PEMBELAJARAN HUMANISTIK BERBASIS KONSTRU (1)

PEMBELAJARAN HUMANISTIK BERBASIS KONSTRUKTIVISME UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KARAKTER

A. PENDAHULUAN
Tujuan pertama pembelajaran matematika (Depdiknas, 2006) adalah agar siswa
memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Sejalan
dengan tujuan di atas, siswa diharapkan dapat memahami suatu konsep matematika setelah proses
pembelajaran sehingga dapat menggunakan kemampuan tersebut dalam menghadapi masalah masalah matematika. Dalam memahami konsep matematika diperlukan kemampuan generalisasi
serta abstraksi yang cukup tinggi. Hal inilah yang mengakibatkan penguasaan siswa terhadap
konsep - konsep matematika masih lemah bahkan dipahami dengan keliru, sehingga pemahaman
terhadap konsep matematika yang baik masih diharapkan dapat dikembangkan melalui
pembelajaran di kelas.
Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan oleh guru untuk mengatasi masalah tentang
pemahaman konsep tersebut adalah pembelajaran konstruktivisme. Pendekatan pembelajaran
kontruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif
berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna (Muslich, 2007).
B.

PEMBELAJARAN HUMANISTIK
Kata humanisme mempunyai dua makna yaitu:


1) Humanisme sebagai suatu teori yang menempatkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya
sendiri dan sebagai nilai tertinggi.

2) Humanisme sebagai Pengertian dasar humanisme yakni manusia sepanjang hidupnya berada di
luar dirinya sendiri: manusia selalu dalam proyeksi dan menghilangkan diri mengatasi dirinya
sehingga ia sendiri dapat mengadakan. Jadi manusia mengatasi diri sendiri dan dapat memegang
objek hanya dalam hubungannya dengan pengatasan dirinya, ia sendiri adalah pusat
transendensinya (disebut humanisme eksistensial).
Menurut para pendidik aliran humanistik penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus
sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa (Dalyono, 1997). Adapun tujuan Pendidikan Humanistik
sebagai berikut.

1) Mengembangkan potensi anak sepenuhnya: fisik, mental, dan spiritual.
2) Membangkitkan kehausan akan ilmu pengetahuan dan senang (cinta) belajar.

3) Membekali anak-anak dengan kemampuan akademik dan kemampuan lainnya yang
diperlukan untuk pendidikan selanjutnya.

4) Memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak yang meliputi moralitas,

integritas, percaya diri, disiplin, dan kerjasama.

5) Mengembangkan kemantapan fisik dan ketahanan mental melalui yoga dan meditasi,
olahraga dan bermain.

6) Mengembangkan rasa estetika dan penghargaan terhadap kebudayaan melalui drama, tari,
musik, dan senirupa.

7) Mendorong anak-anak agar menjadi anggota masyarakat yang aktif dan bertanggung jawab.
8) Meningkatkan kesadaran ekologi dalam makna yang paling luas, yaitu kesadaran akan saling
terkaitnya segala sesuatu, dan mendorong rasa hormat dan peduli terhadap semua makhluk.

9) Meningkatkan pandangan universal, terbebas dari perbedaan agama, warna kulit, jenis
kelamin, dan sebagainya.

10) Mengerti pentingnya peranan guru dalam memberikan contoh.

C.

PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME.

Dalam proses konstruksi itu, menurut Von Glasserfeld (dalam Suparno, 1997) diperlukan
beberapa kemampuan berikut :

1. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
2.

Kemampuan

membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan

dan perbedaan.

3. Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain.
Pemahaman dapat dibangun oleh siswa sendiri secara aktif dan kreatif, hal ini sesuai
dengan pendapat para ahli konstruktivisme, Whatley, Gunstone & Gray (dalam Suparno, 1997)
mengatakan bahwa pengetahuan tidak diterima siswa secara pasif, melainkan dikonstruksi secara
aktif oleh siswa, gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran guru tidak dapat dipindahkan
langsung kepada siswa melainkan siswa sendirilah yang harus aktif membentuk pemikiran atau
gagasan tersebut dalam otaknya.


