Perlindungan Hukum terhadap Perusahaan Pialang dalam Kepailitan (Studi Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 08 Pdt.Sus.Pailit 2015 PN.Niaga.Jkt.Pst.)

27

BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG PIHAK-PIHAK YANG DAPAT
MENGAJUKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM
UNDANG-UNDANG KEPAILITAN

A. Persyaratan Permohonan Pernyataan Pailit
Dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor kepada
pengadilan niaga, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi. Ketentuan hukum
mengenai persyaratan tersebut telah diatur dalam UUK dan PKPU. Ketentuan
hukum tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU menyatakan bahwa:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
permohonan pernyataan pailit terhadap debitor hanya dapat diajukan apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.


Debitor harus mempunyai dua atau lebih kreditor.
Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan

pernyataan pailit adalah debitor harus mempunyai dua atau lebih kreditor. Dengan
demikian, undang-undang hanya memungkinkan seorang debitor dinyatakan pailit
apabila debitor tersebut memiliki paling sedikit dua kreditor. Syarat mengenai

Universitas Sumatera Utara

28

keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorum.36
Dengan kata lain, bahwa permohonan pernyataan pailit tidak dapat dilakukan
apabila debitor hanya memiliki satu orang kreditor.
Dalam hal seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka
eksistensi undang-undang kepailitan kehilanganraison d’etre-nya. Apabila
terhadap debitor yang hanya memiliki seorang kreditor dibolehkan dalam
pengajuan permohonan pernyataan pailit, maka harta kekayaan debitor, yang
menurut Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 37merupakan jaminan

utangnya, tidak perlu diatur cara membagi hasil penjualannya, karena sudah pasti
seluruhnya menjadi sumber pelunasan bagi kreditor tunggal itu. 38
Dengan demikian, persyaratan pertama yang mensyaratkan debitor harus
mempunyai lebih dari seorang kreditor ini selaras dengan ketentuan Pasal 1132
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 39 yang menentukan pembagian secara
teratur semua harta pailit kepada para kreditornya, yang dilakukan berdasarkan
prinsip pari passu pro rata parte. Dalam hal ini, yang dipersyaratkan bukan
berapa besar piutang yang mesti ditagih oleh seorang kreditor dari debitor yang
bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi kreditor dari debitor

36

Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2008), hal. 53.
37
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, segala
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan.
38

Aco Nur, Op.Cit., hal. 93.
39
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, kebendaan
tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya;
pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besarkecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan.

Universitas Sumatera Utara

29

yang bersangkutan. Disyaratkan bahwa debitor mempunyai utang kepada minimal
dua orang kreditor. 40
2.

Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih.
Syarat lain yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan

pernyataan pailit adalah syarat debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam Pasal 1 angka 6 UUK dan PKPU
menyatakan bahwa:
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,
baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang
wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada
kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.
Utang yang dimaksud dalam syarat ini adalah utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih. Suatu utang dikatakan jatuh waktu dan dapat ditagih jika utang
tersebut sudah waktunya untuk dibayar. Dalam suatu perjanjian biasanya diatur
kapan suatu utang harus dibayar. Jika suatu perjanjian tidak mengatur ketentuan
mengenai jatuh waktu utang, utang tersebut sudah waktunya untuk dibayar setelah
pemberitahuan adanya kelalaian diberikan kepada debitor. Dalam pemberitahuan
tersebut, suatu jangka waktu yang wajar harus diberikan kepada debitor untuk
melunasi utangnya. 41
Terhadap istilah “jatuh waktu dan dapat ditagih”, Sutan Remy Sjahdeni
berpendapat bahwa kedua istilah itu berbeda pengertian dan kejadiannya. Suatu
40


Aco Nur, Op.Cit., hal. 93.
Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 26.
41

Universitas Sumatera Utara

30

utang dapat saja telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu. Utang yang telah
jatuh waktu dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih, namun
utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh
waktu. Utang hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau
perjanjian utang piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor
sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian tersebut. 42
Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, yang dimaksud
“utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah:
“Kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena
telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana
diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang

berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau mejelis
arbitrase”.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka pengertian utang diberikan
batasan secara tegas, demikian pula pengertian jatuh waktu dan dapat ditagih, hal
ini semata-mata untuk menghindari adanya berbagai penafsiran. 43
3.

Atas Permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya.
Permohonan pernyataan pailit dapat dimohonkan oleh debitor itu sendiri

maupun oleh satu atau lebih kreditornya. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK
dan PKPU, yang dimaksud dengan “kreditor” adalah:
“Baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen.
Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan
atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya
untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing42

Ibid., hal. 27.

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme
Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 77.
43

Universitas Sumatera Utara

31

masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2”.
Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU menyatakan bahwa:
“Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5) UUK dan PKPU,
apabila debitor adalah bank, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Bank Indonesia. Dan dalam hal debitor adalah perusahaan efek,
bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan
penyelesaian, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Badan Pengawas Pasar Modal. Serta apabila debitor adalah perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang

bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya
dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
4.

