Konteks Sosial Dan Realisasi Linguistik Dalam Genre Nasihat Bahasa Alas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alasan Memilih Teori Linguistik Sistemik Fungsional
Penelitian ini menggunakan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)
sebagai landasan. Ada beberapa alasan menggunakan teori LSF, pertama data
yang dianalisis adalah GN dalam BA, merupakan kajian genre yang bertahap,
berorientasi pada tujuan dan dinamis sesuai model teoritis yang sudah ada
sebelumnya.
Yang kedua, LSF merupakan teori kebahasaan yang menganalisis bahasa
berdasarkan konteks sosial. Dengan kata lain, terjadinya genre nasihat dalam BA
merupakan konteks sosial yang terjadi karena sifat konstrual bahasa dan konteks
yang saling mempengaruhi.
Yang ketiga, LSF berpandangan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan
sistem lain (bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut, yang
bermakna dua konsep yakni (1) bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud
sebagai semiotik sosial dan (2) bahasa berkonstrual dengan konteks sosial.
Pengertian bahwa fenomena sosial wujud dalam sistem semiotik
mengimplemantasikan tiga unsur atau strata, yakni arti (discourse semantics),
bentuk
(lexicogrammar)
dan
ekspresi
(phonology/
graphology).
Arti
direalisasikan oleh bentuk dan seterusnya dikodekan oleh ekspresi. Dengan
demikian, bahasa dalam teori LSF memiliki tiga strata yakni arti, bentuk dan
Universitas Sumatera Utara
15
ekspresi. Sifat hubungan arti dan bentuk adalah alamiah (natural), sementara sifat
hubungan arti dan ekspresi adalah arbitrar.
Pandangan kedua LSF, bahwa bahasa berkonstrual dengan konteks sosial
karena teks terjadi ditentukan oleh konteks. Artinya teks adalah unit arti yang
wujud sebagai bunyi, kata, frasa, klausa, klausa kompleks, kalimat dan atau
paragraf.
2.2 Model-Model Analisis Genre
Beberapa model analisis genre dalam pendekatan LSF dan fungsional di
bawah ini, yaitu model Halliday, Hasan, Martin & Gregory dan Swales & Bathia.
Beberapa model yang pernah menerapkan analisis genre di Indonesia adalah Sinar
dan Saragih.
2.2.1 Model Halliday
Halliday (1978:34) menempatkan genre dalam ranah cara semiotis
situasional. Dengan demikian, Halliday secara khusus menempatkan genre pada
konteks situati. Bahasa adalah sumber untuk membentuk arti dan ekspresi.
Keduanya sangat terikat dengan konteks budaya (genre). Dengan demikian,
hubungan antara bahasa dan budaya dalam hal ini yang dimaksud adalah konteks
budaya dan secara langsung berhubungan dengan konteks situasi (register).
Konteks situasi terdekat dengan bahasa (teks) memiliki medan, pelibat dan sarana
diinstansiasikan
oleh
semantik
wacana,
selanjutnya
direalisasikan
oleh
leksikogramatika dan diekspresikan atau dikodekan oleh fonologi/grafologi.
Universitas Sumatera Utara
16
Ada tiga unsur yang menyebabkan terjadinya teks, yaitu budaya, situasi,
dan system. Dari ketiga unsur tersebut, terdapat dua jalur atau cara, yaitu (1)
realisasi & instansiasi dan (2) instansiasi & realisasi. Kedua cara tersebut berawal
dari budaya. Cara pertama dimulai dari budaya sebagai unsur konteks sosial,
secara langsung diinstansiasikan oleh konteks situasi dan konteks situasi
direalisasikan oleh teks. Cara yang kedua budaya direalisasikan oleh system dan
diinstansiasikan oleh teks. Kedua cara tersebut dapat dilihat pada figura berikut.
the system (potensial)
the instance
context in which
language functions
CULTURE
(cultural
domain)
Language
SYSTEM
Note:
SITUATION
(situation
type)
TEXT
left – right = instantiation [cf. climate
weather]
Top – bottom = realization [ as, within language,
Lexicogrammar phonology ]
Figura 2.1: Bahasa dan Konteks Sosial (Halliday, 1991: 8)
2.2.2 Model Hasan
Berbeda dengan Halliday, Hasan berpendapat bahwa genre dan register
adalah dua unsur konteks yang bisa saling dipertukarkan dan kedua istilah
tersebut merujuk kepada jenis teks yang dihasilkan dalam setiap konteks situasi
pada satu sistem semiotik (Hasan,1978:228-246, 1996:191-242).
Baik genre
Universitas Sumatera Utara
17
maupun register keduanya menyatu karena menjelaskan dari mana datangnya
genre dan keduanya dapat dipahami secara linguistik.
2.2.3 Model Martin
Martin memiliki pandangan lebih luas lagi dengan pendapat bahwa genre
adalah kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi tujuan yang di dalamnya si
pembicara sebagai anggota (1984:25). Genre dideskripsikan sebagai unsur
konteks sosial. Ada tiga unsur konteks sosial. Dari ketiga konteks itu, genre
berada pada tahap kedua, yakni setelah Ideologi. Secara berturut-turut dari strata
yang paling abstrak ke strata yang paling kongkrit tersusun ideologi (ideology),
konteks budaya (genre), dan konteks situasi (register). Martin (1984) memberi
uraian tentang genre sebagai berikut. Pertama, genre adalah suatu kegiatan yang
berorientasi pada tujuan. Kedua, tujuan khusus pada dasar kemaslahatan, dan
ketiga kegiatan tersebut dicapai secara bertahap.
Tahapan-tahapan yang dicapai merupakan kegiatan proses semiotis demi
tercapainya tujuan komunikasi yang disepakati melalui bahasa. Setiap genre
berciri secara spesifik. Ciri tersebut dapat dilihat dari struktur teks atau struktur
generik yang dimilikinya. Lebih jelasnya, struktur generik narasi berbeda dengan
struktur generik eksposisi. Demikian juga struktur generik eksposisi berbeda
dengan struktur generik laporan dan sterusnya.
Beberpa penelitian yang telah dilakukan oleh Martin, antara lain, linguistik
sistemik fungsional, tata bahasa sistemik fungsional, wacana semantik, konteks
situasi, genre, multimodalitas, dan kritik analisis wacana dalam bahasa Inggris
Universitas Sumatera Utara
18
dan Tagalog khususnya dalam bidang pengajaran linguistik, forensik linguistik,
dan semiotik sosial.
Kontribusi Martin yang menonjol tentang genre adalah pendekatan
berbasis genre terhadap pengajaran bahasa, yakni ”Genre pedagogy”. Genre
Pedagogy berdasar pada bimbingan melalui interaksi dalam konteks pengalaman
yang telah dipahami bersama. Penelitian ini terinsfirasi atas penelitian Halliday
sebelumnya, yakni “Perkembangan Bahasa Anak”.
Ideology
Genre
Register
Language
Figura 2.2: Hubungan Bahasa dengan Semiotik Konotatif– Ideologi, Budaya, dan
Situasi ( Martin, 1993:158)
2.2.4 Model Swales dan Bathia
Swales berpendapat tentang genre sebagai struktur teks akademik yang
dikomunikasikan dan dipahami semua anggota atau pelibat kalangan professional
dan komunitas ahli akademik dan terjadi secara teratur. Pada umumnya Genre
terstruktur atas kesepahaman pemakainya dan menjadi pemicu pemunculan
Universitas Sumatera Utara
19
kendala. Namun, kendala tersebut sering dijadikan sebagai medium eksploitasi
para ahli terhadap komunitas masyarakat pengguna untuk memperoleh
kepentingan pribadi / kelompok dengan mengatasnamakan kepentingan sosial.
Swales dalam Bathia (1994:13) mengatakan: “Genre is a recognizable
communicative event characterized by a set of communicative purposes
identified and mutually understood by the members of the professional or
academic community in which it regularly occurs. Most often it is highly
structured and conventionalized with constraints on allowable
contributions in terms of their intent, positioning, form and functional
value. These constraints, however, are often exploited by the expert
members of the discourse community to achieve private intentions within
the framework of socially recognized purposes.”
Sebagai pakar linguistik khususnya di bidang genre, Swales terkenal
dengan karya tulisnya seperti analisis genre di bidang retorika, analisis wacana,
bahasa Inggris akademik dan ilmu informasi.
Swales dan Bathia merupakan pakar genre dalam menganalisis text
akademik, mencakupi beberapa aspek, antara lain:
1. Genre adalah kegiatan yang dikenal bersama-sama dalam tujuan komunikasi.
Walaupun ada ciri lain terdapat pada genre, seperti isi, bentuk, hajat
pendengar, medium atau channel, namun tetap ada tujuan komunikasinya. Atas
dasar itulah maka terbentuknya struktur generik dalam genre. Walaupun
perbedaan genre dan sub-genre selalu tidak dapat dibedakan, namun tujuan
komunikatifnya bisa dijadikan kriteria untuk membedakan genre dan subgenre.
2. Genre selalu memiliki struktur dan menjadi kegiatan konvensional. Biasanya
para pakar dipercayai untuk memberikan pengakuan, bukan saja pada tujuan
kimunikasinya tapi juga pada struktur generik yang dipakai di masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
20
3. Bermacam
genre
menampilkan
kendala-kendala
dalam
pemberian
kontribusinya diantaranya dalam maksud atau tujuan, posisi, bentuk dan nilai
fungsi. Ini menunjukkan bahwa penulis memiliki kebebasan dalam kreasi teks,
namun harus tetap menyesuaikan atau mengikuti standar aturan dalam struktur
genre tersebut.
Bathia (1994:10) menampilkan beberapa langkah dalam pelaksanaan
analisis genre sebagai berikut:
1. Mengumpulkan contoh-contoh genre yang akan dianalisis.
2. Menjadikan beberapa genre sebagai materi investigasi.
3. Mempertimbangkan apa-apa yang telah diketahui tentang genre-genre
yang telah dikumpulkan itu termasuk konteks situasi terjadinya teks.
4. Menentukan situasi (dalam hal apa) teks terjadi. Untuk menambah
wawasan tentang proses ini perlu ada panduan buku, pedoman dan
lain-lain seperti informan atau nara sumber.
5. Menentukan analisis apa saja yang telah dilakukan, antara lain
penelitian artikel, atau buku-buku dalam topik itu.
6. Memperjelas analisis dengan cara memastikan siapa penulis, audien,
dan hubungan mereka dengan teks; yakni siapa penulis, pembaca dan
pemakai.
7. Mempertimbangkan bagaimana teks diorganisir, disajikan dan fiturfitur linguistik apa saja terlibat dalam realisasinya.
8. Menentukan siapa saja yang membutuhkan dan berpartisipasi dalam
genre tersebut.
Universitas Sumatera Utara
21
Dalam konteks wacana, (Bhatia, 1994:10) harus ada tiga hal yang harus
diperhatikan, yakni (1) fitur bahasa yang digunakan dalam realisasi, (2) wacana
yang melatari interaksi antara penulis dan pembaca atau pemicara dan pendengar
dan (3) atensi yang ditetapkan dalam struktur wacana itu. Dalam pembelajaran
bahasa misalnya, ada dua aspek yang harus dipertimbangkan, yakni (1) kurangnya
informasi rasionalitas yang mendasari bermacam-macam jenis wacana. Dengan
kata lain, sosialisasi wacana belum didukung sepenuhnya oleh lingkungan
termasuk guru-guru di sekoleh, dan (2) kurangnya perlakuan (treatment) atas
wacana (teks) oleh siswa di dalam maupun di luar kelas.
2.2.5 Model Christie
Christie berpendapat bahwa genre memiliki struktur bahasa untuk
merealisasikan arti dalam komunikasi. Struktur tersebut terpola secara spesifik
berdasarkan hubungannnya dengan konteks sosial si pemakai genre itu. Dengan
demikian, LSF memberi kontribusi terhadap genre bagaimana genre itu dipahami
dan diaplikasikan dalam analisis teks dan pengajaran bahasa (Christie, 1997:45).
“Sistemik” merujuk pada struktur atau pengorganisasian bahasa agar bisa
digunakan dalam konteks sosial. Sistemik juga merujuk pada sistem pilihan bagi
pemakai bahasa dalam merealisasikan arti. Konsep realisasi penting dalam LSF
karena konsep tersebut menjelaskan secara dinamis cara-cara bagaimana bahasa
merealisasikan tujuan sosial berdasarkan konteks sebagai interaksi bahasa.
2.2.6 Model Gregory
Gregory dan Carrol (1978) mendefinisikan genre sebagai susunan atau
pola variasi bahasa yang berhubungan dengan intensi sosial si pembicara. Gregory
Universitas Sumatera Utara
22
awalnya memberlakukan nilai genre pada variabel tenor sebagai kategori konteks
pada variasi bahasa.
2.2.7 Model Saragih
Genre secara rinci berfungsi menetapkan konfigurasi isi (field), pelibat
(tenor) dan cara (mode). Saragih memberi contoh khotbah yang membicarakan
ajaran agama (isi), yang melibatkan khatib atau pendeta dan jemaah atau jemaat
(pelibat) dengan cara interaksi satu arah saja (Saragih, 2009: 200). Berbeda
dengan khotbah, pengajian atau penelaahan kitab membicarakan ajaran agama
(isi) yang melibatkan ustad atau pertua dan jemaah atau jemaat (pelibat) dengan
interaksi dua arah (cara). Dengan demikian, jelaslah bahwa genre adalah dasar
terciptanya register. Register selanjutnya memakai semiotik sosial untuk
merealisasikannya. Untuk membedakan secara jelas, figura berikut (Saragih,
2009:3) dapat memberikan batas dan lintas bahasa secara sistemik. Model yang
dikembangkan dengan memadukan konsep Martin (1992) sebagai berikut:
--------------------------------------------------------------------------------------Ideologi
------------------------------------------------------------Budaya
------------------------------------------Situasi
Semantik
Tata
Bahasa
Fonologi/
Grafologi/
Isyarat
Semiotik Konotatif
Semiotik Denotatif
Figura 2.3: Model yang dikembangkan dengan memadukan konsep Martin (1992)
Universitas Sumatera Utara
23
2.2.8 Model Sinar
Sinar (2008:68-69) menjelaskan bahwa genre adalah produk budaya.
Dengan kata lain, bahasa adalah bagian budaya, dengan demikian genre adalah
ragam bahasa sebagai produk dari budaya masyarakat tertentu. Jelas kelihatan
bahwa bahasa dan genre
sama-sama berkembang, berkonstrual dan sangat
dinamis.
Sinar (2002: 156-157) menjelaskan bahwa semiotik bahasa berada dalam
konteks sosial dan konteks sosial berada dalam agama yang merupakan semiotik
alam semesta.
