Perubahan Nilai Budaya Etnis Tionghoa di Kota Medan Dalam Studi Kasus Kerusuhan Mei 1998 Chapter III VI

BAB III
METODE PENELITIAN
1.1 Metode
Metode penelitian adalah langkah pertama atau tahap awal yang akan
dilakukan dalam sebuah penelitian. Langkah tersebut diawali dengan sebuah
pendekatan hingga teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
Para peneliti dapat memilih berjenis-jenis metode dalam melaksanakan
penelitiannya. Sudah terang, metode yang dipilih berhubungan erat dengan
prosedur, alat serta desain penelitian yang digunakan. Desain penelitian harus
sesuai dengan metode penelitian yang dipilih. Prosedur serta alat yang digunakan
dalam penelitian harus cocok dengan metode penelitian yang digunakan.
Penelitian pengaruh kerusuhan mei 1998 dalam perubahan nilai dan sikap
etnis Tiongha terhadap masyarakat di kota Medan menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian, yang bertujuan
untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan
mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti
dengan fenomena yang diteliti (Herdiansyah 2010:19).Penelitian kualitatif
menekankan pada kedalaman dan kualitas data yang diperoleh. Dimana peneliti
segera melakukan analisis data dengan memperkaya informasi, mencari hubungan,
membandingkan, menemukan pola atas dasar data aslinya sehingga peneliti
mendapatkan jawaban tentang kondisi penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif,

bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena
yang diselidiki.

Universitas Sumatera Utara

3.2 Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan penulis, maka
sesuai dengan judul, penulis harus menentukan tempat penelitian. Adapun
lokasinya yaitu:
1. Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Denai
2. Jl. Mandala By Pass Medan
3. Jl. Asia Raya, Sukaramai II, Medan Area, Medan

3.3 Data dan Sumber Data
3.3.1 Data
Data adalah hal yang sangat penting bagi setiap penulis dalam melakukan
sebuah penelitian. Data merupakan catatan atas kumpulan fakta. Kumpulan fakta
tersebutlah yang akan menjadi data. Data kemudian diolah sehingga dapat
diutarakan secara jelas dan tepat. Data terbagi menjadi dua yaitu data primer dan

data sekunder.
Data primer dalam penelitian ini yaitu hasil wawancara terhadap informan
yang dianggap dapat memberikan informasi secara tepat dan terperinci untuk
mendukung pengaruh kerusuhan Mei 1998 dalam perubahan nilai dan sikap etnis
Tiongha terhadap masyarakat di kota Medan. Data skunder dalam penelitian ini
yaitu buku, jurnal dan sumber publikasi elektronik yang berkaitan dengan topik
yang akan dibahas yaitu mengenai Perubahan Nilai danKerusuhan Mei 1998.

Universitas Sumatera Utara

3.3.2 Sumber Data
Sumber data adalah subjek darimana data diperoleh. Sumber data dalam
penelitian ini diperoleh melalui buku, majalah, koran, kamus, jurnal, artikel surat
kabar serta sumber publikasi elektronik yang berkaitan dengan topik yang akan
dibahas yaitu Perubahan Nilai danKerusuhan Mei 1998. Sumber data juga peneliti
peroleh dari narasumber yaitu dengan melakukan observasi dan wawancara
langsung kepada masyarakat Tionghoa di daerah Tegal Sari Kecamatan Medan
Denai.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data primer
untuk keperluan penelitian. Pengumpulan data merupakan langkah yang amat
penting dalam metode ilmiah, karena pada umumnya data yang dikumpulkan
digunakan untuk menguji hipotesa yang telah dirumuskan. Ada dua teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu penelitian kepustakaan (library
research) dan penelitian lapangan (field research).

3.4.1 Studi Kepustakaan (Library Research)
1. Mencari referensi buku, skripsi ataupun jurnal baik melalui perpustakaan
ataupun internet yang berkaitan dengan kajian penulis.
2. Melihat daftar isi buku, skripsi ataupun jurnal yang sudah ditemukan dan
memeriksa setiap subjudul yang ada yang memiliki kaitan dengan objek
yang akan dikaji.

Universitas Sumatera Utara

3. Membaca dan memahami seluruh informasi yang ada di buku, jurnal
maupun skripsi yang berkaitan dengan kajian penulis.
4. Mengumpulkan data yang terlah diperoleh sehingga dapat dianalisis
selanjutnya.


3.4.2 Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan metode wawancara dan observasi. Adapun langkah-langkah penelitian
lapangan dalam penelitian ini yaitu:
1. Sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu melakukan
observasi yaitu menentukan lokasi penelitian yang cocok dengan apa yang
akan diteliti oleh penulis dan meninjau lokasi secara langsung.
2. Penulis mengamati keadaan yang terjadi dan fenomena yang berkembang
di lokasi penelitian.
3. Melalui hasil observasi, penulis melakukan wawancara terhadap informan
yang dapat membantu melengkapi data yang akan penulis butuhkan.
4. Setelah observasi, penulis mengumpulkan pertanyaan yang tepat yang
akan diajukan kepada informan.
5. Menentukan beberapa informan yang dapat membantu penulis untuk
melengkapi data yang dibutuhkan.
6. Melakukan wawancara terhadap informan. Dalam penelitian ini penulis
menentukan kriteria informan yaitu informan yang memiliki pengetahuan
mengenai apa yang penulis teliti.


Universitas Sumatera Utara

7. Selama wawancara berlangsung, penulis mencatat hal-hal yang penting
yang bersangkutan dengan judul penulis serta merekam semua dialog
penulis dengan informan baik rekaman suara ataupun video.
Seluruh informasi yang didapat dari wawancara, penulis membaca dan
mempelajari hasil informasi yang didapat.

3.5 Teknik Analisis Data
Menurut Patton (1980), analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar
sampai pada penarikan kesimpulan berupa konsep atau hubungan antar konsep.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis data kualitatif. Suatu analisis data yang diperoleh berdasarkan data yang
didapat dan selanjutnya dikembangkan sesuai dengan pola tertentu atau menjadi
sebuah hipotesis. Analisis data sangatlah penting sebagai dasar yang kuat dan
akurat bagi peneliti.
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini yaitu:
Data


Reduksi
Data

Kesimpulan

Penyajian
Data

1. Data yang diperoleh baik dari buku, jurnal maupun hasil wawancara,
dipelajari dan dikuasai sepenuhnya.
2. Mereduksi data yang diperoleh dengan cara meringkas data, mengkode,
menelusur tema dimana dalam redusi data merupakan bentuk analisis yang
menajamkan, mengarahkan dan mengorganisasi data dengan cara
sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil.

