Representasi Tradisi Berahoi Pada Masyarakat Melayu Langkat

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Orang Melayu di Indonesia tersebar di sepanjang pantai Sumatera, Jawa,
Kalimantan dan Sulawesi. Mereka terkenal sebagai penganut Islam yang taat
(Geertz, H. 1981 : 4). Pada umumnya orang-orang Melayu di kawasan tersebut
dinamakan menurut nama kawasannya seperti orang Melayu Betawi di Jakarta,
orang Melayu Riau di Riau, orang Melayu Jambi di Jambi dan orang Melayu
Palembang di Palembang. Namun, di Sulawesi Selatan mereka bukan dinamakan
orang Melayu tetapi sebagai orang Bugis. Begitu juga di Kalimantan Selatan,
mereka dikenali sebagai orang Banjar. Hanya orang Melayu di Sumatera Utara
yang disebut sebagai orang Melayu.
Pemerintah Indonesia mengakui orang Melayu sebagai salah satu dari
delapan kelompok etnik pribumi di Sumatera Utara. Jumlah mereka dijumlahkan
sebanyak satu setengah hingga dua juta orang yaitu kira-kira 15-20%, daripada
jumlah penduduk Sumatera Utara. Pada hakikatnya orang Melayu di Sumatera
Utara berbeda daripada orang Melayu di kawasan-kawasan lain di Indonesia dari
segi dialek, adat resam dan pengalaman sejarah. Tempat asal mereka ialah
sepanjang pantai timur Sumatera Utara, yaitu antara perbatasan Aceh hingga
perbatasan Riau. Dalam penelitian ini penggunaan istilah Melayu Langkat

digunakan untuk menyatakan dunia berbahasa Melayu tidak terikat pada faktor
hubungan darah, tetapi dipersatukan oleh faktor kultural yang sama dan beragama
Islam yaitu masyarakat Melayu Bahorok Langkat yang berada dalam wilayah

Universitas Sumatera Utara

Sumatera Utara. Masyarakat Melayu di wilayah Bahorok mempunyai sistem
religi, bahasa, pendidikan, organisasi sosial, kesenian, ekonomi dan mata
pencaharian. Dalam kehidupan mereka juga menghasilkan budaya yang mencakup
berbagai unsurnya, diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas, maupun benda-benda,
tradisi dan menggunakan bahasa Melayu dialek dan sosiolek Langkat. Mereka
memiliki budaya tradisi kelautan seperti penggunaan perahu menangkap ikan,
jaring, sondong, kail, dan sejenisnya, serta kesenian yang dikenal dedeng Langkat,
nyanyian mengambil madu lebah, tari dulang, dan tradisi berahoi.
Masyarakat Melayu Langkat dikenal sebagai masyarakat maritim atau
sebagai masyarakat nelayan, yang hidupnya secara ekonomis berlandas kepada
hasil-hasil di lautan. Selain sebagai pelaut, sifat masyarakat Melayu Langkat ini
juga adalah agraris digambarkan melalui tradisi bertanam padi.. Kegiatan komunal
berahoi pada masyarakat Bahorok pada masa lampau menggambarkan kehidupan
siklus bertani, seperti tajak, semai, tanam, panen, dan lainnya serta melalui karya

seni budaya berahoi melibatkan upacara istiadat1. Secara historis masyarakat
Melayu umumnya menanam padi dengan cara berladang, meskipun pada beberapa
tempat mereka turun ke sawah sesuai dengan wilayah hunian. Orang-orang

1
Dalam kebudayaan masyarakat Melayu Sumatera Timur, upacara-upacara adat ini,
dalam konteks adat secara universal termasuk ke dalam stratifikasi adat-istiadat dari empat bidang
adat yang mengatur masyarakat Melayu dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Empat stratifikasi
adat itu adalah: (a) adat yang sebenar adat, yang merupakan hukum alam yang diciptakan Allah,
misalnya adat api membakar, adat matahari terbit dari timur. (b) adat yang diadatkan, yang
merupakan sistem kepemerintahan dalam konteks menjaga keutuhan (turai) sosial. (c) adat yang
teradat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang mula-mula bukan menjadi bahagian dari adat, tetapi
karena telah menjadi kebiasaan, maka kemudian dijadikan adat. Intinya adalah budaya itu bisa
berubah sesuai dengan tuntutan zaman. (d) adat-istiadat yang selalu diartikan sebagai upacaraupacara, seperti: jamu laut, melepas lancang, tari gebuk, melenggang perut, mandi syafar, nikah
kawin, khitanan, dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

