TINJAUAN FIKIH EMPAT MAZHAB TERHADAP LI’AN SEBAGAI PENEGUHAN ATAS PENGINGKARAN SAHNYA ANAK DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI).

(1)

TINJAUAN FIKIH EMPAT MAZHAB TERHADAP

LI’AN

SEBAGAI PENEGUHAN ATAS PENGINGKARAN SAHNYA

ANAK DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

SKRIPSI

Oleh:

Masning Fatimatul Azdiyah

NIM: C51211179

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari

ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Ahwal Al-Syakhshiyyah

SURABAYA

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Tinjauan Fikih Empat Mazhab Terhadap Li’a@n

Sebagai Peneguhan Atas Pengingkaran Sahnya Anak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)” merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan

untuk menjawab pertanyaan bagaimana ketentuan tentang li’a@n sebagai peneguhan

atas pengingkaran sahnya anak dalam KHI, dan bagaimana tinjauan fikih empat mazhab

terhadap ketentuan li’a@n sebagai peneguhan atas pengingkaran sahnya anak dalam

KHI.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis melakukan penelitian dengan menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumenter. Yaitu penelitian yang menggunakan sumber berupa naskah-naskah asli yang mungkin telah dipublikasikan atau belum dipublikasikan berupa buku, skripsi, artikel baik hard copy ataupun internet

yang berkaitan dengan ketentuan li’a@n dalam KHI. Setelah data-data terkumpul baru

kemudian diolah yang diawali dengan klasifikasi data, kemudian dianalisis secara deskriptif dengan pola berpikir deduktif. Yaitu proses pendekatan berpikir dengan bertolak dari hal-hal yang bersifat umum yakni dasar hukum Islam yang menjelaskan

tentang li’a@n, konsep li’a@n serta tata caranya yang ada dalam kitab-kitab fikih

empat mazhab yang menjadi referensi penyusunan KHI. Lalu aturan tersebut digunakan

untuk menganalisis hal-hal yang bersifat khusus yakni ketentuan tentang li’a@n sebagai

peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak dalam KHI, dan selanjutnya digeneralisir menjadi kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ketentuan li’a@n sebagai peneguhan atas

pengingkaran sahnya anak dalam Pasal 101 KHI tidak sesuai dengan pendapat ulama empat mazhab yang terdapat dalam kitab-kitab fikih referensi KHI. Karena Pasal 101

KHI tidak secara tegas mewajibkan li’a@n dalam hal pengingkaran terhadap nasab

seorang anak, akan tetapi hanya menggunakan kata “dapat meneguhkan”. Sedangkan

dalam kitab-kitab fikih empat mazhab referensi KHI, ulama mazhab kecuali Hanabilah

sepakat menyatakan jika sebab terjadinya li’a@n adalah pengingkaran terhadap nasab

anak, maka dalam hal ini suami wajib melakukan li’a@n baik dengan ada atau tanpa

adanya tuntutan dari isteri. Meskipun isteri telah memaafkan atau bahkan telah

membenarkan pengingkaran suami. Hal itu disebabkan menghapus nasab yang ba@t{il

adalah hak suami karenanya tidak bisa gugur sebab rid{o@ isteri. Ketentuan li’a@n

dalam Pasal 101 KHI tersebut juga tidak sesuai dengan pendapat ulama Hanabilah yang

tetap mensyaratkan adanya tuntutan dari isteri baik dalam hal li’a@n sebab tuduhan

berzina ataupun pengingkaran atas keabsahan nasab seorang anak.

Berdasarkan perbedaan antara ketentuan hukum li’a@n dalam Pasal 101 KHI

dan kitab-kitab fikih empat mazhab yang menjadi referensi KHI, dalam hal ini penulis menyarankan khususnya kepada para pihak yang berwenang membuat undang-undang atau peraturan, disamping mempertimbangkan keadilan serta kemaslahatan haruslah pula mengandung sebuah kepastian hukum dan disesuaikan dengan pedoman mayoritas umat Islam agar tidak terjadi kebingungan ketika berhadapan dengan peraturan yang tidak sesuai dengan apa yang masyarakat anut dan yakini.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 13

C. Rumusan Masalah... 14

D. Kajian Pustaka ... 15

E. Tujuan Penelitian... 17

F. Keguanaan Penelitian ... 17

G. Definisi Operasional ... 18

H. Metode Penelitian ... 20

I. Sistematika Pembahasan... 22 vii


(8)

BAB II TINJAUAN TENTANG LI’A@N PERSPEKTIF EMPAT MAZHAB

A. Pengertian dan Dasar Hukum Li’a@n ... 24

1. Hanafiyah ... 24

2. Malikiyah ... 25

3. Syafi’iyah ... 25

4. Hanabilah ... 26

B. Sebab Terjadinya Li’a@n ... 29

1. Hanafiyah ... 29

2. Malikiyah ... 32

3. Syafi’iyah... 33

4. Hanabilah ... 34

C. Hukum Melakukan Li’a@n ... 37

1. Hanafiyah ... 37

2. Malikiyah ... 38

3. Syafi’iyah ... 39

4. Hanabilah ... 41

D. Tata Cara Li’a@n .... 42

1. Hanafiyah ... 43

2. Malikiyah ... 46

3. Syafi’iyah ... 49

4. Hanabilah ... 52

E. Akibat Hukum Li’a@n... 55

1. Hanafiyah ... 56

2. Malikiyah ... 56

3. Syafi’iyah ... 57

4. Hanabilah ... 58 x


(9)

BAB III KETENTUAN TENTANG LI’A@N DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

A. Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam ... . 63

B. Metode Perumusan Kompilasi Hukum Islam ... 67

C. Tujuan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam

Sistem Hukum Nasional ... 73

D. Li’a@n dalam Kompilasi Hukum Islam ... 77

BAB IV LI’A@N SEBAGAI PENEGUHAN TERHADAP

PENGINGKARAN SAHNYA ANAK DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) PERSPEKTIF EMPAT MAZHAB

Tinjauan Fikih Empat Mazhab Terhadap Li’a@n Sebagai

Peneguhan Atas Pengingkaran Sahnya Anak dalam Kompilasi

Hukum Islam ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 96 B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA

BIODATA LAMPIRAN


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Dalam rangka melaksanakan ibadah kepada Allah SWT, manusia telah diberi

petunjuk oleh-Nya. Petunjuk Allah tersebut dinamakan al-di@n, yang

disebut juga dengan istilah al-Millah atau al-Islam. Al-di@n yang diberikan

oleh Allah kepada umat manusia tetap sama dari dulu sapai ahir zaman.

Untuk melaksanakan al-di@n tersebut, selanjutnya Allah SWT memberikan

syariah kepada manusia di bawah bimbingan dan petunjuk Rasul-Nya. Jika al-di@n adalah dasar atau pokok yang tetap dan tidak berbeda (berubah) karena adanya pergantian rasul, maka berbeda halnya dengan syari’ah

sebagai metode serta program implementasi dari al-di@n yang memuat

ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan perbuatan manusia

yang berbeda (berubah) menurut perbedaan (pergantian) rasul.1

Lebih lanjut diterangkan bahwa syari’ah memuat ketentuan-ketentuan

yang ditetapkan oleh Allah SWT yang dijelaskan oleh Rasul-Nya, tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia dalam rangka mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di ahirat kelak. Agar segala ketentuan (hukum) tersebut bisa diamalkan oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami segala ketentuan yang dikehendaki oleh Allah SWT yang terdapat

1

Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 16-17.


(11)

2

dalam syari’ah tersebut. Oleh karenanya Allah memberikan akal-pikiran

kepada manusia yang harus digunakan oleh manusia diantaranya untuk

memahami hukum-hukum syari’ah dalam al-Quran dan sunnah nabi. Dan apa

yang dihasilkan oleh manusia itu bukan lagi syari’ah tetapi fikih2, yang

kemudian sering disebut dengan istilah hukum Islam yang merupakan

penjabaran lebih lanjut dari syari’ah (dengan syarat tidak boleh bertentangan

dengan syari’ah).3

Menurut H.M. Djamil Latif, hukum Islam sendiri telah diterapkan di Indonesia jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia sudah ada sejak munculnya kerajaan-kerajaan di bumi nusantara ini. Hal ini dapat dimengerti dengan penyelenggaraan kepentingan umum dan terjaminnya hak-hak perorangan, diantara hak-hak perorangan adalah hak

untuk menikah dan melanjutkan keturunan.4

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan

hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”,

berasal dari kata “nika@h” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan,

saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wat{i).5 Kata

nikah sendiri sering digunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah. Adapun definisi nikah menurut pendapat para ulama diantaranya adalah:

2

Ibid., 18. 3

Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), 92. 4

Afdol, Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan Permasalahan Implementasi Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Airlangga University Press, 2003), 50.

5


(12)

3

ِعاَتْمِتْسا ّلِحَو ِةَأْرَمْلاب ِلُجّرلا ِعاَتْمِتْسا َكْلِم َدْيِفُيِل ُعِراّشلا ُهَعَضَو ٌدْقَع َوُ اًعْرَش ُجاَوّزلا

ِةَأْرَمْلا

ِلُجّرلاِب

“Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan oleh syara’

untuk memberikan kewenangan bagi laki-laki untuk bersenang-senang dengan perempuan dan menghalalkan bagi perempuan untuk

bersenang-senang dengan laki-laki”.6

ٍئْطَو َةَحاَبِا ُنّمَضَتَ ي ٌدْقَع حاكنلا

اَُُاَنْعَم ْوَأ ِجْيِوْزّ تلا ِوَأ ِحاَكِنلا ِظْفَلِب

“Pernikahan adalah akad dengan menggungakan lafaz{ nika@h{ atau

tazwy@j atau yang semakna dengan keduanya yang mengandung ketentuan

hukum diperbolehkannya hubungan seksual”.7 Muhammad Abu Zahrah di

dalam kitabnya al-Ah{wa@l al-Shakhs{iyah, mendefinisikan nikah sebagai berikut:

ُح ْنِم اَمِهْيَكِلاَم ُدَُُ َو اَمُهُ نُواَعَ تَو ِةَأْرَمْلاَو ِلُجّرلا ََْْ ب ِةَرْشُعْلا ّلَح ُدْيِفُي ٌدْقَع و حاكنلا

ٍقْوُق

ٍتاَب ِجاَو ْنِم ِهْيَلَع اَمَو

“Nikah adalah akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya

melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, saling tolong

menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban bagi keduannya”.8

Tujuan perkawinan sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, atau dalam bahasa Kompilasi Hukum

Islam (KHI) disebut dengan mitha@qan ghali@z{a (ikatan yang kuat) yang

6

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Isla@m wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 29. 7

Abu Yahya Zakariya al-Anshary, Fath{ al-Waha@b, Juz 2, (Singapura: Sulaiman Mar’iy, t.t), 30.


