hingga pantomim.
Penggunaan media-media tersebut menjadi bisa dipermudah dengan adanya
bantuan teknologi dan faktor kebiasaan masing-masing anggota. Melalui
penjelasan deskriptif, peneliti menjelaskan kemampuan dan keunggulan dari
tujuan strategi media-media interaksi tersebut dipakai oleh para penyandang
tunarungu. Dengan adanya strategi komunikasi tersebut diharapkan dapat
membantu kemudahan pemaknaan pesan interaksi dari para penyandang
tunarungu.
Kata Kunci : Strategi Komunikasi, Komunikasi Antar Pribadi, Tunarungu.
langsung baik verbal maupun
nonverbal. Komunikasi interpersonal
atau komunikasi antar pribadi
merupakan komunikasi yang terjalin
atau berlangsung antara dua orang
atau sekelompok kecil orang
(Mulyana, 2008, h.81).

Komunikasi yang dilakukan manusia
secara tatap muka baik verbal

Pendahuluan:
Salah satu jenis komunikasi yang
biasa digunakan sehari-hari adalah
komunikasi antar pribadi atau
interpersonal
communication,
merupakan komunikasi antara orangorang secara tatap muka yang
memungkinkan setiap pesertanya
menangkap reaksi orang lain secara

1

2

maupun
nonverbal
akan

memudahkan orang-orang yang
melakukannya. Manusia adalah
makhluk paling sempurna yang
diciptakan Tuhan. Namun, tidak
sedikit dari manusia yang memiliki
kekurangan, masalah atau gangguan
pada diri mereka. Terutama pada
panca indera yang menjadi senjata
utama manusia dalam berinteraksi
dengan sekitar atau lingkungannya
(Kuswarno, 2011, h.2). Komunikasi
yang merupakan kebutuhan penting
dalam kehidupan manusia tidak
dibatasi pada golongan tertentu.
Kebutuhan ini diperlukan oleh setiap
manusia mulai dari ia dilahirkan
hingga akhir masa hidupnya. Sebagai
kebutuhan dasar, komunikasi juga
diperlukan oleh golongan yang
memiliki keterbatasan dalam hal

pendengaran seperti tunarungu.
Komunikasi terjadi sebagai proses
interaksi sosial yang digunakan
orang untuk menyampaikan pesan
yang merupakan citra mereka
mengenai dunia dalam bentuk
lambang-lambang
tertentu,
dan
diterima oleh pihak lain yang
menjadi sasarannya (Effendy, 2007,
h.10)
Mengacu pada model Berlo dalam
(Suranto,2011
h.15),
saluran
komunikasi berhubungan dengan
pancaindera, yaitu pengelihatan,
pendengaran, peraba, penciuman,
dan perasa. Dengan demikian,

pancaindera
sebagai
saluran
komunikasi berpengaruh terhadap
efektif tidaknya proses komunikasi.
Jika salah satu dari saluran tersebut
terganggu,
dapat
dipastikan
terganggu pula proses komunikasi.
Untuk
itu,
seseorang
yang
kehilangan fungsi alat indera
pendengarannya atau yang biasa

dikenal dengan sebutan tunarungu
akan mengalami hambatan yang
lebih besar dalam proses komunikasi

verbal.
Tunarungu adalah orang yang
mengalami gangguan pada organ
pendengaran
sehingga
mengakibatkan ketidak mampuan
mendengar, mulai dari tingkatan
ringan sampai pada berat sekali yang
diklasifikasikan pada tuli (deaf) dan
kurang dengar (hard of hearing )
(Somantri, 2007, h.3). Meskipun
memiliki
kekurangan
dalam
mendengar, tunarungu juga tidak
dapat
tidak
berkomunikasi.
Tunarungu
menggunakan

komunikasi khusus yaitu dengan
isyarat, gerak bibir, gerak jari,
mimik, gesture serta pemanfaatan
sisa pendengarannya dengan alat
bantu pendengaran (hearing aid ),
sehingga cukup sulit bagi orangorang yang normal untuk berinteraksi
dengan penyandang tunarungu.
Menurut DeVito (2007, h.5),
komunikasi antar pribadi dibedakan
menjadi dua menurut sifatnya, yaitu
Dyadic communication (komunikasi
dua arah) dan Small group
communication
(komunikasi
kelompok). Karakteristik komunikasi
kelompok adalah pesan disampaikan
dari satu atau lebih komunikator
terhadap sekelompok audien, proses
komunikasi
berlangsung secara

kontinyu dan secara tegas bisa di
bedakan
komunikator
dan
komunikannya. Sama hal nya dengan
sifat komunikasi antar pribadi pada
bagian komunikasi kelompok diatas
maka peneliti mengaitkan dengan
kelompok yang berisikan anggota
para penyandang tunarungu tersebut.
Saat ini banyak terdapat berbagai
kelompok yang berisi orang-orang

3

sebagai anggota yang mempunyai
satu visi dan misi. Begitu juga
dengan penyandang tunarungu di
kota Malang, peneliti menemukan
satu kelompok tunarungu yang

berkumpul
bersama
guna
mendapatkan
kenyamanan
saat
bertemu dan bercengkrama dengan
sesamanya.
Para
penyandang
tunarungu ini meluangkan waktu
untuk berkumpul dengan sesamanya,
berkumpul
untuk
saling
bercengkrama,
saling
bertukar
pikiran bahkan tak jarang saling
mengungkapkan

masalah-masalah
mereka. Berangkat dari kesulitankesulitan
penyandang
dalam
berkomunikasi dengan orang normal
di lingkungan rumah maupun
pekerjaan
pulalah,
mereka
berinisiatif untuk mencari sesama
penyandang untuk mencari teman
ngobrol dan berbagi secara nyaman.
Peneliti menganggap menarik untuk
membahas lebih dalam mengenai
komunikasi antar pribadi tunarungu
karena peneliti ingin mengetahui
bagaimana strategi komunikasi yang
dilakukan dalam situasi atau kondisi
dimana terdapat hambatan pada saat
berlangsungnya komunikasi tersebut.

