Religiusitas masyarakat pinggiran: telaah pola keberagamaan masyarakat Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro.

(1)

RELIGIUSITAS MASYARAKAT PINGGIRAN

(Telaah Pola Keberagamaan Masyarakat Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro)

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial (S.Sos) dalam Bidang Sosiologi

ROFI’I

NIM B05213019

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Rofi’i, 2017, Religiusitas Masyarakat Pinggiran (Telaah Pola Keberagamaan Masyarakat Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayanag Kabupaten Bojonegoro), Skripsi Program Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Keyword: Pola Keberagamaan,Religiusitas, Masyarakat Pinggiran, Penelitian ini berwal dari ketertarikan peneliti tentang cara pelaksanaan

ibadah masyarakat pinggiran yang unik, dengan kondisi terisolir (Isolated) jauh

dari kesejahteraan sosial serta transformasi sosial. Masyarakat Dusun Sekidang memiliki definisi-definisi yang unik tentang agamanya. Ada dua rumusan masalah dalam penelitian Skripsi ini: 1) Bagaimana bentuk-bentuk religiusitas di Dusun Sekidang; 2) Bagaimana proses konstruksi sosial pola keberagamaan masyarakat di dusun Sekidang.

Menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode kuliatatif

dengan subjek penelitian menggunakan Snowball sampling, tahap-tahap penelitian

yaitu tahap pra lapangan, tahap lapangan, tahap analisa data dan tahap penulisan laporan. Dalam penelitian kualitatif teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi, studi pustaka dan data online. Teori yang digunakan Konstruksi Sosial Peter L. Berger. Dalam teori Konstruksi Sosial ada tiga tahap momen penting yang terjadi, yaitu: eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.

Hasil penelitian dari penelitian ini ada dua: Pertama; Masyarakat

pinggiran dengan segala keterbatasan tentang pengetahuan, dalam beragama telah memunculkan suatu bentuk pencurahan kedirian sebagai bentuk religiusitas yang terlihat dari bentuk bentuk ekspresi keberagamaan (Sholat dhuhur dan asyar yang dinyaringkan bacaannya). Ekspresi religius tersebut menjadi suatu pengetahuan yang dipandang perlu dan benar untuk dilakukan oleh masyarakat hingga menjadi

nilai kebenaran yang absolut. Kedua; Pengetahuan pola keberagamaan menjadi

konstruksi sosial, yang pada akhirnya mendapat legitimasi dari masyarakat

kemudian di transmisikan kepada anak cucunya untuk diteruskan.

Keberlangsungan pola keberagamaan tersebut dilanggengkan oleh masyarakat di Dusun Sekidang memiliki dengan keunikan dalam beragama berupa praktek beragama (Sholat dhuhur dan asyar yang dinyaringkan bacaannya).


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... viii

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SKEMA ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan masalah... 7

C. Tujuan penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Definisi Konseptual ... 9

F. Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II RELIGIUSITAS DAN KONTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMANN ... 15

A. Penelitian Terdahulu ... 15

B. Religiusitas dan Tipe Masyarakat ... 18

C. Konstruksi Sosial Peter L Berger dan Thomas Luckmann ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 45


(8)

ii

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

C. Pemilihan Subjek Penelitian ... 48

D. Tahap-Tahap Penelitian ... 50

E. Teknik Pengumpulan Data ... 53

F. Teknik Analisa Data ... 56

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 58

BAB IV BENTUK DAN PROSES KONSTRUKSI SOSIAL POLA KEBERAGAMAAN MASYARAKAT PINGGIRAN ... 60

A. Deskripsi Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang ... 60

B. Kontruksi Sosial Sebagai Proses Pola Keberagamaan ... 67

C. Peran Individu dan Paham Keberagamaan dalam Kacamata Teori Kontruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann ... 86

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara

2. Jadwal Penelitian

3. Surat Keterangan

4. Berita Acara

5. Kartu Pembimbing


(9)

DAFTAR GAMBAR


(10)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1: Data Informan ... 50 Tabel 4.1: Batas Dusun Sekidang ... 60 Tabel 4.2: Ringkasan Temuan di Lapangan ... 87


(11)

DAFTAR SKEMA

Skema 2.1: Skema berpikir Teori ... 44 Skema 4.1: Implikasi Teori Kontruksi Sosial ... 98


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Teamayang Kabupaten Bojonegoro secara geografis merupakan Dusun terpencil dan terisolir. Dusun di tengah hutan dengan jalan setapak berdebu jika musim kering, dan becek jika musim hujan melengkapi ciri sebagai Dusun terpencil. Dengan kondisi seperti itu membuat Dusun tersebut jarang dijamah pendatang maupun masyarakat di Desa Soko sendiri. Karena medan yang sulit, menjadi alasan utama tidak adanya interaksi maupun sosisalisasi dari warga Desa lain, maupun pen-dakwah untuk berdakwah di Dusun tersebut.

Kondisi geografis semacam itu menjadikan penduduk setempat tidak mempunyai banyak pilihan untuk menentukan pilihan bekerja dan mengembangkan diri, kecuali hanya berkebun, beternak, dan berburu. Keterbatasan tersebut menjadikan masyarakat di Dusun Sekidang mayoritas menentukan pilihan mata pencaharian bertani dan menggantungkan kelangsungan hidup dari hasil panennya. Bertani sebagai pekerjaan utama masyarakat di Dusun tersebut untuk menyambung hidup. Jika ditinjau rentang waktu menanam dan panen, bertani menyita banyak waktu di ladang sehingga menyebabkan intesitas komunikasi masyarakat Dusun Sekidang dengan masyarakat lain sangatlah kurang. Akhirnya, interaksi serta komunikasi


(13)

2

masyarakat menjadi sealur dan hanya pada tataran kesibukan sehari-hari mengenai pekerjaan dan pertumbuhan tanamannya di ladang.

Di tengah kondisi terisolir jauh dari keramaian kota dan sumber informasi, jauh dari sumber-sumber ilmu pengetahuan baru tentang agama, budaya, dan perkembangan Dunia. Ditambah dengan tidak adanya da’i yang berbagi pengetahuan mengenai keagamaan, menjadi salah satu penyebab berkembangnya berbagai macam pola keagamaan yang tercipta dengan berbagai macam penafsiran dari pengalaman spiritual (mimpi, bisikan ghaib) individu. Keterbatasan-keberbatasan itu nyatanya membawa masyarakat tidak pernah lepas dari pengaruh realitas sekelilingnya. Jauh sebelum Islam masuk ke Dusun Sekidang Desa Soko, masyarakat telah hidup dengan kepercayaan berdasarkan animisme1 dan dinamisme.2 Dimana benda-benda dan tumbuh-tumbuhan menjadi sesuatu hal yang sakral dan dihormati sebagai sebuah hal yang memiliki nilai supranatural.

Berkenaan dengan hal-hal supranatural (adikodrati) Agama sendiri merupakan suatu fenomena yang bersifat universal, hampir semua individu, masyarakat dan juga negara mengenal agama. Setiap agama memiliki konsep, ritual dan juga makna tersendiri yang berbeda dengan agama lain. Walaupun dalam tataran konsep, ritual, dan makna berbeda, namun agama tetap menjadi sebuah nilai yang sangat penting dalam masyarakat.

1 Kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gua) atau memeiliki jiwa yang harus dihormati.

2 Pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah menetap ditempat-tempat tertentu, seperti pohon besar.


(14)

3

Dalam beragama tentu ada batasan-batasan aturan untuk meyakininya, yang mengatur sendi-sendi kehidupan sebagai bentuk nyata dalam beribadah. Agama - Islam secara khusus - telah memberi petunjuk mengenai bagaimana mengimani sebuah kepercayaan. Mulai dari ibadah maghdah3 dan juga ghoiru

mahdah4, menjauhi perkara yang buruk dan mendekatkan diri dengan hal-hal

yang baik, menjauhi perkara haram, dan menjauhi perbuatan yang menimbulkan dosa.

Setiap agama selalu ada sebuah objek yang diagungkan oleh penganutnya. Objek tersebut berada diluar diri manusia yang kemudian menjadi suatu hal yang diyakini dikalangan umat agama tersebut. Demikian juga dengan agama Islam, konsepsi Islam mengenai sesuatu yang berada diluar diri manusia di kenal dengan konsep ke-ghaib-an. Konsep tentang

ke-ghaib-an di atur dalam prinsip akidah Islamiah yang tercermin dalam rukun

iman.

Dalam agama Islam, diatur bahwa yang paling berhak disembah adalah Allah. Menyembah selain-Nya dikategorikan sebagai bentuk kesyirikan. Kesyirikan merupakan sikap menyekutukan Tuhan dengan selain-Nya. Sehingga sanksinya sangat jelas, bahkan dikatakan bahwa dosa yang tidak bisa diampuni adalah dosa syirik kecuali pelakunya bertaubat sebelum meninggal. Ajaran agama Islam secara tegas melarang umatnya untuk percaya dan meminta pertolongan kepada selain Tuhan (Allah), terlebih kepada dukun,

3Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang telah ditetpkan Allah akan

tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya, seperti syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji.

4Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah yang:


(15)

4

peramal maupun paranormal. Karena memintai dan mempercayai dukun dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Perilaku syirik dalam agama Islam berkonsekuensi terhadap pertaruhan akidah keagamaan.

