PERBEDAAN PERILAKU SELF CARE ANTARA PEND

PERBEDAAN PERILAKU SELF-CARE PADA PENDERITA DIABETES MELITUS DENGAN TINGKAT PENDIDIKAN MENENGAH DAN TINGGI

Skripsi

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh: Misya Vocilia 2011-070-058

Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Agustus 2015

PERBEDAAN PERILAKU SELF-CARE PADA PENDERITA DIABETES MELITUS DENGAN TINGKAT PENDIDIKAN MENENGAH DAN TINGGI

Oleh: Misya Vocilia 2011-070-058

Dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2015

Menyetujui,

Pembimbing Skripsi

____________________________________ Drs. Danny Irawan Yatim, M.A., Ed. M.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

____________________________________ Dr. phil. Juliana Murniati, M. Si

Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Agustus 2015

ABSTRAK

Misya Vocilia. 2011.070.058 PERBEDAAN PERILAKU SELF-CARE PADA PENDERITA DIABETES MELITUS DENGAN TINGKAT PENDIDIKAN BERBEDA viii + 59 halaman, 9 tabel, 2 gambar. Bibliografi: 33 (1967 – 2015) Kata kunci: Self-care , Diabetes Melitus, Tingkat Pendidikan

Diabetes Melitus (DM) disebabkan adanya peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan insulin. Diabetes merupakan penyakit kronis yang membutuhkan rancangan terapi yang kompleks . Penyakit Diabetes dapat meningkatkan resiko komplikasi dengan penyakit jantung koroner, stroke, penyakit vaskular periferal, dan penyakit lainnya. Resiko komplikasi akibat diabetes dapat dikurangi dengan adanya self-care , karena perilaku self-care menuntut adanya kepatuhan terhadap rancangan terapi yang diberikan. Untuk dapat mempertahankan kepatuhan ini dibutuhkan pengetahuan, dan penyerapan pengetahuan bergantung pada tingkat pendidikan seseorang.

Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan perilaku self-ca re pada penderita Diabetes Melitus antara tingkat pendidikan menengah dan tingkat pendidikan tinggi. Penelitian kuantitatif ini merupakan non-experimenta l study , dengan sampel sebanyak 135 responden yang didapat menggunakan teknik crovenience sa mpling . Penelitian menggunakan cross-sectiona l study design dengan alat ukur self-ca re yang disebarkan satu kali.

Perhitungan yang digunakan adalah kruska l-wa llis. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat kecenderungan perilaku self-ca re di setiap kelompok pendidikan berada di tingkat lebih tinggi atau lebih rendah dari peringkat kelompok lainnya. Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat bahwa pendidikan kesehatan dapat dilakukan tanpa memperdulikan tingkat pendidikannya, pemeriksaan gula darah di Indonesia perlu dilakukan lebih dari satu sekali dalam sebulan, serta pentingnya meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya perilaku self-ca re.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena dengan hikmat dan akal budi dari padaNya yang telah memimpin saya dalam menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat selesai tepat waktunya. Saya merasakan banyak pengalaman baik suka dan duka dalam pembuatan skripsi ini. Namun demikian, saya merasakan bahwa semua hal yang dialami merupakan proses yang akan membentuk karakter dan kepribadian saya menjadi semakin berkembang dan matang sebagai seorang pribadi dalam menjalani kehidupan selanjutnya.

Terima kasih saya ucapkan kepada Drs. Danny Irawan Yatim, M.A., Ed.M., selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar mau mendengarkan, meluangkan waktu, serta membimbing selama pengerjaan skripsi ini. Saya juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan pengerjaan skripsi ini. Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan para partisipan yang telah mau meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk mengisi kuesioner. Kepada komunitas penderita diabetes yang telah membantu mengisi serta menyebarkan kuesioner saya. Kepada RSAL. Mintohardjo yang telah memberikan ijin kepada saya untuk mengambil data di poli penyakit dalam selama satu bulan. Terima kasih kepada para perawat di poli yang telah membantu serta menemani selama proses pengambilan data. Terima kasih kepada Kusniawati, Teresia Tobing, Krisna Adiasto, S.Psi dan Rebeka Pinaima, S.Psi yang telah sangat membantu dengan memberikan masukan dalam proses penulisan.

Kepada semua sahabat-sahabat saya, yang telah membantu, memberi dukungan dan selalu membuat saya tertawa sesulit apapun situasinya, karena kalianlah saat ini saya dapat sampai disini. Semoga setelah inipun kita masih dapat saling membantu dan memberikan dukungan kepada satu sama lain.

Saya juga ingin berterima kasih kepada keluarga saya, terutama kepada orang tua saya yang telah senantiasa memberikan pengertian, dukungan, cinta dan kesabaran Saya juga ingin berterima kasih kepada keluarga saya, terutama kepada orang tua saya yang telah senantiasa memberikan pengertian, dukungan, cinta dan kesabaran

Akhir kata, saya mengerti bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, saya berharap skripsi ini dapat berguna bagi orang lain maupun penelitian selanjutnya terkait dengan variabel penelitian.

Jakarta, Agustus 2015

Misya

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Pemikiran Yang Melandasi Penelitian ...........................27 Gambar 2. Persebaran Skor SDSCA Partisipan Penelitian .............................45

BAB I PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Diabetes adalah penyakit yang cukup sering kita dengar baik dari orang-orang di sekitar kita maupun melalui televisi. Diabetes bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan. Penyakit ini hanya dapat dikontrol sehingga sebisa mungkin tidak mengganggu fungsi sosial. Walau begitu dengan memiliki diabetes, maka seseorang akan lebih rentan terserang berbagai penyakit lainnnya yang dapat menimbulkan komplikasi, hal ini disebabkan karena ketika memiliki diabetes maka luka lebih sulit sembuh (Tripathi & Srivastava, 2006).

