Tradisi Puako Pada Masyarakat Melayu Batubara Kajian: Fungsi Dan Makna

(1)

Daftar Informan 1. Nama : Nur lela

Alamat : Desa Aras dusun satu Umur : 49 Tahun

Pekerjaan : Pedagang

2. Nama : Faridah Alamat : Desa Aras Umur : 51 Tahun

Pekerjaan : Ibu RumahTangga 3. Nama : Idrus

Alamat : Desa Aras Umur : 50

Pekejaan : Wiraswasta 4. Nama : Fajariah

Alamat : Desa Aras Umur : 47 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

5. Nama : Ahmad

Alamat : Desa Nenas Siam Umur : 49 Tahun

Pekerjaan : Pedagang 6. Nama : Fatimah


(2)

Umur : 51 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

7. Nama : Sutrisno

Alamat : Desa Nenas Siam Umur : 56 Tahun

Pekerjaan : Nelayan 8. Nama : Suhelmi

Alamat : Desa Lima Laras Umur : 39 Tahun

Pekerjaan : Nelayan 9. Nama : Abdullah

Alamat : Desa Lima Laras Umur : 58 Tahun

Pekerjaan : Nelayan

10. Nama : Anton

Alamat : Desa Nenas Siam Umur : 45 Tahun

Pekerjaan : Nelayan

11. Nama : Junaidi

Alamat : Desa Nenas Siam Ujung Umur : 50 Tahun


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Pradopo, Rachmat Djoko. 1986. penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik

Dalam jabrohim (ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Waluyo, Herman, J. 1991. Teori Dan Apresiasi. Jakarta: Erlangga

Tarigan, Henry Guntur, 1991. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Koentjandraningrat, 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial.

Jakarta: Gramedia.

Nanawi, Handari, 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadja Mada University press

Pradopo, Rahmaddjoko, 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadja Mada University press.

Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual. Yogyakarta. Gramedia.

Pierce,1979. A Theory Of Seemiotic. Bloomingtoon, Indiana University Press. Preminger,1979. A Theory Of Seemiotic. Bloomingtoon, Indiana University Press. Rahman, 1999. Falsafah Alam Semesta. Penerbit Jendral Kebudayaan:

Depdikbud Jakarta.


(4)

Eco, Umberto. 1979. A Theory Of Seemiotic. Bloomingtoon: Indiana University Press.

Syaifuddin, Wan dan T. Luckman Sinar. 2002. Kebudayaan Melayu Sumatera

Timur. Medan: USU Press.

Bappeda,2006.Letak Geografis Kabupaten Batubara,Jakarta.

Lebra, 1997.

Sprandly, 2

Pierce,2007, http://bahasa.kompasiana.com/2012/02/12/semiotika-ikon-dan-ikonisitas-pierce.


(5)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode yang bertujuan agar penelitian ini tersusun secara sistematis. Metode adalah cara berpikir menurut aturan tertentu dan sistem tertentu. Sedangkan meneliti dimaksudkan sebagai tindakan melakukan kerja penyelidikan secara cermat terhadap suatu sasaran utuk memperoleh hasil tertentu. (Hadi dalam Jabrohim, 2001:7).

3.1 Metode Dasar

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif, yang oleh Nawawi (1987:63) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Dalam metode deskriptif dilakukan penggambaran dan pengamatan data pada waktu tertentu, lalu memilih data yang akan diambil dan menguraikannya, setelah itu mengambil kesimpulan. Metode ini bermaksud untuk menjelaskan situasi dan keadaan yang ada.

Dengan demikian dalam penelitian ini penulis hanya menjelaskan data-data fakta yang menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau dapat diartikan sebagai prosedur objek penelitiannya dalam fungsi dan makna tradisi puako pada Masyarakat Melayu di Batubara.


(6)

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Kecamatan Air Putih, Kecamatan Lima Puluh, dan Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara tepatnya di Desa Aras, Desa Lima Laras, dan Desa Nenas Siam. Penulis memilih lokasi ini karena masih banyak dilakukan tradisi puako ini dan sangat mengetahui seluk-beluk lokasi ini karena ingin menggali lebih dalam lagi tentang fungsi dan makna dari tradisi puako yang terdapat di daerah ini.

3.3 Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah lisan, yang diambil langsung ke lapangan dari beberapa informan di Kecamatan Air Putih, Kecamatan Lima Puluh, dan Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara tepatnya di Desa Aras, Desa Lima Laras, dan Desa Nenas Siam.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah alat perekam, kamera digital, alat tulis, buku catatan, dan kamera handphone.

3.5Metode Pengumpulan Data

Dalam skipsi ini penulis menggunakan metode dan teknik pengumpulan data

sebagai berikut:

1. Metode observasi, yaitu di mana penulis langsung melakukan pengamatan pada objek penelitian.


(7)

2. Metode wawancara tidak berstruktur, yaitu melakukan wawancara terhadap informan yang dianggap dapat memberikan informasi atau data-data tentang objek yang diteliti tanpa menggunakan daftar pertanyaan, dengan menggunakan teknik :

a. Teknik rekam, yaitu merekam informasi atau data yang diberikan informan.

b. Teknik catat, yaitu mencatat semua keterangan yang diperoleh dari informan.

3. Metode kepustakaan, yaitu mencari bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan pokok penelitian sebagai data sekunder penulis untuk melengkapi data primer dari lapangan.

3.6Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, karena metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif maka peneliti bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi data. Untuk itu peneliti hanya membaca dan memperhatikan lalu berusaha menjabarkan atau menginterpretasikan data tersebut untuk dianalisis sehingga dapat memberikan kesimpulan setelah dilakukan pengecekan ulang atas data tersebut.

Informasi dan data yang diperoleh akan ditulis kemudian disusun secara sistematis dan dikategorisasikan, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan semiotik dan fungsi. Setelah penyusunan dan analisis data, informasi tersebut diklasifikasikan sesuai dengan bagian-bagian yang telah ditentukan sehingga dapat menghasilkan sebuah laporan penelitian yang integratif dan sistematis.


(8)

BAB IV

TRADISI PUAKO PADA MASYARAKAT MELAYU

BATUBARA

4.1 Tahapan Pelaksanaan Tradisi Puako Pada Masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara

Masyarakat etnis Melayu di Kabupaten Batubara melaksanakan tradisi

puako dilakukan setahun sekali, biasanya upacara Puako tersebut dilakukan ketika

salah satu dari anggota keluarga ada yang sakit panas (demam), sakit mata, pusing, dan lain-lain yang tak kunjung sembuh walaupun sudah dibawa kedokter ataupun sudah diberi obat dan bahkan sampai kerasukan. Oleh karena masyarakat etnis Melayu di Kabupaten Batubara percaya bahwa puako mereka sudah mengisyaratkan bahwa harus diadakan ritual ini. Setelah terjadi hal demikian biasanya keluarga tersebut melakukan musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan kapan waktu yang pas dilaksanakan tradisi puako tersebut.

Tradisi puako adalah proses pemujaan dengan memberikan makanan atau

sesajen kepada jin-jin. Masyarakat melayu membagi tradisi ini dalam dua bagian

yaitu puako darat dan puako gunung. Puako darat adalah jin-jin yang ada didarat sedangkan puako laut adalah jij-jin yang ada dilaut. Oleh karenanya cara pelaksanaan tradisi ini dilakukan sedikit berbeda.

Tradisi puako darat dilakukan hanya dengan satu keluarga saja dan biasanya tradisi ini dilakukan hanya untuk menyembuhkan penyakit kepada anak cucu sedangkan tradisi puako laut harus mengikut sertakan keluarga besar yang terdiri


(9)

sanak-famili dari satu keturunan sebagai syarat mutlak yang memang memiliki

puako sebagai warisan dari nenek moyang ataupun orang tua mereka. Selanjutnya

keluarga yang akan melaksanakan ritual tersebut harus menyiapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan ritual ini sedangkan sanak keluarga yang lain juga menyiapkan syarat pelengkap perorangannya. Adapun tahapan penjelasan dan pelaksanaan tradisi tersebut adalah sebagai berikut:

4.1.1 Tradisi Puako Darat

Puako darat adalah tradisi pemujaan kepada jin-jin darat dengan memberikan sesajen yang dilakukan sebagai kewajiban untuk puako tersebut. Pelaksanaan

tradisi ini dilakukan dengan menyiapkan bahan-bahan untuk sesaji dari jin-jin tersebut. biasanya tradisi ini dilaksanakan hanya untuk meminta kesembuhan penyakit pada salah seorang keluarga dan agar dijaga serta tidak mengganggu sipemilik puako tersebut.

Adapun bahan-bahan dalam tradisi puako darat adalah: 1. Tampah

2. Ayam biring bosi (ayam dua warna) 3. Sekapur sirih

4. Rokok daun 5. Tempurung kelapa 6. Bunga pialang 7. Daun pisang 8. Lempeng (wadah)


(10)

9. kemenyan

Setelah disediakan bahan-bahan tersebut barulah tahapan tradisi ini dapat dilakukan. Biasanya tradisi ini dilakukan mulai dari pagi hari sampai petang atau sore hari. Adapun tahapan dari tradisi puako darat ini adalah :

1. Pemotongan Ayam

Peoses ini dilakukan untuk mengumpulkan darah ayam tersebut lalu kemudian darah ayam tersubut ditampung kedalam tempurung yang telah disiapkan proses ini dilakukan dipagi hari setelah sarapan pagi atau sekitar pukul jam 08:00 sampai jam 09:00 wib pagi hari. dan yang melakukan proses pemotongan ini adalah laki-laki yang ada dalam keluarga tersebut, biasanya yang melakukannya adalah kepala rumah tangga ini. setelah darah sudah dikumpulkan maka dilakukan proses selanjutnya.

2. Pemcabutan Bulu Ayam

Tahapan ini dilakukan setelah dikumpulkannya darah ayam tersebut. Setelah darah terkumpul lalu ayam yang sudah mati ini pun dicabuti bulu-bulunya satu persatu. Setelah bulu-bulu siayam tercabut maka bulu tersebut akan ditempatkan kedalam wadah yang telah disiapkan.

3. Memasak

Setelah kedua tahapan tesebut dilakukan tahapan selanjutnya adalah memasak ayam tersebut, ayam tersebut dimasak menjadi gulai. Untuk tambahan dari gulai tersebut maka dimasak nasi. Setelah tahapan ini dilakuakan maka ditaruh diwadah yang telah disiapkan. dan proses ini dilakukan seperti biasanya


(11)

ibu rumah tangga memasak untuk makan disiang hari sekitar pukul 11:00 sampai pukul 12:00 Wib siang hari.