Ditengah keberagamaannya sebagai muslim, masyarakat Dusun Sekidang masih kental dengan ritual-ritual adat (tempat atau benda yang dianggap memiliki kekuatan magis) yang dilaksanakan di hari tertentu sebagai bentuk ibadah serta bentuk penghormatan, diyakini mempunyai kekuatan magis sebagai penyambung do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu sekaligus, memberikan tafsir mistis terhadap tempat-tempat keramat yang melekat pohon besar, dan juga kuburan. Karena kepercayaan akan ke-keramatan kuburan, kuburan menjadi layaknya tempat ibadah untuk berdo’a, bermunajat, serta seperti tempat sembahyang pada umumnya.

Di hari-hari tertentu, ada juga upacara pemberian sesajen (sesembahan untuk makhluk ghaib) di kuburan yang di anggap keramat tersebut, yang dilaksanakan dengan tujuan agar hajatnya segera tercapai, bancakan sebagai bentuk pengharapan (hajatnya segera dikabulkan) sekaligus ucapan terima kasih (adanya harta serta kesempatan untuk memberi kepada tetangga) kepada penghuni tempat keramat. Kemudian ritual dilanjut dengan makan bersama-sama ditempat itu juga sebagai bentuk nyata bahwa alam ghaib dan alam manusia sama saja dan saling menyatu. Setelah makan, masyarakat Dusun tersebut tidak langsung pulang kerumahnya masing-masing, ada beberapa


(16)

5

orang yang melanjutkan do’a serta bemunajat dengan cara melekan5di tempat tersebut bagi yang mempunyai hajat ingin cepat menjadi pegawai negeri, lurah, TNI, Polri, guru, dan berbagai macam hajat lainnya yang dimunjatkan ditempat tersebut.

Keyakinan animisme dan dinamisme yang masih melekat, membuat sebagian perilaku masyarakat disana berbeda dari masyarakat muslim umumnya. Beberapa orang dari masyarakat tersebut masih memelihara babi hutan, anjing, dan lainnya. Entah karena kemungkin faktor geografis tempat tinggal masyarakat tersebut ditengah hutan, atau dengan tujuan memelihara hewan tersebut untuk kepentingan berburu, diternak untuk dijual, atau untuk menjaga harta kekayaannya (kambing, sapi dan kerbau) dari serangan binatang buas.

Dari sisi tindakan maupun perilaku, dari dulu hingga sekarang beberapa masyarakat di Dusun tersebut masih suka berburu kijang, monyet, ular, nyambek6, dan hewan lain yang sekiranya mempunyai nilai jual dan bisa dijadikan lauk-pauk. Kadangkala berburu hanya sekedar untuk keperluan makan atau untuk menambah pendapat rumah tangga mereka. Satu lagi yang terlihat sedikit barbarisme jika tidak biasa melihat kebiasaan masyarakat

5

Berjaga (tidak tidur) semalam suntuk, kebiasaan ini dalam masyarakat jawa biasanya dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaanya, baik pekerjaan yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

6Nyambek adalah sebangsa reptile yang masuk ke dalam golongan kadal besar, dimana setiap daerah memiliki penamaan tersendiri kepada binatang tersebut. Kebanyakan masyarakat juga menyebut sebagai biawak.


(17)

6

tersebut. Ulat yang belum menjadi enthong7 mereka masak untuk keperluan lauk, walaupun tidak dijadikan makanan sehari-hari karena makanan sejenis itu hanya ada pada waktu peralihan dari musim hujan kemusim panas.

Salah satu keunikan yang menonjol dan terlihat aneh di Dusun tersebut ialah; ketika melaksanakan ibadah sholat lima waktu terkhusus sholat fardhu D}uhur dan A’s}ar dimanapun tempatnya terlepas dari konteks sosio-historis pembaca atau orang yang menjalankan sholat tersebut melirihkan bacaannya (terdengar sendiri oleh pembaca do’a). Namun faktanya di masyarakat Dusun tersebut sholat dhuhur maupun ashar layaknya sholat isya, bacaan do’anya (al-fa>tihah, dan surat-surat pendek) dinyaringkan.

Hal yang berbeda juga terlihat di masyarakat tersebut, terlebih sebagai umat Islam sholat jamaah merupakan ibadah yang sangat tinggi kadar amal ibadahnya, apalagi terkhusus hari Jum’at dimana menurut orang Islam hari tersebut merupakan hari yang baik untuk bermunajat. Beda dari umunya yang pernah terlihat dan tersaji dalam ajaran agama Islam, ditempat tersebut tak ada sholat jum’at walaupun secara d}ohir (dalam kartu tanda penduduknya) maupun batin (tindakan menerima untuik beragama) mencerminkan bahwa mereka beragama Islam.

Berdasarkan beberapa fenomena di desa tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti pola religiusitas masyarakat dalam tinjauan sosiologi agama, sehingga peneliti mengambil judul “Religiusitas

7Merupakan hewan yang biasa disebut kepompong oleh sebagian besar masyarakat indonesia, namun masyarakat setempat di Dusun sekidang menyebutnya enthong.


(18)

7

Masayarakat Pinggiran; Telaah Pola Keberagamaan Masyarakat Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Bojonegoro”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian merupakan serangkain pertanyaan yang dijadikan dasar pijakan peneliti untuk menentukan desain dan strategi penelitian.8 Penelitian ini berusaha mencari jawaban:

1. Bagaimana bentuk-bentuk religiusitas masyarakat di Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro?

2. Bagaimana proses konstruksi sosial pola keberagamaan masyarakat di Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bentuk-bentuk religiusitas masyarakat di Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro.

2. Mengetahui pola konstruksi sosial keberagamaan di Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro.

8 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Cet. II; Jakarta: Erlangga, 2009). 48


(19)

8

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan dapat memberikann manfaat khususnya bagi peneliti dan masyarakat pada umumnya, terutama dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini secara teoritis maupun praktis memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman dan informasi kepada seluruh mahasiswa tentang bentuk-bentuk Religiusitas masyarakat dan pola keberagamaan. Hasil penelitian ini selain dapat dijadikan sebagai koleksi referensi di perpustakaan, sebagai khazanah keilmuan yang dapat dijadikan sumber kajian bagi para mahasiswa yang hendak mengetahui atau bahkan menelaah dan meneliti kembali dalam konteks yang berbeda, sehingga dapat ditindak lanjuti untuk kepentingan-kepentingan keilmuan pada masa yang akan datang. Bagi mahasiswa-mahasiswi program studi Strata 1 (S-1) Sosiologi dapat dijadikan sebagai tambahan pengalaman dalam tradisi keilmuan, dan dapat dijadikan bahan penelitian lanjutan sebagai tugas akhir perkuliahan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini semoga dapat menambah wawasan masyarakat Dusun Sekidang serta aparatur pemerintah di Desa Soko sebagai referensi pemajuan pembangunan sosial. Bagi penulis untuk menambah pengetahuan serta dapat dijadikan rujukan untuk memahami


(20)

9

realita masyarakat mengenai bentuk-bentuk religiusitas dan pola keberagamaannya. Sebagai sosiolog atau pekerja sosial untuk membantu masyarakat mengatasi masalah-masalah sosial, serta pengembangannya menuju transformasi sosial.

E. Definisi Konseptual

Agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dan maksud dari penulisan skripsi ini maka perlu peneliti jelaskan definisi konsep dan batasan masalahnya, sebagai berikut:

1. Religiusitas

Ada banyak istilah yang tersaji di dunia mengenai arti dari religiusitas (taat pada agama; kepatuhan pada jaran-ajaran agama),9 meminjam istilah Durkheim mendefinisikan Agama sebagai seperangkat keyakinan dan praktek-praktek, yang berkaitan dengan yang sakral, yang menciptakan ikatan sosial antar individu.10 Agama bukan hanya menyangkut hal-hal teoretik, melainkan hidup sebagaimana yang dihayati. Agama menyangkut sikap hidup, pendekatan terhadap hidup dan cara hidup.11

Religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama. Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan

9Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, (Cet. Ke-I; Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012). 536

10Bryan S Turner, Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer, diterjemahkan oleh Inyiak ridwan Munzir, (Jogjakarta: Ircisod, 2012). 22

11Zainal Abidin dan Agus Ahmad Safe’i, Sosiophologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2003). 93


(21)

10

aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu dalam hati. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Sedangkan religiusitas seorang muslim dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatatan atas agama islam.

2. Masyarakat Pinggiran

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”.12 Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana agar warganya dapat saling berinteraksi. Adanya prasarana untuk berinteraksi menyebabkan warga dari suatu kelompok manusia itu saling berinteraksi.

Pinggiran adalah daerah atau bagian permukaan bumi dalam kaitannya dengan keadaan alam dan sebagainya yang khusus. Karena kekhususannyan menjadikan masyarakat tersebut beda dari masayarakat umumnya, corak mata pencaharian yang berbeda, kebudayaan, serta pola hidup yang berbeda. Masyarakat pinggiran adalah masyarakat yang tinggalnya di daerah-daerah pinggiran kota yang kehidupannya selalu diwarnai dengan kegelisahan dan kemiskinan.

Namun dalam masyarakat yang hendak peneliti observasi ini ialah masyarakat dari kondisi geografis terisolir dan terpinggirkan. Terisolir dari


(22)

11

sarana-prasarana serta fasilitas yang ada dari Desa setempat. Jalan sebagai penghubung ke Dusun lain masih berupa makadam13 dan penuh kerikil. Kondisi geografis Dusun sekidang tepat di tengah hutan, jauh dari keramaian kota maupun Desa setempat.