(13)

4

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki@nah,

mawaddah, dan rah{mah{.9

KHI merupakan kompilasi hukum Islam ala Indonesia yang tidak hanya terpaku pada satu mazhab. Tim perumus KHI menyatakan bahwa KHI identik dengn fikih Indonesia sebagaimana pernah dicetuskan oleh Hasbi Ash S{idqy@ dan Hazayrin. Atau dengan kata lain, menurut Busthanul Arifin,

kompilasi merupakan fikih dalam bahasa undang-undang.10

Secara singkat latar belakang penyusunan KHI bertujuan untuk menyeragamkan pertimbangan hukum oleh hakim pengadilan agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia

yang beragama Islam.11 Dengan demikian tidak ada lagi kesimpangsiuran

putusan pengadilan agama dan juga menghindari perbedaan putusan di beberapa pengadilan agama dalam kasus yang sama.

Proses penyususnan KHI sendiri melalui penggodokan yang matang sehingga didapat suatu aturan yang khas Indonesia dan tidak bertentangan dengan hukum syariah. Adapun jalur-jalur yang ditempuh dalam perumusan KHI adalah:

1. Pengkajian kitab-kitab fikih;

2. Wawancara dengan para ulama;

3. Yurisprudensi pengadilan agama;

9

Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 216.

10

Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Kompilasi Hukum Islam, dalam http://www.fshuinsgd.ac.id, diakses pada tanggal 18 November 2014 .

11


(14)

5

4. Studi perbandingan hukum dengan negara-negara Islam;

5. Lokakarya atau seminar materi hukum untuk pengadilan.

Bidang yang menjadi pembahasan dalam usaha perumusan KHI

adalah bidang perkawinan, hukum kewarisan, waqaf, hibah, s{adaqah, bayt

al-ma@l dan lain-lain yang menjadi kewenangan pengadilan agama.12

Walaupun pada dasarnya melakukan perkawinan itu adalah bertujuan untuk selama-lamanya, tetapi adakalanya muncul sebab-sebab tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan sehingga harus putus di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya, atau dengan kata lain

terjadi perceraian antara suami isteri.13

Berkaitan dengan masalah putusnya hubungan perkawinan, KHI menyebutkan dalam Pasal 113 yang masuk dalam bab putusnya perkawinan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan

Pengadilan.14 Perceraian sendiri menurut istilah ahli fikih disebut t{ala@k

atau furqah. Adapun arti daripada t{ala@k adalah membuka ikatan atau

membatalkan perjanjian, sedangkan furqah artinya bercerai, yaitu lawan dari

berkumpul. Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli fikih sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami isteri.

Perkataan t{ala@k dalam istilah fikih mempunyai dua arti, yakni arti

yang umum dan arti yang husus. T{ala@k menurut arti yang umum ialah

segala macam bentuk perceraian atau perpisahan antara suami isteri (furqah)

12

Ibid., 36. 13

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), 103.

14


(15)

6

baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena

meninggalnya salah seorang suami atau isteri. Dalam Kita@b

Muna@kah{a@t menyebutkan macam-macam perceraian yang terjadi antara

suami isteri, yaitu perceraian dengan jalan t{ala@k, perceraian dengan jalan

wafat, perceraian dengan jalan khulu@’, perceraian dengan jalan faskh, dan

perceraian dengan jalan li’a@n.15

Sedangkan t{ala@k dalam arti yang khusus ialah perceraian yang

dijatuhkan oleh pihak suami. Karena salah satu bentuk dari perceraian antara

suami isteri adalah disebabkan adanya ikrar t{ala@k yang dijatuhkan oleh

suami, maka untuk selanjutnya istilah t{ala@k dimaksudkan sebagai t{ala@k

dalam arti yang khusus sebagaiamana arti kata t{ala@k yang terdapat dalam

KHI.16Akan tetapi penulis dalam penelitiannya berangkat dari arti kata

t{ala@k secara umum yakni segala bentuk perceraian atau perpisahan antara suami isteri yang dalam bahasa KHI disebut dengan putusnya hubungan perkawinan yang mempunyai beberapa sebab, diantaranya adalah karena li’a@n.

Secara bahasa, kata li’a@n berasal dari kata la’ana, yakni laknat yang

berarti jauh. Dinamakan dengan li’a@n (jauh) karena suami isteri yang saling

bersumpah li’a@n berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan haram untuk

berkumpul sebagai suami isteri untuk selama-lamanya, atau karena yang

bersumpah li’a@n dalam sumpahnya yang kelima menyatakan bersedia

15Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), 189.

16


(16)

7

menerima laknat Allah (dijauhkan dari rahmat Allah) jika pernyataannya

tidak benar. Sedangkan menurut istilah, li’a@n adalah sumpah dengan

menggunakan beberapa kalimat tertentu17 yang diucapkan oleh suami yang

telah menuduh isterinya berbuat zina atau mengingkari sahnya anak, sebagai h{ujjah (bukti) atas tuduhan atau pengingkarannya, karena suami sedang

dalam keadaan terjepit dan ia tidak bisa mendatangkan empat orang saksi.18

Dasar hukum li’a@n ialah firman Allah dalam surat al-Nu@r ayat

6-9, yang sekaligus menjelaskan tata cara li’a@n:

ْمُهَجاَوْزَأ َنوُمْرَ ي َنيِذّلاَو

ِهّللاِب ٍتاَداَهَش ُعَبْرَأ ْمِِدَحَأ ُةَداَهَشَف ْمُهُسُفْ نَأ َِّإ ُءاَدَهُش ْمََُ ْنُكَي َََْو

( َِْقِداّصلا َنِمَل ُهّنِإ

6

ِهْيَلَع ِهّللا َتَنْعَل ّنَأ ُةَسِماَْْاَو )

( َِْبِذاَكْلا َنِم َناَك ْنِإ

7

اَهْ نَع ُأَرْدَيَو )

ْنَأ َباَذَعْلا

( َِْبِذاَكْلا َنِمَل ُهّنِإ ِهّللاِب ٍتاَداَهَش َعَبْرَأ َدَهْشَت

8

اَهْ يَلَع ِهّللا َبَضَغ ّنَأ َةَسِماَْْاَو )

( َِْقِداّصلا َنِم َناَك ْنِإ

9

)

Orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi kecuali diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah bahwa sesungguhnya ia termasuk orang yang berkata benar (6). Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya jika ia termasuk orang yang berdusta (7). Dan seorang isteri akan terhindar dari hukuman apabila ia bersumpah empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk orang yang berdusta (8). Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (isteri) jika dia (suami) termasuk orang yang

berkata benar (9).19

Berdasarkan penafsiran dari surat al-Nu@r ayat enam dan tujuh

tersebut, dapat diketahui bahwa sebab terjadinya li’a@n menurut jumhu@r

al-ulama@’, serta ahli fikih dan ahli hadis secara umum ialah tidak adanya

17

Yakni lima kali sumpah, empat sumpah yang berisi pernyataan suami bahwa tuduhannya benar, dan yang kelima bahwa ia siap menerima laknat Alah jika tuduhannya tidak benar.

18

Muhammad bin Ahmad al-Syatiri, Sharh{ al-Yaqu@t al-Nafi@s, (Beirut: Dar al-Minhaj, 2007), 645.

19

Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2004), 350.


(17)

8

empat orang saksi bagi suami yang telah menuduh isterinya berzina atau mengingkari sahnya anak. Menurut imam Abu Hanifah, pengingkaran

terhadap sahnya anak merupakan sebab terjadinya li’a@n yang lebih kuat

daripada sekedar tuduhan berzina, karena di dalam pengingkaran sahnya anak

sudah tercakup tuduhan berzina.20

Tata cara li’a@n sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nu@r ayat

enam dan tujuh adalah; suami bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa tuduhannya kepada isterinya adalah benar, dan dalam sumpah yang kelima ia menyatakan siap menerima laknat Allah jika tuduhannya terhadap

isterinya adalah dusta atau tidak benar.21 Adapun akibat hukum dari li’a@n

adalah sebagi berikut:

1. Gugurnya h{ad qadhaf (h{ad karena telah menuduh zina) bagi suami;

2. Ditetapkan wajibnya memberlakukan h{ad zina bagi isteri;

3. Putusnya hubungan perkawinan dan haram bagi keduanya berkumpul

kembali sebagai suami isteri untuk selama-lamanya;22

4. Anak yang diingkari hanya bernasab kepada ibunya;

5. Terputusnya hubungan kewarisan antara anak yang diingkari dan ayah

yang mengingkarinya.23

Berkenaan dengan masalah li’a@n, Kompilasi Hukum Islam (KHI)

mengaturnya dalam enam pasal yang masuk dalam tiga bab yang berbeda.

Pasal 101 KHI tentang li’a@n sebagai peneguhan terhadap pengingkaran

20Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Anshari Qurthuby, Al-Jami’ li Ah{ka@m al-Qura@n, Juz 12, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 183.

