RELASI HUKUM DAN KEDAULATAN EKONOMI STUD

1

RELASI HUKUM DAN KEDAULATAN EKONOMI
(STUDI NASIONALISASI PERUSAHAAN MODAL ASING YANG DIATUR PADA
UU NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL)
Oleh: Yazwardi
Abstrak: Kehadiran investasi asing di Indonesia sebagai akibat liberalisasi ekonomi,
pada dasarnya adalah pisau bermata dua. Mereka dapat menjadi pendorong tumbuhnya
sektor-sektor ekonomi tertentu tetapi sekaligus dapat meminggirkan pengusaha lokal.
Pengalaman banyak negara menunjukan, terpinggirnya pengusaha lokal bukan
disebabkan kehadiran investor asing. Kebijakan pemerintah yang serikali kali
menghambat atau paling tidak mempersempit peluang wirausaha lokal untuk
mendapatkan akses ke pasar. Akibatnya kecurigaan terhadap investor asing menjadi
meningkat. Investor asing dengan kekuatan modal dan keahliannya dapat lebih mudah
mengatasi distorsi yang diciptakan pemerintah sehingga terlihat sebagai monster yang
memangsa pengusaha lokal. Apabila pemerintah dapat mempermudah akses ke dunia
usaha maka diharapkan kehadiran asing dapat dimaksimalkan manfaatnya.
Kemungkinan dapat dilakukannya nasionalisasi Perusahaan Modal Asing di Indonesia
yang diatur di dalam Undang-Undang boleh jadi sebagai jalan keluar dari persoalan
liberalisasi; kedaulatan ekonomi yang hakikatnya untuk kesejahteraan sosial dapat
dibangun dan investor asing juga tidak merasa dirugikan. Walaupun terbawa arus

liberalisasi, sesungguhnya di sinilah kedaulatan ekonomi Indonesia dimulai.
Kata kunci: perusahaan modal asing, nasionalisasi, kesejahteraan sosial, kedaulatan
ekonomi
A. Pendahuluan
Setiap hukum dan peraturan perundangan yang ditetapkan haruslah memenuhi
kriteria dan karakter yang ditawarkan ilmu hukum. Dari berbagai teori, hukum dan
peraturan yang ditetapkan haruslah memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan universal
hukum, yaitu: ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan
dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dalam perkembangannya pada masyarakat, fungsi
hukum berkembang menjadi alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat, sebagai
sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin, dan sebagai sarana penggerak
pembangunan, dan sebagai fungsi kritis.1

1

Prof. Mr. Dr. L.J. Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de studie van het Nederlanse Recht,
Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan Hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai
dan adil. Untuk mencapai kedamaian Hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan
perimbangan antara kepentingan yang saling bertentangan satu sama lain dan setiap orang harus
memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya.


2

Di Indonesia, tujuan ditetapkannya setiap produk hukum dan perundangan
haruslah sejalan dengan tujuan dan nilai-nilai falsafah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945. Misalnya, Pada Bab XIV Perekonomian
Nasional dan Kesejahteraan Sosial pasal 33 UUD NRI 1945 disebutkan bahwa: (1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan,

efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan,

berwawasan


lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.2
Pemanfaatan sumber daya yang terbatas menyebabkan perlunya suatu perangkat
hukum yang dapat mengatur agar semua pihak yang berkepentingan mendapat perlakuan
yang adil dan agar tidak terjadi perselisihan di antara pelaku ekonomi. Fungsi hukum
salah satunya adalah mengatur kehidupan manusia bermasyarakat di dalam berbagai
aspek. Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia
tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, oleh karena itu manusia melakukan interaksi
dengan manusia lainnya. Interaksi ini sering kali tidak berjalan dengan baik karena
adanya benturan kepentingan di antara manusia yang berinteraksi. Agar tidak terjadi
perselisihan maka harus ada kesepakatan bersama diantara mereka. Kegiatan ekonomi
sebagai salah satu kegiatan sosial manusia juga perlu diatur dengan hukum agar sumber
daya ekonomi, pemanfaatan dan kegiatannya dapat berjalan dengan baik dengan
mempertimbangkan sisi keadilan bagi para pelaku ekonomi. Hukum atau peraturan
perekonomian yang berlaku disetiap kelompok sosial atau suatu bangsa berbeda-beda
tergantung kesepakatan yang berlaku pada kelompok sosial atau bangsa tersebut.

2


UUD NRI pasca amandemen, lihat:
http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perubahan., diakses 25 April
2012

3

Kegiatan ekonomi manusia sebagai salah satu kegiatan sosial manusia juga perlu
diatur dengan hukum agar sumber daya ekonomi, pemanfaatan dan kegiatannya dapat
berjalan dengan baik dengan mempertimbangkan sisi keadilan bagi para pelaku ekonomi.
Hukum atau peraturan perekonomian yang berlaku di setiap kelompok sosial atau suatu
bangsa berbeda-beda tergantung kesepakatan yang berlaku pada kelompok sosial atau
bangsa tersebut. Sehingga aspek hukum harus dibuat berdasarkan tingkat kepentingan
yang muncul pada suatu masyarakat di suatu wilayah, untuk itulah perlu dibuat aspek
hukum yang sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dalam kerangka pemerataan
kesejahteraan nasional.
Tujuan suatu bangsa salah satunya adalah mensejahterakan rakyatnya. Seperti
tujuan Negara Indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam

tujuan negara tersebut disebutkan memajukan kesejahteraan umum. Jadi perekonomian
nasional ini ditujukan bagi kemajuan dan kesejahteraan umum.
Jika tidak demikian, maka akan melahirkan ketidakadilan yang sangat rentan
terjadinya perlawanan dan kekacauan. Ketidakadilan ekonomi merupakan problem
umiversal yang dihadapi oleh semua sistem kontemporer. Dalam hampir semua bagian
dunia, dan dalam seluruh wilayah sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan pada
ketamakan telah mengalami kebuntuan dalam melahirkan keadilan. Sistem-sistem
semacam itu biasanya berakar pada ekstrem-ekstrem ideologis yang kurang berhasil
mengantarkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi seluruh partisipan. Pada skala
global, banyak orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan Sosialisme ekstrem, serta
Neoliberalisme yang telah berjasa melahirkan kemiskinan dan pemiskinan struktural
dalam jumlah masif.
Kapitalisme dalam bentuk klasiknya laissez faire telah runtuh, yang masih
bertahan adalah Kapitalisme yang telah dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa
dalam sistemnya terdapat suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata dan fair
dalam perekonomian. Dengan tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan keinginan

4

secara serampangan, pendapatan


tidak didistribusikan secara merata, sebab

ketidakmerataan dalam pewarisan kekayaan berkaitan dengan akses yang tidak adil
terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan bakat, stamina fisik, latar belakang
keluarga, dan ambisi pribadi. Ketidakmerataan memungkinkan kelompok berpendapatan
tinggi memperoleh bagian pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kuantitas
mereka. Dengan cara ini konfigurasi barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh
sistem pasar

tidak selaras dengan keinginan mayoritas konsumen. Kesenjangan

pendapatan yang besar diterima sebagai wajar dan tak terhindarkan. Ini merupakan
ketidakadilan yang nyata, namun dirasionalisasi dengan argumen bahwa seseorang yang
memikirkan diri sendiri yang telah melahirkan situasi ini merupakan "kekuatan sosial
yang perlu dan bermanfaat".3
Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme sebagai antitesis dari Kapitalisme juga
tak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan mengalami kemunduran lebih cepat dari yang
diprediksikan. Ini disebabkan kelemahan-kelemahan utama yang inheren di dalamnya.
Pertama, ideologi ini mengimplikasikan ketidakpercayaan pada kemampuan manusia

untuk mengelola kepemilikan pribadi

dalam batasan-batasan kesejahteraan sosial.

Kedua, mesin kekuasaan negara dijalankan oleh sekelompok orang yang kepentingannya
selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang terjadi sebaliknya,
sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan dan
pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi umum yang besar
hanya menguntungkan si kaya dan orang-orang istimewa dibanding si miskin yang daya
belinya terbatas.4
Tujuan utama Sosialisme adalah menegakkan keadilan, namun pada praktiknya
Sosialisme hanya mengurangi sedikit ketidakmerataan atau menimbulkan ketidakadilan
yang lain. Kaum buruh yang tidak mempunyai hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak
milik, mereka bekerja pada majikan yang lebih bekuasa. Mereka juga tidak mempunyai
hak untuk memilih, semua tergantung pada pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh
akan berujung pada penjara atau kematian. Dengan demikian, negara Sosialis jauh lebih
mematikan daripada Kapitalisme. Alienasi para pekerja dari sarana-sarana produksi
3

George Soule, Ideas of the Great Economists (New York: Mentor, 1952), hlm. 53; George

Dalton, Economic System and Society (Kingsport, Tenn: Kingsport Press, 1974), p. 77.
4
Norman Furniss dan Timothy Tilton, The Case of Welfare State: From Social Security to Social
Equality (Bloomington, Indiana: International Union Press, 1977), p. 42.

5

masih tetap, karena pusat kendali dipisahkan dari pekerja. Praktik semacam ini
bertentangan dengan ajaran Marx sendiri tentang bagaimana alienasi terjadi: yakni ketika
pekerjaan terpisah dari pekerjanya dalam arti pekerjaan bukan milik si pekerja sehingga
dalam pekerjaannya ia tidak mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya
sendiri; dan

pekerja terasing dari pekerjaannya muncul ketika pekerjaan itu bukan

miliknya namun milik orang lain.5 Dengan cara demikian, kemungkinan eksploitasi
sebagaimana terdapat dalam Kapitalisme, yang menjadi sasaran kritik oleh Sosialisme itu
sendiri, masih hidup.
Sistem keadilan Negara Sejahtera6 merupakan langkah maju dari Kapitalisme.
Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses Kapitalisme yang berlebihan dan dengan cara

ini dapat mengurangi daya tarik Sosialisme. Sistem ini cukup menarik semua lapisan
masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya, Negara Sejahtera
meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat penting yang tidak
mungkin tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan dan
ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena itu,
sistem ini mengakui full employment (sebagaimana juga dipercaya Kapitalisme) dan
distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan
negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara –
regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang
tinggi dan full employment— subsidi umum telah melahirkan kepincangan yang tidak
adil antara si kaya dan si miskin.
Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan semakin berkurangnya
tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi
besar untuk kembali ke sistem liberalisme. Melalui corporate globalization mereka
merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme, bahkan
dalam skala global. Inilah yang disebut sebagai paham Neoliberalisme. Sejak 1970-an
Keynesianisme yang menjadi fondasi Welfare State telah masuk dalam catatan kaki
5
Lihat pembahasan tentang alienasi ini dalam Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts
of 1884 (Moscow: Foreign Language Publishing House, 1961), p. 67-83.

6
Negara Sejahtera memperoleh dua momentum: setelah Depresi Besar dan Perang Dunia II
sebagai respon terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh Sosialisme dan kesulitan-kesulitan akibat Depresi
dan Perang Dunia II tersebut. Untuk melihat sejarah Negara Sejahtera silahkan merujuk pada Maurice
Bruce, The Coming of the Welfare State (London: Batsford, 1968).

