Representasi Tradisi Berahoi Pada Masyarakat Melayu Langkat

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, KAJIAN PUSTAKA
DAN KONSTRUK ANALISIS

2.1 Konsep
2.1.1 Tradisi Lisan
Pembicaraan tentang suatu tradisi lisan adalah suatu hal yang amat sukar
dibatasi. Sebab tradisi berarti membawa waktu lampau ke dalam masa sekarang.
Waktu lampau tidak hanya berupa seperangkat peninggalan manusia yang khusus
dalam ruang tertentu tetapi juga warisan pikiran kolektif dari kelompok manusia
tertentu yang pernah hidup dalam kebudayaan tertentu. Tradisi adalah serangkaian
kebiasaan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Istilah lisan ini merupakan istilah dasar dari kajian-kajian lisan dan
literatur lisan yang merupakan subjek yang banyak dibicarakan dari dahulu
sampai sekarang. Pada waktu yang lalu, orang-orang yang menganggap dirinya
folkloris biasanya masuk kedalam kategori sarjana lokal dan penutur asli, dan para
antropolog masuk kedalam kategori peneliti sebagai orang luar, namun perbedaan
ini kini mulai memudar. Merujuk pada Espinosa (dalam Leach and Fried 1949)
terjadinya perubahan timbal balik antara tradisi lisan dan tradisi tulisan, lajunya
perubahan dan pertukaran budaya, kebangkitan kembali yang merupakan bagian

penting dari popularisasi kelangsungan hidup adalah sama pentingnya dengan
kualitas karakter.

18
Universitas Sumatera Utara

Dalam hal ini tanggungjawab akhirnya terletak pada rasa akumulatif dan
kolektif dan penilaian dari orang banyak ketimbang rasa dan penilaian dari orang
yang jumlahnya sedikit.
In the reprocity of oral and written tradition and the flux of cultural
change and excgange, revival plays as important apart as survival
popularization is as essential as scholarship, and the final responsibility
rests upon the accumulative and collective taste and judgement of the
many rather than a few. (Espinosa dalam Leach & Fried 1949:398)
Pendekatan-pendekatan tradisi lisan yang lebih awal kebanyakan didesain
untuk menjelaskan sejarah dari bentuk-bentuk khusus (pada dasarnya yang
bersifat naratif) dalam hubungannya dengan originalitas, difusi atau evolusi.
Selanjutnya teori-teori tradisi lisan dikembangkan pemahamannya secara teoritis.
Dundes (1969) dan Holbek (1987) dalam Finnegan (1992:29) mengatakan
bahwa pengembangan dan kemunduran teori-teori: dongeng adalah mitos-mitos

yang sudah dipecah-pecah, yang turun levelnya dari level yang lebih tinggi ke
level anak-anak dan/atau level kaum kelas bawah; epiks dikembangkan dari
gabungan lagu-lagu rakyat; dan teori-teori yang serupa.
Development and deterioration theories: fairy tales are broken down
myths, sunk down from higher levels to that of children and/or of lower
classes; epics developed from composite folksongs; similar theories.
(Dundes 1969; Holbek, 1987 dalam Finnegan, 1992:29)
Menurut Finnegan (1992:29), pandangan tentang tradisi lisan secara
antropologis yang dikembangkan oleh Andrew Lang bahwa bentuk-bentuk (tradisi
lisan) seperti cerita-cerita sejenis legenda, kisah naratif yang membuat orang ingin
tahu apa selanjutnya berawal dari suatu periode cerita yang nampaknya tidak
rasional, jikalau dinilai berdasarkan sifat keprimitifannya. Namun, karena sudah

Universitas Sumatera Utara

dapat dimengerti, kemudian cerita itupun diwariskan/diturunkan dari generasi ke
generasi.
Selanjutnya Finnegan menyatakan bahwa dalam tradisi lisan, cerita-cerita
mitologi alam pada dasarnya adalah cerita tentang dan diangkat dari kekuatan
(fenomena) alam, khususnya matahari, hal ini juga terkait dengan teori “penyakit

bahasa” dan mitologi Indo-Eropah yang dikembangkan oleh Max Muller.
Demikian juga, cerita-cerita yang bersifat monogenesis versus cerita-cerita yang
bersifat poligenesis (cerita-cerita yang bersifat monogenesis sering mengambil
India sebagai pusat difusi/penyebarannya).
Menurut Dick van det Meij (2011), tradisi lisan mencakup semua kegiatan
kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan dari generasi ke generasi secara
tidak tertulis. Tradisi lisan mencakupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian
yang lain, sejarah, obat-obatan, primbon dan sebagainya.
Pengertian tradisi lisan sebagai karya yang penyebarannya disampaikan
dari mulut ke mulut secara turun temurun. Endaswara (2008:151) merangkum
tradisi lisan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional.
2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa
penciptanya.
3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindirian, jenaka, dan pesan mendidik
4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu
5. Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise.
6. Tradisi lisan sering bersifat menggurui.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Sibarani (2012)tradisi lisan masa lalu tidak akan mungkin dapat lagi
dihadirkan pada masa kami persis seperti dahulu karena telah mengalami
transformasi dan tidak hidup lagi dalam komunitasnya. Namun, mulai dari
norma tradisi tersebut dapat dimanfaatkan dan di aktualkan pada masa
sekarang. Beberapa ciri tradisi lisan dapat diungkapan di bawah ini. (Lih.
Sibarani, 2012). Pertama, berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
Kedua, memiliki persatuan atau kegiatan sebagai konteksnya. Ketiga, dapat
diawali dan di tuntun. Keempat, berbagai tradisional. Kelima, diwariskan
secara turun-termurun. Keenam,proses penyampayian dengan media lisan atau
dari mulut ketelinga. Ketujuh, mengandung nilai-nilai kebudayaan sebagai
kearifan lokal. Kedelapan, dapat direvitalisasi dan diangkat secara kreatif
sebagai industri budaya. Kesembilan, pemilihan bersama dalam komunitas
tertentu.
2.1.2 Folklor
Selain sebagai karya tradisi lisan, tradisi berahoi termasuk hasil kreasi
tradisi masyarakat yang dikategorikan sebagai folklor karena ia mengandung
ungkapan berbentuk metrik, pantun, pepatah, lagu rakyat yang diujarkan secara
lisan, mantra kepercayaan rakyat atau supertisi, dan sebagai tradisi, pertunjukan
dan tari.

Sifat tradisi berahoi sesuai dengan pandangan Bascom (dalam Leach dkk,
1949), dalam konteks antropologi, foklor bermaksud mitos, legenda, cerita-cerita
rakyat, peribahasa, teka-teki, syair dan beragam bentuk ungkapan artistik lainnya
yang disampaikan melalui medium bahasa lisan. Oleh karena itu, foklor dapat
didefinisikan sebagai seni lisan.

Universitas Sumatera Utara

In anthropological usage, the term folklore has come to mean myths,
legends, folktales, proverbs, riddles, verse, and variety of other forms of
artistic expression whose medium is the spoken word. Thus, folklore can
be defined as verbal arts. Anthropologists recognize that an important
group of individuals known as folklorists are interested in customs, beliefs,
arts and crafts, dress, house types and food recipes; but in their own
studies of the aborinal people of various parts of the world, these diverse
items are treated under the accepted headings of the material culture,
graphic and plastic arts, technologies and economics, social and political
organization, and religion, and all are subsumed under the general term
culture. (Bascom 1912 dalam Leach dan Frieds ed. 1912:398).


