Analisis Pragmatis Terhadap Cerita Novel “Saga No Gabai Baachan” Karya Yoshichi Shimada

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “SAGA NO GABAI

BHAACAN”, STUDI PRAGMATIK DAN

SEMIOTIK

2.1Defenisi Novel

Novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti “sebuah barang baru

yang kecil”.Kemudian kata itu diartikan sebagai sebuah karya sastra dalam bentuk

prosa.Dalam bahasa Inggris disebut dengan novel yang kemudian istilah tersebut masuk menjadi bahasa Indonesia.

Novel merupakan jenis karya sastra dalam bentuk prosa.Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut sebagai fiksi. Karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menciptakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1998 : 2).

Menurut Sumadjo (1990 : 11-12), novel adalah genre sastra yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicerna, juga kebanyakan mengandung unsur suspense dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya.

Sedangkan menurut Kosasih (2011: 223), novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.Kisah novel berawal dari kemunculan suatu persoalan yang dialami tokoh hingga tahap penyelesaiannya.Novel memberi gambaran tentang tokoh-tokoh, tentang peristiwa, dan tentang latanya secara fisik, seolah-olah dapat dilihat, dapat diraba, serta dapat didengar. Di samping itu, novel juga menghadirkan


(2)

pengetahuan tentang hal-hal yang terdalam, yang tidak dapat dilihat, tidak dapat dipegang, tidak dapat didengar melainkan dapat dirasakan oleh batin yang semua itu diperoleh secara tersirat dari gambaran tokoh, peristiwa, dan tempat yang dilukiskan.

Novel dapat memberikan dampak positif bagi pembacanya karena novel itu memberikan manfaat pendidikan dan hiburan.Akan tetapi, tidak sedikit novel yang memberikan dampak negatif, misalnya novel yang di dalamnya terdapat adegan-adegan atau kata-kata yang kasar dan terdapat adegan yang dapat menimbulkan dorongan seksual kepada pembaca. Untuk itu, kita harus selektif dalam memilih novel dalam memeberi hiburan maupun acuan dalam kehidupan

Walaupun bersifat imajiner, namun ada juga novel yang berdasarkan diri pada fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam Nurgiantoro (1995 : 4) digolongkan sebagai karya non fiksi yang terbagi atas (1) fiksi historis atau novel historis, jika yang menjadi dasar penulisan adalah fakta sejarah; (2) fiksi biografis atau novel biografis, jika yang menjadi dasar penulisan adalah fakta biografis dan (3) fiksi sains atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisan adalah fakta ilmu pengetahuan.

Nurgiyantoro (1998 : 18-20) membagi novel dalam 2 golongan, yaitu novel popular dan novel serius. Novel popular adalah novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja.Novel golongan ini menampilkan masalah-masalah yang actual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan.Novel popular tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan.Sebab novel popular pada umumnya bersifat


(3)

sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi.Novel popular biasanya cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel yang baru yang lebih popular pada masa sesudahnya.

Novel serius adalah novel yang memberikan isi cerita yang serba berkemungkinan, jadi dituntut konsentrasi yang tinggi untuk dapat memahami cerita yang dipaparkan di dalamnya.Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal.Novel serius disamping memberikan hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling tidak, mengajak untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.Ini merupakan keunggulan dari novel serius sehingga tetap bertahan sepanjang masa dan tetap menarik sepanjang masa.