6

sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom Neoliberalisme Friederich
August von Hayek7 dan Milton Friedman.8 Mulai dekade 1980-an, aliran kanan baru yang
diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan memperjuangkan pasar bebas dan
menolak dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya
pada 1990-an, Kapitalisme Neoliberal pasar bebas dari dua tokoh tersebut telah menjadi
ideologi dunia yang dominan.
Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme menggarisbawahi bahwa: pasar harus
bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan pengeluaran upah dan
melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan
anggaran negara dengan memangkas semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti
pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial, dan pada saat yang sama subsidi besar-besaran
diberikan kepada perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax holidays; memercayai

deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus
dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital
di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar
mereka; dan mempetieskan paham tentang public goods dan solidaritas sosial dan
menggantinya dengan tanggung jawab individual.9
Gambaran di muka menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan yang bermain di bawah
sistem Kapitalisme, Sosialisme,

Negara Sejahtera,

dan Neoliberalisme masih

menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi – baik
dalam soal produksi, konsumsi, dan distribusi – dan ini perlu diatasi secara langsung
dan menangani sumber masalahnya bukan hanya dari gejala lahiriah. Perlu ada reformasi
struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai keadilan yang membimbingnya.
Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 menyebutkan bahwa negara menguasai cabang-cabang
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan juga bumi, air dan
7

Pengaruh besar Hayek terutama pada pendasaran filosofis ekonomi pasar bebas, ia juga
menentang keras kolektivisme dan fascisme yang melanda sebagian Eropa saat itu. Lihat B. Herry
Priyono,”Dalam Pusaran Neoliberalisme”, dalam I. Wibowo dan Francis Wahono, ed. Neoliberalisme
(Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), p 52-53.
8
Ia dikenal sebagai penentang gagasan John M. Keynes tentang campur tangan negara atau
pemerintah dalam kehidupan ekonomi, yang biasanya dilakukan lewat stabilisasi untuk mengontrol inflasi
dan pengangguran, dengan kebijakan investasi untuk mengangkat belanja masyarakat.
9
kebangkitan liberalisme ekonomi ini pada intinya memperjuangkan leissez faire, yakni paham
yang mempertahankan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual, dan lebih percaya kepada pasar
daripada metode regulasi negara untuk menyelesaikan masalah sosial. Lihat Mansour Fakih, Bebas dari
Neoliberalisme (Yogyakarta: Insist Press, 2003), p.. 54-58.

7

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah salah satu dari
pelaksanaan pasal tersebut di mana terdapat PT. Pertamina, PT. Aneka Tambang, PT
Pertani, PT Pupuk Kaltim, PT Pertani dan lain-lain. Dalam era privatisasi yang pada
mulanya dilakukan untuk efisiensi dan terbukanya modal asing yang masuk ke Indonesia
perlu diwaspadai agar jangan sampai cabang- cabang produksi yang penting dan
kekayaan alam yang ada di Indonesia menjadi milik asing dan hanya memperoleh sedikit
keuntungan atau royalti dan jangan sampai Indonesia hanya sebagai penonton di negeri
sendiri. Peranan hukum disini adalah untuk melindungi kepentingan negara perlu dibuat
agar dapat terwujud bangsa yang sejahtera dan menjadi tuan di negeri sendiri.
Hukum Ekonomi Indonesia juga harus mampu memegang amanat UUD NRI
1945 (amandemen) pasal 27 ayat (2) yang berisi : “Tiap-tiap warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Negara juga memiliki
kewajiban untuk mensejahteraan rakyatnya, sehingga perekonomian harus dapat
mensejahterakan seluruh rakyat, sementara fakir miskin dan anak yang terlantar juga
perlu dipelihara oleh Negara. Negara perlu membuat iklim yang kondusif bagi usaha dan
bagi masyarakat yang tidak mampu dapat diberdayakan. Sementara yang memang tidak
dapat berdaya seperti orang sakit, cacat perlu diberi jaminan sosial (Pasal 34 UUD NRI
1945). Tugas negara ini dalam kondisi sekarang tidaklah mudah dimana kemampuan
keuangan pemerintah sendiri juga terbatas. Konsep perekonomian yang baik perlu
dilaksanakan.
Indonesia merupakan bagian dari masyarakat global sehingga Indonesia pun tidak
terlepas dari hukum internasional termasuk yang menyangkut ekonomi. Tetapi walaupun
demikian, kita juga harus bersikap kritis dan memperjuangkan hak bagi kesejahteraan
Negara kita, karena tidak semua kebijakan ekonomi tersebut dapat diterapkan dan
kalaupun diterapkan harus ada penyesuaian dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
B. Perspektif Nasionalisasi Perusahaan Modal Asing
Tindakan nasionalisasi atas perusahaan asing di satu pihak dengan kegiatan
investasi pada lain pihak, merupakan dua variabel yang saling bertentangan. Pada
variabel kegiatan investasi para investor memerlukan adanya suatu kepastian hukum