Sinar (2002:156-157) memiliki model secara spesifik berbeda dengan
yang lain dan menyatakan bahwa secara konseptual semiotik mayor bahasa berada
dalam kontkes dien, ideologi, budaya, situasi dan bahasa. Semiotik kontekstual
terfokus pada ‘fasa’ dan lokasinya dalam ranah semiotik budaya berada pada
konteks situasi, secara spesifik berada pada ranah dua tipe, sedangkan pada
tingkat semiotik tekstual terfokus pada eksperiensial dan lokasinya berada pada
ranah semantik.
Discourse structuring
Substantiation
Conclusion
Universitas Evaluation
Sumatera Utara
Consent
24
Dien
Ideology
Culture
Situasion (discourse)
Dialectal variation
functional variation
Register
Social
Geographycal
Tenor
Temporal
Field
Mode
Phase
Tristratal Language
Discourse
Semantics
Ideational:
Experiential
Logical
Interpersonal
Textual
Lexicogrammar
Phonology/
Graphology
Transitivity
Interdependency
Mood/Modality
Theme/Information
Being/having
Doing/happening
Sensing
Behaving
Saying
Existing
Relational
Material
Mental
Behavior
Verbal
Existensis
Figura 2.4: Hubungan Semiotik Bahasa dalam Konteks Sosial: Fase dan Eksperiensial
(Sinar, 2002: 157)
Universitas Sumatera Utara
25
2.3 Kerangka Teoretis LSF
Kajian bahasa atau linguistik, (Halliday, 1994:xvii) dan Gerot (2001:7)
didasarkan pada asumsi yang dijadikan sebagai dasar untuk mengkaji bahasa
tersebut. Dalam penelitian ini, kajian yang digunakan adalah LSF. Teori itu
beranggapan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan sistem bentuk untuk
merealisasikan arti tersebut. Dengan demikian bahasa merupakan sistem arti dan
sistem lain (yakni sistem bentuk /wording dan ekspresi/ phonology/ graphology)
untuk merealisasikan arti tersebut berdasarkan konteks sosial.
LSF diperkenalkan oleh M.A.K. Halliday pada awal 1960-an (Halliday,
2003:437). Perkembangannya sampai saat ini telah melampaui perkembangan
aliran struktural yang mencapai zaman keemasan oleh Noam Chomsky dan
kawan-kawan pendahulunya seperti Modistae, Bloomfield, dan Pike. Halliday dan
para pakar lainnya telah menerapkan teori ini untuk mengkaji berbagai aspek
kebahasaan baik dari system paradigmatik dan sintagmatik dalam beberapa
bahasa, seperti bahasa Jepang, Mandarin, Hindi, Tagalog, Prancis, Persia, dan
Arab (Saragih, 2005:i).
Konsep yang dibangun dalam LSF adalah bahwa bahasa merupakan
fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial dan bahasa merupakan teks
yang berkonstrual dengan konteks sosial (Halliday, 2005:175). Dengan demikian
setidaknya ada dua konsep yang perlu dijelaskan dalam pengertian ini.
Konsep pertama adalah bahasa merupakan semiotik umum yang memiliki
dua unsur, yakni arti dan ekspresi (Halliday, 2005:293). Namun, berbeda dengan
semiotik umum semiotik bahasa adalah semiotik sosial yang khusus. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
26
semiotik sosial, bahasa juga memiliki unsur lain, yakni: bentuk. Dengan demikian,
sebagai semiotik sosial bahasa memiliki tiga unsur: arti dalam tataran semantik,
bentuk dalam tataran leksikogramatika, dan ekspresi dalam tataran fonologi dan
atau grafologi. Hubungan antara ketiga unsur itu disebut ‘hubungan realisasi’. Arti
direalisasikan oleh bentuk dan bentuk direalisasikan dalam ekspresi.
LSF memandang bahasa merupakan sumber dalam membuat arti (Gerot,
2001:6). LSF berusaha menjelaskan bagaimana bahasa digunakan sesungguhnya
dalam kenyataan dan terfokus pada teks dan konteks sehingga teks dipahami
berbeda dengan teori formal. Dengan demikian LSF tidak hanya membahas
struktur teks tapi juga bagaimana struktur teks membentuk arti dengan daya
konstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks.
2.3.1 Metafungsi Bahasa
Dalam teori LSF, dinyatakan bahwa metafungsi bahasa terbagi tiga fungsi
yaitu (1) fungsi ideasional, (2) fungsi interpersonal, dan (3) fungsi tekstual.
Pembahasan berikut adalah pembahasan fungsi-fungsi tersebut (Sinar, 2012:27).
2.3.1.1 Fungsi Ideasional
Fungsi ideasional adalah fungsi bahasa untuk memaparkan pengalaman.
LSF berasumsi bahwa fungsi sama dengan makna.
Makna ideasional adalah makna tentang kenyataan atau fakta suatu benda
baik secara konkrit atau abstrak, benda mati atau hidup (Gerot, 2001:12). Makna
ini direalisasikan oleh system leksikogrammatika khususnya system transitivitas
dan hubungan makna logis melalui partisipan, proses dan sirkumstan.
Universitas Sumatera Utara
27
Selanjutnya makna ideasional menjelaskan dua hal yaitu pengalaman,
apakah pengalaman itu unik atau tidak, apakah pengalaman itu linguistik atau
non-linguistik, dan hubungan logis. Bagi MA, pengalaman non-linguistik bisa
berupa jatuh dari tangga, dikejar angsa, mengejar pencuri, dan lain-lain.
Pengalaman non-linguistik harus dijadikan menjadi pengalam linguistik agar bisa
dipahami orang lain.
Untuk menjadikan pengalaman non-linguistik menjadi pengalaman
linguistik, diperlukan tiga unsur, yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan.
Dalam perspektif LSF, bahasa terwujud untuk memenuhi kebutuhan
manusia (Halliday, 2004:170), karena bahasa dipergunakan di manapun manusia
berada. Bahkan ketika manusia meneroka menggunakan bahasa. Fungsi yang
disampaikan bahasa dalam konteks ini adalah fungsi eksperiensial. Ini berarti
bahwa struktur bahasa ditentukan oleh fungsi apa yang dilakukan bahasa (atau
lebih tepat fungsi yang ingin dicapai manusia dengan menggunakan bahasa) untuk
memenuhi kebutuhan manusia dalam masyarakat. Terdapat dua jenis sistem dalam
ideasional, yaitu sistem fungsi eksperiensial dan logikal.
2.3.1.1.1 Fungsi Eksperiensial dan Elemennya
Dalam satu klausa, sebagai representasi pengalaman, terjadi konfigurasi
yang melibatkan elemen-elemen pendukung dalam realisasi. Elemen tersebut
terdiri atas tiga unsur, yaitu proses (process), partisipan (participant), dan
sirkumstan
(circumstance).
Halliday
(2004:169)
mengatakan,
“And
experientially, the clause construes a quantum of change as a figure, or
configuration of process, participants involved in it and any attendant
Universitas Sumatera Utara
28
circumstances.” Proses menunjuk kepada aksi, peristiwa, atau keadaan yang
direalisasikan oleh verba. Proses menunjuk kepada kegiatan atau aktivitas yang
terjadi dalam klausa yang menurut tata bahasa tradisional dan formal disebut kata
kerja atau verba. Partisipan dicirikan dalam proses direalisasikan oleh kata benda
atau frasa kata benda. Partisipan merupakan orang atau benda yang terbabit dalam
suatu proses.
Sirkumstan adalah lingkungan tempat proses yang melibatkan partisipan
terjadi (Halliday, 1994: 107).
Sirkumstan merupakan unsur yang berkaitan
dengan proses, khususnya direalisasikan oleh frasa ajektiva atau frasa preposisi.
Sirkumstan adalah lingkungan tempat terjadinya proses yang melibatkan
partisipan, mencakup rentang, lokasi, cara, lingkungan, peryerta, peran, sebab
masalah, dan sudut pandang. Inti dari satu pengalaman dalam klausa adalah
proses.
Dikatakan demikian karena proses menentukan jumlah dan kategori
partisipan (Haliday, 1994: 168-172; Martin, 1992: 10). Dengan kata lain, proses
(pemilik valensi) menentukan partisipan (secara langsung) dan sirkumstan (secara
tidak langsung) dengan tingkat probabilitas; misalnya proses material dan mental
masing-masing lebih sering muncul dengan sirkumstan lokasi dan cara.
Berapa jumlah partisipan dalam satu klausa ditentukan oleh proses karena
inti (nucleus) pengalaman dalam satu klausa itu berada pada proses. Dengan dasar
nukleus ini, proses dilabeli sesuai dengan jenis proses itu.
(2.1)
Silihne ndayeken
ipar
menjual
Iparnya menjual
Aktor
Proses: material
Rumah-e
rumah
rumah itu
Gol
bulan si Rohnou.
bulan depan
bulan depan
Sirkumstan
Universitas Sumatera Utara
29
Dalam klausa (2.1), menjual adalah proses, iparnya dan rumah itu adalah
partisipan dan bulan depan adalah sirkumstan. Secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa klausa (2.1) itu berisi pengalaman yang menyatakan bahwa satu proses
terjadi, yakni menjual dan proses itu melibatkan dua partisipan iparnya dan
rumah itu dan proses yang melibatkan kedua partsipan itu terjadi dalam lingkup
waktu bulan depan.
1) Proses
Proses adalah arus (flow) suatu aksi, peristiwa, atau keadaan yang
direalisasikan oleh verba atau kelompok verba (Halliday, 2004: 170). Proses
adalah fungsi yang menunjukkan kegiatan, keadaan, atau kondisi (Halliday, 2004:
171). Proses terdiri atas proses material, mental, relasional, tingkah laku, verbal,
dan wujud. Seperti pada representasi pengalaman yang terdapat dalam klausa (2.1)
masih bersifat umum. Berdasarkan sifat semantik dan sintaksisnya, proses masih
dapat dirinci. Secara universal, bahasa memiliki unsur-unsur sama dengan bahasa
lain. Dalam bahasa Inggris, proses ada enam jenis (Matthiessen, 1992: 176).
Keenam jenis pengalaman itu terbagi dua, yakni tiga pengalaman utama (primary
process) yang terdiri atas pengalaman material, mental, dan relasional, dan tiga
pengalaman pelengkap (secondary process) yang terdiri atas pengalaman verbal,
perilaku, dan wujud. Kriteria pembagian keenam proses itu adalah semantik dan
sintaksis. Secara umum, keenam jenis proses itu sesuai dengan jenis pengalaman
penutur bahasa lain termasuk jenis pengalaman oleh penutur bahasa Indonesia dan
BA. Namun, keunikan setiap bahasa tetap ada. Secara khusus terdapat perbedaan
antara konfigurasi pengalaman dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan BA.
Universitas Sumatera Utara
30
Dengan kata lain, masing-masing konfigurasi pengalaman dalam bahasa Inggris,
bahasa Indonesia dan BA berbeda.
Halliday dalam Gerot (2001: 54) memiliki perbedaan sedikit tentang jenis
proses. Beliau membagi proses menjadi tujuh jenis. Selain enam jenis yang telah
dijelaskan diatas, beliau menambah satu jenis lagi, yakni proses meteorology
(cuaca), seperti terdapat pada klausa berikut.
(2.2)
Cuaca panas. (It ‘s hot.)
Klausa (2.2) sangat semantis karena secara kasaf mata tidak terlihat
proses. Kalaupun dimuculkan, bisa seperti.
(2.3)
Cuaca (adalah) panas.
Klausa (2.3) memperlihatkan seolah-olah proses adalah termasuk jenis
relasional. Padahal proses tersebut adalah cuaca.
a) Proses Material
Proses material adalah proses ‘kegiatan’ ‘kreasi’ dan ‘kejadian’ (Halliday,
2004:172, Matthiessen, 1992: 191). Proses material merupakan aktivitas atau
kegiatan yang menyangkut fisik dan nyata dilakukan pelakunya. Proses material
adalah proses melakukan sesuatu (Gerot, 2001: 55). Proses perlakuan yang
melibatkan jasmaniah, fisik, atau material. Karena sifatnya yang demikian Proses
material dapat diamati dengan indera.
Proses material menunjukkan bahwa satu entitas melakukan satu kegiatan
atau aktivitas dan kegiatan itu dapat diteruskan atau dikenakan ke maujud lain.
Universitas Sumatera Utara
31
Proses ini mencakup semua kegiatan yang terjadi di luar diri manusia dan bersifat
fisik seperti terdapat pada klausa berikut.
(2.4)
Ninik engguh
nabah
‘Kakek
menebang
Aktor
Proses: material
galuh e
bone.
pisang itu
semalam.’
Gol
Sirkumstan
Proses material dapat ditandai dari bentuk kala sedang (the Progressive
Tense). Kala sedang menunjukkan bahwa perlakuan (process) sedang terjadi
seperti terdapat pada klausa berikut.
(2.5)
Ame
Ibu
Aktor
sedang medakan
sedang menanak
Proses: material
nasi
Gol
ni dapuR.
di dapur.
Sirkumstan
Khusus untuk proses material, partisipan yang terlibat dalam satu proses
itu dilabeli pelaku (actor) sebagai sumber atau pembuat aktivitas dan gol (goal)
sebagai maujud yang kepadanya proses ditujukan atau yang dikenai proses.
Dengan demikian, klausa Harfin menulis surat di ruang belajar dapat dianalisis
sebagai berikut.
(2.6)
Harfin
Harfin
Aktor
nulis
menulis
Proses: material
suRat
surat
Gol
ni Ruang belajaR.
di ruang belajar.
Sirkumstan
b) Proses Mental
Proses mental adalah proses mengindera (Halliday, 2004:197). Baik
manusia atau mirip dengan manusia terlibat dalam proses menunjukkan kegiatan
atau aktivitas yang menyangkut inderawi, seperti kognisi (cognition), emosi
/afeksi (affection), persepsi (perception) dan keinginan (desire), yang terjadi di
dalam diri manusia, seperti mengetahui, menyenangi, merasa dan menginginkan.
Universitas Sumatera Utara
32
Perlu dijelaskan bahwa Gerot hanya membagi proses mental menjadi tiga: afeksi
atau
reaksi
(perasaan/feeling),
kognisi
(pikiran/thinking),
dan
persepsi
(perceiving through the five senses). Proses mental dibagi menjadi empat jenis:
kognisi, afeksi, persepsi dan keinginan Halliday, 2004:172). Selanjutnya proses
mental dan material dapat dibedakan berdasarkan hasil perbuatan yang dihasilkan
oleh kedua proses tersebut. Proses material terjadi di luar diri manusia sedangkan
mental terjadi di dalam (inside) diri manusia dan mengenai mental atau
psychological aspects kehidupan. Secara semantik, proses mental menyangkut
pelaku manusia saja atau maujud lain yang dianggap atau berperilaku manusia,
seperti tingkah laku dalam dongeng yang mengisahkan bahwa kancil dapat
bercerita kepada buaya atau burung pungguk merindukan bulan.