Universitas Sumatera Utara

3. Setelah data direduksi, langkah selanjutnya yaitu penyajian data dimana
data dikumpulkan dan diklasifikasikan sehingga memberi kemungkinan
akan adanya kesimpulan. Didalam penyajian data, data yang diperoleh

dimasukkan kedalam teori yang digunakan yaitu teori fungsionalisme.
4. Langkah terakhir yaitu menarik kesimpulan.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
GAMBARAN UMUM

4.1 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
Medan adalah kota terbesar keempat di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, setelah Jakarta, Surabaya, Bandung. Medan adalah salah satu kota yang
menjadi tujuan migrasi utama orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara. Mereka
awalnya datang ke medan sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda
terutama di perusahaan tembakau Deli.
Medan adalah ibukota Provinsi Sumatera Utara, yang menjadi pusat
perekonomian di kawasan pulau Sumatera.Medan dan Sumatera Utara memiliki
komposisi penduduk yang heterogen. Pada masa sekarang sebagian besar
masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik
setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah
Indonesia.

Masyarakat Tionghoa adalah salah satu etnis yang ada di indonesia yang
sebelumnya adalah etnis pendatang yang menetap dan berbaur dengan penduduk
asli Indonesia. Masyarakat Tionghoa atau biasa yang disebut juga Cina menyebut
diri mereka dengan istilah Tenglan (Hokkien), Tengnan (Tiochiu), atau
Thongnyin (Hakka).Orang Tionghoa atau yang disebut Tangren atau lazim
disebut dengan Huaren ini adalah orang Tionghoa yang berasal dari Cina Selatan
juga menyebut dirinya sebagai orang Tang, sementara orang Cina Utara menyebut
dirinya sebagai orang Han.

Universitas Sumatera Utara

Migrasi masyarakat tionghoa ke Indonesia khususnya Medan melalui 3
gelombang. Dimana kedatangan mereka disebabkan oleh latar belakang tertentu
yang datang dari negara Cina sendiri maupun Indonesia.
Kedatangan gelombang pertama yaitu pada saat Belanda datang ke
Indonesia. Tujuannya adalah sebagai kelompok pedagang tetapi karena beberapa
faktor,kelompok tersebut akhirnya inggal dan menetap di Indonesia. Gelombang
pertama ini disebut sebagai etnis Cina peranakan, dimana budaya asli mereka
mulai berkurang dan mereka lebih banyak mengikuti budaya lokal.
Kedatangan gelombang kedua terjadi karena faktor dari dalam yaitu pada

masa eksploitasi Belanda terhadap sistem perekonomian Indonesia. Aktivitas yang
dilakukan mereka yaitu sebagai pedagang perantara. Perdagangan ini dibuka oleh
Belanda, khususnya kongsi dagang VOC. Pada masa itu kelompok migran Cina
berpusat di Pulau Jawa sesuai dengan aktivitas VOC yang juga berpusat di Pulau
Jawa. Pada masa ini, kaum pribumi sebagai penghasil dan distributor pertama
yaitu Cina dan seterusnya akan diserahkan kepada distributor kedua yaitu VOC.
Kedatangan masyarakat tionghoa pada gelombang ketiga karena faktor
tenaga kerja yang dijadian sebagai buruh di perkebunan. Hal ini merupakan
aktivitas baru bagi masyarakat Tionghoa. Mereka yang didatangkan langsung dari
negeri Cina ke Medan sebagai buruh yang siap kerja di perkebunan. Orang yang
bertanggung jawab penuh kepada masyarakat Tionghoa selama masa kontrak di
perkebunan milik Belanda tersebut yaitu Tjong A Fei. Tjong A Fei adalah orang
Tiongkok yang sangat berjasa dalam membangun Kota Medan yang pada saat itu
dinamakan Deli Tua. Tjong A Fei dan kehidupan di perlebuhanlah yang
mengawali aktivitas masyarakat etnis Tionghoa di Medan.

Universitas Sumatera Utara

Di Medan dan sekitarnya seperti Belawan, Tanjung Morawa, Binjai,
Batang Kuis, orang-orang Cina lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang

menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan menyebutkan orang Cina,
yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun dalam kehidupan sehari-hari
kedua istilah ini sama-sama dipergunakan.Masyarakat Tionghoa di Medan dalam
sehari-harinya menggunakan Bahasa Hokkian, bukan Bahasa Mandarin.Hal ini
karena mereka lebih akrab dengan Bahasa Hokkian.Banyak juga masyarakat
Tionghoa terutama generasi muda Tionghoa, kurang tahu Bahasa Mandarin,
sehingga kedua Bahasa tersebut tetap diajarkan dan dipraktekkan.
Demikian gambaran singkat tentang kedatangan orang-orang Cina ke
Medan, yang sebagiannya sengaja didatangkan dari Singapura, Pulau Pinang dan
Pulau Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan Tembakau Deli Maatschappij, dan
sebagian lagi sebagai imigran. Tiga sebagian di antara mereka ini ada yang
menetap di daerah ini, ada yang kembali ke Republik Rakyat Cina.Namun
sebagian besar menetap di daerah ini, dan sekaligus menjadi warga Negara
Republik Indonesia beserta keturunannya (Rahman 1986: 32-33).
4.1 Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 merupakan suatu gerakan reformasi di Indonesia
yang dilatarbelakangi pleh berbagai factor, baik politik, sosial, dan ekonomi.Dari
faktor politik, dipicu oleh pengangkatan kembali Soeharto menjadi Presiden RI
setelah hasil pemilu 1997 menunjukkan bahwa Golkar sebagai pemenang
mutlak.Hal ini berarti dukungan mutlak kepada Soeharto makin besar untuk

menjadi Presiden RI. Setelah ia menjadi Presiden, ia membentuk Kabinet
Pembangunan VII yang penuh dengan ciri nepotisme dan kolusi.

