Gerakan Sosial Dalam Pemberhentian Penebangan Hutan (Studi Kasus tentang Gerakan Sosial Pemberhentian Penebangan Hutan Tele di Desa Hariara Pintu, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir)

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Gerakan Sosial

2.1.1. Pengertian Gerakan Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.

Di dalam sosiologi, gerakan sosial erat kaitannya dengan perilaku kolektif. Sebab gerakan sosial dilakukan oleh kelompok orang dengan kesadaran kolektif melakukan kerumunan. Dari beberapa defenisi di dalam buku Kamanto Soekanto (lihat Horton Hunt, 1984, Kornblum, 1988; Light, Keller dan Calhoun, 1989) dapat kita simpulkan bahwa perilaku kolektif merupakan perilaku yang (1) dilakukan bersama dengan sejumlah orang, (2) tidak bersifat rutin, (3) merupakan tanggapan dari ransangan tertentu. Lebih lanjut, Jary dan Jary (1995: 614- 615) mendefenisikan gerakan sosial sebagai “any broad social alliance of people who are associated in seeking to effect or to block an aspect of social change within a society’’ – suatu aliansi sosial sejumlah besar orang yang berserikat untuk mendorong ataupun menghambat suatu segi perubahan sosial dalam masyarakat (Sunarto, 2004; 199)


(2)

Gerakan sosial lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir dari reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Gerakan sosial merupakan gerakan yang lahir dari prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintahan. Disini terlihat tuntutan perubahan itu lahir karena melihat kebijakan yang ada tidak sesuai dengan konteks masyarakat yang ada maupun bertentangan dengan kepentingan masyarakat scara umum. Nelson A. Pichardo dalam Wahyudi mengatakan bahwa paradigma gerakan sosial merupakan cerminan dari karakter kelas, karena ia dapat menunjukkan segala apa yang kelas inginkan. Menurut Keun, mobilisasi terhadap partisipan itu dapat dilakukan melalui mobilisasi personal maupun mobilisasi kognitif. Dalam hal ini, gerakan sosial yang diinisiasi oleh jaringan organisasi merupakan gerakan sosial yang memiliki tujuan yang sama untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa dan perusahaan (Wahyudi, 2005: 8)

Handayani dkk mengemukakan bahwa Gerakan Sosial merupakan upaya kolektif dalam melakukan suatu perubahan melalui interaksi dan sosialisasi. Gerakan ini tidak hanya muncul dengan kesadaran kelas dan ideologi tertentu, namun kelompok ini muncul dengan identitas dan kesadaran serta perhatian terhadap persoalan, masalah dan atau fenomena yang sedang dihadapi oleh masyarakat luas. Gerakan ini berupaya untuk menyatukan komponen-komponen dalam masyarakat penyatuan untuk melakukan suatu perubahan dan mencapai tujuan bersama (Handayani, dkk, 2013: 3)


(3)

Pendapat lain juga disampaikan oleh Turner and Kilian; a social movement as ; collectivity acting with somecontinuity to promote or resist a change in the society or group of with indefinite and shifting membership and with leadership whose position is determined more by the informal response of the members than by formal procedures for legitimizing authority (gerakan sosial adalah tindakan secara bersama dengan berkelanjutan untuk mensosialisasikan atau menolak perubahan dalam masyarakat atau kelompok dengan keanggotaan terbatas dan pergeseran dan dengan kepemimpinan yang posisinya lebih banyak ditentukan oleh respon informal para anggota dibandingkan dengan prosedur formal untuk mengesahkan kewenangan (Handayani, dkk, 2013: 3)

Menurut John Lofland, ada 17 variabel faktor yang dapat berpengaruh terhadap gerakan sosial, yaitu :

a. Perubahan dan ketimpangan sosial b. Kesempatan politik

c. Campur tangan negara terhadap kehidupan warga d. Kemakmuran (yang menimbulkan deprivasi ekonomi) e. Konsentrasi geografis

f. Identitas kolektif

g. Solidaritas antar kelompok h. Krisis kekuasaan

i. Melemahnya kontrol kelompok yang dominan j. Pemfokusan krisis

k. Sinergi gelombang warga negara (penduduk) l. Adanya pemimpin


(4)

m. Jaringan komunikasi

n. Integrasi jaringan di antara para pembentuk potensial

o. Adanya situasi yang memudahkan para pembentuk potensial p. Kemampuan mempersatukan

Perlu diperhatikan juga ada beberapa faktor pengaruh terhadap jalannya gerakan sosial, gagasan ini dapat digambarkan pada tabel berikut.

Tabel 2.1

Faktor pengaruh terhadap jalannya gerakan sosial Aspek mikro

(Internal diri aktor)

Aspek makro (Eksternal diri aktor)

Ideologi diri Kondusivitas structural

Nilai-nilai diri Ketegangan struktural

Perspektif memandang suatu fenomena

Penyelenggaraan pemerintah

Sumber daya diri Strategi pembangunan


(5)

berlangsung

Sumber : (Wahyudi, 2005 : 198)

Maka dari itu, gerakan sosial dapat dikategorikan sebagai sebuah manifestasi kepentingan orang-orang yang tidak mendapatkan jaminan dari adanya kekuasaan secara struktural negara. Sehingga mengambil jalan untuk mewujudkan tuntutan dengan berbagai macam metode perlawanan yang disajikan, mulai dari yang bersifat taat asas hukum sampai kepada sebuah usaha yang radikal progresif dalam payung hukum yang abnormal dalam implementasinya. Walaupun nantinya konsekuensinya yang terjadi harus melibatkan semua potensi material yang dimiliki oleh para pelaku gerakan sosial itu sendiri. Baik harta, tenaga maupun nyawa sekalipun untuk mewujudkan harapan keadilan bagi semua orang.

Harper dalam Wahyudi menyebutkan tentang adanya tiga macam konsekuensi gerakan sehingga mengarah pada terjadinya suatu perubahan, yakni: 1) terjadinya dramatisasi isu sosial dan terciptanya masalah- masalah sosial; 2) dilakukannya perubahan- perubahan tertentu dalam kebijakan sosial; dan 3) ekspansi akses struktural pada sumber- sumber tertentu seperti pendidikan, ketenagakerjaan, dan pemeliharaan lingkungan (Wahyudi, 2005: 198)

2.1.2. Teori Perilaku Kolektif (Theory of Collective Behavioral)

Psikologi Sosial mengangkat Teori Perilaku Kolektif untuk membahas gerakan sosial. Pendapat Rajenda Sing membagi tradisi teoritik tentang studi gerakan sosial menjadi tiga tradisi, yaitu teoritik tradisi klasik, neo- klasik, dan


(6)

gerakan sosial baru. Tradisi klasik menstudi jenis perilaku kolektif seperti kerumunan, kerusuhan, dan kelompok pemberontak dari pendekatan psikologi sosial. Tradisi ini ada dalam periode sebelum tahun 1950-an. Tradisi teoritik neo- klasik berkaitan dengan studi terhadap gerakan sosial ‘tua’. Kebanyakan tulisan- tulisannya dipublikasikan setelah tahun 1950-an, dan ini merupakan kontribusi dari ilmuan Barat dan India. Tradisi ini mengikuti kerangka pemikiran fungsionalis (Parsonian), dan dialektik Marxis. Klasifikasi ketiga adalah gerakan sosial kontemporer atau ‘baru’, yang mana muncul di Eropa dan Amerika pada sekitar tahun 1960 dan 1970. Gerakan sosial tipe ini mengusung humanitas, budaya, dan hal- hal yang non- materialistik. Tujuan gerakannya universalistik, yakni untuk mempertahankan esensi manusia dan mempertahankan esensi manusia dan memproteksi kondisinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kali ini gerakan sosial yang dilakukan oleh elemen masyarakat dalam usaha pemberhentian operasi penebangan hutan PT. Gorga Duma Sari adalah gerakan yang mengusung humanitas dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Benar yang disampaikan oleh Gurr, bahwa perilaku kolektif bisa disebabkan oleh rasa ketidaksenangan. Sedangkan rasa ketidaksenangan merupakan produk dari ketidaksesuaian antara kondisi objektif dan ide- ide tentang kondisi tersebut. Ketidaksenangan adalah produk kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan. Selanjutnya Obershall menambahkan, ketidaksenangan juga dapat disebabkan oleh adanya rancangan struktur sosial yang menguntungkan kelompok tertentu dan disatu sisi merugikan kelompok yang lain (Wahyudi; 2005: 14)