3. Pola Keberagamaan

Pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola.14

Keberagamaan juga berasal dari bahasa Inggris yaitu religiosity dari akar kata religy yang berarti agama. Religiosity merupakan bentuk kata dari kata religious yang berarti beragama, beriman. Sehingga dapat disimpulkan tingkat keberagamaan yang dimaksud adalah seberapa jauh seseorang taat kepada ajaran agama dengan cara menghayati dan mengamalkan ajaran agama tersebut yang meliputi cara berfikir, bersikap, serta berperilaku baik dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial masyarakat yang dilandasi ajaran agama Islam (Hablum Minallah dan

Hablum Minannas) yang diukur melalui dimensi keberagamaan yaitu

13

Jalan yang diberi dua macam lapisan batu-batuan, kasar dan halus, pada lapisan dasar batu sungai (batu kali) dan belum di aspal.


(23)

12

keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan konsekwensi atau pengamalan beragama.

Sehingga, secara sederhana peneliti memberikan definisi; pola keberagamaan merupakan bentuk atau model yang dipakai masyarakat Dusun Sekidang untuk menghasilkan cara berfikir, sikap, perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan dan sesuai dengan apa yang menjadi konsep (aturan-aturan dan kewajiban) dalam agama.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan serta pemahaman dalam penyusunan proposal penelitian ini, maka penulis membahasnya dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

Dalam bab pendahuluan, penelitian memberikan gambaran tentang latar belakang masalah yang akan diteliti, menentukan rumusan masalah, menyertakan tujuan penelitian, manfaat penelitian dan, defenisi konseptual, dan sistematika pembahasan.

BAB II: Religiusitas dan Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann

Pada bab ini menjelaskan teori apa yang digunakan untuk menganalisis penelitian. Kerangka teoritik adalah model konseptual tentang bagaimana teori yang digunakan berhubugan degan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah penelitian. Pada bagian ini dipaparkan


(24)

13

penelitian terdahulu untuk melihat perbedaan dan persamaan yang diteliti sekarang. kajian pustaka peneliti memeberi gambaran tentang definisi konsep yang berkaitan dengan judul penulisan.

BAB III: Metodologi Penelitian

Bagian ketiga memaparkan langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian, metode yang dituangkan pada sub bab ini adalah kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di lapangan. Pembahasan ini merupakan laporan kegiatan-kegiatan peneliti selama melakukan penelitian dan bukan mengulang definsi-definisi metode penelitian sebagaimana yang tertulis dalam buku-buku metode penelitian. Peneliti juga memberi gambaran mengenai metode yang digunakan, jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, pemilihan subjek penelitian, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan teknik pemeriksaan keabsahan data.

BAB IV: Bentuk dan Proses Konstruksi Sosial Pola Keberagamaan Masyarakat Pinggiran

Dalam bab penyajian data, penulis memberikan gambaran tentang data-data yang diperoleh dari lapangan serta hasil temuan dilapangan, baik data primer maupun data sekunder. Penyajian data dibuat secara tertulis naratif dan oleh peneliti disertakan gambar, tabel atau bagan yang mendukung data untuk memudahkan dalam membaca dan mengklasifikasi beberapa temuan pada penelitian ini.


(25)

14

BAB V: Penutup

Pada bab ini mengemukakan tentang kesimpulan dan saran dari permasalahan dalam penelitian, sran meliputi pembaca laporan ini, masyarakat dan isntansi terkait.


(26)

15 BAB II

RELIGIUSITAS DAN KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMANN

A. Penelitian Terdahulu

Dalam rangka membantu menyajikan penulisan penelitian ini, maka peneliti juga mencantumkan hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini. Pencantuman penelitian terdahulu sebagai telaah pustaka tentunya bertujuan mengetahui gambaran umum tema penelitian dan menunjukkan karakter dan ciri khas yang membedakannya dengan penelitian sebelumnya.15

1. Penelitian dengan judul Dimensi Religiusitas Dalam Tradisi Islam Aboge di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas (Studi Analisis Pendidikan Agama Islam).16 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan mengambil lokus di desa Kracak kecamatan Ajibarang kabupaten Banyumas. Metode penentuan subjek penelitian dilakukan secara purposive dan pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pengamatan, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan memberikan makna terhadap data yang telah dikumpulkan, dan dari makna itulah ditarik kesimpulan. Pemeriksaan

15Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Sosiologi 2015, (Surabaya: FISIP UINSA,

2015). 16

16Galih Lationo, “Dimensi Religiusitas Dalam Tradisi Islam Aboge di Desa Kracak

Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas (Studi Analisis Pendidikan Agama Islam)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013).


(27)

16

keabsahan data dilakukan dengan mengadakan triangulasi dengan dua modus, yaitu dengan menggunakan sumber ganda dan metode ganda.

Dari beberapa ulasan hingga tahap akhir dalam penelitian yang dilakukan oleh Galih Latiano hingga menghasilkan sebuah kesimpulan yaitu; bahwa penelitiannya fokus pada pelaksanaan dimensi religiusitas pada tradisi masyarakat Islam Aboge melambangkan kearifan masyarakat setempat dan melambangkan nilai-nilai ajaran Islam sebagai dasar pelaksanaannya.

Sementara, dalam tema yang akan peneliti lakukan adalah ingin mencari pola keberagamaan (Islam) masyarakat pinggiran17 pada

pemahaman, pengamalan, serta penghayatan agamanya dalam kehidupan. Selain itu penulis juga menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk melihat fenomena tersebut secara mendalam. Kesamaan dalam penulisan ini ialah pemilihan penentuan subyek dengan teknik snowball (informan diminta menunjuk orang laim yang dapat memberikan informasi).

2. Pengaruh Religiusitas Orang Tua Terhadap motivasi Belajar Anak (Studi Kasus Di MTs PGRI Zainul Fauzi Desa Kendit Kecamatan Kendit Situbondo).18 ada tiga masalah yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu (a.) Bagaimana religiusitas orang tua siswa di Situbondo (b.) Bagaimana

17Pinggiran yang dimaksud disini dalam penelitian yang akan dilakukan peneliti ialah

terpinggirkan dari kondisi geografis, ekonomi maupun sosial. Juga jaauh dari sarana prasarana yang bisa dikategorikan Dusun yang maju.

18Tutik Mustafidah, “Pengaruh Religiusitas Orang Tua Terhadap Motivasi Belajar Anak

(Studi Kasus Di MTS PGRI Desa Kendit Kecamatan Kendit Situbondo)”, (Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Surabaya, 2011).


(28)

17

motivasi belajar PAI siswa di MTs PGRI Zainul Fauzi Situbondo (c.) Bagaimana pengaruh religiusitas orang tua terhadap motivasi belajar siswa di MTs PGRI Zainul Fauzi Situbondo.

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan pendekatan korelasional. Untuk menentukan seberapa besar pengaruh variabel X terhadap variable Y, peneliti menggunakan rumus regresi linear sederhana.

Sementara, kesamaan penelitian yang akan dilakukan yaitu tentang religiusitas. Namun terdapat perbedaan dari segi metode penelitian, peneliti terdahulu menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan korelasional, sementara penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Tutik Mustafidah ini berfokus pada tingkat religiusitas orang tua terhadap motivasi belajar anak. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti fokus pada pemahaman, pengamalan, serta penghayatan agamanya dan implikasi terhadap perilaku individu terhadap agamanya.

3. Religiusitas Komunitas Anak Jalanan “Studi Tentang Perilaku Sosial Keagamaan Komunitas Anak Jalananan di Terminal Joyoboyo Surabaya”.19 Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (a.) Bagaimana pandangan komunitas anak jalanan di Terminal Joyoboyo tentang Tuhan dan perwujudannya dalam perilaku, (b) Bagaimana pola perilaku sosial keagamaan anak jalanan di Terminal Joyoboyo yang

19Nur Aisyah, Religiusitas Komunitas Anak Jalanan “Studi Tentang Perilaku Sosial

Keagamaan Komunitas Anak Jalananan di Terminal Joyoboyo Surabaya”, (Skrispsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Institut Agama Islam Negeri Surabaya, 2012).


(29)

18

berbeda Agama, (3) Faktor apa saja yang membentuk pola perilaku sosial keagamaan komunitas anak jalanan di Terminal Joyoboyo.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dan tekhnik pengumpulan datanya adalah wawancara, observasi, serta dokumen yang terkait dengan penelitian. Teori yang digunakan adalah teori dialektika social tentang kontruksi social yang ada dalam masyarakat yang meliputi proses internalisasi, eksternalisasi dan obyektivasi.

Penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti memiliki kesamaan dari sisi metode; yaitu menggunakan metode kualitataif. Selain dari metode, teori yang digunakan dalam penelitian yang akan dilakukan sama dengan penelitian terdahulu; menggunakan teori konstruksi sosial. Perbedaan penulisan terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti ialah bertujuan mengetahui bagaimana masyarakat mengkonsepsikan (memaknai) agama serta implikasi terhadap keberagamaannya.

B. Religius dan Tipe Masyarakat

1. Makna Religiusitas

Beragam tanda dan makna mengenai arti religiusitas (taat pada agama; kepatuhan pada jaran-ajaran agama)20 merupakan jiwa keagamaan yang dialami dalam beragama, antara lain yang terjadi dalam ibadah agama. Agama bukan hanya menyangkut hal-hal teoretik, melainkan hidup sebagaimana yang dihayati. Agama menyangkut sikap hidup, pendekatan

20Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, (Cet. Ke-I; Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012).