Universitas Sumatera Utara

Dari faktor ekonomi, Indonesia merupakan salah satu Negara yang terkena
dampak dari krisis moneter dunia yang berakibat pada merosostnya nilai rupiah
secara drastic. Hal ini diperparah dengan Indonesia kepada Negara lain yang
semakin memperburuk keadaan. Keadaan semakin kacau karena terjadinya
ketidakstabilan harga bahan pokok, termasuk minyak.Kenaikan harga minyak
sendiri berpengaruh pada kenaikan tariff angkutan umum.
Dari faktor sosial, banyak terjadinya konflik-konflik sosial diberbagai
daerah di Indonesia.Salah satunya yaitu konflik sosial antar pribumi dengan etnis
tionghoa.Masyarakat

pribumi

menjarah

dan

membakar

toko-toko

etnis

tionghoa.Hal tersebut terjadi akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan dan
berdampak pada rakyat yang banyak mengalami kelaparan.Konflik tersebut juga
dipicu karena adanya kecemburuan ekonomi, dimana etnis Tionghoa lebih sukses
dan menduduki posisi ekonomi strategis.
Perempuan Tionghoa mengalami hal yang lebih mengerikan pada saat
terjadinya kerusuhan. Mereka menjadi korban utama karena dianggap paling
rentan dan paling mudah dijadiakan sasaran amukan massa. Perempuan Tionghoa
secara demografis merupakan minoritas, karena pada saat itu etnis Tionghoa
jumlahnya tidak mencapai 2% dari seluruh penduduk di Indonesia. Hal tersebut
membuat mereka sasaran paling tepat untuk dijadikan korban dalam kerusuhan
berbasis politik tersebut, karena mereka pasti akan sulit membela diri.
Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi ini diawali dengan adanya
siding Umun MPR memilih soeharto dan B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil
Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003. Presiden Soeharto kemudian
membentuk dan melantik Kabinet Pembangunan VII. Kabinet yang penuh

Universitas Sumatera Utara

akankolusi dan nepotisme ini membuat mahasiswa bergerak. Ditambah dengan
terjadinya krisis moneter, maka pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari
berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi yang menuntut
penurunan harga barang-barang kebutuhan, penghapusan KKN, dan mundurnya
Soeharto dari kursi kepresidenan.
Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aski unjuk rasa mahasiswa Universitas
Trisakti Jakarta, telah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang
menyebabkan empat orang mahasiswa tertembak hingga tewas dan puluhan
mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa tersebut
mengobarkan kemarahan para mahasiswa dan kalangan kampus untuk menggelar
demonstrasi secara besar-besaran.
Hal ini berlanjut pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya
terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga kegiatan masyarakat
mengalami kelumpuhan.Dalam peristiwa ini, puluhan toko di bakar dan isinya
dijarah, bahkan ratusan orang mati terbakar.Pada tanggal 19 Mei 1998, para
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitanya berhasil
menduduki gedung MPR/DPR.
Melihat aksi-aksi tersebut, akhirnya pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko
sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi ‘ anjuran agara
Presiden Soeharto mengundurkan diri’. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden
Soeharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk
dimintai pertimbangan dalam ranga membentuk Dewan Reformasi yang akan
diketuai oleh Presiden Soeharto. Dan puncaknya, pada tanggal 21 Mei 1998,
Presiden Soeharto resmi meninggalkan jabatannya di hadapan Ketua dan beberapa

Universitas Sumatera Utara

anggota Mahkamah Agung.Berdasarkan pada UUD 1945 pasal 8, Soeharto
menyerahkan jabatannya kepada wakilnya B.J. Habibie sebagai Presiden RI.
Dampak yang ditimbulkan dari kerusuhan Mei 1998 ini sangatlah banyak
dan merugikan banyak pihak, terutama etnis Tionghoa.Banyak toko-toko etnis
Tionghoa yang di jarah.Barang-barang yang di jarah seperti komputer, televisi,
kulkas dan umumnya barang-barang elektronik. Perusuh yang lain melampiaskan
kemarahan dengan membakar barang-barang yang dikeluarkan ke jalan-jalan
bersama sejumlah mobil dan motor yang tengah parkir.
Hal yang paling mengerikan adalah pemerkosaan dan pembunuhan
terhadap perempuan etnis Tionghoa.Mulai dari pemerkosaan massal hingga
pembunuhan yang terjadi pada semua wilayah di Jakarta, bahkan di luar Jakarta
seperti Bandung, Medan, Surabaya dan sebagainya.Banyak perempuan etnis
Tionghoa yang diperkosa, dibunuh dan dibuang begitu saja.
Kerusuhan diyakini terkait erat dengan pergeseran politik yang kemudian
diikuti mundurnya Presiden Soeharto sebagai momentum kemenangan gerakan
reformasi. Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu memiliki
makna strategis sebagai bagian dari proses transisi demokrasi yang harus dilalui
oleh bangsa Indonesia. Hal ini untuk menegakkan hukum dan HAM, sekaligus
memberikan keadilan kepada korban.

Universitas Sumatera Utara

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Latar Belakang Terjadinya Kerusuhan Mei 1998 di Kota Medan
Kerusuhan atau huru hara dapat terjadi kala sekelompok orang berkumpul
bersama untuk melakukan tindakan kekerasan, biasanya sebagai tindakan balas
dendam terhadap perlakuan yang dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya
penentangan terhadap sesuatu. Alasan yang sering menjadi penyebab kerusuhan
adalah hidup yang buruk, ketidakadilan pemerintah terhadap rakyat, konflik
agama atau etnis (Noviani, 2014:5)
Peristiwa kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa bersejarah yang telah
membawa Indonesia pada babak baru perjalanan bangsa. Peristiwa ini tidak dapat
dipisahkan dari rangkaian krisis moneter yang telah berlangsung sejak Juli 1997
yang dimulai dari Thailand dan menyebar ke beberapa Negara lain termasuk
Indonesia (Zon, 2004:1)
Kerusuhan terjadi ketika mahasiswa meninggal ditembak apparat polisi
pada demonstrasi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti. Kemaraha massa
memuncak pada tanggal 13-15 Mei 1998 dengan meletusnya kerusuhan massal di
Jakarta dan kota-kota lain. kerusuhan berbentuk penjarahan, pembakaran mobil
dan gedung-gedung serta aktivitas criminal lain (Zon, 2004:2)
Sebelum kerusuhan Mei 1998, banyak konflik yang juga sudah terjadi di
masyarakat.Pada kebanyakan konflik, yang paling menonjol adalah suku rasa dan
agama yang dikenal sebagai SARA. Isu rasial atau diskriminasi terhadap etnis
Tionghoa bukan merupakan hal baru lagi di Indonesia, karena pada tahun 1780

