SEJARAH DAN KONSEP PENJARA DALAM ISLAM (1)

SEJARAH DAN KONSEP PENJARA DALAM ISLAM
Definisi Penjara
Penjara dalam bahasa Arab disebut ‫جنن‬
‫ السسس ج‬secara bahasa artinya menahan.
Dan yang dimaksud di sini adalah tempat di mana orang-orang dikurung dan
dibatasi dari segala kebebasan karena suatu pelanggaran atau tuduhan.
Syariat Penjara Dalam Islam
Al-Qur'an telah mengabarkan bahwa penjara sudah ada sejak lama. Allah ‫عسزوجسل‬
berfirman tentang Nabi Yusuf ‫عليه السلم‬:
‫جاسهسلينن‬
‫جنن أ ننح سن‬
‫ب سإل ن سني سم سنما ي نجد ن‬
‫عون نسني سإل ني جسه نوسإل تنجصسرجف ن‬
‫ب السسس ج‬
‫ب سإل ني جسه سنن نوأ نك نجن سمنن ال ج ن‬
‫عسسني ك ني جندنه سنن أ نجص ن‬
‫نقانل نر س س‬
Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi
ajakan mereka kepada-ku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu
daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)
dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf [12]: 33)

‫جسن سبجضنع‬
‫نونقانل لسل س نسذي نظ سنن أ نن س ننه نناجج سمن جنهنما اجذك نجرسني سعن جند نر سبسنك نفأ نن جنسانه ال س نشي جنطانن سذك جنر نر سبسسه نفل نسب ن‬
‫ث سفي السسس ج‬
‫سسسنينن‬
Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara
mereka berdua: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu. "Maka setan
menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena
itu, tetaplah dia Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya. (QS. Yusuf
[12]: 42)
Penjara disyari'atkan dalam al-Qur'an, hadits, dan ijma':
1.

Dalil al-Qur'an
‫حاسرنبونن الل س ننه نونرنسول ننه نوي نجسنعجونن سفي الجرسض نفنساددا أ نجن ي ننقتس ننلوا أ نجو ي ننصل س ننبوا أ نجو تننق س نطنع أ ني جسديسهجم‬
‫سإن س ننما نجنزانء ال س نسذينن ي ن ن‬
‫نوأ نجرنجل ننهجم سمجن سخل ج‬
‫ب ن‬
‫ي سفي ال سندن جنيا نول ننهجم سفي السخنرسة ن‬
‫ف أ نجو ي نن جنفجوا سمنن الجرسض نذلسنك ل ننهجم سخجز م‬
‫عسظيمم‬

‫عنذا م‬
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik,

atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar. (QS. al-Maidah [5]: 33)
Segi perdalilannya dari firman-Nya: "atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya)" salah satu penafsirannya adalah dengan dipenjarakan.
(Tabyinul Haqaiq 4/179 oleh az-Zaila'i) .
2.

Hadits
‫عل ني جسه نونسل س ننم نحبننس نرنجدلا سفي تنجهنمجة‬
‫عجن نجسسدسه أ ن سنن الن سنسب سني نص س نلى الل س ننه ن‬
‫عجن أ نسبيسه ن‬
‫عجن بنجهسز بجسن نحسكيجم ن‬
‫ن‬
Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Nabi ‫صلى الله‬

‫ عليه وسلم‬menahan/memenjarakan seorang karena suatu tuduhan. (HR. Abu
Dawud 3603 dan dihasankan al-Albani)

3.

