Analisis Faktor Risiko yang Memengaruhi Kejadian Komplikasi Gagal Ginjal pada Penderita DM Tipe II Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas
tidak lagi mampu membuat insulin, atau ketika tubuh tidak dapat memanfaatkan
insulin yang dihasilkannya. Insulin adalah hormon yang dibuat oleh pankreas, yang
bertindak seperti kunci untuk membiarkan glukosa dari makanan yang kita makan
lulus dari aliran darah ke dalam sel-sel dalam tubuh untuk menghasilkan energi.
Semua makanan karbohidrat dipecah menjadi glukosa dalam darah. Insulin
membantu glukosa masuk ke dalam sel (IDF, 2014).
DM ditandai oleh kadar glukosa yang meningkat secara kronis. Kadar glukosa
darah puasa pada berbagai keadaan adalah sebagai berikut : diabetes
≥ 7.0 mmol/L,
toleransi glukosa terganggu (impaired glucose tolerance) 6-7 mmol/L, normal < 6
mmol/L; kadar glukos 2 jam setelah pemberian 75 g glukosa ke dalam plasma adalah:
diabetes ≥ 11,1 mmol/L, toleransi glukosa terganggu 7,8-11,1 mmol/L; normal < 7,8
mmol/L (Davey, 2005).
2.1.2 Gejala dan Diagnosis DM
2.1.2.1 Gejala DM

Individu dapat mengalami tanda-tanda dan gejala diabetes yang berbeda, dan
kadang-kadang mungkin tidak ada tanda-tanda. Beberapa tanda-tanda dialami
meliputi :

a. Gejala Akut DM
Pada permulaan gejala yang ditujukan meliputi serba banyak yaitu :
• Banyak makan (polifagia)

• Banyak minum (polidipsia)

• Banyak kencing (poliuria)

Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala :
• Banyak minum

• Banyak kencing

• Nafsu makan berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5-10kg dalam
waktu 2-4 minggu)
• Mudah lelah


• Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh
koma yang disebut dengan koma diabetik.

b. Gejala Kronik DM
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah sebagai berikut :
• Kesemutan

• Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum

• Rasa tebal di kulit, sehingga kalau berjalan seperti bantal

• Kram

• Capai

• Mudah mengantuk

• Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata


• Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita

• Gigi mudah goyah dan mudah lepas

• Kemampuan seksual menurun, bahkan impotensi, dan

• Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Davey, 2005,
Hayes, 1997, IDF, 2014, dan PERKENI, 2011).
2.1.2.2 Diagnosis DM (PERKENI, 2011)
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah
utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh (WHO, 1994). Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa = 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena
membutuhkan persiapan khusus.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
a. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa.
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai.

f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
g. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
2.1.3

Klasifikasi DM
DM diakui sebagai sekelompok gangguan heterogen dengan elemen umum

hiperglikemia dan intoleransi glukosa, karena kekurangan insulin, efektivitas
gangguan kerja insulin, atau keduanya. DM diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan
presentasi klinis dari gangguan menjadi empat jenis (IDF, 2014).
1. DM Tipe 1
DM tipe 1 dulu disebut diabetes yang menyerang pada anak-anak. DM tipe 1
juga disebut (diabetes mellitus yang tergantung insulin (insulin dependent diabetes

mellitus/IDDM)) adalah gangguan atoimun dimana sistem pertahanan tubuh
menghancurkan sel-sel β pankreas penghasil insulin. Alasan ini terjadi tidak
sepenuhnya dipahami. Orang dengan DM tipe 1 menghasilkan sangat sedikit insulin
atau tidak ada sama sekali. Penyakit ini dapat menyerang orang-orang dari segala
usia, namun biasanya berkembang pada anak-anak atau orang dewasa muda yang
berusia dibawah 30 tahun. Orang dengan DM tipe 1 ini membutuhkan suntikan
insulin setiap hari untuk mengendalikan kadar glukosa dalam darah mereka. Jika
orang-orang dengan DM tipe 1 tidak memiliki akses terhadap insulin, mereka akan
mati (IDF, 2014, dan David, 2007).

