KEMISKINAN DAN PERILAKU SOSIAL MASYARAKA

KEMISKINAN DAN PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN
Abd. Aziz Muslimin1
Abstrak
Kemiskinan yang melanda seseorang dapat menciptakan budaya
kemiskinan, karena berkerja tidak berorientasi pada prestasi, indikator ini
sangat jelas dalam kultur masyarakat kita yang senantiasa bekerja hanya
berpikir pada upaya pemenuhan kebutuhan sesaat tapi tidak terpikir
untuk prestasi. Fenomena kemiskinan ini menjadi sebuah “gaya hidup’
masyarakat
perkotaan
secara
khusus
karena
senantiasa
mengkhususkan diri mereka sebagai kelompok yang senantiasa
mengharapkan bantuan dari pihak lain. Fakta sosial menunjukkan
bahwa pada dasarnya kemiskinan merupakan kultur warga karena
mereka tidak sadar lagi bahwa mereka itu miskin dan berpikir untuk
bagaimana keluar dari lingkaran setan kemiskinannya dan sebagian
menjadikan kemiskinan tersebut sebagai dasar profesi mereka seperti
mengemis untuk mendapat belas kasih orang lain. Dalam analisis

soisologis, kemiskinan berdampak kepada beberapa fungsi seperti
ekonomi, sosial, kultural dan politik.
Kata Kunci: Miskin dan perilaku Sosial
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara yang mempunyai komitmen untuk
melaksanakan “poverty mainstreaming” dalam semua kebijakan
pembangunan, baik pembangunan nasional maupun pada tingkat
daerah. Salah satu indikasinya adalah dibuatnya suatu dokumen khusus
sebagai dasar kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan., yang
dalam perumusan dokumen dilakukan melalui tahapan-tahapan yang
dilandasi oleh aturan atau kebijakan yang jelas (Kepres No. 124 tahun
2001, jo. Kepres No. 34 tahun 2002). Upaya tersebut dilakukan dengan
mengupayakan untuk meletakkan perspektif yang benar tentang
konsistensi antara proses perencanaan strategi, kebijakan, program,
penentuan sasaran dan mekanismenya yang senantiasa memperhatikan
pemenuhan, penguatan dan perlindungan hak-hak dasar (right base)
masyarakat miskin.
Tingginya angka pengangguran semakin memperparah angka
kemiskinan yang terjadi sebagai dampak krisis ekonomi yang
berkepanjangan dan cukup menyita perhatian para pengambil kebijakan

di negeri ini. Langkah-langkah antisipasi mutlak dilakukan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semakin terpuruk. Program
1

Dosen DPK pada FAI dan Prodi Sosiologi FKIP Unismuh Makassar,
(Lektor Kepala/IVa)

33

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

penanggulangan kemiskinan di perkotaan dilaksanakan sejak tahun 1999
sebagai upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat
dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara
berkelanjutan.
Selama ini penanggulangan kemiskinan lebih banyak diarahkan
hanya untuk meningkatkan penghasilan masyarakat miskin melalui
berbagai program ekonomi, namun kesemuanya tidaklah dapat
menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kesalahan mendasar yang saat ini
terjadi adalah melihat kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang

untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang disebabkan oleh rendahnya
penghasilan (ekonomi) mereka atau dengan kata lain bahwa kemiskinan
merupakan suatu keadaan dimana kehidupan masyarakat berada
diposisi serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seharihari.
Kehadiran beberapa program pemberdayaan sesaat terhadap
masyarakat miskin di perkotaan, ternyata menjadikan mereka bersikap
apatis dan pragmatis atau senantiasa menunggu bantuan tanpa mau
berusaha lebih jauh. Tentu saja program ini juga akan memberi
kontribusi untuk mewujudkan ”helping the poor to help themselves” pada
masyarakat miskin. Perubahan pola pikir terhadap masyarakat miskin
menjadi persoalan dasar terhadap penanganan kemiskinan di perkotaan,
khususnya Kota Makassar.
Semangat enterpreneurship menjadi faktor yang signifikan
ditumbuhkan dalam diri masyarakat miskin secara umum. Dalam hal ini,
struktur sosial masyarakat memerlukan lapisan baru yang memiliki
wawasan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan berwirausaha,
sehingga mereka mampu mengelola potensi sumberdaya yang ada di
sekitarnya berdasarkan prinsip-prinsip bisnis yang benar, dan yang
terpenting dapat mengelola modal bantuan sebagai kompensasi
penanggulangan kemiskinan.

