Aplikasi Kaidah Fikih Idza Daqa Al-Amr Ittasa Dalam Sumber Hukum Matenal Keluarga ISlam Indonesia

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Hikmiyyah NIM: 1111043200020

K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

JAKARTA 1437 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Hikmiyyah. NIM 1111043200020. APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ

ḎÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL

KELUARGA ISLAM INDONESIA. Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015 M. xvii + 70 halaman.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa esensi dari kaidah fikih “ قاض اذإ عستا رمأا” adalah menghilangkan kesulitan pada diri mukallaf ketika dalam keadaan masyaqqah (kesempitan hukum). KHI sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Indonesia yang murni berasal dari hukum Islam telah mengaplikasikan konsep kaidah fikih ini dalam pasal-pasalnya. Pasal-pasal tersebut pada hakikatnya menghendaki kemaslahatan umat Muslim Indonesia.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan teknik analisis data kualitatif. Pendekatan yang digunakan pendekatan yuridis hukum Islam. Penelitian ini bersifat deskriptif analistis. Sumber data yang digunakan adalah sumber bahan primer, sekunder dan tersier dengan menggunakan metode pengumpulan data penelitian kepustakaan.

Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI. Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA


(6)

vi

Pujian yang setinggi-tingginya dan rasa syukur yang tidak terhitung penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang menjadi tempat mengadu suka cita dan keluh-kesah bagi setiap hamba-hamba-Nya yang tunduk kepada-Nya. Tiada balasan lain yang dapat penulis berikan kehadirat Allah SWT selain rasa syukur tiada henti, yang telah memberikan kesempatan dan membuka jalan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan seluruh umat Muslim di dunia, Nabi Muhammad SAW, pembawa berita kebenaran agama Islam dan penyebar rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta. Bagaimanapun penulis merasa berat untuk menyelesaikan skrispsi ini, hal tersebut tentu tidak setara dengan pengorbanan Beliau dalam menyebarkan agama Islam dan kesabaran Beliau dalam menghadapi musuh-musuh yang selalu memandang dengan sebelah mata dan rasa benci.

Selama dalam penulisan skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si beserta Ibu Hj. Siti Hanna, Lc, M.Ag selaku Ketua dan Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA selaku dosen pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis selama masa perkuliahan.

6. Seluruh staf dan civitas akademika Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan administrasi dengan baik.

7. Seluruh staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah melayani dan memberikan fasilitas dengan baik.

8. Kedua orang tua yang sangat penulis sayangi dan hormati, Buya H. Mochammad Kamil Muslich dan Umik Hj. Siti Maidah Nafi‟, terimakasih atas dukungan moriil, materil, kesabaran, perhatian, keikhlasan dan doa-doa kalian yang tidak pernah putus untuk adinda. Tiada hal yang lebih berarti di kehidupan adinda selain kebahagiaan kalian. Semoga Allah SWT


(8)

viii

9. Adik-adik tercinta, Maziyah Kamil dan Muhammad Faruq Kamil yang telah memberikan dukungan semangat sekaligus menjadi motivator agar penulis bisa menjadi contoh yang baik bagi mereka.

10. Seluruh anggota keluarga yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terimakasih karena selalu berdoa untuk kebaikan penulis.

11. Al-Syaikh al-Mukarram, Prof. Dr. H. Ali Mustofa Yaqub, MA beserta Ibu Nyai Hj. Ulfah Uswatun Hasanah sebagai orang tua kedua penulis di Darus Sunnah. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan umur panjang dan menjaga kesehatan mereka agar penulis dapat menimba ilmu lebih banyak lagi dari mereka.

12. Seluruh dosen Darus Sunnah International Insitute of Hadith Sciences, terutama Ust. Dr. H. Sofin Sugito, Lc, MA yang telah memberikan judul bagi skripsi ini, serta Ust. Andi Rahman, Lc, MA yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini terlebih dahulu daripada tugas akhir Darus Sunnah.