21

Ibid., 185. 22

Muhammad bin Ahmad al-Syatiri, Sharh{ al-Yaqu@t al-Nafi@s, 648. 23


(18)

9

sahnya anak yang tidak disangkal oleh isteri masuk dalam bab pemeliharaan

anak. Pasal 125 tentang akibat li’a@n, Pasal 126 tentang sebab terjadinya

li’a@n, Pasal 127 KHI tentang tata cara li’a@n dan Pasal 128 KHI tentang

sahnya li’a@n di depan pengadilan termuat dalam bab putusnya perkawinan.

Selain dijelaskan dalam pasal 125 bab putusnya perkawinan, akibat li’a@n

juga disebutkan kembali dalam pasal 162 pada bab akibat putusnya

perkawinan.24

Sehubungan dengan li’a@n yang diatur dalam KHI, penulis melihat

meskipun KHI tidak secara tegas menyebutkan adanya kewajiban atau keharusan untuk melakukan peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak

dengan li’a@n namun hal tersebut tetap dipandang penting adanya sehingga

ketentuan tersebut diatur dalam salah satu pasal di dalam KHI yakni pasal 101 KHI.

Namun demikian, peneguhan terhadap sahnya anak dalam pasal 101

KHI yang menyebutkan “Seorang suami yang mengingkari sahnya anak

sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya

dengan li’a@n” tidak sesuai dengan ketentuan pasal yang menyebutkan

sebab terjadinya li’a@n yakni Pasal 126 KHI yang menghendaki adanya

penyangkalan/ penolakan dari isteri. Disamping itu Pasal 101 KHI tersebut tidak akan mungkin bisa diterapkan sebab adanya ketentuan tentang tata cara li’a@n yang diatur dalam pasal 127 KHI.

24


(19)

10

Pasal 127 huruf (c) KHI menyebutkan bahwa tuduhan zina dan atau pengingkaran sahnya anak yang dilakukan oleh suami dengan bersumpah

empat kali dan kemudian diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat

Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta” adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan adanya sumpah empat kali dari isteri sebagai penolakan atas tuduhan dan atau pengingkaran tersebut diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya jika tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar. Pasal 127 huruf (d) KHI mempertegas apabila tuduhan suami tidak diikuti adanya penolakan

dari isteri maka dianggap tidak terjadi li’a@n. Sedangkan dari penjelasan

Pasal 101 KHI memungkinkan terjadi li’a@n meskipun tidak ada penolakan

dari isteri.

Setelah memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam dua pasal, yakni Pasal 101 KHI dan Pasal 127 KHI, penulis melihat adanya ketidak pastian hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Pasal 101 dan 127 KHI. Pasal 101 KHI tersebut tidak mungkin bisa direalisasikan karena tidak sesuai dengan ketentuan dalam pasal lain terkait

tata cara pelaksanaan li’a@n yang diatur dalam Pasal 127 KHI. Padahal

ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 menyebutkan bahwa “Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan


(20)

11

Namun apabila Pasal 101 KHI tentang peneguhan terhadap

pengingkaran sahnya anak dengan li’a@n tetap dapat diterapkan meskipun

isteri tidak menyangkalnya, maka praktek li’a@n dalam konteks tersebut

bertentangan dengan ketentuan tentang tata cara li’a@n yang diatur dalam

Pasal 127 KHI.

Dari penjelasan singkat diatas dapat diketahui bahwa dengan berlakunya salah satu pasal, berarti menghilangkan kepastian hukum dari pasal yang lain. Padahal untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh

aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.25 Terlebih ketentuan li’a@n

dalam Pasal 101 KHI menyangkut masalah pengingkaran anak yang merupakan masalah yang masih banyak terjadi di tengah masyarakat muslim Indonesia sehingga kejelasan serta kepastian dari hukum yang mengatur masalah pengingkaran anak sangat penting untuk diperhatikan. Sebagai contoh Andika Kangen Band yang meragukan bahkan kemudian tidak mengakui bahwa anak yang dilahirkan oleh mantan isterinya yang pernah dinikahinya secara sirri adalah anaknya serta pesinetron Garry Iskak yang juga menelantarkan isteri dan mengingkari keabsahan anaknya.

Mengingat KHI merupakan salah satu instrumen hukum yang penting bagi para penegak hukum sekaligus masyarakat pencari keadilan, maka perlu adanya sebuah kepastian hukum tak terkecuali dalam pasal-pasal yang

mengatur tentang ketentuan li’a@n. Oleh sebab itu penulis menganggap

25

Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, 145.


(21)

12

perlu untuk menggali data serta informasi yang lebih dalam berkaitan dengan li’a@n hususnya keterangan yang yang menjelaskan tentang pengingkaran sahnya anak dalam kitab-kitab fikih empat mazhab yang menjadi referensi penyusunan KHI.

Dalam kitab-kitab fikih referensi KHI, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menjelaskan bahwa li’a@n hanya bisa terjadi jika ada tuntutan dari isteri yakni seorang isteri mengajukan tuntutan kepada q{a@di@ (hakim) untuk ditegakkan h{ad qadhaf atas suaminya (karena

tuduhan zina yang dituduhkan suami kepadanya).26Abdulla@h Bin Ahmad

Bin Muhammad Bin Quda@mah al-Hanbali menjelaskan h{ad qadhaf tidak

perlu ditegakkan kepada suami (yang telah menuduh isterinya berzina),

begitu juga suami tidak dituntut untuk melakukan li’a@n sampai adanya

tuntutan dari isteri yang bersangkutan.27

Berangkat dari permasalahan di atas, penulis memandang perlu dan bertujuan untuk membahas lebih lanjut bagaimana sesungguhnya

permasalahan tersebut dan penulis hanya fokus pada li’a@n sebagai

peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak dalam KHI dan ketentuan yang ada dalam kitab-kitab fikih empat mazhab yang menjadi referensi dalam proses penyusunan KHI itu sendiri.

Untuk itu penulis mencoba menginformasikan hasil penelitiannya

dalam bentuk skripsi dengan judul: Tinjauan Fikih Empat Mazhab

26

Abu al-Hasan Ali Bin Abi Bakar, al-Hida@yah Sharh{ Bida@yah al-Mubtadi Juz 3, (Karachi: Idarah al-Quran wa al-Ulum al-Islamiyah, 1417), 312.

27

Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Qudamah al-Hambali, Al-Mughni@ Li Ibni Quda@mah Juz 8, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1968), 59.


(22)

13

TerhadapLi’a@n Sebagai Peneguhan Atas Pengingkaran Sahnya Anak Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut:

1. Tujuan peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak dengan li’a@n

dalam pasal 101 KHI.

2. Motivasi lahirnya pasal 101 KHI.

3. Pemahaman para perumus KHI tentang tata cara li’a@n dalam pasal 127

KHI.

4. Status anak ketika seorang suami mengingkari sahnya anak tersebut

tetapi tidak sampai terjadi li’a@n karena tidak ada penolakan dari isteri.

5. Tata cara li’a@n sebagai peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak

sedangkan isteri tidak menyangkalnya dalam pasal 101 KHI kaitannya dengan pasal 127 huruf (c) dan (d) KHI yang mengharuskan adanya penolakan dari isteri.

6. Li’a@n sebagai peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak dalam KHI.

7. Analisis terhadap ketentuan li’a@n sebagai peneguhan terhadap

pengingkaran sahnya anak dalam KHI berdasarkan kitab-kitab fikih empat mazhab.

Dari identifikasi yang ada dalam penelitian ini, penulis hanya


(23)

14

pengingkaran sahnya anak dalam KHI dan analisis berdasarkan kitab-kitab

fikih empat mazhab yang menjadi referensi KHI terhadap li’a@n sebagai

peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak dalam KHI.

C. Rumusan Masalah

Masalah-masalah yang telah dibatasi di atas, dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan tentang li’a@n sebagai peneguhan atas

pengingkaran sahnya anak dalam KHI?

2. Bagaimana tinjauan fikih empat mazhab terhadap ketentuan li’a@n

sebagai peneguhan atas pengingkaran sahnya anak dalam KHI?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan, sehingga terlihat jelas bahwa penelitian ini bukan pengulangan atau duplikasi dari penelitian terdahulu. Dari beberapa literatur

yang penulis baca tentang li’a@n, penulis menemukan penelitian yang

berhubungan dengan li’a@n, diantaranya:

1. Penelitian yang membahas tentang Studi Analisis Terhadap Pendapat

Ibnu 'A@bidiyn Tentang Li’a@n Bagi Orang Bisu yang telah

dilakukan oleh Anisatul 'Inayah mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang pada tahun 2008 yang dalam hasil penelitiannya


(24)

15

bagi orang bisu. Ini sesuai dengan yang beliau tulis dalam kitabnya yaitu Radd al-Mukhta@r juz V. Ibnu 'A@bidy@n mengatakan syarat-syarat li’a@n salah satunya adalah harus bisa berbicara. Karena ketika

seseorang yang berli’a@n itu bisu atau tidak dapat berbicara maka tidak

ada li’a@n dan tidak ada h{ad. Karena Ibnu 'A@bidy@n

menggolongkan li'a@n ke dalam bentuk shaha@dah (persaksian),

bukan termasuk dalam bentuk yamy@n (sumpah). Sehingga orang yang

bisu tidak boleh berli’a@n karena orang bisu adalah orang yang

kesaksiannya tidak dapat diterima atau bukan orang yang ahli bersaksi.

2. Penelitian dalam bentuk karya tulis ilmiah kedua berkaitan dengan

li'a@n yang telah penulis baca adalah adalah tesis yang ditulis oleh Aris Andarwati mahasiswa pasca sarjana program studi magister kenotariatan

Universitas Diponegoro Semarang. Tesis dengan judul Penyangkalan

Anak Dengan Li’a@n dan Akibatnya (Studi Kasus Perkara No. 0951/Pdt.G/2007/PA.Sm.) yang ditulis pada tahun 2009 tersebut menjelaskan bahwa seorang mantan suami berhak mengajukan permohonan penyangkalan anak yang lahir dari mantan isterinya, dan

dengan dikabulkannnya permohonan penyangkalan anak oleh

Pengadilan Agama Semarang maka putuslah hubungan perdata antara anak dan ayahnya, dan anak tersebut hanya menjadi anak dari seorang ibu (nasabnya hanya kepada ibunya bukan ayahnya).