Diabetes Mellitus atau DM adalah penyakit yang muncul akibat kadar glukosa di dalam darah menjadi tinggi karena tubuh tidak dapat memproduksi atau mengeluarkan insulin secara cukup. Ada dua jenis diabetes yang umum terjadi, tipe

1 disebut sebagai Insulin Dependent (IDDM) dan tipe 2 disebut dengan Non-Insulin Dependent (NIDDM) . Perbedaannya adalah insulin dependent disebabkan oleh masalah fungsi organ pankreas tidak dapat menghasilkan insulin , sehingga injeksi harian diperlukan untuk mengatur kadar glukosa darah, meskipun ini dapat terjadi kapan saja namun lebih sering pada usia di bawah 30 tahun. Non-insulin dependet dikarenakan masalah jumlah insulin yang kurang bukan karena pankreas tidak bisa berfungsi baik. Non-insulin dependent dia betes yang menjadi mayoritas kasus diabetes, lebih sering berkembang pada usia 40 tahun. Pada diabetes tipe dua tubuh masih dapat mereproduksi insulin meskipun tidak dalam kualitas yang cukup, sehingga orang memerlukan obat dalam bentuk tablet atau suntikan, serta mengikuti diet dan pola latihan yang ditentukan. (Brill, 2011)

Prevalensi DM disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor kerentanan genetis dan paparan terhadap lingkungan. Prevalensi merupakan gambaran frekuensi penderita lama dan penderita baru yang ditemukan dalam jangka waktu tertentu dari jumlah keseluruhan penduduk. Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat meningkatkan prevalensi DM adalah perpindahan dari pedesaan ke perkotaan atau urbanisasi yang kemudian menyebabkan perubahan gaya hidup seseorang. Di antaranya adalah kebiasaan makan yang tidak seimbang akan menyebabkan obesitas. Kondisi obesitas tersebut kemudian memicu timbulnya DM. (Dewi, 2007)

Prevalensi DM di Indonesia beranjak naik setiap tahun. Penderita yang terkena bukan hanya berusia senja saja, individu yang masih berusia produktif dapat terkena DM. Prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur di atas 65 tahun cenderung menurun. Prevalensi DM pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki- laki, di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada di perdesaan, serta cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan indeks kepemilikan tinggi (Kemenkes, 2013).

Pada orang dewasa, obesitas memiliki risiko timbulnya DM , empat kali lebih besar dibandingkan dengan orang dengan status gizi normal. Selain pola makan yang tidak seimbang dan gizi lebih, aktivitas fisik juga merupakan faktor risiko mayor dalam memicu terjadinya DM. Latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan kualitas pembuluh darah dan memperbaiki semua aspek metabolik, termasuk meningkatkan kepekaan insulin serta memperbaiki toleransi glukosa. Hasil penelitian di India, Pima, individu dengan aktivitas fisik rendah 2,5 kali lebih berisiko mengalami DM dibandingkan dengan individu yang tiga kali lebih aktif. (Tjekyan, 2007; Awad, Langi, & Pendelaki, 2013)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM di daerah urban sebesar 14,7% dan daerah pedesaan 7,3%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penderita diabetes di daerah urban dan sejumlah 5,5 juta penderita diabetes di daerah pedesaan. Sesuai dengan laju Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM di daerah urban sebesar 14,7% dan daerah pedesaan 7,3%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penderita diabetes di daerah urban dan sejumlah 5,5 juta penderita diabetes di daerah pedesaan. Sesuai dengan laju

"Indonesia masuk 10 negara terbesar penderita diabetes di dunia," ujar Mike Doutsdar, Senior Vice President of Novo Nordisk Interna tiona l Opera tion , dalam siaran pers yang diterima pada kamis, 14 November 2013. Laporan tersebut berasal dari Interna tiona l Dia betes F eder a tion . Tepatnya, posisi Indonesia ada di nomor tujuh dengan jumlah penderita sebanyak 8,5 juta orang. Di posisi teratas, ada Cina (98,4 juta jiwa), India (65,1 juta jiwa), dan Amerika (24,4 juta jiwa). Menurut Doutsdar, ada tren menarik tentang peningkatan jumlah penderita diabetes di negara berkembang seperti Indonesia. Pola hidup ternyata berdampak pada banyaknya jumlah penderita baru, khususnya diabetes tipe dua. ( “Indonesia masuk”, 2004)

Menurut Mathers & Loncar (dalam World Heath Organization, 2014), pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan meningkat dari 8,7 juta di tahun 2000 menjadi 21,3 juta di tahun 2030, sedangkan menurut laporan The Blue Print for Cha nge (2013), pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat menjadi 11,8 juta, dengan pertumbuhan tahunan sebesar enam persen, melebihi pertumbuhan penduduk secara keseluruhan di negara ini. Laporan itu juga mengatakan bahwa sekitar 32 juta orang Indonesia diprediksi berpindah dari pedesaan ke perkotaan antara sekarang dan tahun 2030. Tingkat diabetes meningkat terkait dengan peningkatan status sosial ekonomi, kurang olahraga dan kebiasaan diet yang buruk, hal ini seringkali berjalan seiring urbanisasi. Perubahan status sosial ekonomi ternyata tidak hanya berpengaruh pada peningkatan jumlah penderita diabetes saja namun juga berpengaruh pada resiko kematian akibat diabetes (Saydah & Lochner, 2010).

Direktur Jendral Kementerian Kesehatan, Pengendalian Penyakit dan Kesehatan lingkungan, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan bahwa salah satu upaya pemerintah mencegah penyakit tidak menular, termasuk diabetes, adalah dengan mengendalikan jumlah gula, garam dan lemak dalam produk makanan, yang telah dikeluarkan dalam keputusan menteri nomor 30 tahun 2013 . "Kami berada dalam Direktur Jendral Kementerian Kesehatan, Pengendalian Penyakit dan Kesehatan lingkungan, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan bahwa salah satu upaya pemerintah mencegah penyakit tidak menular, termasuk diabetes, adalah dengan mengendalikan jumlah gula, garam dan lemak dalam produk makanan, yang telah dikeluarkan dalam keputusan menteri nomor 30 tahun 2013 . "Kami berada dalam

produk mereka. (“Diabetes Will”, 2013) Peningkatan jumlah penderita diabetes dapat berakibat buruk pada kualitas hidup

negara. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan, bersifat menurun, serta mudah menjadi komplikasi, maka peningkatan penderita diabetes dapat meningkatkan beban bagi tenaga kesehatan serta angka kematian negara. (“Diabetes Will”, 2013).

Prediksi mengenai jumlah kenaikan penderita Diabetes cukup meresahkan karena menimbulkan pertambahan beban kesehatan masyarakat dengan diabetes di negara- negara berkembang meningkat. Peningkatan prevalensi diabetes akan menghasilkan peningkatan proporsi kematian akibat peningkatan konsekuensi terkait komplikasi diabetes, seperti jantung koroner, stroke, dan penyakit vaskular perifer al. Walau telah dibuat peraturan untuk mengontrol konsumsi masyarakat agar mengurangi penderita penyakit ini, namun peraturan tersebut baru dapat berjalan secara efektif

di tahun 2016 (“Diabetes Will”, 2013).