(7)

Selanjutnya, menurut Smelser dalam Wahyudi, bahwa manusia memasuki episode perilaku kolektif karena ada sesuatu yang salah dalam lingkungan sosialnya. Smelser mengembangkan skema nilai tambah (value added) untuk menganalisis penentu perilaku kolektif. Penentu- penentu penting perilaku kolektif tersebut meliputi;

a. Kondusifitas struktural, yakni setting dimana perilaku kolektif dapat berlangsung,

b. Ketegangan struktural, yakni memburuknya hubungan diantara komponen tindakan dan sebagai konsekuensinya terjadi kemunduran fungsi dari komponen- komponen tindakan, atau terjadi ‘ketiadaan kehendak’ dalam mengikuti pola- pola tindakan yang sudah diatur secara institusional,

c. Tumbuh dan menyebarnya kepercayaan umum, yakni sesuatu yang mengidentifikasikan sumber ketegangan, kemudian menghubungkan karakter- karakter tertentu sumber itu, dan akhirnya menentukan respon tertentu atas ketegangan yang ada,

d. Faktor-faktor yang mempercepat, atau peristiwa yang menjadi pemicu, e. Mobilisasi partisipan untuk bertindak, faktor ini merupakan faktor awal

mulainya perilaku kolektif aktual, dan

f. Dilakukannya atau dilaksanakannya kontrol sosial.

Kesuksesan gerakan sosial tidak hanya tergantung pada pemimpinnya, tetapi juga pada pengikutnya. Oleh sebab itulah gerakan sosial diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kolektif, maka tindakannya pun tindakan yang sifatnya kolektif. Sedangkan menurut Obershall, orang- orang yang secara politik telah


(8)

aktif dapat berfungsi sebagai sumber gerakan yang besar. Di samping itu, anggota gerakan menurut Kronus juga dapat diambil dari suatu kelompok gerakan dari komitmen yang sama (Wahyudi, 2005: 16)

Pada beberapa kajian, banyak ahli yang mempelajari gerakan sosial ini berangkat dari fenomena gerakan petani untuk melawan hegemoni negara. Meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan mengakibatkan,

pertama, perubahan hubungan antara petani lapisan kaya dan lapisan miskin; yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Perubahan demikian melahirkan berbagai bentuk perlawanan kaum lemah menghadapi hegemoni kaum kaya maupun negara. Kedua, munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk kesadaran melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelotan kultural. Ketiga, defenisi ini mengakui apa yang dinamakan perlawanan simbolis atau ideologis (misalnya gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori - kategori yang dipaksakan, penarikan kembali sikap hormat) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas ( Mustain, 2007: 25)

Adapun pendapat Zanden dan Haberle, memberikan kriteria gerakan sosial sebagai berikut:

a) Bertujuan membawa perubahan fundamental terhadap tatanan sosial. Khususnya dalam institusi dasar properti dan hubungan ketenagakerjaan.

b) Suatu kesadaran tentang identitas atau solidaritas kelompok adalah diperlakukan bersamaan dengan kesadaran dan tujuan,


(9)

c) Gerakan sosial selalu terintegrasi dengan serangkaian ide atau suatu ideologi

d) Gerakan sosial berisi anggota- anggota kelompok yang secara formal diorganisasikan, tetapi gerakan sosialnya itu sendiri adalah bukan kelompok yang terorganisir

e) Memiliki aturan yang cukup kuat untuk meneruskan eksistensinya, meski mereka harus mengubah komposisi keanggotaanya,

f) Gerakan sosial bukan suatu produk, tetapi memiliki durasi ( Wahyudi, 2005: 23)

2.1.3. Teori Aksi Kolektif

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa aksi atau tindakan kolektif itu diawali dari sekelompok orang yang berkumpul, kemudian mereka melakukan tindakan aksi atau tindakan bersama- sama. Tempat berkumpul yang dimaksud dapat berupa: kelompok, asosiasi, organisasi, institusi, jaringan, dan semacamnya yang telah disepakati bersama.

Setiap tindakan manusia pasti disertai dengan penyebab yang menjadi penentu. Faktor- faktor penentu tersebut dapat berasal dari aspek psikologis, sosiologis, politis, kultural, maupun aspek lain yang merupakan kombinasi dari penentu- penentu itu.

Aksi atau tindakan kolektif merupakan salah satu jenis gerakan sosial. Salah satu pemikiran mengenai tindakan kolektif yang dapat menjelaskan tentang gerakan kolektif yang dilakukan oleh kelompok LSM dan berbagai elemen masyarakat yang menuntut pemberhentian operasi penebangan hutan Tele tersebut


(10)

adalah pendapat Max Weber dalam tulisannya beliau memuat tentang analisis mirip dengan gerakan penolakan penebangan hutan Tele yang dimaksudukan tindakan bersama untuk mengejar tujuan bersama.

Terdapat banyak studi terdahulu yang menganalisis tentang bagaimana proses tindakan kolektif itu terjadi. Dalam hal ini setidaknya dapat dikemukakan tentang model analisis yang diberikan oleh Marxian, Durkheimian, Millian, Weberian, dan Tilly. Dalam analisis Marxian, umumnya menempatkan permasalahan tindakan kolektif pada solidaritas yang berada dalam kelompok dan konflik kepentingan diantara kelompok. Sebagaimana kelihatan dalam diagram berikut ini, bahwa mereka menganggap solidaritas dan konflik kepentingan itu saling menguatkan, dimana kedua persoalan ini dipengaruhi oleh kondisi Organisasi Produksi (the organization of production)

Bagan 2.1

Analisis Tindakan Koletif Marxian

Sementara itu, Durkheimian menganggap bahwa tindakan itu merupakan respon langsung terhadap integrasi dan disintegrasi yang terjadi di dalam masyarakat. Mereka ini membedakan tindakan kolektif yang bersifat rutin dan yang tidak rutin. Bentuk yang tidak rutin muncul dari adanya ketidak- senangan (discontent) dan pengejaran interes individu yang dihasilkan oleh adanya disintegrasi pembagian kerja. Sementara itu bentuk yang rutin, sebagaimana tergambar dalam diagram dibawah, menegaskan bahwa tindakan kolektif

Organisasi Produksi Solidaritas

Tindakan Kolektif Konflik Kepentingan


(11)

dipengaruhi oleh solidaritas, yang dalam gilirannya akan memperkuat kembali solidaritas yang ada.

Bagan 2.2

Analisis Tindakan Kolektif Durkheim

Analisis Millian meletakkan persoalan tindakan kolektif sebagai kalkulasi yang dibuat oleh individu dalam mengejar interestnya. Menurut kalangan Millian berbagai macam “petunjuk keputusan” telah mengarahkan interest individu ke dalam tindakan individu, kemudian agregat dari tindakan individu tersebut akan menjadi tindakan kolektif.

Bagan 2.3

Aksi Tindakan Kolektif Millian

Sementara itu, Weberian menganggp tindakan kolektif sebagai hasil pertumbuhan atau perkembangan komitmen ke dalam suatu kepercayaan tertentu. Weberian juga membagi tindakan kolektif ke dalam dua bentuk, yang bersifat tidak rutin dan rutin. Dalam bentuk yang tidak rutin, andil kepercayaan dari kelompok memiliki dampak yang kuat dan langsung terhadap tindakan kolektif kelompok. Sedangkan dalam bentuk rutin, ada dua hal yang terjadi, yakni organisasi berperan untuk memperantarai antara kepercayaan dan tindakan, serta

Non Routine

Pembagian Kerja

Ketidak-senangan Interes Individu

Tindakan Kolektif yang menyimpang

Routine

Solidaritas

Tindakan kolektif

Decision Rules


(12)

bahwa interesi kelompok memainkan peran yang besar dan langsung dalam tindakan kolektif.