Selanjutnya, Bascom menambahkan bahwa para antropolog mengetahui bahwa
suatu kelompok para individu yang dikenal sebagai fokloris tertarik pada tradisibudaya, kepercayaan-kepercayaan, seni dan kerajinan tangan, pakaian, tipe-tipe
rumah dan resep makanan; tetapi dalam kajian-kajian yang mereka lakukan
tentang penduduk asli/pribumi dari berbagai daerah di dunia ini, item-item ini
dimasukkan dalam topik-topik yang sudah diterima seperti budaya material, seni
grafis dan seni rupa, teknologi dan ekonomi, organisasi sosial dan organisasi
politik, dan agama, dan semuanya digolongkan dalam istilah budaya.
Sebenarnya, pengalihan dari tradisi lisan ke tradisi tulisan dan cetak tidak
merusak validitasnya sebagai foklor, di samping mempertahankan atau
memperbaiki bentuknya, membantu melestarikan dan menyebarkan foklor
tersebut di antara orang-orang/komunitas yang bukan pemilik foklor tersebut,
karena folklor itu hilang dari memori pendukungnya (lupa) ketika melakukan
transmisi yang mengakibatkan terjadinya pemertahanan dan pergeseran
(perubahan), demikian disampaikan oleh Epinosa (1949) sebagai berikut:
The transference of oral tradition to writing and print does not destroy its
validity as folklore but rather, while freezing or fixing its form, helps to
keep it alive and to diffuse it among those to whom it is not native or

Universitas Sumatera Utara


fundamental. For the folk memory forgets as much as it retains and
restricts and corrupts as much as it transmits and improves. (Espinosa
dalam Leach dan Fried 1949:398).

2.1.3 Kearifan Lokal
Secara etimologi wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam
menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap yang dalam istilah
wisdom sering diartikan sebagai “kearifan”. Kata lokal atau local secara spesifik
merujuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula.
Sebagai ruang interaksi di dalamnya melintaskan suatu pola-pola hubungan antara
manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Kearifan
lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia untuk menggunakan akal budinya
untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa dalam ruang
tertentu.
Menurut Sudikan (2002) ada tiga hal istilah yang tumpang tindih dalam
mengartikan padanan kata untuk tujuan yang sama yaitu pengetahuan lokal (local
knowledge), kearifan lokal (local wisdom) dan kecerdasan setempat (local genius).
Puspowardoyo (1986:33) menyatakan local genius sebagai ekspresi diri serta
perwujudan kepribadian masyarakat mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang
datang dari luar dan mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang.

Beliau menegaskan hilang atau musnahnya local genius berarti pula memudarnya
kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan
berkembang menunjukkan kepribadian masyarakat tersebut.
Selain local wisdom, istilah indigenous knowledge merupakan “kearifan
tradisional” atau “sistem pengetahuan lokal” yakni pengetahuan yang khas milik

Universitas Sumatera Utara

suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil
proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dengan lingkungannya
Endaswara (2002). Merujuk UNESCO dan NUFFIC (2002) dalam Sibarani
(2012:119) pengetahuan lokal adalah:
Indigenous or local knowledge refers to a complete body of knowledge,
know-how and practices, maintained and developed by people, generally
in rural areas who have extended histories of interaction with the natural
environment These sets of understanding, interpretations and meanings
are part of a cultural complex that encompasses of language, naming and
classification systems, practices for using resources, ritual, sprituality and
worldview. It provides the basis for local-level decision-making about
many fundamental aspects of day-to-day life: for example hunting, fishing,

gathering, agriculture and husbandry, food production, water, health, and
adaptation to environmental or social change. Non-formal knowledge - in
contrast with formal knowledge- is handed over orally, from generation to
generation, and is therefore seldom documented.
Dalam pengertian kearifan lokal ini, merujuk panduan UNESCO terdapat
kesamaan pandangan tentang pengertian local genius (kecerdasan lokal).
Soebadia (1986:18) mengatakan bahwa local genius secara keseluruhan meliputi
dan mungkin dapat dianggap dengan istilah cultural identity yang diartikan
sebagai identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa yang mengakibatkan
bahwa bangsa tersebut menjadi lebih mampu menyerap dan mengolah pengaruh
kebudayaan yang mendatanginya dari luar wilayah sendiri, sesuai dengan watak
dan kepribadiannya.
Menurut Ife (2002) dalam Endaswara (2002), kearifan lokal mempunyai
enam dimensi, pengetahuan lokal, nilai lokal, ketrampilan lokal, sumber daya
lokal, mekanisme pengambil keputusan lokal dan solidaritas kelompok lokal.
Masyarakat memiliki pengetahuan lokal terkait dengan lingkungan hidupnya, nilai
lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh masyarakat pendukungnya,

Universitas Sumatera Utara


ketrampilan lokal untuk mampu bertahan hidup, sumber daya lokal yaitu
menggunakan sumber daya alam semesta sesuai dengan kebutuhan dan tidak
dikomesialkan, mekanisme pengambil keputusan lokal yang mempunyai
pemerintahan dengan kesatuan hukumnya, dan mereka dipersatukan oleh ikatan
komunal membentuk solidaritas kelompok lokal.
Dalam masyarakat, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian,
pepatah, semboyan, kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari,
mantra, pengobatan tradisional dan kearifan lainnya yang disimpan dalam memori
kolektif dan kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama.
2.1.4 Tradisi Lisan Berahoi
Tradisi lisan berahoi adalah kegiatan masyarakat Melayu Bahorok yang
lahir di tengah-tengah kaum petani, dilaksanakan sebagai upacara adat, namun
dapat juga dilaksanakan sebagai seni pertunjukan untuk umum. Upacara tradisi
berahoi, mengirik padi disebut juga upacara berlonang. Sejak dahulu (masa
kesultanan Langkat) pembinaan tradisi berahoi mendapat dukungan dari
masyarakat. Namun sekarang pelaksanaan berahoi belum memadai, meskipun
tetap diminati masyarakat dan dimotivasi oleh Pemerintah (Program Kanwil
Dikbud, dalam kegiatan deskripsi tari berahoi 1995).
Dalam hal deskripsi ini salah satu tujuan adalah agar tradisi berahoi dapat
dibina, dipelihara dan dikembangkan serta dilestarikan dan diusahakan selalu

diminati, dicintai oleh masyarakat, bukan hanya oleh orang-orang tua saja tetapi
oleh generasi muda, sebagai generasi penerus.