Perilaku sosial masyarakat miskin di perkotaan cukup variatif
dalam interaksi socialnya dengan masyaralat sekitarnya, walau mereka
merasakan formasi kebijakan kesejahteraan dan pembangunan secara
substansial tidak berpihak dan terasing dari deru pembangunan.
Kemiskinan, kesenjangan sosial antar kelompok masyarakat,
keterbelakangan sosial, dan masalah-masalah sosial lainnya merupakan
akibat yang berjalan seiring dengan kegiatan pembangunan bangsa.
Kondisi demikian harus segera dibenahi demi kelangsungan jalannya
pembangunan, karena di dalam sistem pembangunan tidak secara
integral disediakan perangkat program untuk mengantisipasi dampak
negatif yang diakibatkannya, makanya penanganan masalah-masalah
sosial baru berjalan setelah kegiatan pembangunan berjalan.
Fenomena kemiskinan ini menjadi sebuah “gaya hidup’
masyarakat
perkotaan
secara
khusus
karena
senantiasa
mengkhususkan diri mereka sebagai kelompok yang senantiasa

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

34

mengharapkan bantuan dari pihak lain. Berbagai cara yang telah
dilakukan oleh pemerintah untuk menekan jumlah kemiskinan di negara
kita ini akan tetapi, angka kemiskinan tetap saja tinggi, ini disebabkan
berbagai macam faktor diantaranya adalah adanya beberapa pihak yang
menyalahgunakan penggunaan bantuan yang dibagikan oleh pemerintah
dan banyaknya masyarakat yang sebenarnya mampu dari segi finansial
yang menganggap dirinya masih kekurangan dalam memenuhi segala
kebutuhannya sehingga menganggap dirinya sebagai orang miskin.
Peneliti mencoba mendalami masalah ini, karena selama ini
program pemerintah yaitu pemberdayaan dan penanggulangan
kemiskinan dengan beberapa pola bantuan telah berjalan. Namun, pola
hidup masyarakat tidak berubah padahal mereka sudah mendapatkan
bantuan dari pemerintah. Hal tersebut memberi kesan bahwa selama ini,
penyaluran bantuan dan pembangunan dari pemerintah tanpa melalui
pengkajian terhadap kebutuhan vital masyarakat. Ataupun ada
sekelompok orang yang memahami kemiskinan sebagai bentuk “pilihan”

yang maha kuasa pada ummatnya untuk lebih mengingat-Nya.
Kajian Kemiskinan
Saat tertentu, ada orang-orang tertentu yang membagikan zakat
hartanya sebagai bentuk menyucikan harta yang dimiliki. Namun yang
ironis adalah sering kali dijumpai membludaknya warga yang tiba-tiba
mengaku “miskin” bahkan yang lebih ironi lagi adalah adanya warga yang
meninggal akibat terinjak-injak saat antri saat pembagian sedeqah.
Fenomena tersebut menunjukkan hipotesis bahwa orang-orang
miskin merupakan “ladang” orang-orang kaya untuk beramal. Membagibagikan uang kepada orang miskin dianggap lebih punya prestise
dibandingkan mentransformasikan orang-orang miskin di sekitar mereka
agar punya pijakan finansial. Konsepsi berderma atupun berzakat
tidaklah salah, tapi bila bertindak seperti Sinterklas tentunya mereka
berperan besar dalam menambah jumlah orang-orang miskin. Pemikiran
bahwa kemiskinan adalah bagian dari rencana Tuhan harus
didekonstruksi untuk melawan teologi Fatalistik yang sering kali menjadi
justifikasi kemalasan.
Kenyataan menunjukkan bahwa standar kemiskinan didasarkan
pada asumsi bahwa yang dikatakan miskin adalah orang yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (absolut) serta
ketidakmampuan seseorang memenuhi secara penuh kebutuhannya.

