Pengukuran Loyalitas Pelanggan Pada Produk-Produk Top Brand Indonesia Dengan Metode Net Promoter Score

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis

2.1.1 Pengertian Merek (Brand)

Merek (brand) telah menjadi elemen krusial yang berkontribusi terhadap kesuksesan sebuah organisasi pemasaran, baik organisasi bisnis maupun nirlaba, pemanufaktur maupun penyedia jasa, dan organisasi lokal, regional, global. Menurut UU Merek No.15 Tahun 2001 pasal 1 ayat 1, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (tjiptono, 2011: 3).

Sedangkan American Marketing Association mendefinisiskan merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa penjual atau kelompok penjual dan untuk mendiferensiasikannya dari barang atau jasa pesaing (Kotler dan Keller, 2009: 258).

Suatu brand pada gilirannya memberi tanda pada konsumen mengenai sumber produk tersebut. Di samping itu, brand melindungi, baik konsumen maupun produsen dari para kompetitor yang berusaha memberikan produk-produk yang tampak identik. Brand sebenarnya merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan keistimewaan, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Brand terbaik memberikan jaminan mutu. Akan tetapi, brand lebih dari sekadar simbol. Menurut Tjiptono (2011: 40) sebuah merek lebih dari sekedar produk.


(2)

Produk adalah suatu yang di produksi di pabrik, sedangkan produk adalah suatu yang dibeli oleh konsumen.

Brand adalah indikator value yang ditawarkan kepada pelanggan. Brand merupakan aset yang menciptakan value bagi pelanggan dengan memperkuat kepuasan dan kualitasnya. Brand menjadi alat ukur bagi kualitas value yang ditawarkan (Kartajaya, 2006: 11). Brand merupakan wajah dari sebuah organisasi. Brand mencerminkan bagaimana organisasi , apa yang akan dilakukan organisasi, apa yang akan konsumen dapatkan dari organisasi tersebut, dan menunjukkan bahwa kita lebih baik dari pesaing. Jika merek bisa memberikan pengalaman baik pada konsumen, maka sebagian besar konsumen akan memilih untuk tetap menggunakan merek tersebut.

Brand dapat memiliki enam level pengertian (Kotler, 2000: 460) yaitu sebagai berikut:

1. Atribut

Brand mengingatkan pada atribut tertentu. Audi memberi kesan sebagai mobil yang mahal, dibuat dengan baik, dirancang dengan baik, tahan lama, dan bergengsi tinggi.

2. Manfaat

Brand Bagi konsumen kadang sebuah brand tidak sekadar menyatakan atribut, tetapi manfaat. Mereka membeli produk tidak membeli atribut, tetapi membeli manfaat. Atribut yang dimiliki oleh suatu produk dapat diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan atau emosional. Sebagai contoh : atribut “tahan lama“ diterjemahkan menjadi manfaat fungsional


(3)

“tidak perlu cepat beli lagi”, atribut “mahal“ diterjemahkan menjadi manfaat emosional “bergengsi”, dan lain-lain.

3. Nilai

Brand juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. Jadi, Audi berarti kinerja tinggi, keamanan, gengsi, dan lain-lain.

4. Budaya

Brand juga mewakili budaya tertentu. Audi mewakili budaya Jerman, terorganisasi, efisien, bermutu tinggi.

5. Kepribadian

Brand mencerminkan kepribadian tertentu. Audi mencerminkan pimpinan yang masuk akal (orang), singa yang memerintah (binatang), atau istana yang agung (objek).

6. Pemakai

Brand menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut.Audi menunjukkan pemakainya seorang diplomat atau eksekutif.

Merek sangat penting bagi perusahaan, konsumen tidak akan mengenali sebuah produk tanpa merek. Merek akan memudahkan konsumen untuk membeli produk pada waktu yang akan datang. Menurut Raphel, Raphel, dan Riye (2005:42) menyebutkan pentingnya merek:

1) Merek merupakan pembeda dengan pesaing

2) Merek menciptakan kepercayaan, pilihan yang disederhanakan, dan penghematan waktu dan usaha


(4)

4) Merek merupakan identitas bisnis yang unik meliputi (tapi tidak terbatas pada) kepribadian, kualitas, dan kesukaan.

Menurut Tjiptono (2011: 3) brand bermanfaat bagi produsen dan konsumen. Bagi produsen, brand berperan sebagai:

1) Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian sediaan dan pencatatan akuntansi

2) Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik

3) Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga pelanggan bisa dengan mudah memilih dan membeli kembali pada lain waktu

4) Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari para pesaing

5) Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen 6) Sumber financial return, terutama dalam menyangkut pendapatan masa

datang.

Bagi konsumen, brand bisa memberikan beraneka macam nilai melalui sebuah fungsi dan fanfaat potensial. Kotler dan Keller (2009: 259) menjelaskan peran brand bagi konsumen adalah untuk mempermudah konsumen untuk menuntut atau meminta tanggung jawab terhadap kinerja brand kepada pabrikan atau distributor brand tersebut, konsumen bisa mengevaluasi produk yang sama, konsumen bisa mempelajari brand mana yang paling menguntungkan, konsumen bisa memilih brand yang bisa memberikan kemudahan bagi kehidupan konsumen.


(5)

McEnally dan de Chernatony dalam Tjiptono (2011: 56) mengembangkan konseptual evolusi proses branding yang terdiri dari enam tahap utama:

1. Unbranded Goods

Dalam tahap ini, barang diperlakukan sebagai komoditas dan sebagian besar tidak diberi merek. Pada tahap ini permintaan lebih besar dibandingkan penawaran.

2. Merek sebagai referensi/acuan

Dalam tahap ini, tekanan persaingan menstimulasi para produsen untuk mendefinisikan produknya dari output pesaing.

3. Merek sebagai kepribadian

Dalam tahap ini, konsumen menghadapi begitu banyak merek yang semuanya menyampaikan janji fungsional. Untuk menciptakan diferensiasi, pemasar mulai mnyertakan nilai emosional pada merek dan mengkomunikasikan melalui metafora merek.

4. Merek sebagai ikon (icinic brands)

Pada tahap ini, makna merek telah berkembang sedemikian rupa sehingga merek telah menjadi simbol tertentu bagi konsumen. Konsumen sudah erasa sangat dekat dengan merek, bahkan sudah menjadi bagian dari merek tersebut.

5. Merek sebagai perusahaan

Dalam tahap ini, merek memiliki identitas kompleks dan banyak poin kontak antara konsumen dan merek. Karena merek sama dengan perusahaan, semua


(6)

stakeholder akan mempersepsikan merek (perusahaan) dengan cara yang sama.

6. Merek sebagai kebijakan (policy)

Pada tahap ini, merek dan perusahaan diidentifikasi secara kuat dengan isu-isu sosial, etis, dan politik tertentu. Konsumen berkomitmen pada merek dan perusahaan yang memiliki pandangan yang sama.

2.1.2 Peraturan Branding

Menurut Tai dan Chew (2012: ix) ada sepuluh aturan branding yang harus dipatuhi agar brand menjadi besar dan kuat.

1. Persepsi Adalah Kenyataan

Branding bukanlah pertarungan untuk menentukan siapa yang dapat membuat produk yang lebih baik, tetapi pertarungan untuk menentukan siapa yang dapat menciptakan persepsi yang lebih baik.

2. Keberuntungan Untuk yang Pertama

Menjadi yang pertama akan memberikan kesempatan untuk memantapkan merek suatu produk di dalam benak pelanggan sebelum muncul pesaing. 3. Membuat Kategori Baru

Membuat kategori yang akan menjadikan suatu merek tersebut menjadi merek yang pertama diingat oleh pelanggan, dengan promosi agresif.

4. Fokus

Merek yang terfokus cenderung menghasilkan lebih banyak uang dalam jangka panjang dibandingkan merek tidak terfokuskan.


(7)

5. Mendiferensiasi atau Menjual Murah

Tidak mungkin membangun suatu merek tanpa adanya diferensiasi. Apabila pelanggan tidak dapat membedakan suatu produk dengan produk lainnya, maka pelanggan akan membeli produk dengan harga yang lebih murah.

6. Menggunakan Hubungan Masyarakat Untuk Membangun Merek

Humas memiliki kredibilitas yang tidak dimiliki oleh iklan, tetapi dibutuhkan iklan untuk memelihara suatu merek.

7. Menemukan Nama yang Hebat

Merek yang digunakan harus merek yang unik dan mudah diingat oleh pelanggan.

8. Selalu Konsisten

Merek yang digunakan harus selalu konsisten agar pelanggan tidak bingung dan mulai membelot kepada merek yang lain.

9. Mencari Musuh Bukan Teman

Untuk membangun merek yang kuat, diperlukan alasan keberadaannya dan membuktikan kepantasannya untuk tetap ada. Ketika sebuah merek memiliki lawan yang kuat, maka merk tersebut akan mendapatkan alasan untuk diterima dunia.

10.Mengetahui Waktu yang Tepat Untuk Meluncurkan Merek Kedua

Ketika suatu merek tidak dapat mewakili segalanya, maka lebih baik diperkenalkan merek kedua daripada memperluas merek pertama dan mengaburkan maknanya.


(8)

2.1.3 Brand Equity (Ekuitas Merek)

Menurut Kotler dan Keller (2009: 263) ekuitas merek adalah nilai tambah yang diberikan pada produk dan jasa. Nilai ini bisa dicerminkan dalam cara konsumen berpikir, merasa, dan bertindak terhadap merek, harga, pangsa pasar, dan profitabilitas yang dimiliki perusahaan. Ekuitas merek merupakan aset tak berwujud yang penting, yang memiliki nilai psikologis dan keuangan bagi perusahaan.

Sedangkan menurut Aaker dalam Tjiptono (2011: 96), ekuitas merek adalah seperangkat aset dan kewajiban (liabilities) merek yang terkait dengan sebuah merek, nama dan simbolnya yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan.

Aaker dalam Situmorang (2012: 197) mengklasifikasikan elemen-elemen ekuitas merek dalam lima kategori, yaitu brand awareness, brand association, perceived quality, brand Loyalty, dan other proprierty brand asset.

