KERUSUHAN ANTI ETNIS TIONGHOA DI JATIWANGI FEBRUARI 1998 (Sebuah Tinjauan Historis).

(1)

KERUSUHAN ANTI ETNIS TIONGHOA DI JATIWANGI FEBRUARI 1998

(Sebuah Tinjauan Historis)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Departemen Pendidikan Sejarah

Oleh,

Hena Gian Hermana 1001926

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2014


(2)

Oleh,

HENA GIAN HERMANA

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Hena Gian Hermana 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Desember 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

HENA GIAN HERMANA

KERUSUHAN ANTI ETNIS TIONGHOA DI JATIWANGI FEBRUARI 1998

(Sebuah Tinjauan Historis)

disetujui dan disahkan oleh pembimbing: Pembimbing I

Drs. H. Ayi Budi Santosa, M.Si NIP. 19630311 198901 1 001

Pembimbing II

Wawan Darmawan, S.Pd., M.Hum. NIP. 19710101 199903 1 003

Mengetahui

Ketua Departemen Pendidikan Sejarah

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd. NIP. 19570408 198403 1 003


(4)

Hena Gian Hermana 1001926

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang membahas tentang kerusuhan anti Etnis Tionghoa yang terjadi di Jatiwangi pada Februari 1998. Latar belakang penelitian ini didasarkan atas marak terjadinya aksi-aksi anarkis berujung SARA di berbagai daerah dalam tahun 1998 yang telah menyangkut kepada persoalan etnis di Indonesia, salah satunya terjadi kepada Etnis Tionghoa di Jatiwangi. Masalah utama yang diangkat dalam skripsi ini adalah “Mengapa terjadi

kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998?”. Tujuan utama dalam

skripsi ini adalah dapat mengetahui serta mendeskripsikan secara jelas kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998. Peneliti menggunakan metode historis yang terdiri dari empat tahapan penelitian. Hasil temuan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa kerusuhan yang terjadi di Jatiwangi disebabkan oleh kesenjangan ekonomi masyarakat, kurangnya sikap empati dari sebagian warga Etnis Tionghoa di Jatiwangi, kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat dan pembubaran massa secara paksa oleh aparat. Kerusuhan terjadi selama tiga hari berturut-turut yaitu dari tanggal 12 sampai 14 Februari 1998, sehingga menimbulkan dampak materil dan traumatis yang cukup serius bagi masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat. Pada kerusuhan tersebut, secara umum massa perusuh merusak tempat-tempat milik masyarakat Tionghoa seperti toko dan rumah, bahkan tempat ibadah. Apabila dicermati, kerusuhan yang terjadi di Jatiwangi nampaknya telah mengarah kepada permasalahan diskriminasi Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA), sehingga agar tidak terjadi lagi tindakan atau aksi serupa, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang penghapusan tindakan diskriminasi ras dan etnis. Berdasarkan temuan penelitian ini, disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk memeriksa lebih lanjut tentang keterlibatan dan peran Zoker selama kerusuhan di Jatiwangi.

Kata Kunci: Kerusuhan 1998, Kerusuhan Jatiwangi, Etnis Tionghoa, Zoker

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu


(5)

ABSTRACT

This study was a historical research that examined the riot against Chinese occurred in Jatiwangi, February 1998. This study was based on the awareness of how anarchistic actions that happened around the time of 1998 had raised the issue of racism among ethnic groups in Indonesia, in which one of them involved a Chinese group in Jatiwangi. The discussion of this study was focused on the circumstances that triggered the riot to occur in the first place. The aim was to discover and describe the detailed events of the occurrence of the incident. Through a four-stage historical method, it has been revealed that the riot was caused by four main reasons; the economic discrepancy between Chinese and civilians, the lack of empathy from the majority of Chinese, the scarcity of the

people’s basic needs, and the mass forcible dispersal by the authorities. The three -day riot that took place in 1998 from February 12 to 14 had brought about traumatic experiences and financial loss to the victims, both Chinese and civilians. During the incident, many properties of Chinese, including stores, houses, and even worship places had been damaged and destroyed by the anarchists. Reflecting to these facts, the incident was considered stemming from as well as increasing discrimination and racism issues among tribes, religions, races, and ethnic groups. Therefore, in order to avoid the incident from spreading, Indonesian government released a regulation—Undang-Undang No. 40 Tahun 2008—about the abolition of any kind of discrimination and racism practices. Based on the findings of this study, it was suggested for the future research to examine more on the involvement and the roles of Zoker during the riot in Jatiwangi as this study found it essential.

Keyword(s): 1998 Riot, Jatiwangi Riot, Chinese, Zoker

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu


(6)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN PRAKATA

PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Struktur Organisasi Skripsi ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

2.1 Masyarakat Tionghoa di Indonesia ... 12

2.2 Kebijakan Pemerintah Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia Sejak Pemerintahan Soekarno Sampai Pemerintahan Soeharto ... 15

2.2.1 Kebijakan Soekarno ... 16

2.2.2 Kebijakan Soeharto ... 19


(7)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2.4 Teori Prasangka Sosial ... 33

2.5 Teori Konflik ... 34

2.6 Penelitian Terdahulu ... 37

2.6.1 Skripsi ... 37

2.6.2 Jurnal... 39

2.6.3 Buku ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Metode Penelitian ... 43

3.2 Persiapan Penelitian ... 45

3.2.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian ... 45

3.2.2 Penyusunan Rancangan Penelitian ... 45

3.2.3 Mengurus Perizinan ... 46

3.2.4 Menyiapkan Perlengkapan Penelitian... 47

3.2.5 Proses Bimbingan ... 47

3.3 Pelaksanaan Penelitian... 48

3.3.1 Heuristik (Pengumpulan Sumber) ... 48

3.3.1.1 Sumber Primer ... 49

3.3.1.2 Sumber Sekunder ... 52

3.3.2 Kritik Sumber ... 55

3.3.2.1 Kritik Eksternal ... 55

3.3.2.2 Kritik Internal... 58

3.3.3 Interpretasi ... 59

3.3.4 Historiografi ... 63

BAB IV KERUSUHAN ANTI ETNIS TIONGHOA DI JATIWANGI FEBRUARI 1998 ... 65

4.1. Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Jatiwangi ... 65

4.1.1 Kondisi Lingkungan Fisik ... 65


(8)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

4.2 Kondisi Masyarakat Jatiwangi Khususnya Etnis Tionghoa Sebelum

Terjadinya Kerusuhan ... 69

4.2.1 Kondisi Sosial ... 69

4.2.2 Kondisi Ekonomi ... 71

4.3 Latar Belakang Terjadinya Kerusuhan ... 74

4.3.1 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kerusuhan ... 74

4.4 Kronologis Terjadinya Kerusuhan ... 78

4.4.1 Tanggal 12 Februari 1998 ... 78

4.4.2 Tanggal 13 Februari 1998 ... 83

4.4.3 Tanggal 14 Februari 1998 ... 85

4.4.4 Dampak Terjadinya Kerusuhan ... 87

4.4.4.1 Bagi Etnis Tionghoa ... 87

4.4.4.2 Bagi Penduduk Setempat ... 89

4.5 Upaya Pemerintah Dalam Mengatasi Kerusuhan ... 89

4.5.1 Pemerintah Daerah... 89

4.5.2 Pemerintah Pusat ... 93

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 96

5.1 Simpulan... 96

5.2 Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100 LAMPIRAN


(9)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Kerusuhan-Kerusuhan di Indonesia Periode Mei Sampai Juni Tahun 1998 ... 30 Tabel 2.2 Kerusuhan SARA di Indonesia Yang Melibatkan Warga Etnis Tionghoa Per tanggal 13-14 Februari 1998... 31 Tabel 4.1 Rata-rata Harga Eceran Kebutuhan Pokok Masyarakat di Kota Majalengka (Pasar Sindangkasih) Kurun Waktu Tahun 1996-1998 . 72-73


(10)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 4.1 Wilayah Administratif Kecamatan Jatiwangi ... 66 Gambar 4.2 Peta Kerusuhan di Jatiwangi

Hari Kamis, 12 Februari 1998 ... 79 Gambar 4.3 Peta Kerusuhan di Jatiwangi

Hari Jumat 13 Februari 1998... 84 Gambar 4.4 Peta Kerusuhan di Jatiwangi


(11)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keputusan (SK) Penunjukkan Dosen Pembimbing Lampiran 2 Frekuensi Bimbingan

Lampiran 3 Surat Penelitian

Lampiran 4 Surat Keterangan Penelitian dari Kantor Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik) Kabupaten Majalengka

Lampiran 5 Daftar Narasumber

Lampiran 6 Surat Pernyataan Wawancara Lampiran 7 Hasil Wawancara

Lampiran 8 Koran Kompas Edisi 13 Februari 1998 Lampiran 9 Koran Kompas Edisi 15 Februari 1998

Lampiran 10 Arsip Upaya Pengendalian dan Pengendalian Krisis Nomor: 40/DPA/1998

Lampiran 11 Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 tentang perwujudan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan,


(12)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

hak dan kewajiban warga negara, dan perlindungan hak asasi manusia.


(13)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks, baik itu dari segi bahasa, budaya maupun masyarakatnya. Keanekaragaman tersebut terlihat dari ragam jenis masyarakat yang hidup di Indonesia, yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Keanekaragaman seperti itu dalam kalangan masyarakat modern lebih dikenal dengan nama masyarakat multikultural. Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama, pendidikan, ekonomi, politik, bahasa, dan lain-lain.

Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai ragam ras dan suku bangsa. Selain penduduk asli atau pribumi, banyak juga terdapat penduduk keturunan asing. Jumlah penduduk keturunan asing ini yang terbanyak adalah berasal dari golongan keturunan Tionghoa. Secara umum dikatakan bahwa berdasarkan keturunan, di Indonesia terdapat dua klasifikasi atas orang Tionghoa yaitu jenis golongan pertama ialah Tionghoa peranakan dan jenis golongan kedua ialah Tionghoa totok.

Tionghoa peranakan merupakan orang Tionghoa yang sudah lama hidup atau tinggal di Indonesia dan pada umumnya sudah berbaur dengan masyarakat Indonesia. Mereka sudah dapat berbahasa Indonesia sebagai bahasa yang digunakan sehari-hari dan bertingkah laku seperti orang pribumi. Sebagaimana pernyataan yang diungkapkan oleh Noordjanah mengenai Tionghoa Peranakan (2004, hlm. 41) bahwa:

...yang disebut peranakan adalah pertama, mereka yang dilahirkan dari seorang ibu dan ayah dari Tionghoa dan lahir di Hindia Belanda. Dalam ketentuan hukum kolonial Belanda, mereka masuk sebagai Onderdaan Belanda. Kedua, mereka yang lahir dari perkawinan campuran, yaitu laki-laki Tionghoa dan wanita pribumi. Sebagai anak yang diakui secara sah oleh ayahnya dan di daftarkan sebagai anak sahnya dengan diberi nama keluarga (She). Ketiga, mereka yang dilahirkan dari perkawinan campuran antara


(14)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ayah pribumi dan ibu Tionghoa, dan karena pengaruh keadaan sosial dan ekonomi, diberi nama keluarga (She) dan mendapat pendidikan di dalam lingkungan Tionghoa.

Sedangkan, Tionghoa totok merupakan golongan masyarakat Tionghoa pendatang baru. Golongan Tionghoa peranakan menyebut Tionghoa totok dengan sebutan Singkeh yang berarti tamu baru, karena mereka lahir di luar Indonesia atau negeri Tionghoa dan masih berdarah murni Tionghoa, umumnya baru sekitar satu sampai dua generasi berada di Indonesia dan masih berbahasa Tionghoa sebagai bahasa yang digunakan sehari-hari. Apabila ditinjau lebih lanjut, antara Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok memiliki perbedaan-perbadaan yang mendasar, selain perbedaan dari waktu kedatangan dan bahasa yang digunakan, akan tetapi perbedaan lainnya terletak dalam segi kehidupan sosial ekonomi. Sebagaimana dikemukakan oleh Hidayat (1993, hlm. 87) bahwa:

Perbedaan dalam kegiatan sosial ekonomi, orang-orang totok nampaknya lebih rajin dan lebih hemat dibandingkan dengan orang-orang Tionghoa peranakan. Orang Tionghoa totok sedapat mungkin dalam segala macam pekerjaan dilakukan sendiri atau dikerjakan bersama-sama di antara keluarga sendiri. Bagi orang-orang Tionghoa peranakan telah banyak berubah, dimana pembagian kerja dan kehidupan. Hasil survey pada tahun 1957 di Jawa Barat terdapat 80,5% orang-orang Tionghoa totok bergerak dalam bidang perdagangan, 57,1% warga negara Tionghoa yang lahir di Indonesia dan 44,6% orang Tionghoa peranakan yang menjadi warga negara Indonesia.

Berdasarkan hal di atas, terlihat jelas bahwa kesuksesan masyarakat Tionghoa dalam sektor ekonomi karena sikap ekonomi mereka yang rajin dan hemat dalam kehidupan ekonominya. Selain itu, sikap mereka yang sedapat mungkin dalam segala macam pekerjaan dilakukan bersama-sama di antara keluarga sendiri menjadikan mereka terlihat sangat ekslusif dan tidak mau bekerja sama dengan penduduk pribumi.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia, baik yang telah lama datang dan menetap di Indonesia dalam proses kehidupannya masih memiliki kesamaan-kesamaan seperti masih mempertahankan, menggunakan dan meneruskan kebudayaan dan tradisi-tradisi lama dari leluhurnya. Hal tersebut terlihat dan


(15)

3

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dapat disaksikan pada upacara perkawinan orang-orang Tionghoa, terutama Tionghoa perantauan. Pada upacara perkawinan tersebut pengantin laki-laki masih menggunakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pemimpin kerajaan di Tionghoa pada masa dahulu. Selain itu, pada acara hari-hari besar Tionghoa atau tahun baru Tionghoa (Imlek), orang-orang Tionghoa masih banyak yang menggunakan adat-adat lama dalam proses perayaannya seperti penampilan barongsai dalam proses perayaan tahun baru Imlek, dan lain-lain.

Pada masa Pemerintahan Soekarno, keberadaan Etnis Tionghoa di Indonesia sangat diakui dan diperbolehkan untuk melaksanakan berbagai adat istiadat budaya leluhurnya, bahkan untuk membentuk suatu organisasi sosio-politik Etnis Tionghoa pun, Soekarno memperbolehkan. Salah satu organisasi sosio-politik yang didirikan adalah Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) pada tahun 1954. Organisasi ini berusaha untuk mendapatkan persamaan kedudukan antara sesama warga negara Indonesia, tanpa memandang latar belakang rasnya. Baperki berpendapat bahwa orang Tionghoa merupakan satu bagian dari etnis Indonesia. Jadi, orang Tionghoa kedudukannya sama dengan etnis Indonesia lainnya seperti Jawa, Sunda, dan Minang. Dengan kata lain, orang Tionghoa tidak perlu meleburkan diri ke dalam masyarakat Indonesia.

Kehadiran organisasi Baperki bagi Etnis Tionghoa di Indonesia dianggap telah menjadi angin segar bagi perjalanan kehidupan politiknya. Pada perjalanannya Baperki berkembang menjadi organisasi massa. Organisasi ini menitikberatkan integrasi (integrasi politik), bukan asimilasi dikalangan orang Tionghoa. Namun, organisasi ini semakin condong ke kiri dan mendekati Soekarno untuk mendapat perlindungan. Politik kiri inilah yang pada akhirnya membawa Baperki musnah dan dicap sebagai organisasi terlarang setelah terjadinya peristiwa gerakan 30 September pada tahun 1965.

Terjadinya peristiwa gerakan 30 September tahun 1965 ternyata berdampak negatif pada Pemerintahan Soekarno waktu itu. Dampak tersebut berakibat pada berkurangnya kekuasaan Soekarno terhadap pemerintahannya yang kemudian ditandai dengan dikeluarkannya Supersemar tahun 1966. Pada akhirnya


(16)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pemerintahan Soekarno pun diambil alih oleh Soeharto. Di masa pemerintahan yang baru, Etnis Tionghoa banyak sekali mengalami diskriminasi. Bentuk diskriminasi yang dilakukan berupa dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur kedudukan atau eksistensi Etnis Tionghoa di Indonesia, antara lain: 1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan

Pokok Penyelesaian Masalah Tionghoa.

2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE 36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Tionghoa.

3. Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa.

4. Instruksi Presiden No. 15/1967 tentang Pembentukan Staff Khusus Urusan Tionghoa.

5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng.

6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tentang Badan Koordinasi Masalah Tionghoa.

7. Surat Keputusan (SK) Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan dan Perdagangan Terbitan Dalam Bahasa dan Aksara Tionghoa.

8. Surat Edaran Bank Indonesia No. SE 6/37/UPK1973 tentang Kredit Investasi Untuk Golongan Pengusaha Kecil.

9. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Dit tentang Larangan Penerbitan dan Percetakan Tulisan atau Iklan Beraksara dan Berbahasa Tionghoa (Lopulalan dan Tukan, 2000, hlm. 29).

Selain beberapa peraturan di atas, Soeharto juga menerapkan kebijakan-kebijakan yang dirasakan banyak memberatkan Etnis Tionghoa, salah satunya adalah kebijakan asimilasi. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengendalikan, mengintegrasikan dan mengasimilasikan warga Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia. Di dalam kebijakan asimilasi ini, Etnis Tionghoa dianggap sebagai pendatang asing dan jika ingin hidup bersama-sama harus meninggalkan segala atribut dan identitas budayanya, kemudian membaur dengan penduduk pribumi. Kebijakan tersebut banyak merugikan Etnis Tionghoa dan justru membuat Etnis Tionghoa ditiadakan dari karakteristiknya yang ada dalam kelompok Etnis Tionghoa, sehingga dapat dengan mudah berjalannya proses asimilasi dengan penduduk Indonesia.

Selain kebijakan asimilasi, Soeharto juga menerapkan kebijakan lain seperti kebijakan integrasi. Kebijakan integrasi ini bertujuan untuk mengintegrasikan


(17)

5

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kebudayaan Tionghoa ke dalam kebudayaan Indonesia. Mengenai konsep integrasi, Priyanto Wibowo yang dikutip Suryaman (2011, hlm. 27) mengemukakan pendapatnya bahwa:

„Konsep integrasi yang pada prinsipnya menerima kelompok Etnis Tionghoa sebagai suatu etnis yang memiliki ciri-ciri budaya mereka sendiri sebagai bagian dari keragaman etnis dengan kebudayaannya masing-masing. Dengan demikian, Etnis Tionghoa merupakan bagian dari keragaman yang juga mendapatkan perlakuan yang sama dengan etnis lainnya.‟

Berdasarkan konsep integrasi di atas dapat memunculkan suatu perbedaan antara konsep asimilasi dan integrasi, namun tetap mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mengatur keberadaan, kedudukan dan eksistensi orang Tionghoa di Indonesia. Namun, penerapan kebijakan-kebijakan politik terhadap Etnis Tionghoa oleh Soeharto telah membawa Etnis Tionghoa bergerak ke dalam bidang perekonomian. Bidang perekonomian dianggap satu-satunya bidang yang tepat bagi Etnis Tionghoa, sehingga mereka memusatkan diri di bidang ekonomi. Mereka lebih diarahkan dan fokus mengembangkan perekonomian Indonesia, agar cita-cita Soeharto tentang pembangunan nasional bisa terwujud.

