BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Faktor Dominan Anak Putus Sekolah di Kelurahan Sipolha Horisan Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian-penelitian Anak Putus Sekolah sebelumnya dan metodologi penelitian yang digunakan.

  Beberapa penelitian tentang permasalahan fakor anak putus sekolah diberbagai daerah di Indonesia serta metodologi penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: 1.

  Penelitian pemetaan anak tidak sekolah dan putus sekolah di daerah tertinggal Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, UNICEF Indonesia, Lembaga Penelitian SMERU . Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan strategis, yaitu (1) pengumpulan data; (2) analisis data; dan (3) penyajian hasil analisis data (pelaporan). Analisis data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan cara deskriptif kuantitatif dan kualitatif,yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik pada data primer maupun sekunder. Fenomena anak tidak sekolah di daerah tertinggal Kabupaten Banjar dengan jumlah 598 jiwa (9,89%) di enam wilayah kecamatan merupakan permasalahan yang harus segera ditemukenali berbagai faktor penyebabnya.

  Kondisi geografis wilayah kecamatan daerah tertinggal Kabupaten Banjar secara umum merupakan daerah terisolasi yang bersentuhan secara langsung dengan Pegunungan Meratus dengan keterbatasan akses dan informasi. Terdapat tujuh faktor penyebab anak tidak sekolah, meliputi: (1) tingkat pendapatan orang tua, (2) jumlah beban tanggungan keluarga, (3) perhatian orang tua, (4) anak bekerja, (5) anak tidak minat sekolah, (6) keberadaan orang tua (yatim piatu), dan (7) akses terhadap pendidikan

  Faktor anak putus sekolah didominasi oleh empat faktor, yakni anak bekerja (29,48%), anak malas (17,93%), dan anak berhenti sendiri (13,94%). terdapat di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Simpang Empat (30,68%), Sungai Pinang (25,50%), dan Aluh

  ‐Aluh (20,32%). Dibanding dengan wilayah kecamatan lainnya, ketiga wilayah kecamatan tersebut merupakan wilayah yang secara geografis terisolir dan bersentuhan langsung dengan sistem Pegunungan Meratus. Tiga kecamatan tersebut memiliki akses terbatas meskipun mempunyai potensi sumberdaya alam seperti batubara yang hingga saat ini terus dieksploitasi (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, UNICEF Indonesia, Lembaga Penelitian SMERU, 2012).

  2. Faiz yazid dalam penelitiannya tentang permasalahan putus sekolah yang ada di Blok Kayen IndraMayu ditemukan, mulai dari jenjang SMP dan apalagi tingkat menengah atas. Jumlah putus sekolah siswa di Blok Kayen jika dilihat dari tahun 2008 jumlah putus sekolah bagi siswa SMP Blok Kayen sebanyak 25 orang, tahun 2009 menurun 18 orang dan tahun 2010 meningkat kembali 23 orang. Terkait kesadaran terhadap pendidikan, tanggapan dan respon masyarakat blok kayen terhadap pendidikan pada umunya mempunyai pandangan bahwa, pendidikan bukan menjadi hal yang dibutuhkan atau penting. Dari temuan di daerah tersebut, banyak orang tua yang lebih mendukung anaknya untuk membantu orang tuanya dalam mencari nafkah secara langsung, atau hanya untuk me-momong adeknya yang masih kecil dibandingkan memerintah anaknya untuk mengenyam pendidikan di sekolah.

  Padahal usia anak tersebut termasuk usia sekolah.

  Pada penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi. Etnografi sebagai metode, mempunyai karkteristik sebagai seperti:1.

  Peilaku manusia dikaji dalam kontek sehari-hari, bukan di bawah kondisi eksperimental yang diciptakan peneliti; 2. Data dikumpulkan dari suatu rentangan sumber, tetapi observasi dan percakapan yang relative informal biasanya lebih diutamakan; 3. Pendekatan untuk pengumpulan data tidak terstruktur dalam arti tidak melibatkan penggunaan suatu set rencana terperinci yang disusun sebelumnya, juga tidak meggunakan kategori yang telah ditetapkan sebelumnya untuk penginterpretasian apa yang dikatakan atau dilakukan orang (Yaiz, 2014).

  3. Penelitian yang dilakukan oleh Heppy Rosita Damanik di Desa Talang Sawah

  

Kec. Bermani Ilir Kabupaten Kepahiang untuk mengetahui faktor-faktor yang

  mempengaruhi penyebab anak putus sekolah . Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan penelitian deskriptif analisis. Pendekatan penelitian ini menggunakan beberapa tehnik yaitu wawancara mendalam (in-depth-interview), observasi, dan catatan lapangan.

  Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan anak putus sekolah pada masyarakat miskin di antaranya adalah ; 1) Ekonomi keluarga yaitu dengan ekonomi keluarga kurang (miskin) menyebabkan anak putus sekolah dan selain itu karena ekonomi kurang orang tua juga terpaksa menikahkan anak perempuannya demi mengurangi beban keluarga, di samping kultur masyarakat setempat yang beranggapan bahwa pendidikan bagi perempuan tidak terlalu penting. Di samping itu hasil penelitian ini menunjukkan ada faktor lain seperti ; a) lingkungan pergaulan, b) perhatian orang tua, c) hubungan orang tua dan anak, serta d) jarak sekolah dengan tempat tinggal yang relatif jauh (Rosita, 2013).

  4. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rizal Bagoe di Desa Suka Damai Kecamatan Bulango Utara Kabupaten Bone Bolango tentang faktor penyebab anak putus sekolah dan upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mencegah terjadinya anak putus sekolah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif naturalistik dengan pendekatan fenomologis, dalam penelitian ini didasarkan pada pandangan peneliti untuk berusaha memahami arti peristiwa yang ada kaitannya dengan orang biasa dalam arti tertentu.

  Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa faktor penyebab anak putus sekolah di Desa Suka Damai Kecamatan Bulango Utara Kabupaten Bone Bolango adalah faktor ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua, faktor lingkungan baik itu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah serta lingkungan masyarakat. Dengan faktor ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua yang sangat berpengaruh terhadap anak putus sekolah. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah desa Suka Damai Kecamatan Bulango Utara Kabupaten Bone Bolango dalam mencegah terjadinya anak putus sekolah. Mulai dari mengaktifkan kembali organisasi kepemudaan, memberikan danan BOS (bantuan operasional sekolah) dan PKH (program keluarga harapan), melaksanakan pembinaan melalui pendirian kembali TPQ serta melaksanakan program paket A, B dan C (Academia, 2014).

  5. Sama halnya dengan di Kecamatan Gresik Kabupaten Gresik penelitian yang dilakukan oleh Mauludea Mega Arizona tentang faktor anak putus sekolah juga disebabkan oleh diketahui bahwa anak usia16-18 tahun atau anak usia SMA/SMK masih banyak yang belum mengenyam pendidikan. diketahui bahwa jumlah anak yang putus sekolah pada tingkat SMA/SMK di Kabupaten Gresik adalah sebanyak 129 anak atau sebesar 10,50% dari jumlah siswa SMA/SMK. Di KabupatenGresik masih ditemui anak yang putus sekolah yaknisejumlah 63 anak atau 1,82% dari jumlah siswaSMA/SMK.

  Penyebab dari putus sekolah adalah kondisisosial orang tua, kondisiekonomi orang tua, dan psikologis anak.Sehingga perludiadakan penelitian mengenai hal tersebut dengan tujuanuntuk : 1) mengetahui faktor yang menyebabkan anak putus sekolah dari sisi kondisisosial orang tua, kondisiekonomi orang tua, dan kondisi psikologisanak, 2)mengetahui upaya yang telah dilakukan untuk mengatasikejadian putus sekolah pada tingkat SMA/SMK diKecamatan Gresik, 3) mengetahui persebaran anak putussekolah berdasarkan faktor penyebab kejadian putussekolah pada tingkat SMA/SMK di Kecamatan Gresik. Metode Penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian studi kasusmerupakan studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan datayang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi (Mauludea, 2013).

  6. Sejumlah studi lain juga menyimpulkan bahwa kemiskinan merupakan faktor pendorong yang paling mendasar yang dilakukan oleh Suyanto dkk tahun 1997, dimana lingkungan rumah tangga desa di Jawa, anak-anak dari keluarga miskin terpaksa ikut bekerja dan mencari nafkah sebagai pembantu dirumahnya sendiri atau pekerja dalam usaha lain. Dan biasanya, jika tenaga kerja wanita dipandang belum dapat memacahkan masalah ekonomi yang dihadapi, maka anak-anak yang belum dewasa pun tak segan-segan diikutsertakan dalam menopang kegiatan ekonomi rumah tangga. Dalam hal ini anak-anak tersebut tidak terbatas hanya bekerja membantu orang tua, melainkan juga bekerja di sektor publik sebagai buruh upahan (Suyanto, 2010:341).

  Dari beberapa penelitian di atas, terdapat perbedaan faktor yang mempengaruhi anak putus sekolah di setiap daerah serta menggunakan metode penelitian yang berbeda dari setiap penelitian terdapat menggunakan metode penelitian dengan pendekatan etnografi, pendekatan studi kasus dan lainnya.

  Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriftif, dimana peneliti bukan hanya mencari faktor penyebab anak putus sekolah tetapi juga menganalisis faktor dominan apa yang menyebabkan anak putus sekolah di Kelurahan Sipolha Horisan. Selain hal itu perbedaan antara penelitian yang di atas dengan penelitian yang dilakukan peneliti dilihat dari faktor penyebab anak putus sekolah dimana dijelaskan dalam penelitian diatas faktor penyebab anak putus sekolah di sebabkan oleh kemiskinan yang berdampak pada tingkat ekonomi keluarga anak. Jika dilihat dari latar belakang dari masyarakat di Kelurahan Sipolha Horisan bukan tergolong pada masyarakat miskin serta menganggap pendidikan itu penting, tetapi pada kenyataannya masih terdapat anak putus sekolah, sehingga peneliti tertarik meneliti apa yang menjadi faktor domina yang menyebabkan anak putus sekolah di daerah tersebut.

2.2 Konsep Anak

2.2.1 Pengertian Anak

  Anak merupakan aset yang menentukan kelangsungan hidup, kualitas kejayaan keluarga, kelompok, komunitas dan bangsa yang perlu dididik serta dipelihara agar tumbuh kembangnya berjalan dengan baik. Masa depan bangsa ada ditangan anak-anak masa kini oleh karena itu, mereka perlu disiapkan sejak masa prenatal hingga masa dewasa atau masa produktif. Agar setiap anak sejahtera dan mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh kembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, perlu dilakukan upaya perlindungan yang memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa diskriminasi.

  Secara umum dikatakan anak adalah seseorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang di lahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. Anak juga cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak adalah aset bangsa dimana, masa depan bangsa dan Negara dimasa yang akan datang berada di tangan anak sekarang. Semakin baik kepribadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu sebaliknya, apabila kepribadian anak tersebut buruk akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang. Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan. Bagi kehidupan anak, masa kanak-kanak seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahawa mereka bukan lagi anak-anak tapi orang dewasa.

  Menurut Konvensi Hak Anak (KHA) pasal 1 yaitu: setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun (Joni & Tanama, 1999 :135). Sedangkan menurut undang-undang RI tentang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 pasal 1, yaitu: “setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun termasuk janin dalam kandungan”.

  Anak merupakan makhluk sosial, yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak- kanak.