Jadi, berdasarkan paparan defenisi novel di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa novel yang menjadi objek kajian penelitian penulis merupakan novel biografis dan novel serius. Dikatakan demikian karenakan novel “Saga no

Gabai Baachan” karya Yoshichi Shimada ini menceritakan tentang neneknya sendiri yaitu nenek Osano yang menjadi tokoh sentral adalah seorang nenek yang berumur 58 tahun yang berjuang sangat keras demi memenuhi kebutuhan hidup dirinya sendiri dan seorang cucu yang dititipkan kepadanya yang tidak lain adalah pengarang novel. Di dalam novel ini, pengarang menceritakan semua tingkah laku maupun ide-ide yang diajarkan nenek untuk bertahan hidup.Selain itu, novel ini juga bersifat memberi hiburan dan di dalamnya ada makna tujuan khusus yaitu


(4)

tujuan pendidikan yang diberikan pengarang kepada pembaca. Tujuan pendidikan tersebut antara lain tekad dan perjuangan demi bertahan hidup, bekerja keras tanpa mengenal lelah, hidup mandiri tanpa mengharapkan belas kasihan dari orang lain, saling memaafkan, cinta kasih dan selalu bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2.2Resensi Novel “Saga no Gabai Baachan”

Struktur formal karya sastra dapat disebut sebagai elemen atau unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Karya sastra seperti novel pada dasarnya dibangun oleh unsur-unsur tema, alur (plot), setting (latar), penokohan (perwatakan), dan sudut pandang (pusat pengisahan). Unsur-unsur ini yang menjadi focus untuk diresensi atau ditelaah secara struktur formal pada umumnya.

2.2.1 Tema

Menurut Kosasih (2011 : 223), tema merupakan ide dasar atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel. Dari ide dasar itulah kemudian cerita dibangun oleh pengarang dengan memanfaatkan unsur-unsur intrinsik seperti plot, penokohan dan latar.Tema merupakan pangkal tolak pengarang dalam menceritakan dunia rekaan yang diciptakannya.Tema suatu novel menyangkut segala persoalan dalam kehidupan manusia, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan dan sebagainya.Tema jarang dituliskan tersurat oleh pengarangnya. Untuk dapat merumuskan tema, terlebih dahulu harus mengenali unsur-unsur intrinsik yang


(5)

dipakai pengarang untuk mengembangkan cerita. Di samping itu juga perlu mengapresiasikan karangan secara utuh dan tidak sepenggal-sepenggal.

Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema. Tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita.

Sementara itu menurut Fananie (2000 : 84), tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam.Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, social budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan.Namun, tema bisa berupa pandangan pengarang, ide atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul.

Berdasarkan pengertian tema di atas, maka tema yang diangkat dalam novel “Saga no Gabai Baachan” adalah bagaimana perjuangan seorang nenek untuk mencukupi kebutuhan dan menghidupi seorang cucu yang dititipkan kepadanya dalam keadaan sangat miskin tanpa berpikir untuk melakukan tindakan kejahatan dan mengharap belas kasihan dari orang lain.

2.2.2 Alur (plot)

Plot adalah salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi.Dalam analisis cerita, plot sering disebut dengan intilah alur.Dalam pengertiannya yang paling umum, plot atau alur sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita. Menurut Stanton


(6)

dalam Nurgiyantoro (1998 : 113), plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Alur atau plot merupakan struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang menandai urutan bagian-bagiab dalam keseluruhan fiksi. Dangan demikian, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Menurut Kosasih (2011 : 225) , secara umum jalan cerita terbagi ke dalam bagian-bagian berikut:

1. Pengenalan situasi cerita (exposition)

Dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan hubungan antar tokoh.

2. Pengungkapan peristiwa (complication)

Dalam bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya. 3. Menuju pada adanya konflik (rising action)

Terjadi peningkatang perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.

4. Puncak konflik (turning point)

Bagian ini disebut pula sebagai klimaks.Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan.Pada bagian ini pula, ditentukannya perubahan nasib beberapa tokohnya.Misalnya, apakah dia berhasil menyelesaikan masalahnya atah gagal.