13. Teman-teman terdekatku “The Four Success Women”, Lia Herawati, Ratu Solihat dan Titi Nur Indah Sari. Terimakasih atas kasih sayang, kepedulian, semangat dan segalanya yang telah mereka berikan kepada penulis di masa-masa persahabatan yang telah lalu. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah berakhir meskipun terpaut jarak dan waktu di antara kita.

14. Teman-teman seperjuangan di kelas PH 2011 yang telah banyak membagi ilmu dan pengalaman selama masa perkuliahan.

15. Sahabat-sahabat AL-AQSHA dan teman-teman seperjuangan di Darus Sunnah International Insitute of Hadith Sciences yang telah memberikan dukungan semangat dan motivasi yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(9)

ix

berupa kritik atau saran yang bersifat membangun dalam menyempurnakan skripsi ini. Penulis juga mohon maaf apabila skripsi ini penuh dengan kekurangan dan jauh dari kata sempurna karena kemampuan yang dimilki oleh penulis sangatlah terbatas.

Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT membalas segala bantuan yang telah mereka berikan dengan balasan yang lebih dan berlipat ganda. Sesungguhnya kebenaran datang dari Allah SWT dan kesalahan datang dari penulis pribadi. Wa Allâh Ta’âlâ A‘lam fî Kull Ḫâl.


(10)

x

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Kajian (Review) Terdahulu ... 9

E. Metodologi Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN TENTANG KAIDAH FIKIH “عستا رمأا قاض اذإ” A. Pengertian Kaidah Fikih Secara Umum ... 16

B. Definisi Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ” ... 16

C. Penjelasan Ulama tentang Kaidah “عستا رمأا قاض اذإ” ... 18

D. Sebab-Sebab yang Memperbolehkan Penggunaan Kaidah “عستا رمأا قاض اذإ” ... 19

E. Aplikasi Kaidah “عستا رمأا قاض اذإ” dalam Kehidupan Sehari-Hari ... 25

F. Korelasi antara Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah...29


(11)

xi

A. Definisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam Indonesia ...36

B. Pelembagaan Hukum Islam ke Dalam Hukum Keluarga Indonesia ...37

1. Hukum Islam pada Masa Pra Kemerdekaan ...37

2. Hukum Islam Setelah Masa Kemerdekaan ...41

C. KHI sebagai Sumber Hukum Materiil Keluarga Islam Indonesia ...43

1. Latar Belakang dan Proses Penyusunan KHI ...44

2. Landasan Yuridis dan Kedudukan KHI ...49

3. KHI sebagai Legalformal Fikih Indonesia ...50

BAB IV ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “عستا رمأا قاض اذإ” DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM DI INDONESIA A. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Pernikahan ...53

B. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perwalian ...59

C. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perceraian ...62

D. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Kewarisan dan Wasiat ..64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...66


(12)

(13)

xiii

pedoman transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berdasarkan pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang disusun pada tahun 2012, dengan rincian sebagai berikut:

a. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

b be

t te

ts te dan es

ج j je

ح ḫ ha dengan garis bawah

kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

z zet

س s es

ش sy es dan ye


(14)

xiv

ظ ẕ zet dengan garis bawah

ع „ koma terbalik di atas hadap kanan

gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

k ka

ل l el

m em

n en

w we

ه h ha

ء ‟ apostrop

ي y ye

b. Vokal

Vokal terbagi menjadi dua, yaitu vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Ketentuan alih akasara vokal monoftong adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


(15)

xv Misalnya: ج ر ح = ḫaraj

سا ي ق = qiyâs ب ت ك = kutub

Adapun untuk vokal diftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي َ Ai a dan i

َ Au a dan u

Misalnya: بْي ر = raib ف ْو خ = khauf c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd) dalam Bahasa Arab dilambangakan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ا ى â a dengan topi di atas

ي ى î i dengan topi di atas

و ى û u dengan topi di atas

Misalnya: ا م إا = al-imâm ي ضا قلا = al-qâḏî


(16)

xvi

Kata sandang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf (لا), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau

qamariyyah. Misalnya:

