JUAL BELI SALAM DAN ISTISNA.docx

TUGAS INDIVIDU
KONSEP DASAR JUAL BELI SALAM DAN ISTISNA’
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Kontemporer
Perbankan yang diampu oleh Dosen Imam Mustofa, SHI., MSI.

OLEH:
DESI WAHYUNI
NPM.141259810

KELAS C

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
METRO
Tp. 2016/2017
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perdagangan adalah jalan mendapatkan keuntungan yang legal, dalam
kitab al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan “hukum setiap transaksi jual beli
adalah mubah (diperbolehkan)”.1 Sedangkan riba atau bunga adalah haram,
sebab uang tidak bisa melahirkan uang. Jual beli merupakan salah satu
aktivitas bisnis yang sudah berlangsung cukup lama dalam masyarakat.
Namun demikian, tidak ada catatan yang pasti kapan awal mulanya aktivitas
bisnis secara formal. Untuk menghindari praktek riba yang dilarang oleh
Allah SWT maka lahirlah bank Islam yang di Indonesia disebut bank syariah.
Bank syariah adalah lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar
mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas investasi atau jual beli
serta memberikan pelayanan jasa simpanan/perbankan bagi para nasabah.2
Dalam Islam, ada beberapa jenis jual beli yang dibolehkan. Di
antaranya adalah jual beli salam (bay’ as-salam). Jual beli ini dilakukan
dengan cara memesan barang lebih dahulu dengan memberikan uang muka.
Pelunasannya dilakukan oleh pembeli setelah barang pesanan diterima secara
penuh sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.3 Bentuk lainnya adalah
bay’ al-muqayyadah, (barter) yaitu jual beli dengan cara menukar satu barang
dengan barang lain. Misalnya, menukar beras dengan gandum, atau menukar
rotan dengan minyak tanah dan lain-lain. Jual beli yang cukup populer adalah
bay’ al-mutlaq, yaitu jual beli barang dengan alat tukar yang telah disepakati

seperti membeli tanah dengan mata uang rupiah, ringgit, dolar, yen dan lainlain. Ada lagi bay’ al-musawah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan cara
pihak penjual menyembunyikan atau tidak menjelaskan harga modalnya.
1 Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’i, terj. Usman
Sya’roni, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2008), hal. 258.
2 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, (Damaskus: Dar
āl-fikr, 1428H/2007M), cet ke-10, hal. 30.
3 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Menejeman Bank Syariah, (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2012), hal.27

2

Namun demikian, pihak pembeli rela dan tidak ada unsur pemaksaan di
dalamnya. Jual beli dalam bentuk ini cukup berkembang pesat dewasa ini dan
dibenarkan menurut ketentuan bisnis syariah. Alasannya karena terdapat
unsur suka rela di antara penjual dan pembeli. Kebanyakan jual beli yang
berlaku sekarang adalah jual beli dalam bentuk ini.
Jenis lainnya adalah bay’ bisamail ajil, yaitu jual beli dengan sistem
cicilan atau kredit.4 Biasanya dalam jual beli bentuk ini ada penambahan
harga dari harga kontan (cash) jika disepakati oleh pihak penjual dan pembeli.
Ketentuan ini sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali,

al-Muayyad Billah dan Jumhur Ahli Fikih dan pendapat ini dikuatkan oleh
Imam Syaukani. Aktivitas bisnis ada dalam bentuk bay’samsarah, (broker)
yaitu jual beli dengan memakai perantara. Misalnya, pak Ahmad mau menjual
sebuah rumah sewanya lalu ia meminta kepada pak Iwan untuk menjualkan
rumah tersebut. Menurut Ibn Abbas hal ini dibolehkan seperti perkataan
seseorang kepada perantara; juallah baju ini dengan harga sekian, jika lebih
maka kelebihannya untukmu. Ibn Sirin berkata; boleh seseorang berkata;
juallah barang ini dengan harga sekian, jikalebih maka kelebihannya untukmu
atau untuk kita berdua. Hal ini didasarkan kepada Hadis yang menjelaskan
bahwa mu’amalah orang muslim itu sesuai dengan syarat yang mereka
sepakati.5
Ada juga aktivitas bisnis dalam bentuk bay’ istishna’ yaitu akad jual
barang pesanan di antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran
tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di
pasaran.6 Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung
kesepakatan kedua belah pihak. Makalah ini akan membahas jual beli Salam
dan Istishna’ yang akan dijelaskan sebagai berikut.
BAB II
4 Ibid.., h.27
5 Siti Mujiatun, “JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN

ISTISNA’”, JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS, Vol.13, No.2/September 2013, h.5-6.
6 M.syafi’i Antonio, Bank syari'ah: analisis kekuatan, peluang, kelemahan, dan
ancaman, (Jakarta:Ekonisia, 2002), h.118

3

PEMBAHASAN
A. Jual Beli Salam
1.