Menurut Hudoyo (1998:7-8), ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme
adalah sebagai berikut:

a. Menyediakan
dimiliki

pengalaman

siswa

belajar

sedemikian

dengan

rupa

mengkaitkan


sehingga

belajar

pengetahuan

yang

telah

melalui

proses

pembentukan

tidak

semua


mengerjakan

pengetahuan.
b. Menyediakan

berbagai

alternatif

pengalaman

belajar,

tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
c. Mengintegrasikan
dengan

pembelajaran

melibatkan


dengan

pengalaman

situasi

konkrit,

yang

misalnya

realistis
memahami

dan

relevan


suatu

konsep

matematika melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
d. Mengintegrasikan
sosial
atau

yaitu

pembelajaran

terjadinya

lingkungannya,

sehingga

interaksi

misalnya

dan

memungkinkan

kerja

interaksi

sama

dan

terjadinya

seseorang

kerjasama


dengan

antara

transmisi
orang

siswa

lain

dengan

siswa atau siswa dengan guru.
e. Memanfatkan

berbagai

media


termasuk

komunikasi

lisan

dan

tertulis

sehingga

matematika

menjadi

pembelajaran menjadi lebih efektif.
f.

Melibatkan

siswa

secara

emosional

dan

sosial

sehingga

menarik dan siswa mau belajar.
Konsep Dasar dalam Konstruktivisme
1) Scaffolding
Konsep scaffolding oleh Vigotsky, yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada seorang siswa
selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut berangsurangsur hingga siswa dapat memecahkan masalah dengan mandiri (Slavin, 1994). Scaffolding
merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan untuk memecahkan masalah.
Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, pertanyaan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam
langkah-langkah

pemecahan,

memberikan

contoh,

dan

tindakan-tindakan

lain

yang

memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
2). Kooperatif
Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga dikonstruksi
secara sosial, melalui interaksi teman sebaya, guru, orang tua dan lain sebagainya. Menurut
Slavin (1994) pendekatan konstruktivitis dalam proses pembelajaran di kelas yang menerapkan
pembelajaran kooperatif secara ekstensif, siswa dapat saling mendiskusikan masalah-masalah

yang mereka hadapi dengan temannya. Menurut Kemp dkk (1994), dalam pembelajaran perlu
direncanakan kegiatan kelompok kecil. Interaksi masing-masing dalam kelompok kecil ini
berguna untuk mengecek pemahaman siswa tentang konsep dan asas yang telah mereka peroleh
sebelumnya. Dalam diskusi kelompok ini siswa dapat berinteraksi satu dengan lainnya.
Karakteristik pendekatan pembelajaran konstruktivisme sebagai berikut :

1. Mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa sehingga
pengetahuan akan dikonstruksi siswa secara bermakna. Hal ini dapat dilakukan dengan
menyediakan pengalaman belajar yang sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki siswa.

2. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan, sehingga siswa terlibat
secara emosional dan sosial. Dengan demikian diharapkan matematika menjadi menarik baginya
dan mereka termotivasi untuk belajar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyediakan tugas tugas matematika yang berhubungan dalam kehidupan sehari - hari.

3. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
pertanyaan terbuka, menyediakan masalah yang dapat diselesaikan dengan berbagai cara atau
yang tidak hanya mempunyai satu jawaban yang benar.

4. Mendorong terjadinya interaksi dan kerjasama dengan orang lain atau lingkungannya, mendorong
terjadinya diskusi terhadap pengetahuan baru.