دا تجإا = al-ijtihâd

ة خرلا = al-rukhṣah, bukan ar-rukhṣah

e. Syaddah

Syaddah dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf

yang diberi tanda Syaddah tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda Syaddah terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

ةع شلا = al-syuf‘ah, bukan asy-syuf‘ah f. Ta’ Marbûṯah

Jika Ta’ Marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh sifat atau na‘t (lihat contoh 2), maka huruf Ta’ Marbûṯah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf Ta’ Marbûṯah diikuti kata benda atau ism, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ةعيرش syarî„ah

2 ةيماسإا ةعيرشلا al-syarî„ah al-islâmiyyah 3 بها ملا ةنراقم muqâranat al-madzâhib


(17)

xvii

Walaupun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, transliterasi tetap menggunakan huruf kapital. Penggunaannya pun diseuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan, apabila nama orang didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama orang tersebut. Misalnya: يرا لا = al-Bukhârî, tidak ditulis Al-Bukhârî.

Adapun untuk penulisan nama orang yang berasal dari Nusantara, maka disarankan untuk tidak ditransliterasi meskipun akar katanya berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin Raniri, tidak ditulis Nûr Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (ḫarf) harus ditulis secara terpisah. Misalnya:

Kata Arab Transliterasi

ارو حملا حي ت ةر رضلا al-ḏarûrah tubîḫu al-maḫẕûrât يماسإا دا تقإا al-iqtiṣâd al-islâmî

هق لا لوصأ uṣul al-fiqh

ةحابإا ءايشأا يف لصأا al-aṣl fî al-asyyâ‟ al-ibâḫah ة سرملا ةح ملا al-maṣlaḫah al-mursalah


(18)

1 A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menurunkan syariat Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Konsep hukum seperti inilah yang membedakan hukum Islam dengan konsep hukum lain yang hanya mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat (odening van het

sociale leven). Dalam pandangan hukum di luar Islam, hukum merupakan hasil

proses kehidupan manusia dalam bermasyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang sosiolog Barat, Cicero, ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat, di sana ada hukum). Dalam tata aturan hukum Islam, aturan yang mengatur kehidupan pribadi manusia tidak disebut hukum, melainkan disebut norma, moral, budi pekerti atau asusila.1

Pada dasarnya, hukum Islam hanya melarang perbuatan yang dapat merusak kehidupan manusia, misalnya pembunuhan, perzinaan, pencurian dan lain-lain. Islam adalah agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupan agar tercapai kebahagiaan rohani maupun jasmani. Secara umum, tujuan Allah SWT sebagai syâri‘ dalam menciptakan hukum adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan seluruh manusia di dunia dan di akhirat.

1

Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam


(19)

Hukum Islam merupakan perantara atau sarana untuk penegakan dan metode untuk realisasi Maqâṣid al-Syarî‘ah.2 Apabila kita memahami hukum Islam (syariah) dengan benar, maka kita akan sampai pada tujuan dari syariah tersebut. Dan untuk memahami hukum Islam secara benar, maka kita harus memahami perangkat-perangkat syariah, seperti ilmu fikih, ilmu usul fikih bahkan Qawâ‘id Fiqhiyyah.

Pada masa Dinasti „Abbâsiyyah, istilah-istilah fikih yang menjadi ciri dari kekayaan bahasa fikih banyak bermunculan. Istilah ini diciptakan dengan berbagai bentuk sesuai dengan mazhab orang yang mencetuskannya. Teori-teori fikih pada masa ini berkembang sangat pesat sehingga fikih mampu membahas persoalan-persoalan yang belum terjadi. Pada saat ini pula, banyak Qawâ‘id Fiqhiyyah dan