Ijma'
Penjara sudah ada semenjak dahulu kala, juga pada zaman Nabi ‫صلى الله‬
‫ عليه وسلم‬dan para sahabat sampai zaman sekarang tanpa ada yang
mengingkarinya. Imam Zaila'i mengatakan, "Adapun ijma', karena para
sahabat dan orang-orang setelah mereka telah bersepakat tentangnya."
(Tabyinul Haqaiq 4/179)
PENJARA bukanlah hal asing dalam kisah heroik para pahawan. Penjara

tidak selalu digunakan untuk memberikan efek jera bagi para penjahat. Seringkali
orang-orang yang berani menyuarakan kebenaran dan berkonfrontatif dengan
kezaliman akan dipenjarakan dan diasingkan.
Masalahnya, justru di balik jerujilah mati/hati mereka menunjukkan
ketajamannya. Banyak di antara kisah mereka yang sangat masyhur seperti kisah
Nabi Yusuf as, Imam Ahmad , Sa’id Bin Jubair, Sayyid Qutbh , Hasan al
Hudhaibi, Pangeran Diponegoro dan pahlawan Cut Nyak Dien serta ulama Buya

Hamka.
Sayyid Qutbh melahirkan karya fenomenal Tafsir Fi Zhilalil Qur’an justru ketika

di penjara. Ada Buya Hamka yang menulis Tafsir Al Azharnya hingga 30 jilid.
Bagi para pejuang, penjara bukanlah belenggu yang dapat menghentikan
perjuangan mereka. Di antara para pejuang yang memberikan keteladan di dalam
penjara adalah Hasan al Hudhaibi.
Hasan al Hudhaibi adalah mursyid ‘am kedua Al-Ikhwan Al-Muslimun, yang
kini menjadi tertuduh rezim militer Mesir. Syeikh Hasan al Hudhaibi lahir di arab
Ash-Shawa-lihah, distrik Syabin Al-Qnathir, pada tahun 1309 H, bertepatan
dengan bulan Desember, tahun 1891 M. Ia belajar al-Qur’an di sekolah desanya.
Hasan al Hudhaibi sebelum bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin adalah
seorang hakim penasihat di mahkamah kasasi. Ia menjalani kepemimpinan
Ikhwanul Muslimin di masa-masa yang cukup berat. Ia menjalanani kepemininan
Setelah Imam Hasan al-Banna (Mursyid ‘am pertama Al-Ikhwan Al-Muslimun)
dibunuh oleh rezim kerajaan yang zalim. Pada masanya ia dihadapkan oleh rezim
Jamal Abdul Naser yang mengkhianati serta menzalimi gerakan Ikhwanul
Muslimin.
Karena pengkhianatan tersebut, Hasan al Hudhaibi harus mendekam di
penjara sang rezim. Penjara bukanya menjadi momok bagi sang Imam, justru

menjadi sarana tarbiyah kepada para kader ikhwan. Beliau memberikan keteladan
bagaimana bersikap teguh, sabar, dan tegas dalam situasi penindasan rezim.
Antara Penjara dan Negara Islam
Kepada kader ikhwan di dalam penjara ia pernah berkata dalam pesan-pesan
yang sangat dalam maknanya. “Penjara adalah kondisi kejiwaan, bukan dinding
dan rantai”. Ia juga pernah menyampaikan pesan penting lain dengan mengatakan,
“Dirikan Negara Islam di jiwa kalian, niscaya Negara Islam berdiri di negeri
kalian.” [dalam “Memoir Imam Hasan al –Hudhaibi”, An Nadwah]
Hudhaibi memberikan penekanan kepada para kadernya bahwa, Negara Islam
harus diawali dengan jiwa-jiwa lebih dahulu. Hasan al

Hudhaibi sangat

menekankan pemantapan jiwa bagi seorang kader dakwah. Karena sudah menjadi
Sunatullah dalam perjalanan dakwah pasti akan mendapatkan tantangan, ancaman,
dan gangguan dari para penopang kebathilan.
“Medan perang kalian yang pertama ialah jiwa kalian.Jika kalian berhasil
mengalahkan jiwa kalian, maka kalian lebih sanggup mengalahkan medan lainya.”
Ia juga sangat menjunjung tinggi akhlak Islam dalam dakwahnya. Pernah suatu
ketika sebelum ia dipenjarakan oleh rezim revolusioner Mesir. Rezim tersebut

