HUKUM DALAM MASYARAKAT MODERN (1)

HUKUM DALAM MASYARAKAT MODERN

Disusun dan Diajukan Guna memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Hukum Islam dan Masyarakat Indonesia
Dosen Pengampu : Agus Sunaryo S.H.I., M.S.I.
Oleh :
Anjar Setiarma

1617301002

Anwar Fauzi

1617301003

Arina Zulfah

1617301005

Asfi Anita Utami

1617301006


Ati Fitriani

1617301007

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAAH
FAKULTAS SYARIAAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2017/2018

1

PENDAHULUAN
Istilah “hukum modern” muncul pada sekitar abad ke 18/19 M di mana
masa itu tatanan kehidupan manusia mulai memasuki masa modern. Masa modern
ini ditandai dengan berbagai perubahan sosial, terutama dari masyarakat urban
menuju masyarakat industri. Ciri-ciri modernitas yang lain terutama pada dunia
hukum, yaitu : 1) memiliki bentuk tertulis; 2) berlaju untuk seluruh warga negara;
3) merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusankeputusan politik masyarakatnya.Hukum modern lahir bersamaan dengan lahirnya
negara modern (nation-state).

Dilihat dari sisi historisitas-nya, perkembangan hukum kini telah
mengalami fase yang sangat panjang. Fase-fase itu dimulai dari hukum alam,
yang banyak mempertimbangkan pada pertimbangan moral, sampai terbentuknya
berbagai aliran dan pemikiran hukum.
Konsep hukum, seperti “Rule of Law”sekarang ini juga tidak muncul
secara tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil dari suatu perkembangan
tersendiri. Apabila di sini dikatakan bahwa hukum mempunyai perkembangannya
tersendiri, maka yang dimaksud terutama adalah bahwa ada hubungan timbal
balik yang sangat erat antara hukum dengan masyarakat.

2

HUKUM DALAM MASYARAKAT MODERN
A. Pengertian Hukum dan Modernisasi
Istilah “hukum” di Indonesia berasal dari bahasa Arab qonun atau
ahkam atau hukum yang mempunyai arti “hukum”. Secara etimologis, istilah
“hukum” (Indonesia) disebut law (Inggris) dan recht (Belanda dan Jerman)
atau droit (Prancis). Istilah recht berasal dari bahasa latin rectum berarti
tuntutan atau bimbingan, perintah atau pemerintahan. Rectum dalam bahasa
Romawi adalah rex yang berarti raja atau perintah raja. Istilah law (Inggris)

dari bahasa latin lex atau kata lesere yang berarti mengumpulkan atau
mengundang orang-orang untuk diberi perintah. Lex juga dari istilah legi
berarti peraturan atau undang-undang. Istilah hokum dalam bahasa latin juga
disebut ius dari kata iubere, artinya mengatur atau memerintah atau hukum1.
Definisi tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat
beragam, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya :
1. J. Van Kan (ahli hukum Belanda) mendenifisikan hukum sebagai
keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang
2.

melindungi kepentingan orang dalam bermasyarakat.
Wirjono Projodikoro (ahli hukum Indonesia) menyatakan hukum adalah
rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota
suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah

3.

menjamin keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib masyarakat itu.
O. Notohamidjojo berpendapa hukum adalah keseluruhan peraturan yang
tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan

manusia dalam masyarakat negara yang berorentasi pada dua asas yaitu
keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat2.
Sedangkan modernisasi secara etimologis berasal dari kata modern,

yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaruan. Pendek
kata, modernisasi juga bisa disebut pembaruan. Dalam masyarakat Barat
1 Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm.
6.
2 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2009), hlm. 35.

3

“modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha
untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain
sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan
keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan tekhnologi
modern. Lahirnya modernisasi atau pembaruan di sebuah tempat akan selalu
beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang
berkembang saat itu. Artinya, tidak mungkin akan ada pembaruan tanpa ada

dukungan perkembangan ilmun pengetahuan dan tekhnologi.
Era awal modernisasi ini ditandai dengan penemuan-penemuan ilmu
pengetahuan pada banyak cabang, yang pada saat yang sama menopang
perkembangan ekonomi dan industrialisasi yang sangat pesat. Perubahan ini
bukannya tanpa konsekuensi, tentunya perubahan besar terjadi di dalam
masyarakat, terutama ketika masyarakat feodal tradisional mulai digantikan
oleh masyarakat industri.
Modernisasi sendiri diartikan sebagai suatu proses transformasi, yakni
suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya sebagai akibat dari
modernisasi. International Encyclopedia of the social sciences mendefinisikan
modernisasi sebagai perubahan sosial yang dibarengi dengan pembangunan
aspek ekonomi. Sedangkan Selo Soemardjan memaknai modernisasi sebagai
pergantian gaya lama menjadi gaya baru dan mirip dengan pembangunan 3.
Kemiripan antara modernisasi dan pembangunan ini karena keduanya samasama melakukan pembaruan, dari bentuk yang lama ke gaya baru yang lebih
memuaskan. Yang membedakan keduanya,

demikian

menurut


Selo

Soemardjan, jika modernisasi hanya perubahan pada bentuk menjadi lebih
memuaskan sang pengguna, sedangkan dalam pembangunan perubahan
dilakukan pada fungsi nyata, sehingga lebih mudah, efektif, dan bermanfaat
dalam melayani kehidupan dan kebutuhan manusia.
Pada aspek budaya, terutama dalam aspek kepercayaan, system nilai
dan norma terjadi perubahan. Dalam masyarakat modern ini, ada penghargaan
positif terhadap perubahan dan ilmu pengetahuan, yang didasari pada rasa
3Ahmad Tholabi Kharile, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hlm. 49.

4

optimism untuk kemajuan evolusi.Seperti bekerja sangat dihargai dan
dipandang baik oleh masyarakat, kedua perubahan ini menandai perubahan
dalam pandangan hidup masyarakat, termasuk kurang berperannya agama
atau kepercayaan tersebut dalam (pandangan hidup) kehidupan sosial.
Menurut Nurkholis Majid, menyatakan bahwa modernisasi, sebagai
rasionalisasi, yaitu proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang

tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru
yang rasional.Merujuk dari berbagai pengertian tersebut, kelihatannya ada
beberapa komponen yang menjadi ciri suatu aktivitas dikatakan sebagai
aktivitas pembaruan, antara lain : pertama,baik pembaruan maupun
modernisasi akan selalu mengarah kepada upaya perbaikan secara simultan,
kedua, dalam upaya melakukan suatu pembaruan di sana akan meniscayakan
pengaruh yang kuat adanya ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga, upaya
pembaruan biasanya juga dilakukan secara dinamis, inovatif, dan progresif
sejalan dengan perubahan cara berpikir seseorang,4
B. Pandangan Tentang Hukum Pada Zaman Modern
Kemajuan yang terjadi di dunia Islam, ternyata memiliki daya tarik
tersendiri bagi mereka orang-orang Barat. Maka pada masa seperti inilah
banyak orang-orang Barat yang datang ke dunia Islam untuk mempelajari
filsafat dan ilmu pengetahuan. Kemudian hal ini menjadi jembatan informasi
antara Barat dan Islam. Dari pemikiran inilah, rasional, dan filosofis, atau
bahkan sains Islam mulai ditransfer ke dataran Eropa. Kontak antara dunia
Islam dan Barat pada lima abad berikutnya ternyata mampu mengantarkan
Eropa pada masa kebangkitan kembali (renaissance) pada bidang ilmu
pengetahuan dan filsafat. Selanjutnya berkembang pada era baru yaitu era
modern.