Bagan 2. 4

Analisis Tindakan Kolektif Weberian

Kemudian Charles Tilly yang mengembangkan model mobilisasi dalam tindakan kolektif mengatakan bahwa penentu utama dari mobilisasi kelompok itu meliputi; organisasi, interes, peluang atau ancaman, dan kemampuan kelompok dalam menyikapi represi atau fasilitasi. Dalam diagram berikut ini, tergambarkan bahwa kemampuan kelompok atas tindakan represi merupakan fungsi pokok atas berbagai interes yang muncul. Tindakan kolektif yang dilakukan oleh pesaing (contender) adalah merupakan hasil dari aspek- aspek kekuasaan, mobilisasi, peluang, dan ancaman yang saling berhadap- hadapan dengan interes yang ada.

Bagan 2. 5

Model Mobilisasi Charles Tilly

(Wahyudi, 2005: 200- 205)

Non Routine

Interes Tindakan Kolektif

Kepercayaan Organisasi

Routine

Interes Tindakan Kolektif

Kepercayaan Organisasi

Organisasi Interest

Mobilisasi Represi/ Fasilitasi Peluang/ Ancaman


(13)

2.2. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pembangunan 2.2.1. Lingkungan Hidup

Manusia hidup di Bumi tidak sendirian, melainkan bersama dengan mahluk lain, yaitu tumbuhan, hewan dan jasad renik. Mahluk hidup yang lain itu bukanlah sekedar kawan hidup bersama secara netral dan pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat dengan mereka, demikian juga sebaliknya. Menurut Karden E S Manik, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup yang lainnya (Manik, 2009: 31)

Lingkungan hidup berhubungan erat dengan ekosistem. Ekosistem merupakan satuan pokok ekologi, yakni satuan kehidupan yang terdiri atas komunitas mahluk hidup (dari berbagai jenis) dengan berbagai benda mati yang berinteraksi membentuk suatu sistem. Ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi atau transformasi energi yang sepenuhnya berlangsung diantara berbagai komponen dalam sistem itu sendiri atau dengan sistem lain diluarnya. Kehidupan akan berlangsung dalam berbagai fenomena kehidupan menurut prinsip, tatanan, dan hukum alam atau ekologi seperti homoestatis (keseimbangan), kelentingan (resilience atau kelenturan), kompetisi, toleransi, adaptasi, suksesi, evolusi, mutasi, hukum minimum, hukum entropi, dan sebagainya ( Munir, dkk, 2008: 3)


(14)

Dalam buku Karden E S Manik, ditemukan asas ekologi atau lingkungan. Tentunya pengetahuan tentang asas ini diperlukan karena berkaitan dengan peristiwa- peristiwa yang terjadi secara ilmiah, yakni sebagai berikut;

1. Energi yang terdapat dalam suatu organisme, populasi, komunitas atau ekosistem dianggap sebagai energi yang disimpan atau dilepaskan.

Asas ini sama dengan Hukum Termodinamika I dalam Fisika, yang menyatakan bahwa energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tetapi tidak dapat hilang, dimusnahkan, atau diciptakan

2. Tidak ada sistem pemanfaatan energi yang efesien. Dalam Hukum Termodinamika II yang menyatakan bahwa energi yang ada itu tidak seluruhnya dapat digunakan untuk melakukan kerja. Atau setiap perubahan bentuk energi akan terjadi degradasi energi dari bentuk energi terpusat menjadi bentuk yang terpencar. Dalam ekologi, asas ini ditunjukkan oleh piramida makanan (tropik) dan piramida energi. Sebagai contoh dalam proses fotosintesis, hanya sebahagian kecil energi tata surya yang diubah menjadi glukosa (pangan) dan sebahagian besar berubah menjadi energi panas.

3. Materi, energi, waktu, dan keanekaragaman, semuanya termasuk kelompok sumber daya alam. Asas ini menunjukkan bahwa semua yang tersedia secara alamiah (bukan buatan manusia) merupakan sumber daya alam yang dapat dimanipulasi manusia untuk meningkatkan kesejahteraanya. Untuk itu, pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana sehingga keseimbangan ekosistem tetap terjaga dengan baik

4. Peningkatan ketersediaan sumber daya alam akan mempengaruhi penggunaan energi dan air, kepadatan populasi, produksi, dan lain- lain yang sifatnya


(15)

mengikuti ‘ hukum pertumbuhan’. Sebagai contoh adalah pada tanaman. Dengan kondisi sumber daya yang ada (materi, energi, ruang, dan sebagainya) perkembangan dan produksi tanaman akan berlangsung datar sampai tercapai titik pembatas minimum. Akan tetapi penambahan energi (misalnya pupuk) akan meningkatkan pertumbuhan dan produksi sampai suatu titik yang meningkatkan produksi sampai batas maksimum.

5. Mahluk hidup yang lebih cepat beradaptasi dengan lingkungannya akan mampu bersaing. Asas ini memperlihatkan kemampuan mahluk hidup untuk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungannya, berpeluang lebih besar untuk melangsungkan hidupnya karena habitatnya juga makin beragam.

6. Makin stabil suatu ekosistem, makin mantap keanekaragaman suatu komunitas. Keanekaragaman (diversitas) jenis dalam suatu ekosistem ditunjukkan oleh keseimbangan lingkungan. Apabila keseimbangan lingkungan terganggu dan sebagian jenis (spesies) yang ada tidak mampu beradaptasi dengan pengaruh gangguan tersebut, maka jumlah spesies dapat berkurang secara drastis.

7. Sistem yang sudah mantap akan mengeksploitasi sistem yang belum mantap, sebagai contoh, eksploitasi penduduk kota terhadap penduduk desa dari segi pendidikan, pengetahuan umum, penguasaan informasi. Hal ini dikarenakan sistem penduduk dikota jauh lebih baik daripada sistem yang ada di desa. 8. Organisme atau populasi dalam suatu komunitas yang tertekan oleh

lingkungannya, akan berupaya tidak punah (tetap survive).

Sebagai contohnya, kelompok masyarakat yang hidup di daerah yang banyak mengalami tantangan alam. Penduduk yang hidup di daerah gersang (tandus)


(16)

umumnya lebih kritis, ulet, dan dinamis dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dibanding dengan kelompok masyarakat yang hidup di daerah yang subur. Demikian juga kelompok atau individu yang merasa tertekan. Misalnya ada kelompok masyarakat yang melakukan ibadah agamanya merasa tertekan oleh kelompok lain akan tetap melakukannya meskipun akan berjuang. Demikian juga contohnya, apabila ada perusahaan yang menebangi hutan sebagai sumber mata air di sebuah komunitas penduduk, mereka akan melakukan upaya perlawanan (Manik, 2009: 9 – 13)

2.2.1.1. Permasalahan Lingkungan Hidup

Permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stokholm dalam tahun 1972. Dalam konferensi tersebut, banyak disetujui resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai tindak lanjut. Sehingga menjadi landasan didirikannya lembaga PBB yang ditugasi mengurusi permasalahan lingkungan, yaitu United Nations Enviromental Programme (UNEP).