Universitas Sumatera Utara

Di dalam masyarakat tradisi, kebutuhan badan mereka masih sangat
sederhana sehingga dalam peristiwa komunikasi dalam hidup masyarakat era
tradisi lisan selalu adanya interaksi yang berkaitan dengan upacara dalam
melakukan kegiatan misalnya dalam berahoi ada upacara berselawat dan berzikir
serta bersyair. Di sini interaksi dilakukan melalui ungkapan syair, pantun,
senandung dan lagu yang erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat
Melayu Bahorok Langkat sehari-hari.
Berbagai faktor penyebab terhentinya kegiatan upacara Tradisi Berahoi
(TB) dalam masyarakat Melayu Bahorok Langkat sekarang ini sebagai dampak
kebijakan,dan kekuasaan pemerintah dalam pengelolaan sistem pertanian.
Kebijakan pemerintahan yang dilakukan dengan pola penyeragaman termasuk
menyeragamkan bentuk pemerintahan desa yang berorentasi kepada atasan
pemerintah telah melemahkan peran tokoh adat untuk mengambil kebijakan adat
lokal dan mengakibatkan upacara tradisi berahoi menjadi terhenti kegiatannya
dalam masyarakat petani.
2.1.5 Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan transaksi mencakup bidang seni musik, tari teater, atau
yang berkaitan dengannya seperti upacara tradisional (adat-istiadat). Dalam
konteks budaya Melayu jarang ditemukan pemisahan secara absolut antara musik,
tari, dan teater. Ketiga bidang ini selalu berjalan seiring dan selaras. Dalam seni
pertunjukan Melayu tradisi berahoi dapat dijumpai fungsi komunikasi seperti
pantun (bersifat verbal) dan komunikasi nonverbal yang mencukupi bunyi, nada,
tenaga, gerak gerik. Berahoi sebagai tradisi lisan berkaitan langsung dengan

Universitas Sumatera Utara

peristiwa seni pertunjukan, karena dalam tradisi ini berahoi didukung oleh syaratsyarat seperti pemain, penonton, waktu, tempat khusus, peralatan, frekuensi
penyajian dan ingatan.
Menurut Vansina (2014) lokasi sebuah pertunjukan harus sesuai dengan
kegunaan dan tujuannya, dapat di alun-alun atau pekarangan rumah. Waktu dan
frekuensi penyelenggaraan pertunjukan antara satu tradisi dengan yang lainnya
berbeda, ada yang sangat lama dan ada yang rutin setiap tahun. Tujuan
pertunjukan sangat penting untuk menampilkan bentuk aslinya dan menghindari
kealpaan. Ingatan sangat penting dalam seni pertunjukan karena berkaitan dengan
tindakan dan penciptaan.7

Alat-alat dalam pertunjukan biasanya mnemonik

(membantu ingatan) yaitu isyarat-isyarat yang dapat berupa objek, lanskap atau
musik. Melodi, irama tonal bisa diperoleh dari perkusi
. Ritzen dan Goodman dalam Ratna (2007:183) menyatakan ada tiga
fungsi bahasa sebagai simbol, antara lain yaitu:(a) simbol membantu untuk
mengingat secara efisien (b) meningkatkan manusia berpikir, dan (c)
meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami lingkungan.
Dalam tradisi berahoi, ada dua tahap interaksi lisan dalam menyampaikan
pesannya kepada komunikan (si penerima), yaitu melalui orang-orang tertentu dan
kemudian mereka ini meneruskan pesan kepada komunikan yang lain. Interaksi
mereka dicapai melalui aksi-aksi ekspresif, melalui sinyal, simbol, dan tanda
dengan memberikan tekanan terapatis. Di bawah ini digambarkan struktur
komunikasi terapeautik. (Wijaya 2000)

7

Remembering (Cambridge, 1933 dalam Vansina, 2014: 67).

Universitas Sumatera Utara

A
Satu
tahap
(B)

B

(B)
Dua
tahap

C

C

Komunikasi
Tahap 2

C

Gambar 6.1. Komunikasi Dua Tahap (?)
Dalam interaksi lisan yang dimaksud dalam penelitian ini ada dua hal
penting yang dibahas yaitu (a) unsur-unsur dalam bahasa lisan, (b) sumber simbol
yang dapat dikelompokkan atau distrukturkan sehingga bermakna ketika
seseorang berkomunikasi. Jadi interaksi mencakup kode bahasa dan/atau simbol
yang memiliki unsur-unsur bunyi, fonem, kata-kata, ujaran, kalimat, tanda dan
sebagainya) yang berarti atau bermakna.

2.1.6 Pawang
Pada masyarakat tradisi lisan Melayu Langkat peran pawang sebagai orang
yang dihormati dan disegani memiliki beberapa kelebihan dari orang atau warga
masyarakat setempat. Ia memiliki kepandaian seperti berilmu batin, tahu
membaca tanda-tanda alam atau bercocok tanam atau kapan saat bertanam padi.
Pada zaman Hindu dikenal Dewi padi yakni ‘Dewi Sri’ namun setelah
agama Islam dipeluk oleh orang Melayu terjadi transmisi ‘ketauhidan’ dan
keimanan dalam kepercayaan Islam. Hal ini tampak dalam mantra membuka
hutan, kata-kata seruan disampaikan kepada Siti Aisyah, Siti Fatimah (perempuan

Universitas Sumatera Utara

yang dekat dengan Nabi Muhammad SAW). Kemudian penggunaan salam dan
takbir, yaitu asalamualaikum dan berkat Allah dan Lahaulawalaquata illabillah.
2.1.7 Mantra
Upacara masyarakat Melayu khususnya masyarakat Melayu Langkat tidak
dapat dipisahkan dengan mantra. Pada dasarnya, mantra adalah jenis puisi lama.
Oleh karena perkembangan puisi yang semakin pesat, maka kemudian tercipta
beberapa ragam bentuk dan isi puisi yang berbeda-beda.
Junus (1983:134) menyatakan mantra lebih condong didasarkan pada
perbedaan puisi dan mantra. Mantra sebagai jenis puisi lama pada mulanya
muncul dari aliran kepercayaan animisme, dalam kehidupan sekarang keberadaan
mantra masih dapat ditemukan. Untuk mendapatkan satu jenis mantra harus
melalui beberapa tahap yang menjadi persyaratan seperti berpuasa dan mengatur
hari-hari tertentu untuk menggunakan mantra yang ditetapkan sejak turuntemurun.
Menurut Iskandar (1975:714) mantra adalah kata-kata atau ayat yang
apabila diucapkan dapat menimbulkan kuasa gaib atau jampi. Mantra merupakan
unsur penting di dalam teknik ilmu gaib (magik), berupa kata-kata dan suara yang
sering tidak berarti, tetapi dianggap berisi kesaktian atau kekuatan yang
mengukuh.
Shadily (1983:2138) mengatakan bahwa mantra ialah rumus-rumus, katakata atau bunyi yang berkekuatan gaib, diucapkan berirama seperti senandung,
digunakan sebagai doa bagi pengucap atau pandangan, yang wajib dihafal tepat
kata-katanya untuk menghindari bencana jika terjadi kekeliruan dalam

Universitas Sumatera Utara

mengucapkannya. Dijelaskan pula bahwa umumnya mantra diucapkan dengan
menyeru atau menyebut nama Allah, Nabi-nabi, Aulia, dewa-dewi. Dikatakan
juga bahwa mantra dari berbagai sumber berasal dari India. Akan tetapi di
Indonesia mantra sudah dikenal sebelum datangnya pengaruh Hindu, karena
sudah ada kitab Suluk.
Zoetmulder