Fakta kemiskinan di masyarakat Indonesia menunjukkan gambaran
kemiskinan yang begitu kompleks, karena begitu beragamnya gambaran
kemiskinan.
Sebagaimana uraian Peter Blau dalam Ritrzer (2007). bahwa nilainilai umum secara kasat mata tergambar jelas dalam realita kehidupan
masyarakat Indonesia, khususunya masyarakat dalam kawasan
perkotaan. Adapun indikator kemiskinannya seperti rumah tinggal yang
35

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

kumuh dan jauh dari nilai bersih, pola hidup yang kurang sehat dan
sulitnya pemenuhan kebutuhan secara ekonomi. Hal lain juga kemiskinan
menggerogoti seseorang pula pada areal kebudayaan, sebagaimana
uraian Oscar Lewis dalam Suparlan (1995:xviii) bahwa kemiskinan yang
melanda seseorang dapat menciptakan budaya kemiskinan.
Fakta sosial menunjukkan bahwa kemiskinan menjadi bagian dari
kehidupan seseorang karena mereka secara tidak sadar terus berkutat
dengan kehidupannya sehari-hari. Pada dasarnya kemiskinan
merupakan kultur warga karena mereka tidak sadar lagi bahwa mereka
itu miskin dan berpikir untuk bagaimana keluar dari lingkaran setan

kemiskinannya.
Oscar lewis telah menguraikan secara tajam bahwa kemiskinan
terjadi karena berkerja tidak berorientasi pada prestasi, indikator ini
sangat jelas dalam kultur masyarakat kita yang senantiasa bekerja hanya
berpikir pada upaya pemenuhan kebutuhan sesaat tapi tidak terpikir
untuk prestasi. Adapun yang dimaksudkan dengan prestasi di sini adalah
bagaimana mereka memaksimalkan upaya untuk keluar dari kultur
kemiskinan mereka, misalnya dengan pendidikan sebagi investasi
jangka panjang.
Malah dikalangan kaum miskin justru yang terjadi adalah
eksploitasi kerja pada anak-anaknya karena dijadikan sebagai mesin
pengumpul duit dengan bekerja serabutan, misalnya di kawasan tempat
pelelangan ikan pada pagi hari, anak-anak bekerja sebagai penjual
kantongan plastik ataupun jadi buruh pikul. Ironis memang fakta sosial
dalam kehidupan masyaraklat kita bahwa kemiskinan yang terjadi
penyebabnya semakin bergeser dari struktural ke kultural karena anakanak dijadikan obyek eksploitasi orangtua untuk membantu
perekonomian mereka.
Dalam struktur sosial diakui memang bahwa peran struktur akan
sangat mempengaruhi pola perkembangan masyarakat, bilamana
struktur menerapkan sistem kapitalis Barat, maka struktur dibawahnya

akan mengalami eksploitasi yang tertindas sehingga upaya untuk keluar
dari kemiskinannya akan semakin sulit karena akan terpola dengan rule
of the game dari struktur. Hal tersebut menunjukkan bahwa paradigma
fakta sosial yang memang memandang tingkah laku manusia di tentukan
oleh norma dan nilai sosial.
Selanjutnya paradigma perilaku sosial sebagai tingkah laku
individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan
yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor
lingkungan yang menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku.
Perbedaan pandangan antara paradigma perilaku sosial ini dengan
paradigma fakta sosial terletak pada sumber pengendalian tingkah laku
individu, bagi paradigma fakta sosial, sebagaimana diutarakan di atas
struktur makroskopik dan pranata-pranata yang mempengaruhi atau
Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