Perbedaan proses mental dan material mencakupi kriteria semantik dan
sintaksis (Halliday, 2004:199).
1) Proses mental menyangkut manusia dan paling sedikit satu partisipan
manusia, seperti klausa Uan sikel soRpe labaR. “Ayah kepingin makanan
pakis cincang”. Yang memaparkan pengalaman mental adalah sikel
(kepingin) dan partisipan uan (ayah). Berbeda dengan klausa dengan proses
mental, klausa dengan proses material dapat melibatkan partisipan bukan
manusia, seperti dalam klausa Tsunami ni Banda Aceh tanggal 26 Desember
2004 ngeRusak mehayak Rumah Rut fasilitas umum. “Tsunami di Banda Aceh
tanggal 26 Desember 2004 merusak sejumlah rumah dan fasilitas umum.”
Yang memapar penglaman material adalah ngeRusak (merusak) dan
partisipan Tsunami dan sejumlah rumah dan fasilitas umum. Tshunami dan
Universitas Sumatera Utara
33
rumah dan fasilitas umum bukan manusia. Contoh lain: Sukhoi menabRak
deleng Salak Rut newasken keRine penumpangne tanggal 9 Mei 2012.
“Sukhou nabrak gunung Salak dan menewaskan semua penumpang tanggal 9
Mei 2012.” Yang memapar pengalaman material adalah nabRak (menabrak)
dan newasken (menewaskan). Gunung Salak dan semua penumpang adalah
partisipan. Kedua partisipan (actors), yakni Tsunami dan Sukhoi bukan
manusia.
2) Proses mental dapat diikuti proyeksi, sedangkan proses material tidak dapat.
Klausa (2.7a) dan (2.7b) menunjukkan keberterimaan antara kedua jenis
proses tersebut.
(2.7a)
Ie mepikeR bahwe ie ngelaR Rutung be
“ Dia berpikir bahwa dia mengambil buah durian dulu.”
(2.7b)
*Ie medalan bahwe ie ngelaR Rutung be.
“Dia berjalan bahwa dia mengambil buah durian dulu.”
3) Proses mental tidak dapat diikuti oleh aspek progressive(sedang), proses
material dapat (Halliday, 2004:206). Contoh (2.8a), (2.8b) dan (2.8c) dapat
menjelaskan perbedaan tersebut.
(2.8a)
* Uan sedang metoh natemu.
“*Ayah sedang mengetahui niatmu.”
(2.8b)
Uan metoh natemu.
“Ayah mengetahui niatmu”.
(2.8c)
Mame sedang mahani Rumah.
“Paman sedang membangun rumah.”
Universitas Sumatera Utara
34
4) Proses mental merupakan proses dua hala, sedangkan proses material hanya
memiliki satu hala saja (Halliday, 2004:201). Yang dimaksud dengan dua
hala adalah klausa dengan dua partisipan.
Selanjutnya, letak atau posisi
kedua partisipan dapat dipertukarkan dan proses mental dalam klausa itu
diganti atau disubsitusi dengan yang sejenis. Pertukaran itu hanya sebatas
bentuk (lexicogrammar) tidak mengubah arti (semantics) dan status kalimat
aktif. Dalam klausa mental, kedua partisipan dalam masing-masing klausa
dapat bertukar posisi dengan arti bersamaan. Sebaliknya, klausa material
tidak memiliki sifat pembalikan seperti klausa mental. Dalam (2.9a) dan
(2.9b) proses menyukai dan menyenangkan menggambarkan ciri dua hala dari
proses mental.
Demikian juga dalam (2.10a) dan (2.10b) takut dan
menakutkan merupakan realisasi dua hala.
(2.9a)
Mame get ate be manu’e.
“Paman menyukai ayam itu.”
(2.9b)
Manu’e nenangken ate mame
“Ayam itu menyenangkan paman”.
(2.10a)
Aku mbiaR be kejadinne e
“Saya takut peristiwa itu.”
(2.10b)
Kejadinen e ncebiaRi aku.
“Peritiwa itu menakuti saya.
Dalam pelabelan, proses mental berbeda dengan proses lainnya seperti
proses material. Kalau proses material partisipan yang terlibat dalam proses
disebut actor dan yang dikenai proses material disebut goal. Sedangkan partisipan
Universitas Sumatera Utara
35
yang terlibat dalam proses mental disebut pengindra (senser) dan partisipan
kedua yang dikenai proses dilabeli fenomenon (phenomenon). Dalam (2.11) dan
(2.12) berikut klausa mental dianalisis dengan unsur pengalaman mencakup
pengindra, proses, fenomenon dan sirkumstan.
(2.11)
Abangku
menyenangi pemugaran Balai Adat
Pengindra Proses: mental Fenomenon
(2.12)
Saya
mengetahui
Pengindra Proses: mental
berita itu
Fenomenon
tahun depan.
Sirkumstan
semalam.
Sirkumstan
c) Proses Relasional
Proses relasional adalah proses kerja yang menunjukkan hubungan
intensitas (yang mengandung pengertian A “adalah” B), sirkumstan (yang
mengandung pengertian A “pada/di dalam” B), dan milik (yang mengadung
pengertian A “mempunyai” B) (Halliday, 2004:211).
Proses relasional adalah proses yang menghubungkan satu entitas dengan
maujud atau lingkungan lain di dalam hubungan intensif, sirkumstan, atau
kepemilikan dan dengan cara (mode) identifikasi atau atribut (Halliday, 2004:
216). Adanya hubungan “A adalah B, A pada B dan A mempunyai B”, maka ada
dua jenis yang menyangkut intensitas tersebut: (a) Attributive (Carrier dan
Attribute) dan (b) Identifying (Token and Value) (Gerot, 2001:68). Secara simultan
setiap klausa yang mengandung proses relasional memiliki makna Attributive atau
Identifying secara bersamaan apakah Intensive, Possessive atau Circumstantial.
Dalam (2.13) hubungan intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan
entitas lainnya sebagai: Attributive:Intensive, seperti:
Universitas Sumatera Utara
36
(2.13)
Mamene
Pamannya
Carrier
(adalah)
Attributive:Intensive
tenteRe.
tentara
Attribute.
Keterkaitan bersama dapat dilihat dalam (2.13), dimana jenis (Attributive)
dan entitas (Intensive) memberi ciri terhadap proses relasional. Dengan demikian,
ada enam klausa relasional yang bisa dimunculkan, yakni: Atributive: intensive,
Attributive: possessive, Attributive: circumstantial, Identifying: intensive,
Identifying: possessive, dan Identifying: circumstantial. Dalam (2.14) -- (2.19),
masing-masing klausa secara berurutan sebagai berikut.
(2.14)
Ie
“Dia
Carrier
(adalah)
Attributive:intensive
(2.15)
Ie
“Dia
Carrier
empung
Punya
Attributive:possessive
(2.16)
Ie
“Dia
Carrier
(adalah)
Attributive:circumstantial
(2.17)
Husin edime
Husin itulah
Petanda/Token
(2.18)
Rumah edi
Rumah itu
Token
guRu.
guru”
Attribute
Rumah mbaRu.
rumah baru”
Attribute
ni sebelahku
di sebelah saya”
Attribute
(adalah)
Identifying: intensive
(adalah)
Identifying: possessive
guRune.
gurunya
Nilai/Value
ie empungne
punya dia
Value
Universitas Sumatera Utara
37
(2.19)
Rumahne
Rumahnya (adalah)
Token
Identifying: circumstantial
ni sebelah Rumahku.
di sebelah rumah saya
Value
Di dalam bahasa Inggris, proses relasional yang lazim adalah be (is, am,
are, was, were, have been, has been, will be, can be, must be, ought to be, needn’t
be, have to be, should be) (Halliday, 2004: 211). Setara dengan itu, di dalam
bahasa Indonesia proses relasional direalisasikan oleh verba, seperti adalah,
menjadi, merupakan, kelihatan, berharga, bernilai, kedengaran, terdengar,
menunjukkan, menandakan, memainkan, mempunyai, memiliki, dll. (Saragih,
2009:32).
Dalam klausa relasional yang relatif panjang dan terdiri atas beberapa
klausa (klausa kompleks), seperti dalam (2.20), pemakaian adalah menjadi
keharusan. Berapa panjang satu partisipan pada tingkat nomina juga relatif pada
situasi tertentu. Paling tidak satu patokan yang dapat digunakan adalah jika
konstruksi partisipan dalam klausa relasinal dapat menggangu pengertian suatu
klausa pemakaian proses adalah merupakan keharusan (Halliday, 2004: 247).
(2.20)
Lelaki yang datang ke rumah saya dengan mengendarai mobil Taruna
semalam sore adalah seorang dokter.
Jika ketiga jenis poses relasional dan kedua modenya diklasifikasi silang,
enam jenis proses relasional yang lebih rinci dihasilkan seperti diringkas di dalam
bagan berikut.
TABEL 2.1: TIPE KLAUSA RELASIONAL
Mode
Jenis
Identifikasi
Atribut
Universitas Sumatera Utara
38
Intensif
Ibu kota Indonesia Jakarta.
Adiknya dokter.
Sirkumstan
Kepemilika
n
Bulan kelahiranku Januari.
Ayahnya di Jakarta.
Rumah itu satu-satunya milik Pamanku mempunyai dua
pamanku.
rumah.
Secara sistemik, keenam jenis proses relasional tersebut dapat diringkas
sebagai berikut.
1) Proses: relasional: intensif: identifikasi (Khalidah (adalah) guru kelas kami.)
2) Proses: relasional: intensif: atribut (Khalidah (adalah) guru.)
3) Proses: relasional: sirkumstan: identifikasi (Mei (adalah) bulan kelahiranku.)
4) Proses: relasional: sirkumstan: atribut (Adikku (adalah) di Kutacane.)
5) Proses: relasional: kepemilikan: identifikasi. (Tanah ini (adalah) satu-satunya
pusaka ayahku.
6) Proses: relasional: kepemilikan: atribut (Harfin punya gitar baru.)
Partisipan dalam proses relasional: identifikasi dilabeli tanda (token) dan
nilai (value) (Halliday, 2004: 231). Tanda merupakan label partisipan yang
diidentifikasi dan nilai menjadi label entitas lain yang mengidentifikasi tanda.
Dalam proses relasional atribut, penyandang (carrier) digunakan untuk
partisipan yang memiliki atribut atau sifat dan atribut (attribute) digunakan untuk
melabeli entitas atau sifat yang mengacu kepada penyandang. Berbeda dengan
kedua
jenis
proses
relasional
tersebut,
proses
relasional
kepemilikan
menggunakan pemilik (possessor) untuk entitas yang memiliki dan milik
(possessed) untuk entitas yang dimiliki partisipan pertama.
Universitas Sumatera Utara
39
Attributive: Carrier, Attribute
Identifying: Token, Value
Proses Relasional
Intensive
Pessessive
Circumstantial
Figura 2.5 Jejaring Proses Relasional Adaptasi dari Gerot, 2001:68)
d) Proses Tingkah Laku
Proses tingkah laku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan
fisiologis yang menyatakan tingkah laku fisik manusia (Matthiessen, 1992: 202).
Proses tingkah laku adalah proses gabungan fisiologis dan psikologis manusia
dalam tingkah laku, seperti bernapas, bermimpi, ngorok, senyum, tersedak,
melihat, memandang, menyimak, dan mempertimbangkan (Gerot, 2001: 60).
Secara semantik, kategori proses tingkah laku terletak antara proses material dan
mental. Implikasinya adalah sebahagian proses tingkah laku memiliki sifat proses
material dan sebahagian lagi memiliki ciri proses mental (Matthiessen, 1992:
202). Yang termasuk proses tingkah laku adalah verba muntah, berbatuk, pingsan,
menguap, sendawa, tidur, buang air, mengeluh, tertawa, menggerutu, dan
sebagainya. Proses tingkah laku adalah proses fisiologis atau psikologis bersikap
atau bertingkah laku, yang dapat dicontohkan melalui proses ketika manusia
melakukan kegiatan bernafas, bermimpi, tersenyum, tertawa, dll. Posisi proses ini
berada di antara proses material dan mental (Halliday, 2004: 248).
Universitas Sumatera Utara
40
Secara sintaksis, partisipan dalam klausa tingkah laku disebut petingkah
laku (behaver). Biasanya, klausa tingkah laku hanya mempunyai satu partisipan
seperti terlihat dalam klausa (2.21) berikut.
(2.21)
Dian
“Dian
Petingkah laku/Behaver
Proses
tingkah
laku
Tangis
Menangis
Proses: tingkah laku/Vehavioral
memiliki
keterbatasan
dalam
nengen pilu.
dengan pilu”
Circumstant
menggunakan
pronomina. Sesuai dengan namanya, (tingkah laku), pronomina saya tidak bisa
diikuti proses tidur. Klausa (2.22) tidak berterima sedangkan (2.23) berterima
seperti berikut.
(2.22)
*Aku
*Saya
Petingkah laku/Behaver
sedang medem
sedang tidur
Proses: behavioral
(2.23)
Ie
“Dia
Petingkah laku/Behaver
sedang medem.
sedang tidur”
Proses: behavioral
e) Proses Verbal
Proses verbal adalah proses yang diucapkan (Gerot, 2001: 62). Proses ini
secara simbolik merupakan penandaan (signaling). Proses ini sering direalisasikan
dalam dua klausa berbeda. Klausa pertama disebut pemroyeksi dan yang kedua
disebut proyeksi. Proses verbal berada antara proses mental dan relasional (Butt,
2000: 56). Dengan demikian, proses verbal sebahagian memiliki ciri proses
mental dan sebahagian lagi memiliki ciri proses relasional. Secara semantik,
proses verbal menunjukkan aktivitas atau kegiatan yang menyangkut informasi,
Universitas Sumatera Utara
41
seperti verba berteriak, berseru, berjanji, bersumpah, berkata, mengatakan,
bertanya, memerintah, meminta, menginstruksikan, mengaku, menjelaskan,
menerangkan, mengkritik, menguji, memberitahu, menegaskan, menekankan,
menceritakan, menolak, dan sebagainya.
Proses
verbal
adalah
aktivitas
yang
membawa,
menyampaikan,
mengatakan maklumat atau bertanya, menceritakan, berseru, berjanji, dan lainlain (Halliday, 2004:252). Dalam proses verbal ada dua partisipan yang dilibatkan.
Partisipan yang berkata, yang secara struktural dinamakan sebagai penyampai
(sayer), dan pesan yang disampaikan (maklumat/verbiage).
(2.24)
Ie
“Dia
Penyampai/Sayer
mecakap
berbicara
Proses:Verbal
ceRok Alas.
bahasa Alas”
Pesan/Verbiage
Dalam hal dua klausa, proses verbal berfungsi sebagai pemroyeksi
(projecting clause) dengan label sayer sedangkan klausa lainnya disebut sebagai
terproyeksi (projected clause.