8

demi ketenangan untuk berusaha, dan di lain pihak negara penerima modal dengan dalih
adanya kesenjangan ekonomi,dan alasan politis lainnya dapat melakukan tindakan
nasionalisasi terhadap perusahaan asing di negaranya. Hal ini menjadikan problematika
di seputar kegiatan investasi di suatu negara berkembang termasuk Indoneisa, mengapa
perlu diadakan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing, dan apakah perbuatan
itu tidak menghambat arus investasi ke negara penerima modal asing. Nasionalisasi
perusahaan asing di Indonesia pertama kali dimulai pada saat perjuangan mengembalikan
Irian Barat pada tahun 1958. Nasionalisasi kedua pada tahun 1962, pada waktu Indonesia
berkonfrontasi dengan Malaysia.
Istilah nasionalisasi paling tidak mencakup tiga pengertian “Konfiskasi”;
“Onteigening” dan “Pencabutan Hak”. L. Erades memberikan arti nasionalisasi, yakni
suatu peraturan dengan mana pihak penguasa memaksakan semua atau segolongan
tertentu untuk menerima (dwingt te godegen), bahwa hak-hak mereka atas semua atau
beberapa macam benda tertentu beralih kepada negara10. Dengan demikian nasionalisasi
adalah suatu cara peralihan hak dari pihak partekelir kepada negara secara paksa. Dalam
rangka tinjauan tersebut maka nasionalisasi dipandang sebagai “Species” dari “Genus”
pencabutan hak (Onteigening). Berkaitan dengan ketentuan di atas berarti setiap ada
“onteigening” pada prinsipnya harus diikuti dengan “ganti rugi”. Sementara itu jika tidak
disertai dengan ganti rugi maka dia dapat disebut dengan "konfiskasi”. Konfiskasi ini
mirip dengan pencabutan hak (semacam onteigening), tetapi dengan corak khusus tanpa
ganti rugi. Istilah Konfiskasi ini pertama kali digunakan oleh mantan Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat Cordel Hull pada tahun 1940.
Selanjutnya confiscatie biasanya dilakukan dalam permusuhan perang tanpa
mempertimbangkan unsur penggantian kerugian. Di Indonesia pada masa kabinet Karya
Republik Indonesia ketentuan tentang nasionalisasi diatur dalam UU No. 86 tahun 1958.
Dalam istilah nasionalisasi termasuk didalamnya “expropriation” atau “Confiscatie”
11

Dengan istilah nasionaliasi ini diartikan bahwa suatu perusahaan menjadi milik negara.

Perusahaan bersangkutan menjadi “a nation affair”. Dalam hal nasionalisasi yang
menjadikan objeknya perusahaan-perusahaan. Kollewijn mengemukakan pendapatnya
10

Siong, Gouw Giok, 1960. Segi-Segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Universoitas., p. 6 .
11
Ibid, p. 8

9

bahwa , “There is said to be nationalisation principally if an expropriation forms part a
more or less extensive reform of the social or economie structure of a country”.
Sedangkan Gouw Giok Siong dengan mengutip pendapat Wortley menegaskan bahwa
“nationalitation is not a term of art”, tetapi digunakan untuk menunjuk pada
expropriation in the pursuance of some national enterprises, or to strengthen, a
nationally controlled industry. Nationalization differ in its scope and extent rather than
in its judicial nature from other types of expropriation.12
Dalam pelaksanaan nasionalisasi oleh suatu negara terhadap hak milik atau
benda-benda yang berkaitan dengan suatu perusahaan asing di negara yang hendak
melakukan tindakan hukum nasionalisasi harus memperhatikan prinsip “teritorialiteit”.
Artinya Objek yang akan dinasionaliasasi berada di dalam batas-batas teritorial negara
yang melakukan nasionalisasi. Prinsip tertitorialiteit pada dasarnya telah dilakukan oleh
Indonesia ketika menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Hal ini
dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 86 Tahun 1958, bahwa perusahaanperusahaan milik Belanda yang berada di Republik Indonesia yang akan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang
penuh dan bebas Negara Republik Indonesia. (Pasal 1 UU No 86 Tahun 1958).
Sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No.86 tahun 1958, pada tahun 1959
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1959 tentang pokok-pokok pelaksanaan
UU No.86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1959 ini, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan
milik Belanda yang dapat dikenakan nasionalisasi adalah: Pertama, Perusahaan yang
seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan warga negara Belanda dan
bertempat kedudukan dalam wilayah republik Indonesia; Kedua, Perusahaan milik
sesuatu badan hukum yang seluruhnya atau sebagian modal Perseroannya atau modal
pendiriannya berasal dari perseorangan warga negara Belanda dan badan hukum itu
bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia; Ketiga, Perusahaan yang
letaknya dalam wilayah RI dan merupakan milik sesuatu badan hukum yang bertempat
kedudukan dalam wilayah negara kerajaan Belanda. Sementara itu perusahaanperusahaan yang dikenakan nasionalisasi, termasuk seluruh harta kekayaan dan harta
12

Ibid

10

cadangan, hak-hak dan tagihan-tagihan. Namun tidak dijelaskan apakah hak-hak ini harus
terletak di dalam wilayah Republik Indonesia (Pasal 2 PP No. 2 tahun 1959). Berkaitan
dengan tindakan nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia sebagaimana disebutkan di
atas, dalam hal ini yang menjadi pokok permasalahan adalah apa yang dapat dijadikan
alasan pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di
Indonesia.
Tulisan ini mencoba menjelaskan substansi UU Nomor 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal dari perspektif tujuan hukum dan kedaulatan ekonomi. Fokus
kajiannya mengambil pasal 7 ayat 1 dan seterusnya tentang adanya peluang nasionalisasi
perusahaan modal asing. Pendekatan kajiannya menggunakan salah satu teori dalam
metode penenelitian yaitu metode

hermeunatika hukum.13 Permasalahannya adalah

13

Filsafat Hermeneutika, merupakan salah satu aliran dalam Post-modern, yang menghidupkan kembali
(awal baru) terhadap klaim berakhirnya filsafat. Melalui bahasa secara implisit-eksplisit, interlinguisticekstralinguistic yang menunjuk pada kondisi dasar antropologi manusia yang bersifat tensive terhadap
filsafat, rasionalitas dan kebenaran melaui metaforis, retorika dan imajinasi. Pada awalnya hermeneutika