(7)

5. Penyelesaian (ending)

Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setalah mengalami peristiwa puncak itu.Namun ada pula novel yang penyelesaian akhir ceritanya itu diserahkan kepada imajinasi pembaca.Jadi dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian. Konflik merupakan inti dari sebuah alur.Konflik dapat diartikan sebagai sebuah pertentangan. Menurut Kosasih (2011 : 226), bentuk -bentuk pertentangan antara lain : (1) Pertentangan manusia dengan dirinya sendiri; (2) Pertentangan manusia dengan sesamanya; (3) Pertentangan manusia dengan lingkungannya, baik lingkungan ekonomi, politik, sosial dan budaya; (4) Pertentangan manusia dengan Tuhan atau keyakinannya. Bentuk-bentuk pertentangan inilah yang kemudian diangkat kedalam novel dan yang menggerakkan alur cerita. Tanpa adanya konflik atau pertentangan, akan sulit bagi terbentuknya suatu cerita.

Menurut susunannya atau urutannya, alur terbagi dalam 2 jenis, yaitu alaur maju dan alur mundur.Alur maju adalah alur yang susunannya mulai dari peristiwa pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai cerita itu berakhir.Sedangkan alur mundur adalah alur yang susunannya dimula dari peristiwa terakhir kemudian kembali kepada peristiwa pertama, kedua, dan seterusnya sampai kembali lagi pada peristiwa akhir tadi.

Berdasarkan uraian konflik atau pertentangan dan alur tersebut di atas, maka novel “Saga no Gabai Baachan” ini mempunyai pertentangan berupa pertentangan manusia dengan lingkungan ekonomi.Nenek Osano berjuang sangat keras untuk melawan kemiskinan yang dialaminya. Bentuk pertentangan yang ia lakukan adalah dengan tetap terus bekerja di usianya yang sudah tua dengan


(8)

menjadi pegawai kebersihan di sebuah sekolah. Yang seharusnya kebanyakan orang-orang di usianya hanya tinggal menikmati masa tuanya di rumah. Tetapi ia tidak pernah mengeluh dan mengharapkan belas kasihan dari siapapun. Sedangkan alur dalam novel ini adalah alur maju. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel tersebut dimulai dari kedatangan anaknya dengan seorang cucu untuk dititipkan dan diasuh olehnya dan berakhir pada menjadi dewasanya sang cucu dan untuk demi melanjutkan masa depan, cucu tersebut meninggalkannya.

2.2.3 Latar (setting)

Latar atau setting merupakan unsur pembangun karya sastra yeng menunjukkan kapan dan di mana peristiwa dalam cerita tersebut berlangsung. Latar dalam cerita sangat mempengaruhi pembentukan tingkah laku dan cara berpikir tokoh. Menurut Abrams dalam Zainuddin (2001 : 99), secara garis besar, latar dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yaitu:

1. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas

Dalam novel “Saga no Gabai Baachan” ini, lokasi tempat berlangsungnya cerita adalah kota Saga, Jepang.


(9)

2. Latar Waktu

Latar waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa, yang meliputi hari, tenggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang melatarbelakangi cerita tersebut.

Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar waktu, maka novel

“Saga no Gabai Bhaachan” karya Yoshichi Shimada ini mengambil setting pada tahun 33 era Showa yaitu tahun 1958.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun non fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pendangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau tinggi.

Dalam hal ini, tokoh utama dalam novel “Saga no Gabai Baachan” yakni nenek Osano memiliki status dan peran sebagai seorang nenek.Selain itu, nenek Osano juga berstatus sebagai pekerja bersih-bersih di sebuah sekolah dasar, sekolah menengah dan universitas.

2.2.4 Penokohan (perwatakan)

Menurut Kosasih (2011 : 228), penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Jadi


(10)

penokohan dalam karya sastra menunjuk pada pelaku atau tokoh ceritanya. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral,atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

Tokoh cerita, menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1998 : 165), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Yang dimaksud dengan penokohan disini adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut (Aminuddin, 2000 : 92). Penokohan dalam novel

“Saga no Gabai Baachan” adalah sebagai berikut

1. Nenek Osano adalah tokoh utama dalam novel “Saga no Gabai Baachan” yang merupakan seorang nenek yang mandiri, pekerja keras dan rela berkorban demi cucu yang dititipkan anaknya kepadanya dan ia sayangi. Nenek Osano tidak pernah menyerah dan putus asa terhadap kehidupannya yang sangat miskin.