4. Makan Bersama

Tahapan ini dilakukan dengan megumpulkan semua keluarga yang terdiri atas ayah, ibu serta semua anak-anaknya. setelah semua keluarga terkumpul barulah disiapkan makan tersebut bersama bahan-bahan seperti tampah yang sudah berisi dengan darah ayam dalam tempurung, bulu-bulu ayam yang sudah ditempatkan dalam lempeng atau wadah, lalu sekapur sirih, kemenyan, sebatang rokok daun, dan bunga pialang proses ini sering disebut oleh masyarakat etnis Melayu adalah

pelongkap makan maksudnya ialah melengkapi makan mereka dan makanan

untuk puako yang memang bersahabat oleh mereka bahkan orang tua-orang tua sebelum mereka.

Setelah semua selesai dikumpulkan maka seluruh keluarga dan bahan-bahan sesaji tadi diletakkan disebuah ruangan dan biasanya ruangan tersebut berada diruangan tengah rumah yang memang besar. Lalu seluruh keluarga makan bersama dengan gulai ayam dan nasi yang telah disiapkan tadi. Dan proses ini biasanya dilakukan pada jam 13:00 sampai 14:00 wib sore hari.

5. Penggantungan Tampah

Setelah selesai makan bersama dalam tahapan ini dilakukan penggantungan tampah tersebut ditengah-tengah tempat satu keluarga yang berkumpul dan melakukan makan bersama tadi.


(12)

Sebelum proses penggantungan tampah beserta isinya tersebut tadi sisa-sisa tulang belulang seperti: kepala, kaki ayam dan semua tulang yang tersisa tersebut dikumpulkan dan diletakkan dalam wadah berupa daun pisang dan setelah itu diletakkan bersama keseluruhan isi tampah tersebut lalu digantungkan.

Setelah tampah yang berisi sesaji atau sajen tersebut digantungkan maka dilakukan pembakaran kemenyan tepat dibawah tampah yang telah digantungkan tadi, maka kepala rumah tangga yang terdiri atas ayah atau ibu tadi akan memanggil puako atau jin-jin itu dengan menyebutkan mantra ini,

Ooooiiiii… mambang darat engkowlah mambang atas segalo mambang Mambang-mambang elok nan pelok

Ooooiiiii… mambang laut engkowlah mambang atas segalo mambang Mambang-mambang landai da gitu pandai

Ooooiiiii… mambang laut engkowlah mambang atas segalo mambang Mambang-mambang kuat da gitu hebat

Uda kami bikinkan niha tuk ondak kau Kami sombahkan niha tuk kau

Uda kami bikinkan niha tuk ondak kau Kami sombahkan niha tuk kau

Apo lagi.. engko,

Tololong anak cucu jangan ganggu Sombuhkanlah dio

Jago-jago dio niha.. yoooo


(13)

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang cantik dan tampan

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang pintar dan cerdas

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang hebat dan kuat

Ini sudah kami buatkan atas apa yang kamu mau Kami sembahkan ini hanya untukmu

Sekarang, kamu

Tolonglah anak-cucu jangan diganggu Tolong sembuhkan dia

Jaga dia baik-baik ya

Setelah disebutkannya mantra tadi maka seluruh keluarga yang berkumpul didekat tampah yang telah digantung agar terkena asap dari pembakaran kemenyan yang ada dibawahnya sampai benar-benar asap kemenyan tadi terkena ke seluruh anggota keluarga dan pembakaran kemenyan tersebut sampai mati pelaksanaan tahapan ini pada umumnya setelah proses makan bersama selesai sekitar jam 14:00 sampai 17:00 wib.

6. Peletakan Tampah

Ini adalah tahapan terakhir dari tradisi puako darat ini setelah proses pembakaran kemenyan tadi selesai dan api dari kemenyan tersebut benar-benar padam maka sisa dari kemenyan tadi diletakkan kedalam tampah sama seperti


(14)

Barulah kemudian tampah yang tergantung tadi dicabut dan dipegang lalu setelah itu tampah yang berisi sesaji atau sajen untuk persembahan pada puako tersebut dipindahkan jauh keluar rumah dan diletakkan ke perbatasan desa atau kampung biasanya tepat dipersimpangan atau perepatan jalan.

4.1.2 Puako Laut

Sama seperti puako darat, puako laut juga pemujaan pada jin-jin. hanya saja jin yang berada dilaut. Hampir sama tata cara pelaksanaan pada tradisi ini hanya saja ada beberapa perbedaan pelaksanaannya. Tradisi ini dilakukan dengan mengikut sertakan seluruh keluarga besar yang biasanya satu keturunan dari pada pemilik puako tersebut. Tradisi ini dilakukan dalam biasa dilakukan dilakukan setahun sekali dengan estimasi waktu yang tak dapat ditentukan dan biasanya dilakukan ketika ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang tak berkunjung sembuh.

Dalam pelaksaan tradisi ini setiap anggota keluarga juga harus membawa seekor ayam masing-masing perindividu sebagai syarat dan juga sudah berbagi tugas dalam pembuatan beberapa kue basah dan kering untuk sesembahan atau

sajen karena pada pelaksanaan tradisi menggikut sertakan keluarga besar sebagai

ahli waris pemilik puako tersebut, Adapun bahan-bahan yang dilakukan untuk melaksanakan tadisi ini adalah :

1. Ancak 2. Ayam hitam 3. Ayam putih


(15)

4. Lempeng (wadah tempat kue) 5. Kue-kue basah seperti :

6. Kue-kue kering, seperti : karas-karas, kembang loyang, kue cincin, dodol dan lain-lain.

7. Takir (wadah yang terbuat dari daun pisang)

8. Kanca (kuali besar)

9. Bunga pialang 10. lilin

11. Tempurung kelapa

Adapun tahapan dalam proses pelaksanaan dari puako laut ini adalah sebagai berikut :

1. Pemotongan Ayam

Sebelum pada pelaksanaan fase ini terlebih dahulu dikumpulkan ayam-ayam dari sanak keluarga yang masing-masing satu orangnya menyiapkan satu ekor ayam dalam hal ini ayam-ayam yang digunakan adalah ayam kampung dan bebas dalam arti menggunakan berjenis kelamin dan warna apa saja, namun sembari juga menyiapkan ayam berwarna hitam dan putih masing-masing satu ekor dan yang menyiapkan ayam hitam dan putih ini adalah tuan rumah yang memang mempunyai hajatan utuk melaksanakan tradisi ini.

Setelah seluruh ayam terkumpul maka diadakan pemotongan ayam massal karena ayam yang banyak maka yang memotong harus juga banyak yang terdiri


(16)

atas beberapa orang yang ada dalam keluarga besar tersebut, lalu darah pada ayam tadi dikumpulkan di tempurung-tempurung kelapa yang sudah disiapkan.

Dalam hal ini yang harus memotong ayam-ayam tersebut adalah laki-laki dan sangat dilarang perempuan untuk melakukan pemotongan ayam ini disebabkan kepercayaan masyarakat etnis melayu di Kabupaten Batubara bahwa takut terkena darah ayam sebab puako akan marah dan menolak sesaji yang akan diberikan padanya dengan menenggelamkan ancak yang dihanyutkan kesungai nanti. Proses ini dilakukan dalam estimasi waktu di pagi hari sekitar pukul 08:00 sampai 09:00.

2. Pencabutan Bulu-bulu Ayam

Dalam fase ini biasanya yang mencabuti bulu-bulu ayam ini adalah dari para perempuan dalam keluarga ini, namun juga tidak tertutup para laki-laki yang ada dalam keluarga ikut serta membantu, Ini dikarenakan banyaknya jumlah ayam yang ada. lalu kemudian bulu-bulu ayam yang sudah tercabut tadi dikumpulkan disatu tempat sebelum diambil per ekornya masing-masing satu helai bulu dimasing-masing sayap dan ekor sebagai syarat yang diletakkan didalam ancak dan dilapisi daun pisang yang sudah disediakan.

3. Memasak

Masak dalam tradisi puako laut dilakukan dengan menggunakan kanca atau kuali besar, dalam hal ini seluruh ayam disiapkan untuk dimasak menjadi gulai dan pada umumnya gulai lemak. Namun untuk ayam hitam dan putih tadi tidak dimasak karena kedua ayam tersebut akan di sombam atau dibakar sebagai syarat untuk sesaji yang akan diletakkan untuk melengkapi isi daripada ancak.


(17)

Untuk melengkapi hal ini biasanya setelah itu akan memasak nasi juga sebagai kawan dari pada ayam gulai tersebut. Dan tidak jarang seluruh keluarga juga memasak kue-kue baik lue basah maupun kue kering, jika ada beberapa kue yang belum disiapkan sebagai syarat dari pada tradisi ini.

4. Makan Bersama

Makan bersama ini dilakukan disiang hari dalam tahapan ini seluruh keluarga akan berkumpul disebuah ruangan yang disiapkan untuk mengadakan makan bersama dengan ayam gulai yang telah disiapkan dan juga nasi yang sudah dimasak juga, untuk kue-kue yang ada juga dapat dimakan namun dalam setiap jenisnya harus ada yang dilainkan baik kue basah dan juga kue keringnya sebagai syarat untuk melengkapi isi dari pada ancak tersebut.

Setelah selesai makan bersama seluruh sisa tulang-tulang tersebut dikumpulkan menjadi disatu tempat dan diletakkan dalam wadah daun pisang, dan ancak tersebut diletakkan ditengah-tengah tempat berkumpulnya sanak saudara tersebut.

5. Pembakaran Kemenyan

Sebelum diadakan pembakaran kemenyan maka disiapkan isi daripada ancak tersebut yang meliputi sekapur sirih, dua buah ayam sombam atau ayam bakar, darah ayam yang ada didalam wadah tempurung kelapa, kue kering dan kue-kue basah, bunga pialang, sekapur sirih, rokok daun, tulang-tulang ayam yang sudah diletakkan didalam wadah daun pisang, dan juga sekopal nasik atau sekepal


(18)

nasi putih dan kuning yang diletakkan dalam takir atau wadah yang terbuat dari daun pisang.

Setelah isi ancak sudah disiapkan dan sudah sempurna barulah dibakar kemenyan dalam ancak tersebut barulah dibacakan mantra untuk menanggil

puako-puako laut tersebut yang berbunyi,

Ooooiiiii… mambang laot engkowlah mambang atas segalo mambang Mambang-mambang elok nan pelok

Ooooiiiii… mambang laut engkowlah mambang atas segalo mambang Mambang-mambang landai da gitu pandai

Ooooiiiii… mambang laut engkowlah mambang atas segalo mambang Mambang-mambang kuat da gitu hebat

Uda kami bikinkan niha tuk ondak kau Kami sombahkan niha tuk kau

Apo lagi.. engko,

Tololong anak cucu jangan ganggu Sombuhkanlah dio

Jago-jago dio niha.. yoooo

Artinya:

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang cantik dan tampan

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang cerdas dan pintar


(19)

Mambang-mambang yang kuat dan ebat

Ini sudah kami buatkan atas apa yang kamu mau Kami sembahkan ini hanya untukmu

Sekarang, kamu

Tolonglah anak-cucu jangan diganggu Tolong sembuhkan dia

Jaga dia baik-baik ya

Setelah diadakan pembacaan mantra tersebut barulah ancak yang sudah dibakar kemenyan tadi dikelilingkan dan diangkat diatas kepala seluruh anak beranak saudara sepimilik puako tersebut sampai semua benar-benar memang mengikuti prosesi ini dan juga benar-benar semua keluarga pewaris puako ini memang sudah dilakukan pengiringan ancak yang dikelilingkan diatas kepala mereka.