Masalah lingkungan hidup dapat diakibatkan berbagai kegiatan, baik dalam skala terbatas (sempit) maupun dalam skala luas. Dalam skala terbatas, misalnya kegiatan keluarga yang menghasilkan limbah rumah tangga. Limbah ini belum menjadi sorotan masyarakat, khususnya negara- negara sedang berkembang karena semua keluarga menghasilkannya dan dampaknya tidak secara nyata mengganggu kesehatan. Dalam skala luas, masalah lingkungan menjadi penting karena komponen yang menanggung dampak begitu banyak,


(17)

sedangkan pihak penyebab dampak diuntungkan secara ekonomi. Pada umumnya masalah lingkungan hidup disebabkan oleh peristiwa alam, pertumbuhan penduduk yang pesat, pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, industrialisasi dan transportasi (Manik. 2009: 64)

2.3. Hutan sebagai Sumber daya Alam

2.3.1. Pengertian, Manfaat dan Formasi Hutan

Hutan dan Lingkungan Hidup sebuah keterkaitan yang sangat erat. Terciptanya ekosistem yang baik karena adanya penyeimbang. Hutan dapat diandalkan untuk menjaga kestabilan siklus air, siklus udara dan penghasil bahan baku kebutuhan sandang dan papan. Pengertian hutan secara sederhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanah yang luas yang ditumbuhi pohon- pohon. Sedangkan yang dikemukakan oleh Odum (1971), hutan juga tidak hanya terdiri dari komunitas tumbuhan atau hewan semata, akan tetapi meliputi juga keseluruhan interaksinya dengan faktor tempat tumbuh dan lingkungan (Widyaastity, 2002: 2).

Dalam perkembangan kehidupan peradaban manusia, hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan hutan dilakukan dengan cara dan intensitas yang sangat bervariasi, mulai dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi klimaks hutan sampai pada tindakan- tindakan yang menimbulkan komposisi hutan yang mencolok.

Kehutanan merupakan salah satu sektor terpenting yang perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat lebih dari 67 % luas daratan Indonesia merupakan hutan. Menurut Undang- Undang, sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945


(18)

bahwa “ bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Akan tetapi dalam praktiknya, negara tidak serta merta mempergunakan potensi hutan untuk kepentingan rakyat, namun sebaliknya mengabaikan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan karena ulah penguasa dan perusahaan yang eksploitatif.

Sedangkan menurut Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut Food and Agriculture Organization menyatakan bahwa pengertian hutan adalah kira-kira demikian: Lahan yang luasnya lebih dari 0,5 hektar dengan pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih dari 10 persen, atau pohon dapat mencapai ambang batas ini di lapangan. Tidak termasuk lahan yang sebagian besar digunakan untuk pertanian atau permukiman

Di Indonesia, hutan merupakan vegetasi alami utama dan salah satu sumber daya alam yang sangat penting. Hutan Topis Indonesia merupakan yang terluas yang ketiga setelah Brazil dan Zairo, dengan luas kurang lebih 142,3 juta ha atau 74% dari luas daratan. Menurut fungsinya, hutan Indonesia dibagi 4 (empat) yaitu;

(1) Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang berfungsi untuk mengatur tata air, mencegah banjir, dan erosi, serta mempertahankan kesuburan tanah. Luas Hutan Lindung 30,3 juta atau 21,3 % dari seluas kawasan hutan


(19)

(2) Hutan Suaka Alam adalah kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas dan khusus diperuntukkan untuk perlindungan dan pelestarian sumber daya plasma nulfah dan penyangga kehidupan.

(3) Hutan wisata adalah kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk di bina dan dipelihara guna kepentingan wisata, pengembangan ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Luas Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata Indonesia berkisar 19 juta ha (13,3 %)

(4) Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna memproduksi hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, industri, dan ekspor.

Selain pembagian hutan menurut fungsinya seperti diatas, hutan juga dikelompokkan berdasarkan formasinya, yaitu;

(1) Hutan hujan (rain forest). Penyebarannya sangat luas, jenis vegetasinya beraneka ragam, dan tumbuh di daerah basah (terdapat di daeraj Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Papua)

(2) Hutan musim (monsoon forest). Penyebarannya terbatas dan tumbuh di daerah beriklim musim, hutan ini terdapat di Nusa Tenggara dan Sulawesi

(3) Hutan Karangas (health forest). Tumbuh di pasir kwarsa, miskin unsur hara, jenis tanah podsol. Ditemukan di Kalimantan Tengah, Bangka, Belitung, dan Singkep.

(4) Hutan Savana (mixed savannah forest). Tumbuh di daerah yang beriklim musim kering, terdapat di Nusa Tenggara


(20)

(5) Hutan Pantai (coastal forest). Tumbuh di tanah kering berpasir di sekitar pantai, tetapi diatas pasang tertinggi air laut, dengan jenis tanah regosol (pasir), terdapat di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi

(6) Hutan Mangrove atau Payauterdapat di daerah pantai dan tepian sungai berlumpur atau sedikit berpasir, dipengaruhi pasang surut air laut. Terdapat banyak di Sumatera, Jawa, Irian Jaya, Sulawesi, dan Kalimantan

(7) Hutan Rawa (swamp forest). Tumbuh di sekitar muara sungai dan sering tergenang dengan air tawar yang berasal dari sungai (kayu unsur hara) yang banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya

(8) Hutan rawa gambut (peat swamp forest). Hampir sama dengan hutan rawa, tetapi tumbuh di tanah gambut yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan (Manik, 2009: 74 - 76)

Dalam buku Salim ( 2008: 46), dijelaskan bahwa hutan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan bangsa dan negara. Hal ini disebabkan hutan dapat memberikan manfaat yang sebesar- besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Terdapat dua manfaat yang diterima dari keberadaan hutan ini, yakni; a. Manfaat Langsung

Yang dimaksud dengan manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan / dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Yaitu masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, antara lain


(21)

kayu yang merupakan hasil utama hutan, serta berbagai hasil- hasil yang lain seperti rotan, getah, buah- buahan, madu, dan lain- lain.

b. Manfaat Tidak Langsung

Manfaat tidak langsung, adalah manfaat yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat akan tetapi yang dapat dirasakan adalah keberadaan hutan itu sendiri, berikut uraiannya; dapat mengatur uraian tata air, dapat mencegah erosi, penyaringan udara menjadi bersih, dapat memberikan keindahan, dapat memberikan manfaat pada sektor pariwisata, dapat memberikan manfaat dalam bidang pertanahan dan keamanan, dapat menampung tenaga kerja (setiap perusahaan yang mengembangkan usahanya dibidang kehutanan pasti memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar sehingga dapat menurunkan angka penangangguran, dapat menambah devisa negara (Salim, 2008: 46)

2.3.2. Penyebab Kerusakan Hutan

Di Indonesia kerusakan hutan terutama disebabkan:

(1) Sistem perladangan berpindah. Sistem ini dilakukan oleh penduduk yang tinggal di kawasan atau di pinggiran hutan. Akan tetapi, karena penduduk bertambah terus dan teknologi sudah mulai mereka kenal, maka luas hutan yang dibuka makin luas dan waktu tanah yang di istirahatkan juga makin singkat.

(2) Perambahan hutan. Perambahan hutan adalah pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal oleh masyarakat untuk digunakan sebagai lahan usaha tani dan atau permukiman


(22)

(3) Pengusaha HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Pengusaha HPH merupakan penyebab kerusakan hutan terbesar karena alasan keuntungan semata. Perusahaan tidak mematuhi persyaratan- persyaratan dan ketentuan yang mengatur perhutanan yang disebabkan kurangnya pengawasan, mentalitas dan integritas pengawas yang bobrok dan pengusaha kurang peduli terhadap lingkungan. Dalam hal ini, penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan merupakan penebangan hasil kayu hutan yang digunakan untuk kebutuhan manusia.

(4) Bencana Alam. Bencana alam yang disebabkan oleh petir dan gunung meletus yang disebabkan oleh erupsi larva (Manik, 2009: 74- 79)

2.3.3. Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Pembangunan Berkelanjutan adalah proses pembangunan (laha

bisnis,

sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan"

Adapun menurut Brundtland Report dari

Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancura

mengorbankan kebutuhan pembanguna

Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan


(23)

pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas

Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan:

World Summit

2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.

Bagan 2.6.

Pembangunan berkelanjutan: pada pertemuantigakesibukannya.