(1983:105)

mengaitkan

dengan

praktik

yoga,

untuk

menurunkan sang dewa berdasarkan bentuknya sakala-niskala ke dalam hati,
seorang pelaku yang mempergunakan sarana-sarana yang dapat disentuh
pancaindra seperti pujian-pujian (stuti) persembahan bunga (puspanyali), gerak
tangan yang mempunyai arti mistik (mudra), seluruh kata dan rumus-rumus sakral
(mantra). Semua itu merupakan yantra atau alat untuk mengadakan hubungan
dengan sang dewa. Kata-kata dan bunyi-bunyi mencerminkan kemudahan agar
dapat menerima kedatangan sang dewa sekaligus merupakan objek konsentrasi,
baik bagi yang menciptakan syair (penyair) maupun bagi mereka yang membaca
dan mengembangkan syair itu. Dalam konteks agama Hindu tidak ada upacara
yang lengkap tanpa mantra karena mantra dikaitkan penggunaannya dalam
upacara keagamaan untuk memuja Tuhan.
Menurut Soedjijono (dalam Yusuf dkk, 2001:14) mantra yang ditujukan
kepada Tuhan, roh, dan makhluk halus dengan tujuan mendapat sesuatu antara
lain: (a) keselamatan, (b) kekayaan, (c) kesembuhan (d) kekebalan (e)
keterampilan. Mantra yang ditujukan pada magis dengan tujuan memiliki sesuatu,
antara lain: (a) kewaskitaan (b) kharisma, (c) daya tarik (d) kesaktian (e) kekuatan
fisik. Di samping itu, mantra juga sering dikaitkan dengan berbagai masalah

Universitas Sumatera Utara

kehidupan lain seperti kecantikan, cinta kasih, kesaktian, mata pencaharian,
kemurahan rezeki, kekeluargaan, dan keamanan diri.
Interaksi kepada alam dipenuhi kepercayaan yang bersifat spritual dengan
kebutuhan individu dan masyarakat, memelihara keseimbangan alam dan
lingkungan. Ilmu merujuk atau mengikat kepada kekuasaan yang bertanggung
jawab kepada fenomena alam misalnya angin, api, atau air. Keadaan ini dipahami
sebagai suatu institusi spritual yakni angin, air, api, dewa, dan jembalang (hantu).
Dongeng dan mitos termasuk pantang dan suruh sangat berkaitan dengan dunia
gaib yang berpusat pada personaliti dan institusi tersebut. Melalui peranan pawang
dan dukun, manusia berhubungan dengan dewa. Mereka mendapat perintah dari
Sang Gaib tentang apa yang perlu mereka lakukan untuk memenuhi tuntutan
dewa. Tuntutan itu perlu dipercayai dan dinaikan untuk menghindarkan bala
bencana dan kerusakan alam.

2.1.8 Doa
Istilah doa menurut Fischer (1980:147-157 dan 172) adalah diucapkan
dengan suara keras dan susunan kata-katanya berirama sehingga lebih mudah
dihafal dan diingat. Berbeda dengan mantra dibaca (dilafalkan) pelan-pelan
bahkan hanya diucapkan dalam hati.
2.1.9 Upacara ritual
Dalam masyarakat tradisional, pramodern, atau prasains, kekuatan mantra
selalu dilakukan dalam upacara ritual. Dalam konsep esoterik, kata atau bunyi
mempunyai kuasa spritual, mistik, dan gaib yang secara populer disebut magis

Universitas Sumatera Utara

(Taslim, 2010:75). Upacara ritual bernilai magis lebih sistematik dan simbolis
serta esoterik dan formal apabila proses pelaksanaannya dimandatkan kepada
individu yang terpilih yang digelar pawang atau saman.
Upacara dikatakan sakral apabila proses penyelenggaraan dilakukan secara
ritual. Ritual ini dilakukan oleh pelaku dengan berbagai persyaratan, misalnya
pelaku harus puasa, ada mantra yang diucapkan, baik tentang orang lain maupun
yang tak boleh didengar orang lain8.
2.1.10 Magis
Kepercayaan kepada unsur magis dalam masyarakat tradisional atau primitif
sebenarnya wujud beriringan dengan timbulnya kesadaran keagamaan dalam
kalangan manusia primitif. Malinowski dalam Taslim (2010:76) menyatakan
magis muncul dari keperluan manusia primitif untuk mengawal kuasa alam yang
tidak dapat didamaikan, dijinakkan atau dilemahkan akibat keterbatasan
keupayaan fisik dan kemahiran teknologi yang dikuasai.
Taslim (2010:75) menyebutnya magis yang terkandung dalam diri individu
yang dianggap istimewa (muncul dalam beberapa gelaran, seperti shaman, ru hi,
guru, pawang, bomoh dan lain-lain) dan terpaut pada kata dan bunyi yang
memberinya bentuk. Masyarakat primitif memerlukan magis hadir semasa
berhadapan dengan sesuatu situasi tertentu, seperti ancaman, kepayahan atau
tekanan emosi yang sulit yang dalam keupayaannya yang normal tidak dapat
diatasi atau diselesaikan.

8
Harus ada sesajen yang sesuai dengan maksud (niat) pelaku meminta ‘kesuburan tanah’,
‘keselamatan kampung’, ‘tolak bala’, ‘kesejahteraan’. Simbol-simbol seni harus dapat dibaca
berdasarkan kaitannya dengan penulisan benda-benda seni tersebut dalam sebuah ritual.(Hasil
wawancara Tok Pawang, 2012)

Universitas Sumatera Utara

Malinowski dalam Firth (1963) menegaskan bahwa magis dalam
masyarakat tradisional mempunyai orientasi praktis dan memenuhi fungsi alat
(utility). Kepercayaan tentang kekuatan magis ini ditemukan pada cerita dongeng
ketika peristiwa magis muncul memantau tokoh wira (protagonis) mengalahkan
musuh-musuhnya. Dalam cerita dongeng magis dipakai dan diucapkan melalui
kata-kata seruan (spell atau mantra) yang khusus (disebut verbal magic) melalui
perilaku objek (disebut material magic) yakni semua unsur yang membina sesuatu
ritual atau upacara. Kata-kata dicetuskan secara spontan kemudian disusun dan
distrukturkan manajemen suatu bentuk yang mudah dihafal. Dalam ekspresi emosi
yang mencetuskan ucapan itu pergerakan anggota badan juga turut diperagakan.
2.2 Landasan Teori
Dalam penelitian ini digunakan kajian tradisi lisan, teori hermeneutika dan
pendekatan estetika paradoks yang menjadi kombinasi teori eklektik. Kajian
tradisi lisan, hermeneutika dan estetika paradoks memandang budaya sebagai
sistem makna dianggap semacam tempat tersimpan ingatan kolekif suatu
kelompok masyarakat.
Dalam penelitian tradisi lisan, teori-teori tentang budaya, dapat
disederhanakan menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) aliran teori yang
memandang budaya sebagai suatu sistem atau organisasi makna. Budaya
merupakan tempat tersimpan memori kolektif kelompok masyarakat, (2) aliran
teori yang memandang budaya sebagai sistem adaptasi suatu kelompok
masyarakat terhadap lingkungannya. Budaya ditempatkan sebagai keseluruhan
cara hidup suatu masyarakat yang diwariskan, dipelihara, cara hidup suatu

