MODEL ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA D

MODEL ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAN BERBAGAI
KELEMAHAN DALAM UNDANG-UNDANG NO. 30/ 1999 TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
1. Model Aternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelessaian sengketa Umum, Pasal 1 angka 10, merumuskan
bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
a. Konsultasi
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam
UU No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika
melihat pada Black's Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang
dimaksud dengan konsultasi (consultation) adalah :
Act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with
lawyer. Deliberation of persons on some subject.
Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law Dictionary tersebut
dapat diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu
tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut
dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang

memberikan

pendapatnya

kepada

klien

tersebut

untuk

memenuhi

keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.
Didalam konsultasi, klien adalah bebas untuk menentukan sendiri
keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau

demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan
pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti

dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternative penyelesaian
sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau
sengketa yang ada tidak dominan sama sekali, konsultan hanyalah
memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang
untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut
akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak
konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk
penyelesaian

sengketa

yang

dikehendaki

oleh

para

pihak


yang

bersengketa tersebut.
b. Negosiasi:
Negosiasi merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa
secara kompromi (kooperatif antar pihak) dengan tujuan pemecahan
masalah bersama. Alternative penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini
memiliki beberapa kelebihan, yakni diantaranya adalah:
1. negosiasi memberi peluang yang sangat luas bagi para pihak untuk
menentukan pilihan-pilihannya
2. Tidak bergantung pada norma hukum tertulis
3. Dapat memberikan ruang bagi para pihak untuk bisa menang secara
bersama-sama.
4.

semua pihak memperoleh kesempatan untuk menjelaskan berbagai
persoalan dalam proses negosiasi.
Sedangkan yang menjadi kelemahan dari alternatif penyelesaian
sengketa melalui lembaga negosiasi ini, yakni diantaranya adalah:


1. Tidak ada kepercayaaan antara para pihak yang bersengketa dalam
menyelesaiakan suatu sengketa tertentu.
2. Dalam negosiasi seringkali yang terjadi adalah tidak ada satu upaya pun
untuk mencoba saling mendengarkan kehendak dan keinginan masingmasing pihak yang sedang pihak.
c. Mediasi:
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan konflik atau sengketa
di mana pihak luar atau pihak ketiga yang tidak memihak (impartial)
bekerja sama dengan pihak yang bersengketa atau konflik untuk
membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.
Alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki beberapa
kelebihan, yakni diantaranya adalah:
1. Keputusan yang hemat
2. Penyelesaian secara cepat
3. Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak
4. Kesepakatan yang komprehensif
5. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan
6. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
Sedangkan yang menjadi kelemahan satu-satunya yang ada pada
proses mediasi terletak pada kekuatan eksekusi para pihak setelah

mencapai kesepakatan. Karena kesepakatan dicapai dengan cara suka
rela, maka eksekusi atas kesepakatan itu pun juga dengan kondisi yang
suka rela pula. Oleh karena itu proses mediasi hanya akan efektif
diterapkan

pada

para

pihak

yang

benar-benar

secara

suka

rela


menghendaki perselisihan diselesaikan secara mediasi. Dengan demikian,

mengandung konsekuensi bahwa mediator serta hal-hal lain selama
proses mediasi pun tetap secara suka rela harus diterima oleh kedua
belah pihak yang bersengketa.
d. Konsoliasi
UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang
eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Bahhkan tidak dapat
ditemui satu ketentuan pun dalam UU No. 30 Tahun 1999 ini mengatur
mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga
alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal
1 angka 10 dan Alenia ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang No. 30
Tahun 1999 tersebut.
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah
melibatkan pihak ketiga untukuntuk menyelesaikan sengketa secara
damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan. Namun menurut Behrens,
ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal
daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu
atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu
tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang
diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian
badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para
pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh
kuasanya. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui
konsiliasi ini hampir sama dengan mediasi yakni: cepat, murah, dan dapat
diperoleh hasil yang efektif. Sedangkan yang menjadi kelemahan

alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini adalah bahwa
putusan dari lembaga konsiliasi ini tidak mengikat, sehingga sangat
tergantung sepenuhnya pada para pihak yang bersengketa.
e. Arbitrase
Pasal 1 angka 1 UU No. 30/ 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian

Sengketa

menyatakan


bahwa

arbitrase

adalah

cara

penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui
lembaga arbitrase ini adalah diantaranya, yaitu:
1. Adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak
2. Dapat dihindarkan keterlambatan yang diakibatkan kerena hal procedural
dan administratif
3.

Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk
penyelesaian masalahnya serta proses dan tampat penyelenggaraan
arbitrase.