Debitor harus berada dalam keadaan insolvent, yaitu debitor tidak membayar
lebih dari 50% utang-utangnya. Debitor harus telah berada dalam keadaan
berhenti membayar, bukan sekedar tidak membayar kepada satu atau dua
kreditor. 44
Dalam syarat ini, debitor harus dalam keadaan insolvent, yaitu debitor

telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada para kreditornya, bukan
hanya tidak membayar kepada satu atau dua orang kreditor saja, sedangkan
kepada kreditor lainnya debitor masih melaksanakan kewajiban pembayaran

44

Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal.32. Dalam
Eva Krisnawati, Op.Cit., hal. 82.

Universitas Sumatera Utara


32

terhadap utang-utangnya dengan baik. Dalam hal debitor hanya tidak membayar
kepada satu atau dua orang kreditor, sedangkan kepada kreditor lainnya debitor
masih membayar utang-utangnya, maka terhadap debitor tidak dapat diajukan
permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga tetapi diajukan gugatan
secara perdata kepada pengadilan negeri. 45
Dalam UUK dan PKPU, pengaturan tentang syarat kepailitan diatur
dengan lebih tegas, hal ini semata-mata untuk menghindari adanya: 46
a.

Perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor
yang menagih piutangnya dari debitor.

b.

Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan
cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor
atau para kreditor lainnya.


c.

Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau
debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan
kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor
lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan
semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung
jawabnya terhadap para kreditor.

B. Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit
Dalam UUK dan PKPU telah ditentukan pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit. Pihak-pihak tersebut adalah:

45

Agnes W. Samosir, Skripsi: Analisis Yuridis Putusan Pailit tehadap PT. Telkomsel
Tbk., (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013), hal. 34.
46
Rahayu Hartini, Op.Cit., hal. 78.


Universitas Sumatera Utara

33

1.

Debitor sendiri
Ketentuan Pasal 2 ayat (1)UUK dan PKPU menyatakan bahwa:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka pihak yang dapat

mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga adalah pihak
debitor sendiri dan satu atau lebih kreditor.
Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menytakan
bahwa:
“Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”.
Sedangkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UUK dan PKPUmenyatakan bahwa:
“Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan”.
Dalam hal debitor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit telah
terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan pernyataan pailit tersebut hanya
dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya sebagaimana yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUK dan PKPU. Persetujuan dari suami atau
istri tersebut berkaitan dengan harta bersama yang diperoleh selama pernikahan.

Universitas Sumatera Utara

34

Debitor mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk dirinya sendiri
(Voluntary Petition) biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun
kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh
kewajibannya terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap
para kreditornya. Dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan
pailit terhadap debitor itu sendiri, kadang kala hakim mewajibkan pembuktian
melalui audit pejabat publik meskipun jika dilihat dari sudut pandang hukum yang
berlaku tidaklah tepat, karena hal tersebut hanya akan mempersulit debitor yang
akan mengajukan permohonan pernyataan pailit. Akan tetapi, dalam Voluntary
Petition ini terdapat kekhawatiran bahwa debitor dapat beritikad buruk dengan
mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagai alasan untuk menghindari
pembayaran utang-utangnya kepada para kreditornya. Dalam sejarahnya
Voluntary Petition ini banyak dilakukan sebagai rekayasa debitor yang telah
membuat utang sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk tidak membayar utang
tersebut. 47
Berkaitan dengan Voluntary Petition tersebut, Retno Wulan Sutantio
mengemukakan kemungkinan terjadinya masalah-masalah sebagai berikut: 48
a.

Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor yang dilakukan
dengan sengaja setelah membuat utang kanan kiri dengan maksud untuk tidak
membayar, maka permohonan tersebut akan ditolak oleh pengadilan niaga.
Perbuatan tersebut dalam bahasa Belanda disebut “knevelarij” dan diancam
dengan Pasal 79a KUHP dengan hukuman penjara empat tahun.
47

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 40-41.
Ibid.

48

Universitas Sumatera Utara

35

b.

Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh teman baik atau keluarga debitor
dengan alasan yang tidak kuat sehingga permohonan itu akan tidak diterima
atau ditolak oleh pengadilan niaga. Tindakan ini dilakukan dengan maksud
untuk menghambat agar kreditor lain tidak mengajukan permohonan
pernyataan pailit terhadap debitor tersebut atau setidak-tidaknya akan
menghambat kreditor lain mengajukan permohonan pernyataan pailit.
Menurut Sutan Remy Syahdeini, bahwa rekayasa yang dilakukan debitor

tersebut dapat pula dilakukan untuk menghilangkan jejak-jejak kecurangan
(fraud) yang telah dilakukan oleh pengurus dari perusahaan debitor. Bahkan
permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor seringkali menimbulkan
penafsiran sebagai upaya untuk menghindar dari tuntutan pidana. 49
Meskipun permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor sendiri
(Voluntary Petition) menimbulkan kekhawatiran dengan menafsirkan permohonan
tersebut sebagai upaya debitor untuk menghindari pembayaran utang-utangnya
kepada para kreditornya, undang-undang secara tegas telah memberikan hak
kepada debitor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya
kepada pengadilan niaga. Oleh karena itu, hak tersebut harus dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
2.

Satu atau lebih kreditor
Ketentuan mengenai satu atau lebih kreditor dapat mengajukan

permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga adalah ketentuan Pasal

49

Ibid., hal. 41-42.