(30)

19

terhadap hidup dan cara hidup.21 Agama, dalam pengertian Glock & Stark adalah sistem simbol, sisitem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang maknawi (ultimate meaning).22

Religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu dalam hati.23 Dalam aspek penghayatan individu terhadap religi (keagamaan) tidak bisa lepas dari pengalaman religius; pengalaman dalam diri individu ketika dia merasakan alam luar, secara spesifik, fakta mengatakan bahwa pengalaman ini berdampak pada perilaku mengharmoniskan hidupnya dengan alam lain. Jadi sikap religiusitas merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang. Religiusitas dapat dilihat dari aktivitas beragama dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan secara rutin dan konsisten.

Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Sedangkan religiusitas seseorang dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatatan atas agamanya. Ada sebagian ciri seseorang dapat dikatakan religiusitas, pertama, dimana seseorang

21Zainal Abidin dan Agus Ahmad Safe’i, Sosiophologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2003).

93

22Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, II (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1995).76

23Tanto, “Pengertian Religiusitas", accessed November 27, 2016,


(31)

20

merasakan dalam jiwa tentang kehadiran kekuatan Yang Maha Agung;

kedua, lahirnya dorongan dalam hati untuk melakukan hubungan dengan

kekuatan tersebut, dan terakhir, meyakini Yang Maha Agung itu Maha Adil sehingga memberikan ganjaran atas apa yang telah dilakukannya.

Menurut Glock dan Stark ada lima dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan (ideologis), dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dimensi pengetahuan agama (intelektual).24

a. Religious Belief (the Ideological Dimension). Dalam dimensi ini

syarat akan pengharapan-pengharapan di mana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.25 Sederhananya ialah sejauh mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, Malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, percaya akan adanya takdir baik dan buruk, tentang adanya hari akhir (kiamat), surga, neraka dan yang lain-lain yang bersifat dogmatik.

b. Religious Practice (the Ritualistic Dimension). Tingkatan sejauh

mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang menunjukkan dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen

24Op.Cit.

25Roland Robertson, Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosisologis, trans. Fedyani


(32)

21

tehadap agama yang dianutnya. Seperti menunaikan ibadah Puasa, menjalankan sholat, melaksanakan zakat, dan bentuk ibadah lainnya.

c. Religious Feeling (the Experiental Dimension) Dimensi yang terdiri

dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya.

d. Religious Effect (the Consequential Dimension) Dimensi ini

mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dimensi ini juga sebagai ukuran sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya.

e. Religious Knowledge (the Intellectual Dimension) Seberapa jauh

seseorang mengetahuai tentang ajaran agamanya. Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus, kitab suci, dan tradisi. Dimensi pengetahuan selalu berkaitan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya.

2. Religius dan Tradisionalis

Religiusitas merupakan penghayatan keagamaan dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci. Religiusitas sebagai keberagamaan yang


(33)

22

berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Dapat diidentifikasi secara rasional bahwa seseorang yang religius terlihat dari persentase kehadirannya di sebuah rumah ibadah dan melaksanakan upacara-upacara ritual seperti shalat, menyanyikan lagu-lagu pujian dan ritual-ritual lain, melakukan itu semua karena dorongan kepercayaan yang diasosiasikan pada agama.26

Modernisme yang selalu identik dengan kehidupan serba ada dan merupakan salah satu bagian dari negara maju, merupakan referensi negara berkembang yang hendak mencapai harapan kemajuan. Selalu menawarkan hal baru pada manusia untuk mencapai kebebasan dari kungkungan nilai-nilai dogmatis agama. Proses modernisasi telah menguatkan subjektifitas individu atas alam semesta, tradisi dan agama. Manusia dalam subjektifitasnya, dengan kesadarannya dan dalam keunikannya, manusia memandang alam, sesama manusia, dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Selaras dengan pandangan antroposentrisme menganggap bahwa manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri.27

26Husnul Muttaqin, “Relasi Agama dan Modernitas: Menggugat Teori Sekularisasi”,

Sosiologi Islam, Volume 02 No.02 Oktober 2012. 21

27Warsito & Husnul Muttaqin, “Humanisme dan Petaka Modern”, Sosiologi Islam,


(34)

23

Antroposentrisme dengan etos semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri, memandang manusia tidak lagi sebagai alat kehendak Tuhan melainkan manusia sebagai individu dengan segala kemampuan individualnya. Dengan rasionalitasnya (perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi) manusia telah menuju proses desakralisasi (agama). Pembukaan atas hal-hal magis dari tirainya secara otomatis yang dahulunya hal-hal magis sebagai legitimasi sekaligus pengetahuan tergeser dengan ilmu pengetahuan sebagai alat pendefinisian dunia dan hal-hal yang sakral. Kini agama dipandang tidak mampu mendefinsikan dunia seperti yang diinginkan masyarakat modern.

Dalam konteks keyakinan teologis, menguatnya subjektifitas manusia modern menunjukkan dimulainya kebebasan individu dalam menolak kepercayaan yang tidak sesuai dengan suara hatinya. Gereja sebagai pemegang otoritas agama tidak lagi dipahami sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Tafsiran arti kitab suci bukan lagi hak para pemimpin gereja, melainkan setiap orang berhak membaca dan merenungkan kitab suci sendiri.

Proses pengimanan atas kepercayaan pada masyarakat modern menjadi lebih privat hanya menjadi persoalan preferensi individual. Nilai-nilai yang berkaitan dengan religiusitas secara tipikal tidak relevan dengan kelembagaan selain lingkungan pribadi. Agama menjadi realitas besar karena tetap relevan dalam hal motif-motif dan penafsiran-penfsiran diri orang-orang dalam lingkungan aktifitas sosial sehari-hari, dalam konteks


(35)

24

ini agama menemukan tempat dalam lingkungan keluarga dan hubungan sosial.

Beda dengan religiusitas sebelum zaman modern, pada zaman dahulu (klasik) bentuk pengimanan kepercayaaan bersifat institusionalisasi dengan ritualnya berupa ibadah, puasa , berdo’a dan berbagai bentuk ritual lainnya. Ritual semacam ini dipandang sebagai bentuk nyata yang bisa terlihat dan terukur oleh orang lain, bahwa individu atau masyarakat yan menjalankan ritual tersbut dikategorikan sebagai orang yang taat kepada Tuhan (beragama).

Namun bagaimanapun bentuk religiusitas, Setidaknya dalam relasinya (agama) dan proses modernisasi seorang tokoh ilmuwan sosial Peter L Berger mengajukan dua pilihan tipe ideal yang dapat diambil:

pertama, lembaga-lembaga agama dapat menyesuaikan diri dengan situasi,

memainkan peran pluralistik persaingan bebas dalam agama dan mengatasi sedapat-dapatnya masalah penalaran dengan memmodifikasi produk mereka sesuasi dengan kebutuhan konsumen. Atau kedua, mereka menolak menyesuaikan diri, bertahan dibelakang struktur-struktur sosio-religius apapun yang bisa dipelihara dan dibangun terus menganut obyektif-obyektif lama sejauh mungkin seakan-akan tidak ada yang terjadi.28

28 Peter L. Berger, Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial, trans. oleh Hartono


(36)

25

3. Orientasi Religiusitas Masyarakat Desa

Allport & Ross memberi arti secara definitif orientasi religius “Religious orietation has been defineed as the extent to which a person

lives his/her religius belief”. Orientasi religius di definisikan sebagai

tingkat dimana seseorang hidup dengan keyakinan agamanya.

Orientasi religius diartikan sebagai sistem cara pandang individu mengenai kedudukan agama dalam hidupnya, yang menentukan pola bentuk relasi individu dengan agamanya. Sistem cara pandang ini akan mempengaruhi tingkah laku individu dalam hal menafsirkan ajaran agama dan menjalankan apa yang dianggapnya sebagai perintah agama. Perlu dijelaskan bahwa dalam definisi ini, konsep orientasi religius tidak menjawab seberapa penting atau relevan, namun menjelaskan sebagai apa agama berperan dalam kehidupan seseorang.29

Allport membagi dua orientasi religius berdasarkan aspek motivasional yang mendasari, secara sederhana orientasi intrinsik dan ekstrinsik. Pertama orientasi religius instrinsik merupakan motivasi keyakinan yang dinyatakan, diperlihatkan oleh seseorang dan dilihat oleh orang lain, atau makna yang ringkas tipe keagamaan yang taat yang teramati. Analogi konsep psikologi atas intrinsik adalah hal biologis atau

29 Kamaruzzaman, “Hubungan Orientasi Religius Dan Koping Religius Pada Mahasiswa”


(37)

26

berdasarkan jasmaniah (somatic), dalam orientasi ini orang (individu) menemukan hidup utamanya dalam agama.30

Orientasi religius ini menunjuk dimana subjek mengidentifikasi agama sebagai tujuan akhir dalam dirinya sendiri (as an end in itself), atau keyakinan agama untuk keyakinan itu sendiri (religius faith for the take of

faith). Dilain pihak ide orientasi religius intrinsik merupakan konsep

dimana alasan keyakinan beragama seseorang muncul dalam diri sendiri.31 Individu dalam orientasi instrinsik menginternalisasikan dirinya terhadap ajaran-ajaran agama serta mengikutinya secara penuh, karena agama sebagai kerangaka atau pedoman hidup. Secara jelas individu yang mengorientasikan ke-religiuannya pada type ini dengan penuh kesadaran berusaha mengikuti dan mengamalkan ajaran agama dengan sunguh-sungguh.