1. Brand awareness (kesadaran merek)

Brand awareness adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk membeli, mengingat kembali suatu merek sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu. Tingkatan Brand awareness yang berbeda dapat digambarkan dalam satu piramida berikut ini.


(9)

Gambar 2.1 Piramida Brand Awareness

Peran Brand awareness dalam brand equity tergantung pada tingkatan akan pencapaian kesadaran dibenak konsumen. Tingkatan Brand awareness yang paling rendah adalah brand recognition (pengenalan merek) atau disebut juga sebagai tingkatan peningkatan kembali dengan bantuan (aided recall). Tingkatan berikutnya adalah tingkatan brand recall (pengingatan kembali merek) atau tingkatan pengingatan kembali merek tanpa bantuan (unaided recall) karena konsumen tidak perlu dibantu untuk mengingat merek.

Awareness juga mempengaruhi persepsi dan tingkah laku. Brand awareness merupakan key of brand asset atau kunci pembuka untuk masuk ke elemen lainya. Jadi jika awareness itu sangat rendah maka hampir bisa dipastikan bahwa ekuitas mereknya juga rendah. Menurut Soehadi dalam Situmorang (2012:


(10)

199) awareness dikatakan tinggi jika konsumen dapat mengingat merek, baik sebelum proses pembelian, ketika dalam proses pembelian, maupun ketika konsumen sedang mengkonsumsi produk pesaing.

Meningkatkan awareness adalah suatu mekanisme untuk memperluas pasar merek. Suatu merek seharusnya memberikan suatu alasan untuk menarik perhatikan dan seharusnya itu bisa dikenang. Banyak cara yang bisa dilakukan, namun hal yang paling pokok adalah menjadi berbeda dan istimewa. Bila terlalu banyak kelas produk mempunyai pendekatan komunikasi yang sama, maka akan sulit untuk menjadi istimewa. Tentu saja perlu untuk menciptakan kaitan antara merek dan kelas produk.

2. Brand association (asosiasi merek)

Brand association (asosiasi merek) adalah segala kesan yang muncul di benak seseorang yang terkait dalam ingatannya mengenai suatu merek. Berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut brand image. Pada umumnya asosiasi merek (terutama yang membentuk brand image-nya) menjadi pijakan bagi konsumen dalam mengambil keputusan pembelian dan loyalitasnya pada merek tersebut.

Aaker dalam Situmorang (2012: 200) menyebutkan ada lima fungsi asosiasi:

a. Help process/retrieve information (membantu penyusunan informasi) b. Differentiate (membedakan)

c. Reason to buy (alasan untuk membeli)


(11)

e. Basis for extentions (landasan untuk perluasan).

Menurut Soehadi dalam Situmorang (2012: 199) asosiasi dikatakan tinggi jika jika merek tertanam kuat dalam benak konsumen, disukai dan unik (keunikan yang tidak dimiliki oleh para pesaing). Brand association mencerminkan asosiasi yang dibuat oleh pelanggan terhadap sebuah merek tertentu. Asosiasi merek dikendalikan oleh identitas merek. Asosiasi merek yang kuat dapat membantu pelanggan memproses dan menerima informasi menjadi alasan pembeli serta menciptakan sikap atau perasaan positif terhadap merek bersangkutan.

3. Perceived quality (kesan kualitas)

Perceived quality dapat didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keungulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan.

Aaker dalam Situmorang (2012: 200) membagi perceived quality menjadi 6 dimensi:

a. Kinerja: melibatkan berbagai karakteristik operasional utama

b. Pelayanan: mencerminkan kemampuan memberikan layanan pada produk tersebut

c. Ketahanan: mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut

d. Keandalan: konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari suatu pembelian ke pembelian berikutnya

e. Karakteristik produk: bagian-bagian tambahan dari produk (feture), seperti remote control sebuah video, tape deck, sistem WAP untuk telepon genggam


(12)

f. Kesesuaian dengan spesifikasi: merupakan pandangan mengenai spesifikasi yang telahditentukan dan teruji.

Secara umum percieved quality dapat menghasilkan nilai-nilai sebagai berikut:

Alasan untuk membeli Differensiasi atau posisi Percieved quality Harga premium

Perluasan saluran distribusi Perluasan merek

4. Brand Loyalty (loyalitas merek)

Dengan pengelolaan dan pemamfaatan yang benar, brand loyalti dapat menjadi aset strategi bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang dapat diberikan brand Loyalty kepada perusahaan:

a. Reduced marketing cost (mengurang biaya pemasaran) artinya lebih murah mempertahankan pelanggan dibandingkan dengan upaya untuk mendapatkan pelanggan baru. Jadi biaya pemasaran akam mengecil jika brand Loyalty meningkat.

b. Trade leverage (meningkatkan perdagangan); loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan menghasilkan peningkatan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran.

c. Atracting new costumers (menarik minat pelanggan baru). Dengan banyaknya pelanggan suatu merek yang merasa puas dan suka pada merek tersebut akan menimbulkan perasaan yakin bagi para calon pelanggan untuk mengkonsumsi


(13)

merek tersebut, terutama jika pembelian yang mereka lakukan mengandung resiko tinggi.

d. Provide time to respond competitive threaths (memberi waktu untuk menanggapi ancaman pesaing). Brand Loyalty akan memberikan waktu pada sebuah perusahaan untuk merespon gerakan pesaing. Pelanggan yang loyal akan memberikan waktu pada perusahaan tersebut memperbarui produknya dengan cara menyesuaikan atau menetralisirnya.

5. Aset-aset merek yang lain seperti trade mark, Patern dan relationship dengan komponen saluran distribusi (Brand Identity).

Ekuitas merek menciptakan nilai yang sama baiknya bagi perusahaan maupun konsumen. seperti halnya manfaat yang telah diberikan ekuitas merek akan menguatkan proses informasi, rasa percaya diri dan pencapaian kepuasan dari pelanggan (Bagi Pelanggan). Sedangkan untuk perusahaan akan menguatkan efisiensi dan efektivitas program, loyalitas merek, harga atau laba, perluasan merek, peningkatan perdagangan, dan keunggulan kompetitif.

Sebagai aset perusahaan yang umurnya panjang, merek perlu dikelola dengan seksama agar nilai merek tidak menurun. Perusahaan harus memberikan perhatian khusus dalam pengelolaan merek, karena respon pelanggan akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana tindakan pemasar mengkomunikasikan merek.

Menurut kotler dan keller (2009: 277) ekuitas merek diperkuat oleh tindakan pemasaran yang secara konsisten menyampaikan arti suatu merek dalam hal:


(14)

1. Produk apa yang direpresentasikan oleh merek, apa manfaat inti yang diberikan, dan kebutuhan apa yang dipenuhi.

2. Bagaimana merek membuat produk menjadi unggul, dimana asosiasi merek yang kuat, disukai dan unuk harus berada dalam pikiran konsumen.

Memperkuat ekuitas merek membutuhkan inovasi dan relevansi diseluruh program pemasaran. Merek harus bergerak maju yaitu bergerak maju ke arah yang benar, dengan penawaran baru yang menarik dan cara-cara untuk memasarkannya. Suatu bagian penting dalam penguatan merek adalah menyediakan dukungan pemasaran yang konsisten dalam jumlah dan jenisnya.

Menurut Raphel, Raphel dan Raye (2007:17) ada empat karakteristik merek yang sukses:

1. Membangun citra: membuat bisnis sebagai bagian dari masyarakat

2. Segmentasi pasar: menekankan layanan atau barang dimana perusahaan unggul.

3. Barang yang inovatif: bekerjasama dengan para pabrikan untuk pajang dalam toko (in-store display), kondes, dan lain-lain.

4. Iklan yang kreatif: mengenalkan logo perusahaan atau merek untuk pengenalan secara instan.

Menurut kotler dan keller (2009: 257) inti merek yang berhasil adalah produk atau jasa yang hebat, didukung oleh perencanaan yang seksama, sejumlah besar komitmen jangka panjang, dan pemasaran yang dirancang dan dijalankan secara kreatif. Merek yang kuat menghasilkan loyalitaskonsumen yang tinggi.


(15)

Sebuah brand harus bisa beradaptasi dengan perubahan agar bisa selalu dicintai oleh pelanggan. Brand yang dulunya merupakan top of mind dalam masyarakat bisa mengalami kemunduran jika tidak bisa beradaptasi dengan perubahan, seperti perubahan selera konsumen. Jika sebuah brand sudah mulai jatuh, maka perusahaan harus mempertanyakan pada sistem apa yang terjadi ketidak seimbangan sehingga brand menurun.

Sebuah brand yang menjadi top of mind adalah sebuah brand yang mampu memberikan kenyamanan pada pelanggan. Brand tidak hanya memberikan memberikan apa yang diinginkan pelanggan, tetapi brand menyediakan apa yang dibutuhkan elanggan. Jika brand bisa mengerti akan pelanggan, maka pelanggan akan menjadi loyal.

2.1.4 Top brand indonesia

Top brand adalah merek yang selalu diingat konsumen ketika membeli suatu jenis produk, yang mampu menguasai pasar pada pada bidang atau kategorinya, yaitu brand yang mampu menarik konsumen untuk melakukan pembelian ulang.

Top brand indonesia adalah merek yang dirumuskan oleh Frontier Consulting Group berdasarkan mind share, market share, dan commitment share. Mind share mengidikasikan kekuatan merek di dalam benak konsumen kategori produk tersebut. market share menunjukkan kekuatan merek di dalam pasar tertentu mengenai perilaku pembelian aktual dari konsumen. Commitment share menjelaskan kekuatan merek dalam mendorong konsumen untuk membeli merek terkait dimasa yang akan datang. Dalam penilaian top brand indonesia, digunakan


(16)

dua kriteria, yaitu merek-merek yang meperoleh indeks minimum top brand dan dan merek-merek yang berada dalam tiga besar pada masing-masing kategori (suyanto, 2007: 1).

2.1.5 Perilaku Konsumen

Tujuan utama sebuah perusahaan adalah untuk mendapatkan profit. Untuk mencapai tujuan tersebut perusahaan harus mengenali siapa yang akan memberikan profit tersebut, yaitu konsumen. Perusahaan harus memberikan apa yang diinginkan konsumen, perusahaan harus mengerti akan konsumen, dan perusahaan harus mengetahui seluk beluk konsumen. Memenangkan hati konsumen adalah sebuah jalan untuk menuju profit. Untuk memenangkan hati konsumen, perusahaan harus memiliki sebuah keunggulan dari pesaing, karena para pesaing juga membidik konsumen yang sama. Untuk itu, perusahaan perlu mempelajari tentang perilaku komsumen yang dituju.