melakukan pengkhianatan dan penindasan sadis kepada jama’ah al Ikhwan al
Muslimin, seperti layaknya saat ini.
Maka salah seorang pengikut Hasan Al Hudhaibi ingin pergi ke kantor Rezim
Revolusioner, namun Hasan al Hudhaibi justru menasehati orang tersebut dengan
mengatakan, ”Jika seluruh ikhwanati dan dakwah mempunyai pelindung, maka
itu lebih baik dari pada sampai di puncak kemenangan dengan jalan
pengkhianatan. Kita orang Muslim sebelum segalanya. Jika kita menguasai dunia
dengan membunh akhlak Islam, maka kita rugi.”
Itulah segelintir kisah Imam Hasal al Hudhaibi. Kendati ia kini telah
meninggal dunia, namun kisah perjuanganya telah memberikan kita teladan
terindah tentang kesabaran saat bertemu musuh dan tegar di atas kebenaran.
Ia mengajarkan kepada kita tentang arti kebebasan yang sesungguhnya.
Kebebasan yang tidak pernah bisa dihalang-halangi oleh tembok-tembok beton
atau jeruji-jeruji besi yang mengekang fisik kita. Sebagaimana kalimatnya,
“Penjara adalah kondisi kejiwaan, bukan dinding dan rantai.”
Sejarah Penjara Dalam Islam
Telah dimaklumi bersama bahwa Rasulullah ‫ صلى الله عليه وسلم‬dan khalifah
Abu Bakar ash-Shiddiq ‫ رضي الله عنه‬tidak membuat penjara dalam tempat tertentu,
tetapi hanya di rumah atau diikat di salah satu pagar masjid dan sebagainya.
Ketika pada zaman Umar bin Khaththab ‫رضي الله عنه‬, rakyat semakin banyak dan


Khilafah Islamiyyah semakin menyebar, beliau membeli rumah Shafwan bin
Umayyah yang di Makkah dengan 4.000 dirham dan menjadikannya sebagai
tempat penjara. Maka tercatatlah Umar ‫ رضي الله عنه‬sebagai orang yang pertama
kali membuat rumah penjara dalam Islam, (ath-Thuruq al-Hukmiyyah fis Siyasah
Syar'iyyah oleh Ibnul Qayyim hlm. 140-141, Tabshiratul Hukkam oleh Ibnu
Farhun 2/215)
Ketika pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ‫رضي الله عنه‬, beliau
membangun (bukan membeli) rumah penjara dan memberinya nama "Penjara
Nafi' (yang bermanfaat)". Namun, sayangnya, penjara yang beliau bangun
tersebut tidak kokoh sehingga banyak orang yang dipenjarakan lepas. Setelah itu,
beliau membangun penjara baru lagi yang beliau beri nama Mukhayyis. Maka
tercatatlah dalam sejarah bahwa Ali ‫ رضي الله عنه‬adalah pembangun rumah penjara
untuk pertama kali dalam Islam. (Tabyinul Haqaiq oleh az-Zaila'i 4/179)
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala
yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi
sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR Muslim no. 2674).
Konsep Penjara dalam Islam
Islam memiliki konsep tentang hukum pidana. Dalam pembahasan kali ini
disampaikan bagaimana gambaran ringkasi konsep penjara di dalam Islam.

1.

Islam tidak pernah mencampurkan antara takzir dengan hukum yang sudah
ada di dalam Alquran. Hukum yang sudah ditetapkan di dalam Alquran
misalnya adalah qishash.
Di Indonesia itu aneh. Pernah ada kasus pembunuhan terhadap keluarga

marinir. Sugeng sang pembunuh, menulis surat kepada SBY untuk mengajukan
protes karena ia merasa dizhalimi. Pasalnya, dia akan dieksekusi mati padahal
telah dipenjara selama dua puluh tahun. Memang sekarang ini sudah kebolakbalik. Seorang PNS yang berzina, misalnya, dia hanya dimutasi. Sedangkan PNS

yang Poligami akan dipecat.
2.

Narapidana tidak boleh dihalangi untuk mendapatkan hak-haknya berupa
mendapatkan cahaya matahari, air, udara, pendidikan, serta kebutuhan
biologis.
Penjara dalam Perspektif Fiqh Jinayat

1.