Pemusatan pada bidang ekonomi yang dilakukan Etnis Tionghoa pada akhirnya memunculkan para pengusaha besar dari kalangan Etnis Tionghoa. Para pengusaha inilah dalam perjalanan bisnisnya mengalami masa keemasan pada masa Soeharto. Hal tersebut disebabkan karena mereka diberikan perlindungan dan bantuan dari Soeharto dalam menjalankan bisnis nya, serta mereka dianggap memiliki hubungan dekat dengan penguasa (Soeharto), keluarga Soeharto, dan para pejabat penting di masa Soeharto. Sebagaimana dikemukakan Suryadinata (1999, hlm. 75) bahwa:

Para pengusaha yang berasal dari Etnis Tionghoa ternyata sangat berperan penting dalam perkembangan perekonomian Indonesia di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Mereka menjadi mitra yang kuat dari para investor asing untuk menanamkan modalnya di dalam negeri terutama di sektor swasta. Banyak tokoh pribumi Indonesia percaya bahwa orang Tionghoa memonopoli sektor distribusi dan karena itu menguasai ekonomi Indonesia.


(18)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Munculnya para pengusaha dan konglomerat besar Etnis Tionghoa yang dilindungi dan dibantu oleh Pemerintahan Soeharto selama kurang lebih tiga puluh tahun memang telah memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 7-10% pertahun. Namun, pertumbuhan ekonomi 7-10% tersebut tetap saja tidak memberikan kemakmuran yang merata dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti dikemukakan oleh Ahmad dan Suwirta (2007, hlm. 175) bahwa:

...munculnya para konglomerat besar yang diproteksi dan disubsidi oleh pemerintahan Orde Baru selama tiga puluh tahun itu memang telah mencapai tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia antara 7-10% pertahun. Namun, tetap saja pertumbuhan ekonomi itu tidak membawa kemakmuran yang merata dan adil bagi semua masyarakat Indonesia. Kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir orang dan elite sosial tertentu, terutama kelompok Cina, golongan birokrat, anak-anak dan kerabat pejabat. Dengan demikian, proses trickle down effect yang dijanjikan dalam paradigma pembangunan ekonomi Soeharto tidak menjadi kenyataan... Berdasarkan penjelasan di atas membuktikan bahwa konsep pembangunan yang digembor-gemborkan Soeharto ternyata membawa kesengsaraan kepada seluruh rakyat Indonesia dan hanya menguntungkan Presiden Soeharto dengan kroninya segelintir konglomerat Etnis Tionghoa. Bukan kemakmuran yang merata dan adil yang diberikan Soeharto terhadap rakyatnya, melainkan hanya menimbulkan keadaan yang merugikan rakyat seperti kemiskinan, pengangguran serta permukiman kumuh di kota-kota besar. Keadaan tersebut nantinya akan membawa ke arah munculnya rasa ketidakpuasan di kalangan masyarakat luas dan pada satu kesadaran bahwa pembangunan ekonomi yang dicanangkan Soeharto hanya lebih memihak kepada para „elite‟ daripada „rakyat‟.

Situasi yang dijelaskan di atas dengan mudah digunakan oleh para provokator untuk melakukan aksi-aksi rasialis anti Tionghoa. Pemicu-pemicu dari setiap aksi tersebut secara umum sangat tidak masuk akal, antara lain insiden yang terjadi di Pekalongan pada tanggal 24 November 1995 yang disebabkan oleh seorang pemuda Etnis Tionghoa yang tidak waras disuruh menyobek kitab suci Al-Qur‟an. Atau, insiden yang terjadi di Tasikmalaya pada tanggal 26 Desember


(19)

7

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1996 yang disebabkan oleh penganiayaan anggota kepolisian kepada seorang santri, dan beberapa aksi-aksi lainnya yang terjadi di Rengasdengklok pada tanggal 27 Januari-31 Januari 1997, Tanah Abang pada tanggal 28 Januari 1997, Banjarmasin pada tanggal 23 Mei 1997, dan Makassar pada tanggal 15 September 1997 (Setiono, 2008, hlm. 1081).

Pada perkembangan selanjutnya, aksi-aksi anarkis yang berujung rasialis anti Tionghoa semakin marak terjadi di Indonesia. Menurut Lane (2007, hlm. 188-189) tercatat dimulai sekitar bulan Januari 1998 sampai kejatuhan Soeharto pada akhir Mei, telah terjadi aksi seperti di Ujung Pandang (Sulawesi Selatan), Bandung (Jawa Barat), Yogyakarta (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Semarang (Jawa Tengah), Medan (Sumatera Utara), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Purwokerto (Jawa Tengah), Jember (Jawa Timur), Denpasar (Bali), Kupang (Nusa Tenggara Timur), Bogor (Jawa Barat), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Depok (Jawa Barat), Bandar Lampung (Sumatera), Bima (Nusa Tenggara Barat) pada tanggal 7 Februari, dan Solo (Jawa Tengah) pada tanggal 11 Februari.

Rentetan aksi-aksi anarkis yang berujung rasialis di atas nampaknya telah menimbulkan dampak yang cukup luas terhadap daerah-daerah lainnya di Indonesia, salah satunya terjadi di Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka. Berita kerusuhan, isu-isu kenaikan harga serta kelangkaan yang terjadi pada sejumlah bahan kebutuhan pokok telah menyebar secara cepat ke daerah-daerah di seluruh Indonesia pada saat itu, sehingga aksi kerusuhan dalam kurun waktu tahun 1997-1998 mudah sekali terjadi di masyarakat Indonesia.

Dari penjelasan di atas, peneliti ingin mengkaji apa sebenarnya yang menjadi penyebab munculnya kerusuhan di Jatiwangi yang menimbulkan pengrusakan, pembakaran dan penjarahan rumah, toko serta barang-barang milik Etnis Tionghoa? Padahal kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Tionghoa dan penduduk sekitar Jatiwangi sebelum terjadinya kerusuhan dapat dikatakan baik-baik saja, bahkan tidak ada masalah apapun yang menyangkut dengan kerusuhan. Maka, muncul suatu pertanyaan, apakah kerusuhan tersebut muncul karena ada suatu pemicu? Atau apakah kerusuhan tersebut ada yang menggerakkan? Jika ada


(20)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

penggerak, siapa dan dari mana asal nya? Apakah ada upaya dari aparat keamanan ataupun pemerintah dalam mencegah dan mengatasi kerusuhan tersebut?

Berdasarkan uraian di atas, peneliti sangat terpanggil untuk menggali peristiwa kerusuhan yang terjadi di Jatiwangi tersebut sebagai salah satu penelitian sejarah terutama penelitian sejarah lokal. Selain itu, peneliti merupakan masyarakat asli Jatiwangi yang sudah sepatutnya untuk menggali peristiwa sejarah yang terjadi di Jatiwangi. Oleh karena itu, peneliti berkeinginan untuk menuliskannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul “Kerusuhan Anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (Sebuah Tinjauan Historis).”

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti merumuskan masalah utama yang menjadi pembahasan dalam kajian penelitian, yaitu “Mengapa terjadi kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi pada Februari 1998?”. Agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas, peneliti memberikan batasan-batasan masalah ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimana kondisi masyarakat Jatiwangi khususnya Etnis Tionghoa sebelum terjadinya kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi pada Februari 1998?

2. Apa hal yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi pada Februari 1998?

3. Bagaimana proses terjadinya kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi pada Februari 1998?

4. Bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi pada Februari 1998?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka untuk menjawab dan memecahkan rumusan masalah yang ada merupakan tujuan utama yang ingin dicapai oleh peneliti. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk


(21)

9

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

mendeskripsikan peristiwa kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi pada Februari 1998. Sedangkan, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh gambaran tentang kondisi masyarakat Jatiwangi khususnya masyarakat Etnis Tionghoa sebelum terjadinya peristiwa kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi pada Februari 1998, yang meliputi kondisi sosial dan ekonomi.

2. Mengidentifikasi latar belakang terjadinya kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi pada Februari 1998, yang meliputi faktor utama, faktor pendukung, dan faktor pemicu.

3. Mendeskripsikan proses terjadinya kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi pada Februari 1998, yang meliputi pemaparan kronologis peristiwa dan dampak yang ditimbulkan.

4. Menunjukkan upaya pemerintah dalam mengatasi kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi pada Februari 1998, yang meliputi upaya dari pihak keamanan, pemerintah daerah dan pusat dalam mengatasi kerusuhan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai “Kerusuhan Anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (Sebuah Tinjauan Historis)” ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Menambah pengetahuan mengenai Sejarah Lokal khususnya tentang kerusuhan rasial pada masa Pemerintahan Soeharto bagi peneliti maupun mahasiswa Departemen Pendidikan Sejarah lainnya.

2. Sebagai bahan pengembangan materi dan diskusi khususnya mengenai Sejarah Orde Baru dan Reformasi pada lingkungan Departemen Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

3. Menambah pembendaharaan arsip daerah Kabupaten Majalengka.

4. Sebagai bahan pertimbangan, pemikiran dan perbandingan dalam penelitian sejarah selanjutnya terutama mengenai Sejarah Pemerintahan Soeharto.


(22)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

5. Menjadi bahan materi pembelajaran Sejarah SMA kelas XII program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang mengacu pada Kompetensi Dasar (KD) sebagai berikut:

KD : 3.5 Mengevaluasi kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Orde Baru.