Sedangkan

yang

menjadi

kelemahan

alternatif

penyelesaian

sengketa melalui Lembaga arbitrase ini adalah bahwa lembaga arbitrase
tidak memilikii kekuatan

eksekutorial dan kepastian hukum terhadap

kesepakatan yang telah dihasilkan.
2. Berbagai Kelamahan Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa memiliki beberapa kelemahan substansial, yakni
diantaranya adalah:

1. Nama Perundang-Undangan
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memakai nama “Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Namun substansinya lebih banyak
mengatur tentang lembaga arbitrase, sedangkan untuk alternative
penyelesaian sengketa yang lain (konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau
penilaian ahli) tidak diatur secara jelas dalam Undang-undang ini.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Nama Undang-undang ini (Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa) tidak mencerminkan isi dari Undangundang ini. Sehingga kedepannya pembentuk Undang-undang lebih
memperhatikan dalam merumuskan nama yang tepat sesuai dengan
substansi yang diatur dalam pembaharuan Undang-Undang ini dimasa
yang akan datang.
2. Syarat Pengangkatan Arbiter
Persyaratan Arbriter diatur dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999
Tentang

Arbitrase


Dan

Alternatif

Penyelesaian

Sengketa,

yang

menyebutkan bahwa:
(1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi
syarat:
a. Cakap melakukan tindakan hukum;
b. Berumur paling rendah 35 tahun;
c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
d.

Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas
putusan arbitrase; dan

e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling
sedikit 5 Tahun.
(2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk
atau diangkat sebagai arbiter.
Dalam kaitannya dengan syarat-syarat untuk menjadi arbiter
sebagaimana diatur pada Pasal 12 (e) tidak ada ratio logisnya penentuan
15 tahun pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya. Ada tiga
persoalan disini, yakni: pertama ,penentuan 15 tahun dihitung dari mana
dan apakah 15 tahun itu berlangsung secara terus menerus? Kedua, siapa
yang berkompeten dalam menilai adanya pengalaman dan menguasai
secara

aktif

di

bidangnya

tersebut?

Ketiga,

apakah

semata-mata

berdasarkan penilaian atau harus dibuktikan melalui sertifikasi keahlian
yang diterbitkan oleh asosiasi profesi atau lembaga yang kompetensi?
Seharusnya kriteria semacam itu lebih rinci sehingga memberikan
kepastian hukum sebagaimana dapat dilihat ketentuan dalam UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-Undang tersebut
telah mengatur secara rinci mengenai persyaratan menjadi advokat
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang tersebut.
3. Pengaturan Mediasi
Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa
dalam hal suatu sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan,
maka suatu sengketa atau beda pendapat tersebut, atas kesepakatan
tertulis para pihak, dapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih
penasehat

ahli

maupun

melalui

seorang

mediator.

Namun,

ayat

selanjutnya, yakni ayat (4), menyatakan apabila para pihak tersebut
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang
atau lebih penasehat ahli ataupun seorang mediator tidak berhasil
mencapai

kata

mempertemukan
menghubungi

sepakat

atau

kedua

belah

sebuah

lembaga

mediator
pihak,
arbitrase

tersebut

maka
atau

para

tidak
pihak

lembaga

berhasil
dapat

alternative

penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Pertanyaan
kritisnya adalah mengapa dalam dua tahapan penyelesaian sengketa
tersebut bisa sama-sama menggunakan mediator?
4. Hak Ingkar
Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, hak ingkar diatur dalam Pasal

22

sampai dengan Pasal 26. Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar
apabila terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa
arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak
dalam mengambil keputusan. Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter
dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan,
keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
Permasalahan berkaitan dengan hak ingkar pada dasarnya adalah bahwa
Hak ingkar bisa dijadikan sebagai sarana bagi pihak yang beritikad buruk
untuk menunda putusan. Dengan demikian, seyogyanya peluang hak
ingkar ini dipersempit dengan menegaskan bahwa hak ingkar dapat
dilakukan jika memang sudah terbukti bahwa arbiriter berada dalam
posisi yang tidak netral.
5. Arbitrase On-line

Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa belum ada ketentuan yang mengatur
arbitrase on-line. Hal ini menjadi permasalahan karena pada saat ini
perkembangan transaksi perdagangan secara elektronik (e-commerce)
mengalami perkembangan yang pesat. Dalam hal ini kedepannya perlu
diatur mekanisme arbitrase on-line antara lain dengan memanfaatkan
teknologi teleconference atau videoconference.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

MODEL KONSELING TRAIT AND FACTOR

0 2 9

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

2 5 46

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62