Diabetes adalah gangguan yang kompleks yang memerlukan perhatian terus- menerus seperti diet, olahraga, pemantauan glukosa dan obat -obatan sehingga mencapai kontrol glikemik yang baik. Diabetes juga dapat memperburuk fungsi psikososial dan risiko depresi. Diabetes tipe dua sensitif terhadap efek stres. Dengan adanya hormon stres, seperti kortisol , insulin kurang efektif dalam memfasilitasi penyimpanan glukosa. Depresi tidak hanya memperumit diagnosis awal tetapi juga dapat mengganggu peran perawatan diri akt if yang penderita diabetes lakukan. Intervensi bagi penderita diabetes tipa dua dengan depresi menargetkan self-effica cy dalam rangka meningkatkan kepatuhan dan kemampuan mengontrol kadar gula darah mereka. (Taylor, 2012)

Peneliti melihat bahwa penderita diabetes di Indonesia sering kali tidak melakukan rancangan terapi yang diperlukan, seperti hanya melakukan pemeriksaan Peneliti melihat bahwa penderita diabetes di Indonesia sering kali tidak melakukan rancangan terapi yang diperlukan, seperti hanya melakukan pemeriksaan

Individu dengan diabetes sering merasa terbebani oleh penyakit mereka dan tuntutan manajemen sehari-harinya. Tuntutan ini cukup besar bagi penderita Diabetes. Penderita Diabetes harus berurusan dengan diabetes mereka sepanjang hari, setiap hari, membuat keputusan yang tak terhitung jumlahnya dalam upaya mendekati status metabolik non-diabetes. Efek dari pengambilan keputusan sehari- hari dapat memiliki dampak langsung dan mengakibatkan komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa. Terapi diabetes, seperti mengambil insulin , secara substansial dapat mempengaruhi kualitas hidup baik secara positif, dengan mengurangi gejala gula darah tinggi, atau negatif, dengan meningkatkan gejala gula darah rendah. Beban hidup dengan diabetes cukup berat dengan adanya kontrol jangka panjang glikemik dan risiko komplikasi jangka panjang, ini dapat ditangani dengan adanya self-ca re . (Shrivastava, Shrivastava & Ramasamy, 2013). Penelitian di Canada menunjukan bahwa pengambilan keputusan self-ca re tidak memiliki efek langsung, melainkan diarahkan menjaga kadar glukosa darah yang mengurangi kemungkinan jangka panjang komplikasinya (Thorne, Paterson & Russell, 2003).

World Hea lth Orga nizfa tion (2009) mendefinisikan self-ca re sebagai kemampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, dan menjaga kesehatan dan mengatasi penyakit dan kecacatan dengan atau tanpa dukungan penyedia layanan kesehatan. Depa rtment of Hea lth (2005) di Inggris menyatakan bahwa self-ca re mengacu pada tindakan individu dan wali agar menjaga diri mereka sendiri, anak-anak mereka, keluarga mereka dan orang lain tetap fit dan menjaga kesehatan fisik dan mental yang baik, memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis, mencegah penyakit atau kecelakaan, perawatan World Hea lth Orga nizfa tion (2009) mendefinisikan self-ca re sebagai kemampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, dan menjaga kesehatan dan mengatasi penyakit dan kecacatan dengan atau tanpa dukungan penyedia layanan kesehatan. Depa rtment of Hea lth (2005) di Inggris menyatakan bahwa self-ca re mengacu pada tindakan individu dan wali agar menjaga diri mereka sendiri, anak-anak mereka, keluarga mereka dan orang lain tetap fit dan menjaga kesehatan fisik dan mental yang baik, memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis, mencegah penyakit atau kecelakaan, perawatan

Menurut Orem (1971), Self-ca re dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal sebagai self-ca re atau teori defisit self-ca re . Self-ca re menekankan bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan merawat dirinya sendiri dan berhak memenuhi kebutuhannya sendiri kecuali jika tidak memungkinkan. Orang dewasa madya yang normal dan sehat merupakan agen untuk dirinya sendiri, sedangkan bayi, anak, orang sakit berat atau tidak sadar, bergantung kepada keluarga atau perawat sebagai sumber perawatan untuk memenuhi kebutuhannya.

Self-ca re perlu dilakukan oleh semua orang, karena self-ca re tidak hanya bersifat mencegah penyakit saja namun juga bersifat menjaga kondisi kesehatan (Renpenning & Taylor, 2011). Self-ca re memberdayakan orang dengan keyakinan dan informasi untuk menjaga diri mereka sendiri ketika mereka bisa, dan mengunjungi dokter hanya ketika mereka perlu, memberikan orang kontrol yang lebih besar mengenai kesehatan mereka sendiri serta mendorong perilaku sehat yang membantu mencegah sakit dalam jangka panjang. Dalam banyak kasus orang bisa mengurus penyakit ringan mereka, mengurangi jumlah konsultasi dan memungkinkan tenaga kesehatan profesional fokus pada merawat pasien berisiko tinggi, yang sangat muda atau tua, serta mengelola kondisi jangka panjang dan memberikan pelayanan yang lebih baik. (Orem, 1971)

Berdasarkan Taylor (2012), kunci keberhasilan dari kunci kontrol sukses diabetes adalah perawatan diri yang aktif. Penderita diabetes tipe dua seringkali tidak menyadari risiko kesehatan yang mereka hadapi, karena itu pendidikan merupakan komponen penting dari intervensi. Glasgow, Boles, McKay, Feil, & Barrera (2003) menyatakan bahwa kompleksitas rancangan terapi diabetes dipengaruhi oleh faktor yang berkontribusi terhadap self-ca re , termasuk usia, kompleksitas pengobatan, durasi penyakit, depresi dan masalah psikososial.

Pengobatan diabetes membutuhkan dedikasi yang menuntut perilaku self-ca re di beberapa bagian, termasuk pemilihan makanan, aktivitas fisik, obat -obatan, pemantauan glukosa, dan manajemen gejala. Tidak ada rancangan terapi yang diterima secara universal yang menggabungkan semua domain pengobatan diabetes sehingga penilaian perilaku self-ca re sangat menantang dan menjadi masalah untuk perawatan klinis dan penelitian. (Shrivastava, Shrivastava, & Ramasamy, 2013).