hukum berkembang dibawah pengaruh inspirasi ilmu hukum, hal ini terlihat melalui kodifikasi
corpus iuris civilis pada abad keenam. Pada abad ke-12, di Italia juga muncul kebutuhan pada
suatu metode yang membuat teks yuridikal yang berlaku dari suatu periode historikal terdahulu
lewat interpretasi dapat diterapkan untuk suatu tipe masyarakat yang sama sekali berbeda.
Penerapan hukum terhadap masyarakat yang berbeda tersebut dikenal sebagai pertumbuhan
prinsip territorial yaitu bagaimana kekuatan hukum menjalin kerjasama antara dua orang yang
tinggal ditempat yang berbeda yang merupakan kajian hukum perdata internasional. Dalam
pembentukan hukum tersebut diperlukan interpretasi hukum, misalnya lahirnya doktrin tentang
penunjukan kembali (renvoi).Hermeneutika hukum merupakan salah satu kegiatan interpretasi
terhadap teks-teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen hukum, naskah-naskah
hukum dan doktrin yang diungkapkan oleh para ahli. Selain interpretasi yang selalu digunakan
dalam hukum pidana dan perdata seperti interpretasi gramatikal, interpretasi historis, interpretasi
sistematis, interpretasi teologis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristis, interpretasi
restriktif, dan interpretasi ekstensif, maka hermeneutika hukum juga dapat digunakan dalam
penemuan hukum. Hermeneutika atau metode memahami atau metode interpretasi dilakukan terhadap
teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstual. Ilmu hukum
merupakan sebuah eksemplar hermeneutic in optima forma yang diaplikasikan pada aspek kehidupan
bermasyarakat. Sebab dalam menerapkan ilmu hukum ketika menghadapi kasus hukum maka kegiatan
interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, tetapi juga kenyataan yang menyebabkan
munculnya masalah hukum itu sendiri. Titik tolak hermeneutika adalah kehidupan manusiawi dan produk
budayanya, termasuk teks-teks hukum yang dihasilkan olehnya. Gregory leyh mengatakan bahwa
hermeneutika hukum adalah merekonstrksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian
membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan ahli teologi bertemu
dengan para humaniora. Tujuan hermeneutika hukum ialah untuk menempatkan perdebatan kontemporer
tentang penafsiran atau interpretasi hukum di dalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Lihat Gegory

11

apakah secara empirik (ius operatum) apakah kondisi dan persyaratan hukum di
Indonesia yang berkaitan dengan nasionalisasi perusahaan modal asing; dan secara
konseptual (ius constituendum) gagasan pengaturan hukum tersebut apakah dapat
dilakukan sekarang.
C. UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum. Amanat tersebut antara lain, telah dijabarkan dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan amanat
konstitusi yang melandasi pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang
perekonomian. Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus
berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan
ekonomi Indonesia. Keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi
kerakyatan dimantapkan lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka
Demokrasi Ekonomi sebagai sumber hukum materiil.
Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari
penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk
meningkatkan

pertumbuhan

ekonomi

nasional,

menciptakan

lapangan

kerja,

meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan
kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya
saing. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor
Leyh. 2011, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Teori dan Praktek, Bandung, Penerbit Nusa Media.
p. 28

12

penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui
perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi
yang efesien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya
saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan
berusaha. pada dasarnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 memberikan
kemudahan-kemudahan yang condong berlebihan kepada investor yang menanamkan
modalnya di Indonesia.
Secara gamblang memang terkesan adanya upaya untuk menarik minat investor
dalam menanamkan modalnya di Indonesia, dengan segala cara, namun tanpa disadari
kondisi tersebut akan menjadikan bangsa Indonesia bagaikan dalam penjajahan yang
kedua. Disadari atau tidak, dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada penanam
modal asing sebagaimana telah diuraikan, akan menjadikan bangsa Indonesia semakin
kalah bersaing di negerinya sendiri. Bangsa Indonesia akan menjadi pembantu di
rumahnya sendiri.
Hal tersebut sangat mungkin terjadi, logikanya dengan pembatasan-pembatasan
yang ada pada Undang-Undang PMA lama saja bangsa Indonesia sudah sangat ketat
dalam bersaing apalagi dengan diberikannya fasilitas-fasilitas “empuk”. Banyak dijumpai
kasus-kasus yang menunjukkan sangat dominannya pengaruh asing dalam bisnis di
Indonesia, hal ini semakin dirasakan ketika Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
diberlakukan.
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor

6

Tahun

1968

tentang

Penanaman

Modal

Dalam

Negeri.

Dalam perkembangannya, kesemua peraturan perundang-undangan tersebut di atas telah

13

digantikan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
didasarkan pada semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif
sehingga Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 mengatur hal-hal yang dinilai penting,
antara lain yang terkait dengan cakupan undang-undang, kebijakan dasar penanaman
modal, bentuk badan usaha, perlakuan terhadap penanaman modal, bidang usaha, serta
keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan yang diwujudkan
dalam pengaturan mengenai pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal, serta
fasilitas penanaman modal, pengesahan dan perizinan, koordinasi dan pelaksanaan
kebijakan penanaman modal yang di dalamnya mengatur mengenai kelembagaan,
penyelenggaraan urusan penanaman modal, dan ketentuan yang mengatur tentang
penyelesaian sengketa.
Sebenarnya, strategi untuk menarik investasi masuk ke Indonesia tidak perlu
mengobral semurah-murahnya kekayaan alam. Apabila mencermati yang terjadi dalam
praktek, kurangnya minat investastor asing untuk menanamkan modal Indonesia lebih
condong disebabkan karena faktor-faktor birokrasi yang njelimet, belum lagi adanya
aparat pemerintah yang mata duitan, misalnya birokrasi perizinan baik ijin lokasi, IMB,
amdal, ijin lingkungan, domisili, dan lain sebagainya, banyak dijumpai adanya birokrasi
yang berbelit-belit dan aparat yang seakan-akan minta jatah.
Undang-undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang lahir pada 26
April 2007 berusaha mengakomodir perkembangan zaman di mana peraturan
sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo. Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968
jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Dalam UU yang terbaru,
penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam
modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan kegiatan usaha di