36

yang mengendalikan tingkah laku individu, bagi paradigma perilaku
sosial persoalannya selalu bergeser.
Kemiskinan merupakan permasalahan dasar dalam pembangunan

yang dihadapi oleh setiap negara, khususnya negara berkembang seperti
Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi proses kemiskinan itu
sendiri, paling tidak hal-hal seperti pendapatan, kesejahteraan,
pendidikan, akses terhadap berbagai pelayanan masyarakat (barang dan
jasa), lokasi, geografis, gender dan kondisi lingkungan menjadi
pertimbangan atau faktor yang dapat mempengaruhi.
Soekanto (1996) mengemukakan bahwa persoalan kemiskinan
dalam perspektif ekonomi dipahami sebagai ketidakmampuan seseorang
memenuhi kebutuhan primernya sehingga berdampak pada timbunya
tuna karya, tuna susila dan lain sebagainya. Dengan demikian perlu ada
strategi pengentasan kemiskinan dengan pemberdayaan ekonomi
kerakyatan, sebab kemiskinan merupakan bagian dari patologi sosial
atau penyakit masyarakat yang perlu mendapatkan terapi khusus.
Untuk itu dibutuhkan pengetahuan berbagai faktor penyebab
lahirnya kemiskinan, mengingat persoalan kemiskinan merupakan suatu
hal yang amat kompleks sehingga butuh langkah strategi yang nyata
para perencana dalam pengentasan kemiskinan dan pengelolaan
pembangunan khususnya untuk kepentingan analisis kebijakan. Berbagai
penelitian mengenai kemiskinan menimbulkan bahwa warga miskin tidak
dapat keluar dari lingkaran setan kemiskinannya karena hambatan

struktural, dan pada saat yang sama subsidi yang mereka terima dari
negara seperti subsidi pendidikan, BOS, BLT, PNPM yang merupakan
konpensasi naiknya bahan bakar minyak hanya bersifat karitatif dan
bukan bersifat membantu meningkatkan produktivitasnya.
Menurut Weber seperti yang disunting parson (dalam
soekanto:1985), bahwa perilaku manusia yang merupakan perilaku sosial
harus mempunyai tujuan tertentu, yang terwujud dengan jelas. Hal ini
bermakna bahwa perilaku tersebut harus memiliki makna bagi pihakpihak yang terlibat yang kemudian berorientasi terhadap perilaku yang
sama pada pihak lain. Tidak setiap jenis perilaku, walaupun nyata dan
bersifat formal merupakan perilaku sosial. Sikap subyektif hanya
merupakan perilaku sosial apabila berorientasi ke perilaku pihak-pihak
lain. Perilaku keagamaan tidak bersifat sosial apabila perilaku tersebut
hanya merupakan doa semata.
Di sisi lain, para Ustaz yang berkhutbah ataupun para pemuka
agama lainnya di masing-masing tempat ibadah dituntut untuk merubah
paradigma beramal agar tidak bersikap pragmatis. Mereka selayaknya
terlibat aktif dalam mendobrak comfort zone kemiskinan struktural melalui
ajaran yang menggelorakan keutamaan bekerja keras dibandingklan
ritus-ritus keagamaan yang hanya bersifat individual yang tidak akan
membawa perubahan bangsa ini menjadi sejahtera.
37

