DAMPAK RISIKO LIKUIDITAS BANK TERHADAP P

WP/11/2015

WORKING PAPER

DAMPAK RISIKO LIKUIDITAS BANK
TERHADAP PENYALURAN KREDIT

Iman Gunadi
Aditya Anta Taruna

Desember, 2015

Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper
ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan
merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

0

DAMPAK RISIKO LIKUIDITAS BANK TERHADAP
PENYALURAN KREDIT1
Iman Gunadi2 dan Aditya Anta Taruna3


Abstrak
Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi berjalan dengan cara
menyalurkan kredit kepada masyarakat sebagai nasabah. Fungsi tersebut
mendukung terjadinya peningkatan usaha pada level debitor sehingga
menggerakkan perekonomian dan mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Pada penelitian ini akan ditinjau hubungan antara
ketersediaan alat likuid yang dimiliki bank dan potensi bank untuk
menyalurkan kredit seiring dengan peningkatan risiko likuiditas akibat
berkurangnya alat likuid bank yang disebabkan oleh penyaluran kredit yang
berlebihan. Tanpa didukung oleh ketersediaan alat likuid yang memadai,
potensi penyaluran kredit bank dapat mengalami kesulitan. Perhitungan
potensi penyaluran kredit bank yang dikaitkan dengan kondisi alat likuid
bank diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap strategi bank dalam
menyalurkan kredit. Potensi kemudian didefinisikan sebagai potensi dalam
mencapai target penyaluran kredit dan potensi penyaluran kredit. Dengan
menggunakan simulasi matematika, penelitian ini membuktikan bahwa
adanya keterkaitan antara alat likuid dan penyaluran kredit. Selain itu,
terdapat bukti bahwa mayoritas kelompok bank menyalurkan kredit selalu
lebih rendah dari potensi yang dimiliki terlepas dari besarnya rasio AL/NCD.

Key word

: likuiditas bank, penyaluran kredit, pertumbuhan ekonomi

JEL Classification : G21, O4

Penelitian ini ditulis untuk memenuhi IKU DKMP “Kajian Dampak Risiko Utama Institusi
Keuangan terhadap Risiko Sistemik yang Terkait dengan Penawaran Kredit”. Analisis dan
opini yang disampaikan dalam paper ini tidak merepresentasikan stance dari Bank
Indonesia. Penulis bertanggung jawab penuh atas terdapatnya kesalahan dalam penulisan
laporan hasil penelitian ini.
2 Peneliti Ekonomi Senior, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
i_gunadi@bi.go.id
3 Peneliti Ekonomi, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
aditya_at@bi.go.id
1

1

I. LATAR BELAKANG


Pengalaman krisis ekonomi yang dialami Indonesia, makin berkembangnya
sistem keuangan, serta makin menguatnya interaksi antara sektor ekonomi dan
keuangan membawa perubahan pandangan pada sistem keuangan dunia. Suatu
kebijakan yang dapat mencegah atau mengurangi potensi terjadinya krisis, baik
yang bersumber dari dalam sistem keuangan maupun dari luar sistem keuangan
sangat diutuhkan. Kebijakan makroprudensial dipercaya oleh otoritas-otoritas
keuangan menjadi salah satu cara untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan
yang terjaga (Galati G. dan Richhild M., 2011 dan IMF, 2011). Sebagai pemegang
mandat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia memiliki hak
untuk menerbitkan kebijakan makroprudensial. Tujuan akhir dari kebijakan
makroprudensial adalah untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik,
mendorong

fungsi

intermediasi

yang


seimbang

bagi

sektor perekonomian,

meningkatkan akses dan efisiensi sistem keuangan dalam rangka menjaga stabilitas
sistem keuangan, serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem
pembayaran.
Risiko sistemik diyakini dapat datang dari tiga sumber, yaitu risiko kredit,
risiko likuiditas, dan risiko pasar (pasar keuangan). Tiap-tiap risiko tidak dapat
dipisahkan dan saling terkait. Sebagai contoh, risiko yang timbul akibat penyaluran
kredit yang berlebihan dapat berdampak pada meningkatnya biaya operasional pada
perbankan yang kemudian akan meningkatkan risiko operasional. Selain risiko
operasional, penyaluran kredit yang berlebihan juga dapat memaksa bank harus
dapat

memperhitungkan

kondisi


alat

likuid yang

dimiliki. Hal

itu

akan

meningkatkan risiko yang dapat timbul akibat dari alat likuid (liquidity mismatch).
Sebagai suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai mediator antara
entitas yang memiliki kelebihan dana pada entitas yang membutuhkan dana, fungsi
penyaluran dana itu kemudian disebut sebagai fungsi penyaluran kredit. Kredit
didefinisikan sebagai salah satu instrumen bank sebagai fungsi intermediasi yang
terpengaruh oleh kondisi likuiditas perbankan. Dalam sudut pandang bank, kredit
merupakan jenis penempatan dana dengan tenor jangka panjang, sedangkan dana
pihak ketiga merupakan jenis pendanaan dengan tenor jangka pendek, berdasarkan
karakteristik tenor kedua jenis produk bank itu, bank akan membutuhkan


2

likuiditas dalam memenuhi kegiatan bisnis tersebut. Ibarat darah dalam tubuh
manusia, peran alat likuid dalam perbankan memegang peranan penting karena
bisnis utama bank adalah mengelola likuiditas dalam mencukupi kebutuhan
depositor dan debitor (Diamond dan Dybvig, 1983).
Dalam kerangka kebijakan makroprudensial (Harun dan Rachmanira, 2013),
risiko kredit dinyatakan sebagai salah satu risiko utama dalam sistem perbankan.
Risiko kredit menjadi salah satu sumber potensial kerugian karena kegagalan
counterparty dalam melakukan pembayaran atau memenuhi kewajiban terkait
dengan aktivitas keuangan. Penelitian ini berusaha melihat penyaluran kredit bank
berdasarkan AL/NCD. AL/NCD yang tidak sesuai dengan penyaluran kredit mampu
membawa ke liquidity mismatch dan apabila terakumulasi mampu membawa potensi
risiko sistemik. Muara risiko sistemik merupakan penurunan pertumbuhan
ekonomi yang digambarkan dengan indikator pertumbuhan (PDB).
Dalam perkembangannya, upaya untuk dapat menangkap kondisi likuiditas
bank telah menghasilkan beberapa indikator, di antaranya ialah rasio alat likuid
terhadap DPK atau total aset atau NCD. Indikator yang dikembangkan dalam
berbagai sudut pandang dan aspek termasuk adalah structural mismatch dan

kapasitas bank dalam menahan tekanan pada likuiditas. Salah satu upaya dalam
memonitor kondisi alat likuid secara menyeluruh, Muljawan et al. (2014) mendesain
seluruh kemungkinan rasio yang dapat diamati terkait dengan likuiditas. Rasio
dibentuk dengan mempertimbangkan seluruh jangka waktu dan komponen
ketidakpastian. Selain dalam bentuk indikator prompt kebutuhan atas indikator
likuiditas yang bersifat leading, Deriantino et al. (2014) menawarkan early warning
indicator likuiditas yang dapat memprediksi terjadinya tekanan likuiditas pada
Oktober 2008.
Bank Indonesia dalam menjalankan perannya menjaga stabilitas sistem
keuangan melakukan monitoring terhadap kondisi alat likuid dan kondisi
pertumbuhan kredit sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus
ketersediaan alat likuid, beberapa contoh indikator yang dimonitor oleh Bank
Indonesia ialah rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) 4 dan rasio alat likuid

4

AL/DPK merupakan rasio yang mencerminkan kecukupan kondisi alat likuid bank
dibandingkan dengan DPK yang dimiliki bank. Threshold AL/DPK sebesar 8,5% adalah
kondisi rasio AL/DPK terburuk yang dialami perbankan Indonesia saat krisis 2008 (Global
Financial Crisis (GFC).