awâbiṯ(batasan fikih)3 bermunculan.4

Qawâ‘id Fiqhiyyah adalah metodologi pelengkap yang berfungsi untuk

mempermudah dalam pemahaman dan pendalaman hukum Islam. Qawâ‘id

Fiqhiyyah adalah hukum umum (kullî)5 yang mencakup sebagian besar hukum

2 Abd al-„Azîz „Azzâm, Al-Qawâid al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dâr al-Ḫadîts, 2005), h. 25

3 awâbi (طباوض) adalah bentuk jamak dari طباض yang menurut bahasa berarti „batasan‟, sedangkan menurut istilah fikih berarti sesuatu yang merangkum beberapa permasalahan fikih yang hampir serupa dalam satu tema bab fikih dari beberapa bab fikih, misalnya segala sesuatu yang dikeluarkan dari bumi, baik jumlahnya banyak atau sedikit, yang pertumbuhannya dibantu oleh air hujan atau mata air, maka kadar zakatnya adalah 1/10. (Lihat „Azzãm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 28)

4 Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah

, cet. II, (Tangerang Selatan: Adelina Bersaudara, 2008), h. 31

5

Hukum kullî adalah ketentuan yang bersifat garis besar yang berfungsi sebagai metodologi dalam memahami hukum yang lebih rinci.


(20)

khusus (juz’î)6, yang mana dengan mengetahui hukum umum ini, akan diketahui pula hukum-hukum khususnya. Qawâ‘id Fiqhiyyah merupakan generalisasi dari hukum-hukum fikih yang telah dirumuskan sebelumnya dan dirumuskan melalui metode induktif. Oleh karena itu, Qawâ‘id Fiqhiyyah menjadi sangat berfariasi sesuai dengan hukum-hukum fikih yang telah dirumuskan oleh para fuqahâ’.7

Keberadaan fikih, usul fikih dan Qawâ‘id Fiqhiyyah memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya merupakan senjata utama yang harus digunakan untuk memahami syariat Islam agar dapat dijadikan pedoman oleh manusia sebagai pelaku syariah dalam melakukan hubungan dengan Tuhannya sebagai syâri‘ (pembuat hukum), sesama manusia lainnya maupun lingkungan sekitar.8 Dengan batuan Qawâ‘id Fiqhiyyah, semua permasalahan hukum baru yang tumbuh di tengah masyarakat menjadi semakin tampak jelas dapat ditampung oleh syariah Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.9

Pada hakikatnya, Qawâ‘id Fiqhiyyah yang telah dirumuskan oleh para ulama berjumlah sangat banyak sekali dan berbeda-beda tergantung pada mazhab orang yang mencetuskannya. Akan tetapi, ada lima Qawâ‘id Fiqhiyyah atau panca kaidah pokok yang menjadi dasar dari Qawâ‘id Fiqhiyyah yang lain dan telah

6

Hukum juz’î adalah hukum yang bersifat rinci atau khusus dan berdasarkan pada ketentuan hukum kullî.

7

Abudin Nata, Masail Al-Fiqhiyah, cet II, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 38 8

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 4

9

Imam Musbikin, Qawa‘id al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 13


(21)

disepakati oleh para ulama dari berbagai aliran dan mazhab serta, yaitu sebagai berikut:

1 . اه صاقمب رومأا Segala urusan tergantung pada niat

2 . لازي ررضلا Kesulitan harus dihilangkan

3 . ةم حم ةداعلا Adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum

4 . كشلاب لازي ا نيقيلا Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan

5 . ريسيتلا ب جت ةقشملا

Kesulitan menghendaki kemudahan10

Kehidupan masyarakat semakin berkembang dari zaman ke zaman karena dipengaruhi oleh kemajuan peradaban dan teknologi. Keadaan yang dihadapi oleh masyarakat pada masa sekarang ini, sangat berbeda kontras dengan keadaan yang dihadapi oleh masyarakat „Abbâsiyyah, Umayyah, apalagi masa sebelum kedua dinasti ini sampai pada masa Rasulullah SAW. Meskipun Rasulullah SAW telah memerintahkan kita untuk senantiasa berpegang teguh pada dua sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah, bukan berarti permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat langsung dapat ditemukan dan disampaikan secara eksplisit dalam kedua sumber tersebut. Oleh karena itu, agar masyarakat tidak

10

Kelima kaidah pokok tersebut adalah kaidah-kaidah yang dikumpulkan oleh Abû âhir al-Dabbâs, seorang ulama fikih yang hidup pada abad IV H. Lihat Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, h. 14


(22)

salah melangkah dan senantiasa taat pada Allah SWT dan Rasul-Nya, masyarakat dituntut untuk berijtihad menggali hukum untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Apabila ternyata tidak semua masyarakat memiliki kemampuan untuk berijtihad, maka mereka harus berusaha untuk bertanya dan meminta petunjuk pada orang yang ahli agar mereka tidak tersesat pada jalan yang salah.