Self-ca re pada diabetes telah dilihat sebagai salah satu pembawa perubahan dalam pengembangan pengetahuan dan pembelajaran untuk bertahan dari diabetes

yang memiliki sifat yang cukup sulit ditangani. Ada tujuh perilaku yang esensial untuk self-ca re ketika menderita diabetes. Tujuh hal tersebut adalah makan makanan sehat, aktif secara fisik, mengontrol gula darah, rajin meminum obat, kemampuan memecahkan masalah, coping skill , dan perilaku yang mengurangi hal- hal beresiko. Self-ca re adalah perilaku yang dipilih oleh sebagian besar penderita diabetes yang ingin sukses mengatur penyakit mereka sendiri. Ketujuh perilaku tersebut telah ditemukan berkorelasi positif terhadap pengendalian glycemic , pengurangan komplikasi dari diabetes, dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Self-ca re diabetes menuntut penderita mengubah pola makan dan gaya hidup sehingga sesuai dengan saran petugas kesehatan sehingga dapat membawa penderita menurut perubahan perilaku yang lebih baik. (Shrivastava, Shrivastava & Ramasamy, 2013)

Diabetes dapat menjadi penyakit fatal bila tidak disertai terapi insulin atau obat yang sesuai dengan rancangan terapi diet, olahraga dan manajemen yang sangat ketat, sehingga dapat memungkinkan menjaga kualitas kehidupan. Akan tetapi, berdasarkan penelitian di pakistan komplikasi serius dapat terjadi dari waktu ke waktu, dan dipengaruhi hubungan langsung antara self-ca re yang efektif dan tingkat keparahan komplikasinya (Thorne, Paterson & Russell, 2003).

Diabetes membutuhkan rancangan terapi pengobatan dan manajemen gaya hidup yang teratur dan mengatur waktu serta kegiatan dengan cara yang menarik perhatian orang lain. Namun, jika manajemen self-ca re yang efektif sehari-hari tercapai, Diabetes membutuhkan rancangan terapi pengobatan dan manajemen gaya hidup yang teratur dan mengatur waktu serta kegiatan dengan cara yang menarik perhatian orang lain. Namun, jika manajemen self-ca re yang efektif sehari-hari tercapai,

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang dengan diabetes mengalami kesulitan mengelola rancangan terapi pengobatan mereka ( ora l hipoglikemik dan insulin ) serta aspek lain dari self-ca re yang diperlukan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Cramer (2004), banyak pasien dengan diabetes mengonsumsi obat kurang dari jumlah yang telah ditentukan, termasuk ora l hipoglikemik dan insulin . Dalam studi retrospektif dan prospektif yang dilakukan, tingkat keseluruhan kepatuhan dengan ora l hipoglikemik adalah 36-93%. Mengingat pentingnya self-

ca re dan kepatuhan pengobatan untuk hasil kesehatan dari perawatan diabetes. Survei ini juga menambah temuan umum bahwa tingkat kepatuhan tidak

berhubungan dengan kesederhanaan program pengobatan, tingkat keparahan gangguan, atau kemungkinan konsekuensi dosis yang terlewatkan. Penelitian menyatakan bahwa penderita Diabetes yang diresepkan, ora l hipoglikemik atau insulin, menggunakan obat kurang dari jumlah yang ditentukan selama jangka waktu yang tidak pasti, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak bagi pemberi resep untuk memahami bahwa kegagalan mengurangi kadar HBA1C mungkin terkait dengan kurangnya self-ca re (Cramer, 2004).

Peneliti ingin melihat perilaku self-ca re para penderita diabetes, bukan hanya pada kepatuhan meminum obat maupun pada pengaturan pola makan saja, na mun dilihat secara keseluruhan. Keteraturan dalam meminum obat saja belum cukup menstabilkan gula darah seseorang, dengan menderita diabetes perlu memperhatikan apa yang dikonsumsi dengan seksama. Meskipun mengonsumsi obatnya dengan teratur namun tidak dapat mengontrol pola makannya, maka gula darah tetap dapat meningkat dan begitu pula yang sebaliknya, karena itulah kemampuan self-ca re ini menjadi penting bagi penderita diabetes (Cramer, 2004).

Peneliti melihat self-ca re sebagai perilaku yang dilakukan dengan tujuan merawat diri sendiri. Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku merupakan hasil dari pengalaman serta interaksi manusia dan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu .

Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman, namun bisa juga didapat dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman, buku dan surat kabar. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap objek. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam tindakan, agar sikap dapat menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Berdasarkan pengertian mengenai perilaku tersebut, agar perilaku self-ca re dapat menjadi sikap nyata salah satu yang perlu dimiliki adalah pengetahuan, dan salah satu sumber pengetahuan adalah melalui tingkat pendidikan.

Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2006), perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didas ari oleh pengetahuan. Perilaku self-ca re adalah perilaku yang diharapkan bersifat langgeng pada penderita diabetes karena diperlukan dalam menjalankan hidup sehari-hari, karenanya pengetahuan menjadi penting untuk diteliti. Salah satu sumber pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Pendidikan adalah kegiatan atau proses pembelajaran mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki maka semakin rendah pula kemampuan yang dimiliki dalam menyikapi permasalahan.

Penelitian Rafique, Azam dan White (2006) menemukan bahwa nilai pengetahuan meningkat seiring dengan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan merupakan indikator bahwa seseorang telah menempuh jenjang pendidikan formal dibidang tertentu. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mudah menerima pengaruh luar yang positif, objektif, dan terbuka pada berbagai informasi termasuk kesehatan (Notoatmodjo, 2006; Wawan & Dewi, 2010).

Berdasarkan penelitian di Inggris, pendidikan kurang dari sekolah tinggi berhubungan dengan kematian dua kali lipat lebih tinggi pada penderita diabetes, setelah mengendalikan usia, jenis kelamin, ras/etnis, status perkawinan, dan indeks massa tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa dengan gelar sarjana atau tingkat pendidikan tinggi. (Saydah, Imperatore & Beckles, 2013).