Terdapat beberapa penelitian yang
mengangkat tema ini, namun peneliti
beranggapan
bahwa
adanya
kelompok yang intensif bertemu dan
adanya
kenyamanan
didalam
kelompok membuat peneliti memilih
kelompok tunarungu tersebut sebagai
bagian
dari
penelitian
ini
dikarenakan peneliti menganggap
kelompok tunarungu ini termasuk
kedalam kelompok yang unik. Setiap
anggota kelompoknya melakukan
komunikasi dengan cara mereka
sendiri, dan menggunakan cara
berkomunikasi yang berbeda dari

kelompok
orang-orang
normal
lainnya. Kelompok ini berisi anggota
sesama penyandang tunarungu yang
berkumpul, bertatap muka langsung
dalam waktu tertentu secara teratur
untuk membicarakan banyak hal
mengenai kegiatan mereka masingmasing, pekerjaan, hingga saling
bertukar pikiran apabila terdapat
permasalahan
pribadi
diantara
penyandang tunarungu tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teori penetrasi sosial
untuk mengetahui apakah strategi
komunikasi
yang
digunakan
terbentuk dari adanya pengembangan
hubungan antar anggota kelompok
tersebut. Sehingga pandangan teori
penetrasi sosial digunakan peneliti
sebagai acuan untuk menentukan
sejauh mana mereka berkomunikasi
antar anggota didalam kelompok.
Dengan adanya pertemuan tersebut
maka, peneliti tertarik untuk meneliti
cara berkomunikasi baik secara
verbal maupun nonverbal dari
penyandang tunarungu, saat didalam
kelompok maupun diluar kelompok
sehingga dapat menggambarkan
strategi komunikasi yang digunakan
pada kelompok tersebut. Dengan
begitu, peneliti menyusun judul
skripsi, Strategi Komunikasi Antar
Anggota
Dalam
Kelompok
Penyandang
Tunarungu
(Studi
Kualitatif Deskriptif Komunikasi
Verbal – Non verbal Antar Pribadi
Pada
Anggota
Tunarungu Di
Malang).
Metode Penelitian:
Jenis penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan tipe penelitian
deskriptif,
merupakan
prosedur
penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis

4

maupun lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati (Moleong,
2007, h.4). Permasalahan dalam
penelitian kualitatif bertumpu pada
suatu fokus agar penelitian dapat
dibatasi dan memenuhi masuknya
informasi
yang
dibutuhkan
(Moleong, 2007, h.7). Dalam
penelitian ini penulis berfokus
kepada
penggambaran
strategi
komunikasi yang dilakukan melalui
komunikasi verbal dan nonverbal
yang dilakukan antar anggota
kelompok tunarungu tersebut baik
saat bertemu dan saat tidak bertemu,
sehingga
komunikasi
antar
penyandang dapat dikatakan berhasil
dan efisien dengan penyampaian dan
penerimaan pesan yang baik. Dalam
penelitian ini, peneliti menentukan
informan dengan menggunakan
teknik sampling purposif (purposive
sampling) karena tidak semua orang
memiliki kesempatan yang sama
untuk menjadi informan dalam
penelitian ini. Memilih informan
menggunakan teknik ini dilakukan
dengan pertimbangan tertentu dari
peneliti yang disesuaikan dengan
kebutuhan
dalam
penelitian
(Kriyantono, 2006, h.156). Ada
beberapa informan diantaranya,
Informan kunci (key informan) yaitu,
pencetus terbentuknya kelompok
tunarungu ini yaitu bapak Yudiar.
Kedua, Informan Utama, mereka
yang terlibat langsung di dalam
kelompok secara keseluruhan yaitu,
Rina, Widodo dan Lita. Ketiga,
Informan
Pendukung
ketua
GERKATIN ( Gerakan Untuk
Kesejahteraan Tunarungu Indonesia )
cabang Kota Malang yaitu, Ibu
Sumiati.
Sumber data penelitian kualitatif
dapat berupa manusia, peristiwa dan