Pada era yang semakin modern inilah, peran Qawâ‘id Fiqhiyyah sebagai alat bantu ijtihad masih sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan-permaslahan baru yang tidak diatur oleh naṣ secara eksplisit. Usaha untuk menggali hukum yang benar adalah tidak lain untuk mewujudkan Maqâṣid al-Syarî‘ah yang menjadi tujuan utama dari pensyariatan hukum Islam oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Keberadaan Qawâ‘id Fiqhiyyah sebagai salah satu perangkat ijtihad sangat berperan dalam proses penetapan hukum, baik bagi individu perorangan maupun pihak-pihak yang memiliki wewenang, seperti muftî, hakim, bahkan Pemerintah.

Salah satu kaidah turunan dari Qawâ‘id Fiqhiyyah lima yang telah disebutkan sebelumnya adalah kaidah “عستا رمأا قاض ”اذإ (apabila suatu kondisi yang dihadapi menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi lebih leluasa). Kaidah ini merupakan salah satu kaidah turunan dari kaidah pokok “ريسيتلا ب جت ةقشملا”.11 Sesuai dengan kaidah pokoknya, kaidah ini dapat dipakai ketika seseorang sedang berada dalam keadaan masyaqqah (kesulitan) atau kepepet. Keadaan masyaqqah pasti pernah dialami oleh setiap orang. Namun demikian, yang menjadi permaslahan di sini adalah bahwasanya orang-orang awam belum benar-benar

11 „Azzâm, Al-Qawâid al-Fiqhiyyah, h. 121


(23)

memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan keadaan masyaqqah dalam kaidah hukum Islam. Mereka cenderung menganggap bahwa setiap keadaan sulit yang menyebabkan aturan syariat tidak dapat dilaksanakan adalah masyaqqah, misalnya menjamak salat karena macet. Jika fenomena seperti ini dibiarkan saja, maka akan terjadi pergeseran makna masyaqqah dan menyebabkan hukum Islam terlalu diremehkan oleh orang-orang awam yang tidak benar-benar memahamai kaidah “عستا رمأا قاض اذإ” ini.

Salah satu contoh yang diungkapkan oleh para ulama untuk kaidah ini adalah apabila ada seorang wanita dalam keadaan berpergian jauh tanpa wali maka ketika ia hendak menikah, posisi walinya boleh digantikan oleh laki-laki lain,12 misalnya wali hakim. Ketentuan fikih ini juga telah diadopsi oleh salah satu peraturan perundang-perundangan di Indonesia, yaitu sebagaimana yang dapat kita temukan dalam Pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berbunyi:

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

Contoh tersebut telah benar-benar terjadi di kehidupan kita. Akan tetapi, selain contoh tersebut, sebenarnya masih banyak lagi situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang menempatkan manusia pada keadaan sulit, sehingga tidak bisa menjalankan aturan syariat dengan sempurna atau dengan benar sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Kesulitan yang menyebabkan aturan syariat tidak

12 Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al -Syâfi‘î, (Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah li al-Turâts, 2009), h. 115


(24)

terlaksana maka secara tidak langsung hal ini menyebabkan Maqâṣid al-Syarî‘ah tidak dapat tercapai.