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

Memberi sedekah itu baik, tapi lebih baik kalau uangnya digunakan
dalam program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin
walau dalam kelompok kecil sekalipun. Hal senada yang diungkapkan
oleh seorang teolog perancis, John Calvin yang mengguncang Eropa
dengan doktrin “Etika Protestan” yang menegaskan bahwa semua orang
harus bekerja keras karena itu adalah kehendak Tuhan”, dan bukannya
pasrah menjalani kehidupannya apa adanya.
Dengan demikian Kemiskinan pada dasarnya di diakibatkan oleh
dua faktor, yaitu:
1. Struktural, yaitu kemiskinan yang terjadi sebagai akibat dari
kebijakan pemerintah dalam pengelolaan ekonomi seperti
terjadinya kelangkaan barang kebutuhan, ataupun karena
kebijakan menaikkan harga barang-barang sehingga daya beli/
jangkau masyarakat menurun.
2. Kultural, yaitu kemiskinan yang terjadi sebagai pola dalam
kehidupan keluarganya, sehingga mereka senantiasa hanya
berpikiran sesaat untuk bagaimana memenuhi kebutuhannya.
Terkait hal tersebut Selo Soemarjan mengemukakan bahwa
penyebab kemiskinan karena dua faktor yaitu akibat susunan masyarakat
yang dikonstruksi oleh masyarakat sendiri dalam bentuk kelas-kelas
sosial atau stratifikasi sosial dan hal yang kedua yaitu faktor
kelembagaan, berupa penciptaan rule of the game dimana masyarakat
miskin tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari kemiskinan karena
ketidakmampuan memainkan peran lebih besar dalam memberdayakan
dirinya sehingga cenderung pasrah dan menerima sistem yang
membelenggu kehidupan mereka.
Alfian dalam Koentjaraningrat (1986), mengemukakan bahwa ada
tiga tipe sikap mental orang Indonesia, yang secara langsung berpotensi
menciptakan kimiskinan yaitu:
1. Sikap mental dikalangan petani yang bersumber pada sistem
nilai budaya yang mengandung ciri-ciri bahwa hidup ini memang
buruk, penuh dosa dan kesengsaraan sehingga kemiskinannya
membuat mereka tidak lagi memikirkan masa depan, oleh karena
orientasi masa depan yang lebih baik boleh dikatakan tidak ada,
si petani lebih memilih sikap “nrimo” saja alias pasrah akan
nasib.
2. Sikap mental dikalangan Priyayi-Bangsawan dan pegawai. Sikap
mental yang dimilikinya mengandung falsafah bahwa hidup ini
buruk sehinga perlu diperbaiki, bekerja untuk mendapatkan
kekayaan dan kedudukan, maka mereka suka bersikap
membebek pada atasan, bila mengalami kesulitan kebanyakan
lari ke alam kebatinan dan khayalan berupa angan-angan.
3. Sikap mental ketiga adalah sikap mental yang dimiliki oleh orangorang yang ada dalam masa transisi (pancaroba) dan banyak
ditemui di kota-kota. Sikap mental ini biasanya telah menjebol
Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

38

nilai-nilai lama tapi belum sempat diganti oleh norma-norma baru
sehingga mudah berada dalam keraguan, cirinya biasa
meremehkan arti kualitas, ingin cepat kaya tanpa kerja keras,
kurang bertanggung jawab, tidak memiliki rasa percaya diri dan
cenderung apatis, ingin cepat kaya tapi malas berusaha. Sikap
mental ini mudah tergoda untuk melakukan korupsi, kolusi dan
nepotisme,
berani
melanggar
hukum
dan
sering
menyalahgunakan kekuasaan.
Demikianlah profil kemiskinan di Indonesia karena pada dasarnya
mereka juga berupaya tampil maksimal untuk menunjukkan personal diri,
namun di sisi lain, Alfian (1984) menyelami kemiskinan dengan
mengkategorikan dua hal, yaitu kemiskinan alamiah sebagai kemiskinan
yang timbul akibat faktor sumber daya yang langkah jumlahnya atau
faktor tingkat perkembangan teknologi yang sedemikian rendah,
sedangkan kemiskinan buatan yaitu lebih diakibatkan pada faktor
kelembagaan yang berakibat dimana anggota masyarakat tidak mampu
mengakses dan menguasai sarana dan fasilitas sosial ekonomi secara
merata dan berkeadilan sosial.
Abustam (1995) menekankan bahwa upaya mengurangi angka
kemiskinan yaitu dengan perubahan pola pikir. Adapun pola pikir yang
diharapkan yaitu merupakan hasil usaha-usaha pengembangan sumber
daya manusia melalui jalur pendidikan. Masyarakat perlu dididik dan
dipelihara agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Terlepas
dari takdir, bahwa rendahnya pendidikan dan struktur berpikir seseorang
akan melahirkan budaya pragmatis dan permissive yang dapat
melahirkan kemiskinan.
Perilaku Sosial dan Kajian Teologis Kemiskinan dalam Pandangan
Beberapa Aliran
Perilaku Sosial adalah suasana saling ketergantungan yang
merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia Perilaku
sosial seseorang itu tampak dalam pola respons antar orang yang
dinyatakan dengan hubungan timbal balik antar pribadi.
Ibrahim (2001) juga menekankan perilaku sosial identik dengan
reaksi seseorang terhadap orang lain, dan perilaku itu ditunjukkan
dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, kenangan, atau rasa
hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial seseorang merupakan sifat
relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara-cara yang berbedabeda. Misalnya dalam melakukan kerja sama, ada orang yang
melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu mementingkan
kepentingan bersama diatas kepentingan pribadinya. Sementara di pihak
lain, ada orang yang bermalas-malasan, tidak sabaran dan hanya ingin
mencari untung sendiri.
39