Universitas Sumatera Utara

masyarakat yang diwariskan, dipelihara, dan dikembangkan secara turun menurun
sesuai dengan tuntutan lingkungan yang dihadapi. (Bungin, 2006:7-8)
Sehubungan dengan fenomenologi yang memandang budaya sebagai
sistem atau organisasi makna tersebut, menelaah tradisi berahoi penting untuk
memahami bentuk (struktur teks, ko-teks, dan konteks) sebagai lapisan permukaan
(surface behavior), dan isi (makna dan fungsi, nilai dan norma budaya serta
kearifan lokal) sebagai lapisan paling dalam (tacit knowledge). Tradisi berahoi
dari aspek lapisan luar (outer layer) hanya memperlihatkan sesuatu yang dapat
ditonton, didengar dan dinikmati secara empiris, tetapi lapisan tengah (middle
layer) tradisi berahoi memperlihatkan makna, fungsi, nilai, dan norma tradisi
berahoi tersebut, sedangkan bagian inti (the core layer) memperlihatkan kearifan
lokal yang menjadi keyakinan, kepercayaan dan asumsi dasar yang dapat
menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi manusia dalam komunitasnya.
Teori hermenetika dan estetika paradoks yang dipakai dalam pengkajian ini
menyiratkan bahwa tradisi berahoi sebagai gambaran atau cerminan kehidupan
komunitas Masyarakat Melayu Bahorok Langkat (MBL) hal ini penting dibaca
dan harus diwariskan dari satu generasi ke generasi lain dalam perkembangan
zaman.
Dalam menafsirkan sebuah karya sastra dan seni, dapat diciptakan sebuah
hubungan yang akrab dan ditafsir. Hal ini sesuai dengan pandangan Gadamer
(1975) bahwa hermeneutika menerangkan bagaimana sesuatu yang ada dalam teks
dapat menyatu dengan pemahaman kita, yang caranya ditempuh dengan
menghilangkan prasangka dan penggunaan kaidah hermeneutika memungkinkan

Universitas Sumatera Utara

kita melihat pengetahuan dan objek pengetahuan berubah atau mengalami
transformasi, sebab antara keduanya senantiasa berada dalam interaksi yang
dinamis.
Pendekatan estetika paradoks mengikuti dasar pandangan fakta yang
terdapat dalam data penelitian bahwa dalam realitas teks Melayu terdapat
pasangan kembar oposisioner, namun saling melengkapi. Dalam teks pantun, syair
dan teks berahoi terdapat banyak sekali pasangan kembar yang masing-masing
yang berseberangan sikap dualisme ini dapat disesuaikan (diseimbangkan)
dengan cara berpikir yang arif dan tenggang rasa.
2.2.1 Teori Penafsiran Hermeneutika
Hermeneutika dipandang sebagai kaidah yang dipergunakan untuk
menafsirkan makna dan simbol-simbol dalam karya seni dan sastra. Dalam
menafsirkan karya perlu dilihat dari sisi sejarah dan kehidupan pencipta teks.
Sesuai dengan pandangan Gadamer (1975) bahwa dalam ilmu kemanusiaan dan
kemasyarakatan pemahaman harus mempertimbangkan aspek sejarah khususnya
hal yang bersifat hermeneutika. Kebenaran atau pemahaman tentang sesuatu perlu
dilihat sebagai proses dialog yang melibatkan kesadaran subjek dan faktor-faktor
lingkungan serta sejarah. Setiap peneliti yang mengkaji metodologi tafsir teks
yang memahami matan, aliran-aliran dalam kritik sastra, filsafat serta ilmu-ilmu
sosial pasti membutuhkan kajian tentang substansi secara umum dan analisis
struktur hermeneutika.
Usaha membatasi hermeneutika pada kajian-kajian hermeneutika falsafi
mencakup mazhab Jerman (Heidegger–Gadamer) dan mazhab Perancis (Ricouer–

Universitas Sumatera Utara

Derrida) tidak dengan sendirinya membatasi bingkai kedua mazhab tersebut.
Senantiasa ada saja kemungkinan untuk mengajukan teori baru dalam masalah
memahami teks.
Pemikiran hermeneutika mula-mula muncul dalam dua bidang yaitu dalam
interpretasi sastra dan dalam sejarah filsafat dan teologi. Dua bidang ini sangat
berkait dalam perkembangan pemikiran hermeneutika karena untuk memahami
hermeneutika dalam interpretasi sastra, pemahaman sejarah diperlukan terutama
mengenai tiga varian hermeneutika seperti yang dikemukakan Lefevere (1977:47)
yaitu hermeneutika tradisional, dialektik, dan ontologis.
Hermeneutika sebagai sebuah teori interpretasi reflektif didasarkan pada
filosofis fenomenologis. Dasar dari hermeneutika fenomenologis adalah
mempertanyakan hubungan subjek-subjek dan dari pertanyaan inilah dapat
diamati bahwa ide dari objektivitas perkiraan merupakan sebuah hubungan yang
mencakup objek yang tersembunyi. Hubungan ini bersifat mendasar dan
fundamental (being-in-the-world) (Eagleton, 1983:59 –60).
Dalam pemahaman terhadap teks sastra, prinsip yang perlu diperhatikan
adalah gerak melingkar untuk memahami objek yang dibatasi oleh kontekskonteks. Misalnya, untuk memahami bagian-bagian harus dalam konteks
keseluruhan dan sebaliknya untuk memahami keseluruhan harus memahami
bagian per bagian. Dengan kata lain, untuk memahami suatu objek, pembaca
harus memiliki suatu pra-paham, kemudian pra-paham itu perlu disadari lebih
lanjut lewat makna objek yang diberikan. Pra-paham yang dimiliki untuk
memahami objek tersebut bukanlah suatu penjelasan, melainkan suatu syarat bagi

Universitas Sumatera Utara

kemungkinan pemahaman. Lingkaran pemahaman ini merupakan “lingkaran
produktif.” Maksudnya, pemahaman yang dicapai pada masa kini, di masa depan
akan menjadi pra-paham baru pada taraf yang lebih tinggi karena adanya
pengayaan proses kognitif. Oleh karena itulah penafsiran terhadap teks dalam
studi sastra pada prinspnya terjadi dalam prinsip yang berkesinambungan.
Gadamer (1975) mengatakan bahwa setiap peristiwa, pemahaman, orang
yang memahami harus bermula pada suatu situasi sejarah atau lingkungan tertentu
dan situasi ini membekalinya dengan prejudis-prejudis tertentu. Prejudi-prejudis
datang dari tradisi (kesusastraan dan kebudayaan) si penafsir sendiri. Teks yang
dihadapinya merupakan sebagian dari tradisi yang berada dalam hubungan
intertekstual dengan teks-teks lain yang membina tradisi tersebut. Gadamer
mengakui selain kewujudan makna dalam komunikasi manusia, hakikat
lingkungan dan situasi yang bersifat sejarah turut membentuk pemikiran dan
sensitivitas seseorang penafsir yang mengakibatkan tafsirannya berbeda dengan
tafisran orang lain.
Hermeneutika menurut Ricoeur (1977) mempunyai tiga tahap strategi, yaitu
pertama bahasa sastra dan uraian filsafat bersifat simbolik, puitik, dan konsepsional
yang di dalamnya berpadu makna dan kesadaran. Tahap kedua, dalam bahasa
sastra pasangan rasa dan kesadaran menghasilkan objek estetika yang terikat pada
dirinya. Tanda dalam bahasa simbolik sastra mesti dipahami sebagai sesuatu yang
mempunyai peran konotatif, metaforikal, dan sugestif. Ketiga, bahasa sastra
berpeluang menerbitkan pengalaman fiksional dan pada hakekatnya, lebih kuat
dalam menggambarkan ekspresi kehidupan. Dalam kaitan meneliti tradisi berahoi