3

terhadap non-core-deposit atau NCD (AL/NCD) 5 . Pemantauan dilakukan pada
seluruh variasi, baik agregat industri, individual bank, sektoral, ataupun secara
kelompok bank.
Kondisi alat likuid yang menurun akan mempengaruhi kemampuan bank
dalam memenuhi kewajiban kepada seluruh shareholder (Diamond dan Rajan,
2000). Pada kondisi tertentu bank kekurangan alat likuid sehingga tidak dapat
menyalurkan kredit. Hal itu berdampak stimulus ekonomi dan berujung pada
penurunan pertumbuhan ekonomi. Deriantino (2014) menemukan bahwa setiap
adanya penurunan kredit sebesar 1 miliar rupiah akan menyebabkan penurunan
pertumbuhan ekonomi tiga kuartal ke depan sebesar 1,8 juta rupiah 6 . Namun,
dalam praktiknya Bank Indonesia belum melakukan monitoring terhadap pengaruh
alat likuid terhadap penyaluran kredit perbankan.
Dalam business process asesmen oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia akan
melakukan asesmen terhadap empat risiko utama, yaitu risiko likuiditas, risiko
kredit, risiko operasional bank, dan risiko pasar untuk melihat adanya potensi
gangguan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan (Gunadi
et al., 2014). Salah satu bentuk laporan yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk

melakukan asesmen adalah laporan Rencana Bisnis Bank (RBB). Setiap tahun,
bank akan diminta untuk menyampaikan RBB kepada bank sentral (Bank
Indonesia) dan otoritas keuangan yang kemudian digunakan oleh pihak otoritas
untuk memproyeksi pertumbuhan kredit perbankan dan pertumbuhan ekonomi
selama satu tahun ke depan. Hasil asesmen kemudian diterjemahkan pada berapa
besar pertumbuhan kredit yang dapat dicapai perbankan pada akhir tahun.
Berdasarkan perbandingan antara kedua hasil estimasi pertumbuhan kredit
tersebut (RBB dan asesmen) didapatkan gap

7

. Kebijakan makroprudensial

diharapkan mampu menghilangkan gap antara pertumbuhan kredit RBB dan
pertumbuhan kredit asesmen Bank Indonesia. Kebijakan itu juga mencegah bank

5

Non-core-deposit (NCD) adalah bagian dari DPK yang dianggap memiliki volatilitas yang
lebih tinggi. Indikator ini mencerminkan penarikan DPK saat kondisi bank run terjadi tahun

2008, Global Financial Crisis (GFC). NCD dihitung sebagai 10% giro + 30% tabungan + 30%
deposito.
6 Dampak penurunan kredit dihitung dengan menggunakan ECM. Hasil simulasi
menunjukkan tekanan pada kredit akan direspons negatif oleh pertumbuhan ekonomi (+ 3
kuartal). (Deriantino, 2014)
7 Gap didefinisikan sebagai selisih antara pertumbuhan ekonomi yang diestimasi dengan
menggunakan RBB dan asesmen Bank Indonesia.

4

mengucurkan kredit di luar kapasitas AL/NCD yang mampu membawa potensi
liquidity mismatch. Flow transmisi risiko sistemik digambarkan pada Grafik 1.

Grafik 1. Alur Risiko Sistemik

Selanjutnya, Bab 2 penelitian ini akan membahas kondisi kredit dan alat
likuid

perbankan.


Bab

3

akan

menjelaskan

konsep

perhitungan

yang

menghubungkan alat likuid dan kredit. Bab 4 akan menjelaskan hasil simulasi
dengan menggunakan model matematika, dan Bab 5 akan menjelaskan hubungan
antara penyaluran kredit dan banyaknya kredit macet.

5

II. BISNIS BANK

2.1 Rencana Bisnis Bank dan Kredit Target
Setiap tahun bank diwajibkan untuk membuat rencana bisnis bank (RBB)
dan dilaporkan kepada pengawas perbankan, dalam hal ini OJK (mikroprudensial)
dan BI (makroprudensial). RBB merupakan dokumen tertulis yang menggambarkan
rencana kegiatan usaha bank selama periode 1 tahun ke depan (jangka pendek) dan
periode tiga tahun (jangka menengah), termasuk di antaranya rencana untuk
meningkatkan kinerja usaha, serta strategi untuk merealisasikan rencana tersebut
sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan dengan tetap memperhatikan
pemenuhan ketentuan kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko. Pengawas
bank,

baik

pengawas

mikroprudensial

maupun

makroprudensial,

akan

menggunakan RBB sebagai salah satu acuan dalam melakukan fungsi pengawasan.
Salah satu komponen yang terdapat pada RBB adalah jumlah kredit yang
ditargetkan untuk disalurkan sampai dengan akhir tahun. Jumlah kredit yang
harus dicapai oleh bank pada akhir tahun adalah 80% dari jumlah kredit yang
tertera pada RBB, terlepas dari berapa besar growth kredit dari 80% pencapaian
tersebut (jika dibandingkan dengan jumlah penyaluran kredit tahun sebelumnya) 8.
Secara logika, bank akan menyalurkan kredit sesuai dengan target kredit yang akan
disalurkan secara berkala, besarnya porsi penyaluran kredit perbulan akan berbeda
sesuai dengan kemampuan dari individu bank.
Tabel

1

menggambarkan

pencapaian

kredit

setiap

kelompok

bank

berdasarkan jumlah aset yang dimiliki (BUKU9). Secara umum keempat kelompok
BUKU memiliki pencapaian terhadap target kredit di atas 80%. Sebagai contoh,
tahun 2008, pada tahun itu Indonesia berada pada episode recovery dari global

8

Sebagai gambaran mekanisme pengawasan, Bank A menargetkan penyaluran 110 miliar
rupiah pada akhir tahun 2015, pada akhir tahun pengawas mengharuskan bank untuk
menyalurkan setidaknya 88 miliar rupiah (80% dari 110 miliar rupiah). Pada tahap ini
seberapa besar pertumbuhan kredit 88 miliar rupiah tersebut tidak menjadi concern
pengawas bank tersebut. Sebut saja 88 miliar rupiah adalah 10% pertumbuhan kredit jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah yang relatif kecil dari sisi makro ekonomi
Indonesia.
9 Bank Indonesia membagi bank menjadi empat klasifikasi berdasarkan jumlah modal inti
yang dimiliki dengan jenis klasifikasi yang disebut sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha
(BUKU). Bank dengan kelompok BUKU 1 memiliki modal inti di bawah 1 triliun rupiah,
BUKU 2 bank dengan modal inti 1 triliun rupiah s.d. kurang dari 5 triliun rupiah, BUKU 3
bank dengan modal inti 5 triliun rupiah s.d. kurang dari 30 triliun rupiah, dan BUKU 4 bank
dengan modal inti di atas 30 triliun rupiah.