Universitas Sumatera Utara

36

2ayat (1) UUK dan PKPU sebagaimana debitor dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit atas dirinya sendiri.
Selama berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan, permohonan pernyataan pailit pada umumnya diajukan oleh kreditor,
baik kreditor yang merupakan perusahaan maupun kreditor perorangan. Dalam
hukum kepailitan dikenal prinsip paritas creditorum, artinya bahwa semua
kreditor konkuren mempunyai hak yang sama atas pembayaran piutangnya. Hasil
kekayaan debitor yang telah dijual akan dibagikan secara seimbang dan
proporsional menurut besarnya piutang mereka masing-masing, kecuali apabila
diantara para kreditor tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan
karena kreditor tersebut memiliki hak jaminan kebendaan (secured creditor) atau
kreditor tersebut memiliki preferensi untuk diistimewakan. 50
Mengenai seorang kreditor dapat mengajukan permohonan agar debitor
dinyatakan pailit, ketentuan ini dalam praktiknya, baik yang terjadi di negeri
Belanda maupun di peradilan Indonesia (sebelum dibentuknya pengadilan niaga)
bila hanya seorang kreditor saja tidak boleh mengajukan kepailitan. Namun
demikian, ada juga sarjana yang berpendapat bahwa seorang saja kreditor boleh
mengajukan kepailitan debitornya, asalkan debitor tersebut memiliki lebih dari
seorang kreditor, bila tidak, kepailitan akan kehilangan rasionya karena tujuan
kepailitan adalah untuk melindungi para kreditor yaitu untuk mengadakan
pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor. Sementara itu yang
dimaksud dengan “kreditor” adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis,

50

Ibid., hal. 42-43

Universitas Sumatera Utara

37

maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan preferen,
mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak
agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya
untuk didahulukan. Apabila terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing
kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UUK dan
PKPU. 51
Ketentuan Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU menyatakan bahwa:
“Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”.
Pada dasarnya kepailitan dapat diajukan oleh semua jenis kreditor. Tidak
ada batasan mengenai kualifikasi kreditor yang dapat mengajukannya. Sepanjang
kreditor tersebut dapat membuktikan secara sederhana bahwa ada lebih dari satu
utang, dan salah satunya telah jatuh waktu, maka secara formil, hakim wajib
menyatakan debitor pailit. Meskipun akhirnya secara logis, kepailitan idealnya
lebih banyak dimanfaatkan oleh kreditor bersaing (konkuren) yang tidak memiliki
hak prioritas apapun terhadap aset debitor, sehingga memerlukan mekanisme
kepailitan untuk mengamankan kepentingan tagihan-tagihan mereka terhadap
harta debitor. Sementara itu, kreditor yang dijamin (kreditor separatis maupun
preferen) karena hak mereka relatif telah terjamin dari alokasi hasil penjualan
harta debitor (misalnya pemegang hak tanggungan/fidusia-pelunasan yang diambil
dari penjualan barang jaminan), maka bagi mereka, kebutuhan untuk mengajukan

51

Rahayu Hartini, Op.Cit., hal. 81-82.

Universitas Sumatera Utara

38

kepailitan tidak semendesak kreditor konkuren dalam menjamin pelunasan
piutang-piutang mereka. 52
Adapun golongan kreditor dalam kepailitan sebagaimana yang dikenal
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:
a.

Kreditor Konkuren
Kreditor konkuren diatur dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Kreditor konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu dan pro
rata parte; artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan
(tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan besarnya piutang
masing-masing dibanding piutang mereka secara keseluruhan dan seluruh harta
kekayaan debitor. Dengan demikian, para kreditor konkuren mempunyai
kedudukan yang sama atas pelunasan piutang dari harta debitor tanpa ada yang
didahulukan. 53
Dengan kata lain, kreditor konkuren adalah kreditor yang tidak termasuk
dalam golongan kreditor separatis dan preferen. Pelunasan piutang-piutang
mereka dicukupkan dari hasil penjualan atau pelelangan harta pailit sesudah
diambil bagian golongan kreditor separatis dan preferen. 54
b.

Kreditor preferen
Kreditor preferen adalah kreditor yang diistimewakan, yaitu kreditor yang

oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya mendapatkan
pelunasan terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai
hak istimewa. Hak istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1134 Kitab
52

Sunarmi, Op.Cit., hal. 43-44.
Aco Nur, Op.Cit., hal. 91.
54
Eva Krisnawati, Op.Cit. hal. 67.
53

Universitas Sumatera Utara

39

Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang oleh undang-undang
diberikan kepada seseorang yang berpiutang, sehingga tingkatannya lebih tinggi
daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat
piutangnya. 55 Dengan demikian, kreditor preferen merupakan kreditor yang
pelunasan piutangnya lebih didahulukan dari kreditor separatis dan konkuren
dalam proses kepailitan. 56
c.

Kreditor separatis
Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan nama gadai dan
hipotek. Saat ini sistem hukum jaminan Indonesia mengenal beberapa macam
jaminan. Pertama, jaminan gadai, diatur dalam Bab XX Pasal 1150-1160 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang diberlakukan terhadap benda-benda
bergerak. Dalam sistem jaminan gadai, seorang pemberi gadai (debitor) wajib
melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada
penerima gadai (kreditor). Kedua, jaminan hipotek, diatur dalam Bab XXI Pasal
1162-1232 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang pada saat ini hanya
diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal dua puluh meter persegi
dan sudah terdaftar di syahbandar, serta pesawat terbang. Ketiga, jaminan hak
tanggungan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang
merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang
melekat di atas tanah. Dan keempat, jaminan hak fidusia, diatur dalam Undang55

Aco Nur, Op.Cit., hal. 91-92.
Eva Krisnawati, Op.Cit., hal. 67.