Universitas Sumatera Utara

masyarakat Melayu bahorok Langkat, pembaca tidak dapat memberi kemudahan
untuk memaknai secara langsung. Dalam hal ini teori hermeneutika diperlukan.
Prosedur hermeneutika dapat diuraikan sebagai tahapan yaitu tahap
pertama membaca teks dengan penuh kesungguhan menggunakan simpathetic
imagination (imajinasi yang penuh rasa simpati). Tahap kedua menafsir maksud
penyajian teks, menentukan tanda-tanda yang terdapat di dalamnya secara analisis
struktural, menentukan rujukan serta konteks dari tanda-tanda signifikan dalam
teks dan menyingkap makna terdalam. Tahap ketiga, melihat segala sesuatu yang
berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks itu yang merupakan
pengalaman tentang kenyataan non-bahasa (Ricoeur (1977).
Hermeneutika sebagai ilmu tentang penafsiran atau sistem penafsiran
dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami
makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
2.2.1.1 Penerapan Hermeneutika
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hermeneutika
menekankan terciptanya dialog antara penafsir dengan teks. Penerapan
hermeneutika cukup luas pada ilmu-ilmu kemanusiaan, sejarah, hukum, agama,
filsafat, seni, kesusasteraan, linguistik, atau ilmu-ilmu humaniora.
Teori dan metode ini membantu dan dapat memberikan bingkai yang jelas
dalam mengkaji tradisi berahoi. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa dalam
penelitian tradisi berahoi Melayu bahorok digunakan teori elektik secara multi
disiplin (kajian tradisi lisan, teori hemeneutika dan estetika paradoks). Sebelum

Universitas Sumatera Utara

meneliti dalam teori hermeneutika terhadap TB, ada baiknya diambil sebuah
kegiatan penafsiran tentang gejala pergantian waktu menjelang pagi.
Taslim (2012) menggambarkan pelukisan puisi “alamat hari nak Siang”9
memberikan “tanda-tanda” hari akan siang sebagaimana pengalaman manusia
silam. Puisi ini mengukur masa yang paling logis dan selaras dengan kehidupan
yakni memperhatikan perubahan alam lingkungan. Malam diukur melalui tabiat
manusia seperti anak muda pulang bertandang (waktunya melampaui tengah
malam), orang tua beralih tidur (mengalih miring badan karena lenguh), (sudah
terlalu lama tidur) budak dua kali terjaga (minum susu kali kedua-biasanya pukul
4.00 pagi). Demikian pula tanda petunjuk masa (sebelum dinihari) bunyi (unggas
dan kerbau serta lembu) gerak-gerik (merak mengigal) angin (mood) sering
lanting riang dirimba, warna alam (fajar sidik menyingsing naik). Manusia
tradisional Melayu juga tahu membaca fenomena alam-apabila embun jantan
mulai turun dan ada tandanya. Itu menandakan bahwa warna putih di kaki langit
mengisyaratkan peralihan malam dan siang (Taslim, 2012:44).
2.2.2 Teori Estetika Paradoks
2.2.2.1 Sejarah Filsafat Estetika

9

Tengah malam sudah terlampaui
Dinihari belum lagi tampak
Budak-budak dua kali jaga
Anak muda pulang betandang
Orang tua berkalih tidur
Embun jantan rintik-rintik
Berbunyi kuang jauh ke tengah
Sering lanting riang di rimba
Melenguh lembu dikandang
Sambut menguak kerbau di ladang
Berkokok mendung merak mengigal
Fajar sidik menyingsing naik

Universitas Sumatera Utara

Estetika adalah filsafat ilmu tentang keindahan dan ‘citarasa’ (The Liang
Gie, 2004:12 dalam Ratna, 2007). Sejarah estetika merupakan sejarah pemikiran
filsafah tentang teori kesejatian keindahan dan teori seni yang kelahirannya di
mulai oleh filsuf Plato berkembang sampai sekarang. Abad ke-18 merupakan
tanggal sejarah perkembangan estetika antara Platonisme dan Modernisme.
Platonisme dalam estetika ditandai dengan estetika sebagai keindahan bentuk,
sedangkan modernisme ditandai dengan estetika rasa indah (Soemardjo, 2004:20).
Pandangan falsafat tentang estetika dimulai pada abad ke-5 SM di Yunani,
demikian pula di tahun 206 SM – 220 AD di Cina dalam zaman dinasti Han
mengenal Tao (jalan) sebagai sumber nilai-nilai kehidupan. Filsuf Cina akhir abad
V, Hsien Ho menyusun enam prinsip dasar yang dinamai Canon Estetika Cina
(Kartika, 2007). Tiga unsur utama estetika Cina adalah kebesaran dan kedaulatan,
dan perfektif (penyempurnaan wujud), dan cinta alam.
Pada estetika India, personalitas semua mengacu pada objek. India sangat
mementingkan sikap dan bentuk yang simbolisme (perlambangan), semua yang
mencintai objek keindahan atau seni adalah didorong potensi teologis. Pandangan
estetika India klasik dikenal Sad – Angga atau enam pegangan keindahan yaitu
perbedaan bentuk (rupabhade), bentuk yang digambarkan sesuai dengan ide
(Sadisya), pramuna (ukuran yang tepat), suasana hati (Bhawa/mood), segi pesona
(lawannya), dan wibawa.
Pada perkembangan awal estetika disebut dengan istilah keindahan
(beauty). Alexander G. Baumgarsen dalam Ratna (2007) mulai membedakan
antara pengetahuan modern dengan pengetahuan intelektual. Istilah estetika secara

Universitas Sumatera Utara

etimologis menurut Shiple (1957:21) berasal dari bahasa Yunani, yaitu Austhesia,
yang diturunkan dari Aisthe (hal-hal yang dapat dianggap daya indra, tanggapan
indra). Estetika adalah keindahan, beauty (Inggris) beante (Perancis) yang juga
diturunkan melalui bonus, bonum, yang berarti sesuatu yang baik, sifat yang baik,
keutamaan, dan kebajikan.
2.2.2.2 Pengertian Estetika
Esthetics dalam bahasa Inggris adalah studi tentang keindahan dan dalam
bahasa Indonesia menjadi estetis, dan estetika, yang masing-masing berarti orang
yang ahli dalam bidang keindahan, bersifat indah, dan ilmu tentang keindahan.
Ciri-ciri keindahan adalah (1) keharmonisan (2) kesatuan (3) kesimetrisan (4)
keseimbangan (5) pertentangan, perlawanan kontradiksi (contrast).