1.5 Struktur Organisasi Skripsi

Struktur organisasi skripsi merupakan sebuah gambaran secara menyeluruh mengenai penelitian yang dilakukan sampai pada proses penelitiannya. Data yang didapatkan merupakan hasil proses penelitian melalui studi literatur, studi dokumentasi, serta wawancara yang dikumpulkan dan kemudian diolah menjadi sebuah laporan dengan struktur organisasi skripsi sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan merupakan paparan mengenai latar belakang masalah yang di dalamnya memuat penjelasan mengapa masalah yang diteliti timbul dan penting untuk dikaji oleh peneliti dilihat dari kesenjangan sosial yang nampak di dalam kehidupan masyarakat sekitar Jatiwangi dengan suatu kondisi yang ideal dari masalah tersebut sehingga dengan begitu terlihat alasan mengapa persoalan penting untuk diangkat. Selain latar belakang masalah penelitian, pada bab ini juga terdapat rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta struktur organisasi skripsi.

Bab II Kajian pustaka dan landasan teoretis merupakan paparan berbagai sumber literatur serta teori yang berhubungan dengan pokok kajian atau permasalahan penelitian mengenai masyarakat Tionghoa di Indonesia, kebijakan pemerintah terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia Sejak Pemerintahan Soekarno sampai Pemerintahan Soeharto, dan kerusuhuan sosial 1998.

Bab III Metode penelitian merupakan paparan langkah-langkah penelitian yang berisi metode serta teknik penelitian yang dilakukan untuk mencari dan


(23)

11

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

mengumpulkan data-data dan fakta-fakta dari peristiwa yang dikaji secara lengkap sesuai dengan prosedur penelitian dalam metodologi penelitian sejarah.

Bab IV Kerusuhan Anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 merupakan paparan isi atau hasil analisis bukti, data, maupun fakta peristiwa yang disesuaikan dengan rumusan masalah penelitian yang telah ditentukan mengenai kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Etnis Tionghoa di Jatiwangi sebelum terjadinya kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998, latar belakang terjadinya kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998, proses terjadinya kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998, dan upaya pemerintah dalam mengatasi kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998.

Bab V Simpulan dan saran merupakan paparan tentang simpulan isi atau hasil penelitian berupa analisis dari permasalahan-permalasahan dalam penelitian serta saran terhadap permasalahan penelitian secara keseluruhan yang ditujukan pada pihak-pihak tertentu yang bersangkutan dengan penelitian.


(24)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian

Pada bab ini dipaparkan mengenai metode yang digunakan peneliti dalam mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan skripsi peneliti yang berjudul “Kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (Sebuah Tinjauan Historis)”. Peneliti menggunakan metode sejarah sebagai suatu cara dalam menjelaskan fenomena masa lampau yang dibantu dengan studi literatur, studi dokumentasi dan wawancara sebagai teknik pengumpulan data yang berfungsi untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.

Menurut Abdurahman (2007, hlm. 53) metode sejarah merupakan suatu proses penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahannya dari perspektif historis. Sedangkan, Garraghan (dalam Herlina, 2008, hlm. 1) menjelaskan metode sejarah sebagai seperangkat prinsip dan aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk membantu dalam pengumpulan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan suatu sintesis (umumnya dalam bentuk tertulis) hasil yang dicapai. Namun, lebih jelas lagi dijelaskan oleh Kuntowijoyo (dalam Hamid dan Muhammad, 2011, hlm. 42) bahwa metode sejarah diartikan sebagai suatu petunjuk dan teknis pelaksanaan yang berkaitan dengan bahan, kritik, dan interpretasi sejarah serta penyajian dalam bentuk tulisan. Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa metode sejarah merupakan suatu proses penelitian dan penyelidikan yang berdasarkan pada beberapa langkah yang tersusun secara sistematis yang diakhiri oleh sebuah sintesis tertulis.

Langkah-langkah tersebut terdiri dari beberapa tahapan yang telah tersusun secara sistematis, yang diawali tahap pengumpulan bahan/sumber sejarah dan diakhiri tahap penyajian hasil penelitian. Langkah-langkah tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ismaun (2005, hlm. 125-126) bahwa dalam menggunakan metode sejarah hanya terdapat empat langkah atau tahapan yang harus ditempuh, yakni:


(25)

44

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1. Heuristik yaitu proses mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah; 2. Kritik/analisis yaitu meneliti atau menyelidiki keaslian sumber, baik bentuk

maupun isi;

3. Interpretasi/sintesis yaitu menafsirkan sumber-sumber atau data-data yang diperoleh;

4. Historiografi yaitu penelitian sejarah.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat peneliti simpulkan bahwa tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam melakukan penelitian sejarah dengan menggunakan metode historis yaitu pertama tahap pengumpulan sumber (heuristik), kedua tahap kritik sumber (eksternal dan internal), ketiga tahap penafsiran (interpretasi), dan keempat tahap penyajian hasil (historiografi). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tahapan-tahapan yang diungkapkan oleh Ismaun yang terdiri dari empat tahapan penelitian.

Penggunaan langkah-langkah tersebut karena disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan. Penyesuaian tersebut didasarkan pada tahap pengumpulan sumber yang dilakukan pada penelitian ini yang melibatkan sumber kesaksian sejarah dari para saksi yang melihat, mendengar dan mengetahui langsung peristiwa yang terjadi atau digolongkan kepada kelompok sejarah lisan (oral history). Di sini yang menjadi sumber ialah manusia hidup yang menyampaikan secara oral atau lisan mengenai berita sejarah, sehingga dalam sejarah lisan (oral history) ini diperlukan seorang narasumber yang bisa menyampaikan kesaksiannya terhadap peristiwa yang terjadi.

Setelah memahami arti atau definisi metode sejarah dan beberapa tahapannya secara teoritis. Berikut ini peneliti paparkan tahapan bagaimana suatu penelitian sejarah itu dilakukan dan bagaimana pula penelitian sejarah itu diakhiri dengan sebuah penulisan. Tahapan yang dimaksud terbagi ke dalam dua tahap yaitu persiapan penelitian dan pelaksanaan penelitian.

Pada tahap persiapan penelitian, terdapat lima langkah yang harus ditempuh yaitu penentuan dan pengajuan tema penelitian, penyusunan rancangan penelitian, mengurus perizinan, menyiapkan perlengkapan penelitian, dan proses bimbingan.


(26)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sedangkan, pada tahap pelaksanaan penelitian, terdapat empat langkah yang harus ditempuh yaitu heuristik, kritik (eksternal dan internal), interpretasi dan historiografi. Adapun penjabaran secara rinci dari kedua tahapan tersebut ialah sebagai berikut.

3.2. Persiapan Penelitian

Tahapan ini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan peneliti sebelum melakukan penelitian. Di bawah ini peneliti jabarkan beberapa langkah yang dilakukan dalam tahap persiapan penelitian, diantaranya:

3.2.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian

Tahap ini merupakan tahap awal yang dilakukan peneliti dalam menentukan dan mengajukan rancangan topik atau tema penelitian kepada Tim Pertimbangan Penelitian Skripsi (TPPS) Departemen Pendidikan Sejarah. Pengajuan topik atau tema penelitian dilakukan sekitar bulan Desember tahun 2013 yang diajukan peneliti masih bersifat rancangan awal. Pengajuan tersebut telah menjadi suatu prosedur yang harus dilakukan bagi seorang calon penulis skripsi sebelum resmi melakukan proses penelitian. Adapun topik atau tema yang diajukan dan diangkat oleh peneliti adalah mengenai peristiwa kerusuhan rasial menjelang berakhirnya Pemerintahan Soeharto tahun 1998, yang kemudian dispesifikkan menjadi sebuah judul penelitian yaitu “Kerusuhan Anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (Sebuah Tinjauan Historis)”.

3.2.2 Penyusunan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian sering juga disebut dengan usul atau proposal penelitian. Proposal penelitian merupakan suatu kerangka awal atau dasar yang disusun secara logis dan sistematis sebagai petunjuk pelaksanaan penelitian. Suatu proposal penelitian biasanya memuat uraian-uraian yang terperinci dari suatu kegiatan atau langkah-langkah penelitian. Sebagaimana dikemukakan oleh Abdurahman (2011, hlm. 125) bahwa di dalam proposal penelitian terdiri dari


(27)

46

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

langkah-langkah seperti latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis (bila ada), cara penelitian, dan jadwal penelitian.

Namun, rancangan atau proposal penelitian yang diajukan peneliti hanya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

1. Latar belakang penelitian; 2. Rumusan masalah penelitian; 3. Tujuan penelitian;

4. Manfaat penelitian; dan 5. Struktur organisasi skripsi.

Setelah rancangan atau proposal penelitian selesai disusun, kemudian peneliti mengajukan proposal tersebut kepada ketua TPPS Departemen Pendidikan Sejarah pada tanggal 24 Desember 2013 untuk selanjutnya ditindak lanjuti dalam seminar pra-rancangan atau penelitian skripsi pada tanggal 24 Januari 2014. Diadakannya seminar pra-rancangan atau penelitian skripsi tersebut sebagai langkah awal apakah rancangan penelitian yang peneliti ajukan diterima atau ditolak. Proses seminar pra-rancangan penelitian secara keseluruhan berjalan dengan lancar dan peneliti pun mendapatkan banyak kritik dan saran yang membangun dari dosen calon pembimbing dan beberapa dosen yang hadir.