Menurut Setiadi (2013: 2) untuk memahami konsumen dan mengembangkan strategi pemasaran yang tepat, perusahaan harus memahami memahami apa yang konsumen pikirkan (kognisi) dan yang mereka rasakan (pengaruh), apa yang konsumen lakukan (perilaku), dan apa serta dimana (kejadian disekitar) yang memengaruhi serta dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan, dirasa, dan dilakukan konsumen.

AMA (American Marketing Association) dalam Supranto dan Limakrisna (2007: 3) mendefinisikan perilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara kognisi, afeksi, perilaku, dan dan lingkungannya dimana manusia melakukan kegiatan pertukaran dalam hidup mereka.


(17)

Definisi tersebut mememuat tiga hal penting:

1. Perilaku konsumen bersifat dinamis, sehingga susah ditebak/diramalkan

2. Melibatkan interaksi: kognisi, afeksi, perilaku dan kejadian disekitar/lingkungan konsumen

3. Melibatkan pertukaran, seperti menukarkan barang milik penjual dengan uang milik pembeli.

Menurut Kotler dan Keller (2009: 199) perilaku konsumen adalah studi tentang bagaimana individu, kelompok dan organisasi memilih, membeli, menggunakan, dan bagaimana barang, jasa, ide, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka.

Sedangkan menurut Setiadi (2013: 2) perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengonsumsi dan menghabiskan produk atau jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. Dan menurut Nitisusastro (2013: 22) perilaku konsumen adalah dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya, konsumen merefleksikan dan melaksanakan sejumlah sikap dan perilaku sebelum membuat keputusan pembelian.

Dari pengertian diatas perilaku konsumen adalah proses dan aktivitas seseorang berhubungan dengan pencarian, pemilihan, pembelian, penggunaan, serta pengevaluasian produk dan jasa demi memenuhi kebutuhan dan keinginan. Perilaku keputusan pembelian. Dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen mengacu pada tindakan-tindakan yang dilakukan individu yang berhubungan dengan proses


(18)

pengambilan keputusan dalam usaha memperoleh serta menggunakan barang atau jasa serta evaluasi konsumen setelah penggunaan produk dengan harapan dapat memuaskan mereka.

2.1.6 Jenis-jenis Konsumen

Nitisusastro (2013: 22) mengelompokkan konsumen menjadi dua kategori, yaitu kategori pertama adalah konsumen individu atau perseorangan atau perorangan, kategori kedua adalah konsumen institusi atau organisasi atau kelompok.

1. Konsumen individu atau perseorangan atau perorangan adalah konsumen yang melakukan kegiatan pembelian dengan tujuan konsumsi individu. Contohnya, seorang mahasiswa membeli buku di toko buku.

2. Konsumen institusi atau organisasi atau kelompok adalah konsumen yang melakukan kegiatan pembelian dengan tujuan konsumsi atau keperluan kelompok. Contohnya, seorang kepala sekolah yang membeli pakaian seragam untuk para muridnya.

2.1.7 Proses Pengambilan Keputusan Pembelian

Kegiatan dalam proses pembelian yang spesifik terdiri dari pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku pasca-pembelian. Secara rinci tahap-tahap tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Setiadi, 2013: 14).


(19)

1. Pengenalan Masalah

Proses membeli diawali saat pembeli menyadari adanya masalah kebutuhan yaitu adanya perbedaan antara kondisi sesungguhnya dengan kondisi yang diinginkannya. Kebutuhan ini dimulai dari kebutuhan normal hingga suatu tingkat tertentu dan berubah menjadi dorongan. Kebutuhan dapat muncul disebabkan oleh adanya rangsangan internal dan eksternal.

2. Pencarian Informasi

Seorang konsumen yang mulai timbul minatnya akan terdorong untuk mencari informasi lebih banyak. Salah satu kunci bagi pemasar adalah sumber-sumber informasi utama yang dipertimbangkan oleh konsumen dan pengaruh relatif dari masing-masing sumber terhadap keputusan membeli. Sumber informasi konsumen dapat berasal dari sumber pribadi (keluarga, teman, tetangga), komersial (iklan, kemasan, pameran), umum (media massa, organisasi konsumen), dan berasal dari sumber pengalaman (pernah menangani, menguji, dan menggunakan produk). Secara umum, konsumen menerima informasi terbanyak dari sumber komersial yaitu sumber yang didominasi oleh para pemasar. Pada sisi lain, informasi yang paling efektif adalah justru berasal dari sumber pribadi dimana sumber ini melaksanakan fungsi legitimasi dan evaluasi. Perusahaan harus menyusun strategi agar mereknya masuk ke perangkat pengenalan, perangkat pertimbangan, dan perangkat pilihan dari calon pembeli. Lebih jauh lagi, perusahaan harus mengidentifikasi merek lain yang ada di perangkat pilihan konsumen


(20)

sehingga perusahaan dapat merencanakan daya tarik produknya akan bersaing.

3. Evaluasi Alternatif

Kebanyakan model dari proses evaluasi konsumen sekarang bersifat kognitif, yaitu mereka memandang konsumen sebagai pembentuk penilaian terhadap produk terutama berdasarkan pada pertimbangan yang sadar dan rasional. 4. Keputusan Membeli

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi mempengaruhi tujuan membeli dan keputusan membeli. Faktor yang pertama adalah sikap orang lain, sejauh mana sikap orang lain akan mempengaruhi alternatif pilihan seorang akan tergantung pada dua hal yaitu intensitas sikap negatif orang lain tersebut terhadap alternatif pilihan konsumen dan motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain. Semakin tinggi intensitas sikap negatif orang lain akan semakin dekat hubungan orang tersebut dengan konsumen, maka semakin besar kemungkinan konsumen akan menyesuaikan tujuan membelinya. Tujuan pembelian lain juga akan dipengaruhi oleh faktor-faktor keadaan yang tidak terduga. Konsumen membentuk tujuan pembelian berdasarkan faktor pendapatan keluarga yang diharapkan, dan manfaat produk yang diharapkan. 5. Perilaku Sesudah Pembelian

Sesudah pembelian, konsumen akan mengalami beberapa tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan. Konsumen tersebut juga akan terlibat dalam tindakan sesudah pembelian dan penggunaan produk yang akan menarik minat


(21)

pemasar. Pekerja pemasar tidak akan berakhir pada saat suatu produk dibeli, tetapi akan terus berlangsung hingga periode sesudah pembelian.

6. Kepuasan Sesudah Pembelian

Beberapa pembeli tidak akan menginginkan produk cacat, yang lainnya akan bersifat netral dan beberapa bahkan mungkin melihat cacat itu sebagai sesuatu yang meningkatkan nilai dari produk. Kepuasan pembeli merupakan fungsi dari dekatnya antara harapan dari pembeli tentang produk dan kemampuan dari produk tersebut.

7. Tindakan Sesudah Pembelian

Jika konsumen mereka puas, maka ia akan memperlihatkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk membeli produk itu lagi. Konsumen yang tidak puas tersebut akan mengurangi ketidakpuasannya dengan meninggalkan atau mengembalikan produk tersebut, atau mereka mungkin berusaha mengurangi dengan mencari informasi yang mungkin mengkonfirmasikan produk tersebut sebagai bernilai tinggi (atau menghindari informasi yang mengkonfirmasikan produk tersebut sebagai bernilai rendah).

8. Penggunaan dan pembuangan setelah pembelian

Pemasar juga harus mengontrol bagaimana pembeli menggunakan dan membuang suatu produk. Jika konsumen menemukan pemakaian penggunaan baru, harusnya itu menarik minat pemasar karena penggunaan baru tersebut dapat diiklankan. Bila konsumen menyimpan produk di lemari mereka, berarti konsumen kurang puas. Apabila konsumen membuangnya, terutama jika merusak lingkungan seperti kasus kaleng bekas. Maka pemasar harus


(22)

mempelajari pemakaian dan pembuangan produk untuk mendapatkan isyarat-isyarat dari masalah-masalah dan peluang-peluang yang mungkin ada.

2.1.8 Teknik pendekatan untuk mempengaruhi keputusan konsumen

Menurut Setiadi (2013: 19) ada 4 teknik pendekatan untuk mempengaruhi keputusan konsumen

1) Teknik pendekatan stimulus respons

Teknik ini merupakan teknik penyampaian ide-ide atau pengetahuan tentang suatu produk dan merek kepada konsumen agar konsumen tertarik atau termotivasi untuk mengambil keputusan pembelian produk.

2) Teknik pendekatan humanistik

Teknik ini merupakan teknik pendekatan yang manusiawi. Dalam teknik ini kepustusan pembelian diserahkan sepenuhnya kepada konsumen, toko atau pramuniaga hanya bersifat sebagai penyedia.

3) Teknik pendekatan kombinasi antara teknik stimulus respons dan humanistik Pemilik toko atau pramuniaga dalam menghadapi konsumen lebih bersifat mengondisikan perilaku yang memungkinkan konsumen termotivasi untuk membeli, namun keputusan pemelian diserahkan sepenuhnya kepada pelanggan.

4) Teknik pendekatan dengan komunikasi yang persuasif

Teknik ini merupakan teknik pendekatan dengan menggunakan komunikasi persuasif melalui rumus AIDDAS.

a. Attention (perhatian) b. Interest (minat)


(23)

c. Desire (hasrat) d. Decision (keputusan) e. Action (tindakan) f. Satisfaction (kepuasan)

Sebelum menggunakan rumus AIDDAS, pemilik toko dan pramuniaga dapat pula menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Berilah perhatian kepada konsumen dengan pendekatan komunikasi yang efektif dan menarik.

b. Pelajarilah terlebih dahulu kebutuhan, keinginan, perasaan, sifat, dan ciri khas kepribadian konsumen.

c. Dengarkan pendapat konsumen, dan kemudian berilah keyakinan mengenai manfaat produk yang telah menjadi perhatiannya.

d. Manfaatkan prinsip rumus AIDDAS dengan ekspresi muka yang meyakinkan.

