PERAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGK

PERAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP
Anisa Aulia
anisaaulia170@students.unnes.ac.id

Abstrak
Masyarakat merupakan subjek yang memiliki peran penting dalam pengelolaan
lingkungan hidup yang diatur dalam UUPLH. Peran masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup melibatkan individu, kelompok masyarakat, dan
organisasi-organisasi lingkungan. Dengan telah ditegaskannya peran
masyarakat dalam UUPLH, maka masyarakat telah mendapatkan landasan
yang kuat bagi pelaksanaan peranannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Namun terkadang tidak jarang masyarakat dengan tingkat kepedulian yang
rendah terhadap lingkungan sendiri bahkan tidak segan untuk merusaknya
demi kepentingan pribadi dan pula sebuah kebiasaan yang timbul dalam
masyarakat yang memiliki potensi merusak lingkungan. Kunci keberhasilan
dalam pelestarian fungsi lingkungan ada di tangan manusia sebagai unsur
yang paling dominan dalam lingkungan hidup.

Kata Kunci: Peran Masyarakat, Lingkungan Hidup, Kebiasaan


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kasus
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup
keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral,
serta flora, dan fauna yang tumbuh diatas tanah maupun di dalam
lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti
keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu yang ada
disekitar manusia dan memengaruhi perkembangan kehidupan manusia.
Dalam Undang-undang no. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, disebutkan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia,
dan
perilakunya
yang
memengaruhi
kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Pengertian lingkungan hidup bisa dikatakan sebagai segala sesuatu yang

ada disekitar manusia atau makhluk hidup yang memiliki hubungan
timbal balik dan kompleks serta saling memengaruhi antara satu
komponen dengan komponen lainnya. Pada suatu lingkungan terdapat
dua komponen penting pembentukannya sehingga menciptakan suatu
ekosistem yakni komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik pada
lingkungan hidup mencakup seluruh makhluk hidup di dalamnya yakni

hewan, manusia, tumbuhan, jamur, dan benda hidup lainnya. Sedangkan
komponen abiotik adalah benda-benda mati yang bermanfaat bagi
kelangsungan hidup makhluk hidup di sebuah lingkungan yaki mencakup
taha, air, batu, dara dan lain sebagainya.

Lingkungan hidup dapat dikatakan bagian yang mutlak dari
kehidupan manusia dan menjadi sumber utama bagi manusa untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari lingkungan hidup, manusia dapat
memanfaatkan bagian-bagian lingkungan hidup seperti hewan,
tumbuhan, air, udara, sinar matahari, garam, kayu, barang-barang
tambang dan lain sebagainya; dari lingkungan pula manusia dapat
memeroleh kebtuhan prier dan sekundernya, bahkan manusia dapat
berkreasi dan mengembangkan bakat atau seninya.[1]

Berbicara mengenai lingkungan tidak lepas kaitannya dengan
permasalahan yang terjadi di dalamnya. Pembangunan yang dilakukan
secara spartan terutama di daerah perkotaan, baik yang terjadi di negara
berkembang atau di negara maju sekalipun, telah merubah cara pandang
masyarakat mengenai lingkungan. Mereka menganggap lingkungan
sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan dimanfaatkan dari pada dirawat
dan dipelihara. Hal ini berakibat akan ketidaksesuaian pada fungsi
lingkungan, yaitu fungsi daya dukung, daya tampung, dan daya lenting.
Seringkali proses pembangunan hanya memperhitungkan cost benefit
ratio tanpa mamperhitungkan social cost dan ecological cost. Mayoritas
pengembangan hanya menganggap lingkungan sebagai benda bebas
(res nullius) yang digunakan sepenuhnya untuk mendapatkan laba yang
sebesar-besarnya dalam waktu yang relatif singkat, yang berakibat
terganggunya fungsi lingkungan hidup.[2]
Tantangan terhadap kelestarian lingkungan hidup ini menjadi salah
satu masalah terbesar yang dihadapi oleh manusia. Bahkan sudah
menjadi
masalah
yang
menembus