3. Skripsi yang ditulis pada tahun 2008 oleh Atin Rata Sari mahasiswa


(25)

16

Hukum Islam Tentang Status Anak Yang Lahir Setelah Perceraian Sebab Li'a@n (Analisis Terhadap Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 42 Tentang Status Anak Sah). Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang

No.1 Tahun 1974 Pasal 42 yang berbunyi “anak yang sah adalah anak

yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, tidak

sejalan dengan pengertian anak sah yang terdapat dalam hukum Islam. Karena dalam hukum Islam terdapat pengecualian yaitu walaupun dalam perkawinan yang sah tetapi apabila ayahnya melakukan pengingkaran

terhadap anak yang dikandung oleh istri dengan li’a@n dan apabila

setelah perceraian terjadi, maka anak yang lahir tersebut hanya akan mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan kedudukannya jelas menjadi anak yang tidak sah.

Jadi dalam hukum Islam status anak yang lahir setelah perceraian sebab li'a@n adalah tidak sah, berbeda dengan pengertian anak sah yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 42. Secara implisit dalam ketentuan undang-undang tersebut, status anak

yang dilahirkan sebab li'a@n tetap disebut sebagai anak yang sah. Hal

ini disebabkan karena memang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tidak mengatur permasalahan tentang li'a@n. Karena

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tersebut diperuntukkan bagi masyarakat indonesia secara umum tanpa membedakan warga negara yang


(26)

17

beragama Islam atau warga negara selain agama Islam, sedangkan

permasalahan li'a@n hanya terdapat dalam hukum Islam.

Beberapa Penelitian di atas sangat berbeda dengan penelitian yang akan penulis angkat, kendati masih berada dalam arus yang sama mengenai li’a@n. Perbedaan tersebut sangat berkaitan dengan objek penelitian. Objek

penelitian peneliti dalam tulisan ini diarahkan kepada li’a@n sebagai

peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak dalam KHI perspektif empat mazhab.

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penenlitian ini adalah:

1. Mengetahui ketentuan tentang li’a@n sebagai peneguhan atas

pengingkaran sahnya anak dalam KHI.

2. Mengetahui tinjauan fikih empat mazhab terhadap ketentuan li’a@n

sebagai peneguhan atas pengingkaran sahnya anak dalam KHI.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk

meningkatkan khazanah intelektual dan mengembangkan disiplin ilmu

berkenaan dengan ketentuan tentang li’a@n sebagai peneguhan terhadap

pengingkaran sahnya anak dalam KHI dan analisis terhadap li’a@n

sebagai peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak dalam KHI berdasarkan kitab-kitab fikih empat mazhab.


(27)

18

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

informasi untuk menambah wawasan serta pengetahuan masyarakat

umum tentang li’a@n. Karya tulis yang membahas tentang li’a@n ini

penting adanya, mengingat sampai saat ini masyarakat di Indonesia

husunya masih minim pengetahuan serta pemahaman tentang li’a@n,

padahal masalah li’a@n itu sendiri masih banyak terjadi di tengah

masyarakat kita. Di samping itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan/ rujukan bagi para penegak hukum Islam di Indonesia dalam menetapkan atau memutuskan suatu perkara dengan menjunjung tinggi Asas Kepastian Hukum.

G. Definisi Operasional

Terdapat beberapa konsep dalam judul penelitian ini yang perlu didefinisikan secara operasional agar tidak menimbulkan kesalah pahaman para pembaca. Konsep-konsep tersebut adalah:

1. Li’a@n : Secara bahasa adalah jauh dari nikmat Allah. Secara istilah, li’a@n berarti beberapa persaksian yang dikuatkan dengan sejumlah sumpah dari masing-masing suami dan isteri, disertai dengan mengucapkan laknat Allah atau kemarahan Allah, untuk menggantikan hukuman menuduh berzina bagi suami dan menggantikan hukuman

berzina bagi isteri28

28

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), 1009.


(28)

19

2. Peneguhan : Penguatan, pengukuhan, penyungguhan.29

3. Pengingkaran : Proses, cara, perbuatan mengingkari, tidak mengakui:

biasanya dinyatakan dengan kata tidak atau bukan.30

4. Kompilasi Hukum Islam : Fikih dalam bahasa Undang-Undang 31 yang

memuat kumpulan serta uraian berbagai ketentuan yang terkandung di dalam hukum Islam, pendapat para ahli hukum Islam atau

peraturan-peraturan hukumIslam 32 dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi

oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.33

5. Mazhab: Haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi

panutan umat Islam (dikenal dengan empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).34

H. Metode Penelitian

Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif karena meletakkan law

in book sebagai obyeknya.35Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder saja.36

29

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1470.

30

Ibid., 555. 31

Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Kompilasi Hukum Islam, dalam http://www.fshuinsgd.ac.id, diakses pada tanggal 18 November 2014.

32

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 12. 33

Ibid., 15. 34

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, Cet. Ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 2180.

35

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), 13.

36


(29)

20

1. Data yang dikumpulkan

Data adalah bahan keterangan tentang suatu objek penelitian yang

diperoleh dalam penelitian.37 Adapun data dalam penelitian ini adalah

pasal-pasal dalam KHI yang menjelaskan tentang li’a@n. Termasuk di dalamnya

adalah ketentuan dalam Pasal 101 KHI yang menjelaskan li’a@n sebagai

peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak, dan Pasal 127 KHI tentang

tata cara li’a@n, meliputi latar belakang perumusannya, motivasi dan tujuan

dibentuknya KHI serta dasar lahirnya. 2. Sumber data

Dalam penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Dalam penelitian hukum, data sekunder dilihat dari sudut mengikatnya digolongkan ke dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier:38

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, atau putusan

pengadilan,39 dalam hal ini yang digunakan adalah Instruksi Presiden

(Inpres) berupa Kompilasi Hukum Islam (KHI).

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari sumber

pendukung untuk memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer

37

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, 34. 38

Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, 103. 39

Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 157.


(30)

21

berupa data kepustakaan yang berkorelasi dengan objek penelitian.40

Dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum sekunder adalah:

1) Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia;

2) Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974 sampai KHI;

3) Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum

Nasional;

4) Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder41, yang menjadi

bahan hukum tersier adalah Kamus Hukum khususnya bidang Hukum dan Politik karya Zainul Bahri serta Ensiklopedi Hukum Islam karya Abdul Aziz Dahlan.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi dokumenter, yaitu penelitian yang menggunakan sumber berupa

naskah-naskah asli yang mungkin telah dipublikasikan atau belum dipublikasikan42

berupa buku, skripsi, artikel baik hard copy ataupun internet yang berkaitan

dengan ketentuan dalam KHI yang mengatur masalah li’a@n. Setelah

data-data terkumpul baru kemudian diolah yang diawali dengan klasifikasi data-data,

40

Ibid., 165. 41

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, 13. 42

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 62.


(31)

22

kemudian dianalisis secara deskriptif dan selanjutnya digeneralisir menjadi kesimpulan.

4. Metode analisis data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif,

analisis dengan pola berpikir deduktif.43 Deduktif yaitu proses pendekatan

dengan bertolak dari hal-hal yang bersifat umum yakni dasar hukum Islam

yang menjelaskan tentang li’a@n, konsep li’a@n serta tata caranya yang ada

dalam kitab-kitab fikih empat mazhab yang menjadi referensi penyusunan KHI, lalu aturan tersebut digunakan untuk menganalisis hal-hal yang bersifat

khusus yaitu ketentuan dalam KHI tentang li’a@n sebagai peneguhan

terhadap pengingkaran sahnya anak.

I. Sistematika Pembahasan

Agar pembahasan dalam tulisan ini mempunyai alur pikiran yang jelas dan terfokus pada pokok permasalahan, maka diperlukan sistematika pembahasan meliputi:

Bab satu pendahuluan, bab ini menjelaskan pola umum yang menggambarkan seluruh bahasan skripsi ini yang di dalamnya mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaannya, definisi operasional dan metodologi penelitian (mulai dari data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data sampai metode analisa data) dan sistematika pembahasan.

43


(32)

23

Bab dua menjelaskan tentang kerangka konsepsional dari permasalahan

yang akan penulis teliti, yang berisi gambaran umum tentang li’a@n dari segi

pengertian, dasar hukum, sebab terjadinya li’a@n, tata cara serta akibat hukum

li’a@n yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih empat mazhab yang menjadi referensi KHI.

Bab tiga, menjelaskan tentang pengertian KHI, latar belakang lahirnya KHI, metode perumusan KHI, tujuan dan kedudukan KHI, serta menjelaskan

tentang li’a@n sebagai peneguhan terhadap pengingkaran sahnya anak yang

diatur di dalam KHI.

Bab empat, tinjauan fikih empat mazhab terhadap ketentuan li’a@n sebagai peneguhan atas pengingkaran sahnya anak yang diatur dalam KHI.

Bab lima, penutup yang memuat kesimpulan penelitian yaitu menjawab rumusan masalah yang disebutkan di awal yang diikuti saran atau masukan kepada akademisi serta praktisi hukum, para pembaca dan peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan tema ini.


(33)

24

BAB II

Tinjauan Tentang Li’a@n Perspektif Empat Mazhab

A. Pengertian dan Dasar Hukum Li’a@n

Ulama empat mazhab mendefinisikan li’a@n dengan pengertian yang

hampir sama meskipun terdapat sedikit perbedaan. Berikut pengertian li’a@n

berdasarkan definisi dari masing-masing ulama empat mazhab: 1. Hanafiyah

Secara bahasa li’a@n merupakan mas{dar sima@’i dari kata la@’ana

yang berarti mengusir dan menjauhkan atau al-t{ardu wa al-ib’a@du.