Begitu banyak faktor yang mempengaruhi pelanggan, dengan keterbukaan konsumen saat ini sangat rentan akan terjadinya perubahan perilaku konsumen. Menurut Yuswohady (2012: 20) kecepatan pemasar dalam mengendus dan merespon perubahan konsumen akan menentukan sukses atau gagalnya produk di pasar. Olehkarena itu perusahaan memang harus pintar-pintar merubah ancaman menjadi peluang, mengelola peluang menjadi profit, dan memaksimal kan kekuatan untuk hasil yang optimal. Fisk (2006) membagi customer dalam 10 dimensi:


(24)

Gambar 2.2 Bagan Dimensi Customer

1. Cutomer vision

Seorang marketer genius harus mempunyai visi tentang pelanggannya. Sebuah visi pastilah harus mempunyai tujuan, dan bersamaan dengan itu marketer juga membangun dan menyesuaikan merek. Visi perusahaan dan merek harus mengalir sejalan dengan kondisi pelanggan.

2. Customer strategy

Marketer genius harus masuk ke dalam tahap stategi, marketer akan menyususn dan memahami bagaimana segmentasi pelanggannya, dan bagaimana mengelola tiap-tiap segmen tersebut untuk mendapatkan profit 3. Cutomer insight

Seorang marketer genius harus mempunyai pengetahuan dan insting yang tajam mengenai pelanggannya. Marketer harus memperkaya insight yang lebih dalam soal pelanggan.

4. Customer propositions

Marketer genius memahami bagaimana perusahaan bisa mengajukan penawaran kepada pelanggan dengan cara yang tepat dan waktu yang tepat.

5. Customer solutions


(25)

6. Customer connections

Marketer genius harus bisa menciptakan dan memanfaatkan koneksi yang ada supaya tercipta kolaborasi dengan pelanggan untuk menemukan solusi yang inovatif.

7. Customer experiences

Marketer dituntut mampu menciptakan pengalaman yang baik sekaligus unik bagi pelanggan. Pengalaman harus berkesan agar pelanggan bisa melangkah ke tahap selanjutnya seperti pelanggan akan membicarakan produk kepada orang lain, melakukan repeat buying, dan yang paling bagus jika pelanggan menjadi loyal.

8. Customer service

Marketer harus menguasai bagaimana menyampaikan pelayanan yang benar kepada pelanggan, serta bagaimana pelayanan tersebut bisa di-customised sesuai kebutuhan dan keinginan setiap pelanggan.

9. Customer relationships

Bagaimna marketer genius menciptakan, menjaga, dan mengelola hubungan (relationship) dengan pelanggannya.

10.Customer performance

Marketer genius bersama perusahaannya harus bisa mewujudkan performa yang baik dengan terus meningkatkan hal-hal yang bisa memberikan value pada pelanggan. Marketer genius bekerja merubah kepuasan menjadi loyalitas dan merubahnya menjadi revenue dan profit.


(26)

Konsumen berbeda dengan pelanggan, Konsumen adalah setiap orang pemakai diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Griffin (2003: 31) pelanggan adalah seseorang yang menjadi terbiasa untuk membeli dari suatu perusahaan. Kebiasaan itu terbentuk melalui pembelian dan interaksi yang sering selama periode waktu tertentu.

2.1.9 Loyalitas Pelanggan

Secara bahasa loyal berarti setia, sehingga loyalitas diartikan sebagai kesetiaan yang timbul tanpa adanya paksaan, tetapi timbul dari kesadaran sendiri. Loyalitas terhadap produk/jasa perusahaan (merek) didefenisikan sebagai sikap menyenangi (favorable) terhadap sesuatu merek, yang direpresentasikan dalam pembelian yang konsisten terhadap merek itu sepanpanjang waktu.

Menurut Tjiptono (2007: 387) Loyalitas adalah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan sebuah produk, ataupun jasa yang sangat disukai, dipercaya, dan memiliki citra baik dengan konsisten di masa yang akan datang meskipun pengaruh situasi dan upaya pemasaran berpeluang untuk membuat perilaku berganti merek lain.

Setiadi (2013: 129) mengelompokkan lyalitas ke dalam dua kelompok, yaitu loyalitas merek (brand Loyalty) dan loyalotas toko (store Loyalty). Loyalitas merek adalah sikap menyenangi terhadap suatu merek yang direpresentsikan dalam pembelian yang konsisten terhadap merek itu sepanjang waktu. Loyalitas toko adalah adalah sikap pelanggan yang senang bertransaksi di suatu toko karena pelayanan yang sangat memuaskan.


(27)

Berdasarkan dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pelanggan adalah bagian terpenting dari perkembangan suatu perusahaan. Tanpa adanya pelanggan, perkembangan dari perusahaan tersebut menjadi susah dan tidak dapat menjalankan kegiatan perusahaan karena pelanggan adalah seseorang yang secara terus menerus datang kesuatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginan atau kebutuhannya dengan memiliki produk dari perusahaan tersebut.

Loyalitas konsumen juga dapat disimpulkan sebagai kesetiaan konsumen yang dipresentasikan dalam pembelian yang konsisten terhadap produk atau jasa sepanjang waktu dan ada sikap yang baik untuk merekomendasikan orang lain untuk membeli produk. Indikasi loyalitas yang sesunggunhnya diperlukan suatu pengukuran terhadap sikap yang dikombinasikan dengan pengukuran terhadap perilaku.

2.1.10 Tahap – Tahap Loyalitas Pelanggan

Menurut Griffin (2003: 35) menyatakan bahwa untuk menjadi pelanggan yang loyal, pelanggan harus melewati berbagai tahap dalam jangka waktu tertentu. Setiap tahap memiliki kebutuhan khusus yang perlu diperhatikan agar dapat bertumbuh ke tahap berikutnya.

Tahap – tahap tersebut antara lain: 1. Suspect

Orang orang yang berkemungkinan untuk menggunakan produk yang ditawarkan. Perusahaan percaya bahwa mereka akan memberi namun belum cukup yakin sehingga orang-orang ini ditetapkan sebagai suspect (tersangka).


(28)

2. Prospek

Orang yang membutuhkan produk yang ditawarkan dan memiliki daya beli. Biasanya, di tahap ini pelanggan mendengarkan rekomendasi dari orang lain. 3. Prospek diskualifikasi

Prospek yang telah dipelajari oleh organisasi dan ditemukan bahwa pelanggan tersebut tidak membutuhkan atau tidak memiliki daya beli.

4. Pelanggan pertama kali

Orang-orang yang telah membeli produk yang ditawarkan satu kali, dan kemungkinan merupakan pelanggan dari pesaing

5. Pelanggan berulang

Orang-orang yang telah membeli produk lebih dari dua kali. 6. Klien

Pelanggan yang membeli apa saja yang ditawarkan oleh perusahaan tertetu. Hubungan pelanggan dan perusahaan sangat kuat. Pelanggan kebal terhadap usaha pesaing untuk menarik mereka

7. Penganjur

Klien yang membeli apa saja yang ditawarkan oleh perusahaan tertentu secara teratur dan mendorong (merekomendasikan) orang lain untuk membeli produk dari perusahaan tersebut.


(29)

Gambar 2.3

Tahapan loyalitas yang diungkapkan Griffin dengan istilah Generator System

Loyalitas pelanggan memiliki peran penting dalam sebuah perusahaan, mempertahankan mereka berarti meningkatkan kinerja keuangan dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini menjadi alasan utama bagi sebuah perusahaan untuk menarik dan mempertahankan mereka. Dua hal yang menjadi pertimbangan utama perusahaan dalam mempertahankan loyalitas pelanggan adalah, pertama karena semakin mahalnya biaya perolehan pelanggan baru dalam iklim kompetisi yang sedemikian ketat, kedua adalah adanya

Loyality Tools

Suspects

Client Repeat

First time Prospects

Disqualifie d prospects


(30)

kenyataan bahwa tingkat profitabiliti perusahaan berbanding lurus dengan pertumbuhan hubungan antara perusahaan dan pelanggan secara permanen.

2.1.11 Jenis-Jenis Loyalitas

Menurut (Griffin; 2003: 22-23), menyatakan bahwa jenis loyalitas dapat dibagi menjadi :

Tabel. 2.1

Empat Jenis Loyalitas Pelanggan Pembelian Ulang

Tinggi Rendah

Tinggi Loyalitas Premium Loyalitas Tersembunyi Rendah Loyalitas Lemah Tanpa Loyalitas

1. Tanpa Loyalitas (No Loyalty)

Berdasarkan alasan tertentu, pelanggan mungkin tidak mengembangkan loyalitas terhadap produk atau jasa tertentu. Perusahaan harus menghindari membidik para pembeli jenis ini karena mereka tidak akan pernah menjadi pelanggan yang loyal, mereka hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap keuangan perusahaan.

2. Loyalitas yang Lemah (Spurious Loyalty)

Pelanggan yang memiliki loyalitas yang lemah terhadap perusahaan maka mereka akan membeli karena kebiasaan. Ketertarikan yang rendah dikombinasikan dengan pembelian berulang yang tinggi akan menghasilkan loyalitas yang lemah. Pembeli jenis ini merasakan tingkat kepuasan tertentu dengan perusahaan atau minimal tiada kepuasan yang nyata. Loyalitas jenis


(31)

ini paling umum terjadi pada produk yang sering dibeli atau toko yang sering dikunjungi.

3. Loyalitas Tersembunyi (Latent Loyalty)

Tingkat preferensi yang relatif tinggi digabungkan dengan tingkat pembelian berulang yang rendah menunjukkan loyalitas tersembunyi. Bila pelanggan memiliki loyalitas yang tersembunyi maka yang menentukan pembelian berulang adalah pengaruh situasi dan bukan sikap. Dengan memahami faktor situasi yang berkontribusi pada loyalitas tersembunyi, maka perusahaan dapat menggunakan strategi untuk mengatasinya.