Skema pembangunan berkelanjutan pada titik temu tiga pilar tersebut, Deklarasi Universal Keberagaman Budaya konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa "...keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam". Dengan demikian "pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan


(24)

intelektual, emosional, moral, dan spiritual". dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan

berkelanjutan

diakses pada 24 Juli 2014 pukul 14:00 WIB)

Dalam Laporan Jurnal Askar Jaya, disampaikan bahwa Konsep Pembangunan Berkelanjutan harus memperhatikan pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi, dan perspektif jangka panjang yang akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Pembangunan yang Menjamin Pemerataan dan Keadilan Sosial

Pembangunan yang berorientasi pemerataan dan keadilan sosial harus dilandasi hal-hal seperti ; meratanya distribusi sumber lahan dan faktor produksi, meratanya peran dan kesempatan perempuan, meratanya ekonomi yang dicapai dengan keseimbangan distribusi kesejahteraan, Namun pemerataan bukanlah hal yang secara langsung dapat dicapai. Pemerataan adalah konsep yang relatif dan tidak secara langsung dapat diukur. Dimensi etika pembangunan berkelanjutan adalah hal yang menyeluruh, kesenjangan pendapatan negara kaya dan miskin semakin melebar, walaupun pemerataan dibanyak negara sudah meningkat. Aspek etika lainnya yang perlu menjadi perhatian pembangunan berkelanjutan adalah prospek generasi masa datang yang tidak dapat dikompromikan dengan aktivitas generasi masa kini. Ini berarti pembangunan generasi masa kini perlu mempertimbangkan generasi masa datang dalam memenuhi kebutuhannya.


(25)

Pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Keanekaragaman hayati juga merupakan dasar bagi keseimbangan ekosistem. Pemeliharaan keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan yang merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti.

c. Pembangunan yang Menggunakan Pendekatan Integratif

Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau merusak. Hanya dengan memanfaatkan pengertian tentang konpleknya keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial. Dengan menggunakan pengertian ini maka pelaksanaan pembangunan yang lebih integratif merupakan konsep pelaksanaan pembangunan yang dapat dimungkinkan. Hal ini merupakan tantangan utama dalam kelembagaan.

d. Pembangunan yang Meminta Perspektif Jangka Panjang

Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih dari masa depan, implikasi pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang melandasi penilaian ini. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan dilaksanakan penilaian yang berbeda dengan asumsi normal dalam prosedur discounting. Persepsi jangka panjang adalah perspektif pembangunan yang berkelanjutan. Hingga saat ini kerangka jangka pendek mendominasi pemikiran para pengambil keputusan ekonomi, oleh karena itu perlu dipertimbangkan (Askar Jaya , 2004)


(26)

Dalam Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) di negara Indonesia diterjemahkan dalam sebuah bentuk agenda, yang dinamakan dengan Agenda 21. Dalam Agenda 21, Terdiri atas 4 bagian, yaitu:

1. Pelayanan masyarakat yakni pengentasan kemiskinan, perubahan pola komsumsi, dinamika kependudukan, pengelolaan dan peningkatan kesehatan, pengembangan perumahan dan permukiman, serta sistem perdagangan global, instrumen ekonomi, neraca ekonomi dan lingkungan terpadu

2. Pengelolaan limbah yakni perlindungan atmosfir, pengelolaan bahan beracun dan berbahaya, pengelolaan limbah radio aktif, dan pengelolaan limbah padat dan cair

3. Pengelolaan sumber daya tanah, yakni mencakup perencanaan sumber daya tanah, pengelolaan hutan, pengembangan pertanian dan pedesaan, dan pengelolaan sumberdaya air

4. Pengelolaan sumber daya alam yakni mencakup konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan bioteknologi, serta pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan

Pada bagian ketiga dan keeempat, ditekankan bahwa negara Indonesia harus mengambil perhatian pada pengelolaan sumber daya tanah dan sumber daya alam, dimana pengelolaan hutan termasuk didalamnya (Sumber: Dokumen Earth Summit Agenda 21 Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan)

2.3.4. Kebijakan Kehutanan

Pemerintah Indonesia mulai menerapkan Sistem Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan memberi hak tersebut kepada beberapa perusahaan besar. Yang


(27)

Kehutanan No.1 Tahun 1967. Dalam sistem ini, perusahaan pembalakan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara bisa memperoleh izin konsesi untuk memanen kayu dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi dan hutan produksi terbatas dalam jangka waktu 20 tahun

Hak Pengusahaan Hutan menurut Undang- Undang No. 5 Tahun 1967 adalah pengusahaan hutan untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan yang meliputi suatu kegiatan- kegiatan penebangan, permudaan, dan pemeliharaan kayu, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan menurut ketentuan- ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas perusahaan

Permasalahan lingkungan hutan akan terus muncul secara serius di berbagai pelosok bumi sepanjang penduduk bumi tidak memikirkan dan mengusahakan keselamatan dan keseimbangan lingkungan hutan itu sendiri. Padahal pemanfaatan hutan produksi yang dilakukan oleh perusahaan seharusnya dilaksanakan dengan tetap menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan fungsi pokoknya. Penyelenggaraan kehutanan disebutkan berazaskan pada manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.

Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Pengejawantahan asas itu kemudian dilakukan dengan mengalokasikan kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi alam. Pengaturan ini diharapkan agar fungsi hutan tetap lestari


(28)

Hukum sebagai salah satu perangkat yang mengatur norma- norma kehidupan bermasyarakat merupakan pendukung terciptaya aktivitas bisnis yang sehat. Oleh karena itu, hukum berfungsi mengatur dan berfungsi memberi kepastian, pengamanan, pelindung, dan penyeimbang, yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Demikianlah kiranya segala bentuk tindakan yang bersinggungan dengan hutan harus berada dibawah payung hukum.

Hak dan kewajiban perusahaan pemegang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, yakni dilihat berdasarkan Pasal 46 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002, setiap pemegang izin pemanfaatan kayu berhak melakukan kegiatan sesuai izin yang diperolehnya dan berhak memperoleh manfaat dari hasil usahanya. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007, Pasal 70 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya.

Akan tetapi, disamping perusahaan yang memperoleh manfaat dari hasil hutan, terdapat kewajiban setiap pemegang izin pemanfaatan hutan berdasarkan Undang- Undang Pasal 47 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002, setiap pemegang izin pemanfaatan hutan berkewajiban untuk

a. Membuat rencana kerja untuk seluruh areal kerja selama jangka waktu berlakunya izin

b. Melaksanakan kegiatan nyata dilapangan selambat- lambatnya tiga bulan sejak diberikakn izin

c. Melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat tiga bulan sejak diberikan izin usaha, kecuali izin pemungutan hasil hutan


(29)

d. Membuat laporan hutan secara periodik

e. Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya dari gangguan keamanan

f. Pemegang izin dalam bentuk Badan Usaha wajib menatausahakan keuangannya sesuai dengan stasndar akuntasi keuangan yang berlaku g. Mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan dan tenaga lain

yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan h. Membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)

Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang- Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi seperti berikut: (1). Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, dalam ayat (2) dikatakan bahwa setiap orang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup, (ayat ini dalam penjelasannya tertera: informasi yang benar dan akurat ini dimaksudkan menilai ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan.

Selanjutnya pemanfaatan dan pengelolaan hutan secara lestari mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Tata Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang penjelasannya sebagai berikut;

Kriteria pengelolaan hutan secara lestari mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologi, antara lain meliputi


(30)

a. Kawasan hutan yang mantap b. Produksi yang berkelanjutan

c. Manfaat sosial bagi masyarakat di sekitar hutan

d. Lingkungan yang mendukung sistem penyangga kehidupan.