Pendahuluan
Ketika Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum melakukan

inspeksi mendadak di awal tahun 2010, dan menemukan “hotel mewah” di rutan
Salemba, masyarakat mempertanyakan tentang fungsi penjara yang selama ini
berganti nama dengan Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Indonesia ini. Artalyta
Suryani, terpidana kasus suap Rp 6 miliar kepada jaksa Urip Tri Gunawan, yang
menikmati fasilitas itupun merasa bahwa perlakuan ini sesuatu yang wajar. Dari
ruang tahanan itu pula dia rutin mengadakan rapat bisnis dengan anak buahnya.
Penjara yang di Indonesia dikenal sejak tahun 1905 pada mulanya
diperuntukkan untuk para tahanan politik. Mereka yang menantang pemerintah
Hindia Belanda dijebloskan ke penjara sebagai tempat pembalasan atas tindakan
kriminal perlawanan terhadap Belanda. Konsep inilah yang hingga saat ini
menjadi pegangan khususnya para pengambil kebijakan untuk meneruskan
eksistensi pidana penjara.
Sekarang ini penjara yang merupakan Unit Pelayanan Teknis di bawah
Departemen Hukum dan HAM RI, telah beralih nama Lembaga Kemayarakatan.
Namun, dalam action-nya belum bisa berfungsi dengan maksimal. Ada dua alasan
klise yang menjadi kendala. Pertama, masalah otonomi yang terkait dengan

terbatasnya pilihan dalam perencanaan dan penganggaran. Kedua, adalah masalah
teknologi, yaitu kemampuan pelaksanaan fungsi teknis khususnya pola, bentuk,
substansi dan kapasitas pendukung proses pembinaan. Dengan masalah tersebut
para penyelenggara penjara merasa wajar apabila fungsi penjara belum

dilaksanakan secara maksimal.
Gagasan Negara Tanpa Penjara yang pernah digulirkan oleh beberapa tokoh
perlu mendapat apresiasi di saat ketidakmampuan Negara menjalankan fungsi
penjara senbagaimana mestinya. M Cherif Bassiouni (2009), seorang ahli hukum
Pidana Islam (Islamic Criminal law) menyatakan bahwa hukum pidana penjara
penuh dengan gambaran hukuman masa lampau. Teori retributif (teori
pembalasan) yang dikenal dalam hukum pidana merupakan a realistic of
barbarism. Begitu juga dengan International Conference in Prison Abolition
(ICOPA) dalam Konggres ke 3 tahun 1987 menggagas pergeseran dari prison
abolition menjadi penal abolition. Bahkan Professor Hazairin Hukum Adat dan
Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1980-an pernah
menerbitkan buku dengan judul Tujuh Serangkai Tentang Hukum, tepatnya di
bawah judul ”negara tanpa penjara”.
Seiring dengan penghargaan yang tinggi terhadap Hak Asasi Manusia, konsep
penjara seakan perlu dievaluasi eksistensi penjara baik dari aspek teori maupun

praktis. Tulisan ini mencoba melakukan analisis secara teoritik wabil khusus dari
perpektif ilmu pidana Islam (fiqh jinayat).
2.

Teori Hukuman dalam Fiqh
Hukuman atau punishment berarti a penalty imposed on an offender for a

crime or wrong doing (Neufeldt, 1996:1091) (hukuman yang dijatuhkan kepada
pelanggar kejahatan atau melakukakan kesalahan), sedangkan dalam istilah
bahasa Arab dikenal dengan kata ‫‘( عقوبة‬uqūbah) yang berarti siksa atau hukuman
(Munawwir, 1996:952) yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan
Syari’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Dalam konteks Negara kita, pidana penjara adalah salah satu jenis pidana
pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) dan
RUU KUHP mendatang (Ius Constituendum). Sehingga, sampai saat ini pidana