1.

Zaman Renaissance5

4Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 161.
5 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum ., hlm. 19-20.

5

Berkebalikan dengan apa yang dialami oleh para pelajar Barat
dengan apa yang mereka dapatkan dari Islam, dimana gereja memiliki
kekuasaan mutlak di Eropa (teokrasi), menimbulkan era baru renaissance
(kelahiran kembali). Era ini merupakan manifestasi dari protes para ahli
yang belajar dari Islam terhadap kekuasaan gereja yang mutlak tersebut.
Pada

zaman

ini


kehidupan

manusia

banyak

mengalami

perubahan. Bila pada abad pertengahan perhatian orang diarahkan kepada
dunia dan akhirat, maka pada zaman modern perhatiannya hanya pada
kehidupan dunia saja. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan Eropa yang
saat itu pemahaman tentang akhirat dibajak oleh gereja. Masa kekuasaan
gereja yang biasa disebut sebagai mesa kegelapan Eropa telah melahirkan
sentimen anti gereja. Mereka menuduh gereja telah bersikap selama 1000
tahun layaknya polisi yang memeriksa keyakinan setiap orang.
Lantas lahirlah teori yang menempatkan manusia sebagai segalagalanya menggantikan Tuhan. Berdasarkan teori ini, manusialah yang
menjadi tolak ukur kebaikan dan keburukan.Era baru ini telah melahirkan
teori yang mengecam segala sesuatu yang membatasi kebebasan individu
manusia. Akibatnya agama berubah peran dan menjadi sebatas masalah

individu yang hanya dimanfaatkan kala seseorang memerlukan sandaran
untuk mengusir kegelisahan batin dan kesendirian. Agama secara
perlahan tergeser dari kehidupan masyarakat di Eropa. Burckhardt dalam
menyebut era ini sebagai penemuan kembali dunia dan manusia.
Dengan demikian, zaman modern atau abad modern di Barat
adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang
dapat menyelesaikan segala persoalan-persoalan hidupnya. Manusia
hanya dipandang sebagai makhluk yang bebas yang independen dari
alam dan Tuhan. Manusia di Barat sengaja membebaskan dari tatanan
illahiyah, untuk selanjutnya membangun tatanan antropomorphisme
suatu tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia. Manusia menjadi
tuan atas nasibnya sendiri.
6

Bila pengertian hukum zaman klasik lebih bersifat klasik, maka
pengertian hukum pada zaman modern lebih bersifat empiris. Menurut
Huiijbers hal ini berarti bahwa: (1) Tekanan tidak lagi pada hukum
sebagai tatanan yang ideal (hukum alam), melainkan pada hukum yang
dibentuk manusia sendiri,baik oleh raja maupun rakyat yaitu hukum
positif atau tata hukum negara, dimana hukum terjalin dengan politik

negara; (2) Tata hukum negara diolah oleh para sarjana hukum secara
ilmiah; (3) Dalam membentuk

tata negara makin banyak dipikirkan

tentang fakta-fakta empiris, yaitu kebudayaan bangsa dan situasi sosioekonomis masyarakat yang bersangkutan.6 Percikan pemikiran tentang
hukum pada zaman ini adalah:
a.

Hukum merupakan bagian dari kebijakan manusia;

b.

Tertib hukum diwujudkan dalam bentuk negara, dimana di dalamnya
memuat peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh
warga negara dan memuat peraturan hukum dalam hubungannya
dengan negara lain;

c.

Pencipta hukum adalah raja.
Filsuf-filsuf yang memunculkan pemikiran tersebut adalah

Machiavelli (1469-1527), Jean Bodin (1530-1596), Hugo Grotius (15831645), dan Thomas Hobbes (1588-1679). Dengan semangat ini pula
Eropa kemudian menemukan sebuah wilayah pada tahun 1492 yang
disebut Amerika.
2.

Zaman Aufklarung
Zaman Aufklarung yang lahir kurang lebih pada abad ke-17
merupakan awal kemenangan supermasi rasionalisme, empirisme, dan
positivisme dari dogmatis agama.Kenyataan ini dapat dipahami karena
abad modern Barat ditandai dengan adanya upaya pemisahan antara lain
ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh Agama(sekulerisme).
6 Ibid., hlm. 21

7

Perpaduan antara rasionalisme, empirisme, positivisme dalam satu paket
epistimologi melahirkan apa yang T.H Huaxley disebut dengan Metode
Ilmiah (Scientific Method).
Munculnya aliran-aliran tersebut sangat berpengaruh pada
peradaban Barat selanjutnya. Dengan metode ilmiah itu, kebenaran
sesuatu hanya mereka perhitungkan dari fisiologis-lahiriah yang sangat
bersifat profanik. Atau dengan istilah lain, kebenaran ilmu pengetahuan
hanya diukur dari sudut pandang koherensi dan korespondensi.7
Percikan pemikiran pada zaman ini adalah pertama, hukum
dimengerti sebagai bagian suatu sistem pikiran yang lengkap yang
bersifat rsional, an sich. Kedua, telah muncul ide dasar konsepsi
mengenai negara yang ideal. Pada zaman ini negara yang ideal adalah
negara hukum.
Negara modern adalah suatu istilah yang menunjuk pada institusi
yang memiliki arsitektur rasional melalui pembentukan struktur penataan
yang rasional. Perkembangan penting pertama adalah terjadinya
sentralisasi kekuasaan dengan tidak meniadakan otonomi dari komunitaskomunitas lokal pada masa pra-modernisasi.Konsep kedaulatan negara
yang mengendalikan tidak adanya kekuatan lain dalam negara, yang
muncul bersamaan denga perkembangan tersebut tidak menghendaki
adanya toleransi terhadap komunitas lokal yang asli.
Kemunculan negara-negara modern pada abad ke-18 menyimpan
dan membawa dirinya menjadi bibit-bibit bagi dilakukannya studi hukum
secara sosiologis. Negara modern melahirkan suatu tatanan keidupan
dengan struktur yang kaku yang sebelumnya tidak dikenal dalam sejarah
manusia. Gagasan negara modern, diformalkan dalam Perjanjian
Westphalia pada tahun 1648. Banyak pernyataan dan keterangan dalam
studi hubungan internasional yang membenarkan pernyataan tersebut.
Sistem negara modern muncul di Eropa antara abad ke-12 dan akhir abad
7 Ibid., hlm. 22.