5. Mendorong penggunaan berbagai representasi atau media.
6. Mendorong peningkatan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan melalui
refleksi diri. Dalam hal ini penting bagi siswa perlu didorong kemampuannya untuk menjelaskan
mengapa atau bagaimana memecahkan suatu masalah atau menganalisis bagaimana proses
mereka mengkonstruksi pengetahuan,demikian juga mengkomunikasikan baik lisan maupun
tulisan tentang apa yang sudah dan yang belum diketahuinya.
Dengan demikian perangkat pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran matematika
yang akan dikembangkan dalam penelitian ini mengacu dari pendapat Nurhadi (2003), Driver &
Oldam (dalam Suparno, 1997) sebagai berikut :
1. Tahap I. Pengaktifan pengetahuanprasyarat.
Pada tahap ini siswa diingatkan kembali pengetahuan prasyaratnya untuk mempermudah
pemahaman materi berikutnya dengan cara guru memberikan beberapa pertanyaan yang
menggali pengetahuan prasyaratnya.
2. Tahap II. Pemerolehan pengetahuan baru.

Pada tahap ini siswa diberikan permasalahan yang akan didiskusikan secara kelompok untuk
mencoba mencari jawaban dan memberikan kesempatan mereka menemukan gagasan gagasan. Kemudian hasilnya didiskusikan.
3. Tahap III. Pengumpulan ide
Pada tahap ini siswa melakukan diskusi kelas untuk mengumpulkan ide - ide mereka dengan
kelompok lain siswa diminta untuk mengkonstruksi gagasan dari setiap kelompok untuk
disepakati dan benar, guru bertindak sebagai fasilitator dalam mengkonstruksi gagasan baru
tersebut.
4. Tahap IV. Pemantapan Ide
Pada tahap ini maka siswa diminta untuk

menyelesaikan

masalah matematika yang

diberikan ( kuis / tes / soal latihan) yang sudah disiapkan guru untuk memantapkan
pengetahuan siswa yang sudah dibangun,
5. Tahap V. Refleksi
Pada tahap ini siswa diarahkan membuat rangkuman materi yang sudah dipelajari dan guru
mengecek kebenaran konsep tersebut dengan mengajukan pertanyaan -pertanyaan kemudian
guru memberi tugas PR secara individu yang akan dikumpulkan pada pertemuan berikutnya
dan hasilnya dinilai untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap konsep
tersebut.

D. PEMAHAMAN KONSEP
Pemahaman konsep merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran matematika yang
diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yaitu dengan menunjukkan pemahaman
konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan
konsep algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah (Depdiknas,
2003)

E.

PENDIDIKAN KARAKTER
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus
digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas
menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Tujuan pendidikan nasional itu
merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap
satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam
pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Menurut Freud (Soedarsono 2008) bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang
mewujud dalam suatu sistem daya juang yang melandasi pemikiran, sikap, dan prilaku. Karakter
merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri seseorang melalui pendidikan, pengalaman,
percobaan, dan pengaruh lingkungan yang dipadukan dengan nilai dalam diri manusia.
Sedangkan Khan (2010: 34) mengemukakan bahwa karakter merupakan sikap pribadi yang stabil
bagi proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan. Karakter
merupakan nilai-nilai prilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama, budaya,
dan adat istiadat.
Dalam Kemendiknas (2010: 9) dinyatakan bahwa budaya diartikan sebagai keseluruhan
sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat.
Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan
sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu
digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem
kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk
sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga
dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus
berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem
kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam
mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral,
dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah
yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan
untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai,
moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.

Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa.
Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan
karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan
budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam
lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter
bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta
didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan
budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah
mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan
fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi
peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat

dan

bangsa

dalam

mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa
yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter
yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan
budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan
karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa
mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik
mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai
menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan
masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis
bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus
dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta
pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter
bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh
semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari budaya sekolah.

Daftar pustaka
Dalyono, M.1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta,
Hudoyo, H. 1998. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Nizarwati, dkk. 2009. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berorientasi Konstruktivisme Untuk
Mengajarkan Konsep Perbandingan Trigonometri Siswa Kelas X Sma. Jurnal pendidikan matematika

Soedardono, S. 2008. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Peran Penting Karakter dan Hasrat untuk
Berubah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo kelompok Kompas Gramedia.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstructivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Dokumen yang terkait

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

DIVERSIFIKASI PRODUK MAKANAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM) BERBASIS INOVASI DI KOTA BLITAR

4 89 17

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

2 5 46

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62