Estetika

paradoks dalam penjabaran The Liang Gie di atas digolongkan estetika oposisi
(The Liang Gie, 1970:35).
2.2.2.3 Estetika Paradoks
Estetika adalah filsafat ilmu tentang keindahan sedangkan paradoks
dideskripsikan sebagai pernyataan yang paradoks atau kontradiksi atau pasangan
kembar oposisioner yang saling melengkapi (periksa Simaya, 2006:25).
Estetika Paradoks berisi tentang konteks berpikir kolektif pada masyarakat
modern. Manusia bukan bagian terpisah dalam posisi menghadapi apa saja yang
berada di luar dirinya sebagai subjek. Pemikiran pramodern adalah pemikiran
holistik (totalitas) yang menyamakan subjek dengan objek.
Karya seni yang dapat memproses arti mudah diasumsikan dalam beberapa
tahap sebagaimana ditolak oleh pihak lain. Ada diantara mereka yang mengartikan

Universitas Sumatera Utara

apresiasi seni sebagai perluasan arti objek seni tersebut dan sebaliknya, istilah
“arti” menerima suatu konotasi “honoris” sebagaimana berpegang pada
pengalaman daya tangkap arti yang tujuannya lebih tinggi mengenai estetika.
“…paradox is therefore used synonymously with contradiction. Ironic situations
can also be described throught a paradox. It can be said that the definition of
paradox is subjective. This is due to the fact that defferent people view this
term/concept (paradox) from different angles. The use of paradox in literature is
made in different context, many variatios can therefore, be found in the usage of
paradox. (Krant, Robert : 1979)
Pendekatan paradoks berasal dari estetika timur yang statis, dan dogmatis,
berkembang mulai zaman primitif secara lamban. Estetika paradoks masuk ke
dalam estetika Barat pada masa postmodernisme ketika pakar masa itu menggali
konsep kuno yang dinamakan “shock of the old” untuk tujuan melawan kaum
modernisme. Mereka menggali jatidiri (identity) lama melalui latar budaya (basic
culture) atau tradisi-tradisi etnik, religius, atau nilai spritual yang berlawanan
dengan nilai rasional modenisme.
Makna paradoks dapat dijelaskan melalui penggalian konsep-konsep,
kaum yang kuno menentang kaum modernisme, pencarian jati diri (identitas) yang
lama yaitu berupa latar budaya (basic culture) atau tradisi, tradisi etnik, religi,
atau nilai spiritual yang berlawanan dengan nilai nasional modernisme. Arti
estetika paradoks menurut Popescu (2002).
That works of art may prosses a meaning is as readily assumed in some
quartes as it is vigorously denied in others. There are those who denied
“art appreciation’ as apprehension of the art object’s meaning, and in
their hands the term ‘meaning’ receives an honoric conotation as refering
to that experience the grasping of which is the highest goal of aestethetic
aspiration.

Universitas Sumatera Utara

Estetika

paradoks

tidak

membedakan

adanya

dualisme

tetapi

mengkombinasi pasangan yang saling bertentangan dan saling berseberangan.
Menurut Sumardjo (2006:25) estetika paradoks di Indonesia masuk pada estetika
pramodern. Epistemologi pramodern Indonesia tidak memisahkan adanya
dualisme objek-subjek dalam prosesi menghadapi apa saja yang berada di luar
dirinya sebagai subjek. Pikiran pramodern adalah cara berpikir monoistik dan
segalanya adalah tunggal atau pemikiran tertulis yang menyamakan subjek dengan
objeknya.
Pola pikir masyarakat primordial Indonesia dibagi atas estetika pola dua,
pola tiga, pola empat,dan pola lima, selanjutnya analisis dalam upacara berahoi
akan menerapkan pola-pola sebagai berikut. Estetika pola dua dinyatakan dua
hidup manusia dalam eksiskusi dualisasi adalah bahwa setiap orang berusaha
menghimpun daya lewat simbol-simbol paradoks pada ritual mitos atau/dan
benda-benda. Dalam estetika ini, pola dua disebut golongan masyarakat peramu
(pemburu). Adapun ciri-ciri paradoks manusia adalah jiwa + badan, yang
bermakna cara hidup selalu diliputi ketakutan, kecurigaan, dan lainnya.
Estetika pola tiga terfokus pada simbol-simbol paradoks berupa “dunia
tengah” yang mengharmoniskan semua hal yang dianalistik-antagonistik,
mengutamakan paradoks duniawi daripada paradoks surgawi. Dalam kaitannya
dengan pandangan di atas, masyarakat Melayu Sumatera Utara digambarkan
berpola tiga dalam ragam hias ornamennya Sumardjo.

Universitas Sumatera Utara

Hermeneutik
Paradoks

Ke atas

ke bawah

Gambar 2.2. Pucuk Rebung (Sumber: Sumardjo, 2006:133)
Estetika pola empat dikenal dalam masyarakat pesisir kepulauan yang
hidup bergantung pada kesuburan tanah dan kekayaan laut. Kosmologi
masyarakat (estetika pola empat) ditandai pada wilayah dan ruang spasial yakni:
(a) Tanah perbukitan
(b) Langit (hujan)

masyarakat dalam pola empat ditandai pada

(c) Laut

penduduk Nusa Tenggara Timur

(d) Manusia
Alam pikir pola empat merupakan gabungan dari alam pikir pola dua dan
pola tiga. Unsur dominasi yang diambil dari pola dua adalah semangat persaingan
untuk mengetahui pasangan dualismenya. Masyarakat kelautan adalah masyarakat
penuh persaingan, kalah-menang, kematian-kehidupan. Masyarakat maritim
seperti masyarakat pola dua, hanya melakukan perburuan di lautan. Berbeda
dengan budaya masyarakat pola empat yang bersifat konsumtif, mereka tinggal
mengambil, memburu, mengumpulkan kekayaan yang tersedia dalam alam.
Daerah-daerah pesisir perladangan dan persawahan menggabungkan diri dalam

Universitas Sumatera Utara

kegiatan pelayaran dan perdagangan seperti di Sumatera (Melayu, Jawa, Bugis,
Aceh).
2.2.2.3.1 Estetika Pola Lima
Masyarakat pada pola lima adalah mereka yang mengandalkan hidupnya
dari bersawah. Masyarakat petani sawah berbeda dengan masyarakat petani
peladang. Di Indonesia, masyarakat peladang dan pesawah menggantungkan
sumber hidupnya dari bertani dengan menanam padi. Kalau masyarakat peladang
bertani padi di daerah perbukitan, masyarakat sawah bertani padi di dataran
rendah sehingga terdapat perbedaan di antara keduanya (Sumardjo, 2006:107).
Dalam masyarakat pola lima dikenal hubungan vertikal yakni relasi Ketuhanan
(Transender) dengan kemanusiaan (imanen) seperti digambarkan dibawah ini.