6. Penghanyutan Ancak Kesungai

Ini adalah fase terakhir dalam tradisi puako laut ini, proses ini dilakukan ketika hari sudah senja dengan membawa ancak beserta seluruh isi dari pada ancak tersebut kesungai, lalu sebelum dihanyutkan maka setiap segi atau sudut ancak tersebut dihidupkan lilin dan kemudian dibacakan lagi mantra untuk memanggil puako laut tersebut,

Ooooiiiii… mambang laut engkowlah mambang atas segalo mambang Mambang-mambang elok nan pelok


(20)

Mambang-mambang landai da gitu pandai

Ooooiiiii… mambang laut engkowlah mambang atas segalo mambang Mambang-mambang kuat da gitu hebat

Uda kami bikinkan niha tuk ondak kau Kami sombahkan niha tuk kau

Apo lagi.. engko,

Tololong anak cucu jangan ganggu Sombuhkanlah dio

Jago-jago dio niha.. yoooo

Artinya:

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang cantik dan tampan

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang cerdas dan pintar

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang kuat dan ebat

Ini sudah kami buatkan atas apa yang kamu mau Kami sembahkan ini hanya untukmu

Sekarang, kamu

Tolonglah anak-cucu jangan diganggu Tolong sembuhkan dia


(21)

Setelah disebutkan mantra ini maka ancak tersebut di letakkan dialiran sungai namun sebelum dihanyutkan maka air disekitar ancak tersebut diambil dan diletakkan kedalam wadah air, air yang sudah diambil biasanya diminum dan dimandikan kesemua anggota keluarga yang mengikuti tradisi puako ini, maka selepas fase ini ancak tersebut dihanyutkan. Dalam penghanyutan ancak ini maka akan dilihat bila ancak tersebut hanyut jauh dan tidak tenggelam maka sesembahan ancak ini diterima oleh puako-puako tersebut, dan apabila sesajian ancak ini tidak hanyut jauh dan tenggelam masyrakat etnis melayu di Kabupaten Batubara percaya sesejian ini tidak diterima oleh puako-puako mereka.

4.2 Jenis Dan Makna Tanda Pada Tradisi Puako Pada Masyarakat Melayu Di Kabupaten Batubara

Jenis dan makna pada tradisi puako pada masyarakat melayu di kabupaten batubara adalah sebagai berikut :

4.2.1 Jenis Dan Makna Dalam Tradisi Puako Darat Pada Masyrakat Melayu Kabupaten Batubara

1. Pemotongan Ayam


(22)

Gambar 2 Penampungan darah

Pemotongan ayam pada tradisi puako pada masyarakat etnis Melayu adalah untuk memberikan makan pada puako yang dimiliki etnis Melayu di Kabupaten Batubara, dan dalam proses pemotongan ayam tersebut akan menggambil darah ayam yang menandakan makna bahwa sebagai pengahapus dahaga dari puako tersebut.

Darah juga dapat menandakan sebagai lambang bentuk dari rasa balas budi terhadap puako karena menjaga dan melindungi keluarga dalam keadaan apapun sebab darah adalah bagian sangat vital dalam tubuh yang mengantarkan semua aspek yang dibutuh oleh manusia. Secara garis besar tidak ada perbedaan antara tradisi puako darat maupun tradisi puako laut dalam hal tanda maupan makna.

2. Memasak


(23)

Dalam tradisi puako masak bersama merupakan hal yang paling khas sebelum dimulainya tradisi ini, memasak ini melambangkan makna kebersamaan antar keluarga baik itu tradisi puako laut maupun tradisi puako darat, yang saling tolong-menolong antar sesama keluarga. Hal ini juga ditandai dengan bantu-membantu antara puako dan keluarga sekaligus juga melambangkan persahabatan dan kekeluargaan antara sipemilik puako ini yang memang sudah saling membutuhkan yang dilakukan dari zaman dahulu kepada nenek moyang dan pendahulu-pendahulu sebelum mereka.

3. Makan Bersama

Gambar 4 Makan bersama

Dalam tradisi puako darat maupun tradisi puako laut makan bersama adalah proses dimana akan ditandainya awal mula tradisi puako ini, makan bersama dimana dimaknakan bahwa sebelum melakukan aktivitas sehari-hari harus makan terlebih dahulu agar segala aktivitas yang kita lakukan secara maksimal, sama seperti tradisi ini agar berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan maka sebelum memberikan makan puako harus makan terlebih dahulu


(24)

sebagai makna dari saling melengkapi, saling menjaga dan saling membutuhkan antara puako dan sipemilik puako tersebut.

4. Penggantungan Tampah

Gambar 5 Tampah

Proses ini ditandai dengan disiapkannya bahan-bahan sesaji untuk sajen seperti darah yang sudah ditampung dalam tempurung kelapa, bunga pialang, sekapur sirih, kemenyan dan rokok daun yang memiliki makna sebagai pemersatu yang membentuk satu kesatuan untuk sesaji atau sajen puako tersebut.

Gambar 6 Bunga pialang

Bunga pialang adalah lambang keindahan dan dimaknakan sebagai kesuburan. bunga pialang yang dapat tumbuh dimana-mana menjalar juga


(25)

diartikan walau kita berpisah jauh namun kita nantinya akan bersatu untuk melakukan ritual ini, anak-cucu selalu mengenang, semua puako warisan leluhur berupa apa saja yang memang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal agar selalu melaksanakan ritual puako ini sebagai warisan leluhur.

Gambar 7 Sekapur sirih

Sekapur sirih dalam tradisi puako pada masyarakat melayu dimaknakan sebagai lambang persahabatan dan juga persaudaraan antara etnis melayu dan juga

puako tersebut sebagai warisan atau ahli waris puako tersebut yang menganggap

berharga. Selain itu juga sekapur sirih digunakan sebagai awal media komunikasi terhadap puako tersebut. Sekapur sirih juga dimaknakan sebagai dalam masyarakat Melayu sekapur sirih mempunyai arti hormat menghormati, berbudi bahasa, bersatu padu, hidup beradat dan berperaturan terutama pada makna dalama tradisi Puako ini.

Sekapur sirih terdiri dari Kapur, didapati dari kerang atau batu kapur sementara sifatnya hangat dan melenturkan. jadi arti dari kapur melambangkan hati yang bersih tapi jika dalam keadaan memakasa bisa juga menimbulkan kemarahan, dan juga Sirih, pohonnya bersifat memanjat dan memerlukan


(26)

sandaran, arti dari sirih sifat merendah diri dan memuliakan orang lain, sedangkan diri sendiri adalah pemberani.

Gambar 8 Rokok daun

Rokok daun pada tradisi puako pada masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara dilambangkan sebagai bentuk hati yang tabah dan rela berkorban. Ini dimaknakan sebab rokok memiliki daun tembakau yang berasa pahit dan selalu dibakar baik dalam keadaan apapun, susah, senang, sedih maupun bahagia.

Rokok daun juga dimaknakan sebagai bagian dalam kehidupan kita yang ada dalam dua aspek yaitu hubungan timbal balik yang saling melengkapi, baik susah dan senang, sehat dan sakit, jiwa dan raga dan lain-lain. Ini dikarenakan hubungan saling membutuhkan antara tembakau dan daunnya sebagai dua bagian yang tak terpisahkan sama dengan kehidupan manusia sampai kapanpun yang selalu memiliki dua aspek yang tak terpisahkan.

Pemanggilan puako :

Ooooiiiii… mambang darat engkowlah mambang atas segalo mambang Mambang-mambang elok nan pelok


(27)

Mambang-mambang landai da gitu pandai

Ooooiiiii… mambang laut engkowlah mambang atas segalo mambang Mambang-mambang kuat da gitu hebat

Uda kami bikinkan niha tuk ondak kau Kami sombahkan niha tuk kau

Uda kami bikinkan niha tuk ondak kau Kami sombahkan niha tuk kau

Apo lagi.. engko,

Tololong anak cucu jangan ganggu Sombuhkanlah dio

Jago-jago dio niha.. yoooo

Artinya

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang cantik dan tampan

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang pintar dan cerdas

Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang Mambang-mambang yang hebat dan kuat

Ini sudah kami buatkan atas apa yang kamu mau Kami sembahkan ini hanya untukmu

Sekarang, kamu

Tolonglah anak-cucu jangan diganggu Tolong sembuhkan dia


(28)

Jaga dia baik-baik ya

Dari tanda diatas dapat dilambangkan bahwa makna dari mantra tersebut adalah menginginkan adanya permintaan perlindungan pada puako atau jin-jin agar dapat dijauhkan dari segala macam bahaya, disembuhkan segala macam penyakit dan juga dijaga agar selalu dalam keadaan baik dengan cara melakukan ritual ini yang memberikan sesaji atau sajen sebagai syarat mutlak agar tercipta hal-hal yang diinginkan tersebut oleh karena itu harus diadakan ritual ini yang bersifat tradisi karena dilakukan secara berulang-ulang dengan estimasi waktu satu tahun sekali.

Dalam mantra ini juga disebutkan bagaimana makna yang menunjukkan bahwa pengharapan yang begitu besar, dan dalam bentuk kepercayaan akan kekuatan yang dimiliki oleh puako yang memiliki sesuatu yang mampu melindungi, menjaga serta menyembuhkan sipemilik puako dari segala macam hal-hal yang tidak diinginkan, ini dibuktikan pada kalimat Ooooiiiii… mambang

laut engkowlah mambang atas segalo mambang, Mambang-mambang elok nan pelok, Ooooiiiii… mambang laut engkowlah mambang atas segalo mambang, Mambang-mambang landai da gitu pandai, Ooooiiiii… mambang laut engkowlah mambang atas segalo mambang, Mambang-mambang kuat da gitu hebat yang

memiliki arti Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang, Mambang-mambang yang cantik dan tampan, Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang, Mambang-mambang yang pintar dan cerdas, Hey mambang (jin atau hantu) kamulah mambang dari semua mambang, Mambang-mambang yang hebat dan kuat. Sehingga dapat disimpulkan


(29)

bahwa bagaimana pada tradisi ini Etnis Melayu yang di Kabupaten Batubara sangat mempercayai akan kegunaan dari tradisi ini.