56

Universitas Sumatera Utara

40

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya
berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek, dan hak
tanggungan. 57
Kreditor separatis merupakan kreditor yang dapat menjual sendiri benda
jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dapat dikatakan sebagai kreditor
yang tidak terkena kepailitan. Artinya, para kreditor separatis ini tetap dapat
melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitornya telah dinyatakan pailit.
Tergolong sebagai kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak gadai, jaminan
fidusia, hak tanggungan, atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Dari hasil
penjualan benda-benda jaminan tersebut, kreditor akan mengambil pelunasan atas
piutangnya dan sisanya akan dikembalikan pada harta pailit. Apabila ternyata
hasil penjualan benda jaminan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka terhadap
sisa piutang yang belum terbayar tersebut kreditor akan menggabungkan diri
dengan kreditor lain sebagai kreditor konkuren. 58
3.

Kejaksaan untuk kepentingan umum
Permohonan pernyataan pailit juga dapat diajukan oleh kejaksaan untuk

kepentingan umum sebagaimana yang telah diatur dalam UUK dan PKPU juncto
PeraturanPemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan
Pailit untuk Kepentingan Umum.
Dalam UUK dan PKPU terdapat beberapa kewenangan kejaksaan dalam
kepailitan. Pertama, Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPUjuncto Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2000, bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan
57
58

Aco Nur, Op.Cit., hal. 92.
Eva Krisnawati, Op.Cit., hal. 65-66.

Universitas Sumatera Utara

41

pernyataan pailit demi kepentingan umum. Kedua, Pasal 10 ayat (1) UUK dan
PKPU, bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan agar pengadilan
meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor dalam
perkara kepailitan. Ketiga, Pasal 93 ayat (1) dan Pasal 93 ayat (2) UUK dan
PKPU, bahwa pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu
setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan
seorang kreditor atau lebih setelah mendengar hakim pengawas dapat
memerintahkan supaya debitor pailit ditahan, baik ditempatkan di rumah tahanan
maupun di rumahnya sendiri, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh
hakim pengawas. Perintah penahanan dilaksanakan oleh Kejaksaan yang ditunjuk
oleh hakim pengawas. 59
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, tidak
merinci dan menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “kepentingan
umum”. Menurut Peter Mahmud Marzuki, kepentingan umum dapat diartikan
sebagai kepentingan yang bukan merupakan kepentingan kreditor ataupun
pemegang saham. Kepentingan umum tersebut dapat saja masyarakat umum
dalam pengguna jasa. Dalam hal yang sedang diajukan untuk pailit adalah suatu
perusahaan transportasi atau perusahaan yang mengelola bahan-bahan yang
sedang dalam proses kepailitan apalagi bila permohonan pernyataan pailit tersebut
diajukan oleh pihak debitor. Sekalipun prosedur telah dilengkapi, hendaklah
masalah kepentingan umum perlu dipertimbangkan. 60

59
60

Sunarmi, Op.Cit., hal. 47-48.
Rahayu Hartini, Op.Cit., hal. 82.

Universitas Sumatera Utara

42

Apabila dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan
tidak menjelaskan mengenai “kepentingan umum”, maka dalam UUK dan PKPU
telah diatur dengan jelas sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 2
ayat (2) UUK dan PKPU, bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi dan tidak ada pihak
yang mengajukan permohonan pernyataan pailit. Yang dimaksud dengan
“kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan
masyarakat luas, misalnya:
a.

Debitor melarikan diri;

b.

Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;

c.

Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan
usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;

d.

Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas;

e.

Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau

f.

Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Ketentuan-ketentuan yang dikategorikan sebagai “kepentingan umum”

tersebut di atas belum bersifat limitatif, khususnya ketentuan yang disebutkan
dalam huruf c, d, e, dan f. Bahkan dalam penjelasan mengenai “kepentingan
umum” tersebut justru sarat dengan ketidakpastian. Tidak adanya pengertian
“kepentingan umum” yang bersifat limitatif memberikan kebebasan kepada hakim

Universitas Sumatera Utara

43

untuk memberikan penafsiran yang lebih luas, sehingga rumusan dengan
“blanconorm” 61 sangat diperlukan. Namun, pembentuk undang-undang dapat
menggunakannya sehemat mungkin dan dapat pula menggunakan “blanconorm”
secara boros. 62
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, “kepentingan umum” sebagaimana yang
dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU sungguh sangat luas
dan tidak berbatas. Dalam penjelasan tersebut dikemukakan bahwa yang
dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara
dan atau kepentingan masyarakat luas. Sementara dalam contohnya dikemukakan
“dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum”. Dengan
demikian, bukankah kejaksaan dapat memberikan pengertian yang subjektif
terhadap apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum”. Dengan kata lain,
kejaksaanlah yang memiliki otoritas untuk menentukan apa yang dimaksud
dengan “kepentingan umum” berkaitan dengan haknya untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit terhadap debitor. 63
Lebih lanjut menurut Sutan Remy Sjahdeini, bahwa dari contoh termasuk
“kepentingan umum” tersebut adalah “debitor mempunyai utang kepada Badan
Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari
masyarakat”, berarti kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap setiap debitor yang memperoleh kredit dari bank BUMN. Kemudian dari
61

Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1993), hal. 103. Blanketnorm atau blanconorm (terjemahan secara harfiah dalam
bahasa Indonesia: “norma kosong” atau “kaidah kosong”) adalah kelonggaran yang diberikan oleh
perundang-undangan kepada hakim dengan menunjukkan kepada pengertian kewajaran, keadilan
dan kesusilaan, itikad baik, alasan mendesak dan sebagainya. Dalam Sunarmi, Op.Cit., hal. 51.
62
Ibid.
63
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 110.