2.2.2 Hak-hak Anak

  Hak anak secara universal telah ditetapkan melalui sidang umum PBB dalam Deklarasi Hak-Hak Anak . Dengan deklarasi tersebut, diharapkan semua pihak baik individu, orang tua, organisasi sosial, pemerintah, dan masyarakat mengakui hak-hak anak tersebut dan mendorong semua upaya untuk memenuhinya. Terdapat sepuluh prinsip tentang hak anak yaitu: 1.

  Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi.

  2. Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau oleh peralatan lain, sehingga mereka mampu berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial dalam cara yang sehat dan normal.

  3. Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan identitas kebangsaan.

  4. Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial.

  5. Setiap anak baik secara fisik, mental, dan sosial mengalami kecacatan harus diberikan perlakuan khusus, pendidikan, dan pemeliharaan sesuai dengan kondisinya.

  6. Setiap anak bagi perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang memerlukan kasih sayang dan pengertian.

  7. Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas dasar wajib belajar.

  8. Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan bantuan yang pertama.

  9. Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk keterlantaran, tindakan kekerasan, dan eksploitasi.

  10. Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi berdasarkan rasial, agama, dan bentuk-bentuk lainnya (Huraerah, 2007: 32).

  Dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak

  BAB II Pasal 2-9 mengatur tentang hak-hak anak atas kesejahteraan, menjelaskan bahwa anak memiliki hak-hak atas kesejahteraan meliputi: hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan; hak atas pelayanan; hak atas pemeliharaan dan perlindungan; hak atas perlindungan lingkungan hidup; hak mendapat pertolongan pertama; hak memperoleh asuhan; hak memperoleh bantuan; hak diberi pelayanan dan asuhan; hak memperoleh pelayanan khusus; hak mendapat bantuan dan pelayanan (Prinst, 1997:57).

  Adapun hak-hak dasar anak memperoleh pendidikan menurut Undang- Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan minimal tingkat dasar. Bagi anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan yang tinggal di daerah terpencil, pemerintah berkewajiban untuk bertanggung jawab untuk membaiayai pendidikan mereka.”

  Dalam ringkasan undang-undang diatas, orang tua juga memiliki andil dalam pendidikan anak. hak-hak anak akan dapat diperjuangkan secara maksimal jika orang tua berpartisipasi memperjuangkannya. Akhirnya dasar akan hak anak bisa diperoleh untuk kehidupan yang lebih baik. Permbangunan manusia seutuhnya harus mendapatkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan meliputi: pangan, perlindungan, lingkungan fisik yang tidak terancam, keamanan, kesehatan, ilmu pengetahuan, pekerjaan, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul atauberserikat, dan menentukan nasib sendiri. Kebutuhan-kerbutuhan fundamental tersebut merupakan kerbutuhan mutlak bagi pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi manusia seutuhnya sebagai orang dewasa yang mempunyai tanggung jawab masa depan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara secara mandiri dengan melaksanakan pembangunan hak asasi manusia yang saling mendukung.

2.2.3 Perlindungan Anak

  Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Sebagai bagian dari umat manusia, hak-hak anak secara keseluruhan merupakan bagian dari hak asasi manusia termasuk diantaranya adalah hak untuk menganut agama berdasarkan pilihannya dan hak untuk memperoleh pelayan di bidang kesehatan, pendidikan dan sosial.

  Seperti yang diuraikan pada Bab IX Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, penyelenggaraan pelindungan anak dilakukan melalui berbagai mekanisme dan kegiatan, antara lain berupa penyediaan fasilitas umum; perlakuan khusus bagi anak antara lain adanya pengadilan anak dan lembaga pemasyarakatan anak yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak; bantuan pendampingan bagi anak pelayanan cuma-cuma bagi anak dari keluarga kurang mampu.

  Perlindungan anak dalam aspek pendidikan mencakup kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dan atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu,anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil . Sementara itu, perlindungan anak dalam aspek sosial antara lain berupa kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak

yang bermasalah, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga ( Pemberdayaan

  Perempuan dan Perlindungan Anak & Badan Pusat Statistik, 2012:60).

  Negara memberikan perlindungan kepada anak Putus sekolah tertuang dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa: a.

  Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan b. Setiap warga Negara wajib mengukuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

  c.

  Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

  d. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

  e.

  Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama perasatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Perlindungan hukum untuk anak juga tertuang dalam Konvensi Hak Anak

  (KHA) dalam pasal 28 , yaitu: Mengakui hak anak atas pendidikan : a. Membuat pendidikan dasar wajib dan tersedian secara cuma-cuma untuk semua anak.

  b.

  Mendorong pengembangan bentu-bentuk yang berbeda tentang pendidikan menengah, termasuk: pendidikan umum dan kejuruann yang tersedia dan bias diperoleh oleh setiap anak. Menerapkan pendidikan secara cuma-cuma dan menawarkan bantuan keuangan bila diperlukan.

  c.

  Membuat pendidikan tinggi wajib untuk semua anak, yang didasarkan pada kemampuan dari setiap sarana yang layak.

  d.

  Membuat informasi pendidikan dan kejuruan dan bimbingan yang tersedia dan dapat dicapai oeh semua anak.

  e.

  Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran anak secara teratur di sekolah dan penurunan tingkat putus sekolah (Prinst, 1997: 79).

2.3 Anak Putus Sekolah

2.3.1 Pengertian Anak Putus Sekolah

  Putus sekolah adalah proses berhentinya siswa secara terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak–hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Menurut Departemen Pendidikan di Amerika Serikat (MC Millen Kaufman, dan Whitener, 1996) mendefinisikan bahwa anak putus sekolah adalah murid yang tidak dapat menyelesaikan program belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak tamat menyelesaikan program belajarnya. Anak putus sekolah (drop out) adalah anak yang karena suatu hal tidak mampu menamatkan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah secara formal (Eonyhuh, 2013).

  Jadi, dari defenisi anak putus sekolah tersebut diatas dapat ditarik pengertian Anak Putus sekolah adalah terlantarnya anak dari sebuah lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai.