2. Akihiro Tokunaga adalah cucu dari nenek Osano. Ia memiliki sifat yang periang, baik, mudah memaafkan orang lain, menghargai orang tua, penyayang dan memiliki semangat yang tinggi dalam menggapai cita-citanya.

3. Yoshiko adalah seorang wanita dewasa yang merupakan ibu dari Akihiro Tokunaga yang memiliki sifat penyayang, bertanggung jawab, perhatian dan pekerja keras. Ia tidak ingin melihat perkembangan anaknya menjadi buruk sehingga ia menitipkan Akihiro Tokunaga di rumah ibunya.


(11)

4. Kisako merupakan adik dari Yoshiko yang juga merupakan bibi dari Akihiro Tokunaga. Bibi Kisako adalah seorang wanita dewasa yang penyayang.

5. Tanaka Sensei adalah seorang guru penasehat klub baseball di SMP tempat Akihiro Tokunaga bersekolah. Ia memilki sifat penolong, perhatian, baik hati dan penyayang.

2.2.5 Sudut Pandang (Pusat Pengisahan)

Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro Sudut (1998 : 248) pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnyamerupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.

Menurut Aminuddin (2000 : 96), sudut pandang adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita tersebut. Dengan kata lain, posisi pengarang menempatkan dirinya dalam cerita tersebut dan dari titik pandang ini pula pembaca mengikuti jalannya cerita dan memahami temanya. Terdapat beberapa jenis sudut pandang (point of view), yaitu:

1. Pengarang sebagai tokoh utama. Sering juga posisi yang demikian disebut sudut pandang orang pertama aktif. Disini pengarang menuturkan dirinya sendiri.


(12)

2. Pengarang sebagai tokoh bawahan atau sampingan. Disini pengarang ikut melibatkan diri dalam cerita. Akan tetapi ia mengangkat tokoh utama. Dalam posisi yang demikian itu sering disebut sudut pandang orang pertama pasif.

3. Pengarang hanya sebagai pengamat yang berada di luar cerita. Disini pengarang menceritakan orang lain dalam segala hal.

Dalam hal ini, sudut pandang pengarang Yoshichi Shimada dalam novel

“Saga no Gabai Baachan” adalah sebagai tokoh sampingan. Yoshichi Shimada sebagai pengarang novel ini menceritakan kisah neneknya yang menjadi tokoh utama dan ia sendiri juga menjadi saksi nyata perjuangan neneknya tersebut untuk mencukupi kebutuhan dan menghidupi dirinya serta nenek.

2.3Sekilas Tentang Biografi Pengarang

Bom atom yang jatuh ke Hiroshima saat Perang Dunia II telah memporak-porandakan kehidupan banyak keluarga.Akihiro yang saat itu berusia delapan tahun kehilangan ayahnya, sehingga ibunya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Takut perkembangan Akihiro terganggu, sang ibu memutuskan untuk menitipkan Akihiro pada ibunya (nenek Akihiro) yang tinggal di perkampungan kecil bernama Saga.

Bukannya menjalani hidup yang lebih enak, justru keadaan neneknya di Saga lebih miskin daripada kehidupan ketika tinggal di Hiroshima.Tetapi biarpun miskin, Nenek Osano hidup dengan optimis dan ceria.Banyak pelajaran hidup yang berharga yang dipelajari Akihiro Tokunaga ketika tinggal dengan nenek