Universitas Sumatera Utara

44

contoh termasuk “kepentingan umum” adalah “debitor tidak beritikad baik atau
tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh
waktu”, berarti memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap setiap debitor dari setiap bank
yang dianggap “tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
utang piutang yang telah jatuh waktu. 64
Sutan Remy Sjahdeini juga berpendapat bahwa sehubungan dengan
penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU tersebut, bahwa dalam pengertian
umum termasuk pula “dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan
kepentingan umum”, maka berarti UUK dan PKPU telah memberikan “blank
check” kepada kejaksaan. Hal yang demikian membuka peluang atau
kemungkinan terjadinya “abuse of power” oleh pihak kejaksaan. Oleh karena itu,
menurutnya perlu diadakan perubahan mengenai ruang lingkup “kepentingan
umum” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU
dengan pengertian yang spesifik, bukan seperti yang diberikan dalam penjelasan
Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU tersebut. 65
Dalam latar belakang lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2000 disebutkan bahwa untuk mempertegas mekanisme bagi kejaksaan dalam
melaksanakan fungsinya mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk
kepentingan umum, dipandang perlu mengaturnya dalam peraturan pemerintah.
Dengan adanya pengaturan tersebut, diharapkan dapat membantu menumbuhkan
kembali kepercayaan masyarakat terhadap penyelesaian utang piutang dunia
64
65

Ibid., hal. 110.
Ibid., hal. 111.

Universitas Sumatera Utara

45

usaha dan mendorong minat para investor untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. 66
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa:
“Wewenang kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit
adalah untuk dan atas nama kepentingan umum”.
Kemudian penjelasan Pasal 1 tersebut menyatakan bahwa:
“Apabila kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit, maka
dengan sendirinya kejaksaan bertindak demi dan untuk mewakili umum”.
Selanjutnya penjelasan Pasal 2 peraturan pemerintah tersebut menyatakan
bahwa:
“Dalam

permohonan

pernyataan

pailit

tersebut,

kejaksaan

dapat

melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau berdasarkan masukan dari
masyarakat, lembaga, instansi pemerintah dan badan lain yang dibentuk
oleh pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan”.
Sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai setelah kemerdekaan, dalam
perkara-perkara kepailitan, belum pernah terjadi kejaksaan mengajukan
permohonan pernyataan pailit berdasarkan kepentingan umum. Oleh karena itu,
belum dijumpai adanya penafsiran oleh hakim tentang kepentingan umum dalam
kepailitan. Tidak adanya rumusan kepentingan umum merupakan salah satu factor
yang menyebabkan kejaksaan pada masa berlakunya Faillissement Verordening
dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, belum pernah mengajukan
permohonan pernyataan pailit. Kondisi ini tentu dapat menghilangkan

66

Sunarmi, Op.Cit., hal. 51.

Universitas Sumatera Utara

46

kepercayaan masyarakat khususnya investor dalam penyelesaian utang piutang
mereka. Sebab filosofinya adalah bahwa bila seseorang tidak membayar utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka hal ini merupakan dasar untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit, apalagi bila hal ini berkaitan dengan
kepentingan masyarakat luas. 67
Setelah berlakunya UUK dan PKPU, barulah dijumpai adanya satu perkara
kepailitan untuk kepentingan umum yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Lubuk
Pakam v. PT. Aneka Surya Agung, dengan nomor 02/Pailit/2005/PN.Niaga/Mdn.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga mengutip
ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU, serta penjelasan ketentuan pasal
tersebut yang mencantumkan keadaan-keadaan yang memungkinkan kejaksaan
untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum. 68
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU juga dinyatakan bahwa
tata cara pengajuan permohonan pernyataan pailit oleh kejaksaan untuk
kepentingan umum adalah sama dengan permohonan pernyataan pailit yang
diajukan oleh debitor atau kreditor, dengan ketentuan bahwa permohonan
pernyataan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa menggunakan jasa advokat.
4.