Di Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, instrumen untuk pengendalian dampak lingkungan adalah menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL), selanjutnya akan dijabarkan sebagai berikut

2.3.4.1.AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) a. Sejarah AMDAL

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) mulai diterapkan di Indonesia setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1986 tentang AMDAL dan diterbitkannya Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No Kep – 49/MENKLH/ 6/ 1987 sampai Kep -56/ MENKLH/6 / 1987 sebagai pedoman umum pelaksanaan AMDAL. Diberlakukannya Peraturan ini, dikenan dengan dua jenis kegiatan yang wajib melakukan studi kelayakan lingkungan, yaitu;

1. Kegiatan yang direncanakan (belum berjalan). Untuk kegiatan ini, pemrakarsa diwajibkan menyusun dokumen PIL (Penyajian Informasi Lingkungan) atau AMDAL. PIL adalah telaahan secara garis besar tentang rencana kegiatan yang dilaksanakan, rona lingkungan tempat kegiatan, kemungkinan timbulnya dampak lingkungan oleh kegiatan tersebut, dan


(31)

rencana tindakan pengendalian dampak negatifnya. AMDAL terdiri dari dokumen KA- AMDAL (Kerangka Acuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan), RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan) dan dokumen RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan)

2. Kegiatan yang sudah berjalan (beroperasi). Untuk kegiatan ini, pemrakarsa diwajibkan menyusun dokumen PEL (Penyajian Evaluasi Lingkungan) atau SEMDAL. PEL adalah telahaan secara garis besar tentang kegiatan- kegiatan yang sudah berjalan, rona lingkungan pada saat penyajian itu dibuat, dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut, tindakan pengendalian dampak negatifnya. SEMDAL adalah hasil studi mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan yang sudah berjalan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan untuk proses pengambilan keputusan. SEMDAL terdiri dari dokumen KA- SEL (Kerangka Acuan Studi Evaluasi Lingkungan), SEL (Studi Evaluasi Lingkungan). Studi Evaluasi Lingkungan adalah telaahan cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang sudah berjalan.

b. Ruang Lingkup AMDAL

Sebelum masalah lingkungan hidup menjadi sorotan masyarakat dunia, kegiatan suatu proyek pembangunan hanya didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis. Akan tetapi, sejak diundangkannya Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 yang diganti dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diterbitkannya peraturan


(32)

pendukungnya, maka setiap rencana suatu usaha atau kegiatan yang diperkirakan berdampak negatif penting dan wajib dilengkapi studi kelayakan lingkungan. Penerapan studi kelayakan lingkungan merupakan wujud dan penopang konsep pembangunan berwawasan lingkungan yang telah dicanangkan di Indonesia.

Kelayakan lingkungan suatu rencana usaha atau kegiatan ditunjukkan oleh suatu hasil studi, yang disebut dengan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Dengan Pelaksanaan AMDAL diharapkan dampak positif yang ditimbulkan suatu proyek pembangunan dapat dimaksimalkan. Artinya pelaksanaan AMDAL secara benar dan konsisten dalam berbagai proyek pembangunan akan menciptakan suatu era pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan.

Adapun kegunaan AMDAL adalah untuk mencegah terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan oleh suatu rencana usaha atau kegiatan. Dengan pelaksanaan AMDAL diperkirakan kemungkinan terjadinya dampak negatif besar dan penting dapat ditangani dan ditanggulangi sejak dini. Dengan demikian, AMDAL merupakan alat atau instrumen bagi pengelolaan lingkungan hidup, baik bagi pemrakarsa sebagai pengelola, instansi terkait sebagai pengawas atau pemantau, maupun bagi masyarakat (Manik, 2009: 189- 192)

2.4. Kesejahteraan sosial

Istilah kesejahteraan sosial (social welfare) tidak merujuk pada suatu kondisi yang baku dan tetap. Istilah ini dapat berubah-ubah karena ukuran sejahtera atau tidak sejahtera kadang-kadang berbeda antara satu ahli dengan ahli yang lain. Pada umumnya orang kaya dan segala kebutuhannya tercukupi itulah


(33)

yang disebut orang yang sejahtera. Namun demikian, dilain pihak orang yang miskin dan segala kebutuhannya tidak terpenuhi kadang juga dianggap justru lebih bahagia karena tidak memiliki masalah yang pelik sebagaimana umumnya orang kaya.

Wilensky dan Lebeaux merumuskan kesejahteraan sosial sebagai sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang dirancang untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan. Maksudnya agar tercipta hubungan-hubungan personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada individu-individu pengembangan kemampuan-kemampuan mereka seluas-luasnya dan meningkatkan kesejahteraan mereka sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. (Rukminto, 2004:7).

Isbandi Adi Rukminto mengemukakan bahwa pembangunan tidak bisa dilepaskan dengan kesejahteraan sosial. Dimana pada intinya kesejahteraan sosial dalam arti luas melibatkan berbagai domain, seperti; ekonomi, hukum, sosial (termasuk didalamnya pekerjaan sosial dalam arti sempit), budaya, politik, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dan religi (Rukminto, 2004: 19)

Dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial, sangat erat kaitannya dengan disiplin Pekerjaan Sosial. Bahkan dapat dikatakan cikal bakal dari Ilmu Kesejahteraan Sosial itu sendiri adalah pekerjaan sosial. Terkait dengan faktor historis tersebut, Ilmu Kesejahteraan Sosial juga merupakan ilmu yang memfokuskan pada human service practice, Ilmu Kesejahteraan Sosial secara langsung juga dapat dikatakan sebagai ilmu yang terkait dengan profesi yang memberikan bantuan (helping


(34)

proffesions) terhadap klien, beneficiaries (penerima layanan) ataupun kelompok sasaran (target group) (Rukminto, 2004: 25)

2.4.1. Nilai dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial

Nilai dasar dalam ilmu ini pada awalnya dipengaruhi oleh nilai yang berkembang pada ‘profesi yang memberikan bantuan terhadap masyarakat’. Berikut nilai yang harus termaktub dalam ilmu kesejahteraan sosial;

1. Agen Perubah (Change Agent)- dalam hal ini praktisi kesejahteraan sosial- harus mempertimbangkan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, dengan memperhatikan hak anggota masyarakat yang lain.

2. Agen perubah harus mempertimbangkan bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan perlindungan dan kesempatan dalam memenuhi hak- hak dan kebebasannya asasinya yang sejalan dengan kepentingan bersama (tidak bertentangan dengan norma masyarakat secara umum)

3. Perubahan sosial terencana yang dilakukan oleh agen perubah harus memperhatikan unsur keterlibatan dan keikutsertaan (partisipasi) warga masyarakat sebagai hak dan juga kewajiban masyarakat.

4. Perubahan sosial terencana (intervensi sosial) yang dikembangkan oleh agen perubah haruslah melihat dan memperhatikan unsur kesinambungan (sustainability) dari program tersebut.


(35)

5. Perubahan sosial terencana (intervensi sosial) yang dikembangkan oleh agen perubah harus memperhatikan dan mempertimbangkan unsur integrasi sosial dalam masyarakat.

6. Agen perubah haruslah memperhatikan hak penerima manfaat ataupun komunitas sasaran dalam mengembangkan layanan ataupun program, sehingga tidak terjadi hubungan yang eskploitatif diantara mereka (Rukminto, 2004: 45)

7.

2.4.2. Usaha Kesejahteraan Sosial

Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu program ataupun kegiatan yang didesain secara konkrit untuk menjawab masalah, kebutuhan masyarakat ataupun meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha – usaha kesejahteraan sosial itu sendiri dapat ditujukan pada individu, keluarga, kelompok- kelompok dalam komunitas, ataupun komunitas secara keseluruhan (baik komunitas secara lokal, regional, maupun nasional)

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial ini, hadir organisasi sebagai alat untuk melakukan usaha, organisasi ini dalam perspektif luas seringkali disebut dengan organisasi pelayanan masyarakat. Dimana menurut Schneiderman (1967) dikuti oleh Mendoza (1981: 3-4) dalam Buku Isbandi Rukminto, bahwa tiga tujuan organisasi pelayanan masyarakat (swasta dan pemerintah) adalah sebagai berikut;

a. Tujuan Kemanusiaan dan Keadilan Sosial

Tujuan ini bersumber dari gagasan ideal demokratis tentang keadilan sosial, dan hal ini berasal dari keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai hak


(36)

untuk mengembangkan diri. Meskipun kadangkala potensi tersebut ‘tertutup’ oleh adanya hambatan fisik, sosial, ekonomi, kejiwaan dan berbagai faktor lainnya. Berdasarkan tujuan ini, usaha kesejahteraan sosial banyak diarahkan pada upaya pengidentifikasian kelompok yang tidak mendapat perhatian; kelompok yang paling diterlantarkan; kelompok yang paling tergantung pada pihak lain ataupun kelompok yang kurang diuntungkan. Usaha kesejahteraan sosial menjadikan mereka sebagai kelompok sasaran dalam upaya menjembatani kelangkaan sumber daya yang dimiliki.