4. Loyalitas Premium (Premium Loyalty)

Loyalitas premium adalah loyalitas yang paling dapat ditingkatkan. Loyalitas jenis ini terjadi bila ada tingkat ketertarikan yang tinggi dan tingkat pembelian berulang yang juga tinggi. Ini merupakan loyalitas yang lebih disukai untuk semua pelanggan di setiap perusahaan. Pada tingkat preferensi yang paling tinggi tersebut membuat orang bangga karena menemukan dan mengggunakan produk tertentu dan senang berbagi pengetahuan mereka dengan rekan dan keluarga.

Banyak perusahaan yang mengandalkan kepuasan konsumen sebagai landasan keberhasilan perusahaan, tapi perusahaan juga harus tau bahwa pesaing juga menjanjikan kepuasan pada konsumen. Maka tidak heran pelanggan yang merasa puas dengan perusahaan akan pindah ke perusahaan pesaing karena pesaing memberikan kepuasan yang lebih. Kepuasan pelanggan berbeda dengan


(32)

loyalitas pelanggan, pelanggan yang puas belum tentu loyal, tetapi pelanggan yang loyal sudah pasti puas terhadap kinerja perusahaan.

Menurut Griffin (2003: 31), ciriciripelanggan yang loyal, diantaranya : 1. Melakukan pembelian berulang secara teratur

2. Membeli produk yang lain dari perusahaan tersebut 3. Merekomendasikan kepada orang lain

4. Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan pesaing

Dengan adanya tahap-tahap loyalitas pelanggan serta ciri-ciri yang telah dijelaskan, maka pelanggan yang loyal pun dapat dilihat dari segi perilaku mereka sendiri sebagai pelanggan.

2.1.12 Karakteristik Loyalitas Pelanggan

Terdapat beberapa karakteristik umum yang dapat diidentifikasikan apakah seseorang konsumen mendekati loyalitas atau tidak, Assael (1997) yang dikutip oleh Setiadi (2013: 130) mengemukakan empat hal yang menunjukan kecenderungan konsumen yang loyal:

1. Konsumen yang loyal terhadap merek cenderung lebih percaya diri terhadap pilihannya.

2. Konsumen yang loyal lebih memungkinkan merasakan tingkat resiko yang lebih tinggi dalam pembeliannya.

3. Konsumen yang loyal terhadap merek juga lebih mungkin loyal terhadap toko.


(33)

Menurut Kotler (dalam Situmorang; 2012: 214), loyalitas konsumen berdasarkan pola pembeliannya dapat dibagi menjadi empat golongan:

1. Golongan Fanatik: adalah konsumen yang selalu membeli satu merek sepanjang waktu, sehingga pola pembeliannya adalah X,X,X,X,X, yaitu setia pada merek X tanpa syarat

2. Golongan Agak Setia: adalah konsumen yang setia pada dua atau tiga merek. Dimana kesetiaan yang terpecah antara dua pola (X dan Y) dapat dituliskan dalam pola membeli X, X, Y, Y, X, Y

3. GOLONGAN Berpindah Kesetiaan: adalah golongan konsumen yang bergeser dari suatu merek ke merek lain, maka bila konsumen pada awalnya setia pada merek X tetapi kemudian pada saat berikutnya berpindah ke merek Y. Pola pembeliannya dapat dituliskan X, X, X, Y, Y

4. Golongan Selalu Berpindah-pindah: adalah kelompok konsumen yang sama sekali tidak setia pada merek apapun, maka pola pembeliannya dapat dituliskan X, Y, Z, S, Z.

2.1.13 Faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas konsumen

Dalam membangun dan meningkatkan loyalitas pelanggan, perusahaan harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Robinette (2001:13) faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas pelanggan adalah perhatian (caring), kepercayaan (trust), perlindungan (length of patronage), dan kepuasan akumulatif (overall satisfaction).

Faktor pertama, yaitu perhatian (caring), perusahaan harus dapat melihat dan mengatasi segala kebutuhan, harapan, maupun permasalahan yang dihadapi


(34)

oleh pelanggan. Dengan perhatian itu, pelanggan akan menjadi puas terhadap perusahaan dan melakukan transaksi ulang dengan perusahaan, dan pada akhirnya mereka akan menjadi pelanggan perusahaan yang loyal. Semakin perusahaan menunjukkan perhatiannya, maka akan semakin besar loyalitas pelanggan itu muncul.

Faktor kedua, yaitu kepercayaan (trust), kepercayaan timbul dari suatu proses yang lama sampai kedua belah pihak sating mempercayai. Apabila kepercayaan sudah terjalin di antara pelanggan dan perusahaan, maka usaha untuk membinanya akan lebih mudah, hubungan perusahaan dan pelanggan tercermin dari tingkat kepercayaan (trust) para pelanggan. Apabila tingkat kepercayaan pelanggan tinggi, maka hubungan perusahaan dengan pelanggan akan menjadi kuat. Salah satu cara yang dapat dilakukan perusahaan dalam membina hubungan dengan pelanggan, yaitu segala jenis produk yang dihasilkan perusahaan harus memiliki kualitas atau kesempurnaan seperti yang seharusnya atau sebagaimana dijanjikan, sehingga pelanggan tidak merasa tertipu, yang mana hal ini dapat mengakibatkan pelanggan berpindah ke produk pesaing.

Faktor ketiga, yaitu perlindungan (length of patronage), perusahaan harus dapat memberikan perlindungan kepada pelanggannya, baik berupa kualitas produk, pelayanan, komplain ataupun layanan purnajual. Dengan demikian, pelanggan tidak khawatir perusahaan dalam melakukan transaksi dan berhubungan dengan perusahaan, karena pelangga merasa perusahaan memberikan perlindungan yang mereka butuhkan.


(35)

Dan faktor keempat, yaitu kepuasan akumulatif (overall satisfaction), kepuasan akumulatif adalah keseluruhan penilaian berdasarkan total pembelian dan konsumsi atas barang dan jasa pada suatu periode tertentu. Kepuasan akumulatif ditentukan oleh berbagai komponen seperti kepuasan terhadap sikap agen (service provider) dan kepuasan terhadap perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, perusahaan harus dapat memberikan rasa puas kepada pelanggan dalam melakukan segala transaksi dengan perusahaan, sehingga dalam hal ini perusahaan harus memperhatikan dan meningkatkan fungsi dan kegunaan dari segala fasilitas dan sumber daya yang dimiliki agar pelanggan dapat memanfaatkannya kapan saja dan dimana saja.

Menurut Griffin (2003: 20-24) Faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas konsumen adalah sebagai berikut :

1. Keterikatan (attachment)

Keterikatan yang dirasakan pelanggan terhadap produk atau jasa dibentuk oleh dua dimensi: tingkat referensi (seberapa besar keyakinan pelanggan terhadap produk atau jasa tertentu) dan tingkat diferensiasi produk yang dipersepsikan (seberapa signifikan pelanggan membedakan produk atau jasa tertentu dari alternative-alternatif lain). Keterikatan (attachment) adalah paling tinggi bila pelanggan mempunyai preferensi yang kuat akan produk atau jasa

tertentu dan dapat secara jelas membedakannya dari produk – produk pesaing. 2. Pembelian Berulang

Empat jenis loyalitas yang berbeda muncul bila keterkaitan rendah dan tinggi diklasifikasi-silang dengan pola pembelian ulang yang rendah dan tinggi.


(36)

a. Tanpa Loyalitas

Untuk berbagai alasan, beberapa pelanggan tidak mengembangkan loyalitas terhadap produk atau jasa tertentu. Tantangannya adalah menghindari membidik sebanyak mungkin orang orang seperti itu dan lebih memilih pelanggan yang loyalitasnya dapat dikembangkan.

b. Loyalitas yang lemah

Keterkaitan yang rendah digabung dengan pembelian berulang yang tinggi menghasilkan loyalitas yang lemah (inertia Loyalty). Pelanggan ini membeli karena kebiasaan. Loyalitas jenis ini paling umum terjadi pada produk atau jasa yang sering dibeli.

c. Loyalitas Tersembunyi

Tingkat preferensi yang relative tinggi digabung dengan tingkat pembelian berulang yang rendah menunjukkan loyalitas tersembunyi (latent Loyalty). Bila pelanggan memiliki loyalitas tersembunyi, pengaruh situasi dan bukan pengaruh sikap yang menentukan pembelian berulang.

d. Loyalitas Premium

Jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan, terjadi bila ada tingkat keterkaitan yang tinggi dan tingkat pembelian berulang yang juga tinggi. Ini merupakan jenis loyalitas yang paling disukai untuk semua pelanggan disetiap perusahaan.


(37)

2.1.14 Loyalitas dan Siklus Pembelian

Gambar 2. 4 Siklus Pembelian

Setiap pelanggan yang membeli produk perusahaan tersebut akan melalui siklus pembelian. Pembelian produk pertama kali akan bergerak dibeberapa langkah (Griffin, 2003: 18-20), antara lain:

1. Langkah Pertama

Kesadaran: Langkah yang pertama menuju loyalitas yang dimiliki pelanggan yaitu dengan kesadaran akan produk yang ditawarkan. Dari langkah ini, terbentuk sebuah citra yang dibutuhkan untuk memposisikan kedalam pikiran calon pelanggan bahwa produk tersebut lebih unggul dari pesaing.

2. Langkah Kedua

Pembelian awal: Pembelian produk pertama kali merupakan langkah yang sangat penting dalam memelihara loyalitas. Pembelian pertama berarti pembelian yang percobaan. Perusahaan harus dapat menanamkan kesan positif atau negatif kepada pelanggan yang membeli produk tersebut.


(38)

3. Langkah Ketiga

Evaluasi pasca-pembelian: Setelah pembelian produk pertama yang dilakukan oleh pelanggan, secara sadar atau tidak sadar, pelanggan akan mengevaluasi transaksi pada saat membeli produk tersebut. Usahakan tidak terlalu membuat pelanggan kecewa, atau tidak terlalu mengecewakan pelanggan, sehingga pelanggan tidak beralih ke pesaing.