(2.25)
Ie
‘Dia
Sayer
(2.26)
Ie
Dia
Sayer
Mekate
berkata
Verbal
mekate
berkata
Verbal
aku
saya
Senser
pot
suka
Proc.mental:Affective
Ie
(bahwa) dia
Senser
pot
suka
Mental:Affect
Rutung
durian.’
Phenomenon
Rutung.
durian
Phenomenon
f) Proses Wujud
Proses wujud (existential) menunjukkan keberadaan satu entitas (Butt,
2000: 58). Secara semantik, proses wujud terjadi antara proses material dan
Universitas Sumatera Utara
42
proses relasional.
Proses wujud adalah proses yang mengekspresikan bahwa
sesuatu itu ada wujud atau eksis dan di dalam bahasa Inggris direalisasikan dalam
proses seperti is, am, are, was, were, be, been, being dan proses lainnya seperti
exist, arise atau proses lainnya yang merepresentasikan kewujudan kata benda
atau frasa benda yang merepresentasikan fungsi partisipan sebagai maujud
(existent) (Halliday, 2004:256). Dengan letaknya yang demikian, proses wujud di
satu sisi memiliki ciri proses material dan di sisi lain memiliki ciri proses
relasional. Proses wujud (Gerot,2001:72) adalah proses yang menunjukkan
keberadaan sesuatu (misalnya: “ada”. “terdapat”). Partisipan pada proses ini
disebut eksisten.
(2.27)
Lot
Ada
Proses:Wujud/Existential
anak manun.
anak hanyut
Maujud/existent
(2.28)
PeRasanen
“Perasaan
Maujud/Existent
lot
wujud
Proc: Wujud/existential
(2.29)
Lot
‘Ada
Proc.:Existential
kuluR
kelueh
Part.:Existent
(2.30)
Ni kahaRungne
‘Di leher
Circumstance :Location
ni bagas ate jeme.
dalam diri manusia”
Circumstantial
ni empuse
di ladang”
Circumstance :Location
lot
ada
Proc.:Existential
kaRaten
gigitan”
Existent
Universitas Sumatera Utara
43
2) Partisipan
Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa proses merupakan inti atau pusat
(nucleus) yang menarik atau mengikat semua unsur lain, khususnya partisipan
(Halliday, 2004: 175). Partisipan adalah kategori semantik yang menjelaskan caracara umum bagaimana gejala dunia kenyataan direpresentasikan sebagai struktur
linguistik (Gerot, 2001: 52). Sedangkan proses merupakan inti yang memiliki
daya tarik atau ikat (valency), berpotensi menentukan jumlah partisipan yang
dapat diikat oleh proses itu. Dengan sifatnya itu, proses digunakan sebagai dasar
pelabelan partisipan dalam klausa. Sedikitnya ada dua jenis partisipan, yaitu
partisipan yang melakukan proses (Partisipan I) dan partisipan yang kepadanya
proses itu diarahkan/ditujukan (Partisipan II). Dalam bagan berikut dipaparkan
keenam jenis proses dan label partisipan yang digunakan.
Jenis Proses
Material
Mental
Relasional
Tingkah Laku
Verbal
Wujud
Partisipan I
Pelaku
Pengindera
(1) Identifikasi: Bentuk/Tanda
(2) Atribut: Penyandang
(3) Kepemilikan: Pemilik
Petingkah Laku
Pembicara
Maujud
Partisipan II
Gol
Fenomenon
Nilai
Atribut
Milik
Perkataan
-
Figura 2.6 Proses dan Partisipan (adaptasi dari Matthiessen, 1992: 316)
3) Jangkauan dan Partisipan lain
Dalam
bagian
terdahulu
diuraikan
bahwa
partisipan
ditentukan
berdasarkan jenis prosesnya (Halliday, 2004:259). Dengan demikian, jenis
partisipan ditentukan oleh proses karena dialah yang memiliki daya ikat (valency).
Selain itu masih ada lagi partisipan lain yakni partisipan yang menyatu dengan
proses atau di luar jangkauan proses dan dilabel jangkauan (range). Dengan kata
Universitas Sumatera Utara
44
lain, partisipan berbeda dengan (partisipan) jangkauan. Pertama partisipan
(jangkauan) dapat muncul dengan seluruh jenis proses. Kedua jangkauan dapat
muncul secara implicit atau eksplisit. Dalam BA, klausa seperti Ame sedang
medakan. “Ibu sedang memasak.”, dapat berterima secara implisit karena secara
eksplisit adalah: Ame sedang medakan nakan. “Ibu sedang memasak nasi.”
Apakah kata nakan ‘nasi’ dicantumkan (eksplisit) atau tidak dicantumkan
(implisit) tidak menjadi masalah. Namun ada jangkauan yang selalu implisit
seperti ndaling “menjaga durian jatuh”. Dalam klausa BoRngi nahan kite
ndaling ni empus wan tueku. “Nanti malam kita jaga durian jatuh di ladang
mertuaku.” Dalam (2.31a) dan (2.31b) dapat dilihat perbedaan jangkauan secara
implisit dan eksplisit.
(2.31a)
Pagi
‘Besok
Circumstance :Time
(2.31b)
Bone
‘Semalam
Circumstance
:Time
kite
Kita
Actor
mame
Paman
Particip.:Actor
ngaRohi
ngeringkan kolam”
Process:Material
ndaling
Menjaga
Process:
Material
Rutung
durian”
Particip.: Range/
Jangkauan
Selain jangkauan (range), masih ada lagi partisipan lain. Partisipan ini
dikenal dengan istilah pembermanfaat (beneficiary). Pembermanfaat adalah
orang atau benda yang kepadanya satu entitas atau layanan dituju atau diarahkan
(Halliday, 2004:295-296). Pembermanfaat dapat diperoleh atau didapati dalam
klausa relasional atribut (Halliday, 2004: 215). Biasanya, pembermanfaat ini
didahului oleh preposisi yang potensial dihilangkan dengan mengubah struktur
atau urutan partisipan.
Pembermanfaat dilabeli berdasarkan jenis prosesnya.
Universitas Sumatera Utara
45
Dalam klausa material pembermanfaat dilabeli resipien (recipient) untuk
partisipan yang didahului atau terkait dengan preposisi kepada dan klien (client)
untuk partisipan yang didahului atau terkait dengan preposisi untuk (Halliday,
2004: 190). Dalam klausa verbal, seperti dipaparkan terdahulu, pembermanfaat
dilabeli penerima. Klausa (2.32a) memberi pelabelan pembermanfaat seperti:
(2.32a)
Ie
‘Dia
Actor
NgiRim
Mengirim
Proc.:Material
(2.32b)
Mame
“Paman
Actor
nukoR
Membeli
Proc.:Material
(2.32c)
Zainal
‘Zainal
Sayer
menceRiteken
menceritakan
Proc.:Verbal
foto e
Foto itu
Goal
be uanne
kepada ayahnya”
Recipient
Regeng
Kalung
Goal
kisahne
kisah itu
Pembicaraan/Verbiage
(2.32d)
Pengalamen e
(adelah)
‘Pengalaman
(adalah)
Pembawa/carrie
r
Relational:attrib.
tuhu
mahal
betul
mahal
Attribute
be anak side
untuk anaknya”
Client
be Aminah
kepada Aminah”
Penerima/recipient
bangku
bagi saya”
Benific./pembermanfaat
4) Sirkumstan
Sirkumstan adalah kategori semantis yang berfungsi menjawab pertanyaan
seperti when ‘bila’, where ‘dimana’, why ‘mengapa, how ‘bagaimana’, how many
‘berapa banyak’, dan what ‘apa’ (Gerot, 2001:52). Sirkumstan merupakan
lingkungan, sifat, atau lokasi berlangsungnya proses (Halliday, 2004: 359).
Sirkumstan berada di luar jangkauan proses. Oleh karena itu, label sirkumstan
Universitas Sumatera Utara
46
berlaku untuk semua jenis proses. Sirkumstan setara dengan keterangan seperti
yang lazim digunakan di dalam tata bahasa tradisional.
Sirkumstan dinjelaskan pembagiannya sesuai fungsinya menjadi sembilan
bagian, yakni: rentang (extent) yang dapat berupa jarak atau waktu, lokasi
(location) yang dapat mencakupi tempat atau waktu, cara (manner), sebab
(cause), lingkungan (contingency), penyerta (accompaniment), peran (role),
masalah (matter), dan (sudut) pandangan (angle) (Halliday, 2004:262).
Menurut konsep tata bahasa struktural atau tradisional, sirkumstan setara dengan
keterangan (Adverb). Berikut disajikan penggunaan sirkumstan sebagai berikut.
a) Rentang /extent
(2.33a)
TenteRe e
“Tentara itu
Actor
enggou melayaR
telah berlayar
Process: Material
dekahne sepuluh jam.
selama sepuluh jam”
Circ.:Extent:Time
(2.33b)
Kalae
“Mereka
Actor
enggou melayaR
telah berlayar
Process: Material
dauhne seRatus mil.
sejauh seratus mil.”
Circ.:Extent:Place
b) Lokasi/location
(2.34a)
Dani
“Dani
Actor
(2.34b)
Dani
“Dani
Actor
buet
Bangun
Process: Material
tading
tinggal
Process: Material
jam 6 pagi.”
pukul 6 pagi.”
Circ.:Location:Time
ni Kutecane
di Kutacane.”
Circ.:Location:Place
Universitas Sumatera Utara
47
c) Cara/manner
(2.35a)
Abangku
“Abang saya
Actor
(2.35b)
TenteRe-e
“Tentara itu
Actor
(2.35c)
Harfin
“Harfin
Sayer
medalan
berjalan
Proc.:Material
mepeRang
berperang
Proc.:Material
mepidato
berpidato
Proc.:Verbal
bagas Rimbe
dalam hutan
Circ.:Loc:Place
ma meselop
tanpa alas kaki.”
Circ.:Manner:Tool
dengen beRanine.
dengan berani”
Circ.:Manner:Quality
bali Rut Soekarno.
seperti Soekarno.”
Circ.:Manner:Comparison
d) Sebab/cause
(2.36a)
Mame
“Paman
Actor
(2.36b)
Aku
“Saya
Actor
ma Roh
tidak datang
Proc.:Material
nolong
menolong
Proc.:Material
(2.36c)
Aku
“Saya
Sayer/Penyampa
i
keRane mahaRun.
karena deman.”
Circ.:Cause:Reason
kau
kamu
Goal
demi mase depan.
demi masa depan.”
Circ.:Cause:Purpose
neRime
menerima
hadiah-e
hadiah itu
Proc.:Verbal
Verbiage/Maklumat
atas name lembaga.
atas
nama
lembaga.”
Circ.:Cause
e) Lingkungan/contingency
(2.37a)
De lot ketangkonen
“Jika terjadi percurian
Circ.:Contingecy:Condition (kondisi)
(2.37b)
Jamu
“Tamu
Actor
balik
pulang
Proc.:Material
tangkap
tangkap
Proc.:Material
penangkone.
pencurinya.”
Goal
ma ngateken.
tanpa pemberitahuan.”
Circ.:Contingecy:Cocession (konsesi)
Universitas Sumatera Utara
48
(2.37c)
Waktu Pak Bupati ma lot
“Sewaktu Pak Bupati
tidak ada
Circ.:Contingecy:Force
(desakan)
Pak Sekda
Pak Sekda
(adalah)
gancihne.
penggantinya.”
Pembermanfaat
: Recipient
Proc.:Rel.:Attr
ib.: Intensive
Attribute
f) Penyerta/accompaniment
Ada dua jenis sirkumstan penyerta, yakni: komitasi dan tambahan.
Komitasi adalah representasi proses di mana dua benda wujud dapat disatukan
sebagai dua unsur (Halliday, 2004:272).
Sebaliknya, tambahan adalah
representasi proses sebagai dua hal yang mana dua benda wujud berkongsi
partisipan yang sama, tetapi yang satu ditujukan untuk pembedaan.
(2.38a)
Dompet di
“Dompet itu
Goal/gol
(2.38b)
Manusie
“Manusia
Behaver
(2.38c)
Aku
“Saya
Actor
(2.38d)
Kiteh
“Mari
niisi
diisi
Proc.:Material
Rut sen koRtas.
dengan uang kertas”
Circ.:Accompaniment: komitasi positif
ma nggeluh
tidak bisa hidup
Proc.:Behavioral
nuan
menanam
Proc.:
Material
kite
kita
Actor
de malot oksigen.
tanpa oksigen.”
Circ.:Accompaniment: komitasi negative
sawit
sawit
goal
Mbace
baca
Proc.:
Material
galuh Rut pokat.
juga pisang dan pokat.”
Circ.:Accompaniment:
tambahan positif
buku
buku
goal
pade neRoi kalak.
daripada ngatain orang.”
Circ.:Accompaniment:
tambahan negatif
Universitas Sumatera Utara
49
g) Peran/role
Sirkumstan direalisasi oleh dua jenis: (1) samaran
dan (2) produk
(Halliday, 2004: 194). Samaran merepresentasikan makna menjadi, seperti dalam
sarana
atributif
atau
identifikasi
dalam
bentuk
sirkumstan,
dan
menghubungkannya dengan bentuk interogatif sebagai apa? Berbeda dengan
samaran, produk merupakan peran yang merepresentasikan makna menjadi.
Klausa berikut adalah contoh kedua jenis tersebut.
(2.39a)
Kalae
“Mereka
Part.: Actor
(2.39b)
Kalae
“Mereka
Part.: Actor
ngoRjai
mengerjai
Proc. Material
Matok
mematok
Proc. Material
tanohe
lahan itu
Part..:Goal
tanohe
lahan itu
Part..:Goal
sebagei penggaRap.
sebagai penggarap.)
Circ.:Role: samaran
jadi kaplingen.
menjadi kaplingan.”
Circ.:Role: produk
h) Masalah/matter
Sirkumstan masalah (Halliday, 2004:276) berhubungan denga proses
verbal dan sejajar dengan verbiage (maklumat).
(2.40)
Aku
“Saya
Part.:Saye
r
jelasken
menjelaskan
Proc. Verbal
tentang tanohku si nigaRap kelompok tani.
tentang lahan saya yang digarap kelompok tani.”
Circ.:Matter/masalah
i) Pandangan/angle
Sama halnya dengan sirkumstan masalah, sirkumstan pandangan juga
berhubungan dengan proses verbal. Hanya bedanya kalau sirkumstan masalah
Universitas Sumatera Utara
50
sejajar
dengan
maklumat,
sedangkan
pandangan/angle
sejajar
dengan
penutur/sayer.
(2.41)
MenuRut hakim
“Menurut hakim
Circ.Angle
ie
dia
(adalah)
Part.: Token/ Proc.
Rel.:
Petanda
Ident. Intens.
penangkone.
pencurinya.”