Definisi Jual Beli Salam
Jual beli salam (pesan) adalah menjual barang yang tidak hadir
dan belum bisa dilihat ketika akad sehingga masih disebutkan ciri-cirinya
saja dan menjadi tanggungan penjual untuk mendatangkannnya.7AlBujairami menjelaskan makna salam, sebagaimana dikutip oleh Imam
Mustofa, mengatakan bahwa salam secara etimologi sebagai berikut:
“lafaz salam dan salaf adalah isim masdar lafaz aslama dan lafaz aslafa.
Adapun mazdar lafad aslama dan aslafa adalah lafaz islam dan lafaz
islaf. Berbeda dengan lafaz aslafa yang digunakan dalam bab salam dan
bab qard, lafaz salam ini khusus untuk bab salam saja”.
Arti salam adalah memberikan atau al-Taslif. Jual beli salam dan

salaf adalah jual beli dengan sistem pesanan, pembayaran dimuka,
sementara barang diserahkan diwaktu kemudian. Dalam hal ini pembeli
hanya memberikan rincian spesifikasi barang yang dipesan.8 Prinsip yang
harus dianut adalah harus diketahui terlebih dahulu jenis, kualitas, dan
jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.

9

Pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ayat 34
mendefinisikan “salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan
jual beli yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan
barang.” Sebagai contoh, Pak ali memesan sejumlah pakaian kepada toko
Arto. Pak ali menjelaskan spesifikasi pakaian yang dipesannya dan
membayar harga pakaian tersebut. Setelah pakaian ada, toko Arto
mengirim pakaian kepada Pak Ali.
7 Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, (Jawa Timur : Yayasan PP.
Darusslam Blokagung Banyuwangi, 2014), h.35.
8 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2016), h.85-86.
9 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2014), h.172.

4

Salam diperbolehkan oleh Rasululluah SAW dengan beberapa
syarat yang harus dipenuhi. Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk
memenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk
memulai masa tanam dan untuk menghidupi keluarganya sampai waktu
panen tiba. Setelah pelarangan riba, mereka tidak dapat lagi mengambil
pinjaman ribawi untuk keperluan ini sehingga diperbolehkan bagi mereka
untuk menjual produk pertaniannya di muka. 10 Jual beli salam ini,
biasanya berlaku untuk jual beli yang objeknya adalah agrobisnis.
Misalnya, gandum, padi, tebu dan sebagainya.
Dalam jual beli salam, spesifikasi dan harga barang pesanan
disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang
pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Dalam hal Bank
bertindak sebagai pembeli. Bank Syariah dapat meminta jaminan kepada
nasabah untuk menghindari risiko yang merugikan Bank. Barang pesanan
harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis,
spesikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai

dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika
barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus
bertanggung jawab atas kelalaiannya.11
2. Dasar Hukum Jual Beli Salam
Jual beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan
dalil-dalil Al-quran dan As-Sunnah serta ijma’, juga sesuai dengan analogi
akal yang benar (al-qiyas ash-shahih).12 Pertama: Dalil dari Al-quran
adalah firman Allah Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 28213:

10 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h.
91.

11 Siti Mujiatun, “JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN
ISTISNA’”, JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS, Vol.13, No.2/September 2013, h.5-6.
12 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer., 86.
13Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, Islamic Financial Management : Teori,
Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasaabah, Praktisi, dan
Mahasiswa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008), h.173
5