Resiko kematian secara signifikan lebih besar bagi individu dengan tingkat pendidikan dan rasio pendapatan yang rendah, daripada individu di tingkat yang lebih tinggi. Setelah disesuaikan untuk demografi, komorbiditas, pengobatan diabetes, durasi, akses perawatan kesehatan, dan variabel tekanan psikologis, hubungan dengan risiko kematian tetap bermakna hanya untuk individu dengan tingkat lebih rendah pendidikan (Saydah & Lochner, 2010).

Self-ca re dipengaruhi tingkat pendidikan dan kesadaran akan kesehatan, yang berkontribusi terhadap aspek yang berkaitan dengan pemahaman dan kepatuhan

terhadap pendidikan kesehatan dan pengobatan farmakologis yang mungkin kompleks bagi penderita penyakit kronis. Pada penelitian mengenai tingkat pendidikan dan perilaku self-ca re pada penderita sakit jantung sebelum dan sesudah intervensi yang dilakukan perawat dengan jeda satu tahun d item ukan bahwa perilaku self-ca re lebih baik pada pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, walau peningkatannya tidak jauh berbeda dengan pasien dengan tingkat pendidikan yang rendah (González et al, 2014).

Intervensi pendidikan dan penguatan pendidikan kesehatan periodik dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan, terutama pada populasi dengan tingkat pendidikan rendah yang kemampuan pemahaman dan menghafal informasi diberikan dalam kunjungan pendidikan kesehatan lebih rendah, dan mencakup metode meningkatkan pemahaman informasi. (González et al, 2014)

Aliasgharzadeh, Mobasseri dan Adib (2006) meningkatnya meningkatnya kepatuhan dalam berdiet, berolahraga dan obat-obatan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada perilaku self-ca re yang diperlukan penderita diabetes agar mengontrol gula darah dengan baik, karena itu peneliti ingin melihat apakah ada perbedaan antara tingkat pendidikan terhadap perilaku self-ca re pada penderita Diabetes Melitus.

Penelitian juga akan berfokus pada penderita DM perempuan karena memiliki prevalensi yang lebih dibandingkan dengan pada laki-laki. Perempuan lebih rentan menderita penyakit kronis, seperti diabetes, dan menderita cacat dibandingkan dengan laki-laki. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa faktor resiko Diabetes Melitus seperti berat badan, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik lebih sering Penelitian juga akan berfokus pada penderita DM perempuan karena memiliki prevalensi yang lebih dibandingkan dengan pada laki-laki. Perempuan lebih rentan menderita penyakit kronis, seperti diabetes, dan menderita cacat dibandingkan dengan laki-laki. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa faktor resiko Diabetes Melitus seperti berat badan, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik lebih sering

I.B. RUMUSAN MASALAH

Apakah ada perbedaan perilaku self-ca re pada penderita Diabetes Melitus dengan tingkat pendidikan yang berbeda ?

I.C. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah ada perbedaan perilaku self-ca re antara penderita Diabetes Melitus dengan tingkat pendidikan rendah, menengah dan tingkat pendidikan tinggi.

I.D. MANFAAT

Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah dapat menjelaskan self-care dari sudut pandang psikologis. Dengan menjelaskan perilaku self-care melalui sudut pandang psikologis, pemahaman mengenai pengaruh psikologi dalam bagaimana manusia tetap sehat, mengapa mereka sakit, dan bagaimana respon mereka ketika sakit.

Manfaat Praktis Penelitian ini dapat membantu penderita diabetes untuk meningkatkan kesadarkan bahwa self-care merupakan aspek penting bagi penderita diabetes untuk dapat menjalankan kehidupannya senormal mungkin.

I.E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini terdiri dari 5 bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I adalah bab pendahuluan yang berisikan latar belakang yang melandasi dilakukannya penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Di dalam bab ini, peneliti menuliskan argumentasi mengapa penelitian ini perlu untuk dilakukan.

Sementara itu, Bab II berisikan landasan teori yang berisi penjelasan mengenai teori serta penelitian yang mendukung dari semua variabel yang terdapat dalam penelitian. Variabel yang dikaji secara teoritis adalah tingkat pendidikan, Diabetes Melitus, dan self-care. Teori dan hasil penelitian yang dipaparkan dalam bab ini menjadi landasan peneliti dalam menyusun kerangka berpikir dalam melakukan penelitian.

Bab III adalah bab yang menjabarkan mengenai metode penelitian yang digunakan oleh peneliti, variabel yang ada di dalamnya, populasi penelitian, teknik pengumpulan data, uji validitas dan reliabilitas alat tes, serta metode yang digunakan untuk menganalisis data.

Pada Bab IV, peneliti melaporkan hasil perhitungan analisis dan interpretasi dari data penelitian. Bab ini berisi gambaran umum dari sampel penelitian dan gambaran karakteristik penderita Diabetes Melitus dalam penelitian.

Pada Bab V, yaitu bab terakhir dalam laporan ini. Peneliti akan menjabarkan kesimpulan hasil dari penelitian, dilanjutkan dengan diskusi mengenai hasil penelitian, dan ditutup dengan pemberian saran metodologis dan praktis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.A. DIABETES MELITUS TIPE DUA

Diabetes Mellitus atau kencing manis, adalah penyakit kadar glukosa di dalam darah menjadi tinggi karena tubuh tidak dapat memproduksi atau mengeluarkan insulin secara cukup. Apabila diabetes tidak terkendali hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa, seperti stroke, serangan jantung dan penyakit lainnya (Taylor, 2012).

DM sensitif terhadap efek stres dan meningkatkan kemungkinan depresi. Meskipun mekanisme yang terlibat dalam bertambah buruknya diabetes oleh stres masih dieksplorasi, namun telah dipastikan bahwa metabolisme glukosa dipengaruhi oleh stres. Dengan adanya hormon stres, seperti kortisol, insulin menjadi kurang efektif dalam memfasilitasi penyimpanan glukosa. Sama halnya dengan pengaruh depresi terhadap penderita diabetes. Depresi tidak hanya mempersulit prognosis, tetapi juga dapat mengganggu peran self-ca re yang dilakukan oleh pasien diabetes. Pasien depresi dengan diabetes tipe dua membutuhkan intervensi terlebih dahulu yang menargetkan rasa self-effica cy dalam rangka meningkatkan kepatuhan dan kemampuan mencapai kontrol atas kadar gula darah mereka (Taylor, 2012).