8

ke-17. Amerika mulai mengganti bentuk-bentuk organisasi polituik yang
pada abad pertengahan di Eropa ketika aktor kunci, menanggapi beragam
rangkaian insiden politik dan ekonomi, membentuk koalisi yang
mempengaruhi satu set peraturan politik, feodalisme, dan secara bertahap
diganti dengan yang lain yakni negara berdaulat.

Pada tahun 1648,

Perdamaian Westphalia menciptakan satu set prinsip yang disepakati
sebagai peraturan yang sah yang memberikan satu dasar normatif
pertama untuk sistem negara modern. Terjadinya Revolusi Perancis
(1789). Revolusi Perancis dijiwai oleh semboyan : liberte, egalite,
fraternite, yang menuntut suatu tata hukum baru atas dasar kedaulatan
rakyat. Tata hukum baru tersebut kemudian dibentuk oleh para sarjana
Perancis atas perintah Kaisar Napoleon. Tata hukum baru tersebut
mencapai keberhasilannya setelah dirumuskan Code Civil (1804). Code
Civil tersebut pada era berikutnya merupakan sumber kodeks negaranegara modern antara lain Belanda.
Berdasarkan sejarah dan latar belakang munculnya sistem negara
modern yang telah dijelaskan sebelumnya, ciri-ciri sistem negara modern
tidak lain adalah ciri-ciri negara bangsa (nation-state), yakni 8:
1.

Kehadiran negara modern menjadi sorotan penting bagi sosiologi

2.
3.
4.

hukum karena sejak batas-batas wilayah yang jelas dan tetap.
Struktur kekuasaan impersonal.
Legitimasi diambil dan disepakati oleh rakyat.
Memonopoli penggunaan kekuatan.
Beberapa pemikiran berkaitan dengan ide tersebut diantaranya

John Locke yang menyatakan tentang pembelaan hak warga negara
terhadap pemerintah yang berkuasa. Immanuel Kant menyatakan bahwa
pembentukan hukum merupakan inisiatif manusia guna mengembangka
kehidupan bersama yang bermoral.
3.

Pengertian Hukum Abad XIX

8 Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm.135.

9

a.

Pandangan Ilmiah Atas Hukum
Pada zaman ini Empirisme yang menekankan perlunya basis
empiris bagi semua pengertian berkembang menjadi Positivisme
yang menggunakan metode pengolahan ilmiah. Dasar dari aliran ini
digagas oleh August Comte (1789-1857), seorang filusuf Perancis,
yang menyatakan bahwa sejarah kebudayaan manusia dibagi ke
dalam tiga tahap : tahap pertama adalah tahap teologis yaitu tahap
dimana orang mencari kebenaran dalam agama, tahap kedua adalah
tahap metafisis yaitu tahap dimana orang mencari kebenaran melalui
filsafat. Tahap ketiga adalah tahap positif yaitu tahap dimana
kebenaran dicari melalui ilmu-ilmu pengetahuan. Menurut Comte
yang terakhir inilah merupakan ikon zaman modern.9

b.

Pandangan Historis atas Hukum
Abad XIX ditandai perubahan besar di segala bidang, terutama
akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan
yang dimulai dari perkembangan ilmu pengetahuan, penemuan alatalat teknologi, hingga revolusi industri, dan terjadinya perubahanperubahan sosial beserta masalah-masalah sosial yang muncul
kemudian memberi ruang kepada para sarjana untuk berpikir tentang
gejala perkembangan itu sendiri. Pada abad-abad sebelumnya, orang
merasa kehidupan manusia sebagai sesuatu yang knstan yang hampir
tidak berbeda kehidupan masa lalu. Pada abad ini perasaan itu
hilang, orang telah sadar tentang segi historis kehidupannya, tentang
kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan yang memberikan
nilai baru dalam kehidupannya.
Pada abad ini, pengertian tentang hukum merupakan
pandangan baru atas hidup., yaitu hiudup sebagai perkembangan
manusia dan kebudayaan. Beberapa pemikiran tokoh yang
mencerminkan hal ini adalah Hegel (1770-1831), F.Von Savigny

9 Abdul Ghofur Anshori, Filasafat Hukum ., hlm. 23.

10

(1779-1861), dan Karl Marx (1818-1883). Hegel menempatkan
hukum dalam keseluruhan perwujudan roh yang objektif dalam
kehidupan manusia. F.Von Savigny menentukan hukum sebagai
unsur kebudayaan suatu bangsa yang berubah dalam lintasan sejarah.
Terakhir, Karl Marx memandang hukum sebagai cermin suatu
ekonomis masyarakat.
4.

Pengertian Hukum Abad XX
Meskipun terdapat persamaan tentang pembentukan sistem
hukum yang berlaku, namun pada abad XX ini ada perbedaan tentang
pengertian hukum yang hakiki. Ada dua arus besar pandangan tentang
pengertian hukum yang hakiki10 :
a.

Hukum

sebaiknya

dipandang

dalam

hubungannya

dengan

pemerintah negara, yaitu sebagai norma hukum yang de facto
berlaku. Tolak ukurnya adalah kepentingan umum dilihat sebagai
bagian kebudayaan dan sejarah suatu bangsa. Pandangan ini
bersumber dari sosiologi hukum dan resalisme hukum.
b.

Hukum seharusnya dipandang sebagai bagian kehidupan etis
manusia di dunia. Oleh karena itu disini diakui adanya hubungan
antara hukum positif dengan pribadi manusia, yang berpegang pada
norma-norma keadilan.

C. Karakteristik Hukum Modern
Negara-negara berkembang pada umumnya sedang melaksanakan
proses pembangunan terencana atau modernisasi. Ada yang melaksanakan
pembangunan terhadap salah satu bidang kehidupan saja

(misalnya

erkonomi) dan ada pula yang mengandalkan pembangunan yang menyeluruh
yang konsekunsinya adalah bahwa bidang hukum juga terkena. Ciri-ciri
hukum yang modern menurut Marc Galanter adalah :

10 Ibid., hlm 25.

11

1.