b. Tujuan yang terkait dengan Pengendalian Sosial

Tujuan ini berkembang berdasarkan pemahaman bahwa kelompok yang tidak diuntungkan; kekurangan; ataupun tidak terpenuhinya kebutuhan hidup akan dapat menjadi serangan atau ancaman bagi kelompok yang lebih mapan. Karena itu, kelompok yang sudah mapan berupaya mengamankan diri mereka dari sesuatu yang dapat mengancam eksistensi mereka, kepemilikan atau stabilitas yang sedang berjalan. Misalnya saja, perusahaan multi nasional yang mengalokasikan sebagian kecil anggarannya untuk tanggungjawab sosial kepada masyarakat sekitar supaya perusahaan itu tetap berlangsung stabilitasnya.

c. Tujuan yang terkait dengan Pembangunan Ekonomi

Tujuan pembangunan ekonomi memprioritaskan pada program- program yang dirancang untuk meningkatkan produksi barang dan jasa, serta berbagai sumber daya yang dapat menunjang serta memberikan sumbangan pada pembangunan ekonomi.


(37)

Beberapa contoh usaha kesejahteraan sosial yang searah dengan tujuan pembangunan ekonomi adalah;

a. Beberapa tipe usaha kesejahteraan sosial yang secara langsung memberikan sumbangan terhadap peningkatan produktivitas individu, kelompok, maupun masyarakat. Seperti usaha kesejahteraan sosial yang memberikan usaha konseling pada pekerja sektor industri, usaha kesejahteraan sosial yang memfokuskan pada penyediaan fasilitas dan layanan kesejahteraan pekerja, usaha kesejahteraan sosial yang memfokuskan pada pelatihan bagi mereka yang sedang menganggur, dan sebagainya

b. Usaha kesejahteraan sosial yang berupaya untuk mencegah atau meminimalisir hambatan (beban) akibat adanya tanggapan dari pekerja untuk memperoleh jaminan bagi sanak keluarganya.

c. Usaha kesejahteraan sosial yang mencegah atau melawan pengaruh buruk organisasi dan idustrialisasi terhadap kehidupan keluarga dan masyarakat, serta membantu mengidentifikasikan dan mengembangkan kepemimpinan lokal dalam komunitas, misalnya program latihan kepemimpinan, program pendidikan kehidupan berkeluarga, program kemandirian komunitas, dan sebagainya (Rukminto, 2004: 50-51)

2.5. Kemiskinan

Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas, Soeharto (2009:132) menerangkan kemiskinan memiliki ciri sebagai berikut;

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan komsumsi dasar ((pangan, sandang, dan papan)


(38)

2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi

3. Ketiadaan jaminan masa depan

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifa individual maupun massal 5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia

6. Keterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat

7. Ketiadaan akses terhadap lapangan pekerjaan dan mata pencaharian berkesinambungan

8. Ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik maupun mental 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial

Selanjutnya, David Cox dalam buku Soeharto membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi;

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya negara- negara maju, sedang negara- negara sedang berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakikat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan

3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak- anak dan kelompok minoritas


(39)

4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian- kejadian lain atau faktor- faktor eksternal, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk (Soeharto, 2009: 132)

Selanjuntnya Ellis dalam buku Soeharto menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial – psikologis. Secara ekonomi , kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Berdasarkan konsepsi ini maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang dimiliki melalui penggunaaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (proverty line). Cara seperti ini disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut (Soeharto, 2009: 134).

Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini dapat mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumber daya. Dalam konteks politik ini, Friedman mendefenisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasi basis kekuasaan sosial yang meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosail), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, (e) pengetahuan dan


(40)

keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman, dalam Soeharto, 2009: 135)

Kemiskinan secara sosial – psikologis merujuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan- kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor- faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan- kesempatan yang ada di dalam masyarakat. Faktor- faktor yang menghambat itu secara umum meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal datang dari diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori kemiskinan budaya (cultural proverty) dikemukakan oleh Oscar Lewis, misalnya bahwa kemiskinan dapat muncul akibat adanya nilai- nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang- orang miskin , seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, dan sebagainya. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, misalnya birokrasi atau peraturan- peraturan resmi yang menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumber daya. Kemiskinan seperti ini sering diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Pandangan ini menjelaskan, kemiskinan bukan karena ketidakmauan si miskin untuk bekerja, akan tetapi karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan- kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja (Soeharto, 2009: 136)


(41)

2.5.1. Ciri-ciri Kemiskinan

Menurut Dwi Widodo dalam buku Soeharto, kemiskinan tidak hanya tampak pada penghasilan saja, melainkan juga pada aspek-aspek kehidupan lainnya.

Adapun ciri-ciri yang tampak pada masyarakat miskin antara lain:

a) Ciri Ekonomi, pemilikan modal fisik. kecil, pekerjaan serabutan, anggota keluarga ikut mencari nafkah, bidang usaha di sektor informal, manajemen usahanya lemah.

b) Ciri Sosial, jumlah anggota keluarga besar, tingkat pendapatan rendah, tingkat kesehatan rendah.

c) Ciri Politik, kadang-kadang luput dari program pemerintah, tertutup terhadap program pembangunan, masa bodoh dan acuh tak acuh terhadap pembaharuan, buta hukum.

d) Ciri Lingkungan Fisik, hidup dirumah darurat atau daerah kumuh, fasilitas rumah terbatas dan kurang sehat, lingkungan geografis jelek (tandus, pinggir sungai, transportasi sulit)

e) Ciri Sosial Budaya, merasa di pinggir, rendah diri dan pasrah pada nasib

2.6. Kerangka Pemikiran

Sumber daya alam harus memiliki keselarasan pada peningkatan kondisi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat harus menerima manfaat akan adanya sistem sumber di sekeliling mereka. Hutan merupakan sumber daya alam yang


(42)

sangat besar peranannya untuk menjaga keberlangsungan kehidupan mahluk hidup, termasuk manusia sebagai mahluk sosial didalamnya

Pembangunan hadir sebagai proses untuk mengembangkan peradaban manusia ke arah yang lebih baik. Segala bentuk usaha pembangunan yang dicanangkan oleh negara seperti membuka regulasi hadirnya perusahaan untuk memanfaatkan sumber daya. Oleh karena itulah adanya kehadiran perusahaan PT. Gorga Duma Sari (GDS) untuk menebang hutan di Desa Hariara Pintu, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir. Perusahaan ini merupakan perusahaan kepemilikan perseorangan yang melakukan usaha pengolahan kayu hutan untuk dijadiakan material bangunan dan meubel.

Kehadiran perusahaan ini dalam melakukan penebangan hutan Tele mengundang banyak perhatian masyarakat dan kelompok- kelompok sosial dari luar desa Hariara Pintu. Mereka menolak kehadiran perusahaan ini melalui gerakan sosial yang dilangsungkan pada semenjak tahun 2013. Gerakan sosial ini menamakan diri dengan Forum PESONA, yang merupakan gabungan dari berbagai elemen masyarakat sebagai berikut; STKS (Serikat Tani Kabupaten Samosir) PSE Caritas Keuskupan Medan, JPIC Kapusin Medan, HKBP Distrik VII Samosir, Yayasan Raja Lintong Situmorang, para perantau Samosir, Kelompok Swadaya Prakarsa dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM), , Komunitas Samosir Greeen, GAMKI Samosir, LSM Perintis, SLTF (Save Lake Toba Foundation) yang tergabung dalam Forum PESONA (Peduli Samosir Nauli).

Akan tetapi disatu sisi, kehadiran perusahaan ini tidak serta merta ditolak oleh masyarakat di Desa Hariara Pintu. Menarik untuk meneliti kasus ini lebih


(43)

dalam untuk melihat fenomena respon yang berbeda ditengah- tengah masyarakat. Disatu sisi, sebahagian masyarakat di Desa Hariara Pintu mendukung gerakan sosial yang digerakkan oleh Forum PESONA namun di sisi lain sebahagian masyarakat di desa ini mendukung keberadaan perusahaan untuk tetap beroperasi.