(13)

selama delapan tahun.Ide-ide yang diajarkan nenek dalam bertahan melawan kemiskinan sangat bermanfaat dalam menjalankan kehidupan Akihiro selanjutnya. Setelah tidak tinggal dengan nenek dan meninggalkan kota Saga, banyak hal yang terjadi. Meski tadinya Akihiro bermimpi menjadi pemain baseball profesional, entah bagaimana Akihiro malah melakukan debut sebagai kelompok

lawak “B&B”, kemudian menjadi salah satu yang terkenal saat manzai booming. Dalam kehidupan pribadi, Akihiro menikah, memiliki dua orang anak dan menjalani kehidupan layaknya orang dewasa. Meski begitu, sampai kapanpun, pada saat yang bagaimanapun, Akihiro merasa prinsip-prinsip hidupnya seperti mengakar pada ajaran nenek Osano saat hidup di kota Saga. Akihiro tidak mengenal kata-kata seperti benda bermerek, interior canggih, atau sajian mewah.Bagi Akihiro hanya ada papan, sandang, pangan dalam kehidupan yang sederhana.

Walaupun masa sekarang disebut dengan istilah “masa resesi” atau “masa sulit”, bila dibandingkan dengan masa kecil Akihiro Tokunaga, menurutnya berbagai barang kini lebih terjangkau dan semua orang lebih makmur. Meski begitu, orang yang hidup berkilauan seperti nenek Osano sama sekali tidak ada.

Buku yang berjudul “Saga no Gabai Baachan” ini ia tulis dengan tujuan

karena ia sangat mencintai neneknya, sebagai penghormatan karena telah mengajarkannya untuk menghargai hidup dan agar member ide kepada pembaca untuk hidup seperti yang nenek ajarkan.

Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2001 dengan pemikiran Akihiro ingin semua tahu tentangg cara hidup nenek. Kemudian dari pemikiran yang sama pula Akihiro dan teman-teman mengadakan pertunjukkan drama


(14)

ataupun lawak manzaidari tema pandangan hidup nenek di seluruh negeri. Dengan cara seperti itu buku ini menjadi semakin dikenal dan berkat bantuan banyak orang, terjual dengan baik di pasaran.

Lalu pada tahun 2003 di musim panas, Akihiro muncul sebagai bintang tamu acara Asahi TV yang dikenal semua orang dan telah menjadi jam tayang

yang sangat panjang “Tetsuko no Heya” (Kamar Tetsuko). Acara itu dipandu oleh

Tetsuko Kuroyanagi, penulis novel “Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela”. Setelah diizinkan mengenalkan buku ini, Akihiro mendengar keesokan harinya pesanan di toko-toko buku langsung membludak.Kisah nenek hebat dari Saga ini begitu terkenal di Jepang dan telah diadaptasi menjadi film layar lebar, game dan manga.

Yoshichi Shimada sendiri sebagai penulis buku, lahir di Hiroshima tahun 1950.Nama sebenarnya adalah Akihiro Tokunaga. Dia menghabiskan masa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di kota Saga. Dan hingga saat ini ia masih berkarya di dunia pertelevisian, panggung dan sebagainya.

2.4Studi Pragmatik dan Semiotik dalam Sastra 2.4.1 Studi Pragmatik

Pendekatan pragmatik yang digunakan dalam menelaah sastra dikemukakan oleh Abrams dalam Fananie (2000 : 10), mengemukakan bahwa dalam menelaah sastra terdapat 4 model pendekatan yang dapat diterapkan, yaitu:

1. Telaah dari sudut pandang karya sastra itu sendiri yang merupakan produk pengarang (pendekatan objektif).


(15)

3. Telaah dari keterhubungan ide, perasaan atau peristiwa-peristiwa yang mendasari karya yang ditelaah, baik secara langsung atau tidak langsung yang secara esensial dasarnya merupakan satu tiruan (pendekatan mimesis). 4. Telaah dari sudut pandang pembaca atau penerima karya sastra

(pendekatan pragmatik).