Bank Indonesia
Permohonan pernyataan pailit terhadap debitor yang merupakan bank

hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU. Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (3) tersebut,

67
68

Ibid., hal. 52.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

47

yang dimaksdud dengan “bank” adalah sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Lebih lanjut penjelasan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut
menjelaskan bahwa pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank
sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan
atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh
karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia
untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit ini tidak menghapuskan
kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin
usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan
perundang-undangan.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, penjelasan Pasal 2 ayat (3) UUK dan
PKPU tersebut tidak mengemukakan apa yang menjadi alasan mengapa hanya
Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal
debitor adalah bank. Dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut,
maka UUK dan PKPU telah memberlakukan standar ganda (double standard).
Ketentuan bahwa hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit dalam hal debitor adalah suatu bank, telah merampas hak

Universitas Sumatera Utara

48

kreditor dari bank. Kreditor dari bank selain para nasabah penyimpan dana juga
terdiri atas banyak bank, yang memberikan fasilitas kepada bank-bank tersebut
melalui interbank money market. Bank sebaga kreditor dalam menghadapi debitor
non bank dapat mandiri menjalankan haknya untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit, tetapi apabila bank sebaga kreditor menghadapi debitor yang
merupakan bank, haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit
tersebut hilang berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut. 69
Sutan Remy Sjahdeini juga berpendapat bahwa untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit dan agar dapat diberikan putusan oleh pengadilan
untuk menyatakan suatu bank pailit harus melibatkan Bank Indonesia. Akan
tetapi, dalam hal menyangkut debitor yang merupakan bank, untuk menghindari
adanya standar ganda dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit, hendaknya
permohonan pernyataan pailit tetap dapat diajukan oleh pihak-pihak sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, yaitu bank itu sendiri selaku debitor,
kreditor, dan kejaksaan untuk kepentingan umum, namun permohonan tersebut
hanya dapat diajukan setelah sebelumnya memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia. 70
Bank Indonesia sudah sewajarnya melaksanakan kewenangannya dalam
kepailitan untuk menunjang perekonomian nasional. Sehubungan dengan hal
tersebut, dalam UUK dan PKPU perlu diatur dengan tegas dalam kondisi
bagaimana Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit
kepada pengadilan niaga. Oleh karena pengaturan tersebut tidak ada dalam UUK
69

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 117.
Ibid., hal. 118-119.

70

Universitas Sumatera Utara

49

dan PKPU, maka kondisi itu sebaiknya didasarkan pada ukuran yang terdapat
pada Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yaitu keadaan suatu bank
mengalami

kesulitan

yang

membahayakan

kelangsungan

usahanya

bila

berdasarkan penilaian Bank Indonesia, keadaan usahanya semakin memburuk
antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas dan
rehabilitasi, serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip
kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Dengan adanya ukuran yang jelas
ini, maka Bank Indonesia akan aman dalam menggunakan kewenangannya dalam
mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga. 71
Menurut Sunarmi, permohonan kepailitan terhadap bank perlu ditinjau
kembali, sebab bank adalah lembaga keuangan yang memiliki peranan sentral
dalam perekonomian nasional. Hendaknya bank dikeluarkan dari sistem kepailitan
dan memasukkannya dalam sistem likuidasi. Hal ini mengingat bahwa Bank
Indonesia merupakan regulator yang memiliki otoritas moneter yang bertugas dan
bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pengawasan bank-bank serta stabilitas
moneter. Kepailitan bank yang bersangkutan akan dapat membahayakan sistem
perbankan. 72
Sunarmi juga berpendapat bahwa apabila kreditor dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit kepada debitor yang merupakan bank tanpa melalui
Bank Indonesia, dikhawatirkan bahwa setiap saat bank akan senantiasa dibayangbayangi pengajuan permohonan pernyataan pailit. Bila kondisi ini terjadi, maka

71

Ramlan Ginting, Kewenangan Tunggal Bank Indonesia dalam Kepailitan Bank,
Buletin Bank Sentral dan Kebanksentralan, Volume 2 Tahun 2003, hal. 14. Dalam Sunarmi,
Op.Cit., hal. 54-55.
72
Sunarmi, Op.Cit., hal. 55.

Universitas Sumatera Utara

50

jelas akan mengganggu kinerja perbankan nasional, yang selanjutnya tentu akan
berkaitan dengan kelangsungan hidup perbankan tersebut. Dampak selanjutnya
adalah akan mengganggu perekonomian nasional, karena sebagaimana diketahui
bahwa bank merupakan agent of modernitation. 73
Menurut Undang-Undang Perbankan, suatu badan hukum perbankan dapat
mengalami kepailitan. Hal itu dapat diketahui dalam Pasal 9 ayat (3) UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua
harta yang dititipkan kepada bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta
kepailitan dan wajib dikembalikan kepada yang bersangkutan. 74
Dalam hal debitor merupakan bank, maka permohonan pernyataan pailit
hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU, karena besar sekali kepentingan masyarakat
terhadap eksistensi suatu bank. Bubarnya suatu bank tidak sekedar menyangkut
para pemegang sahamnya saja tetapi menyangkut pula kepentingan sistem
keuangan negara serta kepentingan masyarakat penyimpan dana yaitu kepentingan
yang jauh lebih besar daripada sekedar kepentingan para pemegang saham. 75
Dilibatkannya Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan dalam kepailitan
sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUK dan PKPU adalah untuk
memberikan kepastian pemberlakuan yang semestinya kepada bank sebagai
lembaga keuangan yang memegang peran penting dan sensitif dalam aktivitas

73

Ibid.
Rahayu Hartini, Op.Cit., hal. 85.
75
Ibid., hal. 87.
74

Universitas Sumatera Utara

51

masyarakat dan negara. Oleh karena itu, hadirnya Pasal 2 ayat (3) UUK dan
PKPU tersebut secara ideal dimaksudkan antara lain untuk: 76
a.