2.3.2 Program Wajib Belajar 9 Tahun

  Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45

  Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini mengandung implikasi bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu memberi kesempatan belajar yang seluas- luasnya kepada setiap warga negara. Dengan demikian, dalam penerimaan seseorang sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya perlakuan yang berbeda yang didasarkan atas jenis kelarruin, agama, ras, suku, latar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi.

  Dalam rangka memperluas kesempatan belajar pendidikan dasar, maka pemerintah mencanangkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun. lebih lanjut dikemukakan bahwa tahap penting dalam pembangunan pendidikan adalah meningkatkan pendidikan wajib belajar 6 tahun menjadi 9 tahun. Pendidikan wajib belajar 9 tahun menganut konsepsi pendidikan semesta (universal basic education), yaitu suatu wawasan untuk membuka kesempatan pendidikan dasar.

  Jadi sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk mengikuti pendidikan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas angkatan kerja secara makro.

  Wajib Belajar 9 Tahun merupakan salah satu program mewajibkan setiap warga negara untuk bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah . Ini ditujukan agar semua masyarakat Indonesia berhak mengenyam pendidikan yang layak dan membantu mengentaskan buta aksara.

  Mengenai usia wajib belajar Pasal 6 ayat 1 UU No 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa: ”Setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Lebih lanjut Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

  Penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar merupakan bagian dari kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk semua.

  Program wajib belajar 9 tahun ini merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan di Indonesia mengunakan konsep Taksonomi Bloom. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi domain, yaitu:

  1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.

  2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.

  3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin. Dengan penerapan konsep ini diharapkan setiap warga negara dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, setiap warga negara mampu berperan serta dalani kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, dan, memberikan jalan kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

  Program wajib belajar 9 tahun masih belum dapat berjalan sesuai rencana, itu semua terjadi karena banyaknya kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraannya. Adapun kendala dalam penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun, diantaranya:

  1. Tidak semua anak usia wajib belajar 7 – 12 tahun dapat mengikuti pendidikan di sekolah dasar karena faktor kemiskinan, geografis dan komunitas terpencil; 2. Anak usia wajib belajar belum memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan fasilitas belajar yang memadai. Anak-anak di pedesaan, pedalaman, atau terpencil belajar dengan fasilitas yang serba kekurangan, sebaliknya anak-anak di perkotaan fasilitas belajarnya relatif sudah memadai. Keadaan ini menimbulkan ketidakadilan dalam memperoleh pendidikan;

  3. Kekurangan guru di daerah pedalaman atau terpencil masih menjadi kendala bagi pelayanan proses pembelajaran; Penerapan wajib belajar 9 tahun juga belum bisa sepenuhnya bisa dinikmati seluruh masyarakat Indonesia khususnya bagi golongan kurang mampu.

  Seseorang yang berasal dari keluarga yang kurang mampu akan lebih memilih untuk bekerja membanting tulang hanya untuk memenuhi kebutuhan makannya saja ketimbang untuk bersekolah. Mereka menganggap bersekolah hanya membuang waktunya untuk mencari penghidupan.

  Nanum pada tahun 2007 pemerintah memberikan kebijakan baru untuk mendukung program wajib belajar 9 tahun dan dunia pendidikan dengan memberikan Bantuan operasional sekolah (BOS). Sebagai bukti bahwa pemerintah sangat peduli dengan kualitas pendidikan bagi anak-anak bangsa. Ini juga merupakan bagian dari mensukseskan program wajib belajar 9 tahun. Pemerintah jelas ingin membantu warga dalam membiayai dana pendidikan anak- anak dari tingkat SD kelas satu sampai kelas 9 SMP.

  Disamping itu, walaupun pemerintah telah menyediakan bantuan berupa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), namun hal itu belum bisa membuat program wajar 9 tahun berjalan lancar. Yang menjadi kendala, buku pelajaran untuk mengikuti pendidikan masih terasa diberatkan. Di tambah lagi kurikulum yang terus diganti oleh pemerintah, otomatis buku pelajaran yang digunakan akan berubah hampir setiap tahunnya. Ini masih memberatkan bagi siswa yang kurang mampu untuk mengikuti proses belajar dengan baik. Di samping itu, faktor lain yang menghambat program ini dapat berjalan dengan baik adalah faktor geografis dimana anak yang berada di daerah terpencil kurang bisa mengenyam pendidikan karena sulitnya daerah yang dicapai. Ini yang harus dipikirkan pemerintah kedepannya agar semua anak di Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang sebagaimana mestinya.

  Program ini juga belum sepenuhnya sempurna dilihat dari jangka umur yang diwajibkan dari umur 7 – 15 tahun, dirasakan anak SD dan SMP, yang tingkat kematangannya belum sempurna. Sehingga dianggap belum pantas dan siap untuk masuk kedunia kerja dan terjun kemasyarakat. Setelah di tingakt SMP diharapkan melanjutkan kembali ke SMA apabila ingin melanjutkan ke perguruan tinggi maupun ke SMK untuk mendapatkan keterampilan dan pengalaman kerja yang lebih. Ini menjadi tugas kita semua tidak hanya pemerintah, guna menciptakan SDM yang berkualitas.

  Walaupun telah dicanangkan pemerintah program wajib belajar 9 tahun dan penyediaan bantuan, namun masih ada terdapat anak-anak yang mengalami purus sekolah. Masalah putus sekolah ini dialami oleh anak yang berada di pendidikan SMP dan SMA, kendalanya saat ini wajib belajar hanya pada usia 15 tahun atau tingkat SMP. Dilihat dari permasalahan tersebut tahun 2015 pemerintah akan mencanangkan program wajib belajar 12 tahun dengan tujuan , dapat mengurangi jumlah masyarakat indonesia yang buta huruf, tidak dapat membaca,putus sekolah, serta menulis yang sebagian dari masyarakat Indonesia masih banyak yang mengalami hal demikian. Pemerintah berharap kedepannya tidak akan ada lagi masyarakat Indonesia yang mengalami buta huruf dan anak yang putus sekolah (Infomania, 2013).