Melayu menamakan bulir-bulir padi (Oryza sativa) dengan nama beras.2 Nama ini
adalah bulir padi yang telah dikupas kulitnya dan nasi adalah beras yang sudah

dimasak. Jenis-jenis padi diklasifikasikan atas dua bagian yakni padi ladang dan
padi sawah. Tradisi berahoi dalam kebudayaan Melayu Bahorok Langkat
Sumatera Utara berciri dan bercorak pemikiran masyarakat agraris. Kedua bentuk
masyarakat ini, yaitu petani dan nelayan secara umum dikategorikan sebagai
masyarakat pedesaan (rural).
Objek penelitian ini adalah tradisi lisan berahoi. Tradisi lisan di sini
digunakan sebagai kriteria utama untuk menandai displin ilmu atau kajian tradisi
lisan. Tradisi berahoi dapat dikategorikan sebagai tradisi lisan dalam kaitannya
dengan suatu proses dan hasil proses komunikasi verbal dan non-verbal yang
ditransmisikan secara lisan sesuai pengertian tradisi lisan yang dikatakan Vansina
(2014) bahwa ungkapan tradisi lisan mengacu kepada dua hal yaitu sebuah
‘proses’ penyampaian pesan dari mulut ke mulut selama beberapa waktu sampai
pesan tersebut menghilang dan kepada ‘hasil proses’ yang berupa pesan-pesan
lisan terdahulu yang berusia paling tidak satu generasi. Finnegan (1992)
menganggap tradisi lisan sebagai “perkembangan” dan “modernisasi” bahwa
proses penganalisisan karya lisan masuk ke dalam “tradisi lisan” terutama karya-

2
Dalam bahasa Melayu, leksikon padi ini menurunkan berbagai kata lainnya. (1) padi
dinamakan pada saat ia tumbuh sampai menghasilkan butiran buah, (2) beras adalah padi yang

sudah dijemur, ditumbuk dan diambil kulitnya, (3) emping adalah padi ditumbuk dan digongseng
di kuali, yang biasanya dimakan dengan campuran gula dan santan kelapa, (4) nasi adalah beras
yang dimasak akan menghasilkan nasi, (5) bubur adalah beras dimasak dengan banyak air, (6)
lontong atau nasi kapit adalah beras dibungkus dengan daun dan dikukus akan menghasilkan
masakan yang pejal, dan (7) ketupat adalah beras yang dimasak di dalam anyaman yang terbuat
dari daun kelapa (identik dengan tradisi hari raya dalam kebudayaan masyarakat Nusantara yang
beragama Islam). Padi memiliki peran utama dalam sistem kuliner di Nusantara yang melibatkan
ekonomi dan teknologi pertanian masyarakatnya karena masih banyak lagi turunan-turunan
lainnya yang bersumber dari padi.

Universitas Sumatera Utara

karya mitos-mitos yang dikumpulkan dari orang asing atau folklor yang
berdasarkan tradisi-tradisi Eropa, karena fokus perhatian pada originalitas
penelitian pada karya sastra lisan dipusatkan pada tahap yang ‘murni’, ‘original’,
atau “tradisional” yang ‘tidak terkontaminasi’ oleh ‘pengaruh-pengaruh dari luar’.
Cerita-cerita atau lagu-lagu yang dianggap bersifat ‘tradisional’, ‘kerakyatan’,
atau ‘tribal/kesukuan’ dapat dianalisis sebagai kelangsungan hidup dari
masyarakat beberapa tahapan sebelumnya. Adanya asumsi bentuk-bentuk (tradisi)
lisan dari masa lalu yang dikumpulkan orang jajahan/koloni yang bukan orang