Pendekatan pragmatik yaitu pendekatan yang didasarkan kepada pembaca.Pembaca berperan dalam hal menerima, memahami dan menghayati karya sastra.Pembaca sangat berperan dalam menentukan sebuah karya itu merupakan karya sastra atau bukan.Karya sastra tidak mempunyai arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya.Karya sastra itu mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilai. Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, akhirnya karya sastra akan sampai juga kepada pembaca, ditujukan kepada pembaca, dan bagi kepentingan masyarakat pembaca. Sebagai sebuah keutuhan komunikasi antara sastrawan, karya sastra dan pembaca, maka pada hakikatnya karya yang tidak sampai ke tangan pembacanya, bukanlah karya sastra (Siswanto dan Roekhan, 1991/1992 : 30). Karya sastra tidak mempunyai keberadaan nyata sampai karya sastra itu dibaca. Pembacanyalah yang menerapkan kode yang ditulis sastrawan untuk menyampaikan pesan, Selden dalam Siswanto (2008 : 190).

Dengan demikian, pendekatan pragmatik memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca tersebut.Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan, dan penyebarluasannya sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan.


(16)

Berdasarkan hal itu, maka pendekatan pragmatik dalam telaah sastra akhirnya akan bergantung sepenuhnya pada kemampuan pembaca, baik kemampuan kebahasaannya maupun kemampuan aspek yang lainnya, misalnya aspek budaya, psikologi, filsafat, pendidikan, dan sebagainya.

Jika dikaitkan dengan pandangan Horatius dalam Siswanto (2008 : 190) menyatakan bahwa tujuan penyair adalah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan. Horatius menggabungkan kata utile dan dulce, “yang bermanfaat dan yang enak”, secara bersama-sama.Penelitian terhadap tujuan atau fungsi sastra mengarah pada utile, bukan dulce.Dan pendapat inilah awal pendekatan pragmatik.Hal ini didasari oleh anggapan karya sastra mengandung tujuan atau manfaat, yaitu membina dan mendidik pribadi pembaca.

2.4.2 Studi Semiotik

Media sastra adalah bahasa. Menurut Saussure dalam Sartika (2011 : 1), bahasa adalah sistem tanda. Tanda sebagai kesatuan dari dua bidang tang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yaitu yang ditangkap oleh indra kita yang disebut signifier (penanda) dan bentuk atau aspek lainnya yang disebut signified (petanda). Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

Pradopo dalam Sartika (2011 : 1) menjelaskan, tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungannya antara penanda dan


(17)

petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama adalah ikon, indeks dan simbol.Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya.Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hugungan bersifat arbitrer (semau-maunya).Arti tanda itu ditentukan

oleh konvensi.Misalnya kata “ibu” adalah simbol, artinya ditentukan oleh

konvensi masyarakat pengguna bahasa (Indonesia). Inggris menyebutnya

“mother”, Perancis menyebutnya “la mere”, dan sebagainya.adanya bermacam

-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.

Dengan demikian, uraian tentang kajian semiotik yang berupa notasi simbol-simbol kemudian coba dijelaskan apa fungsi dan maknanya. Dalam hal ini, kajian semiotik ini penulis pergunakan untuk dapat menjelaskan makna dalam novel “Saga no Gabai Baachan”.


(1)

2. Pengarang sebagai tokoh bawahan atau sampingan. Disini pengarang ikut melibatkan diri dalam cerita. Akan tetapi ia mengangkat tokoh utama. Dalam posisi yang demikian itu sering disebut sudut pandang orang pertama pasif.

3. Pengarang hanya sebagai pengamat yang berada di luar cerita. Disini pengarang menceritakan orang lain dalam segala hal.

Dalam hal ini, sudut pandang pengarang Yoshichi Shimada dalam novel “Saga no Gabai Baachan” adalah sebagai tokoh sampingan. Yoshichi Shimada sebagai pengarang novel ini menceritakan kisah neneknya yang menjadi tokoh utama dan ia sendiri juga menjadi saksi nyata perjuangan neneknya tersebut untuk mencukupi kebutuhan dan menghidupi dirinya serta nenek.