Part. Value/ Penanda
2.3.1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alasan Memilih Teori Linguistik Sistemik Fungsional
Penelitian ini menggunakan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)
sebagai landasan. Ada beberapa alasan menggunakan teori LSF, pertama data
yang dianalisis adalah GN dalam BA, merupakan kajian genre yang bertahap,
berorientasi pada tujuan dan dinamis sesuai model teoritis yang sudah ada
sebelumnya.
Yang kedua, LSF merupakan teori kebahasaan yang menganalisis bahasa
berdasarkan konteks sosial. Dengan kata lain, terjadinya genre nasihat dalam BA
merupakan konteks sosial yang terjadi karena sifat konstrual bahasa dan konteks
yang saling mempengaruhi.
Yang ketiga, LSF berpandangan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan
sistem lain (bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut, yang
bermakna dua konsep yakni (1) bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud
sebagai semiotik sosial dan (2) bahasa berkonstrual dengan konteks sosial.
Pengertian bahwa fenomena sosial wujud dalam sistem semiotik
mengimplemantasikan tiga unsur atau strata, yakni arti (discourse semantics),
bentuk
(lexicogrammar)
dan
ekspresi
(phonology/
graphology).
Arti
direalisasikan oleh bentuk dan seterusnya dikodekan oleh ekspresi. Dengan
demikian, bahasa dalam teori LSF memiliki tiga strata yakni arti, bentuk dan
Universitas Sumatera Utara
15
ekspresi. Sifat hubungan arti dan bentuk adalah alamiah (natural), sementara sifat
hubungan arti dan ekspresi adalah arbitrar.
Pandangan kedua LSF, bahwa bahasa berkonstrual dengan konteks sosial
karena teks terjadi ditentukan oleh konteks. Artinya teks adalah unit arti yang
wujud sebagai bunyi, kata, frasa, klausa, klausa kompleks, kalimat dan atau
paragraf.
2.2 Model-Model Analisis Genre
Beberapa model analisis genre dalam pendekatan LSF dan fungsional di
bawah ini, yaitu model Halliday, Hasan, Martin & Gregory dan Swales & Bathia.
Beberapa model yang pernah menerapkan analisis genre di Indonesia adalah Sinar
dan Saragih.
2.2.1 Model Halliday
Halliday (1978:34) menempatkan genre dalam ranah cara semiotis
situasional. Dengan demikian, Halliday secara khusus menempatkan genre pada
konteks situati. Bahasa adalah sumber untuk membentuk arti dan ekspresi.
Keduanya sangat terikat dengan konteks budaya (genre). Dengan demikian,
hubungan antara bahasa dan budaya dalam hal ini yang dimaksud adalah konteks
budaya dan secara langsung berhubungan dengan konteks situasi (register).
Konteks situasi terdekat dengan bahasa (teks) memiliki medan, pelibat dan sarana
diinstansiasikan
oleh
semantik
wacana,
selanjutnya
direalisasikan
oleh
leksikogramatika dan diekspresikan atau dikodekan oleh fonologi/grafologi.
Universitas Sumatera Utara
16
Ada tiga unsur yang menyebabkan terjadinya teks, yaitu budaya, situasi,
dan system. Dari ketiga unsur tersebut, terdapat dua jalur atau cara, yaitu (1)
realisasi & instansiasi dan (2) instansiasi & realisasi. Kedua cara tersebut berawal
dari budaya. Cara pertama dimulai dari budaya sebagai unsur konteks sosial,
secara langsung diinstansiasikan oleh konteks situasi dan konteks situasi
direalisasikan oleh teks. Cara yang kedua budaya direalisasikan oleh system dan
diinstansiasikan oleh teks. Kedua cara tersebut dapat dilihat pada figura berikut.
the system (potensial)
the instance
context in which
language functions
CULTURE
(cultural
domain)
Language
SYSTEM
Note:
SITUATION
(situation
type)
TEXT
left – right = instantiation [cf. climate
weather]
Top – bottom = realization [ as, within language,
Lexicogrammar phonology ]
Figura 2.1: Bahasa dan Konteks Sosial (Halliday, 1991: 8)
2.2.2 Model Hasan
Berbeda dengan Halliday, Hasan berpendapat bahwa genre dan register
adalah dua unsur konteks yang bisa saling dipertukarkan dan kedua istilah
tersebut merujuk kepada jenis teks yang dihasilkan dalam setiap konteks situasi
pada satu sistem semiotik (Hasan,1978:228-246, 1996:191-242).
Baik genre
Universitas Sumatera Utara
17
maupun register keduanya menyatu karena menjelaskan dari mana datangnya
genre dan keduanya dapat dipahami secara linguistik.
2.2.3 Model Martin
Martin memiliki pandangan lebih luas lagi dengan pendapat bahwa genre
adalah kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi tujuan yang di dalamnya si
pembicara sebagai anggota (1984:25). Genre dideskripsikan sebagai unsur
konteks sosial. Ada tiga unsur konteks sosial. Dari ketiga konteks itu, genre
berada pada tahap kedua, yakni setelah Ideologi. Secara berturut-turut dari strata
yang paling abstrak ke strata yang paling kongkrit tersusun ideologi (ideology),
konteks budaya (genre), dan konteks situasi (register). Martin (1984) memberi
uraian tentang genre sebagai berikut. Pertama, genre adalah suatu kegiatan yang
berorientasi pada tujuan. Kedua, tujuan khusus pada dasar kemaslahatan, dan
ketiga kegiatan tersebut dicapai secara bertahap.
Tahapan-tahapan yang dicapai merupakan kegiatan proses semiotis demi
tercapainya tujuan komunikasi yang disepakati melalui bahasa. Setiap genre
berciri secara spesifik. Ciri tersebut dapat dilihat dari struktur teks atau struktur
generik yang dimilikinya. Lebih jelasnya, struktur generik narasi berbeda dengan
struktur generik eksposisi. Demikian juga struktur generik eksposisi berbeda
dengan struktur generik laporan dan sterusnya.
Beberpa penelitian yang telah dilakukan oleh Martin, antara lain, linguistik
sistemik fungsional, tata bahasa sistemik fungsional, wacana semantik, konteks
situasi, genre, multimodalitas, dan kritik analisis wacana dalam bahasa Inggris
Universitas Sumatera Utara
18
dan Tagalog khususnya dalam bidang pengajaran linguistik, forensik linguistik,
dan semiotik sosial.
Kontribusi Martin yang menonjol tentang genre adalah pendekatan
berbasis genre terhadap pengajaran bahasa, yakni ”Genre pedagogy”. Genre
Pedagogy berdasar pada bimbingan melalui interaksi dalam konteks pengalaman
yang telah dipahami bersama. Penelitian ini terinsfirasi atas penelitian Halliday
sebelumnya, yakni “Perkembangan Bahasa Anak”.
Ideology
Genre
Register
Language
Figura 2.2: Hubungan Bahasa dengan Semiotik Konotatif– Ideologi, Budaya, dan
Situasi ( Martin, 1993:158)
2.2.4 Model Swales dan Bathia
Swales berpendapat tentang genre sebagai struktur teks akademik yang
dikomunikasikan dan dipahami semua anggota atau pelibat kalangan professional
dan komunitas ahli akademik dan terjadi secara teratur. Pada umumnya Genre
terstruktur atas kesepahaman pemakainya dan menjadi pemicu pemunculan
Universitas Sumatera Utara
19
kendala. Namun, kendala tersebut sering dijadikan sebagai medium eksploitasi
para ahli terhadap komunitas masyarakat pengguna untuk memperoleh
kepentingan pribadi / kelompok dengan mengatasnamakan kepentingan sosial.
Swales dalam Bathia (1994:13) mengatakan: “Genre is a recognizable
communicative event characterized by a set of communicative purposes
identified and mutually understood by the members of the professional or
academic community in which it regularly occurs. Most often it is highly
structured and conventionalized with constraints on allowable
contributions in terms of their intent, positioning, form and functional
value. These constraints, however, are often exploited by the expert
members of the discourse community to achieve private intentions within
the framework of socially recognized purposes.”
Sebagai pakar linguistik khususnya di bidang genre, Swales terkenal
dengan karya tulisnya seperti analisis genre di bidang retorika, analisis wacana,
bahasa Inggris akademik dan ilmu informasi.
Swales dan Bathia merupakan pakar genre dalam menganalisis text
akademik, mencakupi beberapa aspek, antara lain:
1. Genre adalah kegiatan yang dikenal bersama-sama dalam tujuan komunikasi.
Walaupun ada ciri lain terdapat pada genre, seperti isi, bentuk, hajat
pendengar, medium atau channel, namun tetap ada tujuan komunikasinya. Atas
dasar itulah maka terbentuknya struktur generik dalam genre. Walaupun
perbedaan genre dan sub-genre selalu tidak dapat dibedakan, namun tujuan
komunikatifnya bisa dijadikan kriteria untuk membedakan genre dan subgenre.
2. Genre selalu memiliki struktur dan menjadi kegiatan konvensional. Biasanya
para pakar dipercayai untuk memberikan pengakuan, bukan saja pada tujuan
kimunikasinya tapi juga pada struktur generik yang dipakai di masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
20
3. Bermacam
genre
menampilkan
kendala-kendala
dalam
pemberian
kontribusinya diantaranya dalam maksud atau tujuan, posisi, bentuk dan nilai
fungsi. Ini menunjukkan bahwa penulis memiliki kebebasan dalam kreasi teks,
namun harus tetap menyesuaikan atau mengikuti standar aturan dalam struktur
genre tersebut.
Bathia (1994:10) menampilkan beberapa langkah dalam pelaksanaan
analisis genre sebagai berikut:
1. Mengumpulkan contoh-contoh genre yang akan dianalisis.
2. Menjadikan beberapa genre sebagai materi investigasi.
3. Mempertimbangkan apa-apa yang telah diketahui tentang genre-genre
yang telah dikumpulkan itu termasuk konteks situasi terjadinya teks.
4. Menentukan situasi (dalam hal apa) teks terjadi. Untuk menambah
wawasan tentang proses ini perlu ada panduan buku, pedoman dan
lain-lain seperti informan atau nara sumber.
5. Menentukan analisis apa saja yang telah dilakukan, antara lain
penelitian artikel, atau buku-buku dalam topik itu.
6. Memperjelas analisis dengan cara memastikan siapa penulis, audien,
dan hubungan mereka dengan teks; yakni siapa penulis, pembaca dan
pemakai.
7. Mempertimbangkan bagaimana teks diorganisir, disajikan dan fiturfitur linguistik apa saja terlibat dalam realisasinya.
8. Menentukan siapa saja yang membutuhkan dan berpartisipasi dalam
genre tersebut.
Universitas Sumatera Utara
21
Dalam konteks wacana, (Bhatia, 1994:10) harus ada tiga hal yang harus
diperhatikan, yakni (1) fitur bahasa yang digunakan dalam realisasi, (2) wacana
yang melatari interaksi antara penulis dan pembaca atau pemicara dan pendengar
dan (3) atensi yang ditetapkan dalam struktur wacana itu. Dalam pembelajaran
bahasa misalnya, ada dua aspek yang harus dipertimbangkan, yakni (1) kurangnya
informasi rasionalitas yang mendasari bermacam-macam jenis wacana. Dengan
kata lain, sosialisasi wacana belum didukung sepenuhnya oleh lingkungan
termasuk guru-guru di sekoleh, dan (2) kurangnya perlakuan (treatment) atas
wacana (teks) oleh siswa di dalam maupun di luar kelas.
2.2.5 Model Christie
Christie berpendapat bahwa genre memiliki struktur bahasa untuk
merealisasikan arti dalam komunikasi. Struktur tersebut terpola secara spesifik
berdasarkan hubungannnya dengan konteks sosial si pemakai genre itu. Dengan
demikian, LSF memberi kontribusi terhadap genre bagaimana genre itu dipahami
dan diaplikasikan dalam analisis teks dan pengajaran bahasa (Christie, 1997:45).
“Sistemik” merujuk pada struktur atau pengorganisasian bahasa agar bisa
digunakan dalam konteks sosial. Sistemik juga merujuk pada sistem pilihan bagi
pemakai bahasa dalam merealisasikan arti. Konsep realisasi penting dalam LSF
karena konsep tersebut menjelaskan secara dinamis cara-cara bagaimana bahasa
merealisasikan tujuan sosial berdasarkan konteks sebagai interaksi bahasa.
2.2.6 Model Gregory
Gregory dan Carrol (1978) mendefinisikan genre sebagai susunan atau
pola variasi bahasa yang berhubungan dengan intensi sosial si pembicara. Gregory
Universitas Sumatera Utara
22
awalnya memberlakukan nilai genre pada variabel tenor sebagai kategori konteks
pada variasi bahasa.
2.2.7 Model Saragih
Genre secara rinci berfungsi menetapkan konfigurasi isi (field), pelibat
(tenor) dan cara (mode). Saragih memberi contoh khotbah yang membicarakan
ajaran agama (isi), yang melibatkan khatib atau pendeta dan jemaah atau jemaat
(pelibat) dengan cara interaksi satu arah saja (Saragih, 2009: 200). Berbeda
dengan khotbah, pengajian atau penelaahan kitab membicarakan ajaran agama
(isi) yang melibatkan ustad atau pertua dan jemaah atau jemaat (pelibat) dengan
interaksi dua arah (cara). Dengan demikian, jelaslah bahwa genre adalah dasar
terciptanya register. Register selanjutnya memakai semiotik sosial untuk
merealisasikannya. Untuk membedakan secara jelas, figura berikut (Saragih,
2009:3) dapat memberikan batas dan lintas bahasa secara sistemik. Model yang
dikembangkan dengan memadukan konsep Martin (1992) sebagai berikut:
--------------------------------------------------------------------------------------Ideologi
------------------------------------------------------------Budaya
------------------------------------------Situasi
Semantik
Tata
Bahasa
Fonologi/
Grafologi/
Isyarat
Semiotik Konotatif
Semiotik Denotatif
Figura 2.3: Model yang dikembangkan dengan memadukan konsep Martin (1992)
Universitas Sumatera Utara
23
2.2.8 Model Sinar
Sinar (2008:68-69) menjelaskan bahwa genre adalah produk budaya.
Dengan kata lain, bahasa adalah bagian budaya, dengan demikian genre adalah
ragam bahasa sebagai produk dari budaya masyarakat tertentu. Jelas kelihatan
bahwa bahasa dan genre
sama-sama berkembang, berkonstrual dan sangat
dinamis.
Sinar (2002: 156-157) menjelaskan bahwa semiotik bahasa berada dalam
konteks sosial dan konteks sosial berada dalam agama yang merupakan semiotik
alam semesta.