Timbulnya DM tipe 1 sering tiba-tiba dan dramatis dan dapat mencakup gejala
seperti :
• haus yang abnormal dan mulut kering
• sering buang air kecil
• kelelahan ekstrim / kekurangan energi
• kelaparan konstan
• penurunan berat badan mendadak
• lambat penyembuhan luka
• Infeksi berulang
• penglihatan kabur (IDF, 2014)

Insiden DM tipe 1 cenderung meningkat, dikarena perubahan faktor risiko
lingkungan, peningkatan tinggi, perkembangan berat badan, meningkatkan usia ibu
saat melahirkan, beberapa aspek diet, dan paparan beberapa infeksi virus dapat
memulai autoimunitas atau mempercepat suatu kerusakan sel beta yang sudah
berlangsung, tetapi yang paling utama adalah faktor lingkungan (IDF, 2014).
2. DM Tipe 2
DM tipe 2 dulu disebut non - insulin dependent diabetes atau DM onset
(serangan) dewasa, dan menyumbang setidaknya 90 % dari semua kasus DM. Hal ini
ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif, salah satu atau
keduanya dapat hadir pada diabetes saat didiagnosis. Diagnosis DM tipe 2 dapat
terjadi pada semua usia. DM tipe 2 dapat tetap tidak terdeteksi selama bertahun-tahun
dan diagnosis sering dibuat ketika komplikasi muncul atau darah atau glukosa urin tes

rutin dilakukan. Hal ini sering, namun tidak selalu, berhubungan dengan kelebihan
berat badan atau obesitas, yang dengan sendirinya dapat menyebabkan resistensi
insulin dan menyebabkan kadar glukosa darah tinggi. Orang dengan DM tipe 2 sering
awalnya mengelola kondisi mereka melalui olahraga dan diet. Namun, seiring waktu
kebanyakan orang akan memerlukan obat oral (IDF, 2014).
Pasien DM tipe 2 khasnya menderita obesitas, pada orang dewasa dengan usia
lebih tua dengan gejala ringgan sehingga penegakan diagnosis bisa saja baru

dilakukan pada stadium penyakit yang sudah lanjut sering sekali setelah ditemukan
komplikasi seperti retinopati atau penyakit kardivaskular. Intensitivitas jaringan
terhadap insulin (resisten insulin) dan tidak adekuatnya respon sel β pankreas
terhadap glukosa plasma yang khas, menyebabkan produksi glukosa hati berlebihan
dan penggunaannya yang terlalu rendah oleh jaringan. Ketosis tidak sering terjadi
karena pasien memiliki jumlah insulin yang cukup untuk mencegah linolisis.
Walaupun pada awalnya bisa dikendalikan dengan diet dan obat hipoglikemik oral,
banyak pasien yang akhirnya memerlukan insulin tambahan, sehingga menjadi
penyandang DM tipe 2 yang membutuhkan insulin (David, 2007).
Ada beberapa faktor yang mungkin dalam pengembangan DM tipe 2,
diantaranya :
• Obesitas, diet, dan aktivitas fisik
• Meningkatkan usia
• Resistensi insulin
• Riwayat keluarga diabetes

• Kurang dari lingkungan intrauterin optimal
• etnis (IDF, 2014)
Berbeda dengan DM tipe 1, orang-orang dengan DM tipe 2 tidak tergantung
pada insulin eksogen dan tidak ketosis rawan, tetapi mungkin memerlukan insulin

untuk mengendalikan hiperglikemia jika hal ini tidak dicapai dengan diet saja atau
dengan obat hipoglikemik oral (IDF, 2014).
Meningkatnya prevalensi DM tipe 2 berhubungan dengan budaya dan sosial
perubahan yang cepat, populasi penuaan, meningkatkan urbanisasi, perubahan pola
makan, aktivitas fisik berkurang, dan gaya hidup tidak sehat lainnya dan pola perilaku
(IDF, 2014).
3. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)
Gestational diabetes mellitus ( GDM ) adalah suatu bentuk diabetes yang terdiri
dari kadar glukosa darah tinggi selama kehamilan. Ini berkembang pada satu dari 25
kehamilan di seluruh dunia dan berhubungan dengan komplikasi bagi ibu dan bayi.
GDM biasanya hilang setelah kehamilan tetapi wanita dengan GDM dan anak-anak
mereka pada peningkatan risiko mengembangkan DM tipe 2 di kemudian hari.
Sekitar setengah dari wanita dengan riwayat GDM terus mengembangkan DM tipe 2
dalam waktu lima sampai sepuluh tahun setelah melahirkan.
Diagnosa GDM biasanya ditegakkan melalui pemeriksaan tes toleransi glukosa
oral, dengan menggunakan glukosa 75 g, di mana kadar glukosa plasma > 5,5
mmol/L atau meningkat sampai 9 mmol/L dalam 2 jam. Pengobatan biasanay berupa
pemberian insulin disertai diet (jika kadar glukosa plasma > 6 mmol/L). Toleransi