Dalam mantra ini juga dapat diketahui bagaimana kepecayaan akan ada gangguan dari Puako tersebut sehingga dilaksanakannya tradisi ini agar dapat terhindar dan juga dapat diberhentikan gangguan dari puako tesebut ini dibuktikan akan adanya kalimat dalam mantra ini yang bebunyi Uda kami bikinkan niha tuk

ondak kau, Kami sombahkan niha tuk kau, Apo lagi. engko, Tololong anak cucu jangan ganggu, Sombuhkanlah dio, Jago-jago dio niha.. yoooo yang memiliki

arti Ini sudah kami buatkan atas apa yang kamu mau, Kami sembahkan ini hanya untukmu, Sekarang, kamu, Tolonglah anak-cucu jangan diganggu, Tolong sembuhkan dia, Jaga dia baik-baik ya. Artinya dapat diketahui bagaimana kepercayaan masyarakat etnis Melayu di Kabupaten Batubara akan tradisi puako ini sangat penting dalam kehidupan mereka, dan tidak dapat dipisahkan dalam berkehidupan sehari-hari dikarenakan akan kepercayaan akan dijaga, dilindungi dan juga akan disembukankan dari penyakit yang dipercayai akibat tidak dilaksanakan tradisi ini.

5. Peletakkan Tampah


(30)

Peletakkan tampah dalam tradisi puako ini melambangkan makna pelepasan sesaji yang disiapkan tersebut kealam bebas, peletakkan tampah yang berisi sesaji-saji tersebut memaknakan bahwa berakhirnya tradisi puako yang ada didarat tersebut. Dalam peletakkan tersebut dilakukan diwaktu senja karena ada sebuah keyakinan dalam hal ini bahwa setiap puako akan berkumpul pada waktu itu untuk mengkonsumsi sesaji-saji tesebut.

Dalam hal ini tempat pelepasan dari sesaji-sesaji tersebut tepat dipebatasan desa dan dipersimpangan atau pertigaan jalan melambangkan makna bahwa dalam tempat-tempat tersebut dianggap sakral bagi masyarakat etnis Melayu yang menggunakan tradisi puako ini, karena sudah dilakukan juga oleh pendahulu-pendahulu mereka yang juga menggemban tradisi ini sebelum mereka. Dan tempat ini juga dianggap juga ada penjaga puako mereka dan tempat bekumpulnya puako-puako ditempat-tempat seperti ini.

4.2.2 Jenis Dan Makna Dalam Tradisi Puako Laut Pada Masyrakat Melayu Kabupaten Batubara

Adapun jenis dan makna dalam tradisi puako laut ini adalah sebagai berikut :

4.2.2.1 Ancak


(31)

Makna yang melambangkan dalam ancak adalah bagaimana kesatuan dan keberagaman yang saling melengkapi, dalam setiap sudut-sudut berisi beberapa bahan-bahan sesaji atau sajen yang terdiri atas dua buah ayam bakar, darah ayam yang diletakkan dalam tempurung kelapa, bunga pialang, sekepal nasi putih dan kuning yang diletakkan dalam takir, rokok daun, kemenyan dan lilin.

Gambar : 10 kue kering dan kue basah

Makna yang melambangkan kue-kue kering dan basah ini adalah pada keberagaman baik sifat, watak dan prilaku namun memiliki tujuan tetap satu untuk kebaikan bersama dan untuk selalu dalam penjagaan puako tersebut. Makanan juga memiliki makna bahwa sebagai wujud penghargaan, rasa hormat dan apresiasi pada puako sebagai penjaga dan melindungi sipemilik puako tersebut. Dalam hal ini kue-kue yang disuguhkan kepada puako tersebut harus satu-satu perjenisnya yang melambangkan sebuah kesatuan yang bertujuan sama


(32)

yang melindungi dan menjaga sipemilik puako tersebut dari segala sesuatu yang tidak diinginkan seperti bahaya, penyakit dan gangguan-gangguan yang lain.

Gambar 11 nasi kuning dan nasi putih

Dalam hal ini makna yang melambangkan nasi kuning dan putih adalah sebuah simbol dari kebersihan, maksudnya adalah kebersihan dari segala sesuatu yang dianggap tidak baik bagi diri sipemilik puako seperti keegoisan dan sifat individualis sebagai sifat dasar manusia, namun dengan nasi kuning dan putih ini adalah bentuk dari makna bahwa setiap orang itu sama dan makananpun sama sehingga tidak ada yang membedakan setiap manusia.

Nasi putih dan kuning juga memiliki makna dua warna yang saling membutuhkan, seperti manusia yang memiliki dua hal yaitu kehidupan dan kematian. Beras dan pulut yang dari alam sebagai lambang dari kehidupan manusia yang memang membutuhkan alam untuk hidup bahkan setelah meninggalpun akan dikembalikan kepada alam.


(33)

Gambar 12 tulang ayam dan ayam bakar

Dalam tradisi puako ayam yang sudah dibakar dan sisa-sisa ayam yang sudah dimakan itu adalah lambang yang makna sebuah proses ketangkasan dan kekuatan namun pada akhirnya tak bisa melawan takdir dan harus menerima takdir tersebut, sama seperti tradisi ini sekuat dan sehebat apapun sipemilik puako tersebut maka harus tetap harus diterima sebagai warisan dari orang tua dan pendahulu-pendahulu mereka.

Dalam hal ini ayam tersebut juga melambangkan bentuk penghormatan pada puako tersebut sebagai suguhan atas apa yang telah dilakukan dalam menjaga, melindungi serta menyembuhkan penyakit sehingga menjadi bentuk balas budi karena jasa-jasa dari puako tersebut.


(34)

Gambar 12 pembakaran kemenyan

Makna dari kemenyan dan pembakaran kemenyan pada tradisi ini adalah sebagai cara memanggil puako tersebut, dan kemenyan ini digunakan untuk menciptakan penghubungan antara puako dan sipemilik puako tersebut sehingga terjadi proses komunikasi yang tidak disadari oleh para pemilik komunikasi yang dikenal sebagai sako-sako oleh masyrakat etnis melayu dikabupaten batubara. 4.2.2.2Penghanyutan ancak

Makna dalam penghanyutan ancak kesungai atau kemuara dan laut adalah sebagai wujud pengembalian hak dari puako tersebut, yang memang tradisi ini dibuat untuk puako itu, sehingga harus dihanyutkan agar dapat diterima oleh puako tersebut. Dan proses ini juga melambangkan diterima atau tidak sesaji atau

sajen yang dihanyutkan tersebut dapat dilihat apabila ancak tersebut lama

tenggelam dan hanyut jauh maka sesaji tersebut diterima namun jikalau sebaliknya berarti ancak tersebut belum diterima dan harus dibuat lebih baik ketika selanjutnya tradisi ini dilakukan yang normalnya dilakukan setahun sekali.


(35)

4.3 Fungsi Tradisi Puako Pada Masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara Setiap tradisi sejatinya memiliki fungsi-fungsi disetiap pelaksanaannya, adapun fungsi-gungsi dari tradisi puako pada masyarakat melayu di kabupaten batubara adalah sebagai berikut :

4.3.1 Fungsi Tradisi Puako Darat 4.3.1.1 Pemotongan Ayam

Dalam hal ini fungsi pemotongan ayam adalah untuk mengumpulkan darah yang diletakkan dalam wadah yang berupa tempurung kelapa. darah ayam yang sudah ditampung tersebut berfungsi sebagai syarat wajib untuk puako-puako tau jin yang akan dipersembahkan untuk mereka.

4.3.1.2Pemcabutan Bulu Ayam

Pencabutan bulu ayam ini dilakukan untuk melengkapi syarat dalam tradisi ini yang diletakkan dalam tampah nantinya yang diletakkan dalam daun pisang dalam tradisi ini. Bulu ayam dianggap sakral pada tradisi ini sehingga diharuskan diletakkan bersama sesaji-sesaji atau sajen yang lain sehingga menjadi keharusan untuk mengumpulkan bulu-bulu ayam sebagai fungsinya.

4.3.1.3Memasak

Fungsi masak itu sendiri dalam tradisi puako ini adalah sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam tradisi ini, memasak yang tentunya untuk dimakan adalah fungsinya sebagai menyiapkan makanan untuk sesaji tersebut juga untuk makanan sipemilik puako tersebut, setelah selelsai dimakan makan sisa-sisa ayam yang


(36)

dimakan tersebut dikumpulkan tulang-belulangnya sebagai syarat untuk melengkapi isi tampah yang akan disembahkan untuk puako-puako tersebut.

4.3.1.4Makan Bersama

Dalam hal ini makan bersama berfungsi sebagai moment mengumpulakan keluarga pemilik dari puako tersebut yang nantinya setelah itu akan dimulainya proses tradisi ini. Dan sebelum pemberian sesaji untuk puako tersebut sudah sepantasnya yang memberikan sesaji harus makan agar tradisi ini dapat berjalan sesuai yang dihaapkan dan dapat menghasilkan sebuah hasil yang maksimal sesuai fungsi dari makan bersama ini.

4.3.1.5Penggantungan Tampah

Fungsi penggantungan tampah adalah agar dapat membakar kemenyan tepat dibawah tampah yang digantung tersebut yang berfungsi sebagai pemanggilan dari puako-puako oleh sepimilik puako. Dan kemenyan yang dibakar tersebut lalu diharuskan dikenakan kapada seluruh keluarga yang mengikuti proses tradisi ini yang berfungsi sebagai wujud dari pengharapan agarr dilindungi oleh

puako-puako tersebut.

Dan proses ini dilakukan sampai benar-benar mendapatkan sako-sako atau sebuah komunikasi yang hanya dapat dirasakan oleh batin tanpa dilakukan dengan sengaja yang juga tanpa sadar dan hanya dirasakan oleh batin yang artinya

puako-puako tersebut sudah menerima sesaji-sesaji tersebut.


(37)

Peletakkan tampah pada tradisi puako ini berfungsi sebagai akhir dari tradisi ini, dan tampah yang diletakkan dipersimpangan atau dipertigaan jalan berfungsi sebagai pemberian sesaji kepada puako-puako tersebut. dan peletakkan tampah dilakukan ketika senja ini berfungsi karena pada saat tersebut waktu berkumpulkannya puako-puako dan tempatnya tepat didaerah itu agar dapat dijaga dan dilindungi oleh puako-puako tersebut.

4.3.2 Fungsi Tradisi Puako Laut 4.3.2.1 Ancak

Fungsi ancak adalah sebagai wadah penghimpun dari bahan-bahan sesaji seperti ayam, darah ayam, bulu ayam, nasi kuning dan putih, kemenyan, lilin, kue kering dan kue basah.

Fungsi dari pada ayam, darah ayam, dan bulu ayam adalah sebagai makanan dari pada puako-puako tersebut, dalam hal ini ayam yang sudah diproses tersebut difungsikan sebagai lauk-lauk sama seperti dalam kehidupan sipemilik

puako tersebut yang dibiasanya dikonsumsi pada saat-saat tertentu dan spesial dan

oleh karena itu pada saat tradisi ini ayam adalah sebuah keharusan yang diadakan sebagai sesaji untuk puako tersebut.