4. Langkah Keempat

Keputusan untuk membeli kembali: Proses membeli kembali merupakan sikap yang paling penting bagi loyalitas bahkan lebih penting dari sebuah kepuasan. Dalam kasus peneliti, Volumers menjadi tertarik untuk datang lagi ketika ada event selanjutnya. Motivasi untuk membeli produk itu kembali lebih kepada bagaimana menanamkan sikap yang positif agar pelanggan tidak mencari alternative yang lebih potensial

5. Langkah Kelima

Pembelian kembali: Langkah akhir dalam siklus pembelian produk yaitu pembelian kembali yang sebenarnya. Maksudnya, pelanggan tersebut membeli produk berkali-kali, sampai lima kali bahkan lebih. Pelanggan tersebut akan termasuk loyal apabila terus membeli produk tersebut dan tetap diperusahaan yang sama. Pelanggan yang loyal juga tetap menggunakan produk tersebut walau ada pesaing yang mungkin menawarkan alternatif lebih kepada si pelanggan.


(39)

2.1.15 Perkembangan Pemikiran Loyalitas

Kartajaya (2007: 24) membagi perkembangan pemikiran loyalitas menjadi lima era, yaitu era kepuasan pelanggan, era retensi pelanggan, era migrasi pelanggan, era antusiasme pelanggan, dan era spiritualitas pelanggan.

1. Era pertama : Kepuasan Pelanggan

Yaitu jika perusahaan bisa memberikan servis yang melebihi ekspektasi pelanggan, maka pelanggan pasti akan puas. Dan pelanggan yang puas pasti akan mempunyai tingkat loyalitas yang tinggi terhadap produk dibandingkan pelanggan yang tidak puas.

2. Era kedua : Retensi Pelanggan

Dalam era ini perusahaan lebih berfokus pada upaya mempertahankan jumlah pelanggan yang telah ada dengan meminimalkan jumlah pelanggan yang hilang. Loyalitas bukan lah masalah kepuasan, melainkan lebih pada kemampuan untuk mempertahankan pelanggan yang ada dan pembelian yang berulang bukanlah ukuran yang sahih untuk menilai kepuasan seseorang. 3. Era ketiga : Migrasi Pelanggan

Mempertahankan pelanggan yang sudah ada jauh lebih menguntungkan daripada membiarkannya hilang, kemudian mencari pelanggan baru sebagai gantinya. Sangat penting bagi perusahaan untuk mengetahui indikasi kepindahan seorang pelanggan sehingga perusahaan bisa menyiapkan perlakuan khusus untuk mencegah migrasi.


(40)

4. Era keempat : Antusiasme Pelanggan

Perpindahan pelanggan memang harus terjadi karena satu hal, meskipun pelanggan mengaku puas dan loyal terhadap produk. Inti loyalitas pelanggan bersifat emosional dan bukan fungsional, yakni seberapa dalam pelanggan merasakan koneksi dengan produk. Sepanjang koneksi itu masih ada di hati, meskipun produk itu sudah tidak dipakai, maka sepanjang itu juga dia termasuk pelanggan yang loyal.

5. Era kelima : Spiritualitas Pelanggan

Pada era ini dijelaskan loyalitas tidak hanya berada dalam pikiran – mengingat dan menggunakan produk, dalam hati, mereferensikan dan merekomendasikan pemakaian pada orang lain – tetapi juga telah menjadi bagian dari diri pelanggan seutuhnya (spirit).

2.1.16 Mempertahankan Pelanggan

Mempertahankan pelanggan yang sudah ada lebih baik daripada mebiarkan pelanggan hilang dan mencari pelanggan baru sebagai gantinya. Jika perusahaan membiarkan pelanggan tersebut hilang, maka terdapat dua kerugian bagi perusahaan, yaitu kerugian secara moral dan finansial.

Kerugian secara moral adalah konsumen yang hilang tersebut akan memberitakan sisi negativ dari perusahaan sehingga akan menghambat pelanggan baru untuk datang. Kerugian finansial adalah kehilangan pelanggan akan mengurangi penjualan dan mencari pelanggan baru membutuhkan biaya yang tidak sedikit.


(41)

Griffin (2003: 183) menjelaskan empat cara agar pelanggan tidak meninggalkan perusahaan.

1. Permudahlah pelanggan untuk memberi umpan balik pada perusahaan

Berikan kemudahan kepada pelanggan untuk berkomunikasi dengan perusahaan tentang apa keluhan pelanggan, keinginan pelanggan, apa yang harus diperbaiki, dan bagai mana yang lebih baik.

2. Bila pelanggan membutuhkan bantuan, berikan dengan segera

Pelanggan sangat senang jika dimanjakan, jika mereka merasa dihargai maka mereka akan loyal.

3. Kurangi kejengkelan atas reparasi, pembayaran kembali, dan pemberian jaminan

Pelanggan adalah manusia pada umumnya, pelanggan juga punya hati pikiran dan persaan. Jika pelanggan kecewa karena barang yang rusak setela diperbaiki tapi masih sering rusak, jika perusahaan menjanjika jaminan tapi tidak sesuai dengan janji, maka pelanggan akan kecewa dan menyimpan pengalaman buruk dengan perusahaan.

4. Belajarlah cara menghibur pelanggan yang marah

Pelanggan yang kecewa terhadap produk akan marah karena pelanggan telah mengeluarkan biaya untuk itu. Maka perusahaan harus cepat menanggapi, perusahaan harus menunjukkan sikap bahwa perusahaan mengerti apa yang pelanggan rasakan, ajak pelanggan untuk membicarakan solusinya, dan dan berikan solusi atas keluhan itu.


(42)

Mempertahankan pelanggan memang bukan perkara mudah. Begitu banyak brand yang dulunya menjadi top of mind dalam masyarakat, tapi kini sudah mulai memudar karena tidak bisa beradaptasi dengan zaman. Kartajaya (2007: 48) menjelaskan tentang model locking Loyalty, yaitu tentang bagaimana mengunci loyalitas pelanggan agar tidak pindah ke pesaing, tetap puas, dan loyal pada produk.

1. Elemen pertama dari model ini adalah suspect, prospect, first time buyer, repeat cutomer, loyal client, dan spiritual advovacy.

2. Elemen kedua adalah pergerakan tingkat relationship pelanggan dari sejak pengenalan (awareness), tertarik (attention), kemudian membeli (transaction). Dengan semakin meningkatnya kepercayaan pelanggan terhadap produk, terciptalah hubungan yang lebih dari hanya sekedar transaksi, yakni relationship, partnership, lalu yang paling tinggi ownership.

3. Elemen ketiga yang paling penting adalah disiplin eksekusi yang harus dilakukan perusahaan pada setiap tahapan agar loyalitas yang terbentuk maksimal (sampai pada tingkat yang tertinggi, spiritual advocacy).

Untuk menjaring prospect yang paling potensial dari kumpulan sispect, perusahaan harus melakukan segmentation, targeting, dan positioning dengan tepat. Setelah prospect membeli produk dan menjadi first time buyer, tentunya perusahaan ingin mempertahankan pelanggan selama mungkin. langkah pertama untuk mempertahankan pelanggan yang telah ada menjadi repeat cutomer adalah dengan membangun brand, service, dan process.


(43)

Untuk meningkatkan kadar loyalitas pelanggan menjadi lebih tinggi, loyal client, perusahaan harus meningkatkan manfaat yang diberikan kepada pelanggan. Ada tiga bentuk konsistensi manfaat yang bisa diberikan perusahaan kepada pelanggan. Operational Excellent, product Leadership, dan cutomer intimacy. Untuk meningkatkan kadar loyalitas pelanggan ke yang lebih tinggi yaitu ownership, sekali lagi perusahaan harus menambah manfaat produk.

Dengan mengawal pembentukan loyaltas konsumen sejak awal, diharapkan loyalitas konsumen bisa sampai ke tahap spiritual. Artinya produk sudah menjadi bagian dari diri pelanggan yang tidak dapat dipisahkan.

2.1.17 Pengukuran Indeks Loyalitas Konsumen

Loyalitas dapat diukur berdasarkan (Ahmad Mardalis, 2005: 34) : 1) Urutan pilihan (choice sequence)

Metode urutan pilihan atau disebut juga pola pembelian ulang ini banyak dipakai dalam penelitian dengan menggunakan panel-panel agenda harian pelanggan lainnya, dan lebih terkini lagi, data scanner supermarket.

2) Proporsi pembelian (proportion of purchase)

Berbeda dengan runtutan pilihan, cara ini menguji proporsi pembelian total dalam sebuah kelompok produk tertentu. Data yang dianalisis berasal dari panel pelanggan.

3) Preferensi (preference)

Cara ini mengukur loyalitas dengan menggunakan komitmen psikologis atau pernyataan preferensi.Dalam hal ini, loyalitas dianggap sebagai “sikap yang


(44)

positif” terhadap suatu produk tertentu, sering digambarkan dalam istilah niat untuk membeli.

4) Komitmen (commitment)

Komitmen lebih terfokus pada komponen emosional atau perasaan. Komitmen terjadi dari keterkaitan pembelian yang merupakan akibat dari keterlibatan ego dengan kategori merek . Keterlibatan ego tersebut terjadi ketika sebuah produk sangat berkaitan dengan nilai-nilai penting, keperluan, dan konsep diri pelanggan.

Ada tiga metode analisis pelanggan yaitu RFS (Recency, Frecuency, Spending), LTV (Life Time Value), dan NPS (Net Promoter Score).

1. RFS (Recency, Frecuency, Spending)

Kartajaya (2007: 60) menjelaskan keyakinan yang mendasari perlunya RFS untuk tiap-tiap pelanggan adalah karena semakin terkini pelanggan membeli produk, semakin sering pelanggan membeli produk, dan semakin banyak pelanggan membeli produk, maka mereka cendrung lebih responsif terhadap kampanye pemasaran dan lebih mudah dibangkitkan pembeliannya kembali dengan program loyalitas pelanggan.

Langkah pertama dari pengelompokan RFS adalah mengurutkan pelanggan menurut keterkiniannya, frekuensi , dan jumlah pembeliannya. Kemudian kita bisa membandingkan pelanggan mana yang baru membeli, berapa kali membeli dan berapa jumlah yang dibelinya.


(45)

2. LTV (Life Time Value)

Kartajaya (2007: 74) menjelaskan analisis pelanggan dengan menggunakan RFS mempunyai kelemahan, yakni tidak memperhitungkan biaya servis. RFS hanya memberikan informasi tentang potensi pendapatan yang akan diraih perusahaan jika bisa mendorong pelanggan untuk berbelanja lebih banyak dan lebih sering.