Kunci sukses dalam mengkontrol diabetes adalah self-ca re . Diabetes tipe dua dapat sepenuhnya dicegah dengan perubahan gaya hidup individu yang berisiko tinggi. Sama halnya dengan penderita diabetes yang kondisinya dapat meningkat pesat oleh perubahan gaya hidup melalui self-care . Faktor gaya hidup yang paling kuat terlibat adalah olahraga, penurunan berat badan di antara mereka yang kelebihan berat badan, manajemen stres, dan kontrol diet. (Taylor, 2012)

DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan serta menuntut adanya perubahan gaya hidup yaitu melalui self-ca re . Penderita DM harus melakukan serangkaian kegiatan untuk dapat mempertahankan gula darah mereka sehingga mendekati non-diabetes. Kegagalan dalam mempertahankan gula ini dapat berakibat pada penurunan kualitas hidup serta kemungkinan komplikasi, karena itulah self-ca re menjadi penting pagi penderita DM.

Diabetes Melitus pada perempuan Prevalensi DM pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki (Kemenkes, 2013). Perempuan lebih rentan menderita penyakit kronis, seperti diabetes, dan menderita cacat dibandingkan dengan laki-laki. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa faktor resiko Diabetes Melitus seperti berat badan, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan pria dalam semua kelompok populasi (CDC, 2011). Sebuah penelitian deskriptif tentang faktor resiko Diabetes Melitus yang dilakukan di RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada Mei hingga Oktober 2011 mendapatkan bahwa 57% dari 138 kasus baru penderita Diabetes Melitus di rumah sakit adalah perempuan.

II.B. SELF-CARE

World Health Organisation (2009) mendefinisikan self-ca re sebagai kemampuan individu, keluarga dan masyarakat meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, dan menjaga kesehatan dan mengatasi penyakit dan kecacatan dengan atau tanpa dukungan dari penyedia layanan kesehatan.

United Kingdom Depa rtment of Hea lth (2005) menyatakan bahwa self-ca re mengacu pada tindakan individu dan wali menjaga diri mereka sendiri, anak-anak mereka, keluarga mereka dan orang lain tetap fit dan menjaga kesehatan fisik dan mental yang baik, memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis, mencegah penyakit atau kecelakaan, perawatan penyakit ringan dan kondisi jangka panjang, dan menjaga kesehatan dan kesejahteraan setelah penyakit akut atau pulang dari rumah sakit.

Schoenberg (2011) mendefinisikan self-care sebagai tugas dan hasil dari pembuatan keputusan aman individu mengenai perilaku yang baik dilakukan demi meningkatkan kesehatan atau mencegah adanya penyakit, membatasi penyakit, mengembalikan kesehatan, dan mempertahankan kemandirian berdasarkan aturan kepatuhan dan faktor lainnya berdasarkan cara pandang individu. Sedangkan Maillet et al (1996) mendefinisikan self-care dengan terapi yang dilakukan sendiri; yang biasanya diasosiasikan dengan mengendalikan gejala dan penatalaksanaan penyakit (dalam Mollem, Snoek, & Heine, 1996).

Menurut Orem (1971), Self-ca re dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal sebagai self-ca re atau self-ca re defisit teori . Orem mengemukakan tiga macam teori, yaitu self-ca re theory, self-ca re deficit theory dan nur sing system theory .

Teori self-ca re menekankan bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan merawat dirinya sendiri dan berhak memenuhi kebutuhannya sendiri kecuali jika tidak memungkinkan. Orang dewasa madya yang normal dan sehat merupakan agen untuk dirinya sendiri, sedangkan bayi, anak, orang sakit berat atau tidak sadar, memerlukan keluarga atau perawat sebagai dependent ca re a gent.

Self-care pada Diabetes Individu dengan DM harus membuat serangkaian keputusan setiap harinya tentang nutrisi, aktivitas fisik, obat diabetes, pemantauan gula darah, dan stres management. Mereka juga harus berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan pelayan kesehatan, anggota keluarga, teman, majikan dan rekan-rekan mereka untuk mendapatkan dukungan sosial yang dibutuhkan untuk mengelola kondisi kronis mereka. (Anderson, Funnell, Fitzgerald, & Marrero, 2000). Menurut Glasgow dan Osteen (1992), perubahan pengetahuan dan sikap melalui transfer informasi dan instruksi tidak cukup untuk mencapai perilaku self-care yang diinginkan.

Adanya peningkatan prevalensi Diabetes Mellitus mengubah perawatan diabetes dari sekunder menjadi primer, mengakibatkan tanggung jawab bersama dalam menangani diabetes antara petugas kesehatan primer dan sekunder menjadi semakin penting. Pentingnya kualitas hidup pasien semakin disadari oleh pelayanan kesehatan, sehingga perhatian lebih banyak diberikan pada manajemen penyakit yang cocok untuk gaya hidup pasien. Penanganan dan peralatan diabetes telah mengalami kemajuan sehingga dapat menghasilkan strategi manajemen yang lebih fleksibel dan efektif. Kemajuan dalam oral hipoglikemik dan terapi insulin menawarkan pilihan yang lebih baik (Agrimon, 2014).

Kegiatan self-care mengacu pada perilaku seperti mengikuti rencana diet, menghindari makanan berlemak tinggi, meningkatkan latihan, pemantauan diri glukosa, dan langkah-langkah perawatan. Penurunan kadar hemoglobin glikosilasi pasien mungkin tujuan akhir dari diabetes self-care tetapi tidak dapat menjadi satu-satunya tujuan dalam perawatan pasien. Perubahan aktivitas self-care juga harus dievaluasi untuk berlanjut ke arah perubahan perilaku (Khardori, 2014).