“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.” 14
Sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma,
menjadikan ayat ini sebagai dasar bolehnya jual beli salam. Beliau berkata,
“Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf, yang terjamin hingga tempo
yang ditentukan, telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Alquran.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak dengan cara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.’” (Hadis ini dinilai sahih
oleh Al-Albani dalam kitab Irwa’ Al-Ghalil, no. 340, dan beliau katakan,
“Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi’i, no. 1314; Al-Hakim, 2:286;
Al-Baihaqi, 6:18)
Kedua: Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Abdullah bin Abbas
radhiallahu ‘anhuma yang berbunyi:
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah,
sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam
tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, ‘Barang
siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah
takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam

timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga
tempo yang telah diketahui (oleh kedua pihak)pula.”
Ibnu Abbas r.a mengungkapkan, “Aku bersaksi bahwa salam
(salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan Allah
pada kitab-Nya

dan diizinkan-Nya,” seraya membaca ayat tersebut

diatas.15
Ketiga: Ulama Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang
kebolehan sistem jual beli salam ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu

14 QS. Al-Baqarah (2) : 282
15 Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, Islamic Financial Management : Teori,
Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasaabah, Praktisi, dan
Mahasiswa., h.173

6

Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudamah rahimahullah

menyetujui penukilan ijma’ ini, dengan menyatakan,
“Semua ulama, yang kami hafal, telah sepakat menyatakan bahwa assalam itu boleh.” (Al-Mughni, 6:385)
Selain landasan diatas, dalam salam diindonesia mempunyai
legalitas yang jelas, yaitu dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) pasal 100-10316 yang berbunyi:
Pasal 100
(1)

Akad bai’ salam terikat dengan adanya ijab dan kabul seperti dalam

penjualan biasa.
(2)

Akad bai’ salam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

sesuai dengan kebiasaan dan kepatutan.
Pasal 101
(1)

Jual beli salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan kualitas


barang sudah jelas.
(2)

Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran atau timbangan dan

atau meteran.
(3)

Spesifikasi barang yang dipesan harus diketahui secara sempurna

oleh para pihak.
Pasal 102
Bai’ salam harus memenuhi syarat bahwa barang yang dijual, waktu, dan
tempat penyerahan dinyatakan dengan jelas.
Pasal 103
Pembayaran barang dalam bai’ salam dapat dilakukan pada waktu dan
tempat yang disepakati.
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
Adapun rukun salam adalah;17
16 Bagus Ahmadi, “AKAD BAY’, IJARAH DAN WADI’AH PERSPEKTIF
KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH (KHES)”, Epistemé, Vol. 7, No. 2, Desember
2012, h.12
17 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah.., h. 90.
7

a.

Muslam (pembeli)18 adalah pihak yang membutuhkan dan memesan
barang.

b.

Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.

c.

Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).

d.

Muslam fiih adalah barang yang dijual belikan.19

e.

Shigat adalah ijab dan qabul.20
Ulama telah bersepakat bahwa salam diperbolehkan dengan

syarat sebagai berikut:21
1) Jenis objek jual beli salam harus jelas
2) Sifat jual beli salam harus jelas
3) Kadar atau ukuran objek jual beli salam harus jelas
4) Jangka waktu pemesanan objek jual beli salam harus jelas
5) Asumsi modal yang dikeluarkan harus diketahui masing-masing
pihak.
Persyaratan salam, khususnya syarat modal dan barang secara
lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Syarat Modal
Modal dalam salam harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Harus jelas jenisnya, misalnya satuan rupiah, dollar, atau mata
uang lainnya;
2) Harus jelas macamnya, bila dalam suatu negara terdiri dari
beberapa mata uang. Bila modal berupa barang, misalnya beras
harus jelas barang jenis apa;
3) Harus jelas sifatnnya dan kualitasnya, baik sedang atau buruk;
4) Harus jelas kadar modal jika modal memang sesuatu yang
berkadar;

18 Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, Islamic Financial Management : Teori,
Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasaabah, Praktisi, dan
Mahasiswa., h.173
19 Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah., h.35.
20 Wiroso, Produk Perbankan Syariah, (Jakarta, LPFE, 2011), h.226
21 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer., 89.