glukosa kembali normal setelah persalinan walaupun 60% berkembang menjadi

diabetes dlam waktu 16 tahun, dengan risiko jangka panjang sehubungan dengan
keadaan tersebut (David, 2007).
Mempertahankan kontrol kadar glukosa darah secara signifikan mengurangi
risiko pada bayi. Kadar glukosa ibu meningkat dapat mengakibatkan komplikasi pada
bayi termasuk ukuran besar saat lahir, trauma kelahiran, hipoglikemia dan penyakit
kuning. Wanita

yang telah memiliki GDM memiliki peningkatan risiko

mengembangkan DM tipe 2 di kemudian hari. GDM juga dikaitkan dengan
peningkatan risiko obesitas dan metabolisme glukosa abnormal selama masa kanakkanak dan dewasa pada keturunannya .
Etiologi GDM Mekanisme tidak sepenuhnya dipahami dengan baik, tetapi
hormon kehamilan tampaknya mengganggu kerja insulin (WHO, 2014).
Kebutuhan insulin umumnya meningkatkan, durase selama sembilan bulan,
terutama karena peningkatan kebutuhan kalori (300 kalori sering di atas dasar selama
trimester terakhir). Setelah bayi dilahirkan kebutuhan insulin menurun bahkan jika
ibu menyusui bayi (ibu kebutuhan pangan biasanya 500 kalori di atas dasar selama
ini). Wanita dengan diabetes gestational perlu untuk menghentikan insulin, sementara
mereka dengan DM tipe 1 membutuhkan sedikit insulin dan orang-orang dengan DM
tipe 2 kembali dengan penggunaan agen oral (W. Guthrie, 2004)


2.2 Faktor Risiko DM
Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya
kenaikan kadar glukosa darah, yang disebabkan oleh faktor keturunan dan faktor
lingkungan bersama-sama (FKUI, 1995). Adapun faktor risiko DM sebagai berikut :
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (PERKENI, 2011)
a. Umur > 45 tahun
Pada umur >45 tahun sudah terjadi proses penuan dimana banyak fungsi
organ tubuh sudah terganggu dan menyebabkan sistem metabolikpun terganggu,
sistem metabolik terganggu berdampak pada kerja insulin yang dihasilkan oleh
pankreas (FKUI,1995).
Menurut data United State Department of Health Human Services tahun 2010
di Amerika kelompok umur 45-64 tahun peringkat keenam dari 10 penyakit penyebab
kematian dengan jumlah kematian 17.287, kelompok umur > 65 tahun peringkat
keenam dengan jumlah kematian 49.191(National Center for Health Statistics, 2013).
b. Jenis kelamin
Berdasarkan data dari United State Department of Health Human Services
tahun 2010 di Amerika laki-laki kulit putih menempati peringkat keenam
kematian/100.000 penduduk yang disebabkan oleh diabetes mellitus dari 10 penyakit
penyebab kematian dengan jumlah kematian 28.486, laki-laki kulit hitam atau
Amerika Afrika juga menempati peringkat keenam dengan jumlah kematian 5.640,
laki-laki Indian Amerika atau asli Alaska peringkat keempat dengan jumlah kematian
432, laki-laki Asian atau Pasifik peringkat kelima dengan jumlah kematian 932, laki-