Universitas Sumatera Utara

sudah terjadi pembantaian massal terhadap etnis Tionghoa di Jakarta. Pada awal
berdirinya orde baru, isu anti Tionghoa dikaitkan dengan anti komunis, dan sikap
anti Tionghoa ini semakin lama semakin meluas. Bahkan muncul dalam
keputusan-keputusan pemerintah seperti keputusan pada tanggal 6 Desember
1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang
agama, kepercayaan dan adat-istiadat Tionghoa. Instruksi Presiden ini
menetapkan bahwa seluruh upacara keagamaan dan adat-istiadat Tinghoa hanya
boleh dilakukan di lingkungan keluarga dan di ruangan tertutup (Noviani,
2014:41).
Kerusuhan Mei 1998 juga terjadi di beberapa kota besar, seperti kota
Medan. Kerusuhan di Medan terjadi pada tanggal 4-8 Mei 1998. Kerusuhan di
Medan merupakan pendahulu dari kerusuhan yang terjadi di Jakarta, bahkan
polanya cenderung sama. Mahasiswa di kota Medan sangat aktif dan sangat
reaktif atas tindakan pasif wakil rakyat. Mahasiswa di kota Medan hampir setiap
hari melakukan aksi dan sudah turun ke jalan bersama masyarakat untuk menuntut
reformasi di segala bidang. Aksi mahasiswa yang bergabung dengan masyarakat
dalam penyampaian aspirasi terlanjur tak terkendali dan mulai melakukan
keonaran.
Kerusuhan Mei 1998 di Medan terjadi akibat bentrokan mahasiswa dengan
aparat kepolisian dalam demonstrasi mahasiswa, sehari sebelumnya yaitu tanggal
3 Mei 1998. Demonstrasi ini adalah gabungan dari beberapa kampus, seperti
UMSU, IKIP, UISU, ITM, UNIKA, UDA, UHN, Amik Kesatria dan USI XII.
Tak ada tanda- tanda aksi ini akan berakhir ricuh sebelum semakin lama mereka
berdemonstrasi semakin mereka tahu aksi mereka berusaha dibubarkan olah

Universitas Sumatera Utara

aparat. Massa yang awalnya menonton saja kemudian bergabung dengan
mahasiswa.Terjadilah barisan arak-arakan kemarahan.Mereka kemudian bentrok
dengan petugas keamanan dan aksi mereka manjalar di sekitar kampus.Dalam aksi
demonstrasi, mahasiswa mengambil dan melempari batu kaca showroom mobil
Timor di dekat kampus.Mereka mendobrak pintu showroom dan menyeret satu
unit mobil Mazda keluar dan kemudian dibakar. Rumah-rumah dan perkantoran
yang ada di jalan Sutomo juga jadi sasaran amuk massa(Dian, 2015:10).

Gambar 5.1 Kerusuhan Mei 1998 di Medan

( Sumber: https://www.kaskus.co.id/)

Kerusuhan hari berikutnya, menjelang siang, giliran IKIP Medan
berdemonstrasi di depan kampus mereka. Sekitar 500 mahasiswa berdemonstrasi
diiringi ban-ban bekas yang mereka bakar.Polisi kemudian menghentikan mereka
yang berujung pada kerusuhan.Kontak fisik pun terjadi, mahasiswa melempari

Universitas Sumatera Utara

polisi dengan batu dan bom Molotov.Kedua belah pihak pun bernegoisasi.
Tawaran dari mahasiswa mereka akan berdemonstrasi tanpa ada aparat yang
menjaga mereka. Sementara tawaran dari Polisi, mahasiswa dapat berdemonstrasi
namun di dalam kawasan kampus. Negoisasi tersebut disetujui, mahasiswa
berdemonstrasi di dalam kampus sementara polisi berjaga di luar kampus (Dian,
2015:11)
Menjelang malam, mahasiswa merasa situasi sudah kondusif sehingga
beberapa dari mereka memutuskan keluar dari kampus.Namun polisi menghadang
dan membentak mereka dengan kata-kata kasar dan cabul.Mahasiswa disuruh
berjalan berjingkrak beriringan sambil memegang bahu masing-masing.Salah satu
mahasiswi yang keluar dari kampus dilecehkan setelah kerudungnya dibuka paksa
hingga terlepas oleh seorang polisi. Sebelum dipeluk dan dilecehkan, seorang
polisi sempat membuka resleting celananya dan menunjukkan kemaluannya di
depan mahasiswi tersebut. Hal itu mambuat mahasiswi tersebut pingsan.Akibat
kejadian tersebut, kesepakatan kedua belah pihak batal (Dian, 2015:11).
Warga yang melihat aksi bejat polisi tersebut marah dan akhirnya
bersekutu dengan mahasiswa.Isu pelecehan seksual itu beredar dengan cepat
sehingga warga semakin ramai ikut bergabung.Mahasiswa dan warga kemudian
menghancurkan dan mengobrak-abrik pos polisi tersebut. Bahkan mereka
membakar mobil truk dan sepeda motor yang terparkir di depan pos. Aksi tersebut
berhenti setelah kota gelap gulita karena listrik sengaja dipadamkan (Dian,
2015:12).
Kerusuhan hari berikutnya semakin meluas hingga ke Lubuk Pakam,
Tanjung Morawa, dan Deli Serdang.Tanggal 7 Mei 1998, kerusuhan di Sumatera

Universitas Sumatera Utara

Utara semakin melebar hingga ke Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan
Binjai.Akibat kerusuhan selama 3 hari, Medan dan sekitarnya menjadi lumpuh.
Titik-titik rawan utama kerusuhan terjadi di seputaran Kec.Medan Denai,
Kec. Medan Tembung, Kec. Medan Amplas, Kec.Medan Deli, Kec. Medan Timur
dan Kec.Medan perjuangan. Kerusuhan yang terjadi di kota Medan dan sebagian
kawasan Kab. Deli Serdang mengakibatkan 5 orang tewas, 80 orang tertembak
dan ratusan perempuan Tionghoa diperkosa dan dilecehkan, 19 unit kendaraan
bermotor roda empat termasuk sebuat truk petugas keamanan, 40 sepeda motor, 5
kantor bank serta ratusan toko/ruko dirusak dan dibakar (Tjin, 2005:30)
Medan merupakan kota besar pertama yang dilanda kerusuhan besar
berkaitan denga reformasi. Kerusuhan mulai dari hari senin tanggal 4 Mei 1998
sampai dengan hari jumat tanggal 8 Mei 1998. Pembakaran, perusakan dan
penjarahan terhadap toko-toko, bank, pasar dan kendaraan terjadi selama beberapa
hari. Sejak pagi, banyak warga yang menerima peringantan tentang akan adanya
penjarahan toko dan pada malam harinya penjarahan akhirnya terjadi. Massa pada
saat itu sudah bercampur dengan preman mulai menjarah toko.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5.2 Pasca Penjarahan Barang