Pada akhirnya rancangan atau proposal penelitian yang peneliti ajukan mendapatkan persetujuan secara sah untuk dilanjutkan ke dalam sebuah penelitian skripsi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) oleh Ketua TPPS serta Ketua Departemen Pendidikan Sejarah dengan nomor surat 03/TPPS/JPS/PEM/2014 sekaligus penunjukan dosen pembimbing penelitian. Berdasarkan surat keputusan tersebut, peneliti akan dibimbing oleh dua dosen pembimbing. Dosen pembimbing I yaitu Drs. H. Ayi Budi Santosa, M.Si., dan dosen pembimbing II yaitu Wawan Darmawan, S.Pd.,M.Hum.


(28)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Penelitian skripsi yang akan dilakukan dalam prosesnya pasti memerlukan kelengkapan administrasi berupa surat penelitian. Mendapatkan surat penelitian tersebut diperlukan terlebih dahulu surat pengantar penelitian. Secara prosedur, pembuatan surat penelitian diawali dengan pengisian formulir pengajuan penelitian yang telah disediakan di Departemen Pendidikan Sejarah, yang nantinya oleh pihak Departemen akan dibuatkan surat pengantar penelitian untuk kemudian diserahkan ke bagian akademik fakultas. Setelah surat pengantar tersebut sampai di bagian akademik fakultas, nantinya akan diproses terlebih dahulu sampai surat penelitian tersebut jadi yang telah ditandatangani oleh Pembantu Dekan 1 (PD 1) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS).

Surat penelitian tersebut diperlukan peneliti untuk kelancaran proses penelitian dan pencarian sumber-sumber penelitian. Surat tersebut ditujukan kepada pihak lembaga/instansi yang terkait dan kepada orang-orang yang bersaangkutan dengan proses penelitian.

3.2.4 Menyiapkan Perlengkapan Penelitian

Perlengkapan penelitian merupakan salah satu aspek yang penting untuk menunjang kelancaran proses penelitian. Agar proses penelitian berjalan lancar dan sesuai dengan yang diharapkan, maka perlengkapan penelitian harus disiapkan dengan sebaik mungkin. Adapun perlengkapan penelitian yang harus dipersiapkan dan diperlukan selama proses penelitian, diantaranya:

1. Surat izin penelitian; 2. Instrumen wawancara; dan

3. Alat perekam (audio dan video) serta kamera foto.

3.2.5 Proses Bimbingan

Proses bimbingan yang dilakukan selama proses penelitian bertujuan untuk menentukan langkah-langkah yang tepat dalam proses penelitian. Adapun teknik dan waktu bimbingan antara peneliti dan dosen pembimbing I Drs. H. Ayi Budi Santosa, M.Si. dan dosen pembimbing II Wawan Darmawan, S.Pd.,M.Hum.


(29)

48

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

diatur berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak antara peneliti dengan dosen pembimbing. Setiap hasil penelitian dan penulisan diajukan pada pertemuan yang telah disepakati dengan masing-masing dosen pembimbing serta tercatat dalam buku bimbingan. Fungsi dari diadakannya proses bimbingan ini adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi melalui saran ataupun kritik dari dosen pembimbing kepada peneliti.

Proses bimbingan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Bimbingan dilakukan secara bertahap mulai dari bab I dan berkelanjutan ke bab selanjutnya ketika bab sebelumnya sudah disetujui oleh dosen pembimbing I dan II. Hasil dari proses bimbingan tersebut menjadi hasil yang terjalin dengan baik dan sistematis berdasarkan hasil komunikasi dan diskusi antara peneliti dengan dosen pembimbing.

3.3 Pelaksanaan Penelitian

Tahapan ini merupakan tahapan yang penting dari sebuah proses penelitian. dalam tahapan ini terdapat serangkaian langkah-langkah yang harus dilakukan berdasarkan metode historis yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik (eksternal dan internal), interpretasi dan historiografi. Adapun penjabaran dari keempat langkah-langkah tersebut ialah sebagai berikut.

3.3.1 Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Secara harfiah langkah heuristik ini diartikan sebagai langkah awal dalam mencari (searching), menemukan (finding) dan mengumpulkan (collecting) sumber-sumber untuk mendapatkan data-data, fakta-fakta, atau materi sejarah. Sumber-sumber sejarah yang digunakan pada penelitian ini dikategorikan ke dalam dua kategori sumber yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dan sumber sekunder dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua bagian yaitu sumber tertulis dan tidak tertulis. Menurut Lofland yang dikutip Moleong (2005, hlm. 157) memaparkan bahwa “sumber data utama dalam penelitian


(30)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kualitatif adalah kata-kata, tindakan, dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainnya”.

Pada proses pengumpulan sumber ini peneliti berusaha mengumpulkan sumber-sumber sejarah, baik itu sumber primer maupun sumber sekunder, yang sesuai dan relevan dengan permasalahan penelitian mengenai “Kerusuhan anti Etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998”. Adapun penjabaran dari proses pengumpulan sumber yang dilakukan peneliti akan dijabarkan sebagai berikut.

3.3.1.1Sumber Primer

Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa sumber primer yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu sumber asli dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis atau lisan. Sumber tertulis yang digunakan berupa rekaman atau catatan peristiwa kerusuhan yang memuat kerusuhan yang terjadi di Jatiwangi pada tahun 1998, berupa arsip, koran dan majalah terbitan tahun 1998. Koran dan majalah yang dimaksud ialah koran Kompas edisi 13 Februari 1998 yang berjudul Kerusuhan di Jatiwangi Cepat Teratasi, koran Kompas edisi 15 Februari 1998 yang berjudul Pangdam Siliwangi; Kerusuhan Secara Umum Terkendali, koran Kompas edisi 22 Februari 1998 yang berjudul Pantura Jabar, Masyarakat Egaliter, dan koran Gatra edisi 21 Februari 1998 yang berjudul Gerakan Menyapu Penimbun. Selain itu, sumber majalah yang dimaksud ialah majalah Tempo edisi 16 Februari 1998 yang berjudul Majalengka Diguncang Kerusuhan.

Sedangkan, arsip yang digunakan pada penelitian ini ialah arsip yang membahas mengenai hal-hal yang dibutuhkan serta dianggap relevan dan sesuai dengan penelitian, seperti arsip Dewan Pertimbangan Agung (DPA) tentang upaya pemantauan dan pengendalian krisis dan Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang perwujudan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan, hak dan kewajiban warga negara, dan perlindungan hak asasi manusia. Arsip tersebut digunakan untuk mengetahui upaya pemerintah dalam mengatasi berbagai permasalahan gejolak sosial dan politik yang terjadi di Indonesia sebagai dampak dari krisis moneter.


(31)

50

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Proses pengumpulan sumber-sumber tersebut dilakukan peneliti menggunakan teknik penelitian studi dokumentasi dengan mengunjungi beberapa kantor, instansi atau lembaga yang menyimpan sumber tersebut yaitu Kantor Arsip Daerah Majalengka, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Majalengka, Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Jatiwangi, Kantor Kepolisian Resort (Polres) Majalengka, Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (Bapusipda).

Adapun, sejarah lisan (oral history) dalam penelitian ini merupakan sumber sejarah dari kesaksian para saksi yang melihat dan mendengar atau mengetahui perisitiwa kejadian secara langsung. Saksi tersebut dengan singkat disebut saksi pandangan mata (eye-witness), yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diberitakan (Ismaun, 2005, hlm. 45). Penggunaan oral history dimaksudkan untuk mengetahui masalah-masalah yang ada di dalam penelitian. Masalah-masalah yang dimaksud mengenai latar belakang kerusuhan, proses terjadinya kerusuhan, dan upaya penanganan yang dilakukan pada saat dan setelah kerusuhan.

Proses pengumpulan sumber oral history dilakukan melalui wawancara terhadap narasumber-narasumber yang dianggap melihat, mendengar atau mengetahui peristiwa kerusuhan yang terjadi di Jatiwangi pada Februari 1998. Narasumber-narasumber yang diwawancarai oleh peneliti dikategorikan ke dalam tiga kategori yaitu:

1. Korban yang terdiri dari warga Etnis Tionghoa;

2. Pelaku yang terdiri dari masyarakat sekitar, seperti tukang becak, dan lain-lain;

3. Saksi yang terdiri dari tokoh masyarakat, karyawan toko Etnis Tionghoa, dan aparat keamanan.

Bentuk wawancara yang digunakan untuk memperoleh data dari para narasumber di atas dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam atau


(32)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

wawancara tak terstruktur. Sebagaimana diungkapkan Mulyana (2010, hlm. 181) mengungkapkan bahwa:

Suatu metode pengumpulan data yang bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial-budaya (agama, suku, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dsb) responden yang dihadapi.

Wawancara tersebut digunakan peneliti untuk mengetahui secara mendalam tentang berbagai informasi yang terkait dengan kerusuhan yang terjadi di Jatiwangi pada Februari 1998. Narasumber yang diwawancarai peneliti yaitu bernama Susanto atau Oey Siauw San. Alasan peneliti memilih narasumber ini karena pada saat terjadinya kerusuhan, narasumber tersebut mengalami perusakan terhadap rumah dan tokonya oleh para massa perusuh. Narasumber ini merupakan salah seorang warga keturunan Etnis Tionghoa yang mengalami, melihat dan mengetahui kerusuhan yang terjadi di Jatiwangi. Alasan Susanto atau Oey Siauw San bersedia untuk diwawancarai karena narasumber ini tidak mengalami kerugian yang cukup besar dalam kerusuhan tersebut.