Eropa pada dasarnya dapat dianalisis sebagai bentuk yang berbeda dari bentuk
yang terdapat dalam tradisi lisan yang berasal dari (orang) Eropa, dan lebih dekat
kepada ‘alam’ yang sesuai dengan prekonsepsi pada abad ke sembilan belas yang
sebagian masih dipakai sekarang ini (Finnegan, 1992: 27).
Dikaitkan dengan penjelasan di atas, komunitas masyarakat Bahorok sejak
pada masa dahulu melakukan tradisi upacara-upacara berahoi dan menjadikannya
bagian dari kehidupan mereka. Mereka mengirik padi berpartisipasi dalam
kegiatan komunalistik bergotong-royong sambil menyanyikan pantun yang
diiringi ucapan lisan ahoi-ahoi.3 Yang diketahui pada hasil wawancara bahwa
istilah ahoi atau hooi adalah tuturan kebiasaan orang Melayu Langkat memanggil
seseorang untuk bergabung atau bekerja bergotong-royong. Pada zaman dahulu,
kegiatan ini dilakukan pada malam hari ketika bulan terang menyinari halaman
3

Dalam kajian etnomusikologis, pertunjukan yang sedemikian rupa ini disebut dengan
responsorial atau call and response. Maknanya adalah satu pemimpin penyanyi disahuti (litany)
oleh sekelompok penyanyi lainnya yang dilakukan secara berulang-ulang. Di samping penyajian
call and response dikenal juga penyajian antiphonal (antifonal), yaitu dua kelompok penyanyi
saling bersahut-sahutan dalam sebuah pertunjukan bersama (Malm, 1977). Dalam konteks budaya
seni pertunjukan Sumatera misalnya, pertunjukan responsorial terjadi pada tradisi ahoi Melayu,

tari maena di Nias, seudati Aceh, shaman Aceh, dan lain-lainnya.

Universitas Sumatera Utara

rumah orang Melayu Langkat. Satu orang menjadi pemimpin lagu, kemudian
diikuti oleh kelompok penyaji, sambil mengirik padi. Untuk itu, istilah
representasi berarti menampilkan kontruksi fakta sosial tradisi budaya masyarakat
komunal dalam hal ini kebersamaan sosial tradisi lisan berahoi adalah tepat
menjadi kajian ini.
Masyarakat tradisional Melayu Bahorok mempunyai tradisi kepercayaan
terhadap konsep makrokosmos (jagad raya) dan mikrokosmos (dunia manusia)
yang direpresentasikan melalui tradisi lisan Berahoi. Menurut kepercayaan
masyarakat mereka, manusia itu senantiasa berada di bawah pengaruh tenagatenaga yang bersumber pada penjuru mata angin dan bintang-bintang dan planet.
Marsden (2008:69) mengatakan pada zaman purba, penduduk pribumi percaya
bahwa cuaca diatur oleh bintang baniah atau pleiades. Tenaga-tenaga ini mungkin
menghasilkan

kemakmuran

dan


kesejahteraan

atau

berbuat

kehancuran

bergantung pada dapat tidaknya individu dan kelompok menyelaraskan kehidupan
mereka di jagad raya. Individu bisa mengusahakan keselarasan dengan mengikuti
petunjuk yang diberikan astrologi, pengetahuan hari-hari baik dan hari-hari buruk.
Setelah masuknya agama Islam ke Sumatera, maka penduduk pribumi
Melayu mulai memberlakukan tahun lunar yang disebut tahun Hijriah. Tahun
lunar berselisih 11 hari dengan tahun solar (matahari). Cara pemilihan waktu
untuk musim bertanam pun jadi berbeda-beda. Tradisi berahoi dulunya dimulai
dengan kebiasaan orang Melayu melihat bintang (kosmos alam) yang disebut
sandaran lemang, maka orang-orang Melayu mulai menanam padi untuk turun ke
ladang (Sinar, 1971:137).


Universitas Sumatera Utara

Selaras dengan tuntutan perubahan zaman masa kini, sekarang ini terjadi
pergeseran pada upacara tradisi berahoi yang mengambil hanya sebagian kecil
dari keseluruhan tradisi. Perubahan dan perkembangan sistem bertani dalam dunia
modern menandakan terjadi pergeseran dalam sistem bertani tradisional dalam
siklus tajak, semai, tanam, rawat, panen dan mengirik padi secara utuh tidak lagi
dilakukan di masyarakat Langkat. Selain itu, dampak pergeseran nilai budaya
masyarakat Melayu Langkat akibat ketidakseimbangan kekuatan antara
masyarakat adat dan pribumi dengan sektor swasta yang dikuasai pengusaha,
menyebabkan hilangnya kekuatan primordial masyarakat adat sebagai dampak
kebijakan politik dan kekuasaan yang terjadi sampai masa sekarang. Hal ini jelas
berdampak kepada masyarakat Melayu langkat ketika mereka kehilangan
pengayom adat yaitu sultan. Dampak lain juga dapat dikaitkan dengan krisis
perusakan hutan, hutan lindung, mengeringnya air dan sumber energi pangan yang
melanda Indonesia mengakibatkan masyarakat penutur yang masih menyimpan
memori kolektif tradisi berahoi kehilangan lahan pertanian dan tidak lagi
melaksanakan upacara tradisi berahoi pada waktu panen. Bukti-bukti telah
menunjukkan dalam dua (2) dekade saja hutan penduduk di Sumatera Utara,
dialihfungsikan menjadi permukiman perumahan yang berlabel indah, perubahan