Sinar (2002:156-157) memiliki model secara spesifik berbeda dengan
yang lain dan menyatakan bahwa secara konseptual semiotik mayor bahasa berada
dalam kontkes dien, ideologi, budaya, situasi dan bahasa. Semiotik kontekstual
terfokus pada ‘fasa’ dan lokasinya dalam ranah semiotik budaya berada pada
konteks situasi, secara spesifik berada pada ranah dua tipe, sedangkan pada
tingkat semiotik tekstual terfokus pada eksperiensial dan lokasinya berada pada
ranah semantik.
Discourse structuring
Substantiation
Conclusion
Universitas Evaluation
Sumatera Utara
Consent
24
Dien
Ideology
Culture
Situasion (discourse)
Dialectal variation
functional variation
Register
Social
Geographycal
Tenor
Temporal
Field
Mode
Phase
Tristratal Language
Discourse
Semantics
Ideational:
Experiential
Logical
Interpersonal
Textual
Lexicogrammar
Phonology/
Graphology
Transitivity
Interdependency
Mood/Modality
Theme/Information
Being/having
Doing/happening
Sensing
Behaving
Saying
Existing
Relational
Material
Mental
Behavior
Verbal
Existensis
Figura 2.4: Hubungan Semiotik Bahasa dalam Konteks Sosial: Fase dan Eksperiensial
(Sinar, 2002: 157)
Universitas Sumatera Utara
25
2.3 Kerangka Teoretis LSF
Kajian bahasa atau linguistik, (Halliday, 1994:xvii) dan Gerot (2001:7)
didasarkan pada asumsi yang dijadikan sebagai dasar untuk mengkaji bahasa
tersebut. Dalam penelitian ini, kajian yang digunakan adalah LSF. Teori itu
beranggapan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan sistem bentuk untuk
merealisasikan arti tersebut. Dengan demikian bahasa merupakan sistem arti dan
sistem lain (yakni sistem bentuk /wording dan ekspresi/ phonology/ graphology)
untuk merealisasikan arti tersebut berdasarkan konteks sosial.
LSF diperkenalkan oleh M.A.K. Halliday pada awal 1960-an (Halliday,
2003:437). Perkembangannya sampai saat ini telah melampaui perkembangan
aliran struktural yang mencapai zaman keemasan oleh Noam Chomsky dan
kawan-kawan pendahulunya seperti Modistae, Bloomfield, dan Pike. Halliday dan
para pakar lainnya telah menerapkan teori ini untuk mengkaji berbagai aspek
kebahasaan baik dari system paradigmatik dan sintagmatik dalam beberapa
bahasa, seperti bahasa Jepang, Mandarin, Hindi, Tagalog, Prancis, Persia, dan
Arab (Saragih, 2005:i).
Konsep yang dibangun dalam LSF adalah bahwa bahasa merupakan
fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial dan bahasa merupakan teks
yang berkonstrual dengan konteks sosial (Halliday, 2005:175). Dengan demikian
setidaknya ada dua konsep yang perlu dijelaskan dalam pengertian ini.
Konsep pertama adalah bahasa merupakan semiotik umum yang memiliki
dua unsur, yakni arti dan ekspresi (Halliday, 2005:293). Namun, berbeda dengan
semiotik umum semiotik bahasa adalah semiotik sosial yang khusus. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
26
semiotik sosial, bahasa juga memiliki unsur lain, yakni: bentuk. Dengan demikian,
sebagai semiotik sosial bahasa memiliki tiga unsur: arti dalam tataran semantik,
bentuk dalam tataran leksikogramatika, dan ekspresi dalam tataran fonologi dan
atau grafologi. Hubungan antara ketiga unsur itu disebut ‘hubungan realisasi’. Arti
direalisasikan oleh bentuk dan bentuk direalisasikan dalam ekspresi.
LSF memandang bahasa merupakan sumber dalam membuat arti (Gerot,
2001:6). LSF berusaha menjelaskan bagaimana bahasa digunakan sesungguhnya
dalam kenyataan dan terfokus pada teks dan konteks sehingga teks dipahami
berbeda dengan teori formal. Dengan demikian LSF tidak hanya membahas
struktur teks tapi juga bagaimana struktur teks membentuk arti dengan daya
konstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks.
2.3.1 Metafungsi Bahasa
Dalam teori LSF, dinyatakan bahwa metafungsi bahasa terbagi tiga fungsi
yaitu (1) fungsi ideasional, (2) fungsi interpersonal, dan (3) fungsi tekstual.
Pembahasan berikut adalah pembahasan fungsi-fungsi tersebut (Sinar, 2012:27).
2.3.1.1 Fungsi Ideasional
Fungsi ideasional adalah fungsi bahasa untuk memaparkan pengalaman.
LSF berasumsi bahwa fungsi sama dengan makna.
Makna ideasional adalah makna tentang kenyataan atau fakta suatu benda
baik secara konkrit atau abstrak, benda mati atau hidup (Gerot, 2001:12). Makna
ini direalisasikan oleh system leksikogrammatika khususnya system transitivitas
dan hubungan makna logis melalui partisipan, proses dan sirkumstan.
Universitas Sumatera Utara
27
Selanjutnya makna ideasional menjelaskan dua hal yaitu pengalaman,
apakah pengalaman itu unik atau tidak, apakah pengalaman itu linguistik atau
non-linguistik, dan hubungan logis. Bagi MA, pengalaman non-linguistik bisa
berupa jatuh dari tangga, dikejar angsa, mengejar pencuri, dan lain-lain.
Pengalaman non-linguistik harus dijadikan menjadi pengalam linguistik agar bisa
dipahami orang lain.
Untuk menjadikan pengalaman non-linguistik menjadi pengalaman
linguistik, diperlukan tiga unsur, yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan.
Dalam perspektif LSF, bahasa terwujud untuk memenuhi kebutuhan
manusia (Halliday, 2004:170), karena bahasa dipergunakan di manapun manusia
berada. Bahkan ketika manusia meneroka menggunakan bahasa. Fungsi yang
disampaikan bahasa dalam konteks ini adalah fungsi eksperiensial. Ini berarti
bahwa struktur bahasa ditentukan oleh fungsi apa yang dilakukan bahasa (atau
lebih tepat fungsi yang ingin dicapai manusia dengan menggunakan bahasa) untuk
memenuhi kebutuhan manusia dalam masyarakat. Terdapat dua jenis sistem dalam
ideasional, yaitu sistem fungsi eksperiensial dan logikal.
2.3.1.1.1 Fungsi Eksperiensial dan Elemennya
Dalam satu klausa, sebagai representasi pengalaman, terjadi konfigurasi
yang melibatkan elemen-elemen pendukung dalam realisasi. Elemen tersebut
terdiri atas tiga unsur, yaitu proses (process), partisipan (participant), dan
sirkumstan
(circumstance).
Halliday
(2004:169)
mengatakan,
“And
experientially, the clause construes a quantum of change as a figure, or
configuration of process, participants involved in it and any attendant
Universitas Sumatera Utara
28
circumstances.” Proses menunjuk kepada aksi, peristiwa, atau keadaan yang
direalisasikan oleh verba. Proses menunjuk kepada kegiatan atau aktivitas yang
terjadi dalam klausa yang menurut tata bahasa tradisional dan formal disebut kata
kerja atau verba. Partisipan dicirikan dalam proses direalisasikan oleh kata benda
atau frasa kata benda. Partisipan merupakan orang atau benda yang terbabit dalam
suatu proses.
Sirkumstan adalah lingkungan tempat proses yang melibatkan partisipan
terjadi (Halliday, 1994: 107).
Sirkumstan merupakan unsur yang berkaitan
dengan proses, khususnya direalisasikan oleh frasa ajektiva atau frasa preposisi.
Sirkumstan adalah lingkungan tempat terjadinya proses yang melibatkan
partisipan, mencakup rentang, lokasi, cara, lingkungan, peryerta, peran, sebab
masalah, dan sudut pandang. Inti dari satu pengalaman dalam klausa adalah
proses.
Dikatakan demikian karena proses menentukan jumlah dan kategori
partisipan (Haliday, 1994: 168-172; Martin, 1992: 10). Dengan kata lain, proses
(pemilik valensi) menentukan partisipan (secara langsung) dan sirkumstan (secara
tidak langsung) dengan tingkat probabilitas; misalnya proses material dan mental
masing-masing lebih sering muncul dengan sirkumstan lokasi dan cara.
Berapa jumlah partisipan dalam satu klausa ditentukan oleh proses karena
inti (nucleus) pengalaman dalam satu klausa itu berada pada proses. Dengan dasar
nukleus ini, proses dilabeli sesuai dengan jenis proses itu.
(2.1)
Silihne ndayeken
ipar
menjual
Iparnya menjual
Aktor
Proses: material
Rumah-e
rumah
rumah itu
Gol
bulan si Rohnou.
bulan depan
bulan depan
Sirkumstan
Universitas Sumatera Utara
29
Dalam klausa (2.1), menjual adalah proses, iparnya dan rumah itu adalah
partisipan dan bulan depan adalah sirkumstan. Secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa klausa (2.1) itu berisi pengalaman yang menyatakan bahwa satu proses
terjadi, yakni menjual dan proses itu melibatkan dua partisipan iparnya dan
rumah itu dan proses yang melibatkan kedua partsipan itu terjadi dalam lingkup
waktu bulan depan.
1) Proses
Proses adalah arus (flow) suatu aksi, peristiwa, atau keadaan yang
direalisasikan oleh verba atau kelompok verba (Halliday, 2004: 170). Proses
adalah fungsi yang menunjukkan kegiatan, keadaan, atau kondisi (Halliday, 2004:
171). Proses terdiri atas proses material, mental, relasional, tingkah laku, verbal,
dan wujud. Seperti pada representasi pengalaman yang terdapat dalam klausa (2.1)
masih bersifat umum. Berdasarkan sifat semantik dan sintaksisnya, proses masih
dapat dirinci. Secara universal, bahasa memiliki unsur-unsur sama dengan bahasa
lain. Dalam bahasa Inggris, proses ada enam jenis (Matthiessen, 1992: 176).
Keenam jenis pengalaman itu terbagi dua, yakni tiga pengalaman utama (primary
process) yang terdiri atas pengalaman material, mental, dan relasional, dan tiga
pengalaman pelengkap (secondary process) yang terdiri atas pengalaman verbal,
perilaku, dan wujud. Kriteria pembagian keenam proses itu adalah semantik dan
sintaksis. Secara umum, keenam jenis proses itu sesuai dengan jenis pengalaman
penutur bahasa lain termasuk jenis pengalaman oleh penutur bahasa Indonesia dan
BA. Namun, keunikan setiap bahasa tetap ada. Secara khusus terdapat perbedaan
antara konfigurasi pengalaman dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan BA.
Universitas Sumatera Utara
30
Dengan kata lain, masing-masing konfigurasi pengalaman dalam bahasa Inggris,
bahasa Indonesia dan BA berbeda.
Halliday dalam Gerot (2001: 54) memiliki perbedaan sedikit tentang jenis
proses. Beliau membagi proses menjadi tujuh jenis. Selain enam jenis yang telah
dijelaskan diatas, beliau menambah satu jenis lagi, yakni proses meteorology
(cuaca), seperti terdapat pada klausa berikut.
(2.2)
Cuaca panas. (It ‘s hot.)
Klausa (2.2) sangat semantis karena secara kasaf mata tidak terlihat
proses. Kalaupun dimuculkan, bisa seperti.
(2.3)
Cuaca (adalah) panas.
Klausa (2.3) memperlihatkan seolah-olah proses adalah termasuk jenis
relasional. Padahal proses tersebut adalah cuaca.
a) Proses Material
Proses material adalah proses ‘kegiatan’ ‘kreasi’ dan ‘kejadian’ (Halliday,
2004:172, Matthiessen, 1992: 191). Proses material merupakan aktivitas atau
kegiatan yang menyangkut fisik dan nyata dilakukan pelakunya. Proses material
adalah proses melakukan sesuatu (Gerot, 2001: 55). Proses perlakuan yang
melibatkan jasmaniah, fisik, atau material. Karena sifatnya yang demikian Proses
material dapat diamati dengan indera.
Proses material menunjukkan bahwa satu entitas melakukan satu kegiatan
atau aktivitas dan kegiatan itu dapat diteruskan atau dikenakan ke maujud lain.
Universitas Sumatera Utara
31
Proses ini mencakup semua kegiatan yang terjadi di luar diri manusia dan bersifat
fisik seperti terdapat pada klausa berikut.
(2.4)
Ninik engguh
nabah
‘Kakek
menebang
Aktor
Proses: material
galuh e
bone.
pisang itu
semalam.’
Gol
Sirkumstan
Proses material dapat ditandai dari bentuk kala sedang (the Progressive
Tense). Kala sedang menunjukkan bahwa perlakuan (process) sedang terjadi
seperti terdapat pada klausa berikut.
(2.5)
Ame
Ibu
Aktor
sedang medakan
sedang menanak
Proses: material
nasi
Gol
ni dapuR.
di dapur.
Sirkumstan
Khusus untuk proses material, partisipan yang terlibat dalam satu proses
itu dilabeli pelaku (actor) sebagai sumber atau pembuat aktivitas dan gol (goal)
sebagai maujud yang kepadanya proses ditujukan atau yang dikenai proses.
Dengan demikian, klausa Harfin menulis surat di ruang belajar dapat dianalisis
sebagai berikut.
(2.6)
Harfin
Harfin
Aktor
nulis
menulis
Proses: material
suRat
surat
Gol
ni Ruang belajaR.
di ruang belajar.
Sirkumstan
b) Proses Mental
Proses mental adalah proses mengindera (Halliday, 2004:197). Baik
manusia atau mirip dengan manusia terlibat dalam proses menunjukkan kegiatan
atau aktivitas yang menyangkut inderawi, seperti kognisi (cognition), emosi
/afeksi (affection), persepsi (perception) dan keinginan (desire), yang terjadi di
dalam diri manusia, seperti mengetahui, menyenangi, merasa dan menginginkan.
Universitas Sumatera Utara
32
Perlu dijelaskan bahwa Gerot hanya membagi proses mental menjadi tiga: afeksi
atau
reaksi
(perasaan/feeling),
kognisi
(pikiran/thinking),
dan
persepsi
(perceiving through the five senses). Proses mental dibagi menjadi empat jenis:
kognisi, afeksi, persepsi dan keinginan Halliday, 2004:172). Selanjutnya proses
mental dan material dapat dibedakan berdasarkan hasil perbuatan yang dihasilkan
oleh kedua proses tersebut. Proses material terjadi di luar diri manusia sedangkan
mental terjadi di dalam (inside) diri manusia dan mengenai mental atau
psychological aspects kehidupan. Secara semantik, proses mental menyangkut
pelaku manusia saja atau maujud lain yang dianggap atau berperilaku manusia,
seperti tingkah laku dalam dongeng yang mengisahkan bahwa kancil dapat
bercerita kepada buaya atau burung pungguk merindukan bulan.