Dalam konsep LTV pelanggan digolongkan berdasarkan daya tarik finansialnya (profit margin) dan kemungkinan menjalin hubungan dengan perusahaan (relationship).

Semakin besar profit margin yang disumbangkan pelanggan terhadap perusahaan dan semakin dekat hubungan yang telah terjalin antara pelanggan dengan perusahaan, maka semakin tinggi pula nilai pelanggan bagi perusahaan.

Pelanngan digolongkan dalam empat tipe, yakni pelanggan bintang (Stars cutomers), pelanggan tanda tanya (question mark cutomers), pelanggan pencetak laba (profit making customers), dan pelanggan pencabut laba (profit taking customers).

Konsep LTV menutupi kelemahan LFS. Tapi LTV juga mempunyai kelemahan, yakni tidak efektif jika diaplikasikan pada perusahaan yang memiliki jumlah pelanggan ribuan. Olehkarena itu, analisis pelanggan dengan LTV hanya cocok digunakan pada perusahaan yang bergerak di industri B2B.


(46)

3. Net Promoter Score

Metode analisis pelanggan seperti RSS dan LTV juga memerupakan metode yang bagus, namun form kuesioner yang diberikan kadang mengganggu. Berisi begitu banyak pertanyaan yang diulang-ulang. Pelanggan pun jadi tidak nyaman. Feedback yang mereka berikan akhirnya jadi bias, tidak benar-benar merepresentasikan kepuasan mereka terhadap layanan perusahaan.

Maka Fred Reichheld mengembangkan sebuah metode efektif untuk mengukur dan mengontrol tingkat kepuasan pelanggan. Namanya adalah NPS (Net Promoter Score). Formatnya masih dalam bentuk kuesioner. Namun lebih rapi, terstruktur, dan dapat dihitung.

Di dalam NPS, tipe-tipe pelanggan dapat dibedakan menjadi:

a. Promoter: pelanggan yang antusias terhadap produk suatu perusahaan dan akan terus membeli. Mereka dengan senang hati akan mereferensikan produk suatu perusahaan kepada sahabat-sahabatnya.

b. Passive: pelanggan yang puas dengan produk suatu perusahaan namun tidak antusias dan bisa jadi sewaktu-waktu akan pindah ke produk lain jika menemukan deal yang lebih menarik.

c. Detractor: pelanggan yang memiliki pengalaman kurang baik terhadap produk suatu perusahaan dan bila ada kesempatan akan menyebarkan berita negatif tentang produk tersebut (negative word of mouth).

Untuk mengetahui pelanggan apakah berada pada tipe Promoter, Passive atau Detractor, metode Net Promoter Score hanya menggunakan satu pertanyaan,


(47)

yaitu: “Seberapa besar kemungkinan Anda merekomendasikan produk kami kepada teman atau kolega Anda?”

Respon pelanggan kemudian diukur dengan skala 0-10. Promoter berada pada skala 9-10 . Passive: 7-8. Sedangkan Detractor: 0-6. Kemudian pertanyaan tersebut boleh diikuti dengan pertanyaan yang bertujuan untuk penyelidikan, seperti: “Apa alasan Anda memberikan score tersebut?” atau “Perbaikan apa yang perlu kami lakukan agar dapat mendekati nilai 10?” Survey ini dapat dilakukan secara berkala atau based on transaction. Setelah angkanya berhasil dikumpulkan, maka NPS dapat dihitung dengan rumus:

Persentase Promoter dikurangi dengan persentase Detractor adalah nilai NPS. Dalam hal ini Passive tidak dimasukkan dalam hitungan. Karena pelanggan Passive adalah pelanggan yang masih berpotensi menjadi Promoter atau Detractor. Dari nilai NPS di atas dapat diketahui berapa prosentase kepuasan pelanggan. Jika nilai NPS mencapai 100%, artinya semua pelanggan adalah Promoter. Apple (Hardware Komputer) punya 72%, Google (mesin pencarian) 53%, Amazon (situs belanja online) 70%. *berdasarkan survey Satmetrix 2011

Dalam penelitian Net Promoter Score (NPS) Top Brand Indonesia, majalah SWA membagia NPS menjadi empat kategori yaitu NPS Star, NPS Leader, NPS Excellent, Dan NPS Good. NPS Star merupakan merek dengan nilai


(48)

NPS terbaik dari semua kategori, NPS Leader merupakan merek dengan nilai NPS tertinggi di masing masing kategori, NPS Excellent merupakan merek dengan NPS minimal positif 10% di masing-masing kategori, dan NPS Good merupakan merek dengan nilai NPS dibawah 10% dan masih positif di masing-masing kategori.

Banyak perusahaan yang telah mengembangkan metode yang berbeda-beda untuk pengukuran sikap dan perilaku pelanggan. Tapi masih memiliki banyak kekurangan, semua hanya mencoba mengumpulkan data untuk meningkatkan produk dan proses.

Reichheild telah menyempurnakan metode pengukuran sikap dan perilaku pelanggan, yaitu metode Net Promoter Score. Net Promoter Score (NPS) merupakan metode yang sangat bermanfaat dan praktis. Ada beberapa keunggulan NPS :

1. Sederhana: Metode Net Promoter Score hanya membutuhkan dua atau tiga pertanyaan supaya tidak menyulitkan pelanggan atau responden untuk menjawab. NPS memiliki pertanyaan kunci yaitu “kemungkinan untuk merekomendasikan” yang diberi skala nol sampai sepuluh. NPS tidak memiliki indeks kompleks atau koefisien korelasi, NPS bisa dilakukan setiap bulan maupun setiap minggu.

2. Kemudahan Penggunaan: Suatu perusahaan bisa bisa melakukan survei NPS melalui telepon, e-mail, maupun web. Data tersebut bisa diolah dengan cepat, sehingga setiap kalangan yang membutuhkan bisa melihat data tersebut dengan cepat dan mengevaluasinya.


(49)

3. Cepat Tindak Lanjut: NPS dapat diolah dengan cepat, sehingga manajer akan bisa lebih cepat mengidentifikasi pelanggan dan cepat menanggapi masalah yang terjadi. Manajer garis depan dan para petinggi perusahaan bisa menggunakan data NPS untuk membuat keputusan tentang perubahan proses, produk baru, dan inovasi lainnya.

4. Kemampuan Beradaptasi: Sebagai metode open source, NPS tidak membutuhkan biaya yang tinggi dan statistik yang rumit. NPS dapat dengan mudah diaplikasikan pada berbagai jenis bisnis. Apple menggunakan NPS pada toko-toko ritel, American Express menggunakan NPS dalam pelilaian servis, dan Logitech menggunakan NPS untuk menilai apa yang diinginkan pelanggan pada setiap produk Logitech.

Gambar 2.5 Net Promoter Score

(Kartajaya; 2007: 136-137) dalam terminologi Reichheld istilah Net Promoter Score.Net Promoter Score adalah jumlah netto pelanggan yang mau membeli dan merekomendasikan produk (Promoter) dikurangi pelanggan yang kurang mau membeli dan merekomendasikan produk (Detractor). Sedangkan


(50)

ditengah dua golongan pelanggan itu, ada golongan pelanggan pasif yang “setengah-setengah” membeli dan merekomendasikan produk, disebut Passive.

Berdasarkan penelitian Reichheld, perusahaan yang mempunyai kinerja terbaik umumnya adalah perusahaan yang mempunyai Net Promoter Score positif. Artinya, jumlah pelanggan yang mau membeli dan memberikan rekomendasi lebih banyak daripada jumlah pelanggan yang tidak mau membeli dan “menjelek-jelekan” perusahaan.

Konsep ini baik sekali dijadikan platform untuk mengukur tingkat efektivitas program loyalitas pelanggan yang dijalankan perusahaan. Program loyalitas harus mampu mendorong rekomendasi, bukan hanya meningkatkan frekuensi dan volume pembelian.

Metode Net Promoter Score sebelumnya pernah digunakan oleh perusahaan SAP AG. Perusahaan SAP AG (FWB: SAP NYSE: SAP) adalah perusahaan asal Jerman yang bergerak dalam bidang. Perusahaan ini adalah perusahaan perangkat lunak terbesar di Eropa. SAP didirikan pada tahun 1972 dengan nama Systemanalise und Programmentwicklung oleh 5 mantan karyawan IBM di Mannheim, Jerman. Kantor pusatnya di Walldorf, Jerman.

Disini metode Net Promoter Score digunakan untuk melihat seberapa besar persentase Promoter dan pengaruh Promoter terhadap perusahaan. Berikut ini adalah dua temuan signifikan yang ia peroleh:


(51)

1. Kesuksesan berbagai bisnis SAP nyatanya memang dihasilkan oleh NPS. Sesuai dengan riset Reichheld, NPS yang lebih tinggi menghasilkan pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi pula.

2. Program referensi tidak memanfaatkan para Promoter. Bahkan, dari mereka yang terlibat hanya sedikit yang benar-benar antusias mengikuti program referensi.

Temuan ini mengindikasikan bahwa jika ia melibatkan para Promoter ke dalam program referensi, maka akan menghasilkan dampak yang substansial ke dalam kinerja perusahaan. 2.5 tahun setelah program tersebut benar-benar dijalankan, berikut ini adalah:

1. Jumlah pelanggan berdasarkan referensi berkembang dari 1,700 menjadi 6,000 selama 2.5 tahun, didukung oleh peningkatan investasi perusahaan pada program referensi pelanggan.

2. Sebelumnya, hanya kurang dari 20% Promoter yang bergabung dalam program referensi. Namun, kini lebih dari 90% Promoter ikut program tersebut. 3. SAP memanfaatkan berbagai metode untuk meningkatkan referensi, termasuk referral pribadi, wawancara dengan media, studi kasus, success stories hingga event-event.

4. Dulu, pentingnya referensi dalam menutup kesepakatan adalah netral. Namun, kini referensi menjadi salah satu keunggulan kompetitif tertinggi SAP. Referensi ternyata kini juga bermanfaat dalam menutup kesepakatan serta menjadikan perusahaan unggul dalam persaingan.