8

5) Modal harus segera diserahkan dilokasi akad atau transaksi
sebelum kedua belah pihak berpisah;
b) Syarat barang yang dipesan (muslam fiih)
Barang yang menjadi objek jual beli salam harus memenuhi
syarat sebgai berikut:
1) Harus jelas jenisnya; seperti beras, jagung, dan sejenisnya;22
2) Harus jelas macamnya; seperti beras rojo lele, pandan wangi dan
sejeninya;
3) Harus jelas sifat dan kualitasnya; seperti beras IR yang bagus,
sedang, dan yang berkualitas rendah;
4) Harus jelas kadarnya; seperti dalam satuan Kg, takaran, cm,
bilangan dan ukuran lainnya.
5) Barang tidak dibarter dengan barang sejenis yang akan
menyebabkan riba fadl;
6) Barang yang dipesan harus dijelaskan spesifikasinya23;
7) Penyerahan barang harus diwaktu kemudian, tidak bersamaan
dengan penyerahan harga pada waktu terjadi akad;24
8) Kadar objek akad dalam salam harus jelas dan pasti, karena dalam
jual beli salam tidak berlaku khiyar syarat kedua belah pihak atau
salah satunya;
9) Tempat penyerahan barang harus jelas dan harus ditetapkan sesuai
dengan kesepakatan25 ini adalah persyaratan menurut Hanafiyah;
Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu
transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan
kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam
maka hal ini disebut salam paralel.
Salam paralel ini dapat dilakukan dengan syarat26:
22 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer., 90.
23 Wiroso, Produk Perbankan Syariah.., h.226
24 Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah., h.36.
25 Sofyan Safri Harahap, et.al , Akuntansi Perbankan Syariah, (Jakarta: LPFE, 2010),
h.168
26 Ibid., h.167

9

a.

Akad kedua antara bank dan pemasok terpisah dari akad pertama
antara bank dan pembeli akhir

b.

Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah

B. Jual Beli Istisna’
1. Definisi Jual Beli Istishna’
Berasal dari kata ‫( صنع‬shana’a) yang artinya membuat kemudian
ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ‫( إستصنع‬istashna’a) yang berarti
meminta dibuatkan sesuatu. Al-Istishna’ adalah kontrak order yang
ditandatangani

bersama

antara

pemesan

dengan

produsen

untuk

pembuatan suatu jenis barang tertentu atau suatu perjanjian jual beli
dimana barang yang akan diperjualbelikan belum ada.27
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di
buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap
barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di
buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara
bahan bakunya dari pihak penjual. Secara istilah ialah akad jual beli
antara pemesan dengan penerima pesanan atas sebuah barang dengan
spesifikasi tertentu.28 Meneurut jumhur ulama, istishna’ sama dengan
salam yaitu dari segi objek pesanannya yaitu harus dibuat atau dipesan
terlebih dahulu dengan ciri-ciri khusus. Perbedaannya hanya pada sistem
pembayarannya, salam pembayarannya dilakukan sebelum barang
diterima dan istishna’ bisa diawal, ditengah, dan diakhir pesanan.29
Jenis jual beli ini dipergunakan dalam bidang manufaktur, konsep
ini diterapkan Bank Syariah untuk membiayai nasabahnya yang ingin
membangun konstruksi rumah atau pabrik.30 Pengertian bay’ istishna’
adalah akad jual barang pesanan di antara dua belah pihak dengan
27 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta; UII Press,
2008), h.32
28 Gita Danupranata, Manjaemen Perbankan Syariah, ( Jakarta : Salemba Empat, 2013).
h.112
29 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah., h.120
30 Ibid., h.32

10

spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum
diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara
kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Jual
beli istishna’ dapat dilakukan dengan cara membuat kontrak baru dengan
pihak lain. Kontrak baru tersebut dengan konsep istishna’ paralel.31 Akad
istishna’ terdiri dari 2 jenis, diantaranya adalah :
1. Akad istishna’
Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dan dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesanan ( pembeli/mustashni’) dan penjual
(pembuat/shani’).32
2. Istishna’ Paralel
Istishna’ paralel adalah suatu bentuk akad istishna’ antara penjual
dan pemesan, dimana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan,
penjual melakukan akad istishna’ dengan pihak lain (sub kontraktor) yang
dapat memenuhi aset yang dipesan pembeli. Syaratnya akad istishna’
pertama tidak bergantung pada istishna’ kedua.33

2. Dasar Hukum Istishna’
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah
umum tidak membolehkan istishna’. Karena istishna’ merupakan jual beli
barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh
Rasulullah SAW, karena barang yang menjadi objek jual beli belum ada
pada akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan dengan ijarah, karena
bahan yang akan digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual
atau sani’. Hanya saja jika berlandaskan pada istihsan ulama hanafiah
membolehkan. Karena, akad semacam ini sudah menjadi budaya yang
31 Siti Mujiatun, “JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN
ISTISNA’”, JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS,), Vol.13, No.2/September 2013, h.11.
32 __,Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016),
h.50
33 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema
Insani, 2001), h.159