penjara masih menjadi ‘primadona’ dalam hukum pidana Indonesia.
Menurut kamus hukum, penjara adalah tempat di mana orang-orang dikurung
dan dibatasi berbagai macam kebebasannya. Mereka dikirim ke penjara dalam
rangka mempertanggungjawabkan tindak kriminal, bukan utnuk pindah tempat
tinggal atau tempat berkator. Penjara diharapkan mampu meredam tindak kriminal
yang dilakukan oleh pelaku kriminal yang meresahkan masyarakat (Arief: 2010).
Penjara janganlah menjadi school of crime (sekolah kriminal), yang semula
penjahat kecil namun setelah masuk penjara justru tambah kebal dengan
kejahatan.
Dalam khazanah hukum Islam, pidana penjara biasa disebut dengan al-habsu
atau al-sijnu, yang secara etimologi berarti mencegah dan menahan. Sedangkan
istilah hukuman dalam hukum pidana Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abd
al-Qadir Audah (tt: 609),
‫العقوبة هى الجزاء المقرر لمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع‬
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat,
karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara’.
Berdasarkan pengertian bahasa di atas dapat dipahami bahwa hukuman
(punishment/uqūbah) adalah segala bentuk siksa, sanksi atau sejenisnya yang
dikenakan kepada seseorang akibat dari perbuatannya yang melanggar
ketententuan-ketentuan atau peraturan, baik yang ditetapkan oleh Tuhan dalam
firman-firman-Nya ataupun peraturan yang disepakati bersama mayarakatnya,
seperti norma, perundang-undangan dan sejenisnya.
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari syariat adalah
dalam rangka mencapai kemashlahatan tingkat dharuri (primer), hajji (skunder),
dan tahsini (tersier) (Khallaf: 1978). Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan
hukuman dalam syari’at Islam ada dua, yaitu pencegahan (‫ )زجر‬dan pengajaran
atau pendidikan (‫)تهذيب‬. (Hanafi, 1967: 255).
Pencegahan ialah menahan pelaku agar tidak mengulangi perbuatan

jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya. Disamping itu juga
sebagai pencegahan terhadap orang lain agar ia tidak melakukan perbuatan
jarimah, sebab ia mengetahui hukuman yang diterima bila ia melakukan perbuatan
jarimah serupa. Perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman dapat berupa
pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban. Dalam keadaan
seperti itu boleh jadi hukuman meninggalkan kewajiban jauh lebih berat, karena
tujuan penjatuhan hukuman pada meninggalkan kewajiban ialah memaksa pelaku
untuk mengerjakan kewajiban.
Begitu juga dalam hukum pidana umum, tujuan pemidanaan yang
berkembang dari dahulu sampai sekarang telah semakin munjurus ke arah yang
lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan (revenge)
atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban
kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa
pengaruhnya pada zaman modern ini.
Sekarang ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3
golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu: (1) teori
absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien), (2) teori relatif atau teori
tujuan (doeltheorien), dan (3) teori gabungan (verenigingstheorien).
Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh
Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang
mendasarkan teorinya pada filsafat. Teori ini menyatakan bahwa pemidanaan
tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.
Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk diajtuhkannya
pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya kejahatan. Oleh karena
itulah maka teori ini disebut teori absolut.
Yang kedua, teori relative yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah
untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan,