2.3Sekilas Tentang Biografi Pengarang

Bom atom yang jatuh ke Hiroshima saat Perang Dunia II telah memporak-porandakan kehidupan banyak keluarga.Akihiro yang saat itu berusia delapan tahun kehilangan ayahnya, sehingga ibunya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Takut perkembangan Akihiro terganggu, sang ibu memutuskan untuk menitipkan Akihiro pada ibunya (nenek Akihiro) yang tinggal di perkampungan kecil bernama Saga.

Bukannya menjalani hidup yang lebih enak, justru keadaan neneknya di Saga lebih miskin daripada kehidupan ketika tinggal di Hiroshima.Tetapi biarpun miskin, Nenek Osano hidup dengan optimis dan ceria.Banyak pelajaran hidup yang berharga yang dipelajari Akihiro Tokunaga ketika tinggal dengan nenek


(2)

selama delapan tahun.Ide-ide yang diajarkan nenek dalam bertahan melawan kemiskinan sangat bermanfaat dalam menjalankan kehidupan Akihiro selanjutnya. Setelah tidak tinggal dengan nenek dan meninggalkan kota Saga, banyak hal yang terjadi. Meski tadinya Akihiro bermimpi menjadi pemain baseball profesional, entah bagaimana Akihiro malah melakukan debut sebagai kelompok lawak “B&B”, kemudian menjadi salah satu yang terkenal saat manzai booming.

Dalam kehidupan pribadi, Akihiro menikah, memiliki dua orang anak dan menjalani kehidupan layaknya orang dewasa. Meski begitu, sampai kapanpun, pada saat yang bagaimanapun, Akihiro merasa prinsip-prinsip hidupnya seperti mengakar pada ajaran nenek Osano saat hidup di kota Saga. Akihiro tidak mengenal kata-kata seperti benda bermerek, interior canggih, atau sajian mewah.Bagi Akihiro hanya ada papan, sandang, pangan dalam kehidupan yang sederhana.

Walaupun masa sekarang disebut dengan istilah “masa resesi” atau “masa sulit”, bila dibandingkan dengan masa kecil Akihiro Tokunaga, menurutnya berbagai barang kini lebih terjangkau dan semua orang lebih makmur. Meski begitu, orang yang hidup berkilauan seperti nenek Osano sama sekali tidak ada.

Buku yang berjudul “Saga no Gabai Baachan” ini ia tulis dengan tujuan karena ia sangat mencintai neneknya, sebagai penghormatan karena telah mengajarkannya untuk menghargai hidup dan agar member ide kepada pembaca untuk hidup seperti yang nenek ajarkan.

Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2001 dengan pemikiran Akihiro ingin semua tahu tentangg cara hidup nenek. Kemudian dari pemikiran yang sama pula Akihiro dan teman-teman mengadakan pertunjukkan drama


(3)

ataupun lawak manzaidari tema pandangan hidup nenek di seluruh negeri. Dengan cara seperti itu buku ini menjadi semakin dikenal dan berkat bantuan banyak orang, terjual dengan baik di pasaran.

Lalu pada tahun 2003 di musim panas, Akihiro muncul sebagai bintang tamu acara Asahi TV yang dikenal semua orang dan telah menjadi jam tayang yang sangat panjang “Tetsuko no Heya” (Kamar Tetsuko). Acara itu dipandu oleh Tetsuko Kuroyanagi, penulis novel “Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela”. Setelah diizinkan mengenalkan buku ini, Akihiro mendengar keesokan harinya pesanan di toko-toko buku langsung membludak.Kisah nenek hebat dari Saga ini begitu terkenal di Jepang dan telah diadaptasi menjadi film layar lebar, game dan manga.

Yoshichi Shimada sendiri sebagai penulis buku, lahir di Hiroshima tahun 1950.Nama sebenarnya adalah Akihiro Tokunaga. Dia menghabiskan masa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di kota Saga. Dan hingga saat ini ia masih berkarya di dunia pertelevisian, panggung dan sebagainya.