Menjaga citra perbankan di mata masyarakat dan dunia, serta menghindarkan
efek beruntun terhadap keberadaan bank lainnya.

b.

Menghindari permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab terhadap bank, seperti pihak-pihak yang
sebenarnya bukan kreditor, ataupun pihak-pihak yang sebenarnya hanyalah
untuk mempermalukan ataupun untuk menghancurkan citra bank tersebut di
dalam maupun di luar negeri, atau termasuk juga pihak-pihak dari bank itu
sendiri yang ingin melakukan penekanan terhadap para kreditornya untuk
tunduk kepada langkah yang diinginkan oleh bank ataupun grup bank tersebut
dengan ancaman akan mempailitkan bank tersebut jika para kreditornya tetap
memaksa bank tersebut untuk membayar utang-utangnya.

c.

Memaksimalkan fungsi dari Bank Indonesia dalam melakukan tugas
pengawasan dan pembinaan, sehingga dalam hal adanya permohonan
pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditor terhadap suatu bank, diharapkan
Bank Indonesia yang memegang kewenangan untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit terhadap bank tersebut, terlebih dahulu secara maksimal
melakukan fungsinya sebagai otoritas untuk memeriksa permasalahan
tersebut dan melihat apakah persoalan utang piutang tersebut memang benar,
dan apakah terhadap kewajiban tersebut anggotanya telah melakukan
aktivitas perbankannya secara prudent. Dalam hal ini, Bank Indonesia juga

76

Ibid., hal. 88-89.

Universitas Sumatera Utara

52

akan menjalankan peran sebagai pihak ketiga ataupun mediator untuk
memediasi masalah ini, sehingga diharapkan akan lebih membangun langkahlangkah penyelesaian secara damai di luar pengadilan (ut of court settlement).
Perkara yang berkaitan dengan diajukannya permohonan pernyataan pailit
terhadap bank adalah perkara Bank IFI sebagai pemohon pailit terhadap Bank
Danamon sebagai termohon pailit. Dalam perkara tersebut, pengadilan niaga
menolak untuk memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit
tersebut karena tidak diajukan melalui Bank Indonesia. Hal ini berarti, selama
Bank Indonesia tidak memohonkan pailit terhadap bank yang tidak membayar
utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka terhadap bank tersebut
tidak dapat dipailitkan. 77
5.

Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM)
Berkaitan dengan debitor yang merupakan perusahaan efek, bursa efek,

lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh BAPEPAM sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU. Karena lembaga
tersebut merupakan lembaga yang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan
BAPEPAM. Selain itu, BAPEPAM juga mempunyai kewenangan penuh dalam
hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada
di bawah pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia terhadap
bank.

77

Sunarmi, Op.Cit., hal. 56.

Universitas Sumatera Utara

53

Dalam prakteknya, ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU tersebut
menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum maupun praktisi. Hal ini
berkaitan pada penafsiran terhadap fungsi dan tugas BAPEPAM. Pendapat
pertama menyebutkan bahwa terhadap perusahaan yang go public, keterlibatan
BAPEPAM mutlak diperlukan. Hal ini mengingat bahwa BAPEPAM merupakan
pihak yang bertugas untuk mengawasi jalannya kelancaran pasar modal. Oleh
karena itu, BAPEPAM mutlak mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh para
emiten yang dikhawatirkan akan mengganggu kinerja pasar modal. Namun pada
sudut pandang yang lain, hendaknya keterlibatan BAPEPAM hanya cukup
dilaporkan saja. Berdasarkan semangat dan asas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal, BAPEPAM tidak diinginkan untuk turut campur,
apalagi mengambil alih hak-hak investor dan emiten. 78
Pendapat kedua, ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU menunjukkan
bahwa hak untuk mengajukan pailit oleh emiten selaku debitor maupun oleh para
investornya selaku kreditor dari emiten yang bersangkutan diambil alih oleh
BAPEPAM. Berdasarkan semangat dan asas Undang-Undang Pasar Modal, tugas
BAPEPAM adalah memberikan perlindungan bagi investor publik, bukan
merampas dan mengambil alih hak-hak dari para investor publik yang harus
dilindunginya. Dengan dasar alasan ini, maka terlihat bahwa ketentuan Pasal 2
ayat (4) UUK dan PKPU tersebut tidak sejalan dengan universaly accepted

78

Ibid., hal. 57.

Universitas Sumatera Utara

54

principle dari suatu Bankruptcy Law. Ketentuan ini dapat menghambat
pertumbuhan pasar modal. 79
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, sesuai dengan pendirian berkenaan
dengan wewenang Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pernyataan
pailit terhadap debitor yang merupakan bank, sebaiknya diambil pendirian bahwa
permohonan pernyataan pailit terhadap suatu perusahaan yang berada di bawah
pengawasan BAPEPAM, hanya dapat dipertimbangkan oleh pengadilan niaga
apabila untuk permohonan tersebut telah diperoleh persetujuan dari BAPEPAM.
Dengan kata lain, pengadilan niaga tidak boleh memutuskan pailit suatu
perusahaan efek apabila BAPEPAM tidak menyetujuinya. Lebih lanjut Sutan
Remy Sjahdeini mengatakan bahwa seperti halnya Bank Indonesia dalam hal
debitor adalah suatu bank, tidak mustahil BAPEPAM dapat menghadapi potensi
untuk digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara apabila menolak untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu perusahaan efek. 80
Menurut Rahayu Hartini, sudah tepat apabila hanya BAPEPAM yang
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan efek, karena
pembinaan, pengaturan dan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh BAPEPAM
dengan tujuan untuk terciptanya kegiatan pasar modal yang teratur, wajar, dan
efisien. Dan yang lebih penting lagi untuk melindungi kepentingan pemodal dan
masyarakat sesuai ketentuan Pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Pasar Modal. 81
Setelah dibentuknya OJK berdasarkan UUOJK, maka BAPEPAM secara
kelembagaan telah dihapus dan digantikan oleh OJK. Menurut Pasal 1 angka 1
79