Akan tetapi, dalam melakukan wawancara terhadap pihak korban, peneliti tidak dapat mewawancarai pihak korban lain dari warga Etnis Tionghoa, selain Susanto, karena setelah dilakukan pembicaraan-pembicaraan mereka menolak untuk diwawancara dengan alasan karena mereka tidak ingin membuka luka lama yang terasa cukup perih dari akibat kerusuhan tersebut untuk dibuka atau diceritakan kembali. Selain itu juga, sebagian besar dari pihak korban yang menolak untuk diwawancara karena mereka mengalami kerugian yang cukup besar, sebab toko dan rumah mereka hancur dan tidak bisa ditempati atau dipergunakan kembali.

Selanjutnya, peneliti mewawancarai narasumber bernama Kusnaedi dan Acep (nama panggilan). Alasan peneliti memilih narasumber ini karena pada saat terjadinya kerusuhan mereka terlibat langsung dalam aksi pengrusakan dan pelemparan batu terhadap toko dan rumah milik warga Etnis Tionghoa. Narasumber bernama Kusnaedi merupakan salah seorang tukang becak yang pada


(33)

52

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

saat terjadinya kerusuhan mendapat perintah untuk menggabungkan diri dengan para tukang becak lain yang ada di daerah Burujul untuk melakukan pengrusakan toko dan rumah milik warga Etnis Tionghoa. Sedangkan, narasumber bernama Acep (nama panggilan) merupakan seorang pemuda desa Mekarsari yang pada saat terjadinya kerusuhan mendapat ajakan dari pemuda lain untuk melakukan pengrusakan toko dan rumah milik Etnis Tionghoa.

Peneliti melakukan wawancara kepada narasumber bernama Suganda, Jojo Subagjo, Apnan.S, dan Ihat Furihat. Alasan peneliti memilih narasumber ini karena mereka melihat dan mengetahui peristiwa kerusuhan yang terjadi di Jatiwangi pada Februari 1998. Narasumber bernama Suganda merupakan salah seorang karyawan dari toko 54 motor milik warga Etnis Tionghoa bernama Oey Siauw San atau Susanto. Pada saat terjadinya kerusuhan narasumber ini melihat secara langsung proses pengrusakan, pembakaran, dan penjarahan yang dilakukan oleh para perusuh. Bahkan, narasumber ini juga hampir menjadi korban lemparan batu dari perusuh ketika berusaha untuk memindahkan barang-barang toko ke lantai dua rumah Susanto.

Selain itu, alasan peneliti memilih narasumber bernama Jojo Subagjo karena narasumber ini merupakan salah seorang tokoh masyarakat desa Mekarsari yang pada saat terjadinya kerusuhan melihat secara langsung aksi perusakan, pembakaran dan penjarahan terhadap toko dan rumah milik Etnis Tionghoa. Sedangkan, alasan peneliti memilih narasumber bernama Apnan S. karena narasumber ini merupakan salah seorang aparat keamanan dari pihak Kodim 0617 Majalengka (bagian intel) yang pada saat terjadinya kerusuhan melakukan upaya pengamanan dan pencegahan terhadap aksi kerusuhan. Selanjutnya, alasan peneliti memilih narasumber bernama Ihat Furihat karena narasumber ini merupakan seorang mantan Kepala Desa Mekarsari yang menjabat dari tahun 1989-1999 dan pada saat terjadinya kerusuhan berupaya untuk menghalau warga untuk tidak melakukan kerusuhan.

Hasil dari wawancara tersebut kemudian peneliti maknai dan diinterpretasikan lebih lanjut lagi dengan mengacu pada pengalaman peneliti serta


(34)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pada cross check terhadap teori yang digunakan. Sedangkan, untuk mengatasi terjadinya bias informasi yang diragukan kebenarannya maka setiap selesai wawancara, peneliti akan melakukan pengujian informasi dan informan lainnya serta mencari sumber baru.

3.3.1.2Sumber Sekunder

Sumber sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumber-sumber literatur berupa buku, jurnal, skripsi dan artikel (tertulis) dan lisan (tidak tertulis) yang membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dan sesuai dengan permasalahan penelitian. Proses pengumpulan sumber literatur dilakukan peneliti dengan menggunakan teknik penelitian studi literatur dan teknik wawancara.

Sumber-sumber literatur tertulis berupa buku yang digunakan peneliti merupakan buku-buku yang berhubungan dan relevan dengan permasalahan penelitian seperti buku berjudul Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan karya Mely G. Tan, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa karya Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa karya Leo Suryadinata, Masyarakat dan Kebudayaan Tionghoa Indonesia karya Hidayat Z.M., Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946) karya Andjarwati Noordjanah, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial karya Dicky Lopulalan dan Benjamin Tukan, Dari Tiong Hoa Hwe Koan 1900 sampai Sekolah Terpadu Pahoa 2008 karya Iskandar Jusuf, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002 karya Leo Suryadinata, Tionghoa Dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono, dan Konflik-konflik Sosial PRI-non PRI & Hukum Keadilan Sosial karya Nurhadiantomo.

Selain itu, peneliti juga menggunakan sumber-sumber literatur berupa jurnal Prisma terbitan LP3ES tahun 1973. Jurnal tersebut memuat suatu tulisan yang berhubungan atau berkaitan dengan kajian permasalahan penelitian yaitu berjudul Penyelesaian Masalah Cina Perantauan Dalam Rangka Meningkatkan Pertahanan dan Keamanan Nasional karya Slamet Martosudiro, Avatara terbitan e-journal Pendidika Sejarah Universitas Negeri Surabaya Volume 1, No 2, Mei


(35)

54

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2013 yang tersedia di http://ejournal.unesa.ac.id/article/4152/38/article.pdf. Dalam jurnal tersebut memuat tulisan mengenai pokok kajian penelitian. Adapun tulisan tersebut berjudul Tionghoa Dalam Diskriminasi Orde Baru Tahun 1967-2000 karya Laylatul Fittrya dan Sri Mastuti Purwaningsih, JIAKP terbitan e-journal Universitas Diponegoro Volume 2, No. 2, Mei 2005 yang tersedia di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/dialogue/article... jurnal tersebut memuat tulisan mengenai pokok kajian penelitian. Adapun tulisan tersebut berjudul Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina karya Turnomo Raharjo, dan Avatara terbitan e-journal Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya Volume 1, No 2, Mei 2013 yang tersedia di http://ejournal.unesa.ac.id/article/4200/38/article.pdf. Dalam jurnal tersebut memuat tulisan mengenai pokok kajian penelitian. Adapun tulisan tersebut berjudul Asimilasi Versus Integrasi: Reaksi Kebijakan Ganti Nama Wni (Warga Negara Indonesia) Tionghoa 1959-1968 karya Yunita Retno Kusuma Dewi dan Artono.

Peneliti juga menggunakan sumber literatur berupa skripsi. Skripsi yang digunakan peneliti yaitu berjudul Kerusuhan Februari 1998 di Sukamandijaya Kabupaten Subang (Konflik Etnis Cina dan Penduduk Setempat) karya Nanda A. Pramadini dan skripsi berjudul Peristiwa 15 Mei 1998: Kerusuhan Anti Etnis Tionghoa di Cikarang Menjelang Berakhirnya Pemerintahan Presiden Soeharto karya Ade Maman Suryaman. Alasan peneliti memilih sumber-sumber literatur jurnal dan skripsi tersebut karena sumber tersebut membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dan berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Proses pencarian sumber-sumber di atas dilakukan dengan cara mengunjungi beberapa perpustakaan dan toko buku yang ada di Bandung, Jakarta dan Majalengka seperti Perpustakaan Pusat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Perpustakaan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) Jakarta, Perpustakaan Daerah Majalengka, toko buku Toga Mas Bandung, toko buku Rumah Buku Bandung,


(36)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

toko buku Gramedia Bandung, toko buku Lawang Buku Bandung, pameran buku di Landmark Building Bandung, serta ada sebagian yang didapatkan dari internet.

Sumber sekunder tidak tertulis atau lisan yang digunakan yaitu tradisi lisan (oral tradition). Di sini yang menjadi sumber tidak tertulis atau lisan adalah manusia hidup, yang menyampaikan melalui mulutnya (secara oral) atau secara lisan mengenai berita sejarah. Untuk sejarah oral ini diperlukan narasumber (atau manusia sebagai sumber). Selanjutnya, sejarah oral itu bisa direkam. Tradisi lisan (oral tradition) dalam peneltian ini merupakan cerita naluri yang diwariskan atau yang dituturkan secara turun-temurun dalam bentuk sage, mitos, legenda, dan sebagainya (Ismaun, 2005, hlm. 42- 43).

Penggunaan tradisi lisan (oral tradition) dimaksudkan untuk mengetahui sejarah awal kedatangan Etnis Tionghoa ke Jatiwangi yang bersumber dari cerita orang tua-orang tua jaman dahulu yang terangkum dan terekam secara turun-temurun dalam masyarakat. Dengan adanya rekaman sejarah secara turun-turun-temurun tersebut ingatan-ingatan sejarah di masyarakat dapat awet, atau dengan kata lain terjadi pengawetan kumpulan pengalaman kolektif umat manusia yang berakumulasi (accumulated collective memory of mankind) (Ismaun, 2005, hlm. 46). Proses pengumpulan sumber melalui oral tradition dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan wawancara tidak terstruktur, yakni wawancara yang tidak dipersiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan wawancara. Wawancara dilakukan kepada tokoh-tokoh masyarakat atau sesepuh yang mengetahui mengenai sejarah awal kedatangan Etnis Tionghoa ke Jatiwangi.