6

financial crisis (GFC). Namun, seluruh bank dapat menyalurkan kredit dengan
growth berada di atas rata-rata 27,5% (jika dibandingkan dengan tahun 2007).
Kondisi yang berbeda ditunjukkan pada tahun 2009. Dengan rasio alat likuid yang
relatif sama, penyaluran kredit pada tahun 2009 jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan tahun 2008 dengan rata-rata growth kredit 12,1%.

Tabel 1. Pencapaian Kredit dan Growth Kredit Perkelompok BUKU Tahun
2008–2013
Pencapaian
(%)

BUKU
4

BUKU
3

BUKU
2

BUKU
1

Growth
Kredit
Rill

BUKU
4

BUKU
3

BUKU
2

BUKU
1

2008Q4

100,0

100,0

100,0

100,0

2008Q4

30,85

24,97

38,50

15,66

2009Q4

99,9

100,0

100,3

100,0

2009Q4

14,16

11,36

6,24

16,57

2010Q4

98,6

103,4

100,0

89,6

2010Q4

18,75

28,67

24,41

18,47

2011Q4

81,8

84,5

95,9

89,2

2011Q4

20,39

23,98

26,83

23,70

2012Q4

82,5

84,4

97,3

90,2

2012Q4

22,44

18,88

22,51

30,06

2013Q4

100,5

103,5

120,2

119,7

2013Q4

21,53

17,37

22,57

19,83

2014Q4

95,8

96,3

114,8

113,9

2014Q4

10,07

8,64

11,41

17,34

Dalam praktik pengawasan perbankan, kondisi alat likuid perbankan
dimonitor tersendiri terlepas dari besarnya penyaluran kredit bank 10 . Grafik 2
menggambarkan kondisi AL/NCD (garis merah) yang dibandingkan dengan
penyaluran kredit (dalam bentuk flow). Secara umum pergerakan flow kredit tidak
terpengaruh dari kondisi alat likuid perbankan. Sebagai contoh, bulan Desember
2014 kondisi AL/NCD lebih rendah daripada bulan November 2014, tetapi
penyaluran kredit pada bulan Desember 2014 lebih tinggi daripada bulan November
2014.

10

Alat likuid perbankan diamati menjadi tiga indikator utama, yaitu AL/DPK dengan
threshold 8,5%, AL/NCD dengan threshold 50%, dan delta AL/TA dengan threshold -9,9%.

7

Grafik 2. Alat Likuid dan Penyaluran Kredit

2.2

Alat Likuid sebagai Sebuah Indikator
Bank sebagai suatu lembaga dengan bisnis utama mengubah aset likuid dari

DPK menjadi investasi jangka panjang yang bersifat non-marketable (Muljawan et
al., 2014) membuat penting bagi perbankan untuk mengalokasikan jumlah alat
likuid yang tepat untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek atau jangka panjang
(Diamond dan Rajan, 2000). Pertanyaan selanjutnya, jumlah alat likuid untuk
perbankan apakah dapat diukur dengan tepat? Apakah strategi likuiditas
perbankan berubah sesuai dengan waktu?
Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam upayanya untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan melakukan monitoring terhadap kondisi alat likuid
perbankan11. Kondisi alat likuid dimonitor dalam berbagai bentuk, sebagai contoh
adalah rasio AL/DPK, AL/NCD, atau AL/TA 12 . Gunadi dan Taruna (2015, forth
coming) menyatakan bahwa setiap indikator alat likuid memiliki karakteristik yang
berbeda13. Pada kasus tahun 2005 (waktu permulaan akan terjadinya krisis GFC)
Grafik 3 menunjukkan bahwa indikator AL/TA menggambarkan perubahan

11

Alat likuid didefinisikan sebagai jumlah kas, surat-surat berharga, dan penempatan pada
BI.
12 AL/TA adalah perbandingan jumlah alat likuid perbankan dibandingkan dengan jumlah
total aset (TA). Indikator ini mengindikasikan kemampuan bank dalam memenuhi seluruh
kewajiban, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
13 Pada penelitian “Penyempurnaan ISSK”, Gunadi dan Taruna (forth coming 2015)
mendapatkan adanya perubahan karakteristik pada indikator AL/DPK dan AL/TA (terdapat
structural break) pada periode GFC dengan menggunakan Quandt-Andrew Test (1960 dan
1994) dan Chow Test (1960).

8

karakteristik sebelum krisis, sedangkan AL/DPK mengambarkan perubahan
karakteristik pada tahun 2006 (setelah krisis).

Sumber: Gunadi dan Taruna (2015), Revisit ISSK

Grafik 3. Structural Break AL/DPK dan AL/TA

Lebih jauh, Gunadi et al. (2015) mengungkapkan bahwa jika dilihat secara
menyeluruh yang dicerminkan oleh Grafik 4, indikator AL/DPK mengalami
perubahan drastis saat terjadi bank run pada krisis. Karakteristik AL/TA lebih
reluctant untuk berubah digambarkan dari periode setiap adanya structural break.
Secara umum komposisi total aset melingkupi jenis aset yang tidak rentan terhadap
bank run dibandingkan DPK, sebagai contoh aset tersebut adalah gedung dan modal
disetor.

Sumber: Gunadi dan Taruna (2015), Revisit ISSK

Grafik 4. Structural Break AL/DPK dan AL/TA Menyeluruh

9

Pada penelitian ini uji structural break terhadap indikator AL/NCD akan
dilakukan untuk dapat menangkap gambaran karakteristik dari indikator tersebut
serta untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap terhadap karakteristik
indikator rasio alat likuid. Grafik 5 menggambarkan karakteristik dari rasio AL/NCD
yang berbeda dengan dua rasio alat likuid lainnya, yaitu AL/NCD mengalami
structural break pada periode krisis mini tahun 2005. Dalam perkembangannya,
pascakrisismini tahun 2005, bank telah dapat menyesuaikan kondisi alat likuid
terhadap kemungkinan adanya bank rush. Hal itu diindikasikan bahwa tidak
adanya perubahan error indikator AL/NCD pada uji structural break.