Ibid., hal. 57-58.
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 120-121.
81
Rahayu Hartini, Op.Cit., hal. 90.
80

Universitas Sumatera Utara

55

UUOJK, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan
pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
UUOJK.
Ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUOJK menyatakan bahwa:
“Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka selain fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal yang
beralih dari BAPEPAM ke OJK, secara otomatis pula wewenang BAPEPAM
dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga
terhadap debitor yang merupakan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring
dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU, telah beralih ke OJK.
6.

Menteri Keuangan
Berkaitan

dengan

debitor

yang

merupakan

perusahaan

asuransi,

perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya
dapat diajukan oleh Menteri Keuangan sebagaimana yang dimaksud dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU.
Perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat
(5) tersebut adalah perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian.

Universitas Sumatera Utara

56

Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi adalah perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai usaha perasuransian.
Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 2 ayat (5) tersebut dijelaskan bahwa
kewenangan

untuk

mengajukan

permohonan

pernyataan

pailit

terhadap

perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sepenuhnya ada pada Menteri
Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sebagai
lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana
masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan
kehidupan perekonomian.
Selain kepailitan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (5) tersebut menjelaskan pula terkait dengan kepailitan
dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Dana
pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal tersebut adalah dana
pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai dana pensiun. Kewenangan untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit terhadap dana pensiun, sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan.
Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap danapensiun, mengingat dana pensiun mengelola dana masyarakat dalam
jumlah besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang banyak
jumlahnya. Sedangkan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik

Universitas Sumatera Utara

57

adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak
terbagi atas saham.
Kewenangan

Menteri

Keuangan

dalam

mengajukan

permohonan

pernyataan pailit untuk instansi yang berada di bawah pengawasannya
sebagaimana yang telah disebutkan di atas adalah sama seperti kewenangan Bank
Indonesia dan OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan
(4) UUK dan PKPU.
Berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU
tersebut di atas, maka pihak yang berhak mengajukan permohonan pernyataan
pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan
BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik kepada pengadilan niaga
adalah Menteri Keuangan. Akan tetapi setelah dibentuknya OJK berdasarkan
UUOJK, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian dan
dana pensiun telah beralih dari Menteri Keuangan ke OJK sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUOJK. Dengan demikian, beralih pula
kewenangan Menteri Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi dan dana pensiun ke OJK.
Dengan kata lain, bahwa setelah dibentuknya OJK, Menteri Keuangan hanya
berwenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN
yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Berkaitan dengan kepailitan, OJK telah mengeluarkan peraturan terkait
dengan kepailitan instansi yang berada di bawah pengawasannya. Untuk

Universitas Sumatera Utara

58

kepailitan

perusahaan

asuransi

dan

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

1 81 151

Perlindungan Hukum terhadap Perusahaan Pialang dalam Kepailitan (Studi Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 08/Pdt.Sus.Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst.)

2 15 138

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR MELALUI ACTIO PAULIANA (CLAW BACK PROVISION) DI DALAM KEPAILITAN (STUDI PADA PENGADILAN NIAGA JAKARTA).

0 0 10

STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT NO. 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/Pn.Niaga.Jkt.Pst. MENGENAI DITERIMANYA PERMOHONAN PAILIT OLEH NASABAH PT ANDALAN ARTHA ADVISINDO SE.

0 1 1

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT NO. 70/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST DALAM PERKARA KEPAILITAN PT. DEWATA ROYAL INTERNATIONAL.

6 15 2

PERMOHONAN PAILIT PERUSAHAAN EFEK YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR (Komparasi Hukum Putusan Pengadilan Niaga No.03/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST dan Putusan Pengadilan Niaga No.08/Pdt.Sus.PAILIT/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst).

0 4 18

Perlindungan Hukum terhadap Perusahaan Pialang dalam Kepailitan (Studi Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 08 Pdt.Sus.Pailit 2015 PN.Niaga.Jkt.Pst.)

0 0 7

Perlindungan Hukum terhadap Perusahaan Pialang dalam Kepailitan (Studi Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 08 Pdt.Sus.Pailit 2015 PN.Niaga.Jkt.Pst.)

0 0 1

Perlindungan Hukum terhadap Perusahaan Pialang dalam Kepailitan (Studi Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 08 Pdt.Sus.Pailit 2015 PN.Niaga.Jkt.Pst.)

0 0 26

Perlindungan Hukum terhadap Perusahaan Pialang dalam Kepailitan (Studi Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 08 Pdt.Sus.Pailit 2015 PN.Niaga.Jkt.Pst.)

0 0 4