Perbedaan proses mental dan material mencakupi kriteria semantik dan
sintaksis (Halliday, 2004:199).
1) Proses mental menyangkut manusia dan paling sedikit satu partisipan
manusia, seperti klausa Uan sikel soRpe labaR. “Ayah kepingin makanan
pakis cincang”. Yang memaparkan pengalaman mental adalah sikel
(kepingin) dan partisipan uan (ayah). Berbeda dengan klausa dengan proses
mental, klausa dengan proses material dapat melibatkan partisipan bukan
manusia, seperti dalam klausa Tsunami ni Banda Aceh tanggal 26 Desember
2004 ngeRusak mehayak Rumah Rut fasilitas umum. “Tsunami di Banda Aceh
tanggal 26 Desember 2004 merusak sejumlah rumah dan fasilitas umum.”
Yang memapar penglaman material adalah ngeRusak (merusak) dan
partisipan Tsunami dan sejumlah rumah dan fasilitas umum. Tshunami dan
Universitas Sumatera Utara
33
rumah dan fasilitas umum bukan manusia. Contoh lain: Sukhoi menabRak
deleng Salak Rut newasken keRine penumpangne tanggal 9 Mei 2012.
“Sukhou nabrak gunung Salak dan menewaskan semua penumpang tanggal 9
Mei 2012.” Yang memapar pengalaman material adalah nabRak (menabrak)
dan newasken (menewaskan). Gunung Salak dan semua penumpang adalah
partisipan. Kedua partisipan (actors), yakni Tsunami dan Sukhoi bukan
manusia.
2) Proses mental dapat diikuti proyeksi, sedangkan proses material tidak dapat.
Klausa (2.7a) dan (2.7b) menunjukkan keberterimaan antara kedua jenis
proses tersebut.
(2.7a)
Ie mepikeR bahwe ie ngelaR Rutung be
“ Dia berpikir bahwa dia mengambil buah durian dulu.”
(2.7b)
*Ie medalan bahwe ie ngelaR Rutung be.
“Dia berjalan bahwa dia mengambil buah durian dulu.”
3) Proses mental tidak dapat diikuti oleh aspek progressive(sedang), proses
material dapat (Halliday, 2004:206). Contoh (2.8a), (2.8b) dan (2.8c) dapat
menjelaskan perbedaan tersebut.
(2.8a)
* Uan sedang metoh natemu.
“*Ayah sedang mengetahui niatmu.”
(2.8b)
Uan metoh natemu.
“Ayah mengetahui niatmu”.
(2.8c)
Mame sedang mahani Rumah.
“Paman sedang membangun rumah.”
Universitas Sumatera Utara
34
4) Proses mental merupakan proses dua hala, sedangkan proses material hanya
memiliki satu hala saja (Halliday, 2004:201). Yang dimaksud dengan dua
hala adalah klausa dengan dua partisipan.
Selanjutnya, letak atau posisi
kedua partisipan dapat dipertukarkan dan proses mental dalam klausa itu
diganti atau disubsitusi dengan yang sejenis. Pertukaran itu hanya sebatas
bentuk (lexicogrammar) tidak mengubah arti (semantics) dan status kalimat
aktif. Dalam klausa mental, kedua partisipan dalam masing-masing klausa
dapat bertukar posisi dengan arti bersamaan. Sebaliknya, klausa material
tidak memiliki sifat pembalikan seperti klausa mental. Dalam (2.9a) dan
(2.9b) proses menyukai dan menyenangkan menggambarkan ciri dua hala dari
proses mental.
Demikian juga dalam (2.10a) dan (2.10b) takut dan
menakutkan merupakan realisasi dua hala.
(2.9a)
Mame get ate be manu’e.
“Paman menyukai ayam itu.”
(2.9b)
Manu’e nenangken ate mame
“Ayam itu menyenangkan paman”.
(2.10a)
Aku mbiaR be kejadinne e
“Saya takut peristiwa itu.”
(2.10b)
Kejadinen e ncebiaRi aku.
“Peritiwa itu menakuti saya.
Dalam pelabelan, proses mental berbeda dengan proses lainnya seperti
proses material. Kalau proses material partisipan yang terlibat dalam proses
disebut actor dan yang dikenai proses material disebut goal. Sedangkan partisipan
Universitas Sumatera Utara
35
yang terlibat dalam proses mental disebut pengindra (senser) dan partisipan
kedua yang dikenai proses dilabeli fenomenon (phenomenon). Dalam (2.11) dan
(2.12) berikut klausa mental dianalisis dengan unsur pengalaman mencakup
pengindra, proses, fenomenon dan sirkumstan.
(2.11)
Abangku
menyenangi pemugaran Balai Adat
Pengindra Proses: mental Fenomenon
(2.12)
Saya
mengetahui
Pengindra Proses: mental
berita itu
Fenomenon
tahun depan.
Sirkumstan
semalam.
Sirkumstan
c) Proses Relasional
Proses relasional adalah proses kerja yang menunjukkan hubungan
intensitas (yang mengandung pengertian A “adalah” B), sirkumstan (yang
mengandung pengertian A “pada/di dalam” B), dan milik (yang mengadung
pengertian A “mempunyai” B) (Halliday, 2004:211).
Proses relasional adalah proses yang menghubungkan satu entitas dengan
maujud atau lingkungan lain di dalam hubungan intensif, sirkumstan, atau
kepemilikan dan dengan cara (mode) identifikasi atau atribut (Halliday, 2004:
216). Adanya hubungan “A adalah B, A pada B dan A mempunyai B”, maka ada
dua jenis yang menyangkut intensitas tersebut: (a) Attributive (Carrier dan
Attribute) dan (b) Identifying (Token and Value) (Gerot, 2001:68). Secara simultan
setiap klausa yang mengandung proses relasional memiliki makna Attributive atau
Identifying secara bersamaan apakah Intensive, Possessive atau Circumstantial.
Dalam (2.13) hubungan intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan
entitas lainnya sebagai: Attributive:Intensive, seperti:
Universitas Sumatera Utara
36
(2.13)
Mamene
Pamannya
Carrier
(adalah)
Attributive:Intensive
tenteRe.
tentara
Attribute.
Keterkaitan bersama dapat dilihat dalam (2.13), dimana jenis (Attributive)
dan entitas (Intensive) memberi ciri terhadap proses relasional. Dengan demikian,
ada enam klausa relasional yang bisa dimunculkan, yakni: Atributive: intensive,
Attributive: possessive, Attributive: circumstantial, Identifying: intensive,
Identifying: possessive, dan Identifying: circumstantial. Dalam (2.14) -- (2.19),
masing-masing klausa secara berurutan sebagai berikut.
(2.14)
Ie
“Dia
Carrier
(adalah)
Attributive:intensive
(2.15)
Ie
“Dia
Carrier
empung
Punya
Attributive:possessive
(2.16)
Ie
“Dia
Carrier
(adalah)
Attributive:circumstantial
(2.17)
Husin edime
Husin itulah
Petanda/Token
(2.18)
Rumah edi
Rumah itu
Token
guRu.
guru”
Attribute
Rumah mbaRu.
rumah baru”
Attribute
ni sebelahku
di sebelah saya”
Attribute
(adalah)
Identifying: intensive
(adalah)
Identifying: possessive
guRune.
gurunya
Nilai/Value
ie empungne
punya dia
Value
Universitas Sumatera Utara
37
(2.19)
Rumahne
Rumahnya (adalah)
Token
Identifying: circumstantial
ni sebelah Rumahku.
di sebelah rumah saya
Value
Di dalam bahasa Inggris, proses relasional yang lazim adalah be (is, am,
are, was, were, have been, has been, will be, can be, must be, ought to be, needn’t
be, have to be, should be) (Halliday, 2004: 211). Setara dengan itu, di dalam
bahasa Indonesia proses relasional direalisasikan oleh verba, seperti adalah,
menjadi, merupakan, kelihatan, berharga, bernilai, kedengaran, terdengar,
menunjukkan, menandakan, memainkan, mempunyai, memiliki, dll. (Saragih,
2009:32).
Dalam klausa relasional yang relatif panjang dan terdiri atas beberapa
klausa (klausa kompleks), seperti dalam (2.20), pemakaian adalah menjadi
keharusan. Berapa panjang satu partisipan pada tingkat nomina juga relatif pada
situasi tertentu. Paling tidak satu patokan yang dapat digunakan adalah jika
konstruksi partisipan dalam klausa relasinal dapat menggangu pengertian suatu
klausa pemakaian proses adalah merupakan keharusan (Halliday, 2004: 247).
(2.20)
Lelaki yang datang ke rumah saya dengan mengendarai mobil Taruna
semalam sore adalah seorang dokter.
Jika ketiga jenis poses relasional dan kedua modenya diklasifikasi silang,
enam jenis proses relasional yang lebih rinci dihasilkan seperti diringkas di dalam
bagan berikut.
TABEL 2.1: TIPE KLAUSA RELASIONAL
Mode
Jenis
Identifikasi
Atribut
Universitas Sumatera Utara
38
Intensif
Ibu kota Indonesia Jakarta.
Adiknya dokter.
Sirkumstan
Kepemilika
n
Bulan kelahiranku Januari.
Ayahnya di Jakarta.
Rumah itu satu-satunya milik Pamanku mempunyai dua
pamanku.
rumah.
Secara sistemik, keenam jenis proses relasional tersebut dapat diringkas
sebagai berikut.
1) Proses: relasional: intensif: identifikasi (Khalidah (adalah) guru kelas kami.)
2) Proses: relasional: intensif: atribut (Khalidah (adalah) guru.)
3) Proses: relasional: sirkumstan: identifikasi (Mei (adalah) bulan kelahiranku.)
4) Proses: relasional: sirkumstan: atribut (Adikku (adalah) di Kutacane.)
5) Proses: relasional: kepemilikan: identifikasi. (Tanah ini (adalah) satu-satunya
pusaka ayahku.
6) Proses: relasional: kepemilikan: atribut (Harfin punya gitar baru.)
Partisipan dalam proses relasional: identifikasi dilabeli tanda (token) dan
nilai (value) (Halliday, 2004: 231). Tanda merupakan label partisipan yang
diidentifikasi dan nilai menjadi label entitas lain yang mengidentifikasi tanda.
Dalam proses relasional atribut, penyandang (carrier) digunakan untuk
partisipan yang memiliki atribut atau sifat dan atribut (attribute) digunakan untuk
melabeli entitas atau sifat yang mengacu kepada penyandang. Berbeda dengan
kedua
jenis
proses
relasional
tersebut,
proses
relasional
kepemilikan
menggunakan pemilik (possessor) untuk entitas yang memiliki dan milik
(possessed) untuk entitas yang dimiliki partisipan pertama.
Universitas Sumatera Utara
39
Attributive: Carrier, Attribute
Identifying: Token, Value
Proses Relasional
Intensive
Pessessive
Circumstantial
Figura 2.5 Jejaring Proses Relasional Adaptasi dari Gerot, 2001:68)
d) Proses Tingkah Laku
Proses tingkah laku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan
fisiologis yang menyatakan tingkah laku fisik manusia (Matthiessen, 1992: 202).
Proses tingkah laku adalah proses gabungan fisiologis dan psikologis manusia
dalam tingkah laku, seperti bernapas, bermimpi, ngorok, senyum, tersedak,
melihat, memandang, menyimak, dan mempertimbangkan (Gerot, 2001: 60).
Secara semantik, kategori proses tingkah laku terletak antara proses material dan
mental. Implikasinya adalah sebahagian proses tingkah laku memiliki sifat proses
material dan sebahagian lagi memiliki ciri proses mental (Matthiessen, 1992:
202). Yang termasuk proses tingkah laku adalah verba muntah, berbatuk, pingsan,
menguap, sendawa, tidur, buang air, mengeluh, tertawa, menggerutu, dan
sebagainya. Proses tingkah laku adalah proses fisiologis atau psikologis bersikap
atau bertingkah laku, yang dapat dicontohkan melalui proses ketika manusia
melakukan kegiatan bernafas, bermimpi, tersenyum, tertawa, dll. Posisi proses ini
berada di antara proses material dan mental (Halliday, 2004: 248).
Universitas Sumatera Utara
40
Secara sintaksis, partisipan dalam klausa tingkah laku disebut petingkah
laku (behaver). Biasanya, klausa tingkah laku hanya mempunyai satu partisipan
seperti terlihat dalam klausa (2.21) berikut.
(2.21)
Dian
“Dian
Petingkah laku/Behaver
Proses
tingkah
laku
Tangis
Menangis
Proses: tingkah laku/Vehavioral
memiliki
keterbatasan
dalam
nengen pilu.
dengan pilu”
Circumstant
menggunakan
pronomina. Sesuai dengan namanya, (tingkah laku), pronomina saya tidak bisa
diikuti proses tidur. Klausa (2.22) tidak berterima sedangkan (2.23) berterima
seperti berikut.
(2.22)
*Aku
*Saya
Petingkah laku/Behaver
sedang medem
sedang tidur
Proses: behavioral
(2.23)
Ie
“Dia
Petingkah laku/Behaver
sedang medem.
sedang tidur”
Proses: behavioral
e) Proses Verbal
Proses verbal adalah proses yang diucapkan (Gerot, 2001: 62). Proses ini
secara simbolik merupakan penandaan (signaling). Proses ini sering direalisasikan
dalam dua klausa berbeda. Klausa pertama disebut pemroyeksi dan yang kedua
disebut proyeksi. Proses verbal berada antara proses mental dan relasional (Butt,
2000: 56). Dengan demikian, proses verbal sebahagian memiliki ciri proses
mental dan sebahagian lagi memiliki ciri proses relasional. Secara semantik,
proses verbal menunjukkan aktivitas atau kegiatan yang menyangkut informasi,
Universitas Sumatera Utara
41
seperti verba berteriak, berseru, berjanji, bersumpah, berkata, mengatakan,
bertanya, memerintah, meminta, menginstruksikan, mengaku, menjelaskan,
menerangkan, mengkritik, menguji, memberitahu, menegaskan, menekankan,
menceritakan, menolak, dan sebagainya.
Proses
verbal
adalah
aktivitas
yang
membawa,
menyampaikan,
mengatakan maklumat atau bertanya, menceritakan, berseru, berjanji, dan lainlain (Halliday, 2004:252). Dalam proses verbal ada dua partisipan yang dilibatkan.
Partisipan yang berkata, yang secara struktural dinamakan sebagai penyampai
(sayer), dan pesan yang disampaikan (maklumat/verbiage).
(2.24)
Ie
“Dia
Penyampai/Sayer
mecakap
berbicara
Proses:Verbal
ceRok Alas.
bahasa Alas”
Pesan/Verbiage
Dalam hal dua klausa, proses verbal berfungsi sebagai pemroyeksi
(projecting clause) dengan label sayer sedangkan klausa lainnya disebut sebagai
terproyeksi (projected clause.