tingkah laku, tempat atau lokasi,
dokumen dan arsip, serta berbagai
benda lain (Sugiyono, 2008, h.58).
Sumber data utama dalam penelitian
kualitatif adalah tindakan dan katakata,
selebihnya
adalah
data
tambahan seperti dokumen, dan lainlain (Moleong, 2007, h.15). Jenis
Data, Data primer yang digunakan
adalah
wawancara
mendalam
(indepth interview) kepada anggota
tuna rungu. Data sekunder berasal
dari beberapa dokumen seperti bukubuku
pendukung
mengenai
tunarungu, literature komunikasi
antarpribadi, dan sumber internet.
Pengumpulan data dapat dilakukan
dalam berbagai sumber, dan cara.
Dalam penelitian ini
penulis
melakukan
pengumpulan
data
dengan
menggunakan
berbagai
sumber data yaitu wawancara,
dokumentasi, dan observasi. Pada
penelitian kualitatif, istilah sampel
disebut sebagai satuan kajian atau
unit analisis data (Moleong, 2007,
h.223). Unit analisis data dalam
penelitian ini adalah pernyataan yang
dikemukakan oleh informan kunci,
informan utama (tiga anggota dari
kelompok penyandang tunarungu di
malang tersebut), dan informan
pendukung. Observasi dilapangan
dilakukan peneliti guna mendukung
data dari para informan.
Teknik
analisis
data
yang
dipergunakan dalam penelitian ini
adalah teknik analisis data kualitatif.
Salah satu teknik analisis data yang
digunakan yaitu, tiga rangkaian
terdiri dari reduksi data, penyajian
data, kesimpulan dan verifikasi
(Miles and Huberman, 1992, h.146).
Ketiga komponen diatas merupakan
bagian yang saling berinteraksi
dengan pengumpulan data sebagai

5

pegangan utama. Apabila data yang
dihasilkan belum mencukupi dalam
ketiga bagian tesebut, peneliti akan
mengumpulkan data kembali dengan
menyusun penggalian data yang
baru, sehingga diperoleh hasil yang
pas (Denzin & Lincoln, 2009, h.592).
Sehingga untuk melengkapi analisis
data penelitian ini juga menggunakan
Matriks
Gerombol
Konseptual
Empiris, yaitu selama pengumpulan
data atau analisis awal, kita mungkin
menemukan
bahwa
informaninforman yang menjawab pertanyaan
secara berbeda mengikat pertanyaan
menjadi satu atau memberikan
tanggapan yang sama (Miles and
Huberman, 1992, h.146). Penelitian
ini menggunakan model triangulasi
sumber dan triangulasi metode,
dilakukan untuk pengecekan data
dari
berbagai
sumber,
yaitu
wawancara yang dilakukan kepada
informan kunci, informan utama dan
informan pendukung. Dan triangulasi
metode digunakan karena peneliti
melakukan lebih dari satu teknik
pengumpulan data yaitu wawancara
dan observasi.
Hasil Dan Analisis Data
Hasil Tahapan Pendekatan Antar
Personal, melalui hasil reduksi
wawancara,
peneliti
mengelompokkan cara pendekatan
interaksi antar anggota melalui
beberapa tahap. Tahapan ini didapat
dari penuturan data yang sesuai
dengan
permasalahan
pada
penelitian. Pada pembahasan ini
peneliti menggunakan teori penetrasi
sosial
untuk
mengelompokkan
tingkatan
pendekatan
hingga
mencapai keterbukaan menurut West
dan Turner. Dari proses pendekatan
antar pribadi tersebut, peneliti akan

dapat menemukan cara-cara individu
dalam berinteraksi untuk kemudian
dilihat strategi komunikasi masingmasing
anggota
dalam
menyampaikan pesan mereka.
Tahapan
Pembentukan
Komunikasi Antar Tunarungu
Malang Melalui Proses Penetrasi
Sosial yaitu, Tahapan Superfisial,
dalam penetrasi sosial terdapat
lapisan kedekatan, dalam tahap ini
lazim disebut sebagai tahapan
superfisial (West dan Turner : 2014,
hal.197). Awalnya hubungan akan
lebih cepat akrab, jika kita mulai
membicarakan dari lapisan terluar
dari diri kita. Analisis atau membaca
situasi perlu diperhatikan dalam
membina hubungan yang baik. Tidak
semua orang berhasil dengan cara
yang sama, tergantung pribadi
masing-masing. Berdasarkan hasil
wawancara tersebut kelompok ini
terbentuk juga karena hasil dari
pendekatan dimana hingga tahap
saling dekat dan terbuka. Yudiar
menjelaskan bahwa kecocokan dan
kedekatan dengan Widodo pada
awalnya di sebabkan oleh perasaan
Yudiar yang merasa Widodo masuk
dalam kriteria sebagai teman.
Kesamaan karakter antara Widodo
dan Yudiar terdapat beberapa sifat,
antara lain loyal terhadap teman,
setia kawan, saling menghargai
pribadi masing-masing dan suka
bercanda. Menurutnya dari kesamaan
sifat itu, obrolan antar anggota ini
menjadi lebih mudah dipahami atau
nyambung.
Dalam
tahap
ini
hubungan bisa dikatakan memasuki
tahap
prediktibilitas
dimana
hubungan
berkembang
secara
sistematis dan dapat diprediksi
kelangsungannya ( West dan Turner :
2014,
hal.
198).
Kedua,