laki Hispanic atau Latino peringkat kelima dengan jumlah kematian 3.372 (National
Center for Health Statistics, 2013).
Pada jenis kelamin perempuan untuk kulit putih menempati peringkat ketujuh
dengan jumlah kematian 2.576, Indian Amerika atau asli alaska peringkat keempat
dengan jumlah kematian 425, Hispanic atau Latino peringkat keempat dengan jumlah
kematian 3.184, kulit hitam atau Amerika Afrika peringkat keempat dengan jumlah
kematian 6486, Asian atau Pasifik peringkat keempat dengan jumlah kematian 906
(National Center for Health Statistics, 2013).
c. Riwayat Keluarga DM
Faktor keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya diabetes mellitus.
Keturunan orang yang mengidap DM (apalagi kalau kedua orang tuanya mengidap
DM jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap DM daripada orang normal).
Demikian pula saudara kembar identik penyandang DM, hampir 100% dapat
dipastikan akan juga mengidap DM nantinya (FKUI, 1995).
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi (PERKENI, 2011)
a. Glukosa Darah
Pada keadaan normal glukosa diatur sedemikian rupa oleh insulin yan
diproduksi oleh sel beta pankreas, sehingga kadarnya di dalam darah selalu dalam
batas aman, baik pada keadaan puasa maupun sesudah makan. Kadar glukosa selalu
stabil sekitar 70-140 mg/dl. Pada keadaan DM, tubuh relatif kekurangan insulin
sehingga pengaturan kadar glukosa darah menjadi kacau. Walaupun kadar glukosa
darah sudah tinggi, pemecahan lemak dan protein menjadi glukosa (glukoneogenesis)

di hati tidak dapat dihambat (karena insulin kurang/relatif kurang) sehingga kadar
glukosa darah dapat semakin meningkat (FKUI, 1995).
b. Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c)
Pada orang normal hanya sebagian kecil fraksi hemoglobin yang akan
mengalami glikosilasi, yaitu sekitar 5%. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin
melalui proses non enzimatik dan bersifat irreversibel. Pada penyandang DM,
glikosilasi hemoglobin meningkat secara proposional dengan kadar rata-rata glukosa
darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadr glukosa darah berada dalam kisaran
normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka hasil tes HbA1c akan
menunjukkan nilai normal. Nilai HbA1c merupakan prediktor terhadap kemungkinan
timbulnya komplikasi DM (FKUI,1995).
c. Profil Lipid
Pada orang normal memiliki kadar kolesterol total 300 mg/hari) awalnya disertai dengan GFR yang normal,
namun setelah terjadi proteinuria berlebih ( protein dalam urin >0,5 g/24 jam, GFR
menurun secara progresif dan terjadi gagal ginjal (Davey,2005, dan O’Callagan,
2006).
Memeriksa protein dalam urin membantu dalam deteksi dini penyakit ginjal
termasuk nefropati diabetik (catatan: bahwa bagaimanapun protein dalam urin tidak
selalu disebabkan oleh kerusakan ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh beberapa
stressor lain, seperti infeksi atau latihan intens). Jika ada sejumlah kecil protein
(callled microproteinuria), kondisi dapat dikontrol dengan mengontrol gula darah dan
tekanan darah, terutama dengan obat yang disebut ACE (angiotensin converting
enzyme) inhibitor. Tapi jika ada sejumlah besar protein dalam urin (proteinuria
disebut gross) , maka sudah terlambat dan kondisi hanya dapat diperlambat, tidak
berhenti dan gagal ginjal tidak bisa dihindari (W. Guthrie, 2004).

Ketika kerusakan ginjal nonreversible telah terjadi, hal ini dapat menyebabkan
gagal ginjal, dan akhirnya menyebabkan kematian. Di negara-negara maju, ini adalah
penyebab utama dialisis dan transplantasi ginjal. Dialisis ginjal (pembersihan darah
melalui penggunaan mesin) atau, sebagai upaya terakhir adalah trnsplant ginjal,
sekarang menawarkan harapan peningkatan kualitas dan kuantitas hidup. Peningkatan
teknik jaringan - mattching dan obat imunosupresi baru (obat untuk menjaga
penerima dari menolak transplantasi) telah mengakibatkan transplantasi lebih berhasil
(W. Guthrie, 2004, dan WHO, 2014).
Penyebab tersering penyakit ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi
penggantian ginjal diabetes mellitus 40%, hipertensi 25%, glomerulonefritis 15%,
penyakit ginjal polikistik 4%, urologis 6%, dan tidak diketahui dan lain-lain 10%
(O’Callagan, 2006).