Grafik 5. Structural Break AL/NCD Single dan Joined

Harun

dan

Renanda

(2013)

menjelaskan

bahwa

peningkatan

NCD

mengindikasikan terjadinya tekanan pada kondisi likuiditas perbankan yang jika
terjadi pada sejumlah bank, baik kecil maupun besar akan menyebabkan
instabilitas pada sistem keuangan. Lebih jauh, Harun dan Renanda (2013)
mengatakan bahwa bank harus mampu memprediksi bagian dari DPK-nya yang
dapat ditarik sewaktu–waktu (NCD) serta menyediakan likuiditas untuk memenuhi
kewajiban

tersebut.

Grafik

6

menginformasikan

bagaimana

growth

NCD

menggambarkan kondisi tekanan likuiditas yang dialami perbankan pada tahun
2005 (mini crisis) dan tahun 2008 (GFC) jika dibandingkan dengan growth DPK dan
TA.

10

Grafik 6. Growth Denominator Komponen Rasio Alat Likuid

Berdasarkan stylized facts dan analisis terhadap ketiga indikator rasio alat
likuid, NCD merupakan indikator yang menunjukkan jumlah DPK yang rentan
terhadap penarikan sewaktu-waktu dan dapat berdampak pada jumlah penyaluran
kredit bank. Atas dasar itulah, peneliti akan menggunakan rasio AL/NCD sebagai
indikator likuiditas perbankan. AL/NCD dianggap dapat menggambarkan strategi
bank untuk selalu memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek dan antisipasi
dalam menghadapi tekanan likuiditas yang dapat timbul setiap saat. AL/NCD akan
dihubungkan dengan indikator target kredit ( � untuk mendapatkan gambaran

potensi penyaluran kredit perbankan yang dilihat dari pemenuhan likuiditas jangka
pendek dan penyaluran kredit yang memiliki jangka panjang.

11

III. HUBUNGAN ALAT LIKUID DAN KREDIT DALAM MATEMATIKA

3.1

Model Matematika
Untuk menghubungkan kredit dan alat likuid, penelitian ini merancang

model matematika untuk melihat pengaruh alat likuid yang dimiliki perbankan
terhadap

penyaluran

kredit

beserta

penentuan

ambang

batas

(threshold).

Perbankan dapat menyalurkan kredit berdasarkan alat likuid tersebut.
Diasumsikan bahwa bank akan menyalurkan kredit minimal sesuai dengan
target kredit ( �). � kemudian digunakan sebagai acuan target penyaluran kredit
sepanjang tahun, sebagai gambaran � pada tahun 2008 (bulan desember) akan

dihitung sebagai prorata penyaluran kredit pada tahun 2009 dan akan berulang
untuk setiap tahunnya. Tabel 2 menggambarkan penggunaan TK. Pada tabel
tersebut diberikan contoh pada tahun 2011. Dengan menggunakan � dapat dilihat
bagaimana kondisi bank dalam menyalurkan kredit jika dilihat dari selisih kredit
antara realisasi dan �.
Contoh
Target Kredit
Kredit realisasi
December-11
181.7 148.2
January-11
(18.9)
12.3
February-11
(10.9)
24.7
March-11
21.8
37.0
April-11
47.1
49.4
May-11
72.1
61.7
June-11
102.7
74.1
July-11
99.9
86.4
August-11
119.4
98.8
September-11
148.5
111.1
October-11
158.5
123.5
November-11
190.4
135.8
December-11
242.1
148.2 402.2
January-12
(17.0)
33.5
February-12
0.6
67.0
March-12
23.0
100.5
April-12
53.0
134.1
May-12
88.5
167.6
June-12
135.1
201.1
July-12
155.9
234.6
August-12
170.2
268.1
September-12
214.7
301.6
October-12
215.6
335.1
November-12
241.9
368.6
December-12
288.6
402.2

Tabel 2. Penggunaan Target Kredit

12

Target kredit akan dihitung dengan menggunakan komponen kredit pada
RBB. Target kredit merupakan perubahan (delta) kredit RBB yang dibandingkan
dengan kredit realisasi pada tahun sebelumnya dan dibagi sesuai dengan bulannya
(prorata). Target kredit diasumsikan sebagai sejumlah kredit yang harus berpotensi
untuk disalurkan setiap bulannya, tergantung dari kemampuan bank yang
tercermin dari RBB. Target kredit dapat digambarkan sebagai berikut.

Keterangan:
��

���


�� = ��� − �

�−

∗ /

: target kredit pada waktu t
: kredit RBB pada waktu

�−

: kredit realisasi pada waktu −

: bulan

Langkah berikutnya adalah penghitungan sisa potensi. Sisa potensi
merupakan selisih antara target kredit dan realisasi (ytd). Sisa potensi dihitung
untuk menangkap berapa besar sisa kredit yang belum disalurkan oleh bank
terhadap TK pada waktu t, monthly basis. Sisa potensi dapat diformulasikan sebagai
berikut.

Keterangan:
��

��

���

�� =

�� − �



: Sisa Potensi pada waktu −
: target kredit pada waktu t
: kredit RBB pada waktu

Selanjutnya, untuk menghubungkan kondisi alat likuid yang dimiliki oleh
perbankan dengan penyaluran kredit, peneliti mendesain hubungan matematika
dengan menggunakan rumus “jarak antara dua titik”. Rumus jarak antara dua titik
dapat dijabarkan sebagai berikut.

Keterangan:




=




: AL/NCD
: batas atas AL/NCD
: batas bawah AL/NCD
: penyaluran kredit

13

: batas atas kredit
: batas bawah kredit

Rumus di atas digunakan untuk melihat gradasi kemampuan bank dalam
menyalurkan kredit dengan peningkatan (penurunan) alat likuid yang dimiliki.
Semakin tinggi alat likuid yang dimiliki bank, semakin tinggi kemampuan bank
menyalurkan kredit atau sebaliknya.
Pada penelitian ini asumsi yang digunakan adalah apabila AL/NCD di bawah
30% maka dianggap bank tidak dapat menyalurkan kredit dan pencapaiannya 0%*
�. Namun, bank dengan AL/NCD = 100% dianggap dapat mencapai penyaluran

kredit 100%* �, bank dengan 30% ≤ AL/NCD < 100% akan mengikuti gradasi

pencapaian yang dihitung dengan rumus jarak antara dua titik pertama, dan bank
dengan 30% ≤ AL/NCD < 100% akan mengikuti rumus jarak antara dua titik kedua.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas terkait dengan hal itu, Gambar 1
menjabarkan keempat kondisi yang digunakan pada penelitian ini.

Gambar 1. Tiga Kondisi Alat Likuid Perbankan (AL/NCD)

Grafik 7 menggambarkan gradasi dari pencapaian bank dalam menyalurkan
kredit sesuai dengan peningkatan (penurunan) alat likuid. Bank dengan 30% ≤
AL/NCD < 100% diasumsikan memiliki kemampuan menyalurkan kredit sesuai
dengan alat likuid yang dimiliki dan kondisi optimal (penyaluran 100%) saat bank
memiliki AL/NCD 100%, sedangkan bank dengan kondisi AL/NCD ≥ 100%
diasumsikan memiliki potensi untuk menyalurkan kredit lebih tinggi dari 100%.