6

Prediktibilitas, beberapa kasus
adalah sering bercanda terhadap
lelucon yang mereka ketahui melalui
televisi, misalnya ketika melihat
tayangan komedi Yudiar sering
menceritakan
kembali
kepada
Widodo
saat
mereka
sedang
berbicara dalam pertemuan langsung
kelompok. Selain itu, hobi menjadi
salah satu kemudahan dalam
berkomunikasi, kebetulan Yudiar dan
Widodo gemar melihat bola. Berawal
dari pengetahuan melihat tayangan
bola, Widodo kadang memulai
pembicaraan dimulai dari obrolan
mengenai hasil-hasil sepakbola yang
dia
tonton dalam pertemuan
semalam.
Yudiar
menganggap
hubungannya dengan Widodo dan
Lita adalah sebuah persahabatan
dimana kesamaan mereka akan
membuat kemudahan pertemanan di
masa yang akan datang. Tidak akan
merugikan secara mental dan meteri
jika memulai hubungan pertemanan
tersebut.
Proyeksi
ini
memperlihatakan dinamis suatu
hubungan yang bisa memaksa
individu untuk saling berkembang
antara satu dengan yang lain. Terlihat
dari hobi dan selera humor yang
sama, sehingga perkataan mereka
akan
mempermudah
interaksi.
Setelah prediksi suatu hubungan
dalam penetrasi sosial juga terkadang
mengalami
hal
yang
disebut
depenetrasi. Ketiga, Depenetrasi,
dalam tahapan penetrasi sosial
depenetrasi bisa diawali dengan
konflik atau penarikan diri (West dan
Turner : 2014, hal. 198). Konflik
juga merupakan tahapan untuk
memperdalam lapisan kepribadian
seseorang. Tahapan lapisan dimana
mereka mulai memiliki hubungan
yang stabil, kebiasaan mereka untuk

menjalin keakraban kadang dapat
menimbulkan konflik. Pada suatu
ketika salah paham pernah terjadi
diantara mereka. Waktu itu ibu Lita
sedang tidak enak badan, tetapi ibu
Rina mencari teman untuk belanja
keluar dan mencari teman ngobrol.
Karena tidak enak hati ibu Lita ikut
atas ajakannya untuk jalan keluar.
Namun, karena sedang sakit,
tanggapan ibu Lita tidak seperti
biasanya, hanya sekedar menjawab
dan berbicara seadanya. Ibu Rina
merasa sedikit aneh dan kaku dengan
hal itu akhirnya belum mendapat
barang yang dicari ibu Rina sudah
mengajak Ibu Lita untuk pulang ke
rumah masing-masing.Membenarkan
hal itu Rina memang menjelaskan
bahwa kejadian tersebut memang
pernah terjadi. Sampai beberapa hari
mereka tidak saling menghubungi
dan hanya berbicara seperlunya.
Akhirnya mereka tahu alasan
masing-masing setelah suami mereka
saling bercerita satu sama lain.
Dalam kejadian itu Lita menjelaskan
kalau ada apa-apa lagi tolong untuk
lebih terbuka lagi, sehingga tidak
perlu ada salah paham. Lita
mengakui karena permintaan maaf
dari bu Rina dan diminta untuk lebih
terbuka, saat itu dia merasa memang
lebih terbuka dan mulai mengenal
sifat pribadi satu sama lain. Bahkan
permasalahan alasan kenapa Lita
bercerai dengan suaminya yang
pertama juga diceritakan kepada
Rina, karena menurutnya sikap yang
ditunjukkan temannya memang
sudah cukup baik dan bisa dipercaya.
Karena tergabung dalam satu
kelompok tunarungu di Malang,
selanjutnya ibu Rina dan Ibu Lita
semakin kompak dalam kelompok
ini. Mereka sering mengadakan acara

7

dan pertemuan santai selain hari
Minggu. Salah satu program yang
mereka buat adalah mengadakan
arisan antar anggota tunarungu.
Arisan ini bertujuan untuk memberi
waktu untuk berkumpul satu sama
lain untuk lebih mendekatkan pribadi
masing-masing. Ada kejadian yang
menunjukkan sistem reward dalam
teori penetrasi sosial telah tercapai
dimana suatu waktu ibu Lita bingung
mencari warna kerudung yang pas
untuk acara arisan karena telah
ditentukan harus memakai warna
tertentu, namun ibu Rina membantu
ibu Lita. Setelah konflik yang terjadi
antara Lita dan Rina, mereka saling
lebih terbuka satu antara lainnya. Hal
ini terjadi karena konflik tersebut
secara
tidak
langsung
telah
memberitahu tentang ketidaksukaan
masing-masing hubungan, sehingga
ketidaksukaan tersebut lebih baik
diungkapkan untuk menghindari
konflik.
Selanjutnya Rina lebih berhati-hati
untuk menanggapi perkataan dari
Lita, dan Lita belajar untuk tidak
berburuk sangka dan sensitif ketika
terjadi hal yang kurang diluar
harapan atau kebiasaan. Pada level
ini setiap informasi sudah bisa lebih
dicerna
oleh
masing-masing
individu. Begitu juga yang telah
dialami Widodo dan Yudiar, setalah
beberapa
kali
taruhan
dan
mengetahui bahwa mereka saling
menepati janji, maka kepercayaan
untuk saling terbuka semakin
terbentuk antara satu dengan yang
lain. Hal ini membutuhkan waktu
yang tidak singkat dan membutuhkan
beberapa level untuk sampai ke tahap
ini, termasuk konflik antar individu.
Dalam penetrasi sosial, Jika mereka
mampu melewati tahapan konflik,