memperbaiki atau membinasakan. Yang ketiga teori gabungan antara pembalasan
dan prevensi terdapat beberapa variasi.
Shiddiqie (1997:5297) membagi macam-macam hukuman dalam Islam
menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat (‫ )العقوبة الخروية‬dan hukuman dunia (
‫)العقوبة الدنيوية‬. Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah Swt, adalah hukuman
yang benar (haq) dan adil (‘adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya.
Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu: hudud dan takzir.
Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh
Syari’ dengan nash-nash yang jelas. Hukuman had menurut Hanafiyah ada tujuh
macam yaitu, had zina, had qadzf, had pencurian, had minum hamr, dan had
mabuk. Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam
yaitu had zina, had qadzf, had pencurian, had hirabah, had mabuk-mabukan, had
qisas, had riddah.
Al-Hudud, sanksi hukum yang tertentu dan mutlak yang menjadi hak Allah,
yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sanksi itu wajib dilaksanakan, manakala
syarat¬syarat dari tindak pidana itu terpenuhi. Sanksi ini di¬kenakan kepada
kejahatan-kejahatan berat seperti zina, sariqah, riddah, qadzaf dan lain-lain.
Sedangkan Qishash adalah sanksi hukuman pembalasan seimbang, seperti
membunuh terhadap si pembunuh. Al-Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk
ganti rugi, seperti jika ahli waris si terbunuh memberi maaf maka hukuman
alternatif adalah diyat. Sanksi hukum Qishash dan Diyat adalah merupa¬kan
sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.
Sedangkan Takzir, adalah sanksi hukum yang diserahkan kepada keputusan
hakim atau pihak berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu,
seperti memenjarakan, mengasingkan dan lain-lain. Inilah keluwesan takzir
sebagai bentuk hukum Islam yang shalihun likulli zamanin wamakanin.
Secara umum kajian hukum Islam terbagi menjadi hukum ijtihadi (pemikiran

hukum) dan hukum tatbiqi (penerapan hukum). Sangsi penjara merupakan salah
satu bentuk upaya hukum dalam ranah tatbiqi. Untuk itu dalam pespektif fiqh
jinayat, sangsi penjara tetap diberlakukan apabila oleh hakim dibutuhkan dan tepat
untuk memberikan balasan dan pendidikan bagi pelaku kejahatan.
3.

Pidana Penjara dalam Perspektif Fiqh Jinayat
Hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum, mempunyai tiga aspek

kajian; yakni tindak pidana ( rukn al-amali ), pertanggungjawaban pidana ( rukn
al-madi ), dan pidana atau hukuman ( rukn al-syar"i ). Tiga aspek tersebut harus
dipahami secara simultan sehingga akan menggambarkan hukum pidana Islam
sebagai sebuah sistem hukum yang universal (Zuhaili, 1997).
Banyak umat Islam yang memahami hukum pidana Islam hanya dilihat dari
satu rukun yakni rukun syar’i, yakni materi pidana, sehingga hukum Islam hanya
difahami dari aspek pidana/ hukuman ( uqubat ) seperti hukum mati, potong
tangan, rajam (terpidana dilempar batu hingga mati), penjara, dan jilid (terpidana
dipukul dengan rotan). Padahal hukum pidana Islam juga membahas tentang
pertanggungjawaban pidana dan perbuatan pidana. Dengan memahami perbuatan
hukum dan pertanggungjawaban hukum sekaligus, wajah hukum pidana Islam
tidak terkesan bengis, barbarian ala Arab pada masa klasik.
Dari ketiga rukun tersebut, yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini
adalah menyangkut masalah pidana dan pemidanaan. Ancaman pidana yang
dikenakan pada tiap-tiap perbuatan pidana hakekatnya adalah menggambarkan
ketercelaan dan keseriusan perbuatan yang bersangkutan. Dalam hukum pidana
Islam (fiqh jinayat), hukum qishosh diyat berbeda dengan hudud, begitu juga
dengan takzir yang secara substansial lebih rendah dari qishosh dan hudud.
Untuk qishosh, diyat dan hudud mestinya sudah jelas dituliskan dalam nashnash agama, tetapi untuk takzir ini yang rawan dengan subyektifitas. Dalam
hukum pidana dikenal azaz legalitas dengan nellum delictum nulla poena sine

prevea lege poenali (tak ada delik tanpa aturan yang tertulis dalam hukum). Begitu
juga dengan fiqh jinayat mengena la jarimata wa la uqubata illa binasshin (tidak
ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman kecuali ada nash yang
menunjukkan (Audah: tth).
Siddiqi (1987:204-6) membagi takzir, dilihat dari manfaat nya, menjadi tiga
hal:
1. Takzir atas maksiyat, yakni maksiyat yang tersebut dalam nash, seperti riba,
risywah, makan harta anaka yatim.
2. Takzir untuk kemaslahatan, seperti menakzir bapaknya seorang anak yang
melakukan tindak pidana, dengan harapan ada perhatian dari orang tua.
3.