Dari permasalahan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA”.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang terkait dengan aplikasi kaidah fikih dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

1. Apa pengertian kaidah fikih secara umum?

2. Apa yang dimaksud dengan kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ”?

3. Apa saja sebab-sebab yang memperbolehkan penggunaan kaidah “ قاض اذإ عستا رمأا”?

4. Bagaimana aplikasi kaidah “عستا رمأا قاض اذإ” dalam kehidupan sehari -hari?

5. Apakah ada korelasi antara kaidah “عستا رمأا قاض اذإ” dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah?

6. Bagaimana aplikasi kaidah “عستا رمأا قاض اذإ” dalam sumber hukum materiil keluarga Islam Indonesia?


(25)

2. Pembatasan Masalah

Dikarenakan oleh identifikasi masalah yang begitu banyak dan luas dan juga agar penelitian ini menjadi terarah, maka penulis membatasi permasalahan pembahasan skripsi ini hanya pada maksud kaidah fikih “ اذإ عستا رمأا قاض” dan aplikasinya dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia yang penulis khususkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

3. Pemumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada pembatasan masalah sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan konsep kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ”? 2. Bagaimana aplikasi kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dalam sumber hukum

materiil keluarga Islam di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan: a. Untuk mengetahui maksud kaidah fikih “عستارمأاقاضاذإ”

b. Untuk mengetahui aplikasi kaidah fikih “ تا رمأا قاض اذإعس ” dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, khususnyan KHI


(26)

Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendalam agar dapat diperoleh manfaat dari penelitian tersebut. Maka dari itu manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hal yang baru dalam pengembangan ilmu hukum Islam khususnya terkait dalam bidang ilmu fikih dan usul fikih.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan di bidang hukum terkait kaidah fikih dan aplikasinya dalam sistem hukum Indonesia.

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan hasil pemikiran tentang perkembangan hukum Islam dalam hal yang berkaitan dengan kaidah fikih dan pelembagaannya dalam sistem hukum Indonesia.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Pada kajian terdahulu penulis menemukan beberapa judul skripsi yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan, antara lain:

1. Skripsi yang berjudul “Kaidah Fikih Al-Yaqîn Lâ Yuzâlu bi al-Syakk Menurut Abdul Hamid Hakim”, ditulis oleh Mudhofar, Program Studi Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Fakultas Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga tahun 2010. Penulis menemukan bahwa menurut Abdul Hamid Hakim, kaidah fikih Al-Yaqîn Lâ Yuzâlu bi al-Syakk adalah salah satu dari lima


(27)

kaidah fikih pokok. Kaidah fikih ini dapat dikembangkan menjadi sebelas kaidah fikih turunan. Kaidah fikih ini adalah termasuk kaidah yang mencakup seluruh permasalahan yang timbul dalam fikih, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun muamalah. Kaidah fikih ini dapat diterapkan dalam segala bidang fikih, misalnya dalam bidang perkawinan yang didasarkan pada kaidah turunan dari kaidah fikih tersebut yaitu kaidah fikih “ عاضبإا يف لصأا ميرحتلا”. Selain itu, penulis juga mengungkapkan bahwa kaidah fikih ا نيقيلا" "كشلاب لازي dapat juga diterapkan dalam perundang-undangan di Indonesia, di antaranya adalah Undang-Undang Perakwinan dan Undang-Undang Wakaf. Undang-Undang yang diadopsi dari hukum Islam tentu juga didasarkan pada kaidah fikih tersebut baik secara langsung maupun melalui kaidah turunannya.

Persamaan skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas tentang satu pembahasan kaidah fikih. Perbedaannya adalah bahwa skripsi tersebut membahas tentang kaidah fikih “كشلاب لازي ا نيقيلا", sedangkan skripsi ini membahas tentang kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ”.