maka tahapan penetrasi dapat
dikatakan berhasil namun jika
mereka tidak dapat melalui konflik
tersebut maka penetrasi dapat
dikatakan gagal dan akibatnya
mereka akan semakin menjauh. Dan
dalam tahapan keempat anggota ini,
maka dapat dikatakan berhasil
melewati tahapan penetrasi sosial
dan mulai saling terbuka. Dan
Keempat,
Keterbukaan
diri,
setelah saling memahami akibat
dampak dari depentrasi maka setiap
individu akan berusaha mengevaluasi
sehingga lebih memahami karakter
masing-masing untuk lebih saling
terbuka. Dalam tahap keterbukaan
diri (Self Disclosure) Altman dan
Taylor
menggambarkan
bahwa
manusia
memiliki
lapisan
kepribadian seperti bawang merah,
jika kita mengelupas kulit terluar
bawang, maka masih ada lapisanlapisan lainnya. Lapisan terluar
kepribadian seseorang adalah apa
yang kita bisa dilihat oleh publik.
Semakin dalam lapisan yang kita
kupas maka dari situlah kita bisa
mengukur sejauh mana penetrasi
yang dapat dilakukan oleh masingmasing orang. Keterbukaan diri
merupakan tahapan menuju lapisan
terdalam misalnya dengan mulai
cocoknya mereka saat bertukar
pengalaman, kesamaan hobby, dan
kecocokan sifat dari masing-masing
anggota kelompok. Menceritakan
pengalaman ini membuat obrolan
bisa meluas namun, hubungan emosi
bisa lebih semakin dekat, menurut
Widodo saat diwawancara oleh
peneliti. Dari beberapa hal yang bisa
diajak mengobrol lebih lanjut secara
garis besar Widodo mempunyai
kriteria dalam mencari teman atau
lawan bicara yang baik.

8

Analisis
Strategi
Media
Komunikasi
Penyandang
Tunarungu, Strategi komunikasi
yang peneliti lihat adalah bagaimana
cara para penyandang tunarungu
tersebut
berkomunikasi
dengan
anggota lainnya. Penggunaan media
komunikasi ternyata menjadi alat
utama mereka untuk berinterkasi di
antara anggota dalam kelompok
maupun dengan orang-orang diluar
kelompok
yang
memang
dimaksudkan untuk mempermudah
interaksi (strategi) dengan alat bantu.
Dalam
memilih
media
berkomunikasi
para
anggota
tunarungu tidak semudah orangorang normal menggunakan media
komunikasi. Mereka harus memilih
media yang mudah dipahami semua
anggota
tunarungu
dan
mempemudah komunikasi untuk
mengakrabkan diri. Dari proses
mereka melakukan pendekatan sosial
yang dilihat dari teori penetrasi
sosial, peneliti melihat beberapa
media yang sering digunakan oleh
anggota tunarungu untuk saling
berinteraksi tanpa merasa kesulitan
untuk berkomunikasi. Beberapa
media dan cara berinteraksi tersebut
antara lain adalah :
a. Bahasa Isyarat
Kelompok
tunarungu
ini
menggunakan bahasa isyarat yeng
disebut dengan Bisindo (Bahasa
Isyarat Indonesia). Bahasa isyarat
yang
digunakan
ini
tidak
menggunakan bahasa isyarat baku
kata per kata seperti SIBI (Sistem
Isyarat Bahasa Indonesia), tetapi
lebih pada pengganti kata kerja.
Karena perbedaannya, SIBI lebih
sulit diterapkan karena banyak ejaan
lama yang sulit diadaptasikan artinya
dengan isyarat, sedangkan Bisindo

pemaknaannya disesuaikan dengan
budaya dan adat masing-masing
daerah, lebih mengutamakan isyarat
kesepakatan sosial. Seperti ucapan
“Halo” cukup melambaikan tangan
saja kepada lawan bicara. Ucapan “
Assalamu’alaikum

dengan
mengacungkan tiga jari di atas
kepala, tepat di dahi sebelah kanan.
Untuk penggunaan kata baku isyarat
memang sudah digunakan seperti
layaknya bahasa verbal biasa. Pada
kelompok penyandang tunarungu
Malang bahasa isyarat baku tidak
lazim digunakan karena memang
penguasaan
individu
mengenai
bahasa isyarat baku tidak terlalu
dikuasai. Karena tingkat penguasaan
bahasa isyarat yang sangat teknis dan
rumit,
kebanyakan
anggota
kelompok peyandang
tunarungu
tidak menguasai bahasa ini secara
formal. Informan pendukung Sumiati
ketua Gerkatin (Gerakan untuk
Kesejahteraan Tunarungu Indonesia)
cabang Malang mengatakan, setiap
tunarungu bahkan bisa memiliki gaya
sendiri dalam berkomunikasi, bahasa
isyarat baku hanya digunakan
sebagai patokan dasar dalam
interaksi, namun perkembangannya
dikembalikan
pada
kebiasaan
masing-masing penyandang.
b. Tulis
Yudiar dan Rina selalu membawa
buku catatan kecil dan pena untuk
menulis kata-kata. Hal ini digunakan
ketika ada kata-kata yang tidak bisa
dilakukan dengan bahasa isyarat.
Seperti menerangkan merek suatu
produk, istilah asing atau bahasa
Inggris, nama-nama orang dan nama
tempat, film, musik dan lain
sebagainya. Bahasa tulis mereka
gunakan umumnya berupa tulisan
hanya per kata. Kata tersebut tidak