Sistem hukum tersebut terdiri dari peraturan-peraturan yang seragam

2.
3.
4.
5.
6.
7.

baik dari segi isi maupun dari segi pelaksanaannya.
Sistem hukum bersifat transaksional.
Sistem hukum modern bersifat universal.
Adanya hirarti peradilan yang tegas.
Birokratis
Rasional.
Pelaksanaan sistem hukum tersebut terdiri dari orang-orang yang sudah

8.
9.

berpengalaman.
Dengan berkembangnya spesialisai dalam masyarakat yang kompeleks.
Sistem ini mudah diubah untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan

kebutuhan masyarakat.
10. Lembaga-lembaga pelaksana dan penegak hukum.
11. Pembedaan yang tegas antara tugas-tugas eksekutif, legislatif, yudikatif.11
Sedangkan Roberto Unger menyebut bahwa hukum modern adalah
sistem hukum yang sebenarnya. Beberapa karakteristik menurut Unger
adalah:
1. Bersifat publik, dalam arti dikaitkan pada kekuasaan terpusat.
2. Bersifat positif, yakni merupakan kaidah yang disahkan oleh penguasa
3.
4.

pusat.
Bersifat umum, yakni berlaku untuk semua golongan dalam masyarakat.
Bersifat otonom, baik secara substantif, institusional, metodologis,
okupasional.12
Karakteristik

di

atas,

kelompok

masyarakat

yang

paling

berkepentingan dengan lahirnya hukum modern adalah kaum borjuis. Dalam
sistem lama yang feodalis, kaum borjuis tidak mendapat tempat yang cukup
karena struktur masyarakat didominasi kelompok ningrat yang dekat dengan
kekuasaan raja dan juga gereja. Sistem feodal ini dianggap menghambat
kepent

ingan kaum borjuis dalam mengembangkan industrialisasi. Ahar

kelompok ini dapat masuk dan mendapat tempat sebagai subjek dalam sistem
hukum maka sistem hukum yang lama fragmentaris (terkotak-kotak) harus
dirubah terlebih dahulu. Maka dari sejak saat itu hukum dibuat umum,
abstrak dan formal yang kemudian dikenal asas equality before the law (asas
kesamaan di muka hukum).13
11Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Soiologi Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1999), hlm.190.
12Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar ., hlm.136.
13Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Soiologi ., hlm. 141.

12

D. Peranan dan Fungsi Hukum dalam Masyarakat
Kita mengetahui bahwa hukum sangat mempunyai peranan yang
sangat berarti, jadi sangatlah tepat bila tahun-tahun mendatang pembangunan
dibidang hukum sangat diprioritaskan sepeti yang telah digariskan oleh
pemerintah. Dan yang sangat penting adalah cara penyampaiannya kepada
masyarakat luas, sehingga masyarakat dapat memahami produk-produk
hokum tersebut, tanpa arus memikirkan sesulit mungkin.
Apa yang dikisahkan berturut-turut dimuka tentang rasionalisasi
hukum itu sebenarnya secara ringkas boleh pula disebut sebagai terwujudnya
hukum yang dituliskan secara eksplisit dan eksak dengan pembentukan dan
pelaksanannya yang amat prosedural. Hukum baru macam ini, yang tumbuh
kembang dalam pemikiran dan dalam praktik, berseiring tumbuh kembangnya
negara-negara nasional, kian hari kian nyata menggantikan cara penyelesaian
perkara hukum dalam masyarakat dan menggantikan pula norma dan aturan
yang dipakai.
Dengan kepastian, penyelesaian perkara akan dan harus diberikan
lewat putusan yang lebih “pas” menurut bunyi aturan hukum undang-undang
atau bunyi kontrak yang telah selesai disepakati. Maka disini yangberhak
menurut bunyi kesepakatan akan memperoleh semuanya sedangkan yang
tidak berhak tidak akan memperoleh apapun.
Perkembangan dalam tata hukum Eropa diawal abad modern
berikut pemikiran filsafat rasional yang mendasarinya itu boleh digambarkan
sebagai suatu perkembangan evolusioner yang nyata. Ialah perkembangan
situasi masyarakat dan organisasi kehidupannya yang telah mengembang
dalam sekala besar dalam taraf integrasinya yang tinggi. Masyarakat yang
terorganisasi dalam fragmen-fragmen lokal telah tumbuh lokal timbuh
kembang menjadi masyarakat bangsa organisasi politik yang semula lokal
dibawah-bawah patriark-patriark pengawal adat istiadat dan ajaran yang
konon datang dari langit telah menjadi negara bangsa yang diintegrasikan
oleh perjanjian-perjanjian antar manusia pada tataranya yang superior
ataupun interior, namun demikuan (bagaimanapun juga) tetap disatukan lewat
ajaran hierarki perundang-undangan.

13

Berseiring dengan perubahan dan perkembangan evolusional
organisasi-organisasi kehidupan itu, berkembang pula kesadaran baru yang
mendasari perkembangan hukum yang bergerak dari hukum lokal kehukum
nasional. Kesadaran itu ialah kesadaran baru yang humanistik tentang
pentingnya manusia individu sebagai subjek pencipta hukum, hak dan
sekaligus kewajiban. 14
Hubungan anatara teori hukum dan terori sosiologi dapat menjadi
bahan penelitian untuk berbagai tujuan yang berbeda-beda, tetapi suatu
penelitian terhadap teori sosiologi yang dilakukan oleh seorang ahli hukum,
memerlukan suatu perhatian khusus. Yang patut mendapat perhatian juga
adanya suatu “ kesalahan konepsi” tentang hukum yang tumbuh dikalangan
masyarakat, yaitu pandangan bahwa hukum itu adalah sesuatu yang bersifat
normatif, bahwa hukum adalah suatu keharusan atau perintah, dan bahwa
metodologi kebanyakan sosiologi tradisional dianggap sesuai bagi suatu
penelitian terhadap ilmu-ilmu yang bersifat normatif dan terhadap ilmu-ilmu
yang merupakan fenomena institusional.
Dasar dari suatu undang-undang atau aturan-aturan hukum adalah
asumsi bahwa ada hubungan antara berbagai pola perilaku yang menjelma
kedalam bentuk hukum dengan perilaku nyata. Sudah tentu tidak aneh kalau
banyak orang yang mempermsalahkan asumsi tersebut

dengan demikan

perlukah dipertanyakan bahwa hukum itu akan mempengaruhi perilaku
manusia dan perlu pulakah kita untuk mempermasalahkan bahwa apakah
cukup efektif dialam mengubah perilaku manusia? Akan tetapi walaupun kita
tidak perlu mempermasalahkan tentang peranan hukum dalam mempengaruhi
manusia, ada dua ketidakpastian dalam hubuungan antara hukum dan perilaku
manusia yang menjadi masalah, yaitu bagaimana mekanisme hukum dalam
mempengaruhi perilaku

manusia dan bagaimana kita dapat mengukur

pengaruh itu.
Di dalam Race Relations Acts tahun 1965, 1968, dan 1976 terlihat
bahwa ketentuan-ketentuan tentang perilaku diskriminatif sulit untuk
14Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2013), hlm.17-18.