2.3.3 Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Anak Putus Sekolah

  Jika dilihat mengapa anak putus sekolah tentunya tidak akan terlepas dari beberapa hal yang mempengaruhi sehingga tidak dapat menyelesaikan sekolah, wajar saja terjadi karena anak dihadapkan oleh beberapa kendala, baik yang datang dari diri sendiri maupun yang datang dari luar diri anak.

  Menurut Sukamdinata (dalam Suyanto, 2010:342) menyatakan penyebab anak putus sekolah adalah kesulitan ekonomi atau karena orang tua tidak mampu menyediakan biaya bagi sekolah anak-anaknya. Disamping itu, tidak jarang terjadi orang tua meminta anaknya untuk membantu pekerjaan orang tua. Di daerah perkotaan, anak-anak di bawah usia bekerja di pabrik-pabrik untuk membantu ekonomi orang tua. Adapun di daerah pedesaan, selain di sektor pertanian dan perkebunan, biasanya anak-anak bekerja disektot industry kecil, sektor informal, dan perdagangan tradisional. Kemiskinan menyebabkan ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pokok. menurut Johannes Muller mengemukakan kemiskinan dan ketimpangan struktur institusional adalah variabel utama yang menyebabkan kesempatan masyarakat khususnya anak-anak untuk memperoleh pendidikan menjadi hambatan.

  Terdapat beberapa profil rumah tangga miskin yaitu:

  1. Sosial demografi yang meliputi rata-rata jumlah anggota rumah tangga, persentase wanita sebagai kepala rumah tangga, rata-rata usia kepala rumah tangga dan pendidikan kepala rumah tangga.

2. Kemampuan membaca dan menulis, tingkat pendidikan 3.

  Sumber penghasilan utama

  4. Tempat tinggal (perumahan) yang dilihat dari luas lantai, jenis lantai, jenis atap, jenis dinding, jenis penerangan, sumber air, jenis jamban, status pemilik rumah tinggal (Sub Direktorat Analisis Statistik :2008) Faktor kekerasan yang terjadi disekolah dapat menyebabakan anak putus sekolah, dimana dampak kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan seksual, maupun kekerasan psikologis atau juga dikenal dengan kekerasan verbal sangat berpengaruh pada kondisi psikologis/emosional anak. Biasanya anak anak akan mengalami ganguan kepribadian, sering menyendiri, menarik diri dari pergaulan temam sebaya, kehilangan kepercayaan diri, dihantui perasaan takut jika berhadapan dengan guru, semangat dan motivasi belajar menurun, dan daya kreatifitas berkurang. Semua hal tersebut, tentu akan berpengaruh pada menurunnya prestasi belajar anak yang berujung pada ketidakinginan anak untuk sekolah (Huraerah, 2007 : 107).

  Selain menurut ahli diatas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya anak putus sekolah yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat yaitu faktor Individu, keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah A.

  Faktor Individu Faktor individu yang mempengaruhi anak putus sekolah antara lain: 1.

  Kurangnya Minat Anak untuk Bersekolah Meyebabkan anak putus sekolah bukan hanya disebabkan latar belakang pendidikan orangtua, juga lemahnya ekonomi keluarga tetapi juga datang dari dirinya sendiri yaitu kurangnya minat anak untuk bersekolah atau melanjutkan sekolah. Anak usia wajib belajar semestinya menggebu-gebu ingin menuntut ilmu pengetahuan namun karena sudah terpengaruh oleh lingkungan yang kurang baik terhadap perkembangan pendidikan anak, sehingga minat anak untuk bersekolah kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya, adapun yang menyebabkan anak kurang berminat untuk bersekolah adalah : anak kurang mendapat perhatian dari orangtua terutama tentang pendidikannya,juga karena kurangnya orang- orang terpelajar sehingga yang mempengaruhi anak kebanyakan adalah orang yang tidak sekolah sehingga minat anak untuk sekolah sangat kurang. Anak seusia wajib belajar sudah kenal mengenal bahkan sudah mampu untuk mencari uang terutama untuk keperkuannya sendiri seperti jajan . Hal ini tentu akan mempengaruhi terhadap cara dan sikap anak dalam bertindak dan berbuat. Selain itu tinggi rendahnya minat untuk meneruskan sekolahnya juga dipengaruhi oleh prestasi belajar anak itu sendiri. Anak yang berpresatsi belajarnya rendah tentu tidak naik kelas. Artinya anak tetap tinggal dikelas, dengan harapan agar anak dapat meningkatkan presatasinya. Anak didik yang gagal dalam belajar dan tidak naik kelas ada dua kemungkinan yang terjadi pada dirinya. Pertama anak akan merasa malu terhadap teman-teman dan dan guru disekolah karena ia tidak bisa seperti teman-temannya, maka ia malas pergi kesekolah. Kedua yaitu kegagalan dalam belajar akan menjadi cambuk baginya untuk belajar lebih giat dan rajin agar agar dapat menandingi teman-temannya dan kalau bisa lebih baik atau lebih tinggi dari teman-temannya semula. Yang sering terjadi adalah kemungkinan pertama ,bila gagal dalam belajar maka anak akan malas pergi kesekolah dan meninggalkan sekolahnya yang belum selesai.

  2. cacat fisik/mental

  Faktor cacat fisik/mental pada anak akan berdampak terhadap pendidikan anak perlu dipahami terlebih dahulu gangguan pada otak yang dapat menyebabkan terhambatnya proses penerimaan informasi pada anak sehingga IQ anak yang dimiliki anak sangat rendah sehingga dapat memungkinkan anak putus sekolah B. Faktor Keluarga Faktor keluarga yang mempengaruhi anak putus sekolah anatara lain: 1.