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

Dalam kajian teologis, kemiskinan merupakan sebuah fakta social
dalam kehidupan ini sehingga memberikan beragam respon, khususnya
dalam pandangan kaum teologis :
1. Pandangan Pengkultus Kemiskinan
Kemiskinan bukanlah sesuatu yang jelek dan perlu dihindari serta
bukan pula termasuk masalah yang perlu diributkan untuk dicarikan
solusinya. Kemiskinan justru merupakan anugerah Allah yang
diberikan kepada hamba-hambaNya yang dicintai, agar hatinya
hanya bisa mengingat kehidupan akhirat, benci kehidupan duniawi,
berhubungan langsung dengan Allah dan penuh kasih sayang
terhadap sesama manusia.
2. Pandangan Jabariyah
Kelompok ini menganggap kemiskinan bukan merupakan bencana
dan keburukan, tetapi sebagai “ketentuan dari langit” yang tidak bisa
ditolak dan dientaskan.
3. Pandangan Penyeru Kesalehan Individual
Memandang bahwa dalam kemiskinan ada bencana dan kejahatan,
dan kemiskinan merupakan suatu problem kehidupan yang perlu
dicarikan solusinya.
4. Pandangan Kapitalisme
Pandangan ini menegaskan bahwa kemiskinan merupakan problem
dan kesengsaraan hidup dan yang bertanggung jawab atas keadaan
tersebut adalah si miskin itu sendiri, bukan nasib, takdir atau apa
saja.
5. Pandangan Sosialisme-Marxis
Kelompok ini memiliki pandangan bahwa upaya untuk menghapus
kemiskinan dan menyadarkan orang-orang miskin tidak akan menjadi
kenyataan kecuali dengan menghancurkan kelas-kelas borjuis,
merampas harta mereka dan membatasi kepemilikan harta, dari
manapun sumber penghasilannya.
Kemiskinan dan Fungsi Sistem Sosial Masyarakat
Dalam perspektif sosiologi kita dapat mengutip pendapat Emile
Durkheim tentang fakta sosial, dimana hal tersebut sejalan dengan
dijadikannya kemiskinan sebagai satu teologi yang merupakan salah satu
fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat kita yang kemudian
diaplikasikan dalam kehidupan menjadi sebuah pekerjaan sehingga hal
tersebut termasuk sebagai tindakan sosial (social action) yang
dikemukakan oleh Max Weber, dimana tindakan sosial merupakan
tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang mendapatkan reaksi dari
pihak lain. Reaksi yang diberikan bermacam-macam misalnya berupa
rasa iba, terharu dan rasa kasihan, oleh karena perasaan tersebut orang
yang melihatnya menjadi iba dan memberikan sejumlah barang atau
uang kepada orang miskin tersebut.
Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