Takzir atas perbuatan yang diperselisihkan, seperti melakukan perbuatan
makruh atau meninggalkan perbuatan yang sunnah.
Adapun bentuk-bentuk pidana takzir yang dikenal dalam teks fiqh jinayat di

antaranya; menyalib, jilid, pernjara, perampasan harta benda, dan lain lain. Di
antara takzir yang hingga sekarang ini banyak diberlakukan di beberapa Negara
adalah pidana penjara atau pengasingan. Istilah penjara yang menggunakan kata
al-habsu atau al-sijnu dalam bahasa Arab, bahkan dijadikan sebagai pidana pokok
dalam kitab undang-undang Hukum Pidana Negara-negara di dunia.
Di dalam Pasal 10 KUHP di Negara Indonesia misalnya diatur tentang jenisjenis pidana, yaitu yang terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan), dan pidana tambahan yang
terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu
serta pengumuman putusan hakim.
Lebih lanjut berkenaan dengan pidana penjara dalam Pasal 12 KUHP
ditegaskan:
(1)pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu;
(2)pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan
paling lama lima belas tahun berturut-turut;

(3)pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun
berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara
pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu;
begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena
perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam
Pasal 52 dan 52a.
Dalam berbagai kitab fiqh, pembahasan penjara menjadi bagian yang tak
terpisahkan dengan takzir. Berbagai perbuatan jarimah yang tidak masuk dalam
qishash diyat dan hudud dikenai dengan hukuman takzir. Contohnya antara lain
perbuatan menuduh zina atau qadhaf yang dilakukan oleh orang tua terhadap
anak-anaknya, apabila orang tua tidak bisa mengajukan empat orang saksi, maka
hukuman yang diberikan cukup dengan penjara atau pengasingan (Nihayah:
26/33).
Begitu juga dengan pencurian yang tidak memenuhi satu nishab. Bagi seorang
pencuri demikian tidak dipotong tangan tetapi di penjara sesuai dengan keyakinan
hakim. (Tuhfah:18/346).
Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa meski penjara senantiasa eksis
dalam setiap generasi fiqh, tetapi fiqh tidak merumuskan institusi penjara. Artinya
eksistensi penjara merupakan upaya penyesuaian fiqh dengan konteks di mana
fiqh berkembang.
Dalam perspektif ushul fiqh, hukum terbagi menjadi hukum ashliyyah dan
hukum muayyidat (Zarqa: tt). Hukum ashliyyat adalah inti atau substansi dari
hukum-hukum yang dijelaskan Allah dalam nash-nash sucinya. Potong tangan
bagi pencuri misalnya, yang paling substansi adalah larangan mencurinya karena
akan merugikan orang lain. Memotong tangan atau memenjarakan seorang pelaku
adalah hukum muayyidatnya yakni sangsi-sangsi hukum yang digunakan dalam
rangka menguatkan inti dari larangan mencuri.

Hukuman penjara mestinya hanyalah sebagai hukum muayyidat yang menjadi
penguat dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Sedangkan
penjara, pengasingan atau sangsi hukum lainnya hanyalah pelengkap. Untuk itu
hukum pidana Islam memandang efektifitas hukuman seperti penjara atau lainnya
disesuaikan dengan kondisi kekinian. Penjara bukan satu-satunya media untuk
menyadarkan dan menjerakan seseorang untuk berhenti untuk melakukan
pelanggaran hukum.

Sumber: http://imamyahya.blogspot.com/2010/04/penjara-dalam-perspektif-fiqhjinayat.html
http://m.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2014/01/16/14920/hasan-alhudhaibi-antara-negara-islam-dan-penjara.html#.VJj_FuBloGw
http://kisahislam.net/2012/07/31/penjara-pertama-kali-dalam-islam/
http://immfaiuad.wordpress.com/2009/02/01/konsep-penjara-dalam-islam/
http://ibnumajjah.com/2013/04/29/fiqih-penjara/