2.4Studi Pragmatik dan Semiotik dalam Sastra 2.4.1 Studi Pragmatik

Pendekatan pragmatik yang digunakan dalam menelaah sastra dikemukakan oleh Abrams dalam Fananie (2000 : 10), mengemukakan bahwa dalam menelaah sastra terdapat 4 model pendekatan yang dapat diterapkan, yaitu:

1. Telaah dari sudut pandang karya sastra itu sendiri yang merupakan produk pengarang (pendekatan objektif).


(4)

3. Telaah dari keterhubungan ide, perasaan atau peristiwa-peristiwa yang mendasari karya yang ditelaah, baik secara langsung atau tidak langsung yang secara esensial dasarnya merupakan satu tiruan (pendekatan mimesis). 4. Telaah dari sudut pandang pembaca atau penerima karya sastra

(pendekatan pragmatik).

Pendekatan pragmatik yaitu pendekatan yang didasarkan kepada pembaca.Pembaca berperan dalam hal menerima, memahami dan menghayati karya sastra.Pembaca sangat berperan dalam menentukan sebuah karya itu merupakan karya sastra atau bukan.Karya sastra tidak mempunyai arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya.Karya sastra itu mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilai. Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, akhirnya karya sastra akan sampai juga kepada pembaca, ditujukan kepada pembaca, dan bagi kepentingan masyarakat pembaca. Sebagai sebuah keutuhan komunikasi antara sastrawan, karya sastra dan pembaca, maka pada hakikatnya karya yang tidak sampai ke tangan pembacanya, bukanlah karya sastra (Siswanto dan Roekhan, 1991/1992 : 30). Karya sastra tidak mempunyai keberadaan nyata sampai karya sastra itu dibaca. Pembacanyalah yang menerapkan kode yang ditulis sastrawan untuk menyampaikan pesan, Selden dalam Siswanto (2008 : 190).

Dengan demikian, pendekatan pragmatik memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca tersebut.Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan, dan penyebarluasannya sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan.


(5)

Berdasarkan hal itu, maka pendekatan pragmatik dalam telaah sastra akhirnya akan bergantung sepenuhnya pada kemampuan pembaca, baik kemampuan kebahasaannya maupun kemampuan aspek yang lainnya, misalnya aspek budaya, psikologi, filsafat, pendidikan, dan sebagainya.

Jika dikaitkan dengan pandangan Horatius dalam Siswanto (2008 : 190) menyatakan bahwa tujuan penyair adalah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan. Horatius menggabungkan kata utile dan dulce, “yang bermanfaat dan yang enak”, secara bersama-sama.Penelitian terhadap tujuan atau fungsi sastra mengarah pada utile, bukan dulce.Dan pendapat inilah awal pendekatan pragmatik.Hal ini didasari oleh anggapan karya sastra mengandung tujuan atau manfaat, yaitu membina dan mendidik pribadi pembaca.

2.4.2 Studi Semiotik

Media sastra adalah bahasa. Menurut Saussure dalam Sartika (2011 : 1), bahasa adalah sistem tanda. Tanda sebagai kesatuan dari dua bidang tang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yaitu yang ditangkap oleh indra kita yang disebut signifier (penanda) dan bentuk atau aspek lainnya yang disebut signified (petanda). Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

Pradopo dalam Sartika (2011 : 1) menjelaskan, tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungannya antara penanda dan


(6)

petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama adalah ikon, indeks dan simbol.Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya.Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hugungan bersifat arbitrer (semau-maunya).Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi.Misalnya kata “ibu” adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat pengguna bahasa (Indonesia). Inggris menyebutnya “mother”, Perancis menyebutnya “la mere”, dan sebagainya.adanya bermacam -macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.

Dengan demikian, uraian tentang kajian semiotik yang berupa notasi simbol-simbol kemudian coba dijelaskan apa fungsi dan maknanya. Dalam hal ini, kajian semiotik ini penulis pergunakan untuk dapat menjelaskan makna dalam novel “Saga no Gabai Baachan”.