14

Grafik 7. Gradasi Pencapaian Penyaluran Kredit (Contoh BUKU 4)

Seluruh perhitungan kemudian digunakan untuk melihat potensi bank
dalam menyalurkan kredit yang dikaitkan dengan kondisi alat likuid. Potensi
penyaluran kredit akan dihitung dengan dua konsep besar, yaitu (i) seberapa besar
bank dapat memenuhi target kredit (selanjutnya akan disebut potensi target/PT)
dan (ii) seberapa besar potensi bank dapat menyalurkan kredit (selanjutnya akan
disebut potensi kredit/PK). Sebagai gambaran PT akan digambarkan oleh Grafik 8,
dicontohkan pada BUKU 4. Berdasarkan kondisi AL/NCD, BUKU 4 secara umum
memiliki potensi untuk menyalurkan kredit lebih tinggi dari TK setiap bulannya
(grafik kiri). Kondisi berbeda ditunjukkan pada semester kedua tahun 2013 dan
semester pertama tahun 2014, PT BUKU 4 berada di bawah TK yang disebabkan
kondisi pada periode tersebut berada di bawah 100%. Grafik kanan menggambarkan
PK dari BUKU 4. Berdasarkan kondisi AL/NCD bank seharusnya dapat
menyalurkan kredit lebih tinggi dari kredit yang telah direalisasikan.

15

Grafik 8. Potensi Target dan Potensi Kredit BUKU 4 (Contoh)

Potensi Target (PT) dihitung dengan rumus:

Keterangan:




� �








= � �

�� + �



: Potensi Target pada waktu t
��

: rumus jarak antara dua titik pada waktu t
: kredit realisasi pada waktu t

Potensi target dihitung dengan rumus:
∆� = �� − �

Keterangan:

��� = �

∆�

: delta pada waktu t



: potensi target pada waktu t

��

���








+ ∆�

: target kredit pada waktu t

: potensi kredit pada waktu t
: kredit realisasi pada waktu t

Dengan menggunakan konsep perhitungan potensi target dan potensi kredit,
karakteristik setiap kelompok bank berdasarkan BUKU akan dapat disimulasikan.

3.2

Ambang Batas (Threshold)

16

Pemilihan asumsi ambang batas (threshold) AL/NCD 30%–100% dianggap
kondisi yang dapat menangkap kebutuhan dari perbankan di Indonesia. Kondisi
AL/NCD di bawah 30% dianggap telah mencapai kondisi yang berbahaya dan
dianggap bank tengah mengalami kondisi liquidity squeeze dan/atau liquidity
freeze14,sedangkan pemilihan ambang batas atas 100% dimaksudkan bahwa bank
dapat memenuhi seluruh kebutuhan likuiditas saat DPK dengan karakteristik NCD
ditarik pada periode tertentu.
Tabel 3 menggambarkan statistik perbankan yang berada pada ambang
batas (30%–batas atas). Secara keseluruhan, rata-rata dua tahun (individual bank)
ambang batas AL/NCD 100 melingkupi 37% bank (dari total 119 bank), dengan
frekuensi pada BUKU 4 dan 3 mengalami peningkatan yang signifikan jika
dibandingkan dengan ambang batas atas 90%. Namun, dengan menggunakan
ambang batas atas 120%, peningkatan frekuensi pada buku 4 dan 3 tidak
mengalami angka yang cukup signifikan. Pemilihan ambang batas dititikberatkan
pada BUKU 4 dan 3 karena kedua kelompok BUKU memiliki share terhadap total
alat likuid industri perbankan sebesar 58,7% (BUKU 4); 31,1% (BUKU 3); total NCD
sebesar 59,4% (BUKU 4); dan 31,4% (BUKU 3). Berdasarkan kondisi yang
dicerminkan dari tabel di atas, penelitian ini akan menggunakan ambang batas atas
untuk AL/NCD sebesar 100%.

Tabel 3. Variasi Ambang Batas
Batas Atas
AL/NCD
(%)

Rata-rata 2 tahun

Frekuensi 2 tahun

Individu (%)

BUKU 4
(%)

BUKU 3
(%)

BUKU 2
(%)

BUKU 1
(%)

90

35

4

14

0

2

100

44

16

21

4

3

120

62

23

24

18

14

Untuk menguji ambang batas, peneliti melakukan tes terhadap kondisi alat
likuid yang dimiliki oleh perbankan untuk melihat overview kondisi pada individu

14

Dalam asesmen yang dilakukan oleh Bank Indonesia, ambang batas yang digunakan
adalah 50% atau setengah dari NCD yang dimiliki bank. Ambang batas bawah 30% dianggap
bahwa bank masih dapat mencari alat likuid lain sebelum mengalami frezee saat kondisi
AL/NCD mulai berkurang dari 50%. Sebagai contoh, pemenuhan likuiditas dengan
mengambil ELA (emergency liquidity assistance) atau likuidasi aset.

17

perbankan. Tes dilakukan dengan menerapkan tiga kondisi yang menjadi kondisi
awal dari perbankan yang secara detail tampak sebagai berikut.
 AL/NCD < 30%

: data akan berwarna merah, bank dianggap tidak dapat
menyalurkan kredit

 30% ≤ AL/NCD < 100% : data

akan

berwarna

oranye,

bank

dianggap

menyalurkan kredit sesuai dengan kondisi alat likuid
(AL/NCD)
 AL/NCD ≥ 100%

: data akan berwarna putih, bank dianggap dapat
menyalurkan kredit sesuai atau melebihi target kredit
(TK)

Hasil tes, Tabel 4, memberikan gambaran kondisi alat likuid perbankan
secara individual di Indonesia. Tes menunjukkan bahwa kondisi alat likuid
perbankan beragam dengan beberapa bank berada hampir selalu pada kondisi
merah sepanjang waktu dan dengan mayoritas bank berada pada kondisi oranye.
Berdasarkan pada asumsi yang digunakan, kondisi ini dapat mempengaruhi
penyaluran kredit.

Tabel 4. Kondisi Alat Likuid Perbankan di Indonesia, Individu Bank

18

Berdasarkan karakteristik individu bank, khusus untuk kelompok bank
BUKU 2 dan BUKU 1, pengelompokkan bank didasarkan selain berdasarkan kondisi
modal, kelompok BUKU 2 dan BUKU 1 akan dikelompokkan lagi berdasarkan jenis
kepemilikannya. Hal itu dilakukan untuk dapat menangkap kondisi alat likuid yang
lebih sensitive sebab bank dengan kepemilikian KBCA memiliki kondisi AL/NCD
yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok bank lain dan kelompok
bank dengan kepemilikan BPD memiliki karakteristik DPK yang cenderung akan
banyak ditarik saat anggaran daerah direalisasikan. Adapun delapan kelompok
BUKU yang akan digunakan adalah BUKU 4, BUKU 3, BUKU 2 KCBA, BUKU 2 BPD,
BUKU 2 Umum, BUKU 1 KCBA, BUKU 1 BPD, dan BUKU 1 Umum15.