(Sumber: https://www.kaskus.co.id/)

Kerusuhan Mei 1998 tidak hanya dipicu oleh bentrokan mahasiswa
dengan aparat.Kerusuhan juga dipicu karena terjadinya krisis moneter yang
mengakibatkan

harga

sembako

melonjak

dan

masyarakat

mengalami

kelaparan.Pada saat itu etnis Tionghoa yang ekonominya lebih tinggi
dibandingkan

dengan

masyarakat

pribumi

menimbulkan

kecemburuan

sosial.Kecemburuan sosial tersebut, memicu masyarakat pribumi ikut dalam aksi
penjarahan toko/ruko etnis Tinghoa.
Menurut informan yang berhasil penulis rangkum, yang menjadi salah satu
saksi peristiwa kerusuhan Mei 1998, pada hari senin tanggal 4 Mei 1998
mendadak ramai.Saat kerusuhan terjadi, dia hendak membuka tokonya. Namun
pintu tokonya telah rusak karena massa mendobrak pintu rukonya. Saat dia keluar,

Universitas Sumatera Utara

dia diancam akan dibunuh jika dia melakukan perlawanan. Sejumlah laki-laki
dewasa diikuti dengan masyarakat leluasa mengambil seluruh isi toko.Dia hanya
terpaku saat melihat toko elektroniknya dijarah oleh masyarakat pribumi. Menurut
informan, benda-benda yang paling banyak dijarah oleh masyarakat adalah
televisi dan radio.Selain itu karyawanya juga ikut menjarah tokonya.
Lain halnya dengan kesaksiaan Bapak Robby, dia mengalami kerusuhan
tersebut saat ia masih duduk di bangku SMP. Saat kejadian berlangsung, dia
masih berada di sekolah dan tiba-tiba para guru masuk ke kelas dan menyuruh
semua siswa/siswi bergegas pulang.Sesampainya di rumah, dia melihat rumahnya
sedang di jarah oleh masyarakat.Ayahnya memeluk ibunya yang sedang menangis
dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Barang yang paling banyak dijarah
adalah peralatan dapur dan bahan pangan seperti, beras, gula, minyak dan susu.
Menurut keterangan dari Bapak Ahok selaku pemilik toko elektronik, pada
saat kerusuhan terjadi, masa berlomba-lomba masuk ke tokonya yang sudah di
buka paksa oleh warga setempat.Dia menyaksikan sendiri dari lantai atas tokonya,
warga membawa televisi dan kulkas. Salah seorang warga membawa televisi
tersebut dan naik ke sepeda motor yang di kendarai oleh temannya. Mereka
kemudian melaju sambil berteriak, “Merdeka!”.Pada saat itu Bapak Ahok beserta
istri dan kedua anaknya hanya dapat menyaksikan toko mereka di jarah.
Salah seorang informan yang bernama Bapak Koko (nama disamarkan),
demikian kutipannya:
“Pada saat kerusuhan Mei 1998, saya kehilangan putra sulung saya.Tepat
pada tanggal 6 Mei 1998 kerusuhan terjadi di tempat tinggal saya yaitu Mandala
by Pass, Medan.Saat itu satu-persatu toko-toko dan rumah-rumah etnis Tionghoa
dijarah.Saat warga mulai menjarah rumah saya, putra sulung saya melakukan
perlawanan.Saat itu putra sulung saya di seret keluar dan di keroyok oleh warga
sampai meninggal”.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Ibu Chang, dia juga mengalami hal yang sama dengan etnis
Tionghoa lainnya. Dari kesaksiannya, dia melihat banyak sekali toko-toko dan
rumah etnis Tionghoa dijarah dan dibakar oleh warga setempat. Dia berkata,
demikian kutipannya :
“Saya saat itu sedang tidur siang, saya terbangun karena saya mendengar
suara yang sangat keras dari luar.Tidak lama kemudian ibu dan ayah saya datang
ke kamar saya dan memeluk saya dengan erat. Kami melihat dari jendela kamar
saya, toko etnis Tionghoa yang berada di depan rumah saya telah di jarah dan
mobilnya di bakar. Tidak hanya itu, tentangga saya datang kerumah untuk minta
pertolongan, karena istrinya diikat dan putrinya diperkosa secara bergilir oleh
masyarakat pribumi”
Menurut kesaksian Ibu Upik, ibunya pernah bekerja dengan orang
Tionghoa.Ibunya bercerita kalau orang Tionghoa di tempat dia bekerja bicaranya
kasar dan suka memaki dia. Ibunya sering sakit hati mendengar ucapan mereka,
tapi ibunya tidak dapat berbuat apapun karena dia bekerja pada orang Tionghoa
tersebut. Namun pada saat kerusuhan mei 1998 ibunya dan kawan-kawannya yang
sama-sama juga bekerja pada etnis Tionghoa, melampiaskan sakit hati dengan ikut
menjarah rumah mereka.
Salah seorang teman penulis yang bernama Silvia, menuturkan bahwa
sepupunya merupakan salah satu korban pelecehan seksual.Sepupunya dan adik
perempuan sepupunya dilecehkan secara bergilir. Saat itu ada segerombolan orang
datang kerumah sepupunya dan berteriak kalau mereka akan membunuh orang
Cina. Sepupunya di lempar dan dipukul sampai pingsan.Ketika siuman tidak ada
satupun

baju

yang

melekat

di

tubuhnya,

demikian

juga

dengan

adiknya.Sepupunya melihat ayahnya sambil menangis memeluk ibu dan
adiknya.Adik dari sepupu Silvia tersebut meninggal dunia karena saat di lecehkan,

Universitas Sumatera Utara

dia memberontak dan memukul salah satu pelaku.Pelaku tersebut langsung
mengambil sebilah pisau dan menusukkanya ke perut korban.
Kerusuhan Mei 1998 di Medan terjadi dari pagi menjelang malam,
kerusuhan ini sendiri dipicu oleh provokasi dan isu mengenai kenaikan harga
barang dan kelangkaan bahan-bahan pokok pasaran.Isu yang beredar dimana etnis
Tionghoa pemilik toko-toko menimbun bahan-bahan pokok yang memang saat itu
sangat langka bahkan nyaris tidak ada di pasaran (Dian, 2015:20).