Seseorang yang beragama dan berorientasi religius instrinsik melaksanakan ibadah, berperilaku serta memproyeksikan dirinya sesuai dengan tuntunan agama. Di luar tuntunan agama; seperti status sosial, ataupun pengakuan kereligiusannya atas orang lain, bukanlah dorongan yang menjadi sebab-musabab individu berperilaku sebagaimana tuntunan agama yang dianut. Kebutuhan lain akan dikesampingkan pemenuhannya, karena dalam orientasi instrinsik individu menemukan kebutuhan utamanya.

30 Nilam Widyarini, PsikologiPopuler: Kunci Pengembangan Diri (Jakarta: Elex Media

Komputindo, 2009). 40

31 Baidi Bukhori, “Meta-Analisa Hubungan orientasi Religius dengan Prasangka Sosial”,


(38)

27

Sementara tipe kedua, orientasi religius ekstrinsik adalah cara pandang seseorang dalam beragama yang menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang berpusat pada dirinya sendiri selain agama itu sendiri (non-religius end), agama dipandang sebagai sesuatu yang memberikan manfaat seperti rasa aman dan penghiburan, keramah-tamahan, sebagai selingan, status, dan pembenaran diri.32

Orientasi religius ekstrinsik ini mendasarkan pandangan bahwa motivasi dalam menjalankan agama adalah untuk tujuan sosial atau keyakinan dan nilai diluar agama. Orientasi religius ekstrinsik adalah kebalikan dari orientasi instrinsik. Orientasi ekstrinsik tidak melalui proses internalisasi nilai-nilai religius, namun lebih kepada memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan pribadi. Bagi orientasi religius ekstrinsik, agama berfungsi sebagai alat untuk mencapai kebutuhan personal hidupnya, sehingga amat berguna untuk memberikan rasa aman, kedudukan sosial, hiburan, dan dukungan jalan hidupnya.33 Pada orientasi ekstrinsik agama bukanlah sebagai motif pengarah atau motif pemandu, tetapi lebih ke motif pelayan dan motif-motif lainnya.

Sepanjang agama memberi manfaat untuk memenuhi kebutuhan primernya; memperbaiki status sosial, meningkatkan prestise ataupun percaya diri, mengatasi kebingungan, dan memperoleh perlindungan. Maka religius di rasa penting dan mempermudah keyakinan yang

32 Nilam Widyarini, PsikologiPopuler. 40 33Op.Cit. 114


(39)

28

dipeluknya serta tujuan yang hendak dicapai. Individu atau masyarakat yang berorientasi ini adalah mereka yang menghadap Tuhan tanpa lepas dari kepentiingan dirinya sendiri. Karena itu, orientasi beragama yang bersifat ekstrinsik tidak memberikan pengaruh terhadap kematangan kepribadian seseorang.34

Individu atau masyarakat yang dengan dimensi orientasi religius ekstrinsik memandang pelaksanaan ajaran agama sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadinya. Sementara, individu atau masyarakat yang berorientasi religus instrinsik menganggap pelaksanaan agama sebagai motif hidupnya, menjalani agama sebagai tujuan sehingga aturan-aturan yang ada terinternalisasikan dalam cara hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan pribadi yang lain menjadi tidak terlalu penting dan justru diselaraskan dengan agama.

Sebelum individu memiliki oerientasi-orientasi dalam beragama. Ada Faktor-faktor terkait dengan orientasi religius yang mempengaruhi individu atau masyarakat dalam orientasi religius, faktor-faktor yang terkait dengan orientasi religius adalah usia jenis kelamin, tingkat pendidikan, kesehatan mental, kesejahteraan psikologis, kesehatan fisik, prasangka (prajudice), dan perilaku mengatasi masalah.

a. Usia, orang yang lebih tua cenderung memiliki orientasi religius internal lebih kuat dari pada yang lebih muda, hal ini di pengaruhi.


(40)

29

b. Jenis kelamin, wanita pada umumnya juga lebih cenderung memiliki orientasi religus imternal lebih baik dan kuat dari pada seorang pria. c. Tingkat pendidikan, seorang yang pendidikan formalnya lebih tinggi

biasanya memiliki orientasi religius internal yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikannya yang lebih rendah.

d. Kesehatan mental, orientasi religius seseorang berhubungan secara positif dengan kesehatan mental yang baik dan keebasan dari perasaan bersalah dan khawatir.

e. Kesejahteraan psikologis (Psychological well-being), orientasi religius instrinsik berhubungan negatif dengan depresi, sedangkan orientasi religius ekstrinsik berhubungan psoitif dengan depresi. Secara umum, orientasi religius berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan psikologis.

f. Kesehatan fisik, penelitian lain juga mengatakan bahwa orang yang sering datang ke gereja jarang meninggal cepat karena gagal jantung atau penyakit serius lainnya.

g. Prasangka (Prajudice), seseorang dengan orintasi religius instrinsik umumnya tidak memeliki prasangka (Prajudice) sebesar orang dengan orientasi ekstrinsik.

h. Perilaku mengatasi masalah, seseorang dengan orientasi religius instrinsik umumnya lebih “spiritual” dari pada seseorang yang dengan orientasi religius ekstrinsik dalam menyikapi kejadian-kejadian


(41)

30

negatif dalam hidupnya.35 Seseorang dengan orientasi religius instrinsik yang tinggi memiliki kepercayaan diri yang tinggi pula dalam kemampuannya untuk menghadapi persoalan hidup.

4. Tipe Masyarakat Berdasarkan Religiusitas

Lebih spesifik lagi dalam masyarakat, keberagamaan (religusitas) masyarakat terbagi kedalam tiga tipe masyarakat; Tipe pertama masyarakat-masyarakat yang terbelakang dan nilai nilai sacral. Tipe kedua masyarakat-masyarakat Pra-Industri yang sedang berkembang. Tipe ketiga masyarakat-masyarakat industri sekuler.36

Tipe pertama, masyarakat-masyarakat yang terbelakang dan nilai nilai sacral, masyarakat yang mewakili tipe pertama adalah masyarakat kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat perkembangan tehnik mereka rendah dan pembagian kerja atau pembidangan kelas-kelas mereka relatif kecil. Keluarga adalah lembaga mereka yang paling penting dan spesialisasi pengorganisasian kehidupan pemerintah dan ekonomi masih amat sederhana, dan laju perubahan sosial masih lambat.

Tipe masyarakat ini cukup kecil jumlah anggotanya karenanya sebagian besar adat istiadatnya dikenal, masyarakat ini berpendapat bahwa pertama, agama memasukkan pengaruhnya yang sacral kedalam nilai masyarakat secara mutlak, kedua, dalam keadaan lembaga lain selain

35 Kamaruzzaman, “Hubungan Orientasi Religius Dan Koping Religius Pada Mahasiswa”

(Skripsi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2015). 25

36Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, trans. Oleh Abdul Muis Naharong,


(42)

31

keluarga, relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan. Nilai-nilai keagamaan sering meningkatkan konservatisme dan menghalang-halangi perubahan, inilah sebab penting mengapa kekuasaan tradisi sangat kuat dalam masyarakat semacam ini.

Bagi individu, agama memberi bentuk pada keseluruhan proses sosialisasi, sosialisai ditandai oleh upacara-upacara keagamaan pada peristiwa kelahiran, masa remaja, perkawinan dan pada saat-saat penting lainnya dalam kehidupan. Pengaturan pribadi berkaitan erat dengan nilai-nilai keagamaan, yang beranjak dewasa oleh keluarga dan masyarakat. Agama berdiri tegak tanpa tandingan sebagai fokus pemersatu bagi permulaan kepribadian individu-individu dalam masyarakat tipe ini.

Tipe Kedua, masyarakat-masyarakat Pra-Industri yang sedang berkembang. Masyarakat-masyarakat tipe kedua ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya dan lebih besar jumlah penduduknya, serta ditandai dengan tingkat perkembangan teknologi yang lebih tinggi dari masyarakat-masyarakat tipe pertama. Ciri umumnya adalah pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beraneka ragam, serta adanya kemampuan baca tulis sampai tingkat tertentu. Pertanian dan industri tangan adalah sarana-sarana utama untuk menopang ekonomi pedesaan, dengan beberapa pusat perdagangan kota. Lembaga-lembaga pemerintahan dan kehidupan ekonomi berkembang menuju spesialisasi dan jelas dapat dibedakan.


(43)

32

Suatu organisasi keagamaan yang biasanya menghimpun semua anggota memberi ciri khas kepada tipe masyarakat ini, walaupun ia merupakan organisasi formal yang terpisah dan berbeda, serta mempunyai tenaga kerja professional sendiri. Agama tentu saja memberikan arti ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini, akan tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan. Dilain pihak agama tidak memberikan dukungan yang sempurna seperti itu dalam aktivitas-aktivitas sehari-hari sebagaimana dalam masyaraket tipe pertama, lagi pula kepercayaan keagamaan itu sendiri pantas dikembangkan dengan agak baik sebagai suatu sistem yang serba lengkap.

Disinilah terdapat kemungkinan bagi timbulnya ketegangan antara sistem nilai keagamaan dan masyarakat keseluruhan, meskipun kecenderungan bagi agama untuk tenggelam kedalam tradisi. Akan tetapi dalam masyarakat tipe kedua agama bisa menjadi fokus potensial bagi munculnya pembaharuan yang kreatif dan juga kekacauan masyarakat. Jelaslah bahwa agama mempunyai fungsi lain selai fungsi pemersatu didalam tipe masyarakat ini, pertama-tama karena masyarakat semacam itu merupakan masyarakat yang sedang berkembang berkembang. Kedua, dalam fase-fase perkembangan berikutnya dari masyarakat tipe ini, pembenturan-pembenturan kepentingan diantara organisasi keagamaan dan organisasi politik biasa timbul. Ketiga, karena masyarakat-masyarakat tipe kedua itu berkembang semakin majemuk dan kelompok-kelompok,


(44)

33

yang berkuasa dari periode terdahulu mulai menghentikan perlawanan terhadap tantangan kelompok-kelompok yang tumbuh belakangan yang membawa tatanan politik dan ekonomi baru, maka agama bisa menjadi fungsi sebagai salah satu sumber pembaharuan-pembaharuan yang kreatif.