3.3 Simulasi
Simulasi dilakukan dengan menggunakan data perbankan yang bersumber
dari Laporan Bank Umum (LBU), laporan perbankan dengan frekuensi bulanan.
Simulasi akan difokuskan pada kelompok bank berdasarkan BUKU. Periode seluruh
data bermula dari September 2000 sampai dengan Desember 2014. Khusus untuk
simulasi dengan menggunakan rumus perhitungan yang ditawarkan, simulasi akan
dilakukan untuk tujuh tahun, yaitu tahun 2008 s.d. 2014 karena ketersediaan data
kredit yang bersumber dari RBB bermula dari tahun 2008.
Berdasarkan hasil simulasi terhadap PT, mayoritas kelompok bank memiliki
potensi penyaluran kredit di atas TK setiap bulannya dengan variasi penurunan PT
pada akhir tahun akibat dari seasonal event seperti tahun baru dan pemenuhan
anggaran (Grafik 9). Tingginya PT dari setiap bank didukung oleh tingginya rasio
likuiditas bank yang dicerminkan oleh AL/NCD. Kasus bank BUKU 3 pada tahun
2009–2011 memiliki pola potensi target yang lebih tinggi dari target kredit. Namun,
pada tahun 2012–2014 bank BUKU 3 terlihat memiliki rencana yang lebih agresif
dalam menyalurkan kredit karena target kredit melebihi potensi target. Selain bank
BUKU 3 yang terlihat berencana agresif dalam menyalurkan kredit, kelompok bank
BUKU 2 BPD dan kelompok bank BUKU 1 Umum juga terlihat memiliki pola target
kredit melebihi potensi kredit. Kondisi yang cukup menarik ditunjukkan oleh
kelompok bank BUKU 2 KCBA dan kelompok bank BUKU 1 KCBA, kedua kelompok
bank itu memiliki PT yang relatif sangat tinggi, jauh melampaui target kredit
disebabkan oleh karakteristik kedua kelompok bank tersebut memiliki NCD dan

15

Kepemilikan umum adalah bank dengan kepemilikan selain BPD dan KCBA.

19

DPK yang relatif sedikit. Hal itu disebabkan kedua kelompok bank tersebut
menjalankan proses bisnisnya dengan menggunakan dana usaha dari kantor pusat
(parent company) untuk disalurkan kembali dalam bentuk kredit.
Dalam Grafik 9 dapat diamati kelompok bank yang memiliki realisasi kredit
yang lebih besar daripada target kredit. Mayoritas kelompok bank cukup agresif
dalam menyalurkan kredit sepanjang waktu data sampel. Bank BUKU 4 agresif
dalam menyalurkan kredit pada tahun 2011, begitu juga Bank BUKU 3 pada tahun
2010 dan 2011. Khusus untuk kelompok bank BUKU 2 Umum, kredit yang telah
direalisasikan selalu melebihi target kredit pada sepanjang tahun data sampel. Pada
Kelompok Bank BUKU 1 perilaku agresif dalam penyaluran kredit juga terjadi pada
hampir sepanjang tahun data sampel. Hasil simulasi menggambarkan bahwa bank
memiliki potensi target yang lebih tinggi dan jika potensi itu direalisasikan dapat
dihasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

20

Grafik 9. Potensi Target Per-BUKU

Hasil simulasi PK mengonfirmasi hasil simulasi PT, yaitu kemampuan
mayoritas bank menyalurkan kredit lebih besar dari target kredit sehingga
kemampuan bank dalam menyalurkan kredit berpotensi lebih besar dari yang telah
disalurkan (Grafik 10). Dari grafik tahun 2012 dan 2013, mayoritas kelompok bank
memiliki potensi menyalurkan kredit yang relatif superior jika dibandingkan dengan
tahun-tahun pada sampel data simulasi, sedangkan dari sisi AL/NCD, tahun 2012
dan 2013 secara rata-rata lebih rendah (110,31% tahun 2012 dan 92,14% tahun
2013) jika dibandingkan dengan tahun pada data sampel (151,01% tahun 2008;
162,17% tahun 2009; 137,43% tahun 2010; 125,06% tahun 2011; dan 89,95%
tahun 2014). Hal itu menggambarkan potensi bank dalam menyalurkan kredit
seharusnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi, terlepas dari
kondisi alat likuid yang dimiliki.

21

Grafik 10. Potensi Kredit Per-Buku

Berdasarkan realisasi kredit, tahun 2012 dan tahun 2013 memiliki rata-rata
pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun pada sampel data
simulasi. Tabel 5 menunjukkan kondisi pertumbuhan kredit dari setiap buku. Pada
akhir tahun pertumbuhan setiap BUKU pada kurun waktu 2012 dan 2013
menunjukkan nilai yang superior jika dibandingkan dengan sampel data simulasi.
Seperti dijelaskan sebelumnya, kondisi AL/NCD bank pada tahun 2012 dan 2013
masih menunjukkan kondisi yang relatif stabil jika dibandingkan dengan tahun
pada data sampel (berada pada kisaran 100%). Namun, kondisi alat likuid itu tidak
mempengaruhi penyaluran kredit bank meskipun penyaluran kredit pada dua
tahun lebih superior.

22

Tabel 5. Pertumbuhan Kredit Setiap Kelompok BUKU
4
rata-rata 2008
rata-rata 2009
rata-rata 2010
rata-rata 2011
rata-rata 2012
rata-rata 2013
rata-rata 2014
Dec 2008
Dec 2009
Dec 2010
Dec 2011
Dec 2012
Dec 2013
Dec 2014

3
33.29
23.79
16.50
22.38
23.25
24.80
16.25
32.34
15.64
20.24
21.88
23.92
23.01
11.55

32.73
14.76
21.34
32.18
23.88
18.32
14.51
26.55
12.93
30.25
25.55
20.45
18.94
10.22

KCBA
35.33
12.57
10.19
19.29
26.87
23.46
21.17
42.48
-9.11
21.72
22.20
24.51
31.15
10.26

2
BPD
30.18
31.16
20.41
21.30
22.73
24.37
15.63
34.84
26.22
19.40
21.38
25.37
21.49
12.86

Swasta
35.24
15.41
25.21
39.22
32.28
24.81
16.43
27.02
13.69
37.89
41.01
23.85
20.93
15.39

KCBA
55.01
-21.00
40.12
26.57
41.19
40.51
33.53
-11.43
23.85
22.77
15.87
57.85
39.02
26.31

1
BPD
33.37
27.30
17.52
28.29
23.43
22.72
17.43
31.44
21.73
23.26
25.58
24.14
19.58
18.30

Swasta
12.94
12.10
19.55
21.58
30.76
27.47
17.37
14.10
18.27
17.76
25.79
32.93
20.29
16.54

Kondisi apa yang akan mempengaruhi bank dalam menyalurkan kredit
menjadi pertanyaan lebih lanjut. Dengan kondisi alat likuid, AL/NCD yang relatif
stabil berada di atas atau pada kisaran ambang batas 100%. Realisasi kredit bank
tidak menunjukkan penyaluran yang mendekati potensinya, bank akan cenderung
untuk menyalurkan kredit pada level tertentu. Jika permintaan akan kredit bank
dapat diamati, apakah bank menyalurkan kredit hanya dari sisi demand tanpa
memperhitungkan kondisi alat likuid yang dimilki? Apakah bank menyalurkan
kredit hanya berdasarkan kondisi supply untuk mendapatkan profit yang sebesarbesarnya tanpa memperhitungkan kondisi likuiditas yang dimiliki?