40

Dengan mengutip pendapat Herbert Gans dalam Ritzer (2007)
dimana ia menilai kemiskinan fungsional dalam suatu sistem sosial.
Misalnya pada sistem ekonomi, sosial, kultur dan politik.
1. Fungsi ekonomi meliputi
a. Menyediakan tenaga untuk pekerjaan kotor dalam masyarakat;
b. Menimbulkan/menghasilkan dana-dana sosial (funds);
c. Membuka lapangan kerja baru karena di kehendaki orang miskin;
d. Pemanfaatan barang bekas yang tidak dimanfaatkan oleh orang
kaya.
2. Fungsi sosial dari kemiskinan meliputi :
a. Kemiskinan menguatkan norma-norma sosial utama dalam
masyarakat;
b. Menimbulkan altruisme terutama terhadap orang-orang miskin
yang memerlukan santunan;
c. Si kaya dapat merasakan kesusahan hidup miskin tanpa perlu
mengalaminya sendiri dengan membayangkan kehidupan simiskin;
d. Orang miskin menyediakan ukuran kemajuan (rod) bagi kelas lain;
e. Membantu kelompok lain yang sedang berusaha sebagai anak
tangganya;
f. Kemiskinan menyediakan alasan untuk munculnya kalangan orang
kaya yang membantu orang miskin dengan berbagai badan amal.
Dengan jalan ini, maka antara kaya dan yang miskin tidak ada
kecemburuan sosial dan menciptakan hubungan kasih sayang, Yng
dapat menghilangkan rasa benci-membenci diantara si-kaya dan simiskin.
3. Fungsi kultural dari kemiskinan yaitu:
a. Kemiskinan menyediakan tenaga fisik yang diperlukan untuk
pembangunan monumen-monumen kebudayaan;
b. Kultur orang miskin sering diterima pula oelh strata sosial yang
berada diatas mereka;
4. Fungsi politik dari kemiskinan yaitu :
a. Orang miskin berjasa sebagai “kelompok gelisah” atau menjadi
musuh bagi kelompok politik tertentu
b. Pokok isu mengenai perubahan dan pertumbuhan dalam
masyarakat selalu diletakkan diatas masalah bagaimana
membantu orang miskin
c. Kemiskinan menyebabkan sistem politik menjadi lebih sentris dan
lebih stabil.

dan
41

Walaupun kemiskinan sangat tidak menguntungkan
dirasakan
disfungsi
bagi
masyarakat
yang
Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

merasakannya, karena hidup dalam kesulitan dan
kesusahan untuk memenuhi kebutuhannya. Yang harus
mengerjakan pekerjaan berat, kasar, menjadi kuli,
pembantu rumah tangga dan pekerjaan lainnya yang
membutuhkan tenaga dan cucuran keringat untuk
mendapatkan sesuap nasi, bekerja siang malam untuk
memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi dalam perspektif
sosiologi kemiskinan fungsional bagi sistem sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Abustam, M. Idrus.
Ujungpandang:
Hasanuddin.

1995.
Pusat

Konsep Kemiskinan di Indonesia.
Studi kependudukan , Universitas

Bogdan dan Taylor. 1993. Kualitatif dasar-dasar Penelitian. Surabaya:
Usaha Nasional.
Soekamto, Soejono. 1985. Max Weber: Konsep-konsep Dasar dalam
Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Soesanto, Phil Astrid S. 1995. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Bina
Cipta.
Sztomka. Piotr. 2005, The Sociology of Social Change, dialihbahasakan
oleh Alimandan dengan judul Sosiologi Perubahan Sosial, Cet. II;
Jakarta; Prenada Media.
Gans, Herbert J. Kebudayaan dan Kelas dalam Studi Mengenai
Kemiskinan. Sebuah Pendekatan terhadap Penelitian Anti
Kemiskinan; dalam Kemiskinan di Perkotaan di edit oleh Parsudi
Suparlan, Jakarta-Sinar Harapan-yayasan obor.
Lewis, Oscar, 1983, Kebudayaan Kemiskinan; dalam Kemiskinan di
Perkotaan, di edit oleh Parsudi Suparlan, Jakarta-Sinar HarapanYayasan Obor
Alfian, 1984, Kemiskinan Struktural suatu Bunga rampai, Jakarta:
Sangkala.
Garna, Judistira, (1992), Teori-teori Perubahan sosial, Bandung; PPs
Univ. Padjajaran.
Priyono, B. Hery, Anthony Giddens : Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia.

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

42