kebijakan pertanian padi kepada pertanian sawit dan pertambakan, yang membuat
ketidakseimbangan skala kehidupan masyarakat Sumatera Utara4.
Sebagai dampak globalisasi akibat kekuatan homogenisasi barat, berbagai
budaya lokal lenyap dan terabaikan oleh pemerintah. Demikian juga tradisi adat,

4

“Dahulu Langkat terkenal dengan lumbung beras dan salah satu penghasil padi terbesar di
Sumatera Utara. Hal ini menyebabkan Langkat menduduki taraf swasembada pangan. Hari ini
sudah bergeser oleh karena pemerintah tidak memperhatikan persoalan ini. Banyak lahan beralih
fungsi ke penanaman sawit. Suatu masa nanti rakyat Langkat terpaksa membeli beras ke Thailand
dan Vietnam. (Drs. Abdul Charim, Ketua MABMI Langkat, 22 November 2012).

Universitas Sumatera Utara

para sesepuh adat, pelaku tradisi dan masyarakat pendukung adat yang semakin
lama semakin berkurang dan telah kehilangan pendukungnya5. Kini muncul
lokalisasi sebagai reaksi balik kesadaran individu dan kelompok etnik, sub bentuk
atau suku bangsa dalam menghadapi globalisasi. Masalah pewarisan di atas
disikapi oleh pemerintah dalam Buku Pedoman Kajian Tradisi Lisan Dikti (2009:

2) yang mengamanatkan pentingnya melakukan dan mengembangkan penelitian
tradisi lisan melalui perguruan tinggi sesuai dengan pernyataan berikut.
“Perguruan tinggi mempunyai peran penting menyiapkan program konkret
mengubah media pewarisan tradisi lisan tanpa meninggalkan hakikat
tradisi lisan itu sendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya.
Dalam kaitan ini penting juga memperhatikan upaya pengembangan
potensi, penyusunan langkah-langkah perlindungan termasuk perlindungan
atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), pengembangan dan pemanfaatan
tradisi lisan sebagai kekuatan cultural yang kreatif”.

Sikap dan kesepakatan seperti ini juga dimiliki oleh para seniman Bahorok
di Langkat untuk melestarikan tradisi berahoi dan tetap konsisten untuk mencintai
upacara tradisi berahoi dan dapat dianggap sebagai modal sosial yang kuat untuk
memberdayakan kembali tradisi berahoi Dalam hal ini penelitian, tradisi berahoi
bertujuan untuk melakukan revitalisasi agar generasi muda Melayu Bahorok
mencintai aset

budaya lokal mereka. Usaha melakukan pengkajian diawali

dengan meneliti deskripsi dan rekaman tradisi berahoi yang pernah dilakukan oleh

5

Dipaparkan Drs. Abdul Charim, Ketua MABMI Langkat (22 November 2012) sebagai
berikut: “Masyarakat Langkat harus menjaga tradisi budayanya dan beliau setuju dengan
mengangkat tradisi berahoi sebagai upacara pelestarian dan pemerintahan budaya lokal.
Memberdayakan budaya Lokal seperti tradisi berahoi ini tidak semua mendukung padahal kalau
mau jujur sejarah tidak bisa dilupakan. Tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak memiliki
adat. Hal ini menyebabkan kebudayaan tradisi runtuh dan mengalami kepupusan budaya. Tata
krama pasti hilang, dan orangnya tidak mau menghormati orang tua. Untuk budaya Langkat
jangan coba-coba orang lain menghilangkan budaya Melayu Langkat. Mari hormati budaya
Langkat sebagai penjunjung marwah dan martabat Melayu sebagai masyarakat yang beradat dan
beradab”.