3.3

Pengaruh Alat Likuid dalam Domain Waktu terhadap Kredit
Hasil analisis terhadap simulasi menggambarkan bahwa bank akan

menyalurkan kredit. Hal itu ditunjukkan oleh PT dan PK melebihi TK, terlepas dari
kondisi alat likuid. Pada sesi ini kami mencoba melihat keterkaitan antara waktu
pada setiap indikator. Simulasi dilakukan untuk menentukkan lag pada indikator
alat likuid AL/NCD yang sebaiknya digunakan pada rumus yang ditawarkan.
Simulasi dilakukan dengan menggunakan ARDL (auto regressive distributed lags)
dengan indikator independennya adalah kredit dan dependen indikatornya adalah
AL/NCD, sedangkan untuk waktu lag digunakan adalah maksimal dua bulan atau


sesuai dengan bisnis bank, yaitu bank cenderung mengonversi DPK yang

memiliki maturity jangka pendek menjadi kredit yang memiliki maturity jangka
panjang.

23

Tabel 6 menggambarkan lag dari Al/NCD yang sebaiknya digunakan serta
keterkaitan penyaluran kredit sekarang dengan penyaluran kredit pada bulan
sebelumnya. Sebagaimana pembelajaran, bank dalam menyalurkan kredit akan
menggunakan

seluruh

indikator

terkait

pada

masa

lalu

sehingga

akan

menghasilkan kredit yang lebih mendatangkan kredit pada masa yang akan datang.
Dari sisi alat likuid hasil ARDL menunjukkan bahwa kelompok bank BUKU 4, BUKU
3, BUKU 1 BPD, dan BUKU 1 Umum memperhitungkan kondisi alat likuid yang
dimiliki pada bulan sebelumnya. Muljawan dan Taruna (2013) menggambarkan
bagaimana bank berperilaku dalam PUAB. Bank-bank pada kelompok bank BUKU
4 dan bank BUKU 3 cenderung berperan sebegai net borrower. Hal itu menunjukkan
bahwa alat likuid yang dimiliki pada waktu

cenderung untuk digunakan dalam

pemenuhan kebutuhan jangka pendek, sedangkan penyaluran kredit didasarkan
pada perhitungan menggunakan kondisi alat likuid pada bulan sebelumnya.

Tabel 6. Rekapitulasi Simulasi ARDL
BUKU
4

BUKU 3

BUKU 2
KCBA

BUKU 2
BPD

BUKU 2
Umum

BUKU 1
KCBA

BUKU 1
BPD

BUKU 1
Umum

Kredit

t-1, t-2

t-1, t-2

t-1, t-2

t-1, t-2

t-1, t-2

t-1, t-2

t-1, t-2

t-1, t-2

AL/NC
D

t-1

t-1, t-2

-

t

-

t

t, t-1

t, t-1, t-2

Kelompok bank BUKU 2 KCBA dan BUKU 1 KCBA cenderung menyalurkan
kredit dengan tanpa memperhitungkan kondisi alat likuid yang dimiliki atau BUKU
1 KCBA memperhitungkan kondisi AL/NCD pada waktu . Hal itu berarti sesuai
dengan bisnis proses dari kelompok bank dengan kepemilikan KCBA karena bank
pada kelompok tersebut menunggukan dana usaha yang bersumber dari kantor
pusat (parent company) sebagai pengganti DPK.
Hasil statistik dengan menggunakan ARDL akan digunakan untuk uji
simulasi rumus yang ditawarkan dengan menggunakan lag pada indikator AL/NCD,
kecuali kelompok bank BUKU 2 KCBA dan bank BUKU 2 Umum. Kedua kelompok
bank tersebut tidak memiliki ketergantungan pada alat likuid dalam menyalurkan
kredit sehingga simulasi untuk kedua kelompok bank ini tetap mengunakan alat
likuid pada waktu t. Hasil simulasi akan digunakan untuk melihat seberapa
signifikan hasil penggunaan lag AL/NCD terhadap penyaluran kredit bank.
Hasil simulasi dengan menggunakan lag, Grafik 11, menggambarkan potensi
kredit dengan menggunakan lag



yang menghasilkan potensi yang tidak

24

berubah jika dibandingkan dengan hasil simulasi dengan tanpa lag. Hasil simulasi
tersebut secara garis besar menunjukkan bahwa kondisi bank (dengan dan tanpa
lag 1 bulan) memiliki alat likuid (AL/NCD) yang berada di atas ambang batas atas
(100%).

Grafik 11. Hasil Simulasi Tanpa Lag dan dengan Lag 1 Bulan

25

Keseluruhan

simulasi

menggambarkan

adanya

faktor

lain

yang

mempengaruhi bank dalam menyalurkan kredit. Kondisi alat likuid tidak
mempengaruhi besarnya bank dalam menyalurkan kredit jika dibandingkan dengan
potensi kredit dan potensi target yang seharusnya dapat disalurkan bank.

26

IV. PENGARUH KREDIT MACET DALAM BISNIS BANK

4.1 NPL pada Penyaluran Kredit
Non-performing loans (NPL) merupakan salah satu indikator utama yang
dipantau, baik oleh bank sentral maupun oleh pihak bank secara pribadi.
Peningkatan NPL yang tinggi dapat berakibat pada profit yang didapatkan bank
secara khusus dan pada kinerja bank secara umum. Pada kondisis boom, bank
cenderung akan menyalurkan kredit secara besar (cyclical behavior). Penyaluran
kredit tersebut akan memiliki tiga karakteristik, yaitu (i) sumber dana penyaluran
kredit tidak netral karena kredit pada boom cenderung dibiayai oleh sumber selain
dana pihak ketiga16, (ii) penempatan kredit pada sektor yang salah atau pada debitor
yang salah17, dan (iii) penyaluran kredit yang tidak sesuai dapat berefek pada saat
krisis terjadi (peningkatan NPL yang tidak terkendali)18.
Berkaca pada peningkatan NPL saat penyaluran kredit tidak diikuti dengan
strategi untuk mengatasi NPL, peneliti akan melihat bagaimana kemungkinan
peningkatan NPL akan berpengaruh terhadap penyaluran kredit perbankan.
Semakin rendah rasio NPL yang dimiliki oleh bank, seharusnya membuat bank
semakin tinggi dalam menyalurkan kredit dan semakin tinggi rasio NPL akan
diasumsikan bahwa bank semakin rendah dalam menyalurkan kredit.
Secara tren kondisi NPL per kelompok BUKU menunjukkan bahwa kondisi
NPL berada pada kondisi yang stabil. Grafik 12 menunjukkan tren NPL setiap
kelompok bank. Secara umum NPL keenam bank berada di antara range 1%–7%,
batas bawah 1% ditunjukkan dengan garis kuning dan batas atas 7% ditunjukkan
oleh garis merah.