  Ekonomi Keluarga Mereka yang putus sekolah ini kebanyakan berasal dari keluarga ekonomi lemah, dan berasal dari keluarga yang tidak teratur. Akibat tekanan kemiskinan dan latar belakang sosial orang tua yang kebanyakan kurang atau bahkan tidak berpendidikan, di daerah pedesaan kerap terjadi anak-anak relatif ketinggalan dibandingkan dengan teman-temannya dan tidak jarang pula anak kemudian putus sekolah di tengah jalan karena orang tuanya tidak memiliki biaya yang cukup untuk menyekolahkan anak. Anak-anak dari keluarga pedesaan umunya hanya memiliki fasilitas belajar yang pas-pasan misalnya buku tulis yang kumal, tas yang sederhana, dan orang tua anak bersikap acuh tak acuh pada urusan sekolah anak, sehingga anak sendiri kemudian tidak pernah merasakan bahwa sekolah itu memang penting bagi masa depannya. Di lingkungan rumah tangga, anak-anak dari keluarga miskin terpaksa ikut bekerja dan mencari nafkah.

  Kurangnya pendapatan keluarga menyebabkan orangtua terpaksa bekerja keras mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari,sehingga pedidikan anak kurang terperhatikan dengan baik dan bahkan nmembantu orangtua dalam mencukupi keperluan pokok untuk makan sehari-hari misalnya anak membantu orangtua kesawah karena dianggap meringankan beban orangtua, anak diajak ikut orangtua ketempat kerja yang jauh dan meninggalkan sekolah dalam waktu yang cukup lama. Dan apalagi yang menjadi buruh tanpa tujuan untuk membantu pekejaan orangtua, setelah merasa enaknya membelanjakan uang hsil usaha sendiri akhirnya tidak terasa sekolahnya ditinggalkan begitu saja, anak perempuan disuruh mengasuh adiknya diwaktu ibu sibuk bekerja.

2. Perhatian Orang Tua

  Rendahnya perhatian orang tua terhadap anak dapat disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga atau rendahnya pendapatan orang tua si anak sehingga perhatian orang tua lebih banyak tercurah pada upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Persentase anak yang tidak dan putus sekolah karena rendahnya kurangnya perhatian orang tua. Dalam keluarga miskin cenderung timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan pembiayaan hidup anak, sehingga mengganggu kegiatan belajar dan kesulitan mengikuti pelajaran. Banyak sekali anak yang putus sekolah ini diakibatkan karena keadaan dirumahnya, biasanya dialami pada masa SMP dan SMA, karena pada masa itu anak sedang mencari jati dirinya sendiri, sehingga sangat sulit untuk dinasehati orang tunya. Itu berakibat hubungan sang orang tua dengan anak menjadi tidak harmonis lagi.

  3. Latar Belakang Pendidikan Orang Tua Pendidikan orang tua yang hanya tamat sekolah dasar apalagi tidak tamat sekolah dasar, hal ini sangat berpengaruh terhadap cara berpikir orang tua untuk menyekolahkan anaknya, dan cara pandangan orang tua tentu tidak sejauh dan seluas orang tua yang berpendidikan lebih tinggi.

  Orangtua yang hanya tamat sekolah dasar atau tidak tamat cenderung kepada hal-hal tradisional dan kurang menghargai arti pentingnya pendidikan. Mereka menyekolahkan anakknya hanya sebatas bisa membaca dan menulis saja, karena mereka beranggapan sekolah hanya membuang waktu,tenaga dan biaya, mereka juga beranggapan terhadap anak lebih baik ditujukan kepada hal-hal yang nyata bagi mereka, lagi pula sekolah harus melalui seleksi dan ujian yang di tempuh dengan waktu yang panjang dan amat melelahkan. Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah merupakan suatu hal yang mempengaruhi anak sehingga menyebabkan anak menjadi putus sekolah. Akan tetapi ada juga orang tua yang telah mengalami dan mengenyam pendidikan sampai ke tingkat lanjutan dan bahkan sampai perguruan tinggi tetapi anaknya masih saja putus sekolah.

  4. Jumlah Saudara Besarnya jumlah saudara dimana dalam kaitannya dengan putus sekolah, semakin tinggi jumlah saudara semakin besar kemungkinan anak putus sekolah. Dalam hal ini, semakin banyak anggota keluarga maka beban yang akan ditanggung oleh kepala rumah tangga juga akan semakin besar. Semakin besar beban yang ditanggung oleh kepala rumah tangga, maka semakin besar kemungkinan anak untuk drop out sekolah.

  Keikutsertaan orangtua terhadap keluarga berencana dapat menekan terjadinya proses drop out anak usia sekolah.

  5. Perceraian Dari segi perceraian, menurut berbagai penelitian yang dilakukan di dalam maupun luar negeri, anak-anak dari keluarga yang bercerai menunjukkan penyesuain diri yang lebih buruk dibandingkan anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai. Dibandingkan anak-anak dari keluarga yang utuh,anak-anak keluarga yang bercerai lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah akademis, menunjukkan masalah sosial pada anak seperti kenakala remaja, memiliki hubungan intim yang kurang baik dan pada akhirnya anak putus sekolah