Universitas Sumatera Utara

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil Depdikbud) Propinsi Sumatera
Utara tahun 1995 dan upacara tradisi berahoi(tahun2021). Hal ini dimaksudkan
untuk menyambung benang kenangan yang terputus selama 17 tahun. Penelitian
tahun 1995 hanya mendeskripsikan secara umum tradisi berahoi, belum mencapai
ke kajian empiris yang bersifat menyeluruh dan mendalam. Oleh karena itu,
deskripsi tradisi berahoi yang sudah didokumentasikan sebelumnya

perlu

dilanjutkan dalam pengkajian secara mendalam untuk memperoleh pemahaman
dan pengembangan terhadap tradisi berahoi Melayu Bahorok Langkat. Tradisi
berahoi ini akan dikaji dengan menggunakan pisau analisis kajian tradisi lisan,
kajian ilmu hermeneutika dan estetika paradoks dalam konteks disiplin ilmu
budaya.
Perlunya merepresentasikan tradisi berahoi dari sudut pandang kajian
tradisi lisan yang disandingkan dengan teori hermeneutika dan pendekatan
estetika paradoks karena dirasa perlu mengkajinya secara kajian multidisiplin
untuk mendapatkan analisis yang lebih komprehensif (periksa Suastika, 2011: 52).
Untuk itu penting menafsirkan tradisi berahoi dalam masyarakat Melayu Bahorok
Langkat dari teks, koteks, konteks, serta makna dan fungsi nilai-nilai dan simbol
budaya lama yang berkesinambungan pada kehidupan generasi penerusnya masa
kini Oleh karna aspek bentuk (teks, koteks, dan konteks) adalah lapisan
permukaan dan aspek isi (makna dan fungsi, nilai dan norma budaya) yang berada
pada tataran lapisan paling dalam,serta mengangkat dan merepsensikan kearifan
lokal tradisi lisan berahoi. Untuk itu representasi kajian tradisi berahoi dibagi atas
tiga tataran yaitu (1) tradisi berahoi sebagai lapisan luar sesuatu objek yang dapat

Universitas Sumatera Utara

ditonton, didengar, dan dinikmati sebagai pertunjukan pagelaran tari berahoi, (2)
lapisan tengah tradisi berahoi menampilkan makna, berahoi, fungsi berahoi, serta
nilai dan norma-norma yang terdapat pada tradisi tersebut, dan (3) lapisan inti
memperlihatkan kearifan orang Melayu Bahorok Langkat dalam menyelesaikan
persoalan hidup dalam komunitasnya secara bersama-sama berdasar kepercayaan
dan keyakinan yang menjadi landasan bermasyarakat dan bernegara.
Selain itu, pentingnya usaha dan upaya revitalisasi tradisi berahoi
dilakukan dengan perencanaan yang terorganisasi sebagai seni pertunjukan untuk
komoditas pariwisata Kemudian memberdayakan kembali upaya inventarisasi
warisan lokal dan advokasi (pembelaan) terhadap tradisi berahoi sebagai budaya
lokal Melayu Langkat di masa lampau untuk kepentingan kemanusiaan dalam
konteks masyarakat Melayu Langkat di masa sekarang.
Dengan alasan-alasan yang disebutkan di atas, penelitian yang mengangkat
fenomena tradisi budaya berahoi dengan melibatkan masyarakat pendukungnya,
dan temuan penelitian ini nantinya digunakan sebagai landasan mengajukan
kepada pemerintah kabupaten suatu program revitalisasi pengembangan tradisi
berahoi untuk dipersembahkan kepada generasi muda masa sekarang dan masa
depan.
Semula titik pengamatan awal untuk mengumpulkan data penelitian
berahoi dilakukan di daerah Kecamatan Hinai, Kecamatan Selesai, dan
Kecamatan Gebang. Namun, pada ketiga wilayah ini tidak lagi ditemukan
informasi tentang keberadaan tradisi berahoi masih diselenggarakan. Oleh sebab
itulah, lokasi pengumpulan data dialihkan pada wilayah bahorok