Disebut dengan li’a@n karena dalam sumpah yang kelima terdapat

pernyataan laknat dari suami kepada isterinya. Penamaan sumpah suami

isteri dengan sebutan li’a@n merupakan penyebutan nama keseluruhan

berdasarkan nama sebagian atau tasmiyatu li al-kulli bi ismi al-juzi.

Maksudnya adalah meskipun dalam sumpah yang kelima isteri

menyebutkan kata ghad{ab tetapi persaksian serta sumpah yang terjadi

antara suami isteri tidak dinamakan dengan ghad{ab tetapi dinamakan

li’a@n, karena lebih mendahulukan kata-kata yang terlebih dahulu

diucapkan oleh suami yakni kata la’nat. Sedangkan menurut istilah li’a@n


(34)

25

menyebutkan la’nat, sebagai ganti dari h{ad qadhaf bagi suami dan h{ad

zin@a bagi isteri.1

2. Malikiyah

Secara bahasa li’a@n mempunyai arti menjauhkan, sedangkan menurut

istilah Malikiyah mendefinisikan li’a@n sebagai sumpah seorang suami

yang muslim serta mukallaf,2 sebab ia telah melihat isteri atau mantan

isterinya berzina sewaktu masih berstatus sebagai isteri dari suami atau disebabkan suami mengingkari/ menghapus nasab anak yang dikandung atau yang dilahirkan oleh isterinya meskipun anak yang diingkari atau

isteri yang bersangkutan telah meninggal. Selain itu li’a@n juga

merupakan sumpah isteri dengan menggunakan lafaz{ ashhadu billa@hi

sebanyak empat kali sebagai bentuk penolakan/ penyangkalan isteri atas

tuduhan suami.3

3. Syafi’iyah

Secara bahasa li’a@n merupakan mas{dar dari kata la’ana yal’anu

la’nan li’a@nan atau jama’ dari kata al-la’nu yang berarti menjauhkan.

Adapun arti li’a@n menurut istilah adalah beberapa kalimat yang

digunakan sebagai bukti bagi suami dalam keadaan terjepit (tidak bisa mendatangkan empat orang saksi) untuk menuduh bahwa isterinya telah

1 Fakhruddi@n ‘Uthma@n Bin ‘Ali al-Hanafi, Tabyi@n al-Haqa@iq

Syarh{ Kanzu al-Daqa@iq Juz 3, (Beirut: Da@r al-Kutub al-‘Ilmiah, 2010), 222-223.

2

Bukan Sayyid (pemilik dari budak) ataupun ajnaby (orang lain selain suami), bukan pula suami non muslim dan juga bukan suami yang masih kecil atau gila.

3

Ah{mad al-S{a@wy al-Maliki, Bulghah al-Sa@lik liaqrabi al-Masa@lik Juz 2, (Beirut: Da@r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), 429-430.


(35)

26

mengotori tempat tidurnya (dengan melakukan zina) atau menghapus

nasab anak isterinya. Dan menurut pendapat yang as{ah (pendapat yang

dipandang paling benar) kalimat yang diucapkan dalam li’a@n merupakan

sumpah sebagai jalan alternatif karena sulitnya mendatangkan bukti atas perbuatan zina isteri juga untuk menjaga nasab agar jangan sampai tercampur.

Dinamakan dengan li’a@n karena siapapun yang berbohong dari suami

atau isteri akan dijauhkan dari rahmat Allah dan masing-masing dari suami isteri saling dijauhkan oleh hukum dengan ketentuan haram bagi keduanya

untuk rujuk kembali.4

4. Hanabilah

Hanabilah tidak mendefinisikan li’a@n secara istilah, namun hanya

menyebutkan kata dasar dari li’a@n adalah al-la’nu yang berarti laknat.

Oleh sebab itulah sumpah yang diucapakn oleh suami isteri disebut dengan li’a@n, karena dalam sumpahnya yang kelima masing-masing dari suami isteri menyatakan melaknat diri mereka sendiri apabila mereka

berbohong.5

Ulama empat mazhab juga menyampaikan pendapatnya tentang li’a@n yang dikategorikan sebagai sumpah atau dikategorikan sebagai

persaksian. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat. Pertama, yakni Imam

Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanbali dan jumhu@r al-ulam@a’ menyatakan

4 Muhammad Bin Abi al-‘Abba@s al-Syafi’i, Niha@yah al-Muh{ta@j ila Syarh{ al-Minha@j Juz 7, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2003), 103

5

Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Qudamah al-Hambali, Al-Mughni@ Li Ibni Quda@mah Juz 10, (Kairo: Da@r al-H{adis, 1968), 503.


(36)

27

bahwa li’a@n adalah sumpah yang dikuatkan dengan menggunakan lafaz{

shaha@dah. Kedua, Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa li’a@n adalah

sebuah persaksian karena menggunakan lafaz{ shaha@dah. Ketiga, menurut

pendapat yang s{ah{@ih{ li’a@n merupakan gabungan dari sumpah dan

persaksian, yakni sebuah persaksian yang dikuatkan dengan sumpah berulang-ulang dan sumpah yang dikuatkan dengan menggunakan

persaksian.6

Dari beberapa uraian yang menjelaskan tentang pengertian li’a@n di

atas dapat disimpulkan bahwa li’a@n menurut ulama empat mazhab adalah

beberapa kalimat yang mengandung kata laknat yang diucapkan oleh suami

isteri dan digunakan untuk menggugurkan h{ad qadhaf dari suami dan h{ad

zina@ dari isteri sebab suami menuduh isterinya berzina atau mengingkari keabsahan anak dari isterinya. Hanya saja terdapat perbedaan dalam

pengkategorian li’a@n sebagai sumpah atau persaksian. Menurut Malikiyah,

Syafiiyah dan Hanabilah, li’a@n merupakan sumpah dengan menggunakan

lafaz{ shaha@dah.Sedangkan Hanafiyah mengkategorikan li’a@n sebagai sebuah persaksian yang dikuatkan dengan sumpah.

Adapun dasar hukum li’a@n adalah ayat 6-9 surah al-Nu@r yang

sekaligus menjelaskan sebab terjadinya li’a@n serta tata cara li’a@n. Selain

itu dasar hukum li’a@n adalah beberapa hadis diantaranya hadis yang

menjadi sebab turunnya ayat enam 6-9 surahal-Nu@r :

6 Abdurrh{ama@n al-Jazy@ry@, Al-Fiqh{ ‘Ala@ al-Madha@hib al-Arba’ah Juz 5, (Kairo: Da@r al-H{adis, 2004, 89.


(37)

28

َداَهَش ُعَبْرَأ ْمِِدَحَأ ُةَداَهَشَف ْمُهُسُفْ نَأ َِإ ُءاَدَهُش ْمََُ ْنُكَي َََْو ْمُهَجاَوْزَأ َنوُمْرَ ي َنيِذلاَو

َِلاِب ٍتا

ُ َنِقِداصلا َنِمَل ُنِإ

6

ِْيَََع َِلا َتَْعَل نَأ ُةَسِماَْْاَو َ

ُ َنِبِذاَكْلا َنِم َناَك ْنِإ

7

اَهْ َع ُأَرْدَيَو َ

ُ َنِبِذاَكْلا َنِمَل ُنِإ َِلاِب ٍتاَداَهَش َعَبْرَأ َدَهْشَت ْنَأ َباَذَعْلا

8

اَهْ يَََع َِلا َبَضَغ نَأ َةَسِماَْْاَو َ

صلا َنِم َناَك ْنِإ

ُ َنِقِدا

9

َ

Orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi kecuali diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah bahwa sesungguhnya ia termasuk orang yang berkata benar (6). Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya jika ia termasuk orang yang berdusta (7). Dan seorang isteri akan terhindar dari hukuman apabila ia bersumpah empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk orang yang berdusta (8). Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (isteri) jika dia (suami) termasuk orang yang berkata

benar (9).7

Berkaitan dengan hadis yang menjadi sebab turunnya ayat di atas, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah hadis yang berawal dari kisah sahabat ‘Uwaymy@r

al-‘Ajla@ny dan sebagian pula menyatakan turunya ayat adalah hadis yang

menceritakan sahabat Hila@l Bin Umayah. Adapun menurut jumhu@r

al-‘ulama@’ sebab turunnya ayat adalah hadis yang berkaitan dengan sahabat

Hila@l Bin Umayah sebagai berikut:8

ٍسابَع ِنْبا ِنَع ، ُةَمِرْكِع اََ ثدَح ، ٍماَشِ ْنَع ٍيِدَع َِِأ ُنْبا اََ ثدَح ، ٍراشَب ُنْب ُدمَُُ اََ ثدَح

،

َأ اَمُهْ َع َُلا َيِضَر

ِنْب ِكيِرَشِب مَسو يَع ها ىَص ِِِ لا َدِْع َُتَأَرْما َفَذَق َةيَمُأ َنْب َلَاِ ن

مَسو يَع ها ىَص ِِ لا َلاَقَ ف َءاَمْحَس

ُةَِ يَ بْلا

ىَأَر اَذِإ ِها َلوُسَر اَي َلاَقَ ف َكِرْهَظ ِِ ٌدَح ْوَأ

ًاُجَر ِِتَأَرْما ىَََع اَنُدَحَأ

َةَِ يَ بْلا ُسِمَتََْ ي ُقََِطَْ ي

َف َج

َع َل

لا

ِِ

َ ي َمََسَو ِْيَََع َُلا ىََص

ُق ْو

ُل

ُ :

ُةَِ يَ بْلا

َكِرْهَظ ِِ ٌدَح ْوَأ

َ ف َ

ًق

َلا

ِ

َا

ٌل

َو :

لا ِذ

ْي

َ ب َع َث

َك

ِب

َْلا

ِق

ِإ

ِّ

َل

َص

ِدا

ٌق

َو ،

َل ُ ي ْ

ِز َل

ن

ُها

ِِ

َأ

ْم ِر

ْى

َم

ُ ي ا

ِْب

ُئ

7

Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2004), 350.