14

dipahami, demikian juga hanya dengan hubungan antara diskriminasi bagi
orang taat terhadap orang-orang yang patuh kepada hukum dengan orangorang yang tidak patuh serta hubungan antara diskriminasi rasional dan non
rasional; yang semuanya itu sulit dipahami karena apa yang dikatakan dalam
undang-undang itu (Race Relations Acts) ternyata berbeda dengan perilaku
nyata.15
Secara umum hukum dalam masyarakat memiliki fungsi untuk
mentertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul. Bagaimanapun, fungsi hukum dalam
masyarakat sangat beraneka ragam, bergantung pada berbagai faktor dan
keadaan masyarakat. Dalam pembahasan lebih rinci, hukum memiliki banyak
fungsi antara lain16 :
1. Fungsi memfasilitasi,

yaitu

memfasilitasi

terciptanya

ketertiban

2.

masyarakat.
Fungsi represif, yaitu menjadi alat bagi penguasa untuk mencapai tujuan-

3.

tujuannya.
Fungsi ideologis, yaitu menjamin pencapaian legitimasi, hegemoni,

4.

dominasi, kebebasan, kemerdekaan, keadilan, dan lain-lain.
Fungsi reflektif, yakni merefleksikan keinginan bersama dalam
masyarakat sehingga mestinya hukum bersifat netral.

Pendapat lain mengemukakan bahwa fungsi hukum dalam masyarakat
adalah sebagai berikut :
1. Seb agai alat kontrol social
Kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakyukan untuk
mempengaruhi orang-orang berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang
disepakati bersama. Hukum sebagai alat kontrol sosial bertugas untuk
2.

mempertahankan suatu tertib atau pola kehidupan yang telah ada.
Sebagai alat rekayasa sosial
Suatu proses yang dilakukan untuk mengubah perilaku
masyarakat, bukan memecahkan masalah sosial. Dalam hal ini, hukum

15Adam Podgroecki dan Christopher J. Wlelan, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum
(Jakarta : Bina Aksara, 1987), hlm 252-254.
16 Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar ., hlm. 75.

15

tidak sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada dalam
masyarakat, melainkan ia berusaha menciptakan hal-hal atau hubungan
3.

baru.17
Sebagai alat melakukan perubahan social
Suatu kaidah hukum yang menetapkan bahwa janda dan anakanak tanpa memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahli waris mempunyai
pengaruh langsung terhadap terjadinya perubahan-perubahan sosial,
sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola-pola perikelakuan
dan hubungan-hubungan antara warga masyarakat.18

KESIMPULAN
Hukum di Indonesia berasal dari bahasa Arab qonun atau ahkam atau
hukum yang mempunyai arti “hukum”. Secara etimologis, istilah “hukum”
(Indonesia) disebut law (Inggris) dan recht (Belanda dan Jerman) atau droit
(Prancis). Istilah recht berasal dari bahasa latin rectum berarti tuntutan atau
bimbingan, perintah atau pemerintahan. Rectum dalam bahasa Romawi adalah rex
yang berarti raja atau perintah raja. Istilah law (Inggris) dari bahasa latin lex atau
kata lesere yang berarti mengumpulkan atau mengundang orang-orang untuk
diberiperintah. Lex juga dari istilah legi berarti peraturan atau undang-undang.
17 Ibid., hlm. 75.
18Ibid., hlm. 77.

16

Sedangkan modernisasi secara etimologis berasal dari kata modern, yang
telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaruan. Pendek kata,
modernisasi juga bisa disebut pembaruan. Dalam masyarakat Barat “modernisme”
mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha untuk mengubah
paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2009.
Kharlie, Tholabi Ahmad. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: SinarGrafika,
2015.
Ni’mah, Zulfatun. Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Teras, 2012.

17

Podgroeckidan, Adam dan Christopher J. Wlelan. Pendekatan Sosiologi terhadap
Hukum. Jakarta: BinaAksara, 1987.
Soekanto,

Soerjono.

Pokok-Pokok

Sosiologi
PT

Hukum. Jakarta:
Raja

Grafindo

Persada, 1999.
Suwito.

Sejarah

Pendidikan

Sosial

Islam.

Jakarta:

Kencana, 2015.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum dalam Masyarakat. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2013.
Zugiarto, Umar Zaid. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Reaktualisasi Hukum Islam dalam Dinamika Masyarakat
Indonesia

18

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam dan
Masyarakat Indonesia
Dosen Pengampu : Agus Sunaryo, M.Si.
DISUSUN OLEH :
Barep Maulana Farkhan

1617301008

Desi Mega Cahyani

1617301009

Dini Anastasya

1617301010

Dini Ayu Arumningtyas

1617301011

Muhamad Affif Zaini

161730102

PROGRAM STUDI MUAMALAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2017

PENDAHULUAN

19

Keanekaragaman suku, adat, bahasa dan bangsa Indonesia dengan
karakteristik budaya masyarakat, aturan dan norma hukum yang berlaku ialah
merupakan salah satu fenomena yang sangat penting untuk dikaji dari berbagai
sisi balik dan kepentingan. Banyaknya aturan dan sistem mengenai hukum yang
berlaku di Indonesia. Yang dimulai dari bangsa Belanda pernah menjajah
Indonesia membawa dampak besar dalam politik pemberlakuan hukum Eropa.
Alhasil keadaan ini pula ditentang oleh masyarakat yang menganut sistem Hukum
Adat dan mengakibatkan banyaknya ulama yang memperbincangkan Hukum
Adat, Hukum Islam dan Hukum Perdata.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Sejalan
dengan pemikiran fikih di Indonesia menjadi pertentangan antara hukum islam
yang bersumber dari Quran dan hadis sedangkan hukum adat sudah berlaku lama
dan menempel pada susunan aturan di Masyarakat. Yang akhirnya para Mujtahid
membuat sebuah aturan Hukum Islam atau Fikih yang berlandaskan pada Urf’
(Kebiasaan) masyarakat dan juga ijtihad dari para Ulama-ulama’

20

Reaktualisasi Hukum Islam dalam Dinamika Masyarakat
Indonesia

A. Pola Pemikiran Mujtahid
1. Hasbi Ash Shidiedy
Pemikiran fikih Indonesia pertama kali dikemukakan oleh Hasbi
Ash Shidieqy pada tahun 1940. Menurut Hasbi, supaya fikih dapat dipakai
dan dipraktikan oleh masyarakat Indonesia, maka bukan saja itu harus
mampu memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat
dengan adil, tetapi juga harus mudah dipahami dan tidak terasa asing bagi
mereka. Jika tidak demikian, masyarakat akan meninggalkan fikih dan
mencari hukum lain.19
Adanya fikih di Indonesia, menurutnya, sangat mungkin untuk
diwujudkan. Jika adat kebiasaan (urf’) Arab dapat menjadi sumber fikih
yang berlaku di Arab, mengapa di Indonesia tidak pula diberlakukan
hukum tersebut yang berasal dari adat kebiasaan masyarakat yang ada di
Indonesia. Oleh karena itu, adat kebiasaan Indonesia juga dapat menjadi
sumber fikih yang diterapkan di Indonesia. Dengan memaksakan ‘urf Arab
atau India diberlakukan untuk Umat Islam Indonesia, menurutnya bukan
saja bertentangan azas persamaan yang dianut oleh ajaran Islam, tetapi
juga fikih akan terasa asing, sehingga menimbulkan sikap mendua dari
masyarakat apabila ada perbedaan antara fikih dengan adat. Oleh karena
itu,

menurut

Hasbi,

adanya

fikih

Indonesia

merupakan

sebuah

keniscayaan.20
Dalam kaitan nya dengan istilah fikih Indonesia ini, Hasbi pada
dasarnya membedakan antara fikih dengan Syariah dan Hukum Islam.
Syariah berarti aturan dan ketetapan Allah yang disampaikan melalui
perantaraan Rasul-Nya, baik aturan yang berkaitan dengan amalan praktis,
akidah, maupun akhlak.21
19 Nourazzaman Shiddiqi, Lima Tokoh Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga
(Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 156.
20 Ibid., hlm. 156-157.