Oleh karena itu, menarik untuk diteliti melihat bagaimana peranan dan proses gerakan sosial Forum PESONA dalam memberhentikan usaha penebangan hutan yang dimasksud dan juga untuk melihat respon yang berbeda ditengah- tengah masyarakat lokal daerah hutan tersebut

Bagan 2.7 Bagan Alir Pikiran

Penebangan Hutan Tele

Gerakan Sosial Forum PESONA

Masyarakat Lokal Hutan Tele Desa Hariara Pintu, Kecamatan

Harian, Kabupaten Samosir

Aksi Reaksi

PT. Gorga Duma Sari Reaksi

Penolakan

Mendukung Mendukung


(44)

2.7. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk mnggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan kelompok atau individu yang mnjadi pusat perhatian ilmu sosial. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah- istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta persamaan persepsi tentang apa yang diteliti dan mnghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian

Untuk lebih memfokuskan penelitian ini, maka peneliti memberikan batasan konsep sebagai berikut:

a) Dampak adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik akibat yang bernilai positif maupun bernilai negatif

b) Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

c) Penebangan Hutan adalah suatu proses menebangi pohon dalam hal pemanfaatan kayu hasil hutan.

d) Kondisi sosial ekonomi adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan sesorang dalam posisi tertentu dalam struktur masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi si pembawa status misalnya pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan.

e) Gerakan sosial adalah perilaku kolektif kelompok sosial berupa tindakan untuk program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai


(45)

gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.

f) Masyarakat di sekitar hutan adalah kelompok sosial yang memiliki nilai- nilai kehidupan yang memiliki keterikatan dengan keberadaan hutan yang saling mempengaruhi satu sama lain.


(1)

keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman, dalam Soeharto, 2009: 135)

Kemiskinan secara sosial – psikologis merujuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan- kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor- faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan- kesempatan yang ada di dalam masyarakat. Faktor- faktor yang menghambat itu secara umum meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal datang dari diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori kemiskinan budaya (cultural proverty) dikemukakan oleh Oscar Lewis, misalnya bahwa kemiskinan dapat muncul akibat adanya nilai- nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang- orang miskin , seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, dan sebagainya. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, misalnya birokrasi atau peraturan- peraturan resmi yang menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumber daya. Kemiskinan seperti ini sering diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Pandangan ini menjelaskan, kemiskinan bukan karena ketidakmauan si miskin untuk bekerja, akan tetapi karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan- kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja (Soeharto, 2009: 136)


(2)

2.5.1. Ciri-ciri Kemiskinan

Menurut Dwi Widodo dalam buku Soeharto, kemiskinan tidak hanya tampak pada penghasilan saja, melainkan juga pada aspek-aspek kehidupan lainnya.

Adapun ciri-ciri yang tampak pada masyarakat miskin antara lain:

a) Ciri Ekonomi, pemilikan modal fisik. kecil, pekerjaan serabutan, anggota keluarga ikut mencari nafkah, bidang usaha di sektor informal, manajemen usahanya lemah.

b) Ciri Sosial, jumlah anggota keluarga besar, tingkat pendapatan rendah, tingkat kesehatan rendah.

c) Ciri Politik, kadang-kadang luput dari program pemerintah, tertutup terhadap program pembangunan, masa bodoh dan acuh tak acuh terhadap pembaharuan, buta hukum.

d) Ciri Lingkungan Fisik, hidup dirumah darurat atau daerah kumuh, fasilitas rumah terbatas dan kurang sehat, lingkungan geografis jelek (tandus, pinggir sungai, transportasi sulit)

e) Ciri Sosial Budaya, merasa di pinggir, rendah diri dan pasrah pada nasib

2.6. Kerangka Pemikiran

Sumber daya alam harus memiliki keselarasan pada peningkatan kondisi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat harus menerima manfaat akan adanya sistem sumber di sekeliling mereka. Hutan merupakan sumber daya alam yang


(3)

sangat besar peranannya untuk menjaga keberlangsungan kehidupan mahluk hidup, termasuk manusia sebagai mahluk sosial didalamnya

Pembangunan hadir sebagai proses untuk mengembangkan peradaban manusia ke arah yang lebih baik. Segala bentuk usaha pembangunan yang dicanangkan oleh negara seperti membuka regulasi hadirnya perusahaan untuk memanfaatkan sumber daya. Oleh karena itulah adanya kehadiran perusahaan PT. Gorga Duma Sari (GDS) untuk menebang hutan di Desa Hariara Pintu, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir. Perusahaan ini merupakan perusahaan kepemilikan perseorangan yang melakukan usaha pengolahan kayu hutan untuk dijadiakan material bangunan dan meubel.

Kehadiran perusahaan ini dalam melakukan penebangan hutan Tele mengundang banyak perhatian masyarakat dan kelompok- kelompok sosial dari luar desa Hariara Pintu. Mereka menolak kehadiran perusahaan ini melalui gerakan sosial yang dilangsungkan pada semenjak tahun 2013. Gerakan sosial ini menamakan diri dengan Forum PESONA, yang merupakan gabungan dari berbagai elemen masyarakat sebagai berikut; STKS (Serikat Tani Kabupaten Samosir) PSE Caritas Keuskupan Medan, JPIC Kapusin Medan, HKBP Distrik VII Samosir, Yayasan Raja Lintong Situmorang, para perantau Samosir, Kelompok Swadaya Prakarsa dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM), , Komunitas Samosir Greeen, GAMKI Samosir, LSM Perintis, SLTF (Save Lake Toba Foundation) yang tergabung dalam Forum PESONA (Peduli Samosir Nauli).

Akan tetapi disatu sisi, kehadiran perusahaan ini tidak serta merta ditolak oleh masyarakat di Desa Hariara Pintu. Menarik untuk meneliti kasus ini lebih


(4)

dalam untuk melihat fenomena respon yang berbeda ditengah- tengah masyarakat. Disatu sisi, sebahagian masyarakat di Desa Hariara Pintu mendukung gerakan sosial yang digerakkan oleh Forum PESONA namun di sisi lain sebahagian masyarakat di desa ini mendukung keberadaan perusahaan untuk tetap beroperasi.

Oleh karena itu, menarik untuk diteliti melihat bagaimana peranan dan proses gerakan sosial Forum PESONA dalam memberhentikan usaha penebangan hutan yang dimasksud dan juga untuk melihat respon yang berbeda ditengah- tengah masyarakat lokal daerah hutan tersebut

Bagan 2.7 Bagan Alir Pikiran

Penebangan Hutan Tele

Gerakan Sosial Forum PESONA Masyarakat Lokal Hutan Tele

Desa Hariara Pintu, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir

Aksi Reaksi

PT. Gorga Duma Sari Reaksi Penolakan

Mendukung Mendukung


(5)

2.7. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk mnggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan kelompok atau individu yang mnjadi pusat perhatian ilmu sosial. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah- istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta persamaan persepsi tentang apa yang diteliti dan mnghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian

Untuk lebih memfokuskan penelitian ini, maka peneliti memberikan batasan konsep sebagai berikut:

a) Dampak adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik akibat yang bernilai positif maupun bernilai negatif

b) Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

c) Penebangan Hutan adalah suatu proses menebangi pohon dalam hal pemanfaatan kayu hasil hutan.

d) Kondisi sosial ekonomi adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan sesorang dalam posisi tertentu dalam struktur masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi si pembawa status misalnya pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan.

e) Gerakan sosial adalah perilaku kolektif kelompok sosial berupa tindakan untuk program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai


(6)

gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.

f) Masyarakat di sekitar hutan adalah kelompok sosial yang memiliki nilai- nilai kehidupan yang memiliki keterikatan dengan keberadaan hutan yang saling mempengaruhi satu sama lain.