8 Muhammad Bin Abi al-‘Abbas al-Syafi’i, Niha@yah al-Muh{ta@j ila Sharh{ al-Minha@j Juz 7, 103.


(38)

29

َظ

ْه ِر

ْي

ِم

َن

َْلا

ِد

َ ف ،

َ َز َل

ْت

َ ف "ْمُهُسُفْ نَأ َِإ ُءادَهُش ْمََُ ْنُكَي َََْو ْمُهَجاوْزَأ َنوُمْرَ ي َنيِذلاَو "

َق َر َأ

َح

ّ

َ ب ََ َغ

َنِقِداصلا َنِم "

.

9

Muhammad Bin Basha@r telah menceritakan kepada kami, Ibnu

Aby@ ‘Ady@ telah menceritakan kepada kami dari Hisha@@m,

‘Ikrimah telah menceritakan kepada kami dari Ibnu ‘Abba@s bahwa di hadapan Rasulalla@h, Hila@l Bin Umayyah telah menuduh

isterinya (bezina) dengan Shary@k Bin Sah{ma@’, kemudian Nabi

bersabda “bukti, atau hukuman h{ad di atas punggungmu”. Hila@l menjawab “wahai Rasulalla@h, apabila salah seorang dari kita melihat seorang laki-laki berada di atas isterinya (berzina) maka dia (harus) pergi dan mencari bukti”, kemudian Nabi bersabda “bukti,

atau hukuman h{addi atas punggungmu”, Hila@l pun berkata “ demi

Dha@t yang telah mengutusmu dengna kebenaran sesungguhnya aku adalah orang yang berkata benar dan sungguh Allah akan menurunkan ayat tentang masalahku yang dapat membebaskan punggungku dari hukuman h{ad”. Kemudian turunlah ayat

ْنُكَي َََْو ْمُهَجاوْزَأ َنوُمْرَ ي َنيِذلاَو

ْمُهُسُفْ نَأ َِإ ُءادَهُش ْمََُ

dan Nabi membacanya sampai ayat

َنِقِداصلا َنِم

. B. Sebab Terjadinya Li’a@n

Berbeda halnya dengan pendapat ulama empat Mazhab yang hampir

seragam dalam mendefinisikan li’a@n, terdapat beberapa perbedaan yang

bersifat mendasar dalam penjelasan mereka terkait sebab terjadinya li’a@n:

1. Hanafiyah

Menurut Hanafiyah sebab terjadinya li’a@n ada empat. Pertama,

sebagaimana yang disampaikan oleh Fakhruddi@n ‘Uthma@n Bin

‘Aly@, seorang suami yang menuduh isterinya berzina dengan tuduhan

yang mewajibkannya untuk di h{ad seandainya yang ia tuduh adalah orang

lain, yakni suami isteri harus muslim, merdeka, berakal serta ba@ligh.

Disamping itu tidak ada empat orang saksi sebagai bukti kebenaran dari

9

Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim al-Bukhari, S{ah{ih{ Bukha@@ri Juz 5, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000),178.


(39)

30

tuduhan suami.10 Atau menurut ulama Hanafiyah yanglain yakni Abu

al-H{asan ‘Aly@ Bin Aby@ Bakar,kedua suami isteri termasuk min ahli

al-shaha@dah (orang yang dianggap cakap dalam persaksian) dan isterinya termasuk dari seseorang yang apabila ia dituduh berzina maka orang yang

menuduhnya wajib dih{ad (dalam arti isteri harus beragama Islam,

merdeka, mukallaf yakni bukan anak kecil atau orang gila, dan isteri

termasuk perempuan yang menjaga diri (tidak pernah berbuat zina).11

Kedua, li’a@n terjadi karena seorang suami menafikan atau

mengingkari nasab anak dari isterinya. Ketiga, li’a@n hanya bisa terjadi

jika ada tuntutan dari isteri yakni seorang isteri yang mengajukan tuntutan

kepada q{a@di@ untuk ditegakkan h{ad qadhaf atas suaminya (karena

tuduhan zina yang dituduhkan suami kepadanya).12

Keempat, tuduhan suami kepada isterinya harus dilakukan di depan q{a@di@. Apabila tuduhan suami tidak dilakukan di depan q{a@di@ maka bagi isteri lebih baik untuk tidak mengajukan tuntutan atas suaminya

kepada q{a@di@, karena hal tersebut sama halnya dengan membuka aib

rumah tangganya.13

Meskipun terjadinya li’a@n harus berdasarkan adanya tuntutan dari

isteri, namun jika sebab terjadinya li’a@n berkaitan dengan pengingkaran

terhadap nasab anak dari isteri maka suami dalam hal ini wajib

10 Fakhruddi@n ‘Uthma@n Bin ‘Ali al-Hanafi, Tabyi@n al-Haqa@iq

Syarh{ Kanzu al-Daqa@iq Juz 3, 223.

11

Abu al-Hasan Ali Bin Abi Bakar, al-Hida@@yah Syarh{ Bida@yah al-Mubtadi Juz 3, (Karachi: Ida@rah al-Qura@n wa al-‘Ulu@m al-Islamiyah, 1417), 312.

12

Abu al-Hasan Ali Bin Abi Bakar, al-Hida@yah Syarh Bida@yah al-Mubtadi Juz 3, 312. 13 Abu bakar Bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada@i’ al-S{ana@’i Juz 3, (Beirut: Da@r al-Fikr,


(40)

31

mengajukan permohonan untuk melakukan li’a@n kepada q{a@di@ baik

dengan ada atau tanpa adanya tuntutan dari isteri, karena suami berhak dan

butuh untuk menafikan nasab seorang anak yang bukan darinya.14

Dari penjelasan sebab terjadinya li’a@n menurut Hanafiyah di atas,

dapat dipahami bahwa li’a@n hanya bisa terjadi karena adanya tuntutan

yang diajukan oleh isteri kepada q{a@di@ agar ditegakkan h{ad qadhaf

atas suaminya (sebab tuduhan zina yang telah dituduhkan suami kepadanya), kecuali jika dalam hal pengingkaran suami terhadap nasab anak dari isteri, maka tanpa menunggu adanya tuntutan dari isteri, suami

harus mengajukan permohonan li’a@n kepada q{a@di@.

Adapun contoh ucapan suami yang merupakan tuduhan bezina tanpa adanya pengingkaran terhadap nasab anak adalah dengan memanggil isterinya wahai perempuan yang berzina, atau dengan mengatakan kepada isterinya “kau telah berzina” atau “aku melihatmu telah berzina”. Sedangkan contoh ucapan yang merupakan tuduhan berzina disertai dengan pengingkaran terhadap anak dari isteri adalah ucapan “anak ini adalah anak zina” atau “anak ini bukan anak-ku”.

Contoh ucapan kedua juga dianggap sebagai tuduhan berzina

meskipun kata-kata “zina” tidak disebutkan secara jelas karena seseorang

yang menafikan nasab seorang anak dari seseorang yang sudah masyhur

14 Fakhruddi@n ‘Uthma@n Bin ‘Ali al-Hanafi, Tabyi@n al-Haqa@iq

Syarh{ Kanzu al-Daqa@iq Juz 3, 226.


(41)

32

diketahui sebagai ayahnya, maka orang tersebut sama halnya telah

melakukan tuduhan berzina.15

Lebih lanjut dijelaskan bahwa perkataan suami kepada isterinya “anak

ini bukan anak-ku” adalah termasuk tuduhan berzina meskipun kata-kata

“zina” tidak disebutkan secara langsung dan meskipun dari ucapan tersebut dimungkinkan bahwa yang dimaksud adalah anak isteri dari

suami yang lain/ suami sebelumnya, atau anak yang lahir dari wat{y

shubhat bukan zina. Karena mengingkari atau menafikan nasab anak dari seseorang yang sudah dikenal oleh masyarakat umum sebagai ayahnya

adalah termasuk q{adhaf (tuduhan berzina).16

2. Malikiyah

Untuk sebab terjadinya li’a@n Malikiyah memperjelas dengan

ketentuan li’a@n terjadi karena pertama, seorang suami bahkan mantan

suami yang muslim dan mukallaf menuduh isteri atau mantan isterinya

telah melakukan zina sewaktu berstatus sebagai isterinya. Tuduhan zina tersebut harus berdasarkan pengakuan suami bahwa ia telah melihat isterinya berzina secara langsung. Dengan demikian suami tidak

diperkenankan oleh hakim untuk melakukan li’a@n kecuali ia telah

mengaku melihat isterinya berzina. Kedua, seorang suami mengingkari

nasab anak dari isterinya. Ketiga, li’a@n terjadi karena isteri mendustakan

tuduhan suami dengan sumpahnya (isteri) sebanyak empat kali

menggunakan lafaz{ ashhadu bill@ahi. Keempat,li’a@n yang dilakukan

15 Abu bakar Bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada@i’ al-S{ana@’i Juz 3, 349-350. 16 Fakhruddi@n ‘Uthma@n Bin ‘Ali al-Hanafi, Tabyi@n al-Haqa@iq

Syarh{ Kanzu al-Daqa@iq Juz 3, 226.


(42)

33

serta semua akibat hukum yang ditimbulkan harus berdasarkan perintah

ataupun keputusan hakim.17

Kelima, Muhammad Bin Ahmad al-Dasuqi al-Maliky seorang ulama Malikiyah yang lain menambahkan jika berkaitan dengan tuduhan berzina,

maka li’a@n hanya bisa dilakukan jika ada tuntutan dari isteri, karena

dalam hal ini li’a@n merupakan hak isteri sebagai cara untuk

membersihkan namanya dari perbuatan zina yan dituduhkan suami.18

3. Syafi’iyah

Sebab terjadinya li’a@nmenurut Syafi’iyah ada tiga. Pertama, suami

menuduh isterinya berzina sedangkan ia tidak bisa mendatangkan empat

orang saksi. Dan isteri tersebut adalah wanita muh{s{an, yakni muslim,

mukallaf, merdeka serta menjaga diri (tidak pernah melakukan zina

sekalipun). Terkait sebab terjadinya li’a@n yang pertama, dalam hal ini

suami lebih baik untuk mentalak isterinya secara baik-baik dan menutupi aib isterinya dengan tidak mejatuhkan tuduhan berzina sehingga tidak

perlu terjadi li’a@n.