21

Adanya gagasan fikih Indonesia ini meniscayakan adanya ijtihad
dengan memperhatikan konteks masyarakat Indonesia. Hasbi memang
berpendapat bahwa hukum melaksanakan ijtihad adalah fardhu kifayah
dan harus dilakukan sepanjang masa, walaupun ijtihad tersebut bersifat
juz’i, yaitu ijtihad yang dilakukan hanya pada permasalahan-permasalahan
hukum tertentu.22 Dalam upaya nya, menurut Hasbi ‘urf menjadi
pertimbangan yang sangat penting, karena menurut nya dengan mengutip
pandangan para ulama klasik, bahwa sesuatu yang ditetapkan oleh ‘urf
sama dengan yang ditetapkan oleh nash (ats-tsabit bi al-‘urf ka ats-tsabit
bi an-nashsh).23 Hasbi dalam berijtihad berpegang erat dengan mashlahah
sehingga ia menyatakan bahwa penetapan hukum bergantung pada
kemashlahatan manusia, dan dimana ada kemaslahatan, maka disitulah
sesungguhnya hukum Allah itu berada (al-ahkam taduru ma’a mashalih
al-ibad fa haitsu ma wujidat al-mashlahah fa tsamma hukm Allah).24 Atas
dasar itu kemudian Hasbi pun berpendapat bahwa sebuah ketetapan
hukum dapat berubah sesuai dengan adanya perubahan keadaan
masyarakat (tagayyur al-ahkam wa al-ijtihad bi tagayyur al-ahwal).
Namun, pandangan Hasbi tentang ‘urf, mashlahah, dan perubahan hukum
ini, sesuai dengan pandangannya tentang ijtihad, adalah hanya berkaitan
dengan masalah-masalah muamalah yang masih zhanni.
Dalam upaya menetapkan hukum Islam yang dilakukan oleh
lembaga tasyri’ yang kemudian dapat disahkan oleh ahl al-halli wa
al-‘aqdli, Hasbi menyarankan tiga macam ijtihad, yaitu: pertama, upaya
mengklasifikan hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh para ulama
terdahulu antara yang didasarkan pada nash yang qath’i dan yang
didasarkan pada nash yang zhanni, supaya dapat diketahui mana ijtihad
mereka yang dapat iubah untuk disesuaikan dengan zaman dan mana yang
21 Agus Moh. Najib, Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya
bagi Pembentukan Hukum Nasional (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), hlm. 58.
22 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm.
229-230.
23 Ibid., hlm. 213-214.
24 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fakta Keagungan Syariat Islam (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm.
37-38.

22

tidak. Kedua, upaya mengklasifikan hukum-hukum yang didasarkan
kepada ‘urf masyarakat ketika hukum itu ditetapkan, sehingga hukum
tersebut dapat diubah sesuai dengan perkembangan masyarakat sekarang.
Ketiga, upaya menetapkan hukum bagi masalah-masalah baru yang
muncul seiring dengan perkembangan masa dan paham modern.25
2. Munawir Syadjali
Munawir Sjadzali menggagas perlunya reaktualisasi ajaran Islam,
yang ia sebut juga dengan istilah dinamika hukum Islam, di Indonesia.
Menurutnya bagi umat Islam di Indonesia perlu adanya aturan dan pola
hukum yang sesuai dengan keadaan, lingkungan, dan latar belakang
Indonesia. Hal ini sangat mungkin dilakukan, bahkan sudah seharusnya,
karena hukum Islam pada dasarnya bersifat dinamis dan sangat fleksibel.26
Kontekstualisasi hukum Islam di Indonesia menurut Munawir
Sjadzali merupakan hal yang niscaya, disamping karena melihat realitas
praktik keberagaman umat Islam di Indonesia, juga karena didasarkan
pada fakta-fakta sejarah tentang pemikiran dan praktik ulama dahulu serta
dasar-dasar tekstual sendiri yang menganjurkan untuk itu.27 Menurutnya
umat Islam di Indonesia banyak yang bersikap munafik dalam beragama.
Misalnya banyak umat Islam yang berpendirian bahwa bunga bank itu riba
sehingga keduanya sama-sama haram dan terkutuk, dan dengan demikian
harus ditinggalkan. Namun, dalam waktu yang sama banyak diantara
mereka yang menggunakan jasa bank, baik berupa tabungan, deposito,
maupun jasa bank lainnya yang tentu saja berkaitan dengan bunga
(interest). Mereka beralasan bahwa penggunaan jasa bank tersebut adalah
karena darurat. Padahal, kelonggaran yang diberikan dalam keadaan
darurat itu, sebagaimana dikemukakan dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat
173, adalah dengan syarat tidak ada unsur kesengajaan dan tidak lebih dari
pemenuhan kebutuhan finansial yang primer.
25 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Dinamia dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas,
1982), hlm. 47.
26 Munawir Sjadzali, Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta:
UI Press, 1993), hlm. 16 dan 52.
27 Ibid., hlm. 1,8, dan 52.

23

Sikap mendua ini menurut Munawir juga terjadi dalam masalah
pembagian harta warisan. Dalam Q.S. An-Nisa (4) ayat 11 secara jelas
dinyatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada
hak anak perempuan. Namun, ketentuan ini menurutnya sudah banyak
ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dari kunjungannya ke berbagai daerah dan
informasi dari Peradilan Agama, ia mendapati bahwa banyak umat Islam
yang menyelesaikan masalah harta warisannya ke Pengadilan Negeri, tidak
ke Pengadilan Agama. Hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang
awam, tetapi juga banyak dilakukan oleh tokoh organisasi Islam yang
cukup memahami hukum Islam. Disamping itu, menurutnya telah
membudaya juga penyimpangan tidak langsung dari ketentuan Al-Qur'an
tersebut. Banyak kepala keluarga di Indonesia yang mengambil kebijakan
pre-emptive; semasa masih hidup mereka telah membagikan sebagian
besar kekayaannya sebagai hibah kepada anak-anaknya, dengan bagian
yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin. Dengan demikian,
pada waktu meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit atau
bahkan hampir habis sama sekali. Walaupun secara formal hal itu tidak
bertentangan dengan ketentuan Al-Qur'an, namun tindakan tersebut pada
dasarnya termasuk hilah untuk menghindari ketentuan ilmu waris Islam
(fara'idl).28
Sikap mendua masyarakat Islam Indonesia tersebut menurut
Munawir tidak selalu disebabkan oleh tipisnya keimanan, tetapi pada
sasarannya dapat juga disebabkan oleh pertimbangan bahwa budaya dan
struktur sosial serta konteks masyarakat Indonesia sekarang telah
sedemikian rupa sehingga pelaksanaan hukum Islam secara apa adanya
kurang dapat diterima oleh rasa keadilan dan kemashlahatan. Oleh karena
itu, menurut Munawir perlu adanya kodifikasi Dan kontekstualisasi hukum
Islam, termasuk terhadap ketentuan-ketentuan yang telah jelas digariskan
secara tekstual dalam al-Qur'an. Namun, menurut-Nya kontekstualisasi
28 Ibid., hlm. 17-20 dan 79.