14

Indonesia. Aturan dalam UU tersebut berlaku bagi penanaman modal di semua sektor
wilayah Indonesia, dengan ketentuan hanya terbatas pada penanaman modal langsung,
dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portfolio sebagaimana tertuang
dalam Pasal 2 UU 25 Tahun 2007 beserta penjelasannya.[3] Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka perlu membentuk Undang-undang tentang Penanaman Modal.
Demikianlah dampak-dampak dari adanya kemudahan-kemudahan dan fasilitas-fasilitas
yang diberikan kepada penanam modal asing sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007.
Dibandingkan dengan beberapa UU sebelumnya tentang investasi, terdapat halhal baru yang ada pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Pengertian penanaman modal asing pada Undang-Undang PMA lama, modal
asing didefinisikan sebagai direct investment (Pasal 1). Dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007, modal asing tidak hanya diartikan direct investment tetapi
juga meliputi pembelian saham (portofolio) Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 5 ayat (3).
Dengan demikian, pintu masuk PMA lebih diperluas dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007.
2. Pihak investor dalam Undang-Undang PMA lama, hanya pihak asing berbentuk
badan hukum yang dapat melakukan penanaman modal asing (Pasal 3 ayat (1)).
Lain halnya dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, yang membuka
kesempatan bagi Negara, perseorangan, badan usaha, badan hukum yang
semuanya berasal dari luar negeri dapat menanamkan modalnya di Indonesia
(Pasal 1 butir 6).
3. Perlakuan terhadap investor dalam Undang-Undang PMA lama tidak ada
statement perlakuan yang sama. Perlakuan yang sama diberikan dan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dalam Bab V. PMA diperlakukan sama
dengan PMDN. Di samping itu, PMA dari negara mana pun, pada prinsipnya
diperlakukan sama, kecuali dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa
berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.

15

4. Pelayanan satu pintu Pasal 12 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 memberikan kemudahan pelayanan satu pintu kepada PMA, yang dalam
Undang-Undang PMA lama tidak diatur. Terdapat kepastian hukum dalam
kemudahan pelayanan melalui satu pintu.
5. Perizinan

dan

kemudahan

masuknya

tenaga

kerja

asing

Undang-Undang PMA lama mengatur tenaga kerja dalam Bab IV. Tenaga kerja
asing tidak mudah untuk didatangkan karena tenaga kerja asing boleh didatangkan
bagi jabatan-jabatan yang belum dapat diisi dengan tenaga kerja warga Indonesia.
Tidak demikian halnya dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 karena
tenaga kerja asing lebih mudah masuk ke Indonesia. Memang, tenaga kerja warga
Negara Indonesia harus tetap diutamakan, namun, investor tetap memiliki hak
menggunakan tenaga ahli WNA untuk jabatan dan keahlian tertentu (Pasal 10).
6. Pajak Undang-Undang PMA lama memberikan fasilitas berupa keringan pajak
yaitu tax holiday bagi investor asing. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tidak hanya fasilitas pajak saja namun diberikan fasilitas fiscal,
lebih luas cakupannya mengingat pajak hanyalah salah satu bagian dari fiscal.
Sehingga, pemberian fasilitas kepada investor asing lebih besar karena tidak
hanya pemberian fasilitas pajak namun lebih dari itu yaitu berupa fiscal. Hal ini
lebih menguntungkan investor asing.
7. Negative list, Pasal 6 Undang-Undang PMA lama memberikan batasan terhadap
usaha mana saja yang tidak dapat diberikan kepada investor asing. Sehingga, jenis
usaha yang diatur tersebut mutlak tidak dapat diberikan kepada investor asing
(imperative). Kelonggaran dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 karena tidak dicantumkan jenis usaha yang masuk dalam negative list
(Pasal 11). Negative list tersebut diatur kemudian dalam peraturan perundangundangan. Ini berarti, jenis usaha yang dapat diberikan kepada investor asing
lebih fleksibel dan lebih terbuka.
8. Peranan daerah, Kesempatan bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di
Indonesia juga terbuka lebih lebar. Pasalnya, dalam konsiderans Undang-Undang

16

Nomor 25 Tahun 2007, Pemerintah daerah diberikan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman modal,
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Uraian di atas menggambarkan citra baru penanaman modal asing di Indonesia
melalui pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang diharapkan dapat
meningkatkan investasi di Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 nampak
lebih terbuka baik dari cara penanaman modal asing masuk, subyek investor asing yang
semakin beragam maupun bidang usaha yang dapat diusahakan penanaman modal asing,
serta peranan daerah dalam mengundang penanaman modal asing secara langsung. Di
samping itu, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga meningkatkan kepastian
hukum terutama dalam pelayanan dan pemberian perijinan.
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 memang akan banyak
mengundang investor, namun dalam jangka panjangnya para investor tersebut akan
menguasai obyek-obyek vital perekonomian Indonesia. Di sini, kekhawatiran akan
runtuhnya kedaulatan ekonomi Indonesia semakin dirasakan, sehingga bangsa Indonesia
boleh jadi akan menjadi “pembantu” di rumahnya atau bahkan menjadi “pengemis” di
negerinya sendiri.
Namun lebih dari itu, dalam UU yang terbaru tersebut sesungguhnya juga terdapat
peluang ekonomi yang terbuka, yaitu nasionalisasi Perusahaan Modal Asing. Upaya
nasionalisasi sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi nasional merupakan “pintu
masuk” untuk meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan ekonomi.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut terdapat pasal 7 dan seterusnya.
D. Perspektif Ius Constituendum dan Ius Operatum Nasionalisasi Perusahaan Modal
Asing
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, adalah UU
hasil revisi dari dua UU Penanaman Modal yang sudah lama berlaku di Indonesia, hampir
40 tahun umurnya, yaitu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan

17

Tambahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan UU No.
12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri.
Kelahiran UU ini sudah lama dinanti-nanti oleh seluruh pihak yang
berkepentingan dengan penanaman modal di Indonesia. Terlebih setelah diberlakukannya
UU Otonomi Daerah (UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, yang juga direvisi dengan UU No.
32 dan 34 Tahun 2004). UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pada
dasarnya membuka ruang yang cukup bagi dunia usaha. Tuhan menciptakan alam
semesta ini untuk dikelola dan diusahakan demi kemaslahatan umat manusia, sehingga
banyak sekali atau pada umumnya bidang usaha terbuka bagi penanam modal.
Pembentukan Undang-Undang tentang Penanaman Modal didasarkan pada
semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif sehingga UndangUndang tentang Penanaman Modal mengatur hal-hal yang dinilai penting, antara lain
yang terkait dengan cakupan undang-undang, kebijakan dasar penanaman modal, bentuk
badan usaha, perlakuan terhadap penanaman modal, bidang usaha, serta keterkaitan
pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan yang diwujudkan dalam
pengaturan mengenai pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal, serta
fasilitas penanaman modal, pengesahan dan perizinan, koordinasi dan pelaksanaan
kebijakan penanaman modal yang di dalamnya mengatur mengenai kelembagaan,
penyelenggaraan urusan penanaman modal, dan ketentuan yang mengatur tentang
penyelesaian sengketa.
Undang-Undang ini mencakupi semua kegiatan penanaman modal langsung di
semua sektor. Undang-Undang ini juga memberikan jaminan perlakuan yang sama dalam
rangka penanaman modal. Selain itu, Undang-Undang ini memerintahkan agar
Pemerintah meningkatkan koordinasi antarinstansi Pemerintah, antarinstansi Pemerintah
dengan Bank Indonesia, dan antarinstansi Pemerintah dengan pemerintah daerah.
Koordinasi dengan pemerintah daerah harus sejalan dengan semangat otonomi daerah.
Pemerintah daerah bersama-sama dengan instansi atau lembaga, baik swasta maupun

18

Pemerintah, harus lebih diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi
daerah maupun dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal.
Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan asas otonomi
daerah dan tugas pembantuan atau dekonsentrasi. Oleh karena itu, peningkatan
koordinasi kelembagaan tersebut harus dapat diukur dari kecepatan pemberian perizinan
dan fasilitas penanaman modal dengan biaya yang berdaya saing. Agar memenuhi prinsip
demokrasi ekonomi, Undang-Undang ini juga memerintahkan penyusunan peraturan
perundang-undangan mengenai bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan
persyaratan, termasuk bidang usaha yang harus dimitrakan atau dicadangkan bagi usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
Undang-Undang Penanaman Modal itu memang sengaja membuka dan memberi
kesempatan berusaha dengan kepastian hukum yang lebih kuat. Justru di sinilah letak
filosofi dasar dari undang-undang ini yang diharapkan bersifat instrumental bagi
penanaman modal, bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dunia usaha.
Tentu harapannya kemudian adalah tambahan investasi yang lebih besar agar
perekonomian bertambah baik. Pada gilirannya, pertambahan investasi dan dinamika
ekonomi tersebut dapat menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan, karena
anggaran pemerintah tidak cukup untuk mengatasi dua hal tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana kebijakan di pada UU penanaman
modal ini dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Finding out what governments do (mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah)
Melalui UU Penanaman Modal ini pemerintah dalam melakukan percepatan
pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi
Indonesia memerlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi
ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang
berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
2. Why

they

do

it

(mengapa

pemerintah

melakukan

hal

tersebut)

Untuk meningkatkan aktivitas penanaman modal di Indonesia perlu diciptakan

19

iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum,
keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.
Melalui UU Penanaman Modal inilah iklim penanaman modal yang kondusif
tersebut diharapkan dapat terwujud.
3. What

difference

it

makes

(hasil

perubahan

apa

yang

akan

dicapai)

UU Penanaman Modal sengaja membuka dan memberi kesempatan berusaha
dengan kepastian hukum yang lebih kuat. Justru di sinilah letak filosofi dasar dari
undang-undang ini yang diharapkan bersifat instrumental bagi penanaman modal,
bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dunia usaha. Tentu harapannya
kemudian adalah tambahan investasi yang lebih besar agar perekonomian
bertambah baik. Pada gilirannya, pertambahan investasi dan dinamika ekonomi
tersebut dapat menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan, karena
anggaran pemerintah tidak cukup untuk mengatasi dua hal tersebut.
Sejak disahkan pada tanggal 26 April 2007 oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, UU ini telah menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. Ada yang
curiga UU ini pro kepada pemegang modal besar. Ada pula yang curiga bahwa UU ini
akan merusak tatanan kepemilikan tanah rakyat, karena ada pasal (Pasal 22) yang sangat
krusial mengarah kepada penguasaan tanah untuk berusaha dengan batas waktu yang
sangat lama. Pasal ini pun kemudian direvisi melalui Perppu.
Secara konseptual, UU ini tidak memiliki permasalahan karena memang
kebutuhan akan peraturan tata cara penanaman modal di Indonesia sangat penting
keberadaannya, hanya saja UU ini belum dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP)
sebagai aturan pelaksanaannya. Akibat dari belum banyaknya PP yang dilahirkan dari UU
ini maka banyak pemerintah daerah menangguhkan pembuatan Peraturan Daerah (Perda)
Penanaman Modal yang mengacu kepada UU ini.
Tentang nasionalisasi Perusahaan Modal asing seperti yang dilakukan di beberapa
negara Amerika Latin14 adalah sesuatu yang tidak mustahil dilakukan di Indonesia yang
14