Tipe Ketiga : Masyarakat-masyarakat industri sekuler. Terdapat sejumlah sub-sub tipe dalam masyarakat tipe ini yang tidak dapat diutarakan secara memadai, deskripsi dibawah ini condong kepada masyarakat perkotaan modern di Amerika Serikat. Masyarakat-masyarakat tipe ini sangat dinamik, teknologi sangat dan semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan sebagian penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian–penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan mereka sendiri.

Di dalam masyarakat moderen yang kompleks, organisasi keagamaan terpecah-pecah dan bersifat majemuk, keanggotaannya didasarkan paling tidak kepada prinsipnya. Ciri-ciri khusus mempunyai implikasi-implikasi yang dalam bagi fungsi-fungsi agama baik sebagai suatu kekuatan yang mempersatukan atau menghancurkan didalam masyarakat. Perbedaan-perbedaan dibidang agama dan pertumbuhan sekularisme sangat melemahkan fungsi agama sebagai pemersatu, dan kekuatannya pun sebagai pemecah-belah agak berkurang. Akan tetapi

keyakinan-keyakinan dan pengamalan-pengamalan keagamaan

melaksanakan fungsi pemersatu dikalangan berbagai organisasi keagamaan itu sendiri. Hal ini terjadi terutama apabila keanggotaan


(45)

34

kelompok-kelompok semacam itu sebagian besar berasal dari kelas atau suku minoritas dalam masyarakat yang lebih luas.

5. Religiusitas Masyarakat Jawa

Agama bagi Geertz lebih merupakan sebagai nilai-nilai budaya, dimana ia melihat nilai-nilai tersebut ada dalam suatu kumpulan makna. Dengan kumpulan makna tersebut masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya37. Dengan nilai-nilai tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa yang akan digunakannya.

Geertz membagi kebudayaan (masyarakat) jawa dalam tiga tipe varian berbeda, ia melihat agama jawa sebagai suatu integrasi yang berimbang antara tradisi yang berunsurkan animisme dengan hindu dan agama islam yang datang kemudian lalu berkembang menjadi sinkretisme. Kemudian menginterpretasikan orang jawa dalam varian abangan, santri,

dan priyayi.

Abangan merupakan varian masyarakat jawa yang mewakili tipe masyarakat pertanian dengan tradisi keagamaan, yang terutama memiliki corak ritual yang khas disebut selamatan, kepercayaan yang kompleks dan rumit mengenai makhluk halus, dan seprangkat teori dan praktek

37 Nasruddin, “Kebudayaan dan Agama Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz ”, Jurnal


(46)

35

pengobatan, sihir dan ilmu ghaib.38 Sistem ini diasosiasikan secara luas dan umum dengan struktur desa orang jawa.

Bagi sistem keagamaan jawa slametan, merupakan hasil tradisi yang menjadi simbol integrasi mistis dan sosial dimana dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk memenuhi hajat orang atas suatu kejadian yang ingin dipringati, ditebus atau dikuduskan.

Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan; yang berkisar pada siklus kehidupan, yang berhubungan denga pola hari besar islam namun mengikuti penanggalan jawa, yang terkait dengan integrasi desa, slametan untuk kejadian yang luar biasa yang ingin di slameti. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan individu karena telah di slameti.39

Varian santri menekankan kepercayaannya kepada unsur-unsur islam murni (menguramgi dirasukinya sistem kepercayaan oleh animisme atau mistisisme). Pada strukur sosial masyarakat varian santri merupak tipe masyarakat pedagang yang memiliki pengalaman pasar dan pola migrasinya dari pesisir. Dalam mempertahankan varian santri, santri mengembangkan pola pendidikan khusus dan terus menerus, di antaranya pondok pesantren salaf, langgar dan masjid, kelompok tarekat (mistik islam tradisional) dan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis.

38 Roland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 1993). 203

39


(47)

36

Varian priyayi dalam istilah kebudayaan jawa, priyayi mengacu pada satu kelas sosial yaitu golongan bangsawan. Pada kebudayaan jawa, priyayi merupakan golongan tertinggi karena memiliki garis keturunan keluarga kerajaan. Kelompok ini menunjuk pada elemen hinduisme lanjutan dari tradisi keraton hindu-jawa yaitu konsep halus dan kasar, lebih menekankan pada norma sopan santun yang halus, seni tinggi dan mistisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya .

C. Konstruksi Sosial Peter L Berger dan Thomas Luckmann

1. Teori Konstruksi Sosial

Konstruksi sosial merupakan sebuah teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckmann. Dalam menjelaskan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya.

Dengan melihat relasi manusia dan masyarakat secara dialektis, Berger memberikan alternatif terhadap determinisme yang menganggap individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan struktur sosial. Dengan pandangannya ini,


(48)

37

Berger ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial. Namun manusia pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya.40 Hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang terdiri dari tiga momen; eksternalisasi,

objektivasi, dan internalisasi.

Eksternalisasi adalah suatu bentuk pencurahan diri manusia secara terus menerus ke dalam dunia baik aktivitas fisik maupun mentalnya kedirian manusia bagaimanapun tidak bisa tetap tinggal diam di dalam dirinya sendiri, dalam suatu lingkup tertentu dan kemudian dia bergerak keluar untuk mengekspresikan diri dalam dunia sekelilingnya. Melalui eksternalisasi manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan ini menjadi realitas objektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia.

Masyarakat sebagai realitas objektif. Pada dasarnya masyarakat tercipta (sebagai realitas objektif) karena adanya berbagai individu yang mengeksternalisasikan dirinya (atau, mengungkapkan subjektivitas) masing-masing lewat aktivitasnya.41 Eksternalisasi dilaksanakan manusia secara terus menerus, tidak berarti bahwa aktivitas manusia terus mengalami perubahan.

40 M. Sastrapratedja, pengantar dalam Peter L. Berger, Kabar Angin Dari Langit: Makna

Teologi dalam Masyarakat Modern (A Rumor of Angels: Modern Society and The Rediscovery of The Supranatural), alih bahasa J. B. Sudarmanto, (Jakarta: LP3ES, 1991). XV

41 Hannamen Sammuel, Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas, (Depok: Kepik,


(49)

38

Manusia cenderung mengulangi aktivitas yang pernah dilakukannya, terbiasa dengan tindakan-tindakannya. Atau dalam terminologi yang dipakai Berger, “habitualisasi”; pengulangan tindakan atau aktivitas oleh manusia, melakukan suatu aktivitas di masa depan dengan cara yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan pada masa sekarang dan masa lampau, yang menimbulkan kesan pada kesadaran manusia bahwa itulah hukum yang tetap. Pada tahapan ini, tindakan-tindakan yang dijalankan manusia tersebut mengalami obyektifasi dalam kesadaran mereka yang mempersepsikannya.42 Pada momentum inilah, sebuah institusi berdiri sebagai realitas yang obyektif di dalam kesadaran manusia dan juga di luarnya.

Keuntungan yang diperoleh manusia dengan habitualisasi ialah; manusia tidak selalu harus mendefinisikan dari awal situasi yang dihadapinya. Ada kemungkinan (dan kemungkinan ini besar), cara seseorang memaknai suatu situasi akan dijadikannya sebagai dasar bertindak dalam berbagai situasi yang kurang lebih serupa.

Tetapi dalam aktivitas habitualisasi muncul tipifikasi atas aktivitas tersebut. Tetapi sasaran tipifikasi bukan itu saja, aktornya sendiri juga menjadi sasaran tipifikasi. Tentunya mudah dimengerti bila dikatakan bahwa habitualisasi dan tipifikasi tidak hanya berlangsung pada satu atau dua orang saja, tetapi melibatkan semua manusia. Malah, tipifikasi yang

42

Geger Riyanto, Peter L Berger Persektif Metateori Pemikiran, I (JAKARTA: LP3ES, 2009). 110


(50)

39

satu sering kali bertalian dengan tipikasi lainnya-tipifikasi mutual-yang memungkinkan munculnya pranata (institusi) sosial.

Namun ada kriteria khusus tipifikasi timbal balik yang bisa memunculkan pranata (Institusi) sosial; Pertama, bila ia di transmisikan dari generasi satu kegenerasi lainnya hingga usianya melampaui usia aktor-aktor yang memunculkan tipifikasi mutual di masa awal. Kedua, bila ia mampu menjadi patokan berperilaku bagi anggota-anggota suatu kolektivitas pada umumnya.

Tipifikasi timbal balik dapat berubah menjadi institusi sosial bila ia sudah umum (berlaku luas), eksternal (objektif), dan koersif (memaksa) terhadap kesadaran masing-masing individu pembentuknya. Pada momentum inilah sebuah institusi berdiri sebagai realitas yang obyektif di dalam kesadaran manusia dan juga diluarnya.43 Beginilah institusionalisasi atau pembentukan tatanan institusioanl masyarakat berlangsung.