24

hukum Islam ini hanya

berkaitan dengan

soal kemasyarakatan

(Mu'amalah), dan bukan yang berkaitan dengan peribadatan murni (ibadah
mahdhah). Ia berargumen bahwa kontekstualisasi hukum Islam semacam
ini sebenernya telah dipraktikkan dalam sejarah oleh para ulama. Para
penguasa, hakim, dan ilmuwan dalam sejarah sering Kali menempuh
kebijaksanaan hukum, yaitu menetapkan keputusan hukum atau fatwa
hukum yang secara tekstual tidak sepenuhnya sekalian dengan Nash, baik
Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan tidak jarang berbeda sama sekali
dengan bunyi Nash itu. Untuk Menerbitkan sehagiannya adalah ijtihadijtihad 'Umar Ibn al-Khathab, 'Umar Ibn 'Abd al-'aziz, Abu Yusuf,
'Izzuddin Ibn 'Abd As-Salam, Najmudfin ath-Thufi, dan Muhammad
Abduh.29
Kebutuhan dalam kontekstualisasi hukum Islam ini, menurut
Munawir, disamping karena alasan sikap beragama umat Islam di
Indonesia dan contoh dari para ulama terdahulu sebagaimana dikemukakan
diatas, juga karena secara tekstual memiliki landasan. Landasan tekstual
tersebut terutama adalah hadis yang menyatukan bahwa pada setiap 100
tahun akan ada seorang yang akan memperbarui pemahaman agama
Islam.30 Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa terlepas dari siapa yang
telah dan akan menjadi pembaru dan terlepasds juga apakah pembaharuan
tersebut dilakukan oleh seorang atau banyak orang secara kolektif, yang
jelas hadis tersebut menyatakan perlunya pembaharuan atau penyegaran
berkala ajaran Islam supaya sesuai dengan perkembangan zaman dan
pertumbuhan peradaban. Dengan demikian, ajaran islam, menurut
Munawir, di satu sisi memang memiliki tata nilai yang universal dan abadi,
namun disisi lain dalam pelaksanaan dan aplikasi tata nilai tersebut
memungkinkan adanya kebhinekaan dan pertumbuhan secara terusmenerus seiring dengan laju peradaban. Dengan demikian, para ahli fikih
Indonesia juga memiliki ruang gerak yang luas untuk menyusun suatu fiqh
29 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997), hlm.
37-46.
30 A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits an-Nabawi (Leiden: E.J.
Brill, 1943), hlm. 324.

25

yang cocok dengan lingkungan dan perkembangan yang ada di Indonesia,
dengan tanpa membahayakan integritas hukum Islam itu sendiri.31
Kontekstualisasi hukum Islam di Indonesia menurut Munawir
seharusnya dilakukan secara kolektif dan bukan secara perorangan. Karena
itu, menurutnya perlu ada lembaga musyawarah para ahli di suatu negara
atau wilayah untuk merumuskan hukum Islam yang sesuai dengan konteks
masyarakatnya,

begitu

pula

dengan

di

Indonesia. 32

Hasil

dari

kontekstualisasi tersebut supaya dapat ditetapkan dan diberlakukan di
Indonesia yang berazaskan Pancasila ini, maka harus melalui cara dan
jalan konstitusional serta seiring dengan aspirasi Nasional. Upaya
konstitusional ini menurut nya harus ditempuh karena apabila berusaha
menerapkan hukum Islam dengan mengambil jalan pintas dan bertindak
secara eksklusif, maka tidak hanya akan mengalami kegagalan total, tetapi
juga umat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia ini harus
membayar kegagalan itu dengan sangat mahal karena menurut
pengamatannya setiap prakarsa yang bersifat Islam sering kali dicurigai
sebagai upaya yang menjurus ke arah pembentukkan negara Islam.33
Indonesia yang berlandaskan Pancasila bukan merupakan negara
agama tetapi juga bukan negara sekuler, sehingga aspirasi umat Islam
hanya dapat terpenuhi apabila ditempuh melalui jalur yang konstitusional.
Bahkan

menurut

Munawir,

pengalaman

menunjukkan

bahwa

pemberlakuan hukum Islam di Indonesia justru dapat tersalurkan ketika
tidak ada partai Islam. Ia mencontohkan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, yang lahir sebagai realisasi dan amanat
dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman. UU Kekuasaan Kehakiman tersebut mengakui Peradilan
31 Munawir Sjadzali, Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta:
UI Press, 1993), hlm. 58-60.
32 Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1996), hlm.
125.
33 Munawir Sjadzali, Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta:
UI Press, 1993), hlm. 61 dan 65.

26

Agama sebagai peradilan yang mandiri dan sederajat dengan tiga peradilan
yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan
Peradilan Militer. Kemandirian Peradilan Agama ini pada tahun 1948
pernah diusulkan oleh salah satu partai Islam kepada Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan Parlemen sementara, tetapi
kemudian ditolak oleh seluruh partai atau fraksi lain. Menurutnya, ini
menunjukkan bahwa adanya partai Islam justru tidak menguntungkan bagi
perjuangan aspirasi umat Islam Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 dapat diundangkan adalah karena diajukan oleh pemerintah
(eksekutif), dan apabila yang mengajukan adalah kelompok Islam hampir
pasti akan langsung ditolak sejak awal.34
Atas dasar tersebut, menurut Munawir, untuk memperjuangkan
aspirasi umat Islam di Indonesia, termasuk dalam bidang hukumnya,
tidak perlu ada partai Islam. Hanya saja Umat Islam harus terlibat dan
terjun secara langsung dalam kehidupan bernegara, dan tidak boleh
hanya berpangku tangan menjadi penonton. Dengan kata lain, perjuangan
permberlakuan hukum Islam harus melalui jalur yang konstitusional
dengan cara menaati aturan main dan memanfaatkan mekanisme
demokrasi yang ada. Menurut pengalaman, justru perjuangan secara
konstitusional tanpa partai Islam inilah aspirasi umat Islam banyak yang
terpenuhi.35
3. Gus Mus
Fatwa mempunyai kedudukan yang cukup penting dalam konteks
perkembangan hukum islam dari masa ke masa, dan fatwa itu sendiri
bersifat dinamis karena munculnya fatwa mengindikasikan adanya kasuskasus hukum islam yang berkembang dalam masyarakat yang
membutuhkan pemecahan dalam kaca mata hukum islam dalam kurun
tertentu. Mengingat fatwa adalah salah satu bagian dari ijtihad, maka
34 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta:
UI Press, 1990), hlm. 77-79.
35 Munawir Sjadzali, Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta:
UI Press, 1993), hlm. 66 dan 77-79.

27

kedudukan fatwa dalam hukum islam sangat penting sebagai salah satu
instrument dalam memproduk hukum islam. Oleh karenanya, perlu
adanya pengembangan metodologi yang berorientasi pada kemaslahatan
umat.
Hal inilah yang telah dilakukan K.H. Mustofa Bisri dalam
menjawab persoalan-persoalan hukum islam yang diajukan kepadanya
sebenarnya mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang mufti.
Kontribusi penting yang diberikan K.H. Mustofa Bisri adalah sikapnya
dengan berfatwa yang tidak terikat oleh suatu madzhab tertentu, sikap ini
menjadi penting ditengang digalakannya pengembangan pemikiran
hukum islam yang mensyaratkannya adanya kebebasan berfikir dan tidak
terikat pada suatu madzhab tertentu. Tentu saja kebebasan berfikir versi
K.H. Mustofa Bisri adalah kebebasan ter terukur dan berbingkai dengan
maqashid al-syari’ah yang menjadi tujuan diturunkannya syariat islam.
Apa yang dilakukan K.H. Mustofa Bisri sebenarnya dalam rangka
untuk mengawal hukum islam agar tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan. Dalam konteks ini
beliau menyadari sepenuhnya habwa sumber-sumber hukum normatif
tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di
bidang hukum tidak terbatas jumlahnya. Kiranya apa yang dilakukan
K.H. Mustafa Bisri secara tidak langsung beliau telah merespon
pernyataan Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid. Persoalan
kehidupan masyarakat tidaklah terbatas jumlahnya, sementara jumlah
nash (baik al-Qur’an dan al-Hadits) jumlahnya terbatas. Oleh karena itu,
mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang
tidak terbatas.
Selanjutnya, andai jawaban yang diberikan K.H. Mustafa Bisri
berubah karena adanya penemuan dalil baru, atau karena keadaan yang
telah berubah maka yang harus difatwakan untuk selanjutnya adalah hasil
ijtihad yang baru. Beliau sebagai mufti haruslah segera memberitahukan
kepada mustafi tentang adanya perubahan itu, supaya ia segera berhenti
beramal dengan hasil ijtihad yang lama. Apa yeng btelah diamalkan

28

dengan hasil ijtihadnya yang lama tidak batal, karena hasil ijtihad tidak
dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain.
Dalam kaitan ini, Muhammad Atho’ Mudhar menegaskan bahwa
karena fatwa adalah bersifat kasuistik yakni merupakan jawaban atau
respon terhadap pertanyaan yang diajukan peminta fatwa, maka fatwa
tidak mempunyai daya ikat dalam arti bahwa si peminta fatwa tidak harus
mengikuti isi hukum fatwa yang diberikan kepanya. Akan tetapi fatwa
biasanya

bersifat

dinamis

karena

merupakan

respon

terhadap

perkembangan baru yang sedang dialami oleh masyarakat peminta fatwa.
Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi sifat responsifnya itu
yang sekurang-kurangnya dapat dikatakan dinamis.
K.H. Mustafa Bisri sebagai salah seorang ulama yang budayawan
dan salah seorang pengurus organisasi NU telah cukup lama mewarnai
sekaligus mempengaruhi corak dan dinamika perkembangan hukum
islam di Indonesia, terutama mengenal berbagai aspek yang berkembang
dalam bidang kemasyarakatan dan kebangsaan dalam perspektif hukum
islam.36
4. Mahmud Syaltut
Dalam pembaruan pemikiran hukumnya, Syaltut melakukan
penafsiran ulang terhadap ayat nas Al-Qur’an. Syaltut berusaha
merombak argument-argumen tafsir atas ayat sosiologis yang telah
dipatenkan menjadi ayat-ayat teologis yang bersifat absolut (memuat
kandungan aqidah dan ibadah) itu menjadi ayat-ayat sosiologis yang
bersifat kontekstual.
Pemikiran Syaltut yang cukup signifikan yang dapat memberikan
kontribusi dalam pengembangan dan pembaruan hukum Islam adalah
prinsip mengedepankan persamaan hak di hadapan hukum demi keadilan
dan nilai kemanusiaan di atas sekat-sekat sosial agama, sosial
kemasyarakatan, dan perbedaan gender. Hal ini dapat dilihat dalam
pemikirannya mengenai beberapa masalah pidana (jinayah).

36 Sutrisno, Nalar Fiqh Gus Mus (Yogyakarta: Mitra Pustaka. 2012), hlm. 217-220.

29

Dalam masalah pidana, secara konsisten Syaltut berpegang kepada
supremasi hukum atas dasar keadilan bersifat universal, kemanusiaan
yang luhur, dan persamaan hak di hadapan hukum. Dengan prinsip
tersebut, Syaltut menolak diskriminasi dalam penerapan hukum.
Berdasarkan prinsip yang dipegang yaitu berlandaskan kepada supremasi
hukum, Syaltut telah memberikan kontribusinya dalam mencairkan
sekat-sekat sosial kemasyarakatan, sosial keagamaan, dan atribut-atribut
lain yang selama ini masih kokoh dipegang oleh kalangan jumruh.
Dalam bidang muamalah, Syaltut bersifat fleksibel. Menurutnya
prinsip syari’at Islam dalam bidang muamalah adalah terpenuhinya
maslahah dan terlindungi hak-hak serta meningkatkan taraf hidup.37
Apalagi jika suatu masalah tidak ada larangan dalam nas, maka hal itu
menurutnya diperbolehkan. Pemikirannya dalam bidang muamalah
memberikan keluasan kepada umat untuk mengembangkan potensinya,
selama hal itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dalam
bermuamalah. Dengan demikian, mempunyai manfaat ganda, yaitu
terpenuhinya maslahah fardiyyah (individu) dan maslahah jam’iyyah
(masyarakat) termasuk negara.
Syaltut dalam ijtihadnya mengenai pemikiran pembaruan hukum
Islam, ia banyak menggunakan al-ra’yu dari pada menggunakan sumber
hukum yang lain. Lebih spesifik dapat dikemukakan, bahwa ia lebih
banyak menggunakan pendekatan maslahah. Sedangkan Al-Qur’an
terlihat menduduki tingkat kedua sebagai sumber hukumnya. Dalam
pembaruan pemikiran hukum Islam, maslahah merupakan metod paling
banyak digunakan. Sedangkan dari ijtihad, Syaltut dalam pembarua
hukum Islam kiranya dapat dilakukan krestalisasi sebagai butir-butir
yang dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan hukum Islam.
5. Pemikiran Al-Gorafi tentang Ijtihad