Pemantauan kontrol glikemik yang cukup adalah landasan perawatan diabetes yang dapat memastikan partisipasi pasien dalam mencapai dan mempertahankan target glikemik spesifik. Tujuan yang paling penting dari monitoring adalah penilaian kontrol glikemik keseluruhan dan inisiasi langkah yang tepat pada waktu yang tepat untuk mencapai kontrol optimal. Self- monitoring memberikan informasi mengenai status glikemik saat ini, memungkinkan penilaian terapi dan membimbing penyesuaian dalam diet, olahraga dan obat-obatan mencapai kontrol glikemik yang optimal. Terlepas dari penurunan berat badan, melakukan aktivitas fisik secara teratur telah

d item ukan terkait dengan hasil kesehatan yang lebih baik antara penderita diabetes. Self-monitor glukosa darah (SMBG) merupakan bagian penting dari perawatan diri diabetes untuk mengevaluasi efisiensi pengobatan dan menyesuaikan terapi. Ketika diresepkan SMBG, pasien harus menerima d item ukan terkait dengan hasil kesehatan yang lebih baik antara penderita diabetes. Self-monitor glukosa darah (SMBG) merupakan bagian penting dari perawatan diri diabetes untuk mengevaluasi efisiensi pengobatan dan menyesuaikan terapi. Ketika diresepkan SMBG, pasien harus menerima

Tujuan dalam merawat pasien dengan DM adalah menghilangkan gejala dan mencegah, atau setidaknya memperlambat, perkembangan komplikasi (Khadori, 2014). Perawatan diabetes sebaiknya disediakan oleh tim multidisiplin profesional kesehatan dengan keahlian dalam diabetes, bekerja sama dengan pasien dan keluarga meliputi:

■ Penetapan tujuan yang tepat ■ Modifikasi diet dan olahraga ■ Obat ■ Self-monitoring yang tepat dari glukosa darah (SMBG) ■ Pemantauan berkala untuk komplikasi ■ Penilaian laboratorium

Minat mengenai self-care meningkat karena lebih menyorot peran penting pasien dalam mengelola penyakit kronis mereka, serta dalam mengendalikan dan mencegah komplikasi penyakit kronis. Tujuan dari self-care adalah untuk memberi pasien kemampuan dan sumber daya untuk mengatasi berbagai tantangan sosial dan lingkungan untuk hidup sehat (Agrimon, 2014).

Menurut Goldstein (2002), pendekatan self-care melibatkan penilaian dan nilai-nilai pasien dalam konteks kehidupan sehari-hari untuk membuat rencana perawatan yang terbaik dan dapat diimplementasikan. self-care diabetes dan pemberdayaan pasien merupakan konsep baru di Indonesia, dan belum diperkenalkan ke dalam pelayanan kesehatan, terutama dalam perawatan kesehatan primer. Konsep diabetes self- care hampir tidak dikenal dalam pendidikan diabetes dan perawatan di Indonesia. Dalam pelatihan nasional tahunan untuk pendidik diabetes yang diselenggarakan oleh PEDI (Persatuan Educator Diabetes Indonesia) di Jakarta menunjukkan bahwa Menurut Goldstein (2002), pendekatan self-care melibatkan penilaian dan nilai-nilai pasien dalam konteks kehidupan sehari-hari untuk membuat rencana perawatan yang terbaik dan dapat diimplementasikan. self-care diabetes dan pemberdayaan pasien merupakan konsep baru di Indonesia, dan belum diperkenalkan ke dalam pelayanan kesehatan, terutama dalam perawatan kesehatan primer. Konsep diabetes self- care hampir tidak dikenal dalam pendidikan diabetes dan perawatan di Indonesia. Dalam pelatihan nasional tahunan untuk pendidik diabetes yang diselenggarakan oleh PEDI (Persatuan Educator Diabetes Indonesia) di Jakarta menunjukkan bahwa

Faktor yang mempengaruhi Self-care Diabetes Mehammedsrage Abrahim (2011) mengulas faktor-faktor yang

berkontribusi pada perilaku self-ca re penderita DM melalui systema tic litera tur review . Penelitian Abrahim melihat faktor demographic, kondisi sosioekonomi , dan socia l support yang kemudian akan diolah menggunakan Critica l Appra isa l Skill P rogra mme (CASP) untuk mengukur kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Dalam penelitiannya, literatur yang digunakan minimal bertahun 2004 dengan kriteria partisipan terdiagnosis DM dan berusia di atas usia 18 tahun. Literatur yang digunakan menggunakan metode yang berbeda-beda, dua puluh diantaranya kuantitatif, sembilan kualitatif dan dua mixed method. Berdasarkan 31 studi yang relevan, d item ukan bahwa faktor umur, dukungan, tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan yang tinggi dan lamanya setelah diagnosis DM memiliki hubungan positif sebagai faktor perilaku self-ca re pada pasien DM.

Demografis  Usia Artikel yang ditinjau dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada

hubungan antara usia dan self-ca re tipe 2 DM. Penelitian menemukan bahwa orang-orang di usia tua dikaitkan dengan self-ca re yang baik dan teratur. Ia juga menemukan bahwa usia lanjut berkaitan dengan tingginya tingkat aktivitas fisik, kepatuhan terhadap makanan yang direkomendasikan, dan pelaksanaan perawatan kaki.

Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wu et al (2007) menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik di antara perawatan diri dan usia, yang berarti perilaku self-

ca re yang lebih baik pada usia lanjut berkaitan dengan pendidikan DM sebelumnya dan lama menderita.

 Jenis Kelamin Jenis kelamin memiliki korelasi yang signifikan dengan aktivitas

perawatan diri yang lebih baik. Jenis kelamin laki-laki dikaitkan dengan self-ca re yang lebih baik daripada perempuan. Baumann et al (2010) menemukan bahwa pria melakukan aktivitas fisik self-ca re lebih teratur dan perempuan memiliki nilai kepatuhan terhadap diet yang direkomendasikan dan juga mereka memiliki kepedulian yang tinggi mengenai komplikasi diabetes. Namun, Tengblad et al (2007) mengungkapkan bahwa tidak ada korelasi antara frekuensi gender dan self-ca re terkait SMBG & HbA1c tingkat.

 Lama Menderita DM Penelitian ini mengungkapkan bahwa lamanya diagnosis Tipe 2

DM dan pengobatan memiliki korelasi positif terhadap peningkatan perilaku self ca re , yang dikembangkan melalui pengalaman, dan perubahan dari merasa sakit menjadi hidup seperti orang lain. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Xu dan Pan menemukan bahwa durasi menderita tipe 2 DM (durasi 9 tahun) memiliki hubungan positif dengan kepatuhan terhadap obat dan monitor glukosa darah secara teratur. Ada korelasi yang signifikan antara panjang menderita DM (rata-rata 5,8 tahun) perilaku self-ca re . Penderita DM dengan durasi setelah diagnosis diatas 10 tahun memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku merawat kaki.