  C. Faktor Lingkungan Masayarakat Faktor lingkungan masyarakat yang mempengaruhi anak putus sekolah antara lain:

1. Budaya Masayarakat

  Pandangan masyarakat yang maju tentu berbeda dengan masyarakat yang keterbelakangan dan tradisional, masyarakat yang maju tentu pendidikan mereka maju pula, demikian pula anak-anak mereka akan menjadi bertambah maju pula pendidikannya dibanding dengan orang tua mereka. Maju mundurnya suatu masyarakat, bangsa dan negara juga ditentukan dengan maju mundurnya pendidikan yang dilaksanakan. Pada umumnya masyarakat yang terbelakang atau dengan kata lain masyarakat tradisional mereka kurang memahami arti pentingnya pendidikan, sehingga kebanyakan anak-anak mereka tidak sekolah dan jika sekolah kebanyakan putus di tengah jalan. Hal tersebut bisa terjadi karena mereka beranggapan sekolah sangat sulit, merasa tidak mampu, buang waktu banyak, lebih baik bekerja sejak anak-anak ajakan membantu orangtua, tujuan sekolah sekedar bisa membaca dan menulis, juga karena anggapan mereka tujuan akhir dari sekolah adalah untuk menjadi pegawai negeri, hal ini tentu karena kurang memahami arti, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional. Masyarakat yang tradisional jika mereka memahami fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada akhirnya akan menjadi masyarakat yang maju dan berkembang. Masyarakat yang terpencil atau masyarakat yang tradisional juga beranggapan bahwa sekolah itu pada dasarnya sedikit sekali yang sesuai dengan kehendak mereka, misalnya begitu lulus sekolah langsung mendapatkan pekerjaan, sekolah hendaknya tidak memerlukan biaya yang banyak, dan tidak memerlukan waktu yang sama

  2. Teman Sebaya Pengaruh dari teman sebaya siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya. Teman sebaya yang baik akan berpengaruh baik terhadap diri anak, begitu juga sebaliknya teman sebaya yang jelek pasti mempengaruhi yang bersifat buruk juga. Anak putus sekolah disebabkan oleh kegiatan bermain dengan teman sebayannya meningkat pesat, karena waktu dan kesempatan anak untuk bermain relatif longgar. Karena hal ini didasari oleh adanya persamaan-persamaan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Bagaimanapun juga adanya pergaulan ini mempunyai pengaruh terhadap sikap, tingkah laku, dan cara bertindak. Dimana pengaruh tersebut ada yang bersifat positif dan yang bersifat negatif.

  Bersifat positif yaitu bergaul dan berteman dengan orang yang berpendidikan dan berilmu pengetahuan yang lebih dari anak tersebut,akan mendapatkan manfaat kapada anak dan akan membantu dan memotivasi anak dalam belajar menuntut ilmu. Bila anak menemukan kesulitan akan mudah bertanya atau minta bimbingan kepada mereka yang lebih tahu. Selain itu,bergaul dengan orang yang berpengetahuan juga mendatangkan ketentraman,karena anak akan dapat di terima oleh lingkungan dimana anak tinggal. Dengan demikian terjalin kerja sama bantu membantu antara sesamanya didalam mensukseskan pembangunan,khususnya dalam bidang pendidikan. Sedangkan bersifat negatif yaitu Bergaul dengan orang yang dapat mendatangkan pengaruh negatif. Pengaruh negatif tersebut misalnya bila seorang anak didik mempunyai teman sepergaulan mayoritas tidak sekolah, maka sedikit banyaknya akan mempengaruhi kepada si anak.

  Khususnya yang berhubungan dengan kelangsungan dan kelancaran pendidikan anak disekolah,atau akan mengganggu belajar anak dirumah, seperti temannya mengajak jalan-jalan,ngbrol-ngobrol hingga tidak ingat waktu belajar. Bila anak bergaul dengan anak yang tidak bermoral atau berakhlak yang tidak baik, maka pada suatu saat nanti akan terpengaruh dan turut melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, disebabkan setia kawan yang dapat menjerumuskan anak . Dan akhirnya akan mengganggu pelajar di sdekolah,kemudian putus sekolah.

  D.

  Faktor Anak Bekerja Tersedianya sumber local yang dapat menjadi lahan pekerjaan bagi anak, pola rekrutmen yang mudah. Dari ketersedian sumber lokal menyebabkan anak meninggalkan bangku sekolah. Ditinjau dari sisi penawaran faktor utama anak bekerja karena bencana alam, buta huruf, ketidakberdayaan, kurangnya pilihan untuk bertahan hidup, kemiskinan orang tua yang membuat semakin buruknya keadaan yang dihadapi oleh keluarga sehingga mereka terpaksa meletakakan anaknya ke dunia kerja, serta keinginan anak untuk mendapatkan uang sendiri untuk keperluannya sendiri.

  (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, UNICEF Indonesia, Lembaga Penelitian SMERU, 2012).

2.3.4 Resiko Anak Putus Sekolah

  Sekolah sebagai satuan pendidikan dapat berperan dengan maksimal dalam kehidupan masyarakat, maka masyarakat dapat tercerdaskan dan terangkat harkat dan martabatnya. Namun, kini masih banyak masyarakat yang putus sekolah yang tentunya menjadi hambatan dalam ‘pengikisan’ pengangguran dan pembangunan ekonomi.

  Selain itu, Halik (2013), menyebutkan akibat yang ditimbulkan bagi anak putus sekolah adalah :

  1. Akibat putus sekolah dalam kehidupan sosial ialah semakin banyaknya jumlah kaum pengangguran dan mereka merupakan tenaga kerja yang tidak terlatih. Sedangkan masalah pengangguran ini di negara kita merupakan masalah yang sudah sedemikian hebatnya, hingga merupakan suatu hal yang harus ditangani lebih serius. Secara empiris telah terjadi kekurang-sepadanan antara supply (persediaan) dan

  demand (permintaan) keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya

  kekurangcocokan kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja, dimana friksi profil lulusan merupakan akibat langsung dari perencanaan pendidikan yang tidak berorentasi pada realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi masyarakat yang terus berubah. Pendidikan diposisikan sebagai mesin ilmu pengetahuan dan teknologi, cenderung lepas dari konteks kebutuhan masyarakat secara utuh.

2. Anak-anak yang putus sekolah dapat pula mengganggu keamanan.

  Karena tidak ada kegiatan yang menentu, sehingga kadang-kadang dapat menimbulkan kelompok-kelompok pemuda liar. Anak-anak nakal dengan kegiatannya yang bersifat negatif, seperti mencuri, memakai narkoba, mabuk mabukan, menipu, menodong, dan sebagainya. Produktifitas anak putus sekolah dalam pembangunan tidak seluruhnya dapat mereka kembangkan, padahal semua anak Indonesia memiliki potensi untuk maju.