9

berupa SPOK ( Subyek Predikat
Obyek Keterangan ) tetapi hanya
berupa kata sifat atau kata benda
saja. Misalnya ketika menjelaskan
warna, bau atau rasa mereka lazim
menggunakan
tulisan.
Warna
“putih”, “biru”, “coklat” dan lain-lain
ketika meminta pendapat tentang
warna
baju
dan
kerudung.
Penggunaan tulisan ini lebih mudah
karena kata sifat sulit digantikan
dengan simbol-simbol lain. Tingkat
keakuratan makna lebih jelas ketika
semua hal dapat dibaca dan
dimengerti orang lain. Kejadian
sehari-hari penggunaan kata sifat
yang ditulis, ketika bertanya yang
ditemui oleh peneliti adalah “Kamu
tau baju warna biru kemarin? “,
“Kalo masak jangan terlalu asin !”,
dan “ Tolong belikan pengharum
ruangan yang bau bunga Melati!” .
Kata yang dicetak tebal hanyalah
ditulis satu kata selain diiringi
dengan gerakan tubuh, kata itu
adalah Biru, Asin dan Melati. Pak
Widodo dan Pak Yudiar pada
awalnya menggunakan media tulis
dengan kertas, begitu juga dengan
anggota tunarungu yang lain. Sejak
kecil ketika mereka belajar selalu
memanfaatkan media tulis dengan
kertas baik untuk catatan sendiri
ataupun media komunikasi dengan
orang lain. Bahkan Ibu Lita masih
sering menggunakan memo sebagai
komunikasi dengan orang lain, selalu
membawa catatan kecil untuk
memberi tanda atau sekedar menulis
beberapa kata kepada orang lain.
Namun seiring kemajuan teknologi,
mulai berdampak kepada masingmasing anggota. Pada saat itu semua
sudah menggunakan handphone
walaupun secara fungsi masih
digunakan untuk sms seperti

layaknya fungsi handphone sebagai
komunikasi. Dari mulai saat itu, sms
mulai sangat digemari untuk
berkomunikasi antar anggota.
c. Pantomim
Penggunaan bahasa isyarat tidak
terlalu sering menggunakan bahasa
isyarat baku Indonesia. Tetapi
mereka lebih menekankan pada
intonasi walau pengucapan oral
terkadang kurang jelas. Lebih sering
menggunakan simbol dari gerakan –
gerakan. Seperti menggesek-gesek
telapak tangan bisa berarti “Gadget”
mereka. Gerakan mengunci pintu,
seperti mengepal kunci ketika
mempertanyakan dimana menaruh
kuncinya. Gerakan-gerakan ini lazim
mengarah pada simbol yang disebut
pantomim. Gerakan menirukan kata
kerja dan kata sifat ini merupakan
kegiatan yang sering dilakukan oleh
pasangan suami istri tunarungu.
Tujuan melakukan
ini
untuk
menggambarkan
maksud
yang
diinginkan oleh pembicara kepada
lawan bicara tanpa menggunakan
bahasa isyarat. Misal ketika ibu Rina
berbicara dengan suaminya “ Aku
mau setrika baju” maka dia berusaha
memperlihatkan posisi dan gerakan
tangan maju mundur layaknya
memegang setrika. Begitu pula
ketika dia mau memasak, maka
gerakan yang diperlihatkan adalah
seolah
memegang
wajan
penggorengan dan spatula dengan
gaya sedang menggoreng sesuatu.
d. Simbol
Simbol–simbol sederhana sering
digunakan untuk mempercepat dan
mempermudah komunikasi. Makna
tidak perlu dijelaskan secara panjang
lebar tetapi cukup satu kali simbolik
dapat
dimengerti.
Seperti
mengepalkan
tangan
sembari

10

bergerak seakan tangan memegang
tas jinjing sembari tangan satunya
menunjuk pintu keluar hal ini berarti
menerangkan jika ingin pergi kerja
dulu. Bagi Rina jika ingin pergi
belanja atau membeli keperluan
rumah tangga, menunjukkan tas
belanja sambil menunjuk kulkas,
berarti dia ingin pergi belanja ke
pasar atau supermarket. Contoh
mudah adalah ketika bilang ya atau
setuju itu hanya menganggukan
kepala, dan jika ada perkataan tidak
atau bukan maka hanya akan
menggelengkan
kepala
saja.
Pengungkapan ini dipakai ketika
komunikasi
memang
tidak
berlangsung secara lama, seperti
ketika
bertemu
dijalan
dan
menyampaikan halo atau sapaan
biasa, sehingga konteks pembicaraan
hanya mewakilkan beberapa makna
atau bahkan hanya satu makna.
Melalui simbol ini kedekatan
hubungan bisa terjadi karena makna
simbol terkadang hanya diketahui
oleh beberapa orang saja dan dalam
konteks tertentu, misal antara Yudiar
dan Widodo, karena mereka sudah
menyepakati makna dari simbol
tertentu.
e. Video Call
Cara video call adalah cara pengganti
dari komunikasi jarak jauh yang
biasanya menggunakan pesan suara,
karena keterbatasan pendengaran
maka cara ini dipandang lebih
memudahkan komunikasi dengan
memaksimalkan audio visual secara
langsug. Dari visual ini beberapa
isyarat bisa diperlihatkan melalui
pesan video call agar kedua belah
pihak bisa mengerti apa yang
dimaksud satu sama lain. Media
video call merupakan strategi
komunikasi langsung paling efisien