5.2 Dampak Kerusuhan Mei Tahun 1998 bagi Perubahan Nilai Budaya Etnis
Tionghoa di kota Medan.

Perubahan nilai Budaya adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada
lembaga-lembaga

kemasyarakatan

di

dalam

suatu

masyarakat

yang

mempengaruhi sistem sosialnya.Unsur-unsur yang termasuk ke dalam sistem
sosial adalah nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilakunya diantara kelompokkelompok dalam masyarakat.
1. Nilai-nilai
Nilai-nilai adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman
dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok
atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut
atau tidak patut. Nilai juga suatu karateristik tertentu yang dapat dibedakan
satu dan lainnya sebagai acuan perilaku.

2. Sikap

Universitas Sumatera Utara

Sikap adalah suatu keadaan jiwa dan keadaan pikiran yang dipersiapkan
untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek dan keadaan yang
diorganisasi dari pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada
perilaku.
3. Pola Perilaku
Pola perilaku adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan, pemikiran
dan tindakan seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
Pola perilaku

juga

merupakan

kelakuan

seseorang

yang

sudah

tersusun/tertata karena proses dari kelakuan tersebut dilakukan secara
berulang-ulang dan menghasilkan suatu kebiasaan.

Pengertian dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
benturan,

pengaruh

yang

mendatangkan

akibat

baik

positif

maupun

negative.Pengaruh adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda)
yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perubahan seseorang. Pengaruh
adalah suatu keadaan dimana ada hubungan timbal balik atau hubungan sebab
akibat antara apa yang mempengaruhi dengan apa yang dipengaruhi.
Dampak dari suatu kejadian dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang,
seperti sikap, kepribadian, konsep diri, motif, persepsi, kelompok referensi, kelas
sosial, keluarga, pengalaman, pegamatan dan kebudayaan (Amstrong dalam
Nugrahen, 2003:15).

Universitas Sumatera Utara

Kerusuhan Mei 1998 telah membawa luka yang mendalam bagi bangsa
Indonesia dan menimbulkan dampak yang sangat besar.Hancurnya beberapa
fasilitas umum, penjarahan toko-toko etnis Tionghoa, pembunuhan dan pelecehan
seksual terhadap etnis Tionghoa meninggalkan kepediahn dan kepiluan yang
sangat mendalam.Akibat dari kerusuhan Mei 1998 membuat Indonesia jatuh
dalam jurang keterpurukan.
Dampak utama peristiwa kerusuhan tersebut adalah terjadinya pergantian
kepemimpinan nasional pada tanggal 21 Mei 1998.Selain itu dampak dari
kerusuhan Mei 1998 adalah terjadinya krisis di segala bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial dan budaya.
Di kota Medan dampak kerusuhan Mei 1998 adalah lumpuhnya
perekonomian dan perubahan nilai budaya etnis Tionghoa. Banyak etnis Tionghoa
Medan pergi meninggalkan kota Medan karena merasa keamanan mereka tidak
terjamin, walaupun banyak juga dari mereka yang tinggal untuk melindungi harta
benda mereka supaya tidak di jarah. Kerusuhan ini juga menumbuhkan sikap
antisipasi etnis Tionghoa.Mereka semakin menutup diri dan bersikap individu.
Salah seorang informan berkata, demikian kutipannya:
“Sebelum kerusuhan kami masih hidup damai dengan warga pribumi
namun setelah kejadian itu, keadaan pun berubah. Saya memagar lapis seluruh
bagian depan dan belakang rumah saya. Saya takut di jarah lagi, karena tetangga
saya juga ikut menjarah toko saya.Barang-barang yang dijarah sangat banyak, hal
itu merugikan saya.Saya menjadi takut dan tidak percaya lagi dengan warga
setempat”.
Bapak Koko (nama disamarkan) mengatakan bahwa dia sempat
mengalami trauma yang sangat berat. Dia sempat dirawat di rumah sakit jiwa
selama tiga setengah tahun karena kehilangan putra sulungnya. Bapak koko (nama
disamarkan) berkata, demikian kutipannya:

Universitas Sumatera Utara

“Saya sangat trauma kehilangan putra sulung saya.Putra saya diseret dan
dikeroyok saat melakukan perlawanan.Padahal putra sulung saya hanya ingin
melindungi saya, istri dan anak bungsu saya.Kami mendengar dia berteriak dan
saya berlari untuk menolongnya. Namum apa yang bisa saya perbuat saat itu, saya
sudah menemukan dia tergeletak dan tidak bergerak sama sekali. Karena kejadian
itu juga saya mengonsumsi obat penenang selama 6 tahun”.
Dari keterangan Bapak Koko (nama disamarkan), dia beserta istri dan anak
bungsunya mulai menutup diri dan tidak mau berinteraksi dengan warga pribumi
saat itu. Walaupun kejadian tersebut sudah berlalu, trauma yang dialami Bapak
Koko beserta keluarga masih terbawa sampai sekarang.Munculnya sifat individual
mereka tercermin dari tempat tinggal mereka, dimana penduduknya kebanyakan
etnis Tionghoa.Dia juga menyekolahkan anak bungsunya di sekolah etnis
Tionghoa.

5.3 Peneliti Dengan Informan

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Fakta menunjukkan bahwa yang disebut korban dalam kerusuhan Mei
1998 adalah orang-orang yang telah menderita secara fisik dan psikis karena hal-

Universitas Sumatera Utara

hal berikut, yaitu kerugian fisik dan material (rumah dan toko) dirusak, dibakar
dan dijarah, meninggal dunia saat terjadi kerusuhan karena berbagai sebab
(terbakar, tertembak, teraniaya, dibunuh dan sasaran tindak kekerasan seksual)
(Noviani, 2014:58).
Keterangan dari seorang informan yang penulis temui, dia juga sangat
merasakan dampak dari kerusuhan tersebut.Dia memiliki toko elektronik yang
diajarah oleh masyarakat dan karyawannya sendiri.Saat itu timbul rasa tidak
percaya dan kecewa yang sangat besar, terutama terhadap karyawannya.Dia
mengaku bahwa dia mulai menutup diri.Namun, jiwa dagangnya tidak padam
hanya karena kejadian itu.Pada masa Presiden Habibie, dia mulai membuka toko
elektroniknya lagi.Walaupun dia telah membuka toko elektroniknya, rasa trauma
karena kerusuhan tersebut masih membayanginya. Dia mengatakan bahwa
sebelum kerusuhan Mei 1998, biasanya dia membuka toko jam delapan pagi
sampai dengan jam lima sore. Namun setelah kejadian itu, dia hanya membuka
toko selama tiga sampai empat jam yaitu mulai dari jam sembilan pagi sampai jam
satu siang. Dia berkata, berikut kutipannya:
“Saya hanya membuka toko 2-3 hari perminggu dalam kurun waktu 3-4
jam saja. Saya takut kalau kerusuhan itu terulang lagi. Saat ada masyarakat
pribumi yang masuk ke toko, saya sangat takut dan was-was. Saya langsung
mengambil pisau silet sebagai pertahan diri jika mereka membuat kerusuhan”.
Menurut Bapak Alex (nama disamarkan) menuturkan bahwa ayahnya
mengalami gangguan jiwa akibat kerusuhan Mei 1998. Kakak tertuanya
meninggal karena dikeroyok olah masyarakat yang menjarah rumahnya.Karena
kejadian tersebut meninggalkan luka yang sangat besar bagi keluarganya.Bapak
Alex mulai menjauhi masyarakat pribumi dan hanya berteman dengan sesama
etnis Tionghoa saja.Bapak Alex mengatakan dia merasa dendam dan