3.3.2 Kritik Sumber

Kritik sumber merupakan proses seleksi atau penyaringan data untuk menyingkirkan bagian-bagian bahan sejarah yang tidak dapat dipercaya (Ismaun, 2005, hlm. 49). Data-data yang terdapat dalam sumber-sumber atau evidensi-evidensi yang telah dikumpulkan harus diuji secara kritis kebenarannya. Oleh karena itu, peneliti melakukan seleksi atau penyaringan data melalui langkah kritik sumber yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu kritik eksternal dan kritik


(37)

56

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

internal. Adapun penjabaran dari langkah tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

3.3.2.1Kritik Eksternal

Kritik eksternal atau luar berfungsi untuk menilai otentisitas sumber sejarah. Menurut Ismaun (2005, hlm. 50) menjelaskan bahwa di dalam kritik eksternal dipersoalkan bahan dan bentuk sumber, umur, dan asal dokumen, kapan dibuat (sudah lama atau belum lama sesudah terjadi peristiwa yang diberitakan), dibuat oleh siapa, instansi apa, atau atas nama siapa. Proses kritik eksternal, peneliti melakukannya terhadap sumber-sumber pertama (primer) dan sumber-sumber kedua (sekunder) yang telah peneliti kumpulkan pada langkah pengumpulan sumber sejarah atau heuristik.

Salah satu contoh kritik sumber yang dilakukan yaitu peneliti melakukan kritik eksternal terhadap sumber primer berupa tulisan yang ada dalam koran Kompas terbitan tahun 1998. Proses kritik eksternal yang dilakukan peneliti yaitu dengan melihat kondisi sumber, umur sumber, waktu pembuatan sumber, dan orang pembuat sumber tersebut. Peneliti melakukan kritik eksternal terhadap tulisan dalam koran Kompas edisi 13 Februari 1998 yang berjudul Kerusuhan di Jatiwangi Cepat Teratasi. Jika melihat kondisi koran tersebut, kondisinya masih cukup baik. Hal tersebut terlihat dari kondisi kertas dari koran tersebut yang masih utuh, tidak ada sobek sedikit pun, dan masih bisa dibaca tulisannya. Umur sumber koran tersebut kurang lebih sudah 16 tahun, terhitung dari waktu pembuatan sumber tersebut yang dicetak dan diterbitkan pada tanggal 13 Februari 1998. Waktu pembuatan sumber koran tersebut dibuat belum lama sesudah terjadi peristiwa kerusuhan di Jatiwangi. Akan tetapi, untuk orang pembuat tulisan yang ada dalam koran Kompas tersebut tidak dicantumkan nama yang jelas.

Selanjutnya, peneliti juga melakukan kritik eksternal terhadap narasumber yang digolongkan sebagai sumber primer berupa lisan (oral history). Salah satu contoh kritik tersebut yaitu kepada narasumber bernama Apnan S. Menurut Lucey


(38)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dikatakan bahwa paling tidak ada lima pertanyaan yang harus dijawab dengan memuaskan sebelum sumber sejarah dapat digunakan, yaitu:

1. Siapa yang mengatakan itu?

2. Apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah diubah?

3. Apa sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya itu? 4. Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi-mata (witness)

yang kompeten-apakah ia mengetahui fakta itu?

5. Apakah saksi itu mengatakan yang sebenarnya (truth) dan memberikan kepada kita fakta yang diketahui?

(Lucey dalam Sjamsuddin, 2007, hlm. 133).

Berdasarkan pertanyaan di atas, peneliti harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengacu kepada narasumber yang dipilih yaitu bernama Apnan S. Adapun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Seorang purnawirawan TNI AD dari Komando Distrik Militer (Kodim) 0617 Majalengka yang pada saat terjadi kerusuhan bertugas di bagian intel. 2. Narasumber tersebut tidak melakukan perubahan terhadap kesaksiannya

tersebut.

3. Dengan kesaksiannya itu ingin memberikan informasi yang benar mengenai kerusuhan yang terjadi di Jatiwangi pada Februari 1998.

4. Narasumber tersebut merupakan seorang saksi-mata (witness) yang mengetahui langsung kejadian kerusuhan tersebut, karena narasumber tersebut pada saat kejadian melakukan suatu upaya pengamanan dan pencegahan terhadap aksi massa perusuh.

5. Narasumber itu mengatakan dan memberikan fakta yang sebenarnya (truth). Karena jika melihat dari background riwayat hidupnya, narasumber tersebut seorang prajurit TNI AD yang taat hukum, sehingga tidak akan melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan pembohongan sejarah.

Selain itu juga, peneliti melakukan kritik eksternal terhadap narasumber bernama Apnan S. dengan memperhatikan faktor-faktor seperti usia narasumber dan kondisi fisik. Narasumber tersebut berusia 56 tahun, yang dimana pada usia tersebut ingatan-ingatan mengenai peristiwa masa lampau masih diingat secara


(39)

58

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

jelas, sehingga kesaksian yang diberikan oleh narasumber benar-benar masih bisa dipertanggung jawabkan. Sedangkan, kondisi fisik narasumber tersebut pada saat dilakukan wawancara sedang mengalami sakit. Namun, dengan keadaan sakit narasumber masih bisa berbicara dengan jelas dan ingatan terhadap kesaksiannya pun masih bisa disampaikan dengan baik.

Kemudian peneliti juga melakukan kritik eksternal terhadap sumber sekunder berupa buku-buku yang berkaitan dengan masalah penelitian. Buku yang dikritik oleh peneliti yaitu buku yang berjudul Tionghoa Dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono. Proses kritik eksternal yang dilakukan peneliti yaitu lebih melihat pada aspek latar belakang pembuat sumber atau penulis buku tersebut. Jika dilihat secara umum, penulis bernama Benny G. Setiono tersebut merupakan pendiri Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) tahun 2002 dan turut juga mendirikan Lembaga Kajian Masalah Kebangsaan (ELKASA). Selain itu, Benny G. Setiono merupakan anak dari Endang Sunarko (Khow Sing Eng) yaitu seorang penulis yang telah menulis beberapa buku mengenai Tionghoa.

3.3.2.2Kritik Internal

Kritik internal atau kritik dalam berfungsi untuk menilai kredibilitas sumber dengan mempersoalkan isinya, kemampuan pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya (Ismaun, 2005, hlm. 50). Dalam hal ini, kritik internal dilakukan terhadap kesaksian dari narasumber. Kritik internal yang dimaksud lebih mengarah kepada tingkat kredibilitas kesaksian untuk mencari kebenaran kesaksian secara substansial atau isi. Kredibiltas kesaksian pada dasarnya berasal dari tingkat kompetensi dan kebenaran saksi. Namun, itu semua harus diperhitungkan melalui penilaian dari kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh saksi yang bersangkutan. Umumnya yang menjadi sumber kesalahan tersebut adalah pengamatan yang keliru, ingatan yang salah, prasangka, dan ketidakmampuan dalam mengutarakan dengan jelas pikiran-pikirannya (Lucey dalam Sjamsuddin, 2007, hlm. 148).


(40)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Salah satu contoh kritik internal yang dilakukan yaitu kepada narasumber bernama Apnan S. Jika dilihat dari latar belakang biografinya, narasumber tersebut merupakan seorang Purnawirawan TNI Angkatan Darat dari Komando Distrik Militer (Kodim) 0617 Majalengka yang pada saat terjadi kerusuhan bertugas di bagian intel. Dalam mengutarakan kesaksiannya, narasumber ini secara substansial masih benar dalam menjelaskan mengenai latar belakang, jalannya kerusuhan, serta upaya pencegahan dan pengamanan yang dilakukan terhadap aksi kerusuhan tersebut. Akan tetapi, ditinjau dari segi ingatan terhadap kesaksiannya tersebut, narasumber ini telah mengalami massa dimana semua anggota TNI (AD, AL, dan AU) dimasukkan ke dalam pesantren-pesantren untuk nantinya dicuci atau dibersihkan ingatan-ingatan mereka, atau dengan kata lain yaitu brain washing, terhadap semua kejadian yang mereka alami di masa Pemerintahan Soeharto. Tindakan tersebut dilakukan pada massa Pemerintahan Abdurahman Wahid (Gusdur). Maka, dengan kata lain narasumber tersebut kurang mampu mengutarakan dengan jelas mengenai ingatan atau pikirannya terhadap peristiwa kerusuhan itu.

Namun, seperti yang diutarakan di atas, bahwa secara substansial narasumber bernama Apnan masih benar dalam menjelaskan secara rinci mengenai latar belakang, jalannya kerusuhan, serta upaya pencegahan dan pengamanan terhadap kerusuhan. Narasumber tersebut menjelaskan bahwa latar belakang dari kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh keadaan ekonomi masyarakat Jatiwangi yang mengalami kesenjangan dengan keadaan ekonomi warga Etnis Tionghoa di sana. Dari jalannya kerusuhan, narasumber tersebut juga menjelaskan bahwa ada keterlibatan suatu kelompok tertentu, yaitu kelompok Zoker dalam kerusuhan tersebut. Selain itu, narasumber tersebut juga menjelaskan bahwa ada upaya pengamanan dari pihak Kepolisian, TNI, dan Brimob pada saat kerusuhan terjadi.

Kesaksian dari narasumber di atas dapat dibenarkan jika melihat pemaparan kesaksian narasumber bernama Ihat Furihat. Narasumber ini merupakan mantan Kepala Desa Mekarsari yang menjabat tahun 1989-1999. Dalam mengutarakan


(41)

60

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kesaksiannya, narasumber ini menjelaskan bahwa latar belakang dari kerusuhan tersebut disebabkan oleh keadaan ekonomi masyarakat Jatiwangi pada saat itu sedang mengalami keterpurukan. Ditambah pada saat seorang pengendara becak akan membeli susu, warga Etnis Tionghoa pemilik toko susu tersebut tidak memberikannya, dengan alasan susu habis. Selain itu, narasumber ini juga membenarkan jika pada saat terjadinya kerusuhan ada keterlibatan kelompok Zoker dalam melakukan kerusuhan. Kelompok ini berasal dari Jatisura dan sering membuat resah masyarakat Jatiwangi terutama warga Etnis Tionghoa yang memiliki gudang burung walet. Hampir setiap malam kelompok ini beraksi melakukan pencurian terhadap gudang-gudang burung walet tersebut.