Misalnya Bolivia yang melakukan nasionalisasi listrik. Presiden Bolivia Evo Morales menandai
peringatan Hari Buruh Nasional, Selasa (1/5), dengan menasionalisasi jaringan transmisi listrik utama
negeri itu dari perusahaan milik Spanyol. Morales mengerahkan tentara untuk mengambil alih. Tindakan
presiden beraliran kiri itu meningkatkan ketegangan antara Spanyol, mantan penguasa kolonial di Amerika

20

telah merdeka selama lebih dari 70 tahun. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal disebutkan pada Pasal 7 dan seterusnya sebagai berikut:
(1).Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan
hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.
(2).Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan
hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan
memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.
(3).Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi
atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan
melalui arbitrase.
Pasal 8
(1).Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang
diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
(2).Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara.
(3).Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta
asing, antara lain terhadap, dan seterusnya…
Pasal-pasal di atas memang membuka peluang adanya “nasionalisasi” bagi
Perusahaan Modal Asing yang beroperasi di Indonesia. Walaupun dengan aturan yang
Selatan, dan pemerintah eks negara jajahan mereka yang ingin mengendalikan sumber daya energi masingmasing. Nasionalisasi di Bolivia ini terjadi hanya dua pekan setelah Argentina mengungkapkan rencana
mengambil alih perusahaan minyak nomor satu negara itu, YPF, dari pemegang saham mayoritas Repsol,
yang berbasis di Madrid, Spanyol. Baca:
http://internasional.kompas.com/read/Bolivia.Nasionalisasi.Listrik (diakses 20 April 2012). Argentina juga
telah mengambil langkah berani melakukukan nasionalisasi dalam bidang migas. Rencana Argentina untuk
merebut perusahaan minyak YPF dari tangan raksasa minyak Spanyol, Repsol akan segera terwujud. Ini
menyusul persetujuan parlemen Argentina atas usulan pemerintah untuk membeli saham perusahaan itu
dari Repsol. Parlemen rendah nyaris bulat menyepakati rencana pembelian itu dengan dukungan 207 suara.
Hanya 32 suara menolak usulan kontroversial Presiden Christina Fernandez. Minggu lalu, usulan itu juga
mendapat kemenangan mutlak di tingkat senat. Selanjutnya, rencana nasionalisasi ini tinggal menunggu
pengesahan dari presiden. Dua minggu lalu Presiden Fernandez mengumumkan rencana nasionalisasi
perusahaan minyak YPF. Fernandez menilai, pembelian perusahaan itu berguna untuk kedaulatan energi
Argentina. Pasalnya, Argentina menderita defisit senilai Rp 91 triliun dalam perdagangan energi. Padahal,
40% pasokan raksasa minyak Repsol berasal dari YPF. Kunjungi:
http://www.kbr68h.com/berita/nasional/24009-parlemen-argentina-setujui-nasionalisasi-minyak (diakses
20 April 2012).

21

sangat berhati-hati agar investor asing tidak merasa dirugikan. Nasionalisasi harus diatur
dalam suatu Undang-Undang yang sejatinya harus menyelamatkan dan memperkuat
perekonomian nasional. Adalah ironi dan sesuatu yang mengherankan ketika Indonesia
misalnya sebagai salah satu negara penghasil migas terbesar di dunia, namun tidak
memiliki kedaulatan penuh di dalam mengelolanya.15
Kenyataan ini jika kita hubungkan dengan UUD NRI 1945, sesungguhnya
bertentangan dengan apa yang dijabarkan dalam Pasal 33 dan merupakan amanat
konstitusi yang melandasi pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang
perekonomian. Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus
berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan
ekonomi Indonesia. Keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi
kerakyatan dimantapkan lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka
Demokrasi Ekonomi sebagai sumber hukum materiil.
Peluang nasionalisasi kemudian muncul juga Bab XV tentang Penyelesaian
Sengketa Pasal 32 dan seterusnya:
15

Di Antara (5 April 2012) disebut Pertamina “Mengincar” 8 blok migas di Luar Negeri. Selain
menggembirakan, ini juga memprihatinkan. Kenapa Pertamina harus bersusah payah bersaing dengan
banyak perusahaan minyak dunia termasuk perusahaan lokal negara-negara tersebut guna mendapatkan
blok Migas? Kenapa pemerintah Indonesia tidak menyerahkan 90% blok migas yang dikuasai asing ke
Pertamina? Saat blok migas dikuasai perusahaan AS, Aramco, hingga tahun 1970-an, Arab Saudi masih jadi
negara yang miskin. Hasil minyaknya “sedikit” dan tidak bisa mensejahterakan rakyatnya. Baru setelah
Raja Faisal menasionalisasi perusahaan Aramco di tahun 1974 jadi Saudi Aramco, negara Arab Saudi
mendapat penghasilan berlipat ganda dari minyak. Hasilnya bisa dipakai untuk membangun dan
mensejahterakan rakyatnya (Ensiklopedi MS Encarta, Saudi Arabia). Begitu pula negara-negara seperti
Venezuela dan Bolivia dulu melarat saat blok Migas mereka dikuasai perusahaan-perusahaan AS. Baru
pada saat presiden Hugo Chavez dan Evo Morales melakukan nasionalisasi, maka pendapatan negara
mereka bertambah dan jadi makmur