Universitas Sumatera Utara

menyalahkan masyarakat pribumi karena telah membunuh kakak tertuanya. Tidak
hanya itu, Bapak Alex beserta keluarga mulai aktif berbahasa Hokkian agar
masyarakat pribumi tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. karena menurut
dia, masyarakat pribumi selalu ingin tahu urusan mereka. Bapak Alex mengatakan
hal tersebut terbawa sampai sekarang dan menjadi kebiasaan mereka.
Ibu Chang mengatakan, pasca kerusuhan itu dia dan orangtuanya pindah
ke Berastagi karena pada saat itu Berastagi tidak tersentuh oleh kerusuhan Mei
1998.Mereka Menetap di Berastagi selama 1 tahun sebelum akhirnya mereka
kembali ke Medan.Setelah mereka kembali ke Medan, Ibu Chang dan
orangtuanya menetap di daerah Medan Denai sampai sekarang.Namun tempat
tinggal Mereka kebanyakan etnis Tionghoa dan sangat jarang masyarakat
pribumi.Mereka juga memagari rumah mereka sebagai antisipasi.Walaupun
kerusuhan Mei 1998 sudah berlalu, Ibu Chang masih sering menangis jika teringat
kejadian tersebut.Ibu Chang menuturkan, walaupun sekarang etnis Tionghoa
sudah berbaur dengan masyarakat pribumi, tidak menghilangkan ketakutannya
terhadap masyarakat pribumi.Ibu Chang hanya terbuka terhadap masyarakat
pribumi yang sudah lama dia kenal baik.
Sama halnya dengan seorang informan yang bernama Bapak Ahok. Dia
berkata, demikian kutipannya:
“Saya sudah tidak percaya dengan masyarakat pribumi saat itu.Saya
beserta istri dan anak saya mengurung diri dirumah.Kami takut keluar, karena saat
itu sangat rusuh sekali.Kami tidak bisa mempercayai siapapun selain sesama kami
yang sama-sama menjadi korban.Apa salah kami saat itu, apakah kami salah kalau
perekonomian kami lebih baik. Kami tidak peduli siapa yang mengkudeta dan
siapa yang dikudeta saat itu.Kami hanya menjalani hidup kami.Kenapa kami yang
dijadikan tumbal reformasi, bukankan kami juga warga Negara Indonesia”.

Universitas Sumatera Utara

Bapak Ahok menuturkan karena kejadian itu dia dan keluarganya menjadi
tertutup.Sikapnya berubah terhadap masyarakat pribumi.Bapak Ahok mengatakan
dia tidak mau berbicara dengan masyarakat pribumi saat itu dikarenakan rasa
takut.Menurutnya perubahan sikap sangat terlihat dari putrinya.Putrinya tidak mau
bergaul dengan masyarakat pribumi terutama laki-laki.Masyarakat sekitar
menjulukinya angkuh dan sombong, padahal menurutnya, dia tidak mau berbicara
dengan masyarakat pribumi karena rasa trauma dan rasa takut yang sangat besar.
Seorang informan yang merupakan teman penulis bernama Silvia
menuturkan bahwa mengalami perubahan yang drastis.Ketidakpercayaannya
terhadap masyarakat pribumi muncul ketika nenek dan sepupunya menceritakan
pengalaman mereka saat kerusuhan Mei 1998.Walaupun dia tidak mengalami
kejadian tersebut, dia mengaku dapat merasakan kesedihan dan penderitaan nenek
dan sepupunya.Dimana saat kerusuhan, rumah neneknya di jarah dan adik dari
sepupunya meninggal dunia karena diperkosa secara bergilir. Dia berkata,
demikian kutipannya:
“Jujur saya merasa tidak adil.Walaupun saya tidak mengalaminya, sebagai
perempuan, saya juga dapat merasakan kesedihan nenek dan sepupu
saya.Terutama sepupu saya yang adiknya meninggal karena diperkosa.Kenapa
perempuan etnis Tionghoa menjadi korban kebejatan masyarakat pribumi.Saya
rasa perempuan etnis Tionghoa tidak ada hubungannya dengan krisis moneter atau
dengan masalah reformasi Indonesia.Apakah tidak ada lagi rasa kemanusiaan saat
itu. Adik dari sepupu saya diperkosa dan dibunuh tepat di depan keluarganya dan
meninggalkan kesedihan yang sangat dalam. Akibat dari kerusuhan tersebut,
sepupu saya dan keluarganya pindah ke luar negeri dan enggan untuk kembali ke
Indonesia.Saya sangat menyayangkan kejadian tersebut.”
Silvia mengatakan bahwa karena kerusuhan tersebut, dia selalu berpikir
negatif terhadap masyarakat pribumi.Bersikap individu dan tidak mau berteman
dengan warga setempat.Saat duduk di bangku SMP, dia tidak mau berbaur dengan