3.3.3 Interpretasi

Interpretasi atau sering disebut juga penafsiran merupakan suatu proses dimana dilakukan penafsiran terhadap makna dari fakta-fakta sejarah yang telah diseleksi atau disaring pada tahap kritik sumber dan kemudian disusun menjadi sebuah konsep dalam kerangka pemikiran untuk penulisan sejarah. Menurut Gottschalk dikatakan bahwa dalam penafsiran atau interpretasi sejarah itu mempunyai tiga aspek penting, yaitu:

1. Analitis-kritis: menganalisis struktur intern (struktur insani-ruang-waktu), pola-pola hubungan antar fakta-fakta, gerak dinamika dalam sejarah, dan sebagainya;

2. Historis-substansif: menyajikan suatu uraian prosesual dengan dukungan fakta yang cukup sebagai ilustrasi suatu perkembangan;

3. Sosial-budaya: memperhatikan manifestasi insani dalam interaksi dan interrelasi sosial-budaya (Gottschalk dalam Ismaun, 2005, hlm. 56).

Berdasarkan hal di atas, proses analisis terhadap data-data yang telah terkumpul dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif dengan model analisis data menurut Miles dan Huberman. Menurut Miles dan Huberman yang dikutip Sugiyono (2008, hlm. 337) mengemukakan bahwa:

„aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, conclision drawing/verification


(1)

99

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

sektor perdagangan atau kewiraswastaan masyarakat pribumi seperti masa-masa dahulu ketika sebelum para pedagang Belanda datang ke Indonesia awal abad 16, yang dimana pada masa itu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menguasai perdagangan nusantara.

3. Bagi pemerintah

Saran bagi pemerintah, hendaknya harus lebih serius lagi dalam rangka usaha pembinaan kesatuan dan persatuan bagi masyarakat Indonesia. Sikap diskriminasi karena perbedaan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit antara sesama Warga Negara Indonesia (WNI) harus dihilangkan dalam proses pelaksanaan usaha pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Menyadari masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultur, namun sikap diskriminasi atau membeda-bedakan satu sama lain bukan sikap yang dewasa dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia. Indonesia dikenal sebagai negara Bhineka Tunggal Ika yang tidak mengenal golongan apapun untuk tetap satu. Selain itu juga etos masyarakat Indonesia yang mempunyai etos kerja bergotong royong merupakan sebuah modal bagi Indonesia untuk menjadi negara multikultur yang maju didalam segala bidang kehidupan.

4. Bagi dunia pendidikan

Saran bagi dunia pendidikan, hendaknya para pengajar atau guru terutama guru-guru Sejarah dalam proses pembelajaran tidak hanya berorientasi terhadap materi pelajaran yang disampaikan. Namun, para guru Sejarah harus menerapkan nilai-nilai moral Pancasila melalui pendidikan multietnis. Pendidikan multietnis sangatlah penting untuk diajarkan kepada siswa terutama untuk pendidikan berkarakter pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Hal itu bertujuan agar siswa menyadari bahwa Indonesia memiliki berbagai etnis dan suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda-beda sehingga kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada etnis-etnis yang ada di Indonesia tidak terjadi lagi


(2)

100

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dan prasangka-prasangka antar etnis bisa teratasi dengan ikatan Bhineka Tunggal Ika. Dengan begitu diharapkan kerusuhan-kerusuhan antar etnis yang terjadi dikemudian hari tidak terulang kembali. Sebab, salah satu ciri dari manusia bijak ialah dapat berkaca terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lampau dan dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian supaya tidak mengulangi kejadian yang sama yang berakibat buruk terhadap kehidupan di masa yang akan datang.

5. Bagi peneliti selanjutnya

Keterlibatan Kelompok Zoker di dalam kerusuhan masih sedikit dibahas oleh peneliti. Terutama mengenai peranan kelompok Zoker sebagai kelompok penguasa di Jatiwangi terhadap munculnya aksi kerusuhan di Jatiwangi pada Februari 1998. Hal itu dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi bagi peneliti selanjutnya.


(3)

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Abdurahman, D. (2007). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Abdurahman, D. (2011). Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Ahmad, A.R. dan Suwirta, A. (2007). Sejarah dan Pendidikan Sejarah: Perspektif Malaysia dan Indonesia. Bandung: Historia Utama Press.

Ahmadi, A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Greif, S.W. (1991). WNI; Problematik Orang Indonesia Asal Cina. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Hamid, A.R. dan Muhammad S.M. (2011). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Herlina, N. (2008). Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika.

Ismaun. (2005). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press.

Jusuf, I. (2012). Dari Tiong Hoa Hwe Koan 1900 Sampai Sekolah Terpadu Pahoa 2008. Tangerang: Sekolah Terpadu PAHOA.

M. Hidayat Z. (1993). Masyarakat dan Kebudayaan Tionghoa Indonesia. Bandung: Penerbit Tarsito.

Mas’oed, M. (1989). Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES.

Moleong, L.J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Rosdakarya.

Mulyana, D. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Noordjanah, A. (2004). Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946). Semarang: Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass).


(4)

100

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Nurhadiantomo. (2004). Konflik-konflik Sosial PRI-non PRI & Hukum Keadilan Sosial. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Ritzer, G. dan Goodman, D.J. (2007). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sabon, M.B., dkk. (1999). Fakta Tragedi Semanggi: Analisis Hukum, Sosial, Politik, Moral. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Santoso, S. (2010). Penerapan Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Setiono, B.G. (2008). Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Trans Media.

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Soemardjan, S. (Editor), (1999), Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sukandi, A.K. (1999). Politik Kekerasan ORBA, Akankah Terus Berlanjut?. Bandung: Penerbit Mizan.

Supardan, D. (2009). Pengantar Ilmu Sosial; Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.

Suryadinata, L. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Suryadinata, L. (2002). Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Suryadinata, L. (2005). Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Syam, F. (2008). Berakhirnya Soeharto; Fakta dan Kesaksian Harmoko. Jakarta: Gria Media.

T.n. (1999). Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Tahun 1998. Jakarta: Eko Jaya.


(5)

101

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

T.n. (1999). Kabupaten Majalengka Dalam Angka 1999. Majalengka: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Majalengka.

Tan, G.M. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wirawan. (2010). Konflik dan Manajemen Konflik; Teori, Aplikasi, dan

penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.

Yahya, J. (2002). Peranakan Idealis. Jakarta: Perpustakaan Populer Gramedia.

Zon, F. (2004). Politik Huru-Hara Mei 1998. Jakarta: Institute For Policy Studies (IPS).

B. Skripsi

Pramadini, N.A. (2010). Kerusuhan Februari 1998 di Sukamandijaya Kabupaten Subang (konflik Etnis Cina dan penduduk setempat). Skripsi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia.

Suryaman, A.M. (2011). Peristiwa 15 Mei 1998: Kerusuhan Anti Etnis Tionghoa di Cikarang Menjelang Berakhirnya Pemerintahan Presiden Soeharto. Skripsi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia.

C. Artikel Jurnal

Dewi, Y.R.K. dan Artono. (2013). Asimilasi Versus Integrasi: Reaksi Kebijakan Ganti Nama Wni (Warga Negara Indonesia) Tionghoa 1959-1968.

AVATARA, 1 (2), hlm. 35-42 [Online]. Tersedia:

http://ejournal.unesa.ac.id/article/4200/38/article.pdf [diakses tanggal 21 Oktober 2014].

Fittrya, L. dan Purwaningsih, S.M. (2013). Tionghoa Dalam Diskriminasi Orde Baru Tahun 1967-2000. AVATARA, 1 (2), hlm. 159-166. [Online]. Tersedia: http://ejournal.unesa.ac.id/article/4152/38/article.pdf [diakses tanggal 21 Oktober 2014].

Martosudiro, S. (1973). Penyelesaian Masalah Cina Dalam Rangka Meningkatkan Pertahanan & Keamanan Nasional. PRISMA, 3 (2), hlm.22-25.

Rahardjo, T. (2005). Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina. JIAKP, 2 (2),


(6)

102

Hena Gian Hermana, 2015

Kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jatiwangi Februari 1998 (sebuah Tinjauan Historis)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/dialogue/article [diakses tanggal 21 Oktober 2014].

D. Koran/Majalah

Gatra, 21 Februari 1998, “Gerakan Menyapu Penimbun”. [Online]. Tersedia: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/23/0004.html [diakses tanggal 25 November 2014].

Kompas, 13 Februari 1998, “Kerusuhan di Jatiwangi Cepat Diatasi”.

Kompas, 15 Februari 1998, “Pangdam Siliwangi: Kerusuhan Secara Umum Terkendali”.

Kompas, 22 Februari 1998, “Pantura Jabar, Masyarakat Egaliter”. [Online]. Tersedia: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/22/0033.html [diakses tanggal 25 November 2014].

Tempo, 16 Februari 1998, “Majalengka Diguncang Kerusuhan”. [Online]. Tersedia: http://www.tempo.co/read/news/1998/02/16/0589842/majalengka-diguncang-kerusuhan [diakses tanggal 30 November 2013].

E. Internet

http://www.a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_050067_bab_iv.pdf [diakses tanggal 26 November 2014].

http://www.babakanjawa.heck.in/peta-kecamatan-jatiwangi-kabupaten-majal.xhtml [diakses tanggal 25 November 2014].