yang pada

Universitas Sumatera Utara

waktu tertentu melakukan upacara berahoi yaitu Desa Timbang Lawan dan Desa
Timbang Jaya Kecamatan Bahorok. (tahun 2013) Rekaman yang dianalisis juga
memanfaatkan data gerak tari dan nyanyi dalam pagelaran tradisi berahoi oleh
Sanggar Teater Garis Lurus Langkat pada tahun 2012.
Menurut informan (Awaluddin Sitepu)6 warga Bahorok, jenis-jenis padi
yang pernah ditanam di daerah Bahorok ialah padi siraju, sibakul, sipait, sijambu,
mayang berinai, pulut, pulut itam, pulut tingkil, sitimun, ranto Manila, sirias,
kukubalam, dan ranggong keling. Jenis-jenis padi seperti terurai ini adalah khas
sebagai sistem etnoklasifikasi masyarakat Melayu Langkat. Dengan demikian,
mereka memiliki sistem tersendiri dalam menamakan dan mengklasifikasikan
padi. Konsep ini merupakan bahagian dari kebijakan dan kearifan lokal.
Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan kegiatan
pertunjukan tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok Langkat menandai
adanya kesejarahan masyarakat dan pendukung tradisi lisan yang masih
menyimpan pesona gerak, lagu, pantun, ritual penting dan kandungan nilai budaya
berahoi. Amanat pemerintah yang dituangkan dalam pedoman Kajian Tradisi
Lisan tahun 2009 juga menjelaskan bahwa “Informasi dan data dari sumber
utama kajian ini ditranskripsi, direkam, didokumentasi, dan diterjemahkan yang
kemudian menjadi teks kajian dan publikasi”. Untuk menindaklanjuti program

6

Awaluddin Sitepu (umur 75 tahun) Di dalam kebudayaan masyarakat Langkat, sejak
ratusan tahun telah terbina hubungan sosial yang harmonis antara masyarakat Karo (Jahe) dan
Melayu. Bahkan orang-orang Melayu juga menerima orang Karo untuk masuk Melayu, yang
artinya masuk Islam dan mengikuti adat Melayu. Orang-orang Karo yang masuk Melayu ini, lazim
disebut dengan Mekarlang (akronim dari Melayu Karo Langkat). Sitepu dalam konteks di atas
adalah salah satu merga (klen) dalam masyarakat Karo yang masuk ke dalam salah satu dari lima
induk marga besar yang diistilahkan dengan merga silima (marga yang lima), terdiri dari: (1)
Sembiring, (2) Karo-karo, (3) Perangin-angin, (4) Tarigan, dan (5) Ginting.

Universitas Sumatera Utara

pendidikan tinggi (dikti), penelitian ini penting ditelaah dari sudut pandang ilmu
pengetahuan ilmiah dan mengusulkan model kegiatan revitalisasi terhadap tradisi
berahoi.

kemudian

merumuskan

pertanyaan

penelitian:

“Bagaimanakah

representasi dan kearifan lokal tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok
Langkat ditinjau secara sudut pandang hermeneutika dan estetika paradoks dan
bagaimana model revitalisasi tradisi berahoi?”
1.2 Identifikasi Masalah
Setelah melaksanakan observasi yang seksama terhadap bahan penelitian
ini dapat diidentifikasi enam masalah. Enam masalah yang diidentifikasi dalam
tradisi berahoi ini adalah sebagai berikut:
1) Tradisi berahoi sebagai ungkapan sikap masyarakat kolektif telah kehilangan
keberadaannya bahkan para pendukung tradisi budaya lokal ini sudah langka
ditemukan akibat perubahan ruang dan waktu serta zaman yang berubah
seriring perkembangan masyarakat sekarang.
2) Akibat perubahan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan dunia pertanian
dari budidaya padi ke budidaya lain untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka khususnya sawit dan tambak, timbul masalah pergeseran sosial
masyarakat Melayu Bahorok Langkat yang berubah mindset untuk
mengutamakan pengelolaan tanaman lain daripada sektor pertanian. Masalah
yang muncul dalam kebijakan masyarakat sekarang dalam pengelolaan hutan
dan air yang menimbulkan dampak kerusakan alam dan masa depan
masyarakat Melayu Bahorok Langkat.