Obyektivasi menandai munculnya struktur sebagai sesuatu yang obyektif - sebagai standar untuk bertindak - sekaligus sesuatu yang subyektif pada waktu yang sama.44 Obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap, dan lain dari, para produser

43 Ibid. 110 44 Ibid.115


(51)

40

itu sendiri,45 artinya ia memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Obyektivasi merupakan isyarat-isyarat yang sedikit banyaknya tahan lama dari proses-proses produsennya, sehingga memungkinkan obyektivasi itu dapat dipakai sampai melampaui situasi tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.46

Proses objektivasi merupakan momen interaksi antar dua realitas terpisah satu sama lain. Kedua entitas yang seolah terpisah ini kemudian membentuk jaringan interaksi intersubjektif. Ini merupakan hasil dari kenyataan eksternalisasi yang kemudian mengejawantah sebagai suatu kenyataan objektif yang sui generis, unik.

Untuk mempertahankannya, sebuah institusi harus dilandasi legitimasi, legitimasi meletakkan justifikasi kognitif atau penjelasan berdasarkan pembuktian logis mengenai relevansi dari sebuah institusi untuk menjawab pertanyan-pertanyaan yang menyoal institusi tersebut, saat institusi itu mulai dirasa kurang atau tidak relevan dalam menjawab persoalan-persoalan yang timbul. Sebuah istitusi dipertahankan dengan memberikan pembuktian logis bahwa institusi tersebut tetap relevan untuk mencegah manusia jatuh kedalam kondisi yang mengenaskan, yaitu kekacauan.

45

Peter L. Berger, Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial. 5

46

Peter L. Berger & Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basri, (Jakarta: LP3ES, 1990). 47


(52)

41

Relasi-relasi logis yang konsisten yang diserap dari pergerakan obyek-obyek materiil diluar manusia, menimbulkan pemahaman akan adanya hukum universal yag bekerja di balik yang terlihat. Ada hukum yang obyektif dibalik fenomena. Legitimasi merupakan upaya manusia dalam merumuskannya, upaya yang mengobyektivasi institusi dengan memberikannya status ontologis dan epistemologis. Legitimasi adalah proses obyektivasi kedua seteah obyektivasi pertama terjadi pada institusionalisasi. Legitimasi menjadikan sebuah institusi tidak lagi sebuah

order, tetapi juga meaningful order atau sebuah nomos.

Terdapat empat tingkatan legitimasi. Semakin tinggi tingkatannya menunjukkan bahwa legitimasi tersebut semaki koheren dan teoretis sifatnya. Tingkatan pertama dari legitimasi adalah bahasa. Bahasa merupakan representasi dari pada realitas yang paling mendasar. Ketika teks-teks di ucpakan atau ditulis, teks langsung menimbulkan bayangan akan obyek yang dirujuknya pada orang yang membacanya-tanpa perlu ditanyakan lagi mengapa obyek tersebut dinamakan demikian. Bahasa merupakan sugesti langsung yang bisa mempertahankan institusi.

Tingkatan kedua dari legitimasi adalah prosisi kasar, contohnya adalah pepatah. Pepatah seperti “takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat” memberikan penjelasan tentang akibat yang dimungkinkan dari tindakan konkret menyembah Tuhan atau menafikan Tuhan.

Legitimasi ketiga adalah teori yang dirumuskan oleh anggota masyarakat fasih akan hal-hal terkait. Tingkatan keempat dan merupakan


(53)

42

legitimasi yang paling teoretis adalah symbolic universes atau tatanan simbolik yang koheren. Tatanan simbolik atau symbolic order dapat dicontohkan dengan agama atau paradigma dalam ilmu pengetahuan. Agama atau paradigma mampu memberikan penjelasan atau interpretasi yang menyeluruh dan mendasar terhadap kenyataan, mulai dari asumsi ontologis, pembuktian-pembuktian logisnya, teori-teori mengeni penyebab absolutnya, dan mungkin juga etika bagaimana untuk hidup di dalamnya.

Internalisasi: pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna; artinya sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang demikian bermakna subyektif bagi saya sendiri.47 Internalisasi dapat diartikan sebagai proses manusia mencerap dunia yang sudah dihuni oleh sesamanya. Namun, internalisasi tidak berarti menghilangkan kedudukan objektif dunia tersebut (maksudnya, institusionalisasi secara keseluruhan) dan menjadi persepsi individu berkuasa atas realitas sosial.

Internalisasi hanya menyangkut penerjemah realitas objektif menjadi pengetahuan yang hadir dan bertahan dalam kesadaran individu, atau menerjemahkan realitas objektif menjadi realitas subjektif. Internalisasi berlangsung seumur hidup manusia baik ketika ia mengalami sosialisasi primer maupun ketika ia mengalami sosialisasi sekunder.48

47 Peter L. Berger & Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang

Sosiologi Pengetahuan, diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basri, (Jakarta: LP3ES, 1990).177

48 Hannamen Sammuel, Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas, (Depok: Kepik,


(54)

43

Sementara sosialisasi sekunder dapat dikatakan sebagai sosialisasi yang dialami individu yang pernah mengalami sosialisasi primer. Yang sesungguhnya berlangsung dalam internalisasi menurut Berger. Adalah proses penerimaan definisi situasi institusional yang disampaikan orang lain, tetapi lebih dari itu, bersama dengan orang-orang lain mampu menjalin pendefinisian yang mengarah pada pembentukan definisi bersama. Selanjutnya, bila ini terjadi, barulah individu yang bersangkutan dianggap sebagai anggota masyarakat dalam arti yang sesungguhnya, yaitu berperan aktif dalam pembentukan dan pelestarian masyarakatnya.49

Dari sudut manusia dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi. Dengan kata lain, melalui eksternalisasi masyarakat menjadi kenyataan yang diciptakan oleh manusia; melalui objektivasi masyarakat menjadi kenyataan sendiri berhadapan dengan manusia; melalui internalisasi manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh masyarakat. Apabila manusia melupakan bahwa masyarakat adalah ciptaan manusia, ia menjadi terasing atau teralienasi.

Untuk memudahkan dalam memahami penelitian ini, peneliti mencoba menyelaraskan teori dalam bentuk bagan alur berfikir teori. Dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini:

49 Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial,


(55)

44

Skema 2.1 Alur Berfikir Teori

(Sumber: Skema ini dibuat penulis)

Religiusitas Masyarakat Sosial dalam kacamataKonstruksi Sosial Peter L. Berger

Eksternalisasi Objektivasi Internalisasi

Bentuk-Bentuk Ekspresi Religiusitas

Pengetahuan Tentang Religiusitas Masyarakat Pinggiran

Pengetahuan Religiusitas yang di


(56)

45

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam suatu penelitian karya ilmiah, terlebih dahulu dipahami tentang metode penelitian. Metode penelitian yang dimaksud merupakan seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematik dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah-masalah tertentu. Metode penelitian adalah suatu metode studi yang dilakukan sesorang melalaui penyelidikan secara hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat pada masalah tersebut.50

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif (qualitative research) dengan pendekatan fenomenologi. Metode penelitian kualitatif sebagaimana yang diungkapkan Bogdan dan Taylor51 sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistic (utuh) jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

50Imam Suprayogo, Metode Penelitian Sosial Agama, (Bandung: Remaja

Rosdakarya,2001). 6

51Lexy. J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, (Bandung: Remaja


(57)

46

Fenomenologi sebagai jenis penelitian ialah berusaha untuk mengungkap dan mempelajari serta memahami suatu feomena beserta konteksnya yang khas dan unik yang dialami oleh individu hingga tataran “keyakinan” individu yang bersangkutan.52 Dengan penelitian kualitatif fenomenologi, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan

kaitan-kaitannya terhadap orang yang berada dalam situasi tertentu53.

mendeskripsikan suatu gejala, kejadian yang terjadi saat sekarang tentang fenomena keberagamaan masyarakat di Dusun Sekidang untuk mengetahui pola keberagamaanya.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada pada dusun sekidang wilayah paling luar di sebelah sebelah timur Kabupaten Bojonegoro, Dusun Sekidang berbatasan langsung dengan Kabupaten Nganjuk tepatnya Desa Ngluyu Kecamatan Ngluyu. Sebenarnya ada tiga jalur untuk sampai ke dusun sekidang diantaranya; Desa Pajeng Kecamatan Gondang, Desa Papringan Kecamatan Temayang, dan Desa ngluyu Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk. Karena alasan jarak yang lebih dekat warga sekidang lebih sering melalui jalur yang berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk yang hanya sekitar 3 KM.

Alasan memiliki dusun Sekidang Karena masyarakat dusun Sekidang memiliki ritual ibadah yang unik, yang beerbeda dengan islam pada

52Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial, (Cet. Ke-II; Jakarta:

Salemba Humanika, 2011). 66

53Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Cet. XXIX; Bandung: Rosdakarya,


(58)

47

umumnya, beberapa alasan dan keunikannya peneliti paparkan pada bagian awal di latar belakang.

Kehadiran peneliti sendiri di Dusun tersebut sebagai pengamat partisipan, warga dusun sekidang mengetahui jika peneliti sedang melakukan tugas untuk menyelesaikan tugas akhir (Skripsi). Dalam penelitian kualitatif, kehadiran peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data. Kehadiran peneliti sangat diperlukan, karena disamping peneliti kehadiran peneliti juga sebagai pengumpul data. Sebagaian salah satu ciri penelitian kualitatif dalam pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti.