Nasi kuning dan putih dalam tradisi puako ini berfungsi untuk syarat untuk

puako yang dipercayai sebagai makan yang dikonsumsinya. nasi putih yang

makanan pokok sehari-hari yang sangat fundamental dalam kehidupan sehari-hari dan nasi kuning yang disajikan pada moment dan saat tertentu yang spesial


(38)

disatukan dan disajikan dalam tradisi ini berfungsi sama dengan puako yang menjaga dan melindungi sebagai bentuk penghoramatan atas jasa-jasa tersebut.

Kue-kue baik kue kering dan basah berfungsi sebagai bentuk sesaji-sesaji dalam tradisi ini kue-kue yang beraneka ragam ini berfungsi sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih pada puako yang melindungi dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti guna-guna, racun, dan penyakit yang dibuat oleh orang-orang yang tidak senang melihat sipemilik puako.

Kemenyan dan pembakaran kemenyan berfungsi sebagai pemanggilan

puako-puako tersebut dan berfungsi juga sebagai media komunikasi yang

dilakukan dalam tradisi puako ini. 4.3.2.2 Penghanyutan Ancak

Penghanyutan ancak ini berfungsi sebagai bentuk penyuguhan pada puako tersebut, dalam hal ini ancak dihanyutkan baik kesungai, muara yang nantinya akan hanyut kelautan lepas berfungsi sebagai bentuk rasa terima kasih kepada puako sehingga harus disuguhkan serta dikembalikan kelaut.

Sebelum dihanyutkan ancak tersebut terlebih dahulu diambil airnya yang dipercayai sakral dan dikonsumsi ataupun dimandikan pada sipemilik puako ini semua berfungsi sebagai obat ataupun berharap tuah dari air tersebut yang dapat menyembuhkan penyakit dan lain-lain.

4.4 Analisis Struktur Mantra Puako 4.4.1 Analisis Struktur Fisik


(39)

Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur tersebut dapat ditlaah satu persatu, tetapi unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu adalah diksi, kata-kata kongkrit, imajinasi, majas atau gaya bahasa.

Pemilihan kata-kata dengan makna kias dan makna lambang dalam mantra tidak akan di dapati dalam bahasa ibu. karena kekuatan dalam kata-kata tersebut memiliki makna dalam pengucapan. Menafsirkan mantra juga harus dengan memahami konvensi mantra, yakni bahwa bahasanya bersifat konotatif.

Dapat dilihat pada mantra yang diterjemahkan berikut ini:

Ooooiiiii… mambang darat engkowlah ‘Hey mambang (jin atau hantu)

kamula

mambang atas segalo mambang mambang dari semua mambang Mambang-mambang elok nan pelok Mambang-mambang yang cantik

Ooooiiiii… mambang laut engkowlah ‘Hey mambang (jin atau hantu)

kamulah

mambang atas segalo mambang mambang dari semua mambang, Mambang-mambang Mambang-mambang

landai da gitu pandai yang pintar dan cerdas

Ooooiiiii… mambang laut engkowlah ‘Hey mambang (jin atau hantu)

kamulah mambang atas segalo mambang Mambang dari semua mambang,

Mambang-mambang kuat da gitu hebat Mambang-mambang yang hebat


(40)

Uda kami bikinkan niha tuk ondak kau ‘Ini sudah kami buatkan atas apa

Yang kamu mau

Kami sombahkan niha tuk kau Kami sembahkan ini hanya untukmu Apo lagi.. engko, Sekarang, kamu

Tololong anak cucu jangan ganggu ‘Tolonglah anak-cucu jangan diganggu Sombuhkanlah dio Tolong sembuhkan dia

Jago-jago dio niha.. yoooo Jaga dia baik-baik ya

arti dan maksud dari pada kata-kata mantra diatas secara keseluruhan adalah bagaimana mambang-mambang disini adalah jin-jin ataupun puako yang mana memiliki paras yang cantik dan tampan dan pintar dan cerdas sekaligus serta hebat dan kuat dengan meminta tolong untuk menjaga dan melindungi serta memberi kesembuhan pada penyakit. Dalam hal ini bagaimana puako tersebut diharapkan melakukan hal-hal tersebut yang dilakukan turun-temurun sehingga menjadi sebuah tradisi untuk hal ini dilakukan satu tahun sekali.

Dalam mantra ini bagaimana sipemakai puako sangat percaya dengan mantra ini, dapat diketahui dengan Sombuhkanlah dio, Jago-jago dio niha.. yooo, yang memiliki arti sembuhkan dan tolong dijaga sipemilik puako. Daya sugesti dari pada mantra ini sangat baik dan memiliki tingkat kepercayaan pada kata-kata ini sangat tinggi sehingga menyebabkan sesuatu efek sugesti pada sipemakai tradisi ini sehingga mampu memberikan sebuah semangat dan juga tekad yang kuat untuk sembuh.


(41)

4.4.1.1 Diksi ( Pilihan Kata )

Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Selain itu, juga ia ingin mengeksperesikannya dengan eksperesi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam mantra inilah yang disebut diksi.

Barfield (dalam Pradopo, 1987:54) mengemukakan bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetis, maka hasilnya disebut juga diksi puitis. Dengan demikian, diksi itu untuk mendapat kepuitisan, untuk mendapat nilai puitis.

Oleh karena itu begitu pentingnya kata-kata dalam mantra, maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya, sebab pemilihan kata-kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis dan lain-lain. Sekalipun maknanya tidak berbeda, bahkan sekalipun unsur bunyinya begitu mirip dan maknanya sama, kata yang sudah dipilih itu tidak dapat diganti. Jika kata diganti maka akan merusak komposisi dengan kata yang lainnya dalam kontruksi keseluruhan mantra tersebut.

4.4.1.1.1 Pembendaharaan Kata

Pembendaharaan kata penyair disamping sangat penting untuk kekuatan ekspresi, juga menunjukkan ciri khas mantra, perbedaan kedaerahan, suku, agama,


(42)

pendidikan, jenis kelamin, dan lainnya menghasilkanmantra yang berbeda pula. Letak geografis juga sangat menentukan pilihan kata.

Karena mantra yang kita bicarakan ini adalah mantra tertulis, maka kedudukan kata-kata itu juga sangat menentukan makna, makna juga ditentukan intonasi tekanan kata-kata dan suara pada saat kata-kata mantra itu dilisankan.

Pembendaharaan kata yang digunakan dalam mantra puako adalah sebagai berikut:

mambang = mambang

darat (laut) = darat (laut)

elok nan pelok = tampan dan cantik landai da gitu pandai = cerdas dan pintar kuat da gitu hebat = kuat dan hebat kami bikinkan niha = ini kami buatkan tuk ondak kau = apa yang kamu pinta

Apo lagi.. engko, = apa lagi, kamu Kami sombahkan = sembah kami

niha tuk kau = ini untuk kamu

anak cucu = anak cucu

Sombuhkanlah dio = sembuhkanlah dia Jago-jago dio niha = jaga-jaga dia 4.4.1.1.2 Urutan Kata

Urutan kata pada sebuag mantra bersifat beku atinya urutan kata di dalam mantra tidak dapat dipindah-pindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan tempat tersebut. Ini disebabkan dalam mantra ada harmonisasi yang harus tetap dijagaagar nilai estetisnya tidak mengganggu


(43)

walaupun misalnya sebuah kata diganti dengan kata yang sama maknanya. Dan setiap mantra memiliki ciri khas tesendiri dengan kata yang sama maknanya. Dan setiap mantra memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan mantra lainnya. Selain itu, kata-kata juga mendukung perasaan dan nada yang ditimbulkan akan berubah pula.

Begitu pula pada mantra puako urutan kata tidak dapat diubah atau dipindahkan menjadi apa saja walaupun maksudnya tidak berubah sama sekali, karena akan merubah bahkan menghilangkan keharmonisan antar bunyi dalam mantra tersebut. Selain menghilangkan makna dalam mantra juga akan merusak harmonisasi dalam rima yang telah dibangun sebelumnya.

4.4.1.1.3 Daya Sugesti Kata-Kata

Dalam kata-kata mantra puako segala daya yang ditimbulkan dalam setiap kata-kata mantra ini, apa lagi dalam setiap kata-kata mantra memiliki daya sugesti dalam menyampaikan pesan. Biasanya daya sugesti ini ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang sangat mewakili kepercayaan terhadap mantra sehingga menghasilkan sugesti.

Oleh karenanya, ketepatan penempatan dan pemilihan kata-kata merupakan syarat mutlak untuk menimbulkan daya sugesti sehingga kata-kata pada mantra memancarkan daya ghaib yang mampu memberikan sugesti pada sipemilik puako. Dalam mantra puako dapat ditlaah bagaimana kata demi kata pada mantra tersebut memiliki daya sugest yang sangat baik seperti pada kata-kata


(44)

sombuhkanlah dan jago-jago dio yang dapat ditafsirkan bahwa memiliki makna

agar disembuhkan dan dijaga oleh puako tersebut. 4.4.1.2 Imajinasi

Dalam puisi untuk memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan, dan juga menarik perhatian, disamping itu sebagai gambaran angan (pikiran) dan suasana itu terkenal dalam dunia mantra sebagai imaji atau daya bayang kita.

Menurut Pradopo (1987:79) imaji atau citraan adalah gambaran-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya, sedangkan setiap gambar pikiran dan bahasa disebutcitra atau imaji. Gambaran pikiran itu adalahsebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh indera kita terhadap objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan dan daerah-daerah otak yang berhubungan dengan pikiran kita.

Untuk mempermudah, Waluyo (1987:78) mengatakan bahwayang dimaksud dengan imaji adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, penginderaan dan perasaan. Ungkapan perasaan dukun dijelmakan kedalam gambaran kongkrit mirip musik atau gambar atau cita rasa tertentu. Maka jika menghayati mantra tersebut seolah-olah mendengarkan suatu bunyi, dan mantra tersebut seolah-olah bergerak dan merasakan sentuhan perasaan. Dengan demikian bait mantra seolah mengandung gema suara (imaji auditory), benda yang nampak (imaji visual), dan atau sesuatu yang mampu dirasakan, diraba ataupun disentuh (imaji tachtual).


(45)

Ketiga imaji tersebut dapat dilihat dalam mantra puako yang terdapat dalam kata-kata elok nan pelok, Jago-jago dio niha, kuat da gitu hebat, Kami

sombahkan, tuk ondak kau yang menggambarkan imaji sentuhan, imaji suara atau

pendengaran dan imaji benda yang nampak.