(2.25)
Ie
‘Dia
Sayer
(2.26)
Ie
Dia
Sayer
Mekate
berkata
Verbal
mekate
berkata
Verbal
aku
saya
Senser
pot
suka
Proc.mental:Affective
Ie
(bahwa) dia
Senser
pot
suka
Mental:Affect
Rutung
durian.’
Phenomenon
Rutung.
durian
Phenomenon
f) Proses Wujud
Proses wujud (existential) menunjukkan keberadaan satu entitas (Butt,
2000: 58). Secara semantik, proses wujud terjadi antara proses material dan
Universitas Sumatera Utara
42
proses relasional.
Proses wujud adalah proses yang mengekspresikan bahwa
sesuatu itu ada wujud atau eksis dan di dalam bahasa Inggris direalisasikan dalam
proses seperti is, am, are, was, were, be, been, being dan proses lainnya seperti
exist, arise atau proses lainnya yang merepresentasikan kewujudan kata benda
atau frasa benda yang merepresentasikan fungsi partisipan sebagai maujud
(existent) (Halliday, 2004:256). Dengan letaknya yang demikian, proses wujud di
satu sisi memiliki ciri proses material dan di sisi lain memiliki ciri proses
relasional. Proses wujud (Gerot,2001:72) adalah proses yang menunjukkan
keberadaan sesuatu (misalnya: “ada”. “terdapat”). Partisipan pada proses ini
disebut eksisten.
(2.27)
Lot
Ada
Proses:Wujud/Existential
anak manun.
anak hanyut
Maujud/existent
(2.28)
PeRasanen
“Perasaan
Maujud/Existent
lot
wujud
Proc: Wujud/existential
(2.29)
Lot
‘Ada
Proc.:Existential
kuluR
kelueh
Part.:Existent
(2.30)
Ni kahaRungne
‘Di leher
Circumstance :Location
ni bagas ate jeme.
dalam diri manusia”
Circumstantial
ni empuse
di ladang”
Circumstance :Location
lot
ada
Proc.:Existential
kaRaten
gigitan”
Existent
Universitas Sumatera Utara
43
2) Partisipan
Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa proses merupakan inti atau pusat
(nucleus) yang menarik atau mengikat semua unsur lain, khususnya partisipan
(Halliday, 2004: 175). Partisipan adalah kategori semantik yang menjelaskan caracara umum bagaimana gejala dunia kenyataan direpresentasikan sebagai struktur
linguistik (Gerot, 2001: 52). Sedangkan proses merupakan inti yang memiliki
daya tarik atau ikat (valency), berpotensi menentukan jumlah partisipan yang
dapat diikat oleh proses itu. Dengan sifatnya itu, proses digunakan sebagai dasar
pelabelan partisipan dalam klausa. Sedikitnya ada dua jenis partisipan, yaitu
partisipan yang melakukan proses (Partisipan I) dan partisipan yang kepadanya
proses itu diarahkan/ditujukan (Partisipan II). Dalam bagan berikut dipaparkan
keenam jenis proses dan label partisipan yang digunakan.
Jenis Proses
Material
Mental
Relasional
Tingkah Laku
Verbal
Wujud
Partisipan I
Pelaku
Pengindera
(1) Identifikasi: Bentuk/Tanda
(2) Atribut: Penyandang
(3) Kepemilikan: Pemilik
Petingkah Laku
Pembicara
Maujud
Partisipan II
Gol
Fenomenon
Nilai
Atribut
Milik
Perkataan
-
Figura 2.6 Proses dan Partisipan (adaptasi dari Matthiessen, 1992: 316)
3) Jangkauan dan Partisipan lain
Dalam
bagian
terdahulu
diuraikan
bahwa
partisipan
ditentukan
berdasarkan jenis prosesnya (Halliday, 2004:259). Dengan demikian, jenis
partisipan ditentukan oleh proses karena dialah yang memiliki daya ikat (valency).
Selain itu masih ada lagi partisipan lain yakni partisipan yang menyatu dengan
proses atau di luar jangkauan proses dan dilabel jangkauan (range). Dengan kata
Universitas Sumatera Utara
44
lain, partisipan berbeda dengan (partisipan) jangkauan. Pertama partisipan
(jangkauan) dapat muncul dengan seluruh jenis proses. Kedua jangkauan dapat
muncul secara implicit atau eksplisit. Dalam BA, klausa seperti Ame sedang
medakan. “Ibu sedang memasak.”, dapat berterima secara implisit karena secara
eksplisit adalah: Ame sedang medakan nakan. “Ibu sedang memasak nasi.”
Apakah kata nakan ‘nasi’ dicantumkan (eksplisit) atau tidak dicantumkan
(implisit) tidak menjadi masalah. Namun ada jangkauan yang selalu implisit
seperti ndaling “menjaga durian jatuh”. Dalam klausa BoRngi nahan kite
ndaling ni empus wan tueku. “Nanti malam kita jaga durian jatuh di ladang
mertuaku.” Dalam (2.31a) dan (2.31b) dapat dilihat perbedaan jangkauan secara
implisit dan eksplisit.
(2.31a)
Pagi
‘Besok
Circumstance :Time
(2.31b)
Bone
‘Semalam
Circumstance
:Time
kite
Kita
Actor
mame
Paman
Particip.:Actor
ngaRohi
ngeringkan kolam”
Process:Material
ndaling
Menjaga
Process:
Material
Rutung
durian”
Particip.: Range/
Jangkauan
Selain jangkauan (range), masih ada lagi partisipan lain. Partisipan ini
dikenal dengan istilah pembermanfaat (beneficiary). Pembermanfaat adalah
orang atau benda yang kepadanya satu entitas atau layanan dituju atau diarahkan
(Halliday, 2004:295-296). Pembermanfaat dapat diperoleh atau didapati dalam
klausa relasional atribut (Halliday, 2004: 215). Biasanya, pembermanfaat ini
didahului oleh preposisi yang potensial dihilangkan dengan mengubah struktur
atau urutan partisipan.
Pembermanfaat dilabeli berdasarkan jenis prosesnya.
Universitas Sumatera Utara
45
Dalam klausa material pembermanfaat dilabeli resipien (recipient) untuk
partisipan yang didahului atau terkait dengan preposisi kepada dan klien (client)
untuk partisipan yang didahului atau terkait dengan preposisi untuk (Halliday,
2004: 190). Dalam klausa verbal, seperti dipaparkan terdahulu, pembermanfaat
dilabeli penerima. Klausa (2.32a) memberi pelabelan pembermanfaat seperti:
(2.32a)
Ie
‘Dia
Actor
NgiRim
Mengirim
Proc.:Material
(2.32b)
Mame
“Paman
Actor
nukoR
Membeli
Proc.:Material
(2.32c)
Zainal
‘Zainal
Sayer
menceRiteken
menceritakan
Proc.:Verbal
foto e
Foto itu
Goal
be uanne
kepada ayahnya”
Recipient
Regeng
Kalung
Goal
kisahne
kisah itu
Pembicaraan/Verbiage
(2.32d)
Pengalamen e
(adelah)
‘Pengalaman
(adalah)
Pembawa/carrie
r
Relational:attrib.
tuhu
mahal
betul
mahal
Attribute
be anak side
untuk anaknya”
Client
be Aminah
kepada Aminah”
Penerima/recipient
bangku
bagi saya”
Benific./pembermanfaat
4) Sirkumstan
Sirkumstan adalah kategori semantis yang berfungsi menjawab pertanyaan
seperti when ‘bila’, where ‘dimana’, why ‘mengapa, how ‘bagaimana’, how many
‘berapa banyak’, dan what ‘apa’ (Gerot, 2001:52). Sirkumstan merupakan
lingkungan, sifat, atau lokasi berlangsungnya proses (Halliday, 2004: 359).
Sirkumstan berada di luar jangkauan proses. Oleh karena itu, label sirkumstan
Universitas Sumatera Utara
46
berlaku untuk semua jenis proses. Sirkumstan setara dengan keterangan seperti
yang lazim digunakan di dalam tata bahasa tradisional.
Sirkumstan dinjelaskan pembagiannya sesuai fungsinya menjadi sembilan
bagian, yakni: rentang (extent) yang dapat berupa jarak atau waktu, lokasi
(location) yang dapat mencakupi tempat atau waktu, cara (manner), sebab
(cause), lingkungan (contingency), penyerta (accompaniment), peran (role),
masalah (matter), dan (sudut) pandangan (angle) (Halliday, 2004:262).
Menurut konsep tata bahasa struktural atau tradisional, sirkumstan setara dengan
keterangan (Adverb). Berikut disajikan penggunaan sirkumstan sebagai berikut.
a) Rentang /extent
(2.33a)
TenteRe e
“Tentara itu
Actor
enggou melayaR
telah berlayar
Process: Material
dekahne sepuluh jam.
selama sepuluh jam”
Circ.:Extent:Time
(2.33b)
Kalae
“Mereka
Actor
enggou melayaR
telah berlayar
Process: Material
dauhne seRatus mil.
sejauh seratus mil.”
Circ.:Extent:Place
b) Lokasi/location
(2.34a)
Dani
“Dani
Actor
(2.34b)
Dani
“Dani
Actor
buet
Bangun
Process: Material
tading
tinggal
Process: Material
jam 6 pagi.”
pukul 6 pagi.”
Circ.:Location:Time
ni Kutecane
di Kutacane.”
Circ.:Location:Place
Universitas Sumatera Utara
47
c) Cara/manner
(2.35a)
Abangku
“Abang saya
Actor
(2.35b)
TenteRe-e
“Tentara itu
Actor
(2.35c)
Harfin
“Harfin
Sayer
medalan
berjalan
Proc.:Material
mepeRang
berperang
Proc.:Material
mepidato
berpidato
Proc.:Verbal
bagas Rimbe
dalam hutan
Circ.:Loc:Place
ma meselop
tanpa alas kaki.”
Circ.:Manner:Tool
dengen beRanine.
dengan berani”
Circ.:Manner:Quality
bali Rut Soekarno.
seperti Soekarno.”
Circ.:Manner:Comparison
d) Sebab/cause
(2.36a)
Mame
“Paman
Actor
(2.36b)
Aku
“Saya
Actor
ma Roh
tidak datang
Proc.:Material
nolong
menolong
Proc.:Material
(2.36c)
Aku
“Saya
Sayer/Penyampa
i
keRane mahaRun.
karena deman.”
Circ.:Cause:Reason
kau
kamu
Goal
demi mase depan.
demi masa depan.”
Circ.:Cause:Purpose
neRime
menerima
hadiah-e
hadiah itu
Proc.:Verbal
Verbiage/Maklumat
atas name lembaga.
atas
nama
lembaga.”
Circ.:Cause
e) Lingkungan/contingency
(2.37a)
De lot ketangkonen
“Jika terjadi percurian
Circ.:Contingecy:Condition (kondisi)
(2.37b)
Jamu
“Tamu
Actor
balik
pulang
Proc.:Material
tangkap
tangkap
Proc.:Material
penangkone.
pencurinya.”
Goal
ma ngateken.
tanpa pemberitahuan.”
Circ.:Contingecy:Cocession (konsesi)
Universitas Sumatera Utara
48
(2.37c)
Waktu Pak Bupati ma lot
“Sewaktu Pak Bupati
tidak ada
Circ.:Contingecy:Force
(desakan)
Pak Sekda
Pak Sekda
(adalah)
gancihne.
penggantinya.”
Pembermanfaat
: Recipient
Proc.:Rel.:Attr
ib.: Intensive
Attribute
f) Penyerta/accompaniment
Ada dua jenis sirkumstan penyerta, yakni: komitasi dan tambahan.
Komitasi adalah representasi proses di mana dua benda wujud dapat disatukan
sebagai dua unsur (Halliday, 2004:272).
Sebaliknya, tambahan adalah
representasi proses sebagai dua hal yang mana dua benda wujud berkongsi
partisipan yang sama, tetapi yang satu ditujukan untuk pembedaan.
(2.38a)
Dompet di
“Dompet itu
Goal/gol
(2.38b)
Manusie
“Manusia
Behaver
(2.38c)
Aku
“Saya
Actor
(2.38d)
Kiteh
“Mari
niisi
diisi
Proc.:Material
Rut sen koRtas.
dengan uang kertas”
Circ.:Accompaniment: komitasi positif
ma nggeluh
tidak bisa hidup
Proc.:Behavioral
nuan
menanam
Proc.:
Material
kite
kita
Actor
de malot oksigen.
tanpa oksigen.”
Circ.:Accompaniment: komitasi negative
sawit
sawit
goal
Mbace
baca
Proc.:
Material
galuh Rut pokat.
juga pisang dan pokat.”
Circ.:Accompaniment:
tambahan positif
buku
buku
goal
pade neRoi kalak.
daripada ngatain orang.”
Circ.:Accompaniment:
tambahan negatif
Universitas Sumatera Utara
49
g) Peran/role
Sirkumstan direalisasi oleh dua jenis: (1) samaran
dan (2) produk
(Halliday, 2004: 194). Samaran merepresentasikan makna menjadi, seperti dalam
sarana
atributif
atau
identifikasi
dalam
bentuk
sirkumstan,
dan
menghubungkannya dengan bentuk interogatif sebagai apa? Berbeda dengan
samaran, produk merupakan peran yang merepresentasikan makna menjadi.
Klausa berikut adalah contoh kedua jenis tersebut.
(2.39a)
Kalae
“Mereka
Part.: Actor
(2.39b)
Kalae
“Mereka
Part.: Actor
ngoRjai
mengerjai
Proc. Material
Matok
mematok
Proc. Material
tanohe
lahan itu
Part..:Goal
tanohe
lahan itu
Part..:Goal
sebagei penggaRap.
sebagai penggarap.)
Circ.:Role: samaran
jadi kaplingen.
menjadi kaplingan.”
Circ.:Role: produk
h) Masalah/matter
Sirkumstan masalah (Halliday, 2004:276) berhubungan denga proses
verbal dan sejajar dengan verbiage (maklumat).
(2.40)
Aku
“Saya
Part.:Saye
r
jelasken
menjelaskan
Proc. Verbal
tentang tanohku si nigaRap kelompok tani.
tentang lahan saya yang digarap kelompok tani.”
Circ.:Matter/masalah
i) Pandangan/angle
Sama halnya dengan sirkumstan masalah, sirkumstan pandangan juga
berhubungan dengan proses verbal. Hanya bedanya kalau sirkumstan masalah
Universitas Sumatera Utara
50
sejajar
dengan
maklumat,
sedangkan
pandangan/angle
sejajar
dengan
penutur/sayer.
(2.41)
MenuRut hakim
“Menurut hakim
Circ.Angle
ie
dia
(adalah)
Part.: Token/ Proc.
Rel.:
Petanda
Ident. Intens.
penangkone.
pencurinya.”
Part. Value/ Penanda
2.3.1