batas-batas
negara,
dan
mempertaruhkan eksistensi manusia di muka bmi. Manusia hanyalah
salah satu unsur dalam mata rantai kehidupan di bumi, yang
menyebabkan ketergantungan pada sistem planet bumi sebagai life
support system. Sifat kebergantungan manusia terhadap lingkungan ini
dikuasai oleh hukum-hukum ekologi.[3] Kerusakan lingkunan sudah
menjadi masalah yang sangat mendesak untuk segara ditangani bagi
kehidupan manusia, karena dalam hal ini manusia yang menjadi pelaku
sekaligus sebagai korbannya. Keadaan semacam ini membuat lingkungan
terancam oleh potensi krisis lingkungan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut dengan UUPPLH) merupakan langkah awal kebijakan untuk penegakan hukum
lingkungan hidup. UUPPLH memuat prinsip-prinsip pengelolaan
lingkungan hidup yang berfungsi memberikan arahan (direction) bagi
sistem hukum lingkungan nasional, dan setelah 15 tahun akhirnya
undang-undang ini pun di cabut karena dianggap kurang sesuai dengan
1


NHT Siahaan, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan (Jakarta: Erlangga,
1987), 1
2
Syamsul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012), 1
3
Ibid., hlm. 2
4
Yulanto Araya, “Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di tengah Pesatnya
Pembangunan Nasional,”
Jurnal Legislasi Indonesia 10, no. 1 (2013), 1

agar terwujud pembangunan berkelanjutan sperti apa yang dicitakan
yaitu dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 209
dengan alasan agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan
perindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat, melalui penjatuhan sanksi pidana yang cukup
berat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.[4]


1

NHT Siahaan, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan (Jakarta: Erlangga,
1987), 1
2
Syamsul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012), 1
3
Ibid., hlm. 2
4
Yulanto Araya, “Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di tengah Pesatnya
Pembangunan Nasional,”
Jurnal Legislasi Indonesia 10, no. 1 (2013), 1

B. Kronologi Kasus
Sabana seluas 4.600 hektar yang tersebar di lima kabupaten Nusa
Tenggara Timur terbakar. Kebakaran terluas ada di Kabupaten Sumba
Timur dan Sumba Tengah dengan total 4.200 hektar. Kebakaran itu
diakibatkan oleh tradisi masyarakat membakar sabana untuk
mendapatkan rumput yang hijau bagi hewan ternak.

Kepala Stasiun Meteorologi El Tari, Kupang, Bambang Setiajid di
Kupang, Rabu 30 Agustus 2017 mengatakan, dari pantauan satelit
terlihat lima titik api di lima kabupaten di NTT. Kebakaran sejak 29
Agustus dan masih berlangsung sampai berita ini diturunkan, Rabu
malam. Kebakaran meluas dipicu angin kencang ditambah rumput di
sabana yang kering sehingga sangat mudah terbakar. “Kebakaran di
Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Sumba Barat terjadi hampir setiap
tahun. Di pulau Timor, kebakaran sering terjadi di Timor tengah Selatan
dan Timor Tengah Utara. Pula Flores sangat jarang sekali kebakaran
kecuali di Sikka. Sebagian besar pantai utara Sikka didominasi sabana”
katanya. Lima titik api ada di Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata,
Kecamatan Pureman, Kabupaten Alor, Kecamatan Mollo Selatan, Timor
Tengah Selatan, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur,
dan Kecamatan Umbu Ratu Nggay, Kabupaten Sumba Tengah.
Setiajid mengatakan, fasilitas pemantauan satelit di Stasiun
Meteorologi El Tari tidak mendeteksi luasan lahan terbakar. Namun,
Stasium Meteorologi El Tari mencatat dalam tiga bulan terakhir terjadi
kebakaran hampir di semua Kabupaten NTT. Bahkan, beberapa waktu lalu
disekitar Bandara El Tari terjadi kebakaran. Api tidak meluas karena
kawasan hutan terbatas. Hasil pantauan melalui satelit dilaporkan ke