Faktor Sosial Ekonomi  Pendidikan Ada korelasi positif antara pendidikan dan self-ca re diabetes. Studi

ini menemukan bahwa orang-orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi berhubungan dengan self-ca re yang baik dan teratur pada DM. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dikaitkan dengan kurangnya ketergantungan pada obat-obatan, tingginya tingkat aktivitas fisik, ini menemukan bahwa orang-orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi berhubungan dengan self-ca re yang baik dan teratur pada DM. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dikaitkan dengan kurangnya ketergantungan pada obat-obatan, tingginya tingkat aktivitas fisik,

Studi lain menemukan kelemahan yang dimiliki orang dengan tingkat pendidikan dan kesadaran yang rendah. Salah satunya adalah penelitian Hosler dan Pan dan Samuel-Hodge et al yang mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan uji rata-rata gula darah yang rendah, mengkonsumsi obat penuruh gula darah dan aspirin, disertai dengan kemampuan coping self-ca re yang rendah.

 Pendapatan Pemeliharaan dan pengembangan self-ca re tergantung pada usia,

status perkawinan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi (Carter, 1998; Mapanga dan Andrews, 1995). Hal ini mendukung hasil penelitian Abrahim (2011), yang menunjukan ada hubungan positif antara self-

ca re diabetes dan pendapatan. Semakin tinggi pendapatan mereka semakin banyak aktivitas self-ca re yang dilakukan.

Dukungan Sosial Menurut temuan ada hubungan yang signifikan antara self-ca re

DM dan dukungan sosial. Semakin banyak dukungan dan bantuan yang diterima, semakin banyak kegiatan self-ca r e diabetes dilakukan (Chio et al, 2009; Oftedal et al, 2009; Heisler dan Piette, 2005).

Sebagian besar penelitian mengenai faktor perilaku self-ca re yang dilakukan oleh Abrahim (2011) diambil dari negara maju karena itu perlu dilakukan penelitian lanjut pada negara berkembang mengenai faktor tersebut.

Penelitian yang dilakukan Kusniawati (2011) bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang berkontribusi terhadap self ca re diabetes. Dalam penelitiannya, ia mempertimbangkan faktor usia, jenis kelamin, lama menderita, aspek emosional, motivasi, keyakinan terhadap efektifitas Penelitian yang dilakukan Kusniawati (2011) bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang berkontribusi terhadap self ca re diabetes. Dalam penelitiannya, ia mempertimbangkan faktor usia, jenis kelamin, lama menderita, aspek emosional, motivasi, keyakinan terhadap efektifitas

Penelitian yang dilakukan oleh Abrahim (2011), lebih lengkap dalam memasukkan variabel yang mungkin berpengaruh, namun sebagian besar membahas mengenai self-ca re diabetes di negara maju dan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di negara berkembang. Sedangkan penelitian yang dilakukan Kusniawati (2011) melengkapi penemuan yang sebelumnya mencoba meneliti faktor yang berpengaruh terhadap self-ca re DM pada konteks Indonesia yang merupakan negara berkembang, namun belum memasukan semua variabel yang mungkin berpengaruh. Salah satu variabel yang tidak diteliti oleh Kusniawati adalah tingkat pendidikan, yang menurut Abrahim merupakan variabel pendukung perilaku self-ca re , karena itulah penelitian mengenai hubungan tingkat pendidikan dan perilaku selfca re ini dilakukan.

II.C. TINGKAT PENDIDIKAN

Notoatmodjo (2006) menyebutkan bahwa pendidikan adalah kegiatan atau proses pembelajaran mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki maka semakin rendah pula kemampuan yang dimiliki dalam menyikapi permasalahan. Seorang pasien DM yang memiliki latar belakang pendidikan yang kurang atau dalam tingkatan dasar, cenderung tidak dapat Notoatmodjo (2006) menyebutkan bahwa pendidikan adalah kegiatan atau proses pembelajaran mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki maka semakin rendah pula kemampuan yang dimiliki dalam menyikapi permasalahan. Seorang pasien DM yang memiliki latar belakang pendidikan yang kurang atau dalam tingkatan dasar, cenderung tidak dapat

Sistem pendidikan non-formal meliputi Paket-A (setara dengan SD), Paket-B (setara dengan SMP) dan Paket-C (setara sekolah menengah atas) dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional.

Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2006), dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Perilaku self-ca re adalah perilaku yang diharapkan bersifat langgeng pada penderita diabetes karena diperlukan dalam menjalankan hidup sehari-hari, karenanya pengetahuan menjadi penting untuk diteliti.

Pendidikan Dasar Pendidikan dasar berlangsung enam tahun dengan usia masuk tujuh tahun. Pendidikan dasar merupakan bagian dari sembilan tahun wajib belajar pendidikan dasar. Ada juga sekolah-sekolah agama menyediakan pendidikan dasar dan umum. Pada akhir pendidikan dasar (kelas enam) siswa duduk ujian nasional; akses ke pendidikan menengah juga tergantung pada hasil tes akademik dan psikologis.

Pendidikan Menengah Pendidikan Menengah pertama berlangsung tiga tahun dan merupakan

bagian dari sembilan tahun program wajib belajar pendidikan dasar. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah pertama (kelas sembilan) siswa mengikuti ujian nasional dan jika berhasil diberikan sertifikat sekola h menengah; akses ke pendidikan menengah atas atau SMA juga tergantung bagian dari sembilan tahun program wajib belajar pendidikan dasar. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah pertama (kelas sembilan) siswa mengikuti ujian nasional dan jika berhasil diberikan sertifikat sekola h menengah; akses ke pendidikan menengah atas atau SMA juga tergantung

11 dan 12 mendapat empat pilihan spesialisasi yang ditawarkan: ilmu alam (IPA), ilmu-ilmu sosial (IPS), bahasa, dan studi agama. Beberapa sekolah menengah atas kejuruan menawarkan program empat tahun yang mengarah ke Diploma 1 sertifikat. Technica l a nd voca tiona l educa tion (TVE) juga ditawarkan di sekolah agama. TVE terdiri dari sekitar 40 program di bidang berikut: teknologi dan mesin; bidang kesehatan; seni, kerajinan dan pariwisata; teknologi informasi dan komunikasi; a grobisnis dan

a groteknologi ; dan bisnis dan manajemen. Setelah menyelesaikan pendidikan siswa senior (umum, kejuruan atau agama) menerima sertifikat. Mereka juga duduk ujian nasional dan, jika berhasil, mereka diberikan sertifikat nasional (ijazah) yang memberikan akses ke pendidikan tinggi, berdasarkan hasil ujian masuk di perguruan tinggi negeri (juga tergantung pada ketersediaan tempat).