Imaji auditory berdasarkan mantra puako diatas, dapat dilihat dari kata-kata Kami sombahkan tuk ondak kau seolah puako tersebut mendengarkan bahwa semua ini disembahkan untuk puako tersebut. Sedangkan imaji visual dapat kita ketahaui pada kata-kata kuat da gitu hebat, elok nan pelok yang memiliki arti hebat dan kuat serta tampan dan cantik, dalam hal ini arti dari kata-kata tersebut kita dapat membayangkan bahwa puako tersebut adalah kuat dan hebat serta tampan dan cantik. Serta imaji tachtual merupakan sesuatu yang dapat disentuh atau dirasakan seperti terdapat dalam kalimat Jago-jago dio niha yang memiliki arti meminta dijaga sipemilik puako bahwa menuturkan bagaimana sipemilik tersebut dapat merasakan dan sentuhan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka percayai tradisi ini yang setiap tahunnya mereka sembahkan untuk puako mereka.

4.4.1.2.1 Versifikasi

Dalam puisi bunyi bersifat estetis yang merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan yang ekspresif. Begitu juga dengan mantra tidak lepas juga dengan keindahan dan tenaga ekspresif. Begitu juga juga dengan mantra tidak lepas juga dengan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya: rima, ritma, lagu, melodi, dan sebagainya.


(46)

akan dibahas sedangkan lagu dan melodi tidak akan dibahas karena bukan bidang yang membahasnya.

Rima adalah pengulangan bunyi mantra. Digunakan kata rima untuk mengetahui pola persajakan yang terdapat pada mantra, baik yanjg didapat di awal, tengah dan akhir dari sebuah mantra. Dalam ritma pemotongan-pemotongan baris menjadi frase yang berulang-ulang, merupakan unsur yang memperindah mantra tersebut.

4.4.1.2.2 Ritma

Pengulangan bunyi dalam mantra adalah untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi. Dengan digunakannya poengulangan bunyi itu, diharapkan mantra menjadi merdu bila dibaca. Untuk mengulang bunyi ini biasanya akan ada lambang bunyi dan penekanan makna yang disampaikan. Melalui cara ini pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan suasana mantra tersebut.

Lebih jauh lagi Boulton (dalam Pradopo, 1987:75) mengatakan bahwa rima sebagai phonetic form (bentuk fonetik), jika bentuk fonetik berpadu dengan ritma maka akan mampertegas mantra tersebut.

Berdasarkan analisis diketahui bahwa bentuk internal bunyi yang terdapat dalam mantra puako ini adalah aliterasi dan repitisi bunyi (kata). Berikut rinciannya.


(47)

a. Aliterasi

Aliterasi adalah persamaan bunyi pada suku kata pertama. Pada mantra

puako, aliterasi itu terdapat pada kalimat elok nan pelok, kuat dan hebat serta landai dan pandai pada kata-kata pada mantra puako ini.

b. Repetisi

Pengulangan tidak hanya terbatas pada bunyi, namun mungkin pada kata-kata ungkapan. Pengulangan bunyi kata-kata memberikan efek intelektual dan efek magis yang murni (Pradopo, 1978:93). Pada mantra puako pengulangan kata terdapat pada kata mambang-mambang yang bermaksud memanggil puako tersebut yang bertujuan agar segera dimulainya tradisi ini.

4.4.1.2.3 Ritma

Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan kata, frasa, dan kalimat. Menurut waluyo (1987:94) ritma dapat dianalogikan seperti gerakan-gerakan airyang teratur, terus menerus dan tidak putus (mengalir terus). Ritama juga merupakan pertentangan bunyi antara tinggi atau rendah, keras atau lemah, tang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk sebuah keindahan.

Untuk dapat mengetahui ritma yang terdapat pada mantra tersebut maka setiap baris yang ada akan dipotong menjadi dua kata. Hasil dari pemotongan itulah yang akan diketahui metrum (mantra) berupa pengulangan tetap. Seperti yang terlihat pada mantra berikut:


(48)

Mambang-mambang / elok nan pelok / mambang atas segalo mambang

Mambang-mambang / landai da gitu pandai Mambang-mambang / kuat da gitu hebat Uda kami bikinkan / niha / tuk ondak kau Kami sombahkan / niha / tuk kau

Pemotongan yang dilakukan terhadap mantar diatas memperlihatkan kepada bagaimana metrum dari mantra tersebut. Tentunya saja akan terasa bila dilakukan dengan cara lisan. Pertentangan bunyi pada frasa / Ooooiiiii…

mambang darat (laut) / dan / mambang atas segalo mambang / begitu terasa

karena frasa / Ooooiiiii… mambang darat (laut) / dianjurkan dengan nada tinggi sedangkan frasa / mambang atas segalo mambang / dianjurakan dengan nada rendah begitu juga mentrum yang lain diharuskan dengan tekanan suara yang berbeda karena merupakan isi dari pada mantra tersebut sehingga diharuskan dengan penekanan yang berbeda.

4.4.1.3 Kata-kata Kongkrit

Berdasarkan penjalasan pada sebelumnya, bahwa kata-kata kongkrit juga merupakan kata-kata yang dilihat secara makna denotatif sama, tetapi secara konotatif tidak sama menurut kondisi dan mantranya. Dengan kata lain dapat membayangkan tentang peristawa atau kejadian yang digambarkan mantra tersebut. Dan erat pengguanaannya dengan kiasan atau lambang.

Didalam kata-kata kongkrit mantra akan mengkongkritkan kata-kata tersebut, sehingga sipemakai mantra seolah-olah melihat, mendengar dan


(49)

merasakan bagaimana maksud dari pada mantra tersebut. Dengan demikian akan terjadi efek dimana sipemakai mantra akan terlibat penuh secara batin yang disebabkan mantra tersebut. Dapat dilihat dengan adanya kata-kata kongkrit misalnya anak cucu, jangan ganggu, Sombuhkan, Jago-jago dio, dalam hal ini bagaimana diketahui bahwa kata-kata kongkrit tersebut mampu memberikan efek seperti pada penjelasan tersebut yang seolah-olah memberikan hubungan batin pada sipemakai tradisi puako ini.

4.4.1.4 Gaya Bahasa

Gaya bahasa atau dengan kata lain majas, merupakan salah satu komponen penting yang dalam menganalisis mantra sehingga mempunyai daya pikat bagi sipengguna mantra dalam tradisi ini. Gaya bahasa dalam mantra puako ini menurut penulis adalah menggunakan gaya bahasa hiperbola.

Hal ini dapat dilihat bagaimana kata-kata mantra ini mengagungkan puako itu sendiri dengan menggunakan bahasa yang menurut penulis melebih-lebihkan seperti yang terdapat dalam kata-kata dalam mantra Mambang landai da gitu

pandai, mambang kuat da gitu hebat, mambang elok nan pelok, yang memiliki

arti puako yang cerdas dan pintar, yang kuat dan hebat serta yang cantik dan tampan.

4.4.2 Analisis Struktur Batin 4.4.2.1 Tema

Tema merupakan gagasan pokok isi yang dikemukakan dalam mantra. Ini semua karena sebuah mantra terkadang tidak saling berhubungan dan kata-kata


(50)

terpisah di bagian lain yang mempunyai makna lain lagi pada kata-kata sebelumnya. Sehingga sulit mencari makna keseluruhannya.

Pokok pikiran pada atau ide pokok begitu kuat pada sebuah mantra. Jika isi mantra tersebut kuat terhadap ketuhanan maka tema mantra tersebut tentang ketuhanan dan apabila mantra tesebut lebih mengarah pada kemanusiaan maka tema pada tersebut adalah tentang kemanusiaan.

Setelah penulis mengamati, bahwa tema dari mantra puako pada masyarakat etnis melayu di Kabupaten Batubara yaitu: “penjagaan,

penyembuhan, dan juga sebagai pegangaan dalam menghadapi kehidupan”.

Hal ini dapat diketahui bagaimana dalam mantra tersebut mengatakan bahwa Tolong anak cucu jangan ganggu, Sombuhkanlah dio, Jago-jago dio niha

yo yang berarti bahwa tolong anak cucu jangan diganggu jaga ia baik-baik serta

sembuhkanlah dia. 4.4.2.2 Nada

Nada adalah sikap penyair terhadap para penikmat karyanya, tidak ada beda dengan mantra nada bertujuan bagaimana agar terjadi sinkronisasi terhadap mantra tesebut tidak terkecuali mantra pauako. Suasana ketika tradisi ini berlangsung juga dapat berjalan dengan baik ketika mantra ini dilakukan dengan nada-nada yang telah dibiasakan dalam pelafalan mantra tersebut.

Dari pengamatan penulis dilapangan hasil yang penulis dapati adalah ketika pelafalan mantra tersebut dilakukan secara hening semua peserta tradisi


(51)

diam ketika mantra tersebut dibacakan, sehingga semua peserta tradisi mendapat

sako-sako atau wangsit ketika mantra ini disebutkan.

4.4.2.3 Perasaan

Perasaan yaitu dimana sipemakai mantra menciptakan suasana pada mantra. Didalam mantra puako sipemakai tradisi puako ini mengekspresikan perasaannya agar dapat dihayati. Perasaan disini bisa diketahui dengan isi mantranya yang menginginkan dapat dijaga dan sembuhkan dari keadaan sakit sehingga diketahui bagaimana perasaan sipemakai mantra atau yang melaksanakan tradisi ini memiliki perasaan pengharapan terhadap puako tersebut. 4.4.2.4 Amanat

Amanat adalah tujuan yang mendorong maksud dan tujuan dari tradisi ini dilaksanakan. Amanat mantra juga disampaikan oleh orang yang melakukan tradisi ini. Amanat yang terdapat dalam mantra ini berisi bagaimana sipemakai mantra bagaimana mengharapkan agar dapat dijaga anak cucu, dan diberikan untuk kesembuhan penyakit.


(52)

BAB V

Kesimpulan dan saran

Setelah uraian ini penulis menjabarkan baik fungsi maupun makna yang terdapat pada tradisi puako pada masyarakat etnis Melayu di Kabupaten Batubara adalah sebagai berikut kesimpulannya :

5.1 Kesimpulan

1. Tradisi puako memiliki fungsi dan makna yang luas dan terlepas dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat etnis Melayu di Kabupaten Batubara

2. Tradisi puako ini tidak hanya sebagai bentuk kepercayaan akan meminta perlindungan baik menjaga dan menyembuhkan penyakit namun lebih dari sekedar itu sebagai wujud penghormatan warisan leluhur dan orang-orang pendahulu mereka.

3. Tradisi puako juga dapat ajang silahturahmi yang mengikat oleh setiap pemilik puako karena dilakukan setahun sekali yang memiliki kepentingan yang sama.

4. Masih percayanya akan bala besar yang akan mereka dapatkan sebagai bentuka ganjaran jika tidak dilaksanakannya tradisi puako ini.

5. Tradisi ini juga sudah jarang dilaksanakan secara terbuka karena sudah ada budaya malu pada tradisi ini.


(53)

5.2 Saran

Adapun beberapa saran penulis adalah sebagai berikut :

1. Tradisi puako ini harus segara direvitalisasi sebab tradisi ini sudah sangat jarang dilakukan akibat kemajuan zaman

2. Sangat berpengaruhnya perkembangan zaman menyebabkan budaya malu pada adat sendiri yang seharusnya menjadi identitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

3. Perlunya pelestarian dalam hal ini dapat dilakukan dalam bentuk kampanye atau sebuah gerakan pelestarian budaya nusantara. Ini dilakukan semata-mata menjaga warisan leluhur identitas bangsa dan sebagai bukti kongkrit akan sangat luar biasa bervariasinya budaya indonesia yang dapat dilihat banyaknya bahasa daerah, tradisi dan budaya-budaya yang dimiliki negeri ini.

Demikianlah kesimpulan dan saran dari penulis semoga dapat terealisasi sehingga terciptanya indonesia baru yang tidak tergilas oleh arus moderenisasi yang sejatinya adalah strategi mereka yang tidak ingin melihat negeri ini makmur berjaya.


(54)

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Kepustakaan Yang Relevan

Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan landasan teori ini maka segala masalah yang timbul dalam skripsi ini akan terjawab.

Dalam penulisan sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Dalam penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi ini.

Kajian pustaka adalah paparan atau konsep yang mendukung pemecahan permasalahan dalam suatu penelitian, paparan atau konsep itu bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman peneliti) dan daya nalar peneliti yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2.2 Teori yang Digunakan 2.2.1 Teori Struktural

Berdasarkan judul ini, teori yang digunakan pada mantra puako adalah teori struktural. Teori struktural pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur.

Berdasarkan alur pikirannya maka teori ini lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur


(55)

dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung struktur itu (Pradopo, 1987:119).

Sedangkan dalam kemunculannya, karya sastra merupakan struktur. Struktur tersebut adalah susunan dari unsur-unsur tersebut bukan hanya berdiri sendiri, melainkan akan saling terkait, berkaitan dan saling bergatung satu sama lain menjadi ikatan yang tak terpisahkan (pradopo, 1987:118).

Berdasarkan hal ini atas tentunya puisi dapat dianalisis struktur dan unsur-unsurnya, yaitu unsur fisik dan unsur struktur batin. Struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik meliputi diksi, kata-kata kongkrit, imajinasi dan gaya bahasa. Sedangkan struktural batin meliputi tema, nada, rasa dan amanat. Kemudian mengingat bahwa puisi terdiri dari struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisannya. Puisi yang paling tua adalah mantra (Waluyo,1987:1), yang berisikan kekuatan magis sehingga menimbulkan kayakinan diri bagi sipengguna dan sipendengarnya.

Untuk itulah peneliti memilih teori ini sebagai suatu landasan berpijak dalam menganalisi mantra puako dalam masyarakat etnis Melayu Dikabupaten Batubara.

1. diksi (pilihan kata)

Diksi atau diction adalah pilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Ketika penyair menekspresikan karyanya dalam bentuk puisi maka ia bebas dalam memilih kata-kata tanpa terdikotomi dan


(56)

terjajah. Kebebasan ini penting demi menjaga keeksistensian penyair dalam menciptakan atau mewujudkan dan menyampaikan pesan dari ide tersebut, yang meliputi dari makna, komposisi bunyi dalam rima, irama dan nilai-nilai estetikanya (waluyo,1991:1). Yang intinya diksi ialah pemilihan kata berdasarkan makna yang akan disampaikan dilatar belakangi oleh faktor sosial budaya penyair.

2. imajinasi

Menurut walayu (1987:78) pengimajinasian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.

Imajinasi dapat diambil pengertiannya sebagai intuisi, angan, daya khayal. Sifatnya abstrak sehingga hanya dapat diketahui wujud konkretnya oleh orang-orang yang memahaminya.

Adapun delapan macam citraan yang terdapat dalam imajinasi adalah:

1. Imajinasi penglihatan (visual), yaitu imajinasi pembaca yang meradasakan sendiri apa yang dikemukakan atau apa yang diceritakan oleh sipenyair.

2. Imajinasi pendengaran (auditory), yaitu pembaca sepertimendengarkan sendiri apa yang dikemukakan oleh penyair.

3. Imajinasi Artikulatory, yaitu pembaca mendengar bunyi-bunyi dengan artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut, sewaktu kita membaca sajak atau puisi seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan lembut


(57)

mulut yang membunyikan sehingga bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya.

4. Imajinasi penciuman (alfatory), yaitu pembaca atau pendengar ketika bersentuhan dengan sajak tersebut seperti mencium sesuatu.

5. Imajinasi pencicipan (gustatory), yaitu dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat tertentu, kita seperti mencicipi sesuatu benda yang ,menimbulkan rasa.

6. Iamjinasi rasa kulit (tachtual), yaitu yang menyebabkan kita seperti merasakan di bagian kulit kita.

7. Imajinasi gerakan tubuh (kinaestetik), yaitu dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat-kalimat dalam puisi melalui gerakan tubuh otot, menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan badan atau otot itu.

8. Imajinasi organik, yaitu imajinasi badan yang menyebabkan kita dapat melihat atau merasakan badan yang lesu, lapar, lemas, dan sebagainya. 3. Kata-kata Konkrit

Menurut Tarigan (1991:32) Kata nyata adalah kata yang kongkret dan khusus, bukan kata yang besifat abstrak atau bersifat umum.

Kata-kata kongkrit (the concert world) jugqa merupakan kata-kata yang dilihat secara makna denotatif sama, tetapi secara konotatifnya tidak sama menurut kondisi dan situasi sipemakainya. Dengan kata lain, kata-kata yang dikongkritkan itu membuat sipembaca atau membayangkan secara peristiwa atau


(58)

kejadian yang digambarkan penyair. Kata-kata yang dikongkritkan ini erat hubungannya dengan kiasan atau lambang (Waluyo, 1991:81).

4. Majas (Gaya Bahasa)

Menurut Waluyo (1987:83) bahasa majas (figurative) adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara taklangsung mengungkapkan makna.

Gaya bahasa atau majas merupakan salah satu komponen penting yang harus dikuasai oleh penyair dalam upaya mewujudkan maksud dari puisi, sehingga gaya bahasa atau majas mampu menambah daya ungkap atau daya pikat dari puisi tersebut.

Ada beberapa macam gaya bahasa atau majas, yaitu:

1. Metafora, yaitu kiasan langsung dimana benda itu yang dikiaskan tidak disebutkan.

2. Perbandingan, yaitu kiasan tidak langsung disebut simile, karena benda yang dikiaskan keduanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata pembanding sesuatu dengan benda yang lain.

3. Personifikasi, yaitu keadaan atau peristiwa alam seiring dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami manusia. Dalam hal ini benda mati dianggsp sebagai manusia atau personal atau dipersonifikasikan. Hal ini untuk memperjelas penggambaran peristiwa tersebut.

4. Hipebola, adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa melebih-lebihkan dengan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan perhatian.


(59)

5. Sinekdoce menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan atau menyebutkan keseluruhanuntuk maksud sebagian.

6. Ironi adalah kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran, ironi dapat berubah menjadi sinisme atau serkasme, yaitu memberikan kata-kata kasar atau keras untuk menyindir atau mengkritik. Jika ironi memberikan kata-kata kebalikan untuk menyindir maka sinisme dan sarkasme sebaliknya. Tetapi ketiganya mempunyai maksud atau substansi yang sama yaitu memberikan kritik atau sindiran.

Sedangkan struktur batin puisi meliputi : 1. Tema

Menurut Waluyo (1987:106) tema merupakan gagasan pokok atau subjek

matter yang dikemukakan oleh penyair. Tema adalah ide dasar dari sebuah puisi

yang menjadi inti dari keseluruhan dalam suatu puisi (Aminuddin, 1987:151). Di dalam menulis puisi baik itu puisi percintaan, agama dan lain-lain, harus mempunyai landasan utama dalam membuat puisi. Karena tanpa landasan yang kuat sulit bagi seseorang untuk menulis puisi sesuai dengan apa yang diinginkan. Dengan kata lain setiap orang harus mempunyai tema dalam membuat puisi. Karena tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan penyair. Pokok-pokok pikiran itu begitu kuat mendesak dalam pikiran dan jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan itu kuat untuk hubungan penyair denga kekasihnya, maka puisi tersebut bertemakan kekasih, dan apabila desakan tersebut kuat secara gaib maka tema dari puisi tersebut adalah bertemakan mantra. Namun mencari tema bukanlah perkara mudah sebab puisi memilikikata-kata


(60)

yang tak saling berhubungan dan juga terpisah, sehingga sulit untuk mencari makna dan menentukan tema puisi tersebut secara keseluruhan.

2. Nada

Menurut Tarigan (1991:18) nada adalah sikap penyair terhadap para penikamat karyanya. Nada puisi adalah sikap batin penyair yang hendak diekpresikan penyair kepada pembaca. Sikap penyair seperti menggurui, mengejek, menyindir, atau bersifat lugas dan lain sebaginya yang kesemuannya itu disebut dengan nada. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi. Nada dan suara saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suatu suasana terhadap pembacanya. Misal nada duka yang diceritakan penyair dapat menimbulkan suasana iba dihati pembaca atau penyair.

3. Perasaan

Menurut Tarigan (1991:8) perasaan yaitu sikap sang penyair terhadap bahan atau objeknya. Dalam menciptakan puisi suasana perasaan penyair. Dalam membuat puisi seseorang penyair harus mampu mengekspresikan perasaan agar dapat dihayati pembacanya. Peasaan dalam puisi adalah perasaan yang disampaikan penyair melalui puisinya. Puisi mengungkapkan perasaan beraneka ragam. Mungkin perasaan sedih, kecewa, terharu, benci, rindu, cinta dan lain-lain. Untuk tema puisi yang sama yang dilukiskan dengan peasaan yang berbeda akan menghasilkan puisiyang berbeda pula.


(61)

Menurut Waluyo (1987:130) amanat adalah tujuan yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat puisi adalah maksud yang hendak disampaikan oleh penyair. Amanat yang hendak disampaikan dapat dianalisis setelah kita memahami tema, nada, dan rasa puisi tersebut. Amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun, dan juga berada dibalik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair mungkin secra sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang akan disampaikan.

2.2.2 Teori Semiotik

Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the

study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu

sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes, 1982:9 dalam Kris Budiman, 2011:3).

Berdasarkan objeknya Pierce merumuskan suatu tanda selalu merujuk pada suatu acuan. Setiap tanda selalu memiliki fungsi dan memiliki makna yang sesuai dengan tanda itu sendiri.

Berdasarkan objeknya Peirce membagi tanda itu menjadi tiga bagian yaitu: 1. Ikon (icon)


(62)

2. Indeks (index) 3. Simbol (symbol)

Ketiga bagian di atas merupakan objek yang membagi jenis-jenis tanda di mana tanda memiliki arti dan makna tertentu. Ketiga bagian di atas biasa disebut dengan tipologi tanda.

1. Icon adalah tanda berdasarkan identitas dan hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan. Jadi, sebuah tanda bersifat iconic seandainya ada kemiripan rupa atau kemiripan bentuk diantara tanda dengan hak yang diwakilinya.

Contoh:

- Rambu-rambu lalu lintas

- Lampu merah menandakan mobil harus berhenti - Lampu hijau menandakan mobil harus berjalan

- Lukisan menandakan sebuah ekspresi yang disampaikan dalam sebuah gambar

2. Indeks adalah tanda berdasarkan hubungan kausalitas atau hubungan yang timbul karena adanya kedekatan eksistensi.

Contoh:

- Adanya asap menandakan adanya api - Ketukan pintu menandakan ada orang


(63)

- Suara bising menandakan adanya keramaian - Suara gemuruh menandakan adanya petir

3. Simbol adalah tanda yang menyatakan hubungan konvensional atau tanda yang bersifat mana suka (Arbitrary). Istilah simbol dipergunakan secara meluas dengan pengertian yang beraneka ragam dan dapat pula disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu dalam sebuah situasi.

Contoh:

- Harimau simbol kekuatan - Ular simbol suatu kelicikan

- Anggukan kepala simbol sebuah persetujuan

- Lambaian tangan simbol selamat tinggal atau selamat jalan - Senyum simbol kebahagiaan

- Gambar tengkorak simbol bahaya, dan lain-lain

Secara etimologi, simbol berasal dari bahasa yunani symballein yang berarti melemparkan bersama sesuatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. Ada pula yang menyebutkan symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.

Semua simbol melibatkan tiga usur yaitu simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbolik yang ada.


(64)

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta (1991:439) menyebutkan simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna putih melambangkan kesucian, warna merah melambangkan keberanian, dan padi melambangkan kemakmuran.

Dengan demikian, dalam konsep Pierce simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) yang sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya dapat menafsirkan ciri dan hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya.

Pierce juga membagi klasifikasi simbol menjadi tiga jenis yaitu: 1. Rhematic symbol atau Symbolik rheme

2. Dicent symbol atau proposition (proposisi) 3. Argumen

1. Rhematic symbol atau Symbolic rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan

objeknya melalui asosiasi nilai umum. Misalnya, di jalan kita melihat lampu merah lantas kita katakan berhenti. Mengapa kita katakan demikian, ini terjadi karena adanya asosiasi dengan benda yang kita lihat.

2. Dicent symbol atau proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung

menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang mengatakan “Pergi!” penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak dan serta


(65)

merta kita pergi. Padahal dari ungkapan tersebut yang kita kenal hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu dan seseorang segera dapat menitipkan pilihan atau sikap.

3. Argumen yakni tanda yang merupakan kesamaan seseorang terhadap sesuatu

berdasarkan alasan tertentu.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Peirce. di mana setiap tanda memiliki makna yang bersifat arbitrer atau mana suka.

Sesuai dengan teori di atas masyarakat etnis Melayu di Kabupaten Batubara juga memberi makna pada setiap tanda bersiat arbitrer. Artinya, mereka menentukan makna dari sebuah tanda sesuai dengan situasi dan apa yang ingin meraka utarakan yang sesuai dengan adat istiadatnya. Masyarakat Karo menyesuaikannya dengan bentuk dan kebiasaan mereka sehari-hari.

Menurut Preminger, semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik ini mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, dalam Jabrohim, 2001:71).

Menurut Saussure semiotik memiliki dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda ada beberapa berdasarkan hubungan antara


(66)

penanda atau petandanya. Jenis tanda yang paling utama adalah ikon, indeks, dan simbol. Arti dari ikon itu sendiri adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan ini adalah hubungan persamaan, misalnya potret menandai orang yang dipotret sebagai artinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan sebab akibat (kausal) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai adanya api. Sedangkn simbol adalah tanda yang menujukan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, hubungannya bersifat arbiter (semau-maunya), misalnya “ibu” adalah simbol, artinya ditentukkan oleh konvensi-konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother dan sebagainya, namun yang paling dekat pengkajiannya pada tradisi puako yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, hubungannya bersifat arbiter (semau-maunya). (Pradopo, dalam Jabrohim, 2001:71).

Dari beberapa pendapat di atas yang menjelaskan tentang pengertian semiotik penulis mengambil kesimpulan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda dan mengkaji tentang makna yang terkandung dalam sebuah tanda di mana tanda-tanda ini dianggap sebagai fenomena sosial dan hubungan antara masyarakat dan kebudayaan.

Semiotik juga mempelajari tentang sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanta-tanda tersebut memiliki arti. Tanda sangat berperan dalam kehidupan manusia di mana setiap manusia menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang untuk beriteraksi dalam kehidupan bermasyarakat


(67)

dan merepresentasikan kehidupannya dengan kebudayaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan judul skripsi ini , maka teori yang digunakan untuk mengkaji tradisi puako pada masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara adalah teori semiotika.

Saussure, (1991:32) mengatakan bahwa tanda memiliki tiga aspek yaitu: 1. Aspek itu sendiri

2. Aspek material dan tanda itu, aspek material ini dapat berupa bunyi, tautan huruf menjadi kata, gambar warna dan atribut-atribut lainnya ini disebut dangan signifer

3. Konsep, konsep ini sangat berperan dalam mengkontruksikan makna suatu denotatum atau objek yang disebut dengan signified.

Etnis Melayu di Kabupaten Batubara memberi makna tradisi puako ini bersifat arbiter. Mereka menentukan makna sesuai dengan apa yang mereka utarakan.

2.2.3 Teori Fungsi

Fungsi menurut Bascom (Danandjaja, 1986:1) ada empat yaitu :

1. Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif.

2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.


(1)

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sehingga mendapat banyak pelajaran yang menambah kedewasaan untuk penulis.

7. Kawan-kawan satu ekstrainer latihan kader Siska, Hendy, ketua Teguh, Ketua Chandra, Ketua adnan, guntur, Rizka, Fahri Izmail, Ahmad Kurniawan dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namanya terima kasih untuk semua kisah perjuangan yang telah kita capai.

8. Kawan-kawan IMSAD 08, Senioren, Alumni dan adik-adik junior yang penulis selalu banggakan, terima kasih telah menjadi bagian dari kehidupan penulis dalam menggapai cita-cita menjadi seorang sarjana.

9. Seluruh kawan-kawan Fakultas Ilmu Budaya dimulai dari kawan satu stambuk, senioren, alumni dan adik-adik junior yang penulis banggakan, terima kasih telah menjadi sahabat karena di fakultas ilmu budaya kita berteman lebih dari saudara.

Dengan rasa suka cita penulis mohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu diberkati dalam melakukan pekerjaan maupun aktivitas sehari-hari. Sekali lagi penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini tidak luput dari kekurangan maupun kesalahan, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, 25 Juni 2013 Penulis


(2)

DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAK………….……… i

KATA PENGANTAR……….………. iii

UCAPAN TERIMA KAS………...………...……….. iiii

DAFTAR ISI……… iiiv

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang……….…….. 1

1.2 Rumusan Masalah………. 4

1.3Tujuan Penelitian……….……….. 5

1.4 Manfaat Penelitian……….………… 5

1.5 Letak Geografis Kabupaten Batubara Manfaat Penelitian……..…… 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA………..……… 11

2.1 Kepustakaan yang Relevan………..……….. 13

2.2 Teori yang Digunakan..……….. 13

2.2.1Teori Struktural………... 13

2.2.2Teori Semiotik………. 20


(3)

3.1 Metode Dasar………..…..………... 29

3.2 Lokasi Penelitian…...…….……… 30

3.3 Instrumen Penelitian ………..…………..…………... 30

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ……….. 31

3.6 Metode Analisis Data... 31

BAB IV PEMBAHASAN... 33

4.1. Tahapan Pelaksanaan Tradisi Puako pada Masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara ...33

4.1.1 Puako Darat……….……...………..34

1. Pemotongan Ayam……….………..………35

2. Pencabutan Bulu Ayam………..……….…………..35

3. Memasak……….…….………...…………...35

4. Makan Bersama……….………...……….36

5. Penggantungan Tampah………..…….…………..…37

6. Peletakkan Tampah……….………..……..……...39

4.1.2 Puako Laut………40

1. Pemotongan Ayam……….………...41

2. Pencabutan Bulu Ayam……….……….……42


(4)

4. Makan Bersama………. 43

5. Pembakaran Kemenyan………....………. 43

6. Penghanyutan Ancak Ke sungai………...………...….. 46

4.2 Jenisdan Makna Dalam Tradisi Puako Dalam Masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara………..………..…. 48

4.2.1 Jenis dan Makna dalam Tradisi puako Darat dalam Masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara……… 48

1. Pemotongan Ayam………...………. 48

2. Memasak………..………....…… 49

3. Makan Bersama……….……… 50

4. Penggantungan Tampah………...……….………. 51

5. Peletakan Tampah……….……… 57

4.2.2 Jenis dan Makna dalam Tradisi Puako Laut pada Masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara……….……….. 58

4.2.2.1 Ancak……….……….…………..…… 58

4.2.2.2 Penghanyutan Ancak……….……….…… 62

4.3 Fungsi Tradisi Puako Pada Masyarakat Melayu Di Kabupaten Batubara....……….……….. 63


(5)

4.3.1.2 Pencabutan Bulu Ayam………….……….……….. 63

4.3.1.3 Memasak……… 63

4.3.1.4 Makan Bersama………..64

4.3.1.5 Penggantungan Tampah………...……...……..…... 64

4.3.1.6 Peletakan Tampah………....……...………..…… 65

4.3.2 Fungsi Tradisi Puako Laut……….………... 65

4.3.2.1 Ancak………... 65

4.3.2.2 Penghanyutan Ancak………..………..…… 66

4.4 Analisis Struktur Mantra………...……….. 67

4.4.1 Analisis Struktur fisik……….…. 67

4.4.1.1 Diksi……….… 69

4.4.1.1.1 Pembendaharaan Kata……….……….…. 70

4.1.1.1.2 Urutan Kata……….…….. 71

4.1.1.1.3 Daya Sugesti Kata-Kata………..………. 71

4.4.1.2 Imajinasi……… 72

4.4.1.2.1 Versifikasi………...……… 74

4.4.1.2.2 Rima……….…... 74

4.4.1.2.3 Ritma……….………….………... 76

4.4.1.3 Kata-Kata Kongkrit……….……….77

4.4.1.4 Gaya Bahasa………...……… 77

4.4.2 Analisis Struktur Batin………..……… 78


(6)

4.4.2.2 Nada………..……….…… 79

4.4.2.3 Perasaan………..…...………79

4.4.2.4 Amanat………..………….……… 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 81

5.1.Kesimpulan... 81

5.2.Saran... 82 DAFTAR PUSTAKA