Kedua, adanya tuntutan atau penolakan dari isteri atas tuduhan suaminya. Untuk sebab kedua ini ulama Syafi’iyah memang tidak secara langsung menegaskan syarat adanya tuntutan ataupun penolakan dari isteri, namun dari penjelasan yang dikemukakan oleh Syafi’iyah bahwa li’a@n bisa gugur sebab isteri yang bersangkutan telah memaafkan

suaminya, maka dapat dipahami bahwa sebab terjadinya li’a@n (untuk

17

Ah{mad al-S{a@wy al-Maliki, Bulghah al-Sa@lik liaqrabi al-Masa@lik Juz 2, 429-430. 18 Muhammad Bin Ahmad Dasuqi Maliki, H{ashiyah Dasuqi@ Juz 2, (Beirut: Da@r


(43)

34

tuduhan berzina) harus berdasarkan adanya penolakan dari isteri baik

dengan cara ia mengajukan tuntutan kepada hakim untuk ditegakkan h{ad

qadhaf atas suaminya atau dengan pengingkarannya atas tuduhan suami. Karena itu menurut Syafi’iyah h{ad qadhaf bisa gugur sebab isteri telah memberikan maaf kepada suaminya dengan tidak mengajukan tuntutan kepada hakim, atau telah mengakui kebenaran dari tuduhan suaminya.

Dengan demikian li’a@n sudah tidak lagi diperlukan.19

Ketiga, suami mengingkari atau ingin menghapus nasab anak yang dikandung atau dilahirkan oleh isterinya, sebab ia punya persangkaan yang kuat bahwa anak tersebut bukanlah anaknya. Untuk sebab terjadinya li’a@n yang ketiga, suami wajib melakukan li’a@n meskipun tanpa

adanya tuntutan dari isteri. Jika suami tidak melakukan li’a@n maka anak

yang ia ingkari akan tetap dinasabkan kepadanya.20

4. Hanabilah

Hanabilah menyatakan sebab terjadinya li’a@n adalah pertama,

seorang suami menuduh isterinnya telah berzina sedangkan suami tidak dapat mendatangkan empat orang saksi. Isteri yang dituduh harus

beragama Islam, ba@ligh dan merdeka meskipun suaminya non muslim

atau bahkan budak,21 asalkan keduanya sama-sama mukallaf.22 Menurut

Hanabilah pengingkaran terhadap nasab seorang anak masuk pada sebab

19 Muhammad Bin Abi al-‘Abbas al-Syafi’i, Niha@yah al-Muh{ta@j ila Sharh{ al-Minha@j Juz 7, 110.

20

Ibid., 112. 21

Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Qudamah al-Hambali, Al-Mughni@ Li Ibni Quda@mah Juz 10, (Kairo: Da@r al-H{adis, 1968), 505.

22

Ibrahim Bin Muhammad Bin Salim Hanbali, Man@ar Saby@l Juz 2, (Beirut: Da@r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), 186.


(44)

35

terjadinya li’a@n yang pertama, yakni tuduhan berzina. Sebab jika

seorang suami mengingkari nasab anak dari isterinya itu berarti ia menuduh isterinya telah berbuat zina, namun dalam hal ini tuduhan berzina harus tetap dinyatakan secara jelas dan tegas bersama dengan

pernyataan pengingkaran nasab.23

Kedua, harus ada tuntutan dari isteri, oleh sebab itu h{adqadhaf tidak perlu ditegakkan kepada suami, begitu juga suami tidak dituntut untuk

melakukan li’a@n sampai adanya tuntutan dari isteri yang bersangkutan,

karena tuntutan untuk ditegakkan h{ad qadhaf (kepada suami) dan

dilaksanakannya li’a@n adalah merupakan hak isteri maka keduanya tidak

bisa ditegakkan tanpa ada tuntutan dari isteri.24

Ulama Hanabilah yang lain menyatakan bahwa sebab kedua adalah adanya pengingkaran atau penolakan dari isteri atas tuduhan suami. Dan

pengingkaran atau penolakan tersebut tetap ada sampai selesainya li’a@n

yang dilakukan isteri tersebut. Sebab li’a@n yang dilakukan isteri adalah

sebagai bentuk penolakan dari isteri. Oleh karena itu apabila isteri telah membenarkan tuduhan suami atau ia telah memaafkan suaminya dengan tidak mengajukan tuntutan kepada hakim, atau bersikap diam tidak

membenarkan juga tidak mengingkari tuduhan suami maka li’a@n tidak

bisa dilakukan dan anak yang diingkari tetap dinasabkan kepada suami.25

23

Ibid., 187. 24

Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Qudamah al-Hanbali, Al-Mughni@ Li Ibni Quda@mah Juz 10, 523.

25


(45)

36

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sebab terjadinya

li’a@n menurut ulama empat mazhab adalah seorang suami menuduh

isterinya berzina dan atau mengingkari sahnya anak dari isterinya. Namun terdapat perbedaan pendapat terkait ketentuan subjek hukum yang dapat melakukan dan terkait syarat adanya tuntutan dari isteri.

Hanafiyah dan Syafi’iyah mengharuskan suami isteri beragama Islam,

merdeka dan mukallaf ditambah isteri termasuk wanita yang menjaga diri

dalam arti tidak pernah melakukan zina sekalipun. Sedangkan Malikiyah

hanya menyebutkan syarat muslim dan mukallaf tanpa mencantumkan syarat

merdeka dan ‘afy@fah (menjaga diri dari perbuatan zina). Berbeda dari tiga

mazhab sebelumnya yang menyertakan ketentuan bagi suami isteri yang

hendak melakukan sumpah li’a@n, fokus pembahasan dari ulama Hanabilah

hanya terbatas pada isteri. Yakni isteri harus beragama Islam, ba@ligh dan

merdeka meskipun suaminya non muslim atau bahkan budak asalkan

keduanya sama-sama mukallaf.

Selanjutnya dalam hal li’a@n terjadi karena tuduhan berzina,

Hanafiyah Malikiyah dan Hanabilah mengharuskan adanya penolakan atau

tuntutan dari isteri kepada hakim. Namun jika sebab terjadinya li’a@n adalah

pengingkaran terhadap keabsahan nasab anak dari isteri maka tidak perlu adanya penolakan atau tuntutan dari isteri. Akan tetapi tidak demikian halnya menurut Hanabilah, sebab Hanabilah tetap mensyaratkan adanya penolakan dari isteri baik atas tuduhan zina ataupun pengingkaran nasab.


(46)

37

C. Hukum Melakukan Li’a@n

Setelah memperhatikan sebab-sebab terjadinya li’a@n yang

dijelaskan oleh ulama empat mazhab pada pembahasan sebelumnya, dapat

diketahui bahwa hukum melakukan li’a@n ada dua berdasarkan sebab

terjadinya li’a@n itu sendiri. Berikut penjelasan dari masing-masing ulama

empat mazhab : 1. Hanafiyah

Li’a@n wajib dilakukan oleh suami jika sebabnya adalah untuk menghapus nasab anak isteri dari suami yang mengingkarinya baik dengan ada atau tidak adanya tuntutan dari isteri, meskipun suami mampu mendatangkan empat orang saksi, karena suami berhak dan butuh untuk

menafikan nasab seorang anak yang bukan darinya.26 Selain itu

menghapus nasab seorang anak yang sebelumnya telah ditetapkan berdasarkan pernikahan yang sah tidak bisa dilakukan kecuali dengan li’a@n.27

Berbeda halnya dengan li’a@n sebab suami menuduh isterinya

berzina, dalam hal ini li’a@n hanya bisa dilakukan jika ada tuntutan dari

isteri, dan apabila suami mampu mendatangkan empat orang saksi atau

isterinya membenarkan tuduhan suami maka secara otomatis h{ad qadhaf

26 Fakhruddi@n ‘Uthma@n Bin ‘Ali al-Hanafi, Tabyi@n al-Haqa@iq

Syarh{ Kanzu al-Daqa@iq Juz 3, 226.


(47)

38

akan gugur dari suami, dan dengan begitu ia tidak perlu lagi melakukan li’a@n.28

2. Malikiyah

Muhammad Bin Ahmad al-Dasuqi al-Maliki menjelaskan apabila

sebab terjadinya li’a@n adalah penghapusan atau pengingkaran nasab

anak dari isteri maka hukum melakukan li’a@n adalah wajib tanpa

menunggu adanya tuntutan dari isteri. Namun jika alasan terjadinya li’a@n adalah seorang suami yang melihat isterinya berzina sedangkan ia

tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka li’a@n hanya bisa

dilakukan jika ada tuntutan dari isteri, akan tetapi li’a@n lebih baik untuk

ditinggalkan.29

Mengingat pentingnya masalah nasab serta beberapa akibat hukum yang ditimbulkan berkaitan dengan nasab, ulama Malikiyah mempertegas

hukum li’a@n sebab penghapusan nasab. Karenanya li’a@n secara mutlak

wajib dilakukan oleh suami untuk dapat menghapus nasab anak isteri dari suami meskipun isteri sudah mengakui dan membenarkan pengingkaran/ penghapusan nasab tersebut (dan dengan begitu isteri wajib dikenakan h{ad zina@).30

28

Abu al-Hasan Ali Bin Abi Bakar, al-Hida@yah Sharh{ Bida@yah al-Mubtadi Juz 3, 316. 29

Dengan cara suami menahan diri untuk tidak menjatuhkan tuduhan kepada isterinya yang bisa berakibat pada tuntutan isteri kepada Qadi. Lebih baik suami menceraikannya dengan baik-baik tanpa menuduhnya berzina.