2.5 Epidemiologi DM
2.5.1

Distribusi DM Menurut Orang
Menurut data United State Department of Health Human Services tahun 2010

di Amerika kelompok umur 25-44 tahun menempati urutan kesembilan penyebab
kematian karena DM dari 10 penyakit penyebab kematian dengan jumlah kematian
2.395, kelompok umur 45-64 tahun peringkat keenam dengan jumlah kematian
17.287, kelompok umur > 65 tahun peringkat keenam dengan jumlah kematian
49.191 (National Center for Health Statistics, 2013).

Ras dan etnis juga merupakan faktor risiko untuk DM. Kebanyakan populasi
minoritas di Amerika Serikat, termasuk Hispanik Amerika dan non-Hispanik kulit
hitam, memiliki prevalensi diabetes yang lebih tinggi dari mereka kulit putih nonHispanik. Meskipun prevalensi DM bervariasi antara populasi dan suku, DM tidak
banyak pada orang Amerika India dan Alaska pribumi. Di Amerika negara Bagian,
dengan didiagnosis DM dua kali lebih tinggi pada non-Hispanik putih dibandingkan
etnis lainnya. Orang Asia Amerika berada pada risiko lebih tinggi terkena DM tipe 2,
meskipun memiliki rata-rata indeks massa tubuh jauh lebih rendah bila dibandingkan
dengan kulit putih non – Hispanik. DM berkembang lebih tinggi pada usia muda di
ras dan etnis populasi minoritas, yang menempatkan kaum minoritas pada risiko yang
lebih tinggi terkena komplikasi pada usia yang lebih muda (CDC, 2012).
Prevalensi DM 2007-2009 menurut national center for chronic disease
prevention and health promotion pada umur >20 tahun di amerika menurut ras dan
etnis amerika dan alaska asli 16,1%. Asian amerika 8,4%, hispanic 11,8%, hitam non
hispanic 12,6%,putih non hispanic 7,1% (CDC, 2012).
Orang Afrika Amerika adalah 1,7 kali lebih mungkin terkena DM dibandingkan
dengan non – Hispanik kulit putih, dan dalam beberapa penduduk asli Amerika, satu
dari dua orang dewasa menderita diabetes (Agbayani, 2013).
2.5.2

Distribusi DM Menurut Tempat dan Waktu
Berdasarkan data IDF tahun 2010 prevalensi DM pada umur 20-79 tahun di

beberapa negara seperti Australia 7,2%, China 4,5%, Indonesia 4,6%, Jepang 7,3%,
Korea 5,7%, Malaysia 10,9%, Mongolia 1,3%, Filipina 6,7%, Singapur 12,7%,

Taiwan 5, %, Thailand 7, %, Vietnam 2,9%. Pada tahun 2014 Australia 5,1%, China
9,3%, Indonesia 5,8%, Jepang 7,6%, Korea 6,7%, Malaysia 16,6%, Mongolia 7,3%,
Filipina 5,9%, Singapur 12,8%, Taiwan 9,9%, Thailand 8,5%, Vietnam 5,3% (IDF,
2010 dan IDF, 2014).

2.6 Pencegahan Diabetes Mellitus (DM) (PERKENI, 2011)
2.6.1

Pencegahan Primer

2.6.1.1 Sasaran Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk
mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.
2.6.1.1.1 Faktor Risiko Diabetes
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa
yaitu :
a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :






Ras dan etnik
Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
Umur.Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.



Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG).



Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir
dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi
lahir dengan BB normal.

b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :










Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
Kurangnya aktivitas fisik.
Hipertensi (> 140/90 mmHg).
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan DM tipe2.

2.6.1.1.2 Intoleransi Glukosa


Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya
diabetes. Angka kejadian intoleransi glukosa dilaporkan terus mengalami
peningkatan.



Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of
Health and Human Services (DHHS) dan The American Diabetes Association
(ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan intoleransi
glukosa adalah TGT dan GDPT. Setiap tahun 4-9% orang dengan intoleransi
glukosa akan menjadi diabetes.



Intoleransi glukosa mempunyai risiko timbulnya gangguan kardiovaskular
sebesar satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal.



Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah
puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes
glukosa darah menunjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini :







Glukosa darah puasa antara 100–125 mg/dL
Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140-199 mg/dL.
Pada pasien dengan intoleransi glukosa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan ditujukan untuk mencari faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

2.6.2

Materi Pencegahan Primer
Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan pengeloaan

yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan
intoleransi glukosa.
2.6.2.1 Penyuluhan
Penyuluhan ditujukan kepada:
a. Kelompok Masyarakat yang Mempunyai Risiko Tinggi dan Intoleransi Glukosa
Materi penyuluhan meliputi antara lain:
1. Program Penurunan Berat Badan
Pada seseorang yang mempunyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan
lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena
DM tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan
berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2.

2. Diet Sehat






Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.
Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal.
Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan
seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang
tinggi setelah makan.



Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.

3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah,
mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar
kolesterol HDL.




Latihan jasmani yang dianjurkan:
Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik
sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu
dengan latihan aerobik berat (mencapai denyut jantung>70% maksimal).
Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.

b. Perencanaan Kebijakan Kesehatan Agar Memahami Dampak Sosioekonomi
Penyakit ini dan Pentingnya Penyediaan Fasilitas yang Memadai dalam Upaya
Pencegahan Primer

2.6.2.2 Pengelolaan
Pengelolaan yang ditujukan untuk:
• Kelompok intoleransi glukosa

• Kelompok dengan risiko (obesitas, hipertensi, dislipidemia,dll.)
1. Pengelolaan Intoleransi Glukosa
• Intoleransi glukosa sering berkaitan dengan sindrom metabolik, yang ditandai
dengan adanya obesitas sentral, dislipidemia (trigliserida yang tinggi dan atau
kolesterol HDL rendah), dan hipertensi.
• Sebagian besar penderita intoleransi glukosa dapat diperbaiki dengan perubahan
gaya hidup, menurunkan berat badan, mengonsumsi diet sehat serta melakukan
latihan jasmani yang cukup dan teratur.
• Hasil penelitian Diabetes Prevention Program menunjukkan bahwa perubahan
gaya hidup lebih efektif untuk mencegah munculnya DM tipe 2 dibandingkan
dengan penggunaan obat obatan.
• Penurunan berat badan sebesar 5-10% disertai dengan latihan jasmani mampu
mengurangi risiko timbulnya DM tipe 2 sebesar 58%. Sedangkan penggunaan
obat (seperti metformin, tiazolidindion, acarbose) hanya mampu menurunkan
risiko sebesar 31% dan penggunaan berbagai obat tersebut untuk penanganan
intoleransi glukosa masih menjadi kontroversi.

• Bila disertai dengan obesitas, hipertensi,

dan dislipidemia, dilakukan

pengendalian berat badan, tekanan darah dan pro
fil lemak sehingga terc

apai

sasaran yang ditetapkan
2. Pengelolaan berbagai Faktor Risiko
a. Obesitas
b. Hipertensi
c. Dislipidemia
2.6.2

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya

penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan
penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program penyuluhan memegang
peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program
pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.
Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru. Penyuluhan
dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan
pertemuan berikutnya.
Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular,
yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain
pengobatan terhadap tingginya kadar glukosa darah, pengendalian berat badan,
tekanan darah, profil lipid dalam darah serta pemberian antiplatelet dapat menurunkan
risiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes.

2.6.3

Pencegahan Tersier

• Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut.
• Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan
menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan
secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit
makroangiopati.
• Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan
keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi
antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik
antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah
vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dll.) sangat diperlukan dalam
menunjang keberhasilan pencegahan tersier

2.7 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori
(Sumber : WHO, 2015, dan PERKENI, 2011 yang sudah dimodifikasi)

2.8 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori diatas, selanjutnya kerangka konsep dapat
digambarkan sebagai berikut:
Variabel Independen

Variabel Dependen

Faktor Risiko yang tidak dapat
Dimodifikasi :
1

Riwayat Keluarga dengan DM

Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi:
1. Glukosa Darah
2. Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c)
3. Profil Lipid (Kolesterol dan
Trigliserida)
4. Aktivitas fisik
5. Hipertensi
6. Lama Menderita DM Tipe II
7. Pola Makan (Diet)
8 Kepat han Min m Obat

Kasus
Diabetes Mellitus Tipe
II Komplikasi Gagal
Gi j l

Faktor lain yang terkait dengan Risiko
DM:

1 Riwayat Penyakit Kardiovaskuler
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian