PENERAPAN VISUAL THINKING DISERTAI PROBL

PENERAPAN VISUAL THINKING DISERTAI PROBLEM
BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN
KEMANDIRIAN BELAJAR MATEMATIKA
SISWA
Oleh :
Husni Tamrin Hrp1, Edy Surya2
(Jurusan Pendidikan Matematika, PPs UNIMED Medan)
husnitamrinhrp@gmail.com
edysurya@yahoo.com
Abstrak. Penelitian ini didasarkan pada permasalahan rendahnya kemandirian belajar
matematis siswa. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan penelitian dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran Visual Thinking disertai aktivitas Problem based
learning. Kemandirian belajar merupakan aspek yang sangat penting dalam pembelajaran
matematika. Hal ini didasarkan bahwa indikator kemandirian belajar seperti 1) Inisiatif
Belajar, 2). Mendiagnosa Kebutuhan Belajar, 3) Menetapkan Target dan Tujuan Belajar,
4) Memonitor, Mengatur dan Mengontrol, 5) Memandang Kesulitan Sebagai Tantangan,
6) Memanfaatkan dan Mencari Sumber yang relevan, 7) Memilih dan Menerapkan
Strategi Belajar, 8) Mengevaluasi Proses dan Hasil Belajar dan 9) Self Eficacy (konsep
diri) sesuai dan mendukung dengan penerapan Visual Thinking disertai Problem Based
Learning
Keyword: Visual Thinking, Problem Based Learning, Kemandirian Belajar

I.

Pendahuluan
Sikap mandiri seseorang tidak terbentuk dengan cara yang mendadak, namun
melalui proses sejak masa anak-anak. Dalam perilaku mandiri antara tiap individu tidak
sama, kondisi ini dipengaruhi oleh banyak hal. Hal yang mempengaruhi atau faktor
penyebab sikap mandiri seseorang itu dibagi menjadi dua, yaitu faktor dari dalam
individu dan faktor dari luar individu. Menurut Hasan Basri (1994: 54) kemandirian
belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor yang terdapat di dalam dirinya
sendiri (endogen) dan faktor – faktork yang terdapat di luar dirinya (eksogen).
Independence (mandiri) secara umum menunjuk pada kemampuan individu untuk
menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang
lain (Steinberg dalam Sutanto, 2006). Kemandirian merupakan salah satu aspek
kepribadian yang sangat penting bagi individu. Seseorang dalam menjalani kehidupan ini
tidak pernah lepas dari cobaan dan tantangan. Individu yang memiliki kemandirian tinggi
relatif mampu menghadapi segala permasalahan karena individu yang mandiri tidak
tergantung pada orang lain, selalu berusaha menghadapi dan memecahkan masalah yang
ada.
Kemandirian belajar siswa, akan menuntut mereka untuk aktif baik sebelum
pelajaran berlangsung dan sesudah proses belajar. Murid yang mandiri akan

mempersiapkan materi yang akan dipelajari. Sesudah proses belajar mengajar selesai,
murid akan belajar kembali mengenai materi yang sudah disampaikan sebelumnya
dengan cara membaca atau berdiskusi. Sehingga murid yang menerapkan belajar mandiri
akan mendapat prestasi lebih baik jika dibandingkan dengan murid yang tidak
menerapkan prinsip mandiri.
Untuk pengembangan kemandirian belajar siswa diperlukan dukungan dari
seluruh pihak termasuk guru, orang tua, masyarakat penyelenggara pendidikan, maupun
lingkungan sosial di sekitar tempat tinggal siswa itu sendiri. Semua hal itu tidak akan

terjadi dengan sendirinya karena setiap siswa memiliki kondisi yang berbeda antara satu
dengan lainnya baik ekonomi, kecerdasan, sosial budaya, ataupun prasarana dan sarana
yang tersedia.
II. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Visual Thinking
Visual Thinking atau Berpikir Visual adalah proses intelektual intuitif dan ide
imajinasi visual, baik dalam pencitraan mental atau melalui gambar (Brasseur dalam
Surya, 2010). Laseau (Surya, 2011) menyatakan mengandalkan proses berpikir bahasa
gambar visual, bentuk, pola, tekstur, symbol. Namun Visual Thinking memerlukan lebih
banyak dari pada visualisasi atau representasi. John Steiner (Surya, 2011) menyatakan
“Ini adalah mewakili sensasi pengetahuan dalam bentuk struktur ide, aliran ide itu bias

sebagai gambar, diagram, penjelasan model, lukisan yang diatur ide-ide besar dan
penyelesaian sederhana.”
Presmeg (Ariawan, 2016) mengungkapkan tujuh peranan visual thinking, yaitu:
(1) Untuk memahami masalah, dengan merepresentasikan masalah visual siswa dapat
memahami bagaimana unsur-unsur dalam masalah berhubungan satu sama lain; (2)
Untuk menyederhanakan masalah, visualisasi memungkinkan siswa mengidentifikasi
masalah versi yang lebih sederhana, pemecahan masalah dan kemudian memformalkan
pemahaman soal yang diberikan dan mengidentifikasi metode yang digunakan untuk
masalah yang serupa; (3) Untuk melihat keterkaitan (koneksi) masalah; (4) Untuk
memahami gaya belajar individual, setiap siswa memiliki gaya tersendiri ketika
menggunakan representasi visual saat pemecahan masalah; (5) Sebagai pengganti
komputasi/penghitungan, penyelesaian masalah dapat diperoleh secara langsung melalui
representasi visual itu sendiri, tanpa penghitungan; (6) Sebagai alat untuk memeriksa
solusi, representasi visual dapat digunakan untuk memeriksa kebenaran jawaban yang
diperoleh; (7) Untuk mengubah masalah ke dalam bentuk matematis, bentuk matematis
dapat diperoleh dari representasi visual dalam pemecahan masalah.
Beberapa kelebihan visual thinking menurut Sword (S. Nuraini, 2014): (a) Visual
thinking sangat ampuh dan cepat, kompleks, ampuh, detail dan imaginatif. Dengan visual
thinking, informasi diproses secara instan, hanya dengan melihat gambar. (b) Visual
thinking menemukan dan menyelesaikan masalah. Ketika pokok persoalan disampaikan

kepada mereka, mereka dapat segera menyampaikan permasalahan yang mereka lihat dan
kemudian mengerti bagaimana cara menyelesaikannya. (c) Visual thinking kreatif,
melihat gambar dari sudut pandang yang lebih jelas dan kreatif dari pemikir lainnya.
Proses kreatif menggabungkan kesadaran akan masalah, mengumpulkan informasi,
mengembangkan ide, merencanakan, dan menghasilkan penyelesaian.
Langkah-langkah visual thinking menurut Bolton (Ariawan: 2016) adalah: (1)
looking, yaitu siswa mengidentifikasikan masalah dengan aktivitas melihat dan membaca
serta mengumpulkan informasi dalam suatu permasalahan; (2) seeing, yaitu siswa
mengerti dan memahami keterkaitan antara yang diketahui dan yang ditanyakan dengan
aktivitas menyeleksi dan mengelompokkan serta merencanakan pemecahan masalah
dalam suatu permasalahan; (3) imagining, yaitu siswa menentukan pola dengan aktivitas
menggambarkan masalah serta menuliskan solusi pemecahan masalah dalam suatu
permasalahan; (4) showing and telling, yaitu siswa menjelaskan apa yang diperoleh dari
permasalahan tersebut dan mempresentasikan hasilnya.
2.2 Definisi Problem Based Learning
Arends (Sholihah: 2010) menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBL)
…use in promoting higher-level thinking in problem oriented situations, including
learning how to learn. Menurut Arends, PBL merupakan salah satu model pembelajaran
yang digunakan untuk meningkatkan level berpikir tinggi yang diorientasikan pada
masalah, termasuk belajar bagaimana belajar. Proses berpikir dalam pembelajaran PBL


ini diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswa selama proses
pembelajaran berlangsung. Masalah yang dihadapkan pada siswa berupa konsep materi
pembelajaran, sehingga dengan adanya permasalah tersebut maka dapat merangsang
proses berpikir siswa yang lebih tinggi dalam memecahkan permasalahan.
Woei Hung, dkk (2008) menyatakan bahawa Problem-based learning (PBL) is
perhaps the most innovative pedagogical method ever implemented in education.
Menurut Woei Hung, dkk PBL merupakan metode pedagogis paling inovatif yang
diterapkan di bidang pendidikan.
Pendapat lain mengemukakan bahwa Problem Based Learning (PBL) adalah
lingkungan belajar yang di dalamnya menggunakan masalah untuk belajar. Yaitu,
sebelum pebelajar mempelajari suatu hal, mereka diharuskan mengidentifikasi suatu
masalah, baik yang dihadapi secara nyata maupun telaah kasus. Masalah diajukan
sedemikian rupa sehingga para pebelajar menemukan kebutuhan belajar yang diperlukan
agar mereka dapat memecahkan masalah tersebut (Pusdiklat, 2004).
Secara lebih jelas lagi Proyek DUE-like UI (Muhson: 2009) mengemukakan
langkah-langkah yang dilakukan dalam metode PBL, yaitu:
1. Identifikasi masalah
2. Analisis masalah
3. Hipotesis/penjelasan logik sistematik

4. Identifikasi pengetahuan
5. Identifikasi pengetahuan yang telah diketahui
6. Penentuan sumber pembelajaran
7. Identifikasi pengetahuan baru
8. Sintesis pengetahuan lama dan baru untuk diterapkan pada masalah
9. Pengulanagn Kegiatan
10. Menyimpulkan hal yang tidak terpelajari
11. Perangkuman hasil / penyunan Laporan
12. Penerapan ke masalah berikutnya
Dalam metode PBL, peserta didik diberikan suatu permasalahan. Kemudian
secara berkelompok (sekitar lima hingga delapan orang), mereka akan berusaha untuk
mencari solusi atas permasalahan tersebut. Untuk mendapatkan solusi, mereka diharapkan
secara aktif mencari informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber. Informasi dapat
diperoleh dari bahan bacaan (literatur), narasumber, dan lain sebagainya.
Proses pembelajaran dengan PBL dapat digambarkan sebagai berikut:

Amir (Eni: 2012) mengemukakan ciri-ciri atau karakteristik PBL antar lain: 1)
Pembelajaran diawali dengan pemberian masalah; 2) siswa berkelompok secara aktif

merumuskan masalah; 3) mempelajari dan mencari sendiri materi yang berhubungan

dengan masalah serta melaporkan solusinya.
Sugiyanto (Eni: 2012) mengemukakan ada 5 tahap yang harus dilaksakan dalam
PBL, yaitu: 1) memberikan orientasi tentang permasalahannyan kepada siswa; 2)
Mengorganisasikan siswa untuk meneliti; 3) membantu investigasi mandiri dan
kelompok; 4) mengembangkan dan mempresentasikan hasil; menganalisis dan
mengevaluasi proses mengatasi masalah.
Problem based learning (PBL) mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
PBL antara lain adalah: 1) Pemecahan masalah yang diberikan dapat menentang dan
membangkitkan kemampuan berpikir kritis siswa serta memberikan kepuasan untuk
memukan sutau pengetahuan baru; 2) pembelajaran dengan PBL dianggap lebih
menyenangkan dan lebih disukai siswa; 3) PBL dapat meningkatkan aktivitas siswa
dalam proses pembelajaran; 4) PBL dapat memberikan kesempatan siswa untuk
menerapkan pengetahuan yang mereka miliki ke dalam dunia nyata (Gijselaers, 1996).
Kelemahan PBL menurut Sanjaya (2009: 221) antara lain: 1) siswa tidak
memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit
untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba; 2) keberhasilan
model pembelajaran melalui PBL membutuhkan cukup waktu untuk persiapan; 3) tanpa
pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memcahkan masalah yang sedang
dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari.
2.3 Kemandirian Belajar

Para ahli memberikan pengertian kemandirian belajar yang beragam, diantaranya
Steinberg (2007:12) menyatakan bahwa siswa yang memperoleh kemandirian merupakan
siswa yang dapat memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri secara bertanggung
jawab, meskipun tidak ada pengawasan dari orang tua maupun guru dalam aktifitas
belajar demi mendapatkan nilai dan prestasi yang memuaskan bagi diri dan orang tua.
Kemudian Knain dan Tumo (Sugandi, 2013) menegaskan bahwa kemandirian belajar
adalah suatu proses yang dinamik dimana siswa membangun pengetahuan, keterampilan,
dan sikap pada saat mempelajari konteks yang spesifik. Untuk itu siswa perlu memiliki
berbagai strategi belajar, pengalaman menerapkannya dalam situasi dan mampu
merefleksi secara efektif.
Selanjutnya Montalvo dan Torres (Sumarmo, 2004) memberikan pengertian
kemandirian belajar yaitu gabungan antara keterampilan dan kemauan. Demikian pula
menurut Sumarmo (2004: 1) kemandirian belajar merupakan proses perancangan dan
pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan
suatu tugas akademik. Dalam hal ini, Hargis (Sumarmo, 2004: 1) menekankan bahwa
yang dimaksud kemandirian belajar bukan merupakan kemampuan mental atau
keterampilan akademik tertentu, tetapi merupakan proses pengarahan diri dalam
mentransformasi kemampuan mental ke dalam keterampilan akademik tertentu.
Bandura (Sumarmo, 2004: 2) mengidentifikasi karakter kemandirian belajar
yaitu: mengamati dan mengawasi diri sendiri, membandingkan posisi diri dengan standar

tertentu, dan memberikan respon sendiri (respon positif dan respon negatif). Paris dan
Winograd (Sumarmo, 2006: 12) menegaskan, tiga karakteristik utama dari kemandirian
belajar yaitu kesadaran berpikir, penggunaan strategi, dan motivasi yang terpelihara.
Selanjutnya, Paris dan Winograd (Ratnaningsih, 2007: 39) merinci dua belas
kemandirian belajar ke dalam empat kategori:
1. Menilai diri mengarah pada pemahaman belajar yang lebih dalam. Menilai diri
secara periodik akan bermanfaat bagi guru dan siswa, karena merupakan refleksi
pada pembelajaran yang dinamik.
a. Menganalisis gaya dan strategi belajar, membandingkannya dengan yang lain,
meningkatkan kesadaran akan cara-cara belajar yang berbeda.

b. Mengevaluasi apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui, melihat
kedalaman pemahaman tentang pokok-pokok materi, mempromosikan upaya
yang efisien.
c. Penilaian diri dari proses belajar dan out-come secara periodik, adalah suatu
kebiasaan yang bermanfaat untuk dikembangkan, karena akan meningkatkan
pengendalian kemajuan, menstimulasi strategi yang diperbaiki, dan
meningkatkan perasaan self-efficacy.
2. Mengatur diri dalam berpikir, berupaya, dan meningkatkan pendekatan yang
fleksibel pada pemecahan masalah yang adaptif (menyesuaikan diri), tekun,

pengendalian diri, strategis, dan berorientasi tujuan.
a. Mentargetkan tujuan yang sesuai dan dapat dicapai tetapi menantang, paling
efektif dipilih siswa.
b. Mengatur waktu dan sumber-sumber melalui perencanaan yang efektif dan
pengontrolan, merupakan faktor penting dalam mengatur prioritas, mengatasi
frustasi, dan dengan tekun menyelesaikan tugas.
c. Mereviu belajar sendiri, merevisi pendekatan, atau bahkan memulai sesuatu dari
yang baru, memonitor diri dan komitmen pribadi untuk mencapai kinerja standar
tinggi.
3. Self-regulation dapat diajarkan dengan berbagai cara. Self-regulation dapat diajarkan
dengan pengajaran secara eksplisit, refleksi langsung, dan diskusi metakognisi; dapat
ditingkatkan secara tidak langsung, dengan pemodelan dan aktivitas yang
memerlukan analisis reflektif dari belajar, mengevaluasi, membuat peta, dan
mendiskusikan bukti-bukti dari pertumbuhan seseorang; terpilih dalam pengalaman
naratif dan identitas dari setiap individual.
4. Belajar adalah bagian dari kehidupan seseorang, dan sebagai akibat dari karakter
seseorang. Dengan pandangan ini, kemandirian belajar dibangun oleh karakter dari
kelompok yang diikutinya.
a. Bagaimana individu memilih untuk menilai dan memonitor perilaku mereka,
umumnya konsisten dengan identitas yang mereka pilih dan inginkan.

b. Memperoleh perspektif sendiri pada pendidikan dan belajar, menyediakan suatu
kerangka kerja naratif, yang akan memperdalam kesadaran pribadi dari selfregulation.
c. Partisipasi dalam suatu komunitas yang reflektif akan meningkatkan banyak dan
kedalaman pengujian kebiasaan self-regulation seseorang.
Kemandirian bukanlah semata-mata merupakan pembawaan yang melekat pada
diri individu sejak lahir. Perkembangan kemandirian juga dipengaruhi oleh berbagai
stimulus yang datang dari lingkungan, selain potensi yang telah dimiliki sejak lahir
sebagai keturunan dari orang tua. Menurut Ali dan Asrosri (2006), ada sejumlah faktor
yang sering disebut sebgaai korelasi bagi perkembangan kemandirian, yaitu: 1) Pola asuh
orang tua; 2) Sistem Pendidikan di sekolah; 3) Sisitem kehidupan di masyarakat.
Menurut Schunk dan Zimmerman (Sumarmo, 2004: 2) terdapat tiga phase utama
dalam siklus kemandirian belajar yaitu: merancang belajar, memantau kemajuan belajar
selama menerapkan rancangan, dan mengevaluasi hasil belajar secara lengkap. Kegiatan
masing-masing tahapan menurut Schunk dan Zimmerman dirinci sebagai berikut:
1. Merancang belajar meliputi kegiatan: menganalisis tugas belajar, menetapkan tujuan
belajar, dan merancang strategi belajar.
2. Memantau kemajuan belajar merupakan kegiatan dengan mengajukan pertanyaan
kepada diri sendiri: apakah strategi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana,

apakah saya kembali pada kebiasaan lama, apakah saya tetap memusatkan diri, dan
apakah strategi yang telah direncanakan berjalan dengan baik.
3. Mengevaluasi hasil dilakukan melalui pertanyaan: apakah strategi telah dilaksanakan
dengan baik (evaluasi proses), hasil belajar apa yang telah dicapai (evaluasi produk),
dan sesuaikah strategi dengan jenis tugas belajar yang dihadapi.
Masing-masing individu mempunyai tingkat kemandirian belajar yang bervariasi,
tetapi belum ada aturan yang baku untuk menentukan hal itu. Pendapat Tillmann dan
Weiss (Ratnaningsih, 2007: 41) bahwa siswa dikatakan mandiri dalam belajar, jika yang
bersangkutan memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap, yang meningkatkan dan memfasilitasi belajar selanjutnya dan juga
mengabstraksi pengetahuan yang diperoleh untuk dapat ditransfer pada situasi belajar
yang lain. Masih menurut Tillmann dan Weiss (2000) siswa dikatakan mandiri dalam
belajar pada tingkatan perilaku jika memilih, menyusun, dan menciptakan lingkungan
sosial dan material secara aktif yang akan mengoptimalkan proses belajarnya; kemudian
siswa dikatakan mandiri dalam belajar pada aktivitas metakognitif jika merencanakan,
mengorganisasikan, dan mengevaluasi secara terus-menerus.
Sumarmo (2004) mengutarakan tentang indikator dalam kemandirian belajar
sebagai berikut : 1) Inisiatif Belajar, 2) Mendiagnosa Kebutuhan Belajar, 3) Menetapkan
Target dan Tujuan Belajar, 4) Memonitor, Mengatur dan Mengontrol, 5) Memandang
Kesulitan Sebagai Tantangan, 6) Memanfaatkan dan Mencari Sumber yang relevan, 7)
Memilih dan Menerapkan Strategi Belajar, 8) Mengevaluasi Proses dan Hasil Belajar, 9)
Self Eficacy (konsep diri).
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini merupakan studi kepustakaan yang mengumpulkan seluruh
bahan dari kepustakaan baik itu bersumber dari Buku maupun berupa jurnal – jurnal yang
sesuai dengan penelitian ini.
IV. KESIMPULAN
Kemandirian adalah kemampuan melepaskan diri dari ketergantungan emosi
pada orang lain terutama orangtua, serta mampu mengambil keputusan dan berkomitmen
pada keputusan yang diambil, dan bertingkah laku sesuai nilai yang diyakini dan berlaku
pada lingkungan.
Banyak model pembelajaran atau pendekatan pembelajaran matematika lain yang
dapat diterapkan guru kepada siswa di kelas, ide atau cara-cara baru guru dalam
menerapkan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, enak dan menyenangkan dapat
terlaksana sehingga pembelajaran matematika yang selama ini ditakuti siswa , dan sulit
dipelajari tidak terjadi.
Pembelajaran matematika yang dilakukan guru dengan visual thinking haruslah
dibuat strategi belajar yang mengasikkan dan menyenangkan tetapi tujuan pengajaran
tetap tercapai. Kemampuan guru yang harus diperhatikan yakni, kemampuan khusus,
wawasan dan kemampuan umum dan aspek kemampuan komunikasi. Guru matematika
dalam pembelajaran haruslah (1) mempunyai komitmen yang tinggi dalam mengajarkan
matematika, (2) senantiasa menambah pengetahuan materi atau metode mengajarnya dan
(3) berusaha melakukan penelitian tindakan kelas untuk mengidentifikasi kelemahan
dalam kegiatan pembelajaran matematika dan mencari alternatif solusi untuk perbaikan di
dalam mengajar.

Dalam metode PBL, peserta didik diberikan suatu permasalahan. Kemudian
secara berkelompok (sekitar lima hingga delapan orang), mereka akan berusaha untuk
mencari solusi atas permasalahan tersebut. Untuk mendapatkan solusi, mereka diharapkan
secara aktif mencari informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber. Informasi dapat
diperoleh dari bahan bacaan (literatur), narasumber, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2006. Pesikologi Remaja Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Ariawan. 2016.Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Visual Thinking Disertai Aktivitas
Quick On The Draw Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa.
Ariwan, Rezi. 2016. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Visual Thinking Disertai
Aktivitas Quick On The Draw Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa. Suska Journal of Mathematics Education. Vol.2, No. 1, 2016, Hal. 20 – 30.
Gijselaers, W, 1996, American Journal of Physics, 60 (7), 13-21
Hasan Basri. (1994). Remaja Berkualitas: Problematika Remaja dan Solusinya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar .
Hung, Woei., Jonassen, David H., Liu, Rude. 2008. Problem Based Learning.
Muhson, Ali. 2009. Peningkatan Minat Belajar Dan Pemahaman Mahasiswa Melalui
Penerapan Problem-Based Learning. Volume 39, Nomor 2, November 2009, hal.
171-182.
Pusdiklatkes, (2004). Bahan pembelajaran problem based learning (belajar berdasar
masalah).
Diambil
pada
tanggal
24
Desember
2012,
dari
http://www.lrckesehatan.net/cdroms_ht m/pbl/pbl.htm
Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah
Menengah Atas. Disertasi. UPI Bandung.
Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah
Menengah Atas. Disertasi. UPI Bandung : Tidak Dipublikasikan.
Sholihah, Ika. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning (Pbl)
Untuk Meningkatkan Partisipasi Dan Keaktifan Berdiskusi Siswa Dalam
Pembelajaran Biologi Kelas Vii Smp Negeri 2 Surakarta Tahun Pelajaran
2008/2009.
Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar : Apa, Mengapa, dan Bagaimana
Dikembangkan pada Peserta Didik. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana UPI.
Bandung : Tidak dipublikasikan.
Surya, Edy. 2010. Visual Thinking dalam Memaksimalkan Pembelajaran Matematika
Siswa Dapat Membangun Karakter Bangsa.
Surya, Edy. 2011. Visual Thinking And Mathematical Problem Solving Of The Nation
Character Development. Department of Mathematics Education, Yogyakarta State
University Yogyakarta, July 21 ‐23.

Wulandari, Eni. 2012. Penerapan Model Pbl (Problem Based Learning) Pada
Pembelajaran Ipa Siswa Kelas V Sd.