30


(48)

39

Lebih lanjut menurut Malikiyah, li’a@n wajib dilakukan bahkan dari

mantan isteri, atau seandainya isteri yang bersangkutan telah meninggal, baik di saat anaknya masih dalam kandungan, atau sudah dilahirkan, masih

hidup atau sudah meninggal.31 Jika suami tidak melakukan li’a@n maka

nasab anak yang ia ingkari akan tetap dinasabkan kepadanya (meskipun sudah ada pengakuan dari isteri bahwa anak tersebut memang bukan anak

suami).32

3. Syafi’iyah

Berkaitan dengan hukum wajibnya melakukan li’a@n sebab

penghapusan nasab, Syafi’iyah juga mempunyai pendapat yang sama dengan ulama Hanafiyah dan Malikiyah sebelumnya. Oleh karena itu Syafi’iyah juga mewajibkan li’a@n jika berkaitan dengan penghapusan nasab seorang anak meskipun tidak ada tuntutan dari isteri atau isteri telah membenarkan pengingkaran suami, karena menghapus nasab yang ba@t{il adalah hak suami karenanya tidak bisa gugur sebab rid{o@ isteri. Li’a@n untuk menghapus nasab seorang anak juga harus dilakukan meskipun status hubungan perkawinan keduanya telah putus atau meskipun suami mampu mendatangkan empat orang saksi atas perbuatan zina isterinya, karena empat orang saksi hanya dapat membuktikan perbuatan zina yang dilakukan oleh isteri namun tidak bisa menghapus

31 Muhammad Bin Ahmad al-Dasuqi al-Maliki, H{ashiyah al-Dasuqi@ Juz 2, 465. 32


(1)

96

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ketentuan tentang li’a@n sebagai peneguhan atas pengingkaran sahnya anak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang termuat dalam Pasal 101 KHI menyebutkan “seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’a@n”.

2. Ketentuan li’a@n sebagai peneguhan atas pengingkaran sahnya anak dalam Pasal 101 KHI tidak sesuai dengan pendapat ulama empat mazhab yang terdapat dalam kitab-kitab fikih referensi KHI. Karena Pasal 101 KHI tidak secara tegas mewajibkan li’a@n dalam hal pengingkaran terhadap nasab seorang anak, akan tetapi hanya menggunakan kata“dapat meneguhkan”. Sedangkan dalam kitab-kitab fikih empat mazhab referensi KHI, ulama mazhab kecuali Hanabilah sepakat menyatakan jika sebab terjadinya li’a@n adalah pengingkaran terhadap nasab anak maka dalam hal ini suami wajib melakukan li’a@n baik dengan ada atau tidak adanya tuntutan dari isteri. Meskipun isteri telah memaafkan atau bahkan telah membenarkan pengingkaran suami. Karena menghapus nasab yang ba@t{il adalah hak suami karenanya tidak bisa gugur sebab rid{o@ isteri. Ketentuan li’a@n dalam Pasal 101 KHI tersebut juga tidak sesuai dengan


(2)

97

pendapat ulama Hanabilah yang tetap mensyaratkan adanya tuntutan dari isteri baik dalam hal li’a@n sebab tuduhan berzina ataupun pengingkaran atas keabsahan nasab seorang anak.

B. Saran

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, dapatlah kiranya penulis memberikan saran:

1. Bagi mahasiswa dan kalangan akademisi pada umumnya serta sarjan hukum, pakar hukum dan praktisi hukum pada hususnya hendaknya melakukan pengkajian dengan lebih mendalam terhadap ketentuan li’a@n yang diatur dalam beberapa pasal KHI, tidak terkecuali pasal 101 KHI. Sebab dengan begitu akan bangkit kesadaran bahwa KHI belumlah final dan butuh disempurnakan baik terkait legal formil maupun substansi materilnya. Dan KHI bukanlah sebuah karya yang harus disakralkan dan haram untuk dikoreksi atau dianalisa kembali.

2. Bagi para pembaca dan bagi penulis secara pribadi, apabila memungkinkan untuk mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi maka dalam hal ini penulis menyarankan:

a. Penambahan pasal baru yang mengatur lebih lanjut tentang tata cara atau praktik pelaksanaan li’a@n dalam Pasal 101 KHI.

Yakni pasal baru yang mengatur tata cara li’a@n tanpa adanya penolakan atau penyangkalan dari isteri. Sebab tata cara pelaksanaan


(3)

98

li’a@n yang dilakukan tanpa adanya penolakan dari isteri tidak termuat dalam Pasal 127 KHI.

b. Adanya perubahan sekaligus penyempurnaan redaksi dan substansi materi beberapa pasal KHI yang mengatur tentang li’a@n.

Hal ini dikarenakan dalam membuat sebuah peraturan disamping mempertimbangkan keadilan serta kemaslahatan, haruslah pula mengandung sebuah kepastian hukum. Dan haruslah pula disesuaikan dengan pedoman mayoritas umat Islam agar tidak terjadi kebingungan ketika berhadapan dengan peraturan yang tidak sesuai dengan apa yang masyarakat anut dan yakini. Dalam hal ini sudah diketahui bersama bahwa mayoritas umat Islam Indonesia menganut mazhab syafi’i.

Diantara pasal yang butuh dirubah substansi materinya adalah Pasal 101 KHI dengan lebih mempertegas hukum wajibnya melakukan li’a@n bagi suami yang mengingkari sahnya anak. Kemudian Pasal 126 KHI dengan menambahkan keterangan bahwa li’a@n yang terjadi sebab suami mengingkari keabsahan anak dari isterinya tidak mengharuskan adanya penolakan dari isteri. Dan yang terahir adalah Pasal 127 KHI, disamping mengatur tata cara li’a@n yang mengharuskan adanya penolakan dari isteri (sebab suami menuduh isterinya berzina), juga harus menjelaskan tata cara li’a@n tanpa adanya penolakan dari isteri (sebab suami mengingkari keabsahan anak dari isterinya).


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo. 1992. Afdol. Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan Permasalahan

Implementasi Hukum Kewarisan Islam. Surabaya: Airlangga University Press. 2003.

Anshary (al), Abu Yahya Zakariya. Fath{ al-Waha@b. Juz 2. Singapura: Sulaiman Mar’iy. t.t.

Bahri, Syamsul. Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta: Teras. 2008.

Bakar, Abu al-Hasan Ali Bin Abi. al-Hida@@yah Syarh{ Bida@yah al-Mubtadi. Juz 3. Karachi: Ida@rah al-Qura@n wa al-‘Ulu@m al-Islamiyah. 1417.

Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Logos Wacana ilmu. 1999.

______________. Model Penelitian Kompilasi Hukum Islam, dalam http://www.fshuinsgd.ac.id, diakses pada tanggal 18 November 2014. Bukhari (al), Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim. S{ah{ih{ Bukha@@ri. Juz 5.

Beirut: Dar al-Fikr. 2000.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve. 2006.

Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Penerbit Diponegoro, 2004), 350.

Ghaza@ly@ (al), Muhammad Bin Muhammad. Wajy@z Fi Fiqh{ Madhhab al-Imam al-Syafi’i. Beirut: Da@r al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2004.

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.

H{anafi (al), Abu bakar Bin Mas’ud al-Kasani al- Bada@i’ al-S{ana@’i. Juz 3. Beirut: Da@r al-Fikr. 1996.

_________, Fakhruddi@n ‘Uthma@n Bin ‘Ali. Tabyi@n al-Haqa@iq Syarh{ Kanzu al-Daqa@iq. Juz 3. Beirut: Da@r al-Kutub al-‘Ilmiah. 2010. _________, Muhammad Bin Abdul Wa@h{id. Fath{ al-Qady@r .Juz 4. Beirut:


(5)

H{anbali (al), Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Qudamah. Al-Mughni@ Li Ibni Quda@mah. Juz 10. Kairo: Da@r al-H{adis. 1968.

_________, Ibrahim Bin Muhammad Bin Salim. Man@ar al-Saby@l. Juz 2. Beirut: Da@r al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2003.

Harahap, Yahya. Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2001.

_____________. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika. 2001.

_____________. Mempositifkan Abstrasi Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana ilmu. 1999.

Jazy@ry@ (al), Abdurrh{ama@n. Al-Fiqh{ ‘Ala@ al-Madha@hib al-Arba’ah. Juz 5. Kairo: Da@r al-H{adis. 2004.

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara. 2000.

Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2004), 350.

Maliki (al), Muhammad Bin Ahmad al-Dasuqi. H{ashiyah al-Dasuqi@. Juz 2. Beirut: Da@r al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1999.

_________, Muhammad Bin Muhammad Bin Abdur Rahman. Mawa@hib al-Jali@l. Juz 5. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub. 2003.

_________, Ah{mad al-S{a@wy al- Bulghah. Sa@lik liaqrabi al-Masa@lik. Juz 2. Beirut: Da@r al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1995.

Mas’ud, Ibnu & Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i. Buku 2. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2007.

Masruhan. Metodologi Penelitian Hukum. Surabaya: Hilal Pustaka. 2013.

ND, Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.

Nuruddin, Amiur & Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974 sampai KHI. Jakarta: Prenada Media. 2004.


(6)

Qurthuby (al), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari. Al-Jami’ li Ah{ka@m al-Qura@n. Juz 12. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th. Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1999.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1997.

Sharbini (al), Muhammad Bin Muhammad al-Khati@b. Mughny al-Muh{ta@j. Juz 5. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Iimiyah. 1994.

Shat{iri (al), Muhammad bin Ahmad. Sharh{ al-Yaqu@t al-Nafi@s. Beirut: Dar al-Minhaj. 2007.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1994.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 2007.

Sumitro, Warkum. Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing. 2005.

________________. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial Politik Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing. 2005.

Syafi’i (al), Muhammad Bin Abi al-‘Abba@s. Niha@yah al-Muh{ta@j ila Syarh{ al-Minha@j. Juz 7. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah. 2003.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1470.

Tim Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV. Nuansa Aulia. 2012.

Usman, Suparman. Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2001. Zahrah, Muhammad Abu. Al-Ahwal al-Syakhsiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.

1957.

Zuhaili (al), Wahbah. Al-Fiqh al-Isla@m wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.