  3. Menjadi subjek dan objek kriminalitas seperti ; kenakalan remaja, tawuran, kebut-kebutan di jalan raya, minum–minuman dan perkelahian, akibat lainnya juga adalah perasaan minder dan rendah diri, banyak orang yang menganggur. Itu dikarenakan banyak sekali anak yang tidak mempunyai ijasah, maupun tidak adanya pembekalan skiil bagi mereka yang putus sekolah. Hanya dengan generasi penerus yang terdidik dan cerdas serta bermoral, maka hari depan bangsa bisa dibayangkan titik terangnya. Namun pendidikan di Indonesia semakin lama semakin mahal. Kehidupan masa depan sang anak tidak terjamin karena tidak dibekali oleh pengetahuan dan keterampilan yang cukup, bahkan jika anak menjadi objek kriminalitas akan semakin membuat resah orang tua karena kelakuan semakin bebas dan membuat malu orang orang tua dan keluarga karena putus sekolah dan membuat masayarakat sekitar anak resah (Halik, 2011).

2.4 Pendekatan Penyelesaian Anak Putus Sekolah

  Berbagai upaya yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam usaha mengatsi anak putus sekolah dengan melibatkan semua unsur yang terkait baik instansi pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan.

  Menurut Prasetyo (2004: 203-212), guna mengatasi permasalahan anak putus sekolah terdapat metode yang dilakukan yaitu dengan mendorong pendidikan yang murah hingga ke level masyarakat paling rendah sesuai dengan Amandemen UUD 1945 yang mewajibkan sekolah menampung semua masayarakat , dengan bertujuan :

  1. Pendidikan yang murah dapat membuat masyarakat bergembira. Perasaan senang merupakan tugas utama sekolah, dengan kegembiraan masyarakat dapat mengerjakan pekerjaan. Orang tua adalah pihak yang paling diuntungkan jika pendidikan murah, karena pendidikan adalah kebutuhan yang dapat menciptakan seseorang disebut sebagai mahluk berakal.

  2. Menggalang kepedulian masyarakat pada permasalahan pendidikan.

  Masyarakat tidak akan memiliki kepedulian dengan pendidikan yang murah, tetapi kepedulian dipicu oleh keikutsertaan banyak pihak dalam lembaga pendidikan. Dengan biaya pendidikan yang murah maka kualitas masyarakat dapat ditingkatkan .

  Selanjutnya, menurut Suyanto (2010: 348-349) menyatakan untuk mencegah anak putus sekolah sekurang-kurangnya dapat dilakukan dua hal yaitu:

  1. Intervensi dini mencegah anak putus sekolah:

  a. Pemasyarakatan lembaga pendidikan prasekolah. Secara ilmiah, telah banyak bukti memperlihatkan bahwa dibandingkan anak yang tidak melalui jenjang taman kanak-kanak, anak didik yang sebelumnya masuk TK rata-rata memiliki kemampuan beradaptasi dan prestasi belajar yang lebih baik.

  b. Penanganan anak yang bermasalahan, khususnya anak yang memiliki prestasi belajar relatif buruk disekolah. Banyak bukti memperlihatkan bahwa anak yang tinggal kelas, lama-kelamaan mereka akan sering membolos, membenruk jarak yang semakin jauh dengan guru dan sekolah dan akhirnya anak putus sekolah.

  c. Memanfaatkan dukungan dari lembaga-lembaga dan forum di tingkat local yang sekiranya dapat dimanfaatkan untuk membantu kegaiatan belajar anak-anak rawan putus sekolah.

  2. Otonomi dan Fleksibilitas Sekolah

  Salah satu masalah yang dihadapi sekolah di pedesaan adalah banyaknya kasus siswa membolos karena terpaksa harus bekerja. Sebagai langkah kompromi dengan pertimbangan utama prinsip The best interest

  of the child, ada baiknya jika Depdiknas memberikan otoritas kepada

  kepala sekolah agar secara fleksisbel dapat mengatur jadwal belajar yang disesuaikan dengan irama musim dan kepadatan kegiatan bekerja anak- anak miskin di pedesaan. Sementara menurut Woodhead 1998 (dalam Fakih&Chambers, 2002: 259) menyatakan, pendekatan budaya untuk mengoptimalkan perkembangan anak dapat berpengaruh terhadap strategi pengurangan kemiskinan anak-anak, peningkatan kesempatan pendidikan, dan keadilan sosial dengan menggunakan perspektif yaitu: a.

Dokumen yang terkait

Gambaran Maloklusi dan Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Down 2.1.1 Definisi dan Karakteristik Sindrom Down - Gambaran Maloklusi dan Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan

0 1 15

6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kriptografi

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernafasan Normal - Perbedaan Nilai Skeletal Dalam Arah Vertikal Antara Pola Pernafasan Normal Dan Pernafasan Melalui Mulut Pada Pasien Di Klinik Ortodonti Rsgmp Fkg Usu Tahun 2009-2013

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pasar Modal - Studi Empiris Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Return Saham Perusahaan yang Indeks LQ45 di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Studi Empiris Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Return Saham Perusahaan yang Indeks LQ45 di Indonesia

0 0 11

Studi Empiris Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Return Saham Perusahaan yang Indeks LQ45 di Indonesia

0 0 11

II. PENGETAHUAN GIZI - Hubungan Pengetahuan Gizi dan Pola Makan Remaja Putri Dengan Kejadian Anemia Di SMP Negeri 2 Kota Pinang Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2014

0 0 47

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja Putri - Hubungan Pengetahuan Gizi dan Pola Makan Remaja Putri Dengan Kejadian Anemia Di SMP Negeri 2 Kota Pinang Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2014

0 10 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Plak Dental - Efek Berkumur Dengan Metode Oil Pulling Menggunakan Minyak Kelapa Terhadap Kondisi Gingiva Pada Mahasiswa Fkg Usu

0 1 24