16

Sumber dana yang umum digunakan pada fase boom adalah portofolio investment (PI).
Secara karakteristik PI merupakan sumber investasi yang bersifat sangat volatil.
17 Misalokasi penempatan kredit pada debitor yang cenderung memiliki risiko berbahaya.
18 Tiga karakteristik diungkapkan oleh Borio (2015).

27

Grafik 12. Tren NPL Berdasarkan Kelompok Bank

Semakin tinggi rasio NPL perbankan diasumsikan bahwa kemampuan
menyalurkan kredit akan semakin rendah. Peneliti akan menggunakan tiga kondisi
pada kasus NPL dengan penyaluran kredit (i) NPL < 1%, bank dapat menyalurkan
100% TK; (ii) NPL ≥ 7%, bank tidak dapat menyalurkan kredit; dan (iii) 1% ≤ NPL ≤
7% bank akan menyalurkan kredit sesuai dengan rumus jarak antara dua titik19.
Grafik 13 menggambarkan gradasi penyaluran kredit berdasarkan ketiga kondisi
yang digunakan.

19

Batas bawah 1% dan digunakan sebagai range dengan tujuan buffer NPL mencapai angka
5%. Pada ketentuan BASEL II, NPL mencapai tingkat berbahaya pada 5%.

28

Grafik 13. Gradasi Penyaluran Kredits Sesuai dengan Asumsi

Hasil simulasi dengan menggunakan ketiga asumsi di atas menunjukkan
bahwa seluruh kelompok bank cenderung untuk menyalurkan kredit di atas PT
(Grafik 14). Untuk kelompok bank BUKU 4 dan BUKU 3, kedua kelompok bank itu
cenderung menyalurkan kredit di bawah PT.

29

Grafik 14. Potensi Target per BUKU–NPL

Potensi bank dalam menyalurkan kredit, PK digambarkan oleh Grafik 15,
seluruh kelompok bank dilihat dari kondisi NPL berpotensi untuk menyalurkan
kredit lebih tinggi dari realisasinya. Kondisi NPL perbankan yang relatif rendah
(baik) seharusnya mendorong bank untuk menyalurkan kredit lebih tinggi.

30

Grafik 15. Potensi Kredit terkait NPL

31

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1

Simpulan

1. Secara teori penyaluran kredit akan memiliki hubungan dengan kepemilikian alat
likuid bank. Semakin banyak alat likuid yang dimiliki, bank akan dapat
menyalurkan kredit lebih banyak.
2. Dengan memperhitungkan kondisi alat likuid bank, perhitungan potensi target
dan potensi kredit dapat memberikan gambaran potensi yang dimiliki bank untuk
menyalurkan kredit lebih tinggi daripada realisasi kredit.
3. Hasil simulasi menunjukkan strategi dari delapan kelompok bank dalam
menyalurkan kredit dikaitkan dengan kondisi alat likuid. Secara umum
kedelapan kelompok bank menyalurkan kredit selalu lebih rendah daripada
potensi yang dimiliki, terlepas dari besarnya rasio AL/NCD.
4. Sejalan dengan asumsi hubungan alat likuid dengan penyaluran kredit, asumsi
hubungan antara NPL dan penyaluran kredit dapat digunakan untuk melihat
bagaimana perilaku bank terhadap kondisi indikator terkait kredit.
5. Kondisi penyaluran kredit bank akan bergantung pada kondisi alat likuid dan
kredit macet bank pada waktu sebelumnya, tetapi pada praktiknya bisnis bank
tidak sederhana dan perlu diperhatikan bahwa bisnis bank tidak hanya
bergantung pada kondisi alat likuid dan kredit macet, tetapi juga prospek
penyaluran kredit ke depan dan kondisi pertumbuhan ekonomi saat penyaluran
kredit diberikan (demand- supply rule).

5.1. Saran
1. Permodelan penyaluran kredit dapat dihubungkan dengan faktor lain, seperti
kondisi operasional bank, baik secara individu maupun industri atau dapat
menggabungkan beberapa pertimbangan dalam perhitungan sebagai contoh
model matematika menggabungkan kondisi kredit dan alat likuid ke dalam satu
model.
2. Konsep pemodelan matematika pada penelitian ini dapat memperhitungkan
interaksi antarvariabel sehingga asumsi model tidak linear.

32

DAFTAR PUSTAKA

Chow, Gregory C., "Tests of Equality Between Sets of Coefficients in Two Linear
Regressions", Econometrica, 1960.
Diamond, D.W. and Dybvig, Philip H., (1983), “Bank Runs, Deposit Insurance, and
Liquidity”, JSTOR The Journal of Political Economy.
Diamond, D.W. and Rajan, R.G., (2000), ”A Theory of Banking Capital”, Journal of
Finance.
Diamond, D.W. and Rajan, R.G., (2001), ”Liquidity risk, Liquidity Creation and
Financial Fragility: A Theory of Banking”, NBER Working Paper.
Deriantino, Elis, Ndari Suryaningsih, dan Diana Yumanita, (2014), “Early Warning
Indicator Risiko Likuiditas Perbankan”, Bank Indonesia Working Paper
Galati, G., and Richhild M., 2011, “Macroprudential Policy–a Literature Review,” BIS
Working Paper No. 337, Bank for International Settlements.
Gunadi, Iman, Cicilia A. Harun, Sagita Rachmanira, dan Tevy Chawwa, (2014),
“Identifikasi Transmisi Risiko Sistemik”, Bank Indonesia Working Paper.
Gunadi, Iman, Cicilia A. Harun dan Aditya A. Taruna, (2015), “Penyempurnaan
ISSK”, Bank Indonesia Research Paper.
Harun, Cicilia A. dan Raquela Renanda Nattan, (2014), “Pembentukan Indikator
Likuiditas AL/NCD Perbankan Indonesia”, Bank Indonesia Working Paper.
Harun, Cicilia A. dan Sagita Rachmanira, (2013), “Kerangka
Makroprudensial Indonesia”, Bank Indonesia Working Paper.

Kebijakan

International Monetary Fund. 2011, “Macroprudential Policy: An Organizing
Framework,” IMF Occasional Paper.
Muljawan, Dadang, Cicilia A. Harun, dan Aditya A. Taruna, (2014), “Banking
Liquidity Management: Redux”, Bank Indonesia Working Paper.

33