Universitas Sumatera Utara

3) Sikap masyarakat Melayu Bahorok Langkat sekarang yang sebagian besar
kebijakan mereka tidak memilih dunia pertanian dalam mempertahankan
kehidupan.
4) Seiring pergeseran pada sikap masyarakat yang tidak memilih dunia pertanian
berdampak pada lenyapnya seniman berahoi dalam kehidupan masyarakat
Melayu Bahorok Langkat.
5) Dalam kaitan upaya pengembangan potensi, penyusunan langkah-langkah
perlindungan termasuk perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI),
pengembangan dan pemanfaatan tradisi lisan sebagai kekuatan kultural yang
kreatif yang masih mengalami hambatan dan kendala dalam pelaksanaannya.
6) Tidak adanya penelitian tradisi berahoi sebagai kajian empiris yang mendalam
dengan menggunakan pisau analisis kajian tradisi lisan, kajian ilmu
hermeneutika dan estetika paradoks dalam konteks disiplin ilmu budaya.
1.3 Batasan Masalah
Masalah dalam penelitian ini direpresentasikan, dideskripsikan, serta
dianalisis semua dengan realitas budaya masyarakat Melayu Bahorok Langkat
sekarang, yang diperoleh dari penelitian lapangan. Masalah ini kemudian
dikaitkan dengan realitas sejarah (historis) dan tradisi masa kini yang terdapat
pada tradisi berahoi Melayu Bahorok Langkat.
Aspek budaya lokal yang dijadikan sumber data adalah tradisi berahoi
Melayu Bahorok Langkat. Realitas budaya lokal masa dahulu yang berkait dengan
siklus bertani yakni tajak, semai, tanam, dan panen dideskripsikan dalam
revitalisasi bentuk substansi struktur dan makna tradisi berahoi. Bentuk dan

Universitas Sumatera Utara

makna tradisi berahoi terdiri atas simbol-simbol budaya yang dipakai dalam
menyelenggarakan upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkaran bertani.
Berdasarkan realitas budaya lokal dan realitas historis tradisi berahoi yang
dijadikan sumber data penelitian ini diidentifikasikan dan dianalisis dalam kajian
tradisi lisan, dengan menggunakan teori hermeneutika dan pendekatan estetika
paradoks.
1.4 Rumusan Masalah
Penelitian tradisi berahoi masyarakat Melayu Langkat ini merumuskan
empat masalah penelitian sebagai berikut:
(1) Apakah deskripsi etnografi tradisi berahoi pada masyarakat Melayu Bahorok
Langkat?
(2) Bagaimanakah representasi tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok
Langkat dari sudut pandang hermeneutika dan estetika paradoks?
(3) Bagaimanakah kearifan lokal tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok
Langkat?
(4) Apakah model strategi revitalisasi tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok
Langkat yang ditawarkan sebagai model pelestarian, pengembangan dan
pemanfaatannya?
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan etnografi tradisi lisan berahoi masyarakat Melayu
Bahorok Langkat.

Universitas Sumatera Utara

2. Untuk menjelaskan representasi tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok
Langkat.
3. Untuk menganalisis representasi kearifan lokal tradisi berahoi masyarakat
Melayu Bahorok Langkat.
4. Untuk membuat model strategi revitalisasi pelestarian, pengembangan dan
pemanfaatan tradisi berahoi pada masyarakat Melayu Bahorok Langkat
sebagai kontribusi dalam bidang pengelolaan ekonomi kreatif.

1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoretis
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah hal-hal sebagai
berikut:
1. Penerapan dan pengayaan kerangka teoretis hubungan kajian tradisi lisan,
teori hermeneutika dan pendekatan estetika paradoks pada tradisi berahoi
Melayu Bahorok Langkat.
2. Pemberdayaan kearifan lokal sebagai kekuatan kultural dalam konteks tradisi
berahoi Melayu Bahorok Langkat.
3. Penciptaan model revitalisasi seni pertunjukkan berahoi dalam konteks masa
kini.
1.6.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah memberdayakan tradisi
berahoi yang berkaitan dengan siklus bertani (tajak, semai, tanam, panen) sebagai
kearifan lokal yang perlu dilestarikan oleh masyarakat Melayu Bahorok Langkat.