Universitas Sumatera Utara

masyarakat pribumi.Dia cenderung tertutup dan pendiam.Hal tersebut di rasakan
oleh penulis sendiri, karena penulis satu sekolah bahkan satu kelas dengannya.
Tidak hanya Silvia yang mengalami perubahan, Ibu Diana juga merasakan
hal yang sama. Walaupun dia tidak mengalami kerusuhan itu, dia mengalami
perubahan yang signifikan terhadap masyarakat pribumi, dia menjauh dan
menghindari masyarakat pribumi.Dari kesaksiannya dia dapat merasakan
ketakutan yang dirasakan oleh kakak iparnya, sebelum pada akhirnya dia dapat
menerima hal tersebut.Bermula dari kakak iparnya yang menceritakan
pengalamannya kepada Ibu Diana.Toko ayah kakak iparnya di jarah dan dilempari
batu.Kakak iparnya ditarik oleh sekelompok pria dan mengikatnya.Pada saat itu
sekelompok pria tersebut bermaksud untuk melecehkan kakak iparnya, namun
tidak berhasil karena kakak iparnya di selamatkan oleh ayahnya.Kejadian tersebut
tidak hanya meninggalkan luka fisik, namun juga meninggalkan trauma.
Ibu Diana berkata, demikian kutipannya:
“Saya dapat merasakan kesedihan kakak ipar saya.Dia bercerita sambil
menangis.Harta dan toko ayahnya lenyap.Ditambah dia terluka karena diseret dan
diikat oleh sekelompok pria.Hal tersebut tidak hanya terjadi pada kakak ipar
saya.Kakak ipar saya juga mengatakan bahwa putri tentangganya diperkosa
sampai meninggal.Padahal putri tetangga kakak ipar saya masih kelas 6 SD. Saya
beranggapan bahwa masyarakat pribumi saat itu sangat kejam dan mulai menjauhi
mereka.Saya takut dan benci juga.Setiap saya melihat masyarakat pribumi,
terutama laki-laki, saya langsung teringat cerita kakak ipar saya.Tapi namanya
kita hidup, tidak mungkin saya terus bersikap seperti ini. Karena saya tinggal di
Negara Indonesia ini , saya harus berbaur, karena saya juga perlu mereka. Untuk
melupakan hal tersebut mungkin susah bagi saya, tapi hidup selalu harus belajar.
Saya terus belajar untuk menerima dan melupakan kejadian diskriminatif
terhadapa etnis Saya”.
Dampak kerusuhan Mei 1998 bagi perubahan nilai budaya etnis tionghoa
terhadap masyarakat pribumi di Medan sangat dirasakan hingga saat ini.Mereka
menutup diri, tidak mau berbaur dengan masyarakat pribumi, bersikap individu,

Universitas Sumatera Utara

kebanyakan dari mereka hanya berbaur dengan sesama etnis Tionghoa
saja.Perubahan tersebut terjadi karena mereka masih mengingatnya dan
menjadikannya peristiwa kelam yang tidak terlupakan seumur hidup.
Perasaan curiga, takut, trauma dan khawatir membayangi masyarakat etnis
Tionghoa yang kemudian membentuk sikap acuh yang terkesan sombong, tidak
mau bergaul, hanya bergaul dengan sesama etnis Tionghoa dan bersikap eksklusif
yang kemudian menciptakan jarak yang sangat besar antar masyarakat pribumi
dan etnis Tionghoa.

Universitas Sumatera Utara

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Dalam menjalani kehidupan sehari- hari, masyarakat tentunya dapat
mengalami perubahan.Perubahan tersebut dapat berupa perubahan yang tidak
mencolok dalam arti berjalan dengan lambat dan ada pula perubahan yang
mencolok dalam arti berjalan dengan cepat.Perubahan- perubahan dapat
dipengaruhi oleh konflik yang terjadi di sekitar masyarakat dan hal tersebut
merubah nilai-nila sosial, norma-norma sosial, pola perilaku, lapisan-lapisan
dalam masyarakat, interaksi sosial dan lain sebagainya.
Perubahan juga terjadi di masyarakat Tionghoa di kota Medan, terutama
perubahan nilai budaya mereka yaitu perubahan perilaku. Perubahan perilaku
masyarakat Tionghoa di Kota Medan terhadap masyarakat dipengaruhi oleh
konflik yang pernah terjadi di Kota Medan.Salah satunya adalah Kerusuhan Mei
1998.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan melalui wawancara
dan observasi, dapat diketahui bahwa perubahan perilaku masyarakat Tionghoa
sangat dipegaruhi oleh konflik-konflik yang pernah terjadi di antara masyarakat
Tionghoa dan masyarakat Pribumi. Kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu
penyebab perubahan perilaku masyarakat Tionghoa di kota Medan. Kerusuhan

Universitas Sumatera Utara

rasial tersebut meninggalkan trauma yang sangat besar terhadap masyarakat
Tionghoa. Akibat dari kerusuhan tersebut masyarakat Tionghoa di kota Medan
mengalami perubahan perilaku yang sangat signifikan. Mereka tidak mau
bersosialisasi atau bertegur sapa dengan sekitar, adanya rasa curiga, tidak mudah
percaya dan hanya berinteraksi dengan sesama etnis Tionghoa saja.
Disamping itu, kerusuhan Mei 1998 juga mengakibatkan adanya sikap
individual etnis Tionghoa di kota Medan. Mereka lebih suka bekerja sama hanya
dengan sesama etnis mereka, tinggal di daerah yang lebih mendominan etnis
Tionghoa. Bahkan banyak dari mereka yang menyekolahkan anak mereka di
sekolah Tionghoa.Kerusuhan Mei 1998 membawa dampak yang sangat besar dan
merugikan banyak pihak, terutama masyarakat Tionghoa.

6.2 Saran
Berikut saran penulis:
1. Sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa kita harus saling menghargai dan
menghormati, hilangkan anggapan negatif dan perbedaan etnis yang dapat
memecah belah persatuan. Jangan sampai Kerusuhan tersebut terulang lagi
di masa depan karena dapat menimbulkan kerugian yang besar,
minggalkan trauma dan dapat merusak kesatuan Bangsa dan Negara.
2. Sebagai manusia, kita tidak boleh beranggapan langsung bahwa etnis
Tionghoa di Medan itu sombong atau tidak mau bersosialisasi dengan
masyarakat pribumi tanpa mengetahui alasannya, karena hal tersebut pasti
ada yang melatarbelakangi.

Universitas Sumatera Utara

3. Dalam kehidupan bermasyarakat, perubahan tentu terjadi, tetapi buatlah
perubahan tersebut menjadi suatu kemajuan bukan kemunduran.
4. Setiap manusia memiliki masa lalu, baik itu masa lalu yang indah atau
masa lalu yang kurang baik, namun buatlah masa lalu tersebut menjadi
acuan untuk masa depan yang lebih baik. Kita hidup di masa kini bukan di
masa lalu, jadi kita tidak boleh terus menerus menoleh ke masa lalu.
5. Dengan adanya tulisan ini, penulis berharap anggapan negatif terhadap
etnis Tionghoa dapat hilang sepenuhnya agar tidak terjadinya perpecahan
antar manusia, karena kita semua berharga.

Universitas Sumatera Utara