bagi Rina. Walau merupakan
peyandang tunarungu tapi dengan
adanya gadget menjadi hal yang
paling membantu. Memang tidak
mungkin jika melakukan panggilan
langsung melalui telephone, oleh
karena itu jika memerlukan jawaban
yang cepat dan langsung Rina
memakai video call. Dengan video
call mereka dapat melakukan
percakapan dengan bahasa isyarat
yang dapat dilihat oleh lawan bicara.
Untuk penggunaan video call tidak
semua anggota kelompok dapat
menggunakan fasilitas ini, karena
tidak semua handphone mereka
dilengkapi dengan fitur kamera
kedua untuk khusus video call.
Alasan lainnya adalah mahalnya tarif
penggunaan
video
call
yang
terkadang sering diperhitungkan
individu ketika ingin menghubungi
anggota kelompok lain. Tetapi ketika
Rina menghubungi ibu anggota lain
dalam keadaan memerlukan bantuan
yang cepat biasanya fasilitas ini
digunakan. Media ini digunakan
ketika posisi mereka berjauhan,
misalnya saat Pak Yudiar keluar kota
dan tidak bersama dengan Bu Rina
mereka menggunakan media ini
untuk berkomunikasi langsung. Pak
Yudiar terkadang ke luar kota untuk
mengurus
beberapa
keperluan
pekerjaan
atau
saat
sedang
mengunjungi orang tua di Surabaya.
Pada saat itu Pak Yudiar sering
menghubungi Bu Rina untuk sekedar
bertanya kabar dan memberi
informasi tentang kejadian hari ini.
Pertanyaan Pak Yudiar yang sering
ditanyakan, “ Sudah tidur belum ?”,
“ Bagaimana kabar di rumah ?”, “
Hari ini kemana saja?” . Semua
pertanyaan tersebut dilakukan secara
pantomim kepada Bu Rina dan

11

dibalas pula dengan gerakan
pantomim juga. Misalnya tidur
menggerakan tangan seolah-olah
bantal dan meletakkan di kepala, Ke
mana saja dipantomimkan dengan
dua jari seolah-olah berjalan-jalan di
telapak tangan lainnya. Hal ini bisa
dilakukan jarak jauh dan secara
langsung karena keunggulan dari
media video call namun tidak sering
mereka menggunakan ini dalam
sehari-hari.
f. SMS
Short Message Service ( SMS )
menjadi hal yang biasa dilakukan.
Jika ingin menghubungi orang
kelompok
tunarungu,
lazimnya
mereka saling mengabari lewat sms
dulu. Jika ingin menghubungi orang
yang tidak mengerti bahasa isyarat
biasanya mereka menggunakan sms
dengan bahasa yang biasa pula,
layaknya orang normal. Sehingga
bahasa juga mudah dipahami oleh
orang biasa di luar kelompok. Dalam
pedekatan hubungan melalui SMS
biasa dilakukan jika pada awalnya
hanya mengetahui nomer pribadi
saja, namun seiring perkembangan
zaman SMS hanya dilakukan jika
jaringan bermasalah, karena banyak
fitur yang menyediakan konten
seperti SMS tetapi menggunakan
internet. Fitur ini digunakan bisanya
pada awal-awal kenal terhadap
anggota baru, semisal hanya
mengetahui nomor telephonenya
saja, karena belum sempat bertanya
mengenai pin atau kata kunci lain.
Dari saling berkirim SMS ini mereka
bisa saling tanya aplikasi lain yang
bisa diajak mengobrol selain SMS,
mungkin chating, kemudian bisa
saling bertukar alamat e-mail. Secara
verbal
penderita
tidak
bisa
melakukan komunikasi verbal secara

langsung, baik ucapan maupun suara.
Tetapi secara susunan dan penataan
kalimat sebagai bahasa , kelompok
tunarungu juga bisa melakukan
sesuatu yang sama dengan orang
normal lakukan, hanya saja media
yang dilakukan adalah melalui
tulisan atau kata tersusun.
g. Chatting
Aplikasi chatting bermacam-macam.
Aplikasi yang sering dipakai adalah
WhatsApp, Line , BBM. Chatting
sangat membantu sekali, karena
mereka sering mengadakan obrolan
berkelompok ketika sedang dalam
keadaan
santai
atau
sekedar
menceritakan tentang agenda-agenda
mereka saat tidak berjumpa atau
sedang dalam kondisi berbeda
tempat. Kelebihan chatting selain
bisa berbicara dengan lebih satu
orang pesan teks juga dapat diselipi
dengan simbol atau foto yang
memudahkan
memberi
isyarat
ekspresi mereka. Fasilitas chatting
mempunyai tingkat kecenderungan
pemakaian yang tinggi. Selain
memang trend masyarakat jejaring
sosial zaman sekarang, kelompok
tunarungu
mengaku
pemakaian
fasiLitas ini juga disebabkan alasan
mereka
ingin
mengikuti
perkembangan
teknologi
pula.
Chatting
sering
menggunakan
aplikasi
BBM
(
Blackberry
Messenger) dan Line. Alasan
penggunaan BBM adalah banyaknya
anggota kelompok dan orang normal
di luar kelompok yang memakai
aplikasi ini. Kemudahan pengetikan
dan kesederhanaan fitur menjadi
keunggulan
tersendiri.
Dengan
adanya obrolan di dunia maya ini
melalui BBM keseluruhan anggota
bisa berinteraksi melalui teks di BBM
secara bersamaan hanya sekedar