11

dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat.34 Bahkan telah disepakati
(ijma’) tanpa ada yang mengingkarinya. Imam malik, Syafi’i, dan Ahmad
berpendapat bahwa istishna’ diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya
akad salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum
ada. Rasulullah juga pernah pesan cincin di mimbar.
Selain landasan diatas, dalam istishna’ diindonesia mempunyai
legalitas yang jelas, yaitu dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) pasal 104-10835 yang berbunyi;
Pasal 104
Bai’ istisna mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang
yang dipesan.
Pasal 105
Bai’ istisna dapat dilakukan pada barang yang dapat dipesan.
Pasal 106
Dalam bai’ istisna, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus
sesuai permintaan pemesan.
Pasal 107
Pembayaran dalam bai’ istisna dilakukan pada waktu dan tempat yang
disepakati.
Pasal 108
(1)

Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satu pihak pun boleh

tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.
(2)

Jika objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasinya,

maka pemesan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan
atau membatalkan pesanan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam akad istishna’,
yaitu pertama, kepemilikan barang objek akad adalah pemesanan, hanya
saja barang tersebut masih dalam tanggungan penerima pesanan, atau
34 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah., h.34
35Siroj
Munir,
“Kompilasi
Hukum
Ekonomi
Syariah”,
dalam
http://www.fikihkontemporer.com/2016/04/kompilasi-hukum-ekonomi-syariah.html, diunduh pada
02 Maret 2017.

12

pembuat barang. Sementara penerima pesanan atau penjual mendapat
kompensasi materi sesuai dengan kesepakatan, bisa uang atau barang.
Kedua, sebelum barang yang dipesan jadi, maka akad istishna’ bukanlah
akad yang mengikat. Setelah barang tersebut selesai dikerjakan, maka
kedua belah pihak mempunyai hak pilih (khiyar) untuk melanjutkannya
atau mengurungkannya. Dalam hal ini si penerima pesanan menjual barang
yang dipesan kepada pihak lain, diperbolehkan, karena akad tersebut
bukan akad yang mengikat. Ketiga, apabila pihak yang menerima pesanan
datang dengan membawa sebuah barang kepada pemesan, maka penerima
pesanan tersebut tidak mempunyai hak khiyar, karena secara otomatis ia
memang merelakan barang terebut bagi pemesan. 36
3. Rukun dan Syarat Istisna’
Rukun jual beli istishna’ adalah pemesan (mustasni’), penjual atau
pembuat barang (sani’), barang atau objek akad (masnu’), dan sighat (ijab
dan qabul). Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkan transaksi jual
beli istishna’ adalah:
1) Adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat barang, karena ia
merupakan objek transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.37 Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan
sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah
satunya adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan
pembeli. Biasanya penjual adalah produsen. Sedangkan pembeli adalah
konsumen

konsumen.

Pada

kenyataannya,

konsumen

kadang

memerlukan barang yang belum di hasilkan sehingga konsumen
melakukan transaksi jual beli dengan produsen dengan cara pesanan. Di
dalam perbankan syariah, jual beli Istishna’ lazim di tetapkan pada
bidang konstruksi dan manufaktur.38
36 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer., 86
37 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah., h. 97
38 Abdi Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: Putra Media Nusantara,
2010), h. 210

13

2) Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dalam hubungan
antar manusia yang biasa digunakan untuk keperluan dan sudah umum
digunakan.
3) Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu untuk menyerahkan
barang pesanan, jika jangka waktu penyerahan barang ditetapkan, maka
kontak ini akan berubah menjadi akad salam.
C. Perbedaan Jual Beli Salam dan Istisna’
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni
jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ alma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam
dengan istisna’, yaitu:
1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad
berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat
akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
2. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula,
sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen
sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak
bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia
mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang
untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang
yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan
pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan
baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.39
SUBJEK
Pokok
Kontrak
Harga

SALAM
Muslam Fiihi
Di bayar saat

ISTISHNA

ATURAN DAN

Mashnu’

KETERANGAN
Barang di tangguhkan

Bisa saat

dengan spesifikasi.
Cara penyelesaian

39 Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2010), h.75

14

kontrak

kontrak, bisa

pembayaran merupakan

di angsur, bisa

perbedaan utama antara

dikemudian

salam dan istishna’.
Salam mengikat semua pihak

Sifat

Mengikat

hari
Mengikat

Kontrak40

secara asli

secara ikutan

sejak semula, sedangkan

(thabi’i)