Universitas Sumatera Utara

Dalam kaitannya dengan pemberdayaan ini, hasil penelitian ini berkontribusi pada
tiga aspek sebagai berikut:
1. Pemeliharaan dan cinta budaya lokal oleh masyarakat Bahorok Melayu
Langkat dalam pembinaan dan pelestarian tradisi berahoi.
2. Pemberdayaan kesenian tradisi (khususnya tradisi berahoi) dalam bentuk
revitalisasi untuk kontribusi kesenian modern.
3. Pendayagunakan sumber tradisi berahoi sebagai salah satu aspek pertunjukan
untuk program kebudayaan dan pariwisata di Kabupaten Langkat.
1.7 Definisi Istilah
Istilah-istilah penting dalam penelitian ini meliputi istilah yang digunakan dalam
penelitian ini.
1) Tradisi lisan adalah proses kelisanan yang tercermin dalam aturan-aturan tidak
tertulis yang disimpan dalam dunia ingatan manusia dan diwariskan secara
turun-temurun.
2) Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas
dalam mengelolah lingkungan kerohanian dan kejas memai dalam menjaga
keseimbangan ekologis (lingkungan) untuk mempertahankan kehidupannya.
3) Daerah dalam pengertian etnis kultural adalah suatu unit kesadaran historis
dalam arti bahwa ‘daerah‘ itu masing-masing pada dirinya dan baginya adalah
pusat perkisaran sejarah. Tiap daerah bukan saja mengalami kesatuan historis
tapi juga mempunyai konsep tentang kelampauan yang khas.
4) Teks : Perujudan kata – kata yang memiliki struktur kalimat (unsur verbal
maupun unsur non – verbal)

Universitas Sumatera Utara

5) Koteks : unsur-unsur yang mendampingi teks.
6) Konteks

: kondisi atau peristiwa, yang berkaitan dengan budaya, sosial,

situasi, dan ideologi
7) Nilai : hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.
8) Fungsi : kegunaan suatu hal.
9) Simbol : lambang untuk mengespresikan ide-ide.
10) Norma : aturan yang mengikat warga, kelompok sebagai pengendali tingkah
laku yang diterima dan disepakati bersama.
Kosmologi Melayu adalah sistem kepercayaan manusia Melayu dalam suatu
peradaban yang memiliki dasar-dasar pemikiran atau kepercayaan tertentu.
Dalam sistem tradisi Melayu dikenal pantang dan larang terutama yang
berhubungan dengan Tuhan, alam, dan manusia.
11) Mantra adalah kata-kata atau ayat yang diucapkan dapat menimbulkan kuasa
gaib atau jampi. Kata-kata atau bunyi diucapkan secara berirama yang wajib
dihafal untuk menghindari kekeliruan dalam mengucapkannya.
12) Representasi secara harfiah berarti penampilan atau perwakilan wilayah studi
kultural tempat dikontruksi dan ditampilkannya berbagai fakta sosial.
13) Hermeneutika berkaitan dengan teori penafsiran dan penjelasan yang disebut
dengan interpretation dan explanation.
14) Estetika adalah keindahan (beauty) yang dapat ditanggapi dengan indra.
Dalam bahasa Indonesia dikenal pemakaian estetikus, estetis, dan estetika
yang masing-masing berarti orang yang ahli dalam bidang keindahan, bersifat

Universitas Sumatera Utara

indah, dan ilmu tentang keindahan. Ciri-ciri keindahan antara lain
keharmonisan, kesatuan, keseimbangan dan pertentangan (kontradiksi).
15) Estetika paradoks merujuk kepada estetika oposisi dalam masa pramodern
Indonesia yang menyatakan bahwa realitas itu terdiri atas pasangan kembar
opsisioner, namun saling melengkapi yang mempercayai sebagai ada itu
terbelah, dan terpisah dalam pasangan kembar masing-masing yang
berseberangan.
16) Seni pertunjukan adalah mencakup bidang seni musik, tari teater, atau yang
berkaitan dengannya seperti upacara tradisional (adat-istiadat). Dalam konteks
budaya Melayu jarang ditemukan pemisahan secara absolut antara musik, tari,
dan teater. Ketiga bidang ini selalu berjalan seiring dan selaras. Dalam seni
pertunjukan Melayu tradisi berahoi dijumpai fungsi komunikasi seperti pantun
(bersifat verbal) dan komunikasi nonverbal yang mencukupi bunyi, nada,
tenaga, gerak gerik.
17) Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dipakai dalam tujuan untuk
penyembuhan yang dipakai seorang pawang yang dilakukan dengan dua tahap
yakni, pertama si pembicara menyampaikan maksud kepada si penerima
(pawang) lalu pawang meneruskannya kepada penerima 2 (jin, roh halus, atau
jembalang) dan apabila telah terjadi kontak antara si penerima 1 (pawang)
dengan si penerima 2 (jin, roh) kemudian sang pawang (penerima 1)
menyampaikannya kembali kepada si pembicara.

Universitas Sumatera Utara