Polda NTT dan Pemkab setempat untuk ditindak lanjuti. Ketua Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara Umbu Manurara yang dihubungi di Sumba
Tengah mengatakan, luasan terbakar di Sumba Timur dan Sumba Tengah
mengatakan, luasan terbakar di Sumba Timur dan Sumba Tengah sekitar
4.200 hektar. Kebakaran berawal dari sabana Napu di Sumba Timur
kemudian merambat ke Padang Tanah Mbana, Soru, dan Bilu Pangodhu di
Sumba Tengah. Sebagian kawansan Taman Nasional Umbu Ratu Nggay di
Sumba Tengah ikut terbakar.
Di Sumba, pada saat memasuki musim kemarau, umumnya padang
penggembalaan akan dibakar untuk mendapatkan rumput yang hijau
bagi hewan gembalaan. Namun, sampai saat ini belum ada lembaga
yang melarang untuk menjaga dengan ketat agar kawasan padang
penggembalaan tidak dibakar. Ketua Aliansi Masyarakat Adat Molo, Timor
Tengah Selatan, Alenta Baun mengatakan, luas kebakaran di Kecamatan
Mollo Selatan sekitar 250 hektar, termasuk sebagian cagar alahm
Gunung Mutis. “Kami berulang kali melakukan sosialisasi, bahkan
menggelar ritual adat agar warga tidak membakar lahan. Namu, setiap
tahun selalu kebakaran,” katanya.
Abdul Dore, warga Pureman Alor, mengatakan, kebakaran di
Pureman di perkirakan luasnya mencapai 100 hektar. Yohanes Lajar dari

[5]

“4.600 Hektar Sabana Terbakar.” Surat Kabar Kompas, 31 Agustus 2017, Bagian
Nusantara

Lebatka mengatakan, luas kawasan hutan yang terbakar 50 hektar,
tetapi sudah padam. Kebakaran tersebut menyebabkan rusaknya
ekosistem, mata air kering, tanah longsor di musim hujan, serta flora dan
fauna yang terancam punah. Kepala Bidang Human Polda NTT Ajun
Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan, tidak ada laporan
masayrakat terkait dengan keakaran karena sudah dianggap sebagai
tradisi.[5]

[5]

“4.600 Hektar Sabana Terbakar.” Surat Kabar Kompas, 31 Agustus 2017, Bagian
Nusantara

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan

uraian
diatas,
dapat
dirumuskan
beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan kebijakan dan peraturan mengenai
lingkungan hidup di Indonesia?
2. Bagaimana mekanisme hukum yang mengatur peran masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup?

PEMBAHASAN
Perkembangan Kebijakan dan Peraturan Mengenai Lingkungan Hidup
di Indonesia
Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum merupakan salah satu
bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai
banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana dan segi hukum
perdata. Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai
hukum yang mengatur tatanan lingkungan atau lingkungan hidup, dimana
lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya

manusia dan tingkah laku perbuatannya yang terdapat dalam ruang dimana
manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan
manusia termasuk jasad-jasad hidup lainnya. Dalam pengertian secara
modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau
Enviroment-Oriented Law, sedangkan hukum lingkungan secara klasik lebih
menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law
(Riana, 2009).
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa sistem pendekatan
terpadu atau utuh harus diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur
lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik, sistem pendekatan ini telah
melandasi perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Drupsteen
mengemukakan, bahwa hukum lingkungan (Millieu Recht) adalah hukum yang
berhubungan dengan lingkungan alam (Naturalijk Millieu) dalam arti seluasluasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang
lingkup pengelolaan lingkungan.
Sejalan dengan terjadinya pergantian pemerintah di Indonesia, pada
tahun 2004 yang lalu telah diadakan pemilihan umum untuk pertama kalinya
memilih langsung Presiden RI, dan terpilihlah pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden. Dalam masa
pemerintahannya, Presiden Sudilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 204-2009. Dalam ketentuan Perpres Nomor 7 Tahun
2005 pada poin 8 tentang Pemenuhan Hak Atas Lingkungan Hidup dan Sumber
Daya Alam, dinyatakan bahwa peningkatan akses masyarakat miskin dalam
pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam
dilaukan melalui berbagai program. Program-program tersebut antara lain
adalah:[6]
[6]

Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), 174-175

1. Program Pemanfaatan Sumber Daya Hutan. Di dalam proram sumber
daya hutan ini tercakup 2 (dua) hal:
a. Pengembangan sistem pemanfaatan sumber daya alam yang berpihak
pada masyarakat dan memperhatikan pelestarian hutan;
b. Pengembangan hutan kemasyarakatan dan usaha perhutanan rakyat.
2. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam. Di dalam
program ini tercakup 8 (delapan) hal, yakni:
a. Restrukturisasi peraturan tentang pemberian Hak Pengelolaan Sumber
Daya Alam;

[6]

Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), 174-175

b. Pembangunan organisasi masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup;
c. Pengembangan
dan
penyebarluasan
pengetahuan
tentang
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, termasuk kearifan
lokal;
d. Pengembangan sistem insentif bagi masyarakat miskin yang menjaga
lingkungan;
e. Pengembangan kerjasama kemitraan lembaga masyarakat setempat
dan dunia usaha dalam pelestarian dan perlindungan sumber daya
alam;
f. Kerjasama dan tukar pengalaman dengan negara lain dalam
meningkatkan kemampuan konservasi sumber daya alam;
g. Rehabilitasi ekosistem (lahan kritis, lahan marginal, hutan bakau,
terumbu karang, dan lain-lain) berbasis masyarakat;
h. Meningkatkan dan mengefektifksn kerjasama antarnegara dalam
mengatasi dan mencegah perdagangan hasil alam yang dilakukan
secara ilegal dan merusak alam.
3. Program pengembangan Kapasiatas Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup. di dalam program ini terdapat 5 (lima) hal yang menjadi sorotan,
yaitu:
a. Pengembangan sistem pemenfaatan sumber daya alam oleh
masyarakat;
b. Pengembangan sistem pengolaan sumber daya alam yang
memeberikan hak kepada masyarakat secara langsung.
c. Berorientasi kerjasama dengan perusahaan multinasional yang
memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup agar lebih
berpihak pada masyarakt miskin;
d. Kerjasama dan tukar pengalaman dengan negara lain dalam
meningkatkan penelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan;
e. Meningkatkan dan mengefektifkan kerjasama antarnegara dalam
mengatasi dan mencegah perdagangan hasil alam yang dilakukan
secara ilegal dan merusak alam.
4. Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup. di dalam program
ini mencakup: Pentingnya peran sektor informal khususnya pemulung
dan lapak dalam upaya pemisahan sampah;
5. Penegakan hukum bagi pihak yang merusak sumber daya alam dan
lingkungan hidup; Kerjasama dan tukar pengalaman dengan negara lain
dan lembaga internasional dalam mengatasi dan mencegah pencemara
lingkungan hidup dan mengembangkan kode etik global bagi perusahaan
multinasional.
Saat ini kebijakan lingkungan hidup Indonesia untuk jangka panjang
mengacu pada Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) dalam berbagai aspek/sektor
pembangunan sebagai upaya menyebarkan dan mencapai tujuan nasional
sebagaimana tersebut dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun
misi jangka panjang Indonesia yang berkaitan dengan lingkungan hidup ada

[7]

Mella Ismelina Farma Rahayu, “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan
Lingkungan Hidup,” Ethos Journal 1, no. 1 (2003), 4

apa Visi dan Misi Pembangunan Nasional 2005-2025, pada butir ke 6, yaitu
“Mewujudkan Indonesia Asri dan Lestari”.