(taba’i)

istishna’ menjadi pengikat
untuk melindungi produsen
sehingga tidak di tinggalkan
begitu saja oleh konsumen
secara tidak bertanggung

Kontrak

Salam Pararel Istishna’

Pararel

Pararel

jawab.
Baik salam pararel maupun
istishna’ pararel sah asalkan
kedua kontrak secara hukum

Objek

Barang-

Barang-barang

adalah terpisah.
Objek akab salam lebis luas

kontrak

barang yang

yang jelas

dibanding dengan istishna’

jelas

spesifikasinya

yang hanya terbatas barang

spesifikasiny

dan harus

yang dapat dibuat dengan

a dan bisa

barang yag

keterampilan atau mesin. 41

barang atau

dapat dibuat

komoditas

oleh tangan

alami yang

manusia atau

bukan buatan

mesin.

manusia,
seperti buahbuahan.

40 Wiroso, Produk Perbankan Syariah.., h.248
41 Ibid., h.245

15

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Jual beli salam (pesan) adalah menjual barang yang tidak hadir dan belum
bisa dilihat ketika akad sehingga masih disebutkan ciri-cirinya saja dan
menjadi tanggungan penjual untuk mendatangkannnya. Barang pesanan
harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis,
spesikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai
dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika
barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus
bertanggung jawab atas kelalaiannya

16

2. Jual beli istishna’ adalah akad jual barang pesanan di antara dua belah
pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan
belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat
secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belah
pihak. Jual beli istishna’ dapat dilakukan dengan cara membuat kontrak
baru dengan pihak lain. Kontrak baru tersebut dengan konsep istishna’
paralel.
3. Jual beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan dalil-dalil
Al-quran dan As-Sunnah serta ijma’, juga sesuai dengan analogi akal yang
benar (al-qiyas ash-shahih). Selain itu juga dijelaskan legalitasnya dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 100-103
4. Imam malik, Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa istishna’ juga
diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad salam, dimana barang
yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada. Rasulullah juga pernah
pesan cincin di mimbar. Selain landasan diatas, dalam istishna’
diindonesia mempunyai legalitas yang jelas, yaitu dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 104-108
5. Rukun jual beli salam adalah Muslam (pembeli), Muslam ilaih (penjual) ,
Modal atau uang, Muslam fiih adalah barang yang dijual belikan, dan
Shigat adalah ijab dan qabul. Sedangkan, rukun jual beli istishna’ adalah
pemesan (mustasni’), penjual atau pembuat barang (sani’), barang atau
objek akad (masnu’), dan sighat (ijab dan qabul).

17

DAFTAR PUSTAKA
_______,Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2016
Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2010
Abdi Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, Surabaya: Putra

Media

Nusantara, 2010
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, Damaskus: Dar ālfikr, 1428H/2007M, cet ke-10
Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’i, terj. Usman
Sya‟roni, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2008

18

Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, Jawa Timur : Yayasan
PP. Darusslam Blokagung Banyuwangi, 2014
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
Bagus Ahmadi, “AKAD BAY’, IJARAH DAN WADI’AH PERSPEKTIF
KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH (KHES)”, Epistemé, Vol.
7, No. 2, Desember 2012,
Gita Danupranata, Manjaemen Perbankan Syariah, Jakarta : Salemba Empat,
2013
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2016
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014
M.syafi’i Antonio, Bank syari'ah: analisis kekuatan, peluang, kelemahan, dan
ancaman, Jakarta:Ekonisia, 2002
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema
Insani, 2001
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta; UII
Press, 2008
QS. Al-Baqarah (2) : 282
Siroj

Munir,

“Kompilasi

Hukum

Ekonomi

Syariah”,

dalam

http://www.fikihkontemporer.com/2016/04/kompilasi-hukum-ekonomisyariah.html, diunduh pada 02 Maret 2017.
Siti Mujiatun, “JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN
ISTISNA’”, JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS,

Vol.13,

No.2/September 2013
Sofyan Safri Harahap, et.al , Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta: LPFE, 2010
Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, Islamic Financial Management :
Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan,
Nasaabah, Praktisi, dan Mahasiswa, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2008

19

Zainul Arifin, Dasar-Dasar Menejeman Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alvabet,
2012

20