12

sharing kegiatan sehari-hari atau
membuat
agenda
pertemuan
kedepannya. Ini adalah tingkat
dimana setelah identifikasi terakhir
dilakukan mereka saling mengetahui
bagaimana kemampuan masingmasing
individu
dalam
memanfaatkan teknologi pada media
pertukaran informasi. Semua media
tersebut mampu dikuasai oleh setiap
anggota tunarungu Kota Malang
untuk kegiatan interaksi kepada
komunikator dan komunikan. Dari
mulai bahasa isyarat hingga video
call. Penggunaan teknologi juga
mempermudah
mereka
tetap
berkomunikasi walau pun tidak
bertemu dalam satu tempat dan satu
waktu. Penggunaan strategi ini juga
mempermudah
mereka
berkomunikasi dengan masyarakat
nonanggota tunarungu Kota Malang.
Karena semua orang mampu
mengerti tulisan dan simbol yang
memang sudah ada dalam beberapa
aplikasi
chatting.
Kecuali
penggunaan bahasa isyarat hanya
sebagai identitas mereka sebagai
komunikasi utama antar tunarungu.
Selebihnya setiap individu dituntut
untuk saling menjaga hubungan baik
untuk tetap berkomunikasi satu sama
lain. Dengan berbagai cara mereka
mengembangkan
kemampuan

interaksi kepada lawan bicara
masing-masing, melalui pengalaman
mereka bertemu dengan berbagai
karakter jenis orang. Dengan
kemudahan-kemudahan
tersebut
maka
bisa
meningkatkan
kemampuan berkomunikasi sehingga
lebih membangun kepercayaan diri
masing-masing individu penderita
tunarungu.

Daftar Pustaka
Abdulsyani.
2007. Sosiologi
Skematika, Teori, dan Terapan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Arifin, Anwar. 1984. Strategi
Komunikasi Sebuah Pengantar
Ringkas. Bandung: Armico.
Cutlip, Scott, M. 2006. Effective
Public
Relation
(cetakan
ketiga). Jakarta: Prenada Media
Group.

Depdikbud. 1993. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
DeVito, Joseph A. 2007. The
Interpersonal Communication
Book
Eleventh
Edition.
London: Pearson Educations.
Effendy, Onong Uchjana. 2007. Ilmu
Komunikasi Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, maka kesimpulan
yang diperoleh dari rumusan masalah
bagaimana strategi komunikasi yang
dilakukan melalui komunikasi verbal
dan nonverbal antar pribadi dari
anggota tunarungu saat pertemuan
adalah dengan menggunakan bahasa
isyarat BISINDO yang didukung
dengan gerakan pantomim, media
tulis dikertas digunakan pula untuk
menjelaskan mengenai istilah-istilah
yang sangat sulit untuk dijelaskan
melalui bahasa isyarat ataupun
pantomim. Sedangkan saat diluar
pertemuan
dalam
kelompok
penyandang
tunarungu
adalah
dengan menggunakan media tulis
melalui chatting serta SMS ternyata
mempermudah mereka untuk saling
berinteraksi
dan
mendekatkan
hubungan masing-masing personal.

13

Hardjana,
Agus
M.
2007.
Komunikasi Interpersonal dan
Komunikasi
Intrapersonal.
Jakarta: Kanisius.
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik
Praktis Riset Komunikasi:
Disertai Contoh Praktis Riset
Media,
Public
Relation,
Advertising,
Komunikasi
Organisasi,
Komunikasi
Pemasaran. Jakarta: Kencana.
Kurnia, Azizun. 2010. Komunikasi
Antarpribadi Ganda Rungu
Wicara Dalam Penyesuaian
Diri Terhadap Lingkungan
Remaja. Malang: Universitas
Brawijaya.
Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi
Komunikasi. Bandung: Widya
Padjajaran.
Liliweri, Alo. 2010. Strategi
Komunikasi
Masyarakat.
Yogyakarta: Lkis.
Miles, Matthew B. dan A. Michael
Huberman.1992. Analisis Data
Kualitatif, Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Moleong, Lexy J. 2007. Metode
Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu
Komunikasi Suatu Pengantar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalaludin. 1994. Psikologi
Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Salim, Mufti. 1984. Pendidikan anak
Tunarungu.
Jakarta:
Depdikbud.
Somantri, Sutjihati. 2007. Psikologi
Anak Luar Biasa. Bandung:
Refika Aditama.
Sugiyono.
2008.
Memahami
Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta.

Suranto, AW. 2011. Komunikasi
Interpersonal.
Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Suryadi.
2008.
Komunikasi
Pembangunan.
Malang:
Bayumedia.
Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005.
Metode
Penelitian
Sosial:
Berbagai
Alternatif
Pendekatan. Jakarta: Prenada
Media.
Tuggs, S.L. & Moss, S. 2005.
Human
Communications:
Konteks-Konteks Komunikasi.
(Terj
D.
Mulyana
&
Gembirasari.)
Bandung:
Remaja Rosdakarya.
West, Richard.,& Turner, Lynn H.
2008.
Pengantar
Teori
Komunikasi
Analisis
dan
Aplikasi. Jakarta: Salemba
Humanika.
Wisadirana, Darsono. 2005. Metode
Penelitian
dan
Pedoman
Penulisan Skripsi. Malang:
UMM Press..
Andriani,
2012.
Pengertian
Kelompok dan Organisasi
Sosial. Online. Avaliable at:
(http://marishaandriani
wordpress.com/2012/08/23/pen
gertian-kelompok-danorganisasi-sosial.) diakses pada
tanggal 14 Maret 2013