Mekanisme Hukum yang Mengatur Masyarakat dalam Pengelolaan
Masyarakat
Dalam pengelolaan lingkungan hidup, peran serta masyarakat sangat
penting artinya bagi terlaksananya pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan. Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian jika kita berbicara
tentang peran serta. Pertama, peran serta masyarakat merupakan hak dasar
setiap warga negara (hak asasi manusia) dan dijamin oleh konstitusi yaitu
dalam Pasal 28 UUD 1945. Kedua, peran serta itu dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan publik dalam pemanfaatan sumber daya alam.[7]

[7]

Mella Ismelina Farma Rahayu, “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan
Lingkungan Hidup,” Ethos Journal 1, no. 1 (2003), 4

Sebagai pengimbangan dan adanya hak untuk berperan serta dalam
pengolaan lingkungan hidup, maka UUPLH mengatur pula mengenai kewajiban
masyarakat dalam memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup, termasuk
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. [8]
Keberadaan masyarakat yang merupakan salah satu bentuk pelaksanaan dari
peran serta masyarakat dalam pengeolaan lingkungan hidup berdasarkan Pasal
7 ayat (2) UUPLH, memberikan peluang yang besar bagi masyarakat adat
untuk mengembangkan peranannya dalam mengelola lingkungan hidup
mengingat mereka mempunyai kearifan tradisional yang diperoleh dari
pengalamannya berinteraksi dengan alam secara langsung.
Berkaitan dengan kasus diatas, membakar padang penggembalaan
untuk mendapatkan rumput yang hijau merupakan sebuah kebiasaan yang
hidup dikalangan masyarakat NTT. Kebiasaan ini biasa menyebabkan lahan
lebih dari 1000 hektar terbakar dan menyebabkan pencemaran udara. Hal ini
sangat bertentangan dengan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Masyarakat yang dalam hal ini memiliki peran dan kewajiban menjaga
lingkungan hidup agar tetap lestari namun justru menjadi penyebab rusaknya
lingkungan tersebut. Maka dari itu, masyarakat sendiri haruslah memiliki
kesadaran akan kewajibannya dalam menjaga alam sekitar, kebiasaan yang
menyebabkan lebih banyak dampak negatif dari pada dampak positifnya dapat
diubah dengan mencari alternatif yang lebih baik dan tidak memiliki potensi
untuk merusak alam.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Molo, Timor Tengah Selatan, telah
beberapa kali melakukan sosialisasi kepada masyarakat hingga menggelar
ritual adat agar masyarakat tidak membakar lahan. Namun, hal ini tidak
memberikan efek apapun, karena setiap tahun lahan masih tetap di bakar oleh
masyarakat. Dalam hal ini kita dapat meilhat bahwa kesadaran dari
masyarakat yang sangat kecil untuk menjaga lingkungan hidup.

KESIMPULAN
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara memiliki
kewajiban untuk mengatur sumber daya alam agar dapat dimanfaatkan ntuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencapai kebahagiaan hidup yang
berdasarkan Pancasila. Namun begitu, masyarakat juga memiliki peran yang
sangat penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. pengaturan hukum
secara umum mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
hidup telah di atur dalam UUPLH.
Kesadaran akan kewajiban juga harus tertanam dalam jiwa masyarakat
disamping mengelola lingkungan juga harus mementingkan kestabilitasan
lingkungan sekitar. Menggunakan cara yang tidak memiliki potensi untuk
merusak alam dalam mengelolanya. Indonesia merupakan negara yang sangat
kuat akan tradisi atau kebiasaannya, namun dilihat dari dampak yang di
timbulkan melalui kebiasaan tersebut yang apabila berpotensi rusaknya

[8]

Pasal 6 Ayat (1) UUPLH

lingkungan, maka sebaiknya mencari alternatif yang lebih baik supaya tetap
menjaga kelestarian lingkungan dan tradisi.

[8]

Pasal 6 Ayat (1) UUPLH

DAFTAR PUSTAKA
Machmud, Syahrul. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012.
Siahaan, NHT. Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan.
Jakarta: Erlangga, 1987.
Supriadi. Hukum Lingkungan di Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
Araya, Yulanto. “Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di tengah Pesatnya
Pembangunan Nasional,” Jurnal Legislasi Indonesia 10, no. 1 (2013).
Rahayu, Mella Ismelina Farma. “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Adat
dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup,” Ethous Journal 1, no. 1 (2003).
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Kompas, 31 Agustus 2017