Kehadiran peneliti dilapangan sangat penting dan diperlukan secara optimal. Peneliti merupakan instrument kunci utama dalam mengungkapkan makna dan sekaligus sebagai alat pengumpul data. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti langsung ke lapangan untuk mengamati dan mengumpulkan data yang dibutuhkan, Sedangkan kehadiran peneliti dalam penelitian ini sebagai pengamat partisipan/berperanserta, artinya dalam proses pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan dan mendengarkan secara secermat mungkin sampai yang sekecil-kecilnya sekalipun.54

Waktu penelitian dilakukan selama empat bulan, dimulai pada bulan 16 Desember 2016 sampai dengan 31 Maret 2017. Ada kendala ketika melakukan penelitian yaitu adanya KKN satu bulan sehingga penelitian

54Lexy. J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi., (Bandung: Remaja


(59)

48

dihentikan. Alasan waktu dipilih karena peneliti ingin mendapatkan data yang lebih beragam dan valid selama empat bulan ditempat penelitian.

C. Pemilihan Subyek Penelitian

Menurut Nasution dalam penelitian Kualitatif yang dijadikan informan hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi. Informan dapat berupa peristiwa, manusia, situasi yang diobservasi. Sering informan dipilih secara “purposive” bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu. Tehnik ini secara sengaja mengambil sampel tertentu yang sesuai dan telah memenuhi kriteria,sifta-sifat, ciri-ciri, dan karakteristik.

Snowball sampling adalah tehnik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap, maka harus mencari orang lain yang dapat digunakan sebagai sumber data.55 Sering pula responden diminta untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi kemudian responden ini diminta pula menunjuk orang lain dan seterusnya. Cara ini lazim disebut “Snowball sampling” yang dilakukan secara serial atau berurutan.

Berdasarkan paparan diatas, subjek penelitian ini adalah sumber yang dapat memberikan informasi dipilih secara purposive bertalian dengan

purpose atau tujuan tertentu. Subjek yang akan diteliti akan ditentukan langsung oleh peneliti sebagai key informan yang berkaitan dengan masalah


(60)

49

dan tujuan peneliti. Sedangkan besarnya jumlah responden tidak ditentukan oleh pertimbangan responden.

Dalam pengumpulan data didasarkan pada kejenuhan data dan informasi yang diberikan. Jika beberapa narasumber yang dimintai keterangan diperoleh informasi yang sama, maka itu sudah dianggap cukup untuk proses pengumpulan data yang diperlukan sehingga tidak perlu meminta keterangan dari responden berikutnya.

Dalam hal ini sebagai informan atau subjek penelitian yang ditetapkan oleh peneliti sebagai key informan ialah bapak Tresno selaku kepala dusun setempat yang lebih tahu banyak hal mengenai Dusun Sekidang, dengan tehnik Snowball kepala Dusun diminta oleh peneliti untuk menunjukkan orang yang tepat untuk dijadikan informan berikutnya.

Informan selanjutnya. Kepala dusun mengarahkan peneliti ke bapak suwaji selaku orang yang di tuakan sebagai tokoh agama. Kemudian pak suwaji menunjukkan pada peneliti satu orang yang dianggap sebagai ustadz muda yang bernama parji. Setelah itu peneliti diantar kerumah pak RT untuk wawancara, dan kemudian menunjuk beberapa warga setempat untuk di wawancarai.


(1)

100

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan di dusun Skidang desa Soko kecamatan Temayang Bojonegoro, peneliti mengemukakan beberapa saran sebagai berikut.

Pertama, kepada generasi muda Dusun Sekidang sebagai penerus untuk keturunan berikutnya menggantikan generasi tua, generasi muda akan lebih baiknya mencari ilmu pengetahuan (baik formal maupun non-formal) serta konsepsi agama yang lebih baik selaras dengan apa yang ada dalam ajaran agama. Sehingga agama yang dianut tidak serta merta hanya dijalankan karena melihat dari orang lain yang menjalankan agamanya seperti itu, namun ada pengetahuan sebagai pijakan serta pengamalan dalam meyakini Agamanya.

Kedua kepada Tokoh Masyarakat Setempat, sebagai tokoh yang menjadi panutan hendaknya lebih terbuka kepada hal-hal (pengetahuan) baru guna menambah wawasan pengetahuan tentang keagamaan dan lainnya. Transformasi pengetahuan akan hal-hal semoga bisa membawa perubahan untuk pemajuan pembangunan lingkungan sosial masyarakat agar tercipta keterbukaan akan hal baru dan memadukannya dengan nilai-nilai setempat.

Kepada aparatur pemerintahan Desa Soko khususnya, dan pemerintahan Kabupaten Bojonegoro secara umum. Dalam pembangunan


(2)

101

Sekidang merupakan salah satu contoh dari beberapa tempat akibat dari kurang meratanya pembangunan. Dengan pemerataan pembangunan baik fisik maupun non-fisik diharapakan mampu memobilisasi percepatan pembangunan dari berbagai aspek. Mudahnya medan jalan juga mempengaruhi kemudahan sarana komunikasi, transportasi, juga transformasi pengetahuan.

Kepada Kementrian Agama Kecamatan Temayang khususnya, dan Kementrian Agama Kabupaten Bojonegoro secara umum untuk lebih meningkatkan sarana dakwahnya. Melakukan berbagai macam kegiatan keagamaan,sebukan sekali atau dua kali menugaskan anggotanya untuk berdakwah di daerah-daerah yang dari geografis tergolong pinggiran.

Kepada LSM, dan pemerhati social supaya melakukan pendampingan terhadap tempat-tempat yang terisolir serta memberi ilmu pengetahuan, pelatihan, keterampilan untuk menyiapkan generasi muda di Dusun tersebut. Yang pada akhirnya ialah pemuda di Dusun tersebut sebagai agen perubahan yang memberi harapan baru yang lebih baik.

Terakhir, penulis menyadari peneltitian ini masih banyak mengalami kekurangan, maka kepada para pakar peneliti, civitas akademik sangat diharapkan masukannya untuk mengkritisi dan melakukan penelitian lanjutan untuk melengkapi dan juga menyempurnakan penelitian ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif .Jakarta: Erlangga. 2009.

El Rais, Heppy. Kamus Ilmiah Populer. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2012.

Turner, Bryan S. Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer, diterjemahkan oleh Inyiak ridwan Munzir. Jogjakarta: Ircisod. 2012.

Abidin, Zainal dan Ahmad Safe’i, Agus. Sosiophologi Bandung: Pustaka Setia, 2003.

Koentjoroningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: RINEKA CIPTA, 2009

Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi Sosiologi 2015. Surabaya: FISIP UINSA, 2015.

Lationo, Galih . “Dimensi Religiusitas Dalam Tradisi Islam Aboge di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas (Studi Analisis Pendidikan Agama Islam)”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.

Mustafidah, Tutik . “Pengaruh Religiusitas Orang Tua Terhadap Motivasi Belajar Anak (Studi Kasus Di MTS PGRI Desa Kendit Kecamatan Kendit Situbondo)”. Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Surabaya, 2011.


(4)

103

Aisyah, Nur . Religiusitas Komunitas Anak Jalanan “Studi Tentang Perilaku Sosial Keagamaan Komunitas Anak Jalananan di Terminal Joyoboyo Surabaya”.Skrispsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Institut Agama Islam Negeri Surabaya, 2012.

Ancok, Djamaluddin dan Nashori Suroso, Fuad. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Tanto, “Pengertian Religiusitas", accessed November 27, 2016, http://jalurilmu.blogspot.com/2011/10/religiusitas.html.

Robertson, Roland. Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosisologis, trans. Fedyani Syaifudin. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.

Muttaqin, Husnul. “Relasi Agama dan Modernitas: Menggugat Teori Sekularisasi”, Sosiologi Islam, Volume 02 No.02 Oktober 2012.

Warsito & Muttaqin, Husnul. “Humanisme dan Petaka Modern”. Sosiologi Islam, Volume 02 No.02 Oktober 2012.

Berger, Peter L. Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial, trans. oleh Hartono. Jakarta: LP3ES, 1991.

Kamaruzzaman. “Hubungan Orientasi Religius Dan Koping Religius Pada Mahasiswa”. Skripsi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2015.

Widyarini, Nilam. PsikologiPopuler: Kunci Pengembangan Diri. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009.


(5)

104

Bukhori, Baidi. “Meta-Analisa Hubungan orientasi Religius dengan Prasangka Sosial”, at-Taqaddun, Volume 3 No. 1 Juli 2011.

Nasruddin. “Kebudayaan dan Agama Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz ”. Jurnal Religio,Volume 03 No. 01 2013.

Blackburn, Simon. Kamus Filsafat, diterjemahkan oleh Yudi Santoso. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013.

Berger, Peter L. Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern (A Rumor of Angels: Modern Society and The Rediscovery of The Supranatural), alih bahasa J. B. Sudarmanto. Jakarta: LP3ES, 1991.

Sammuel, Hannamen. Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Kepik, 2012.

Riyanto, Geger. Peter L Berger Persektif Metateori Pemikiran. JAKARTA: LP3ES, 2009.

Berger, Peter L. & Luckman, Thomas. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basri. Jakarta: LP3ES, 1990.

Suprayogo, Imam . Metode Penelitian Sosial Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Moeloeng, Lexy. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.


(6)

105

Herdiansyah, Haris . Metodologi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika, 2011.

Moelong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2006.

Kriyantono, Ramat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.

Fatoni, Abdurrahman. Metodologi Penelitian dan Tehnik Penyusunan Skripsi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.

Husman, Husaini. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Moelong, Lexy J. Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1995.

Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya :Airlangga, 2001.

Syam, Nur. Metode Penelitian Ilmu Dakwah. Solo: CV. Romadhoni, 1991.

Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2014.

Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.

Syam, Nur. Islam Pesisir. Jogjakarta: LkiS, 2005.