(52)

2.2 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dan kerangka berpikir merupakan gambaran tentang hubungan antara variabel yang diteliti, yang tersusun dari teori yang telah dideskripsikan (Sugiyono,2008:49). Sedangkan menurut kuncoro (2003 : 44) kerangka konseptual adalah pondasi utama di mana sepenuhnya proyek penelitian ditunjukkan, dalam hal ini merupakan jaringan antar variabel yang secara logis diterangkan, dikembangkan, dan dielaborasi dari perumusan masalah yang telah diidentifikassi melalui proses wawancara, observasi dan survei literatur.

Top brand adalah merek yang selalu diingat konsumen ketika membeli suatu jenis produk, yang mampu menguasai pasar pada pada bidang atau kategorinya, yaitu brand yang mampu menarik konsumen untuk melakukan pembelian ulang.

Top brand indonesia adalah merek yang dirumuskan oleh Frontier Consulting Group berdasarkan mind share, market share, dan commitment share. Mind share mengidikasikan kekuatan merek di dalam benak konsumen kategori produk tersebut. market share menunjukkan kekuatan merek di dalam pasar tertentu mengenai perilaku pembelian aktual dari konsumen. Commitment share menjelaskan kekuatan merek dalam mendorong konsumen untuk membeli merek terkait dimasa yang akan datang. Dalam penilaian top brand indonesia, digunakan dua kriteria, yaitu merek-merek yang meperoleh indeks minimum top brand dan dan merek-merek yang berada dalam tiga besar pada masing-masing kategori (suyanto, 2007: 1).


(53)

Gambar 2.6 Kerangka Konseptual

2.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena, atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Hipotesis merupakan pernyataan peneliti tentang hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian, serta merupakan pernyataan yang paling spesifik (Kuncoro, 2003: 48). Sedangkan menurut Ginting & Situmorang (2008:99), hipotesis merupakan kesimpulan yang diproleh dari penyusunan kerangka pikiran, berupa proposisi deduksi. Merumuskan hipotesis berarti membentuk proposisi yang sesuai dengan kemungkinan - kemungkinannya serta tingkat - tingkat kebenaranya.

Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah “produk-produk Top Brand Indonesia Memiliki Nilai Net Promoter Score yang Tinggi Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara”.

Brand Indonesia

Top Brand Indonesia

Net Promoter Score


(1)

NPS terbaik dari semua kategori, NPS Leader merupakan merek dengan nilai NPS tertinggi di masing masing kategori, NPS Excellent merupakan merek dengan NPS minimal positif 10% di masing-masing kategori, dan NPS Good

merupakan merek dengan nilai NPS dibawah 10% dan masih positif di masing-masing kategori.

Banyak perusahaan yang telah mengembangkan metode yang berbeda-beda untuk pengukuran sikap dan perilaku pelanggan. Tapi masih memiliki banyak kekurangan, semua hanya mencoba mengumpulkan data untuk meningkatkan produk dan proses.

Reichheild telah menyempurnakan metode pengukuran sikap dan perilaku pelanggan, yaitu metode Net Promoter Score. Net Promoter Score (NPS) merupakan metode yang sangat bermanfaat dan praktis. Ada beberapa keunggulan NPS :

1. Sederhana: Metode Net Promoter Score hanya membutuhkan dua atau tiga pertanyaan supaya tidak menyulitkan pelanggan atau responden untuk menjawab. NPS memiliki pertanyaan kunci yaitu “kemungkinan untuk merekomendasikan” yang diberi skala nol sampai sepuluh. NPS tidak memiliki indeks kompleks atau koefisien korelasi, NPS bisa dilakukan setiap bulan maupun setiap minggu.

2. Kemudahan Penggunaan: Suatu perusahaan bisa bisa melakukan survei NPS melalui telepon, e-mail, maupun web. Data tersebut bisa diolah dengan cepat, sehingga setiap kalangan yang membutuhkan bisa melihat data tersebut dengan cepat dan mengevaluasinya.


(2)

3. Cepat Tindak Lanjut: NPS dapat diolah dengan cepat, sehingga manajer akan bisa lebih cepat mengidentifikasi pelanggan dan cepat menanggapi masalah yang terjadi. Manajer garis depan dan para petinggi perusahaan bisa menggunakan data NPS untuk membuat keputusan tentang perubahan proses, produk baru, dan inovasi lainnya.

4. Kemampuan Beradaptasi: Sebagai metode open source, NPS tidak membutuhkan biaya yang tinggi dan statistik yang rumit. NPS dapat dengan mudah diaplikasikan pada berbagai jenis bisnis. Apple menggunakan NPS pada toko-toko ritel, American Express menggunakan NPS dalam pelilaian servis, dan Logitech menggunakan NPS untuk menilai apa yang diinginkan pelanggan pada setiap produk Logitech.

Gambar 2.5 Net Promoter Score

(Kartajaya; 2007: 136-137) dalam terminologi Reichheld istilah Net Promoter Score.Net Promoter Score adalah jumlah netto pelanggan yang mau membeli dan merekomendasikan produk (Promoter) dikurangi pelanggan yang kurang mau membeli dan merekomendasikan produk (Detractor). Sedangkan


(3)

ditengah dua golongan pelanggan itu, ada golongan pelanggan pasif yang “setengah-setengah” membeli dan merekomendasikan produk, disebut Passive.

Berdasarkan penelitian Reichheld, perusahaan yang mempunyai kinerja terbaik umumnya adalah perusahaan yang mempunyai Net Promoter Score

positif. Artinya, jumlah pelanggan yang mau membeli dan memberikan rekomendasi lebih banyak daripada jumlah pelanggan yang tidak mau membeli dan “menjelek-jelekan” perusahaan.

Konsep ini baik sekali dijadikan platform untuk mengukur tingkat efektivitas program loyalitas pelanggan yang dijalankan perusahaan. Program loyalitas harus mampu mendorong rekomendasi, bukan hanya meningkatkan frekuensi dan volume pembelian.

Metode Net Promoter Score sebelumnya pernah digunakan oleh perusahaan SAP AG. Perusahaan SAP AG (FWB: SAP NYSE: SAP) adalah perusahaan asal Jerman yang bergerak dalam bidang. Perusahaan ini adalah perusahaan perangkat lunak terbesar di Eropa. SAP didirikan pada tahun 1972 dengan nama Systemanalise und Programmentwicklung oleh 5 mantan karyawan IBM di Mannheim, Jerman. Kantor pusatnya di Walldorf, Jerman.

Disini metode Net Promoter Score digunakan untuk melihat seberapa besar persentase Promoter dan pengaruh Promoter terhadap perusahaan. Berikut ini adalah dua temuan signifikan yang ia peroleh:


(4)

1. Kesuksesan berbagai bisnis SAP nyatanya memang dihasilkan oleh NPS. Sesuai dengan riset Reichheld, NPS yang lebih tinggi menghasilkan pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi pula.

2. Program referensi tidak memanfaatkan para Promoter. Bahkan, dari mereka yang terlibat hanya sedikit yang benar-benar antusias mengikuti program referensi.

Temuan ini mengindikasikan bahwa jika ia melibatkan para Promoter ke dalam program referensi, maka akan menghasilkan dampak yang substansial ke dalam kinerja perusahaan. 2.5 tahun setelah program tersebut benar-benar dijalankan, berikut ini adalah:

1. Jumlah pelanggan berdasarkan referensi berkembang dari 1,700 menjadi 6,000 selama 2.5 tahun, didukung oleh peningkatan investasi perusahaan pada program referensi pelanggan.

2. Sebelumnya, hanya kurang dari 20% Promoter yang bergabung dalam program referensi. Namun, kini lebih dari 90% Promoter ikut program tersebut. 3. SAP memanfaatkan berbagai metode untuk meningkatkan referensi, termasuk referral pribadi, wawancara dengan media, studi kasus, success stories hingga

event-event.

4. Dulu, pentingnya referensi dalam menutup kesepakatan adalah netral. Namun, kini referensi menjadi salah satu keunggulan kompetitif tertinggi SAP. Referensi ternyata kini juga bermanfaat dalam menutup kesepakatan serta menjadikan perusahaan unggul dalam persaingan.


(5)

2.2 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dan kerangka berpikir merupakan gambaran tentang hubungan antara variabel yang diteliti, yang tersusun dari teori yang telah dideskripsikan (Sugiyono,2008:49). Sedangkan menurut kuncoro (2003 : 44) kerangka konseptual adalah pondasi utama di mana sepenuhnya proyek penelitian ditunjukkan, dalam hal ini merupakan jaringan antar variabel yang secara logis diterangkan, dikembangkan, dan dielaborasi dari perumusan masalah yang telah diidentifikassi melalui proses wawancara, observasi dan survei literatur.

Top brand adalah merek yang selalu diingat konsumen ketika membeli suatu jenis produk, yang mampu menguasai pasar pada pada bidang atau kategorinya, yaitu brand yang mampu menarik konsumen untuk melakukan pembelian ulang.

Top brand indonesia adalah merek yang dirumuskan oleh Frontier Consulting Group berdasarkan mind share, market share, dan commitment share. Mind share mengidikasikan kekuatan merek di dalam benak konsumen kategori produk tersebut. market share menunjukkan kekuatan merek di dalam pasar tertentu mengenai perilaku pembelian aktual dari konsumen. Commitment share menjelaskan kekuatan merek dalam mendorong konsumen untuk membeli merek terkait dimasa yang akan datang. Dalam penilaian top brand indonesia, digunakan dua kriteria, yaitu merek-merek yang meperoleh indeks minimum top brand dan dan merek-merek yang berada dalam tiga besar pada masing-masing kategori (suyanto, 2007: 1).


(6)

Gambar 2.6 Kerangka Konseptual

2.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena, atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Hipotesis merupakan pernyataan peneliti tentang hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian, serta merupakan pernyataan yang paling spesifik (Kuncoro, 2003: 48). Sedangkan menurut Ginting & Situmorang (2008:99), hipotesis merupakan kesimpulan yang diproleh dari penyusunan kerangka pikiran, berupa proposisi deduksi. Merumuskan hipotesis berarti membentuk proposisi yang sesuai dengan kemungkinan - kemungkinannya serta tingkat - tingkat kebenaranya.

Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah “produk-produk Top Brand Indonesia Memiliki Nilai Net Promoter Score yang Tinggi Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara”.

Brand

Indonesia

Top Brand

Indonesia

Net Promoter Score