Pengaturan yang transender (rohani, ilahi)

Ke dunia imanen
(media, duniawi, manusiawi)
Kehadiran
yang transenden
dalam dunia imanen

Gambar 2.3 : Pengaturan Trasenden (Sumardjo, 2006:107)
Dalam penjelasan ini sumardjo menyatakan bahwa tujuan hidup manusia
sawah semua kehidupan menyelenggarakan upacara adat, sesajen, dan mantramantra. Benda-benda ritual (seni) bangunan rumah dan monumen adalah wujud
dari transenden – imanen.

Itu semua median yang mengantarkan daya-daya

Universitas Sumatera Utara

adikodrati, baik untuk keselamatan manusia di dunia atau musibah yang menimpa
manusia.
Menurut Sumardjo, Artefak-artefak seni pramodern harus direkonstruksi
kembali secara etik, agar dalam dekonstruksi modern tidak memperpanjang jarak
dari makna. Manusia modern dapat membangun konstruksi baru yang sesuai
dengan kebutuhan dengan cara mendekonstruksi dari sebuah rekonstruksi yang
memadai.
Estetika Pola Lima (mancopot kalimo pancer) terdiri atas unsur alam
rohani, alam semesta, alam manusia dan alam budaya. Pada estetika pola lima
pada keterangan selanjutnya estetika pola lima tergolong masyarakat yang
hidupnya bersawah. Kesatuan kampung terdiri atas empat kampung yang masingmasing menempati arah mata angin dan satu kampung berada di pusatnya.
Pada estetika pola lima ditandai pasangan:

2.3

(a) Kawula

- Gusti

(b) Hamba

- Maha Pencipta

(c) Insan

- Allah SWT

(d) Tunggal

- Plural

Kajian Terdahulu
Penelitian deskriptif tradisi seni pertunjukkan berahoi pernah dilaksanakan

pada tahun 1995 – 1996 oleh Kantor Bidang Kesenian pada Kanwil Depdikbud
Sumatera Utara. Kantor Bidang kesenian mempunyai program dokumentasi
rekaman seni tradisi di Sumatera Utara telah melakukan kegiatan merekam seni

Universitas Sumatera Utara

pertunjukkan ahoi-ahoi Melayu Langkat sebagai upaya mendokumentasikan
diskripsi seni tradisi tersebut.
Penelitian yang dapat mendukung kajian ini adalah sebagai berikut:
Buku Adat Budaya Resam Melayu Langkat (Zainal Arifin AK, 2009), Kearifan
Lokal Berpantun dalam Perkawinan Adat Melayu Batubara oleh T. Silvana Sinar
(2011). Adat Budaya Melayu Batubara (Junit Ibrahim, CS, 2009). Representasi
Ideologi Masyarakat Melayu Serdang Dalam Teks, Situasi, dan Budaya (T.
Thirhaya Zen, 2009). Kemudian penelitian dilakukan oleh G.L. Koster Buku
Mengembara di Taman-taman yang Menggoda(2011), Yoohnnee Kang, Buku
Untaian Kata Leluhur (2012), Nathan Porath, Ketika Burung itu Terbang
(2012),T.Akhirul” Upacara Tolak bala pada Masyarakat Pesisir Pantai Labu,
Robert Sibarani dalam Buku Kearifan lokal fungsi dan peran, dan metode tradisi
lisan (2012), Haji Othman bin Daya, Tradisi lisan Bercorak Cerita(2006), Helene
Bovier, Lebur, Seni Musik dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madani(2002), T.
Luckman Sinar, Sari Sejarah Serdang (2007).
Buku Adat Budaya Resam Melayu Langkat (2009), berupa penelitian yang
dilakukan oleh Zainal Arifin AKA tentang budaya Langkat dalam Era Kerajaan
Melayu, penulisnya menjabarkan adat bermasyaraat Melayu Langkat (masa
kelahiran, masa kanak-kanak, masa remaja dan upacara adat perkawinan).
Kemudian Zainal Arifin Aka selaku penulis menjelaskan budaya mempusakakan
adat, kesenian dan pemainan tradisional, dan upacara penobatan sultan dan
anugerah gelar.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian T.Silvana Sinar (2011) mengkaji tentang kearifan lokal
berpantun dalam perkawinan adat Melayu Batubara yang mengungkapkan
struktur, tema, makna, dan fungsi pantun perkawinan adat.
Zein (2009) dalam penelitiannya menjelaskan representasi ideologi
masyarakat Melayu Serdang dalam teks, situasi, dan budaya. Dalam penelitian
tersebut penulisnya memaparkan ideologi masyarakat Melayu Serdang dalam
transitivitas teks dengan mengambil syair, mantra, cerita rakyat, dan pidato
pawang dan pidato khutbah Jumat serta acara yang berkaitan dengan perlombaan
jenis permainan dalam tradisi Melayu.
Penelitian yang dilakukan G.L. Koster (2011) berjudul “Mengembara Di
Taman-taman Yang Menggoda” yang menjelaskan

konvensi-konvensi naratif

Melayu dengan mengambil Syar Ken Tambuhan, Syair Ikan Terubuk ditinjau
dari kerangka framatik dan konstruksi naratif. Kemudian peran dagang dan dalang
selaku narator dalam puitika sastra Melayu. Koster menerangkan peran dalang
(yang memainkan wayang) yang berkedudukan sebagai empunya cerita, bujangga.
Kemudian tipe narator pelaku dagang. Kata dagang secara simultan dapat berarti
pedagang atau orang asing. Istilah-istiah lain yang juga lazim digunakan untuk
mencirikan
tentang

tipe orang (musafir, dan fakir). Kemudian Koster menjelaskan

keberadaan sebuah kerajaan dalam peristiwa perang (syair Perang

Mangkasar, Perang Siak).
Penelitian yang dilakukan Yoohnee Kang (2012) berjudul “Untaian Kata
Leluhur Orang Petalangan Riau”. Peneliti menjelaskan bahasa orang Petalang

Universitas Sumatera Utara

Riau yang mengenal dunia gaib, ritual pengobatan, mengambil madu dengan lagu
cinta menjadikan tubuh sebagai mantra magis, perwujudan dan gender.
Porath (2012) yang mengkaji tradisi lisan yang bermain dengan therapi
Shamanis dan Pemeliharaan Batas-batas Duniawiah di Kalangan Orang Sakai
Riau. Peneliti mengungkapkan komposisi sosial Siak yang termasuk di dalamnya
Orang Batin (Sakai) di wilayah Manda Hulu. Menurut penulisnya, kompleks
Shamans Sakai tertanam jauh di dalam pengalaman kesejarahan kawasan Mandau
hulu. Orang-orang Sakai adalah orang-orang yang tinggal di hutan di pinggiran
kawasan Melayu Siak. Bagi orang Sakai, manusia memiliki kepercayaan pada
roh-roh (hantu) dan ‘magis’. Satuan dasar kehidupan orang Sakai bukanlah pada
perseorangan, tetapi sebagai makhluk sosial yang bermasyarakat. Orang Sakai
juga memahami manusia dalam pengertian kosmologi psikologis, yaitu
pengalaman psikologi seseorang dipahami sebagai bagian dari alam gaib yang
lebih luas yang menghubungkan sesorang dengan orang lain denga