2. Skripsi yang berjudul “Penerapan Maslahah Mursalah dalam KHI dan Pengaruhnya terhadap Putusan Hakim; Studi Kasus Putusan Cerai Gugat Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007”, ditulis oleh Taufikurrohman, Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Penulis menyatakan bahwa prosedur poligami yang begitu ketat sebagaimana yang diatur dalam KHI


(28)

adalah bagian dari Maslahah Mursalah. Selama prosedur-prosedur tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan Maqâṣid al-Syarî’ah, maka prosedur poligami yang ditetapkan dalam KHI adalah sah-sah saja. Penulis juga memaparkan bahwa penerapan Maslahah Mursalah dalam KHI terhadap putusan hakim dalam kasus penceraian karena poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Tolak ukur penulis dalam pernyataan tersebut adalah pemikiran mayoritas hakim ketika memutus perkara dengan keyakinan bahwa perceraian karena poligami adalah maslahah dan juga telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Pernyataan penulis dibuktikan dengan adanya empat kasus gugat cerai yang ditandatangani pada tahun 2007 lalu dikabulkan oleh Majelis Hakim karena tergugat menyalahi prosedur poligami yang merupakan bagian dari penerapan maslahah mursalah.

Persamaan skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas tentang aplikasi perangkat fikih dalam KHI. Perbedaannya adalah bahwa skripsi tersebut membahas tentang aplikasi salah satu sumber hukum Islam yaitu Maslaḫah Mursalah dalam KHI, sedangkan skrispsi ini membahas tentang aplikasi salah satu kaidah fikih yaitu “عستا رمأا قاض اذإ”.

Berdasarkan uraian dua skripsi di atas, penulis menganggap bahwa penelitian yang dilakukan ini tidak akan tumpang tindih dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang lalu adalah dikarenakan penulis akan meneliti penerapan kaidah fikih yang berbeda dalam KHI, yaitu kaidah “عستا رمأا قاض اذإ”.


(29)

Selain itu, penulis juga menambahkan pembahasan tentang bagaimana korelasi kaidah fikih tersebut dengan konsep Maqâṣid al-Syarî‘ah.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan menggunakan studi pustaka sebagai acuannya. Sedangkan terkait dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis hukum Islam.

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, artinya penulis mendeskripsikan konsep kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” secara rinci kemudian menganalisis satu-persatu pasal-pasal yang terdapat dalam KHI sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia. Dari hasil analisis tersebut, penulis berharap dapat mengetahui pasal-pasal berapa sajakah yang menggunakan konsep kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ”.

2. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data hukum yang terdiri dari:

a. Data Primer

Yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber yang asli. Dalam penelitian ini, data primer yang akan digunakan adalah berupa kitab-kitab


(30)

fikih dan peraturan perundang-undangan berupa KHI yang merupakan objek utama dalam penelitian ini.

b. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, kitab-kitab

turâts, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil

penelitian lainnya yang berbentuk laporan, skripsi, tesis atau disertasi. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang dapat memberikan penjelasan tentang data primer.

c. Data Tersier

Yaitu data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang data primer dan sekunder, yang terdiri dari artikel, jurnal, ensiklopedia dan internet.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian deskriptif analistis, analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif


(31)

terhadap data primer dan data sekunder, yaitu dengan metode analisis isi kualitatif degan cara menguraikan data melalui kategorisasi-kategorisasi serta pencarian sebab akibat dengan menggunakan teknik analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil sebuah kesimpulan). Penulis mengumpulkan data-data terkait kaidah fikih “ قاض اذإ عستا رمأا” dan hukum materiil keluarga Islam di Indonesia. Setelah penulis mengumpulkan dan memahami data-data terkait kaidah fikih “ رمأا قاض اذإ عستا”, maka penulis kemudian menganalisis pasal-pasal dalam KHI, apakah ada yang menggunakan konsep kaidah fikih ini.

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan, penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan manfaat, kajian (review) terdahulu , metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TENTANG KAIDAH FIKIH “عستا رمأا قاض اذإ”

Bab ini berisikan pengertian kaidah fikih secara umum, definisi kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ”, penjelasan ulama tentang kaidah tersebut, sebab-sebab yang memperbolehkan penggunaan kaidah


(32)

tersebut, aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dan korelasinya dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah.

BAB III : POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM

INDONESIA

Bab ini berisikan definisi dan cakupan hukum keluarga Islam Indonesia, pelembagaan hukum Islam ke dalam hukum keluarga Indonesia dan KHI sebagai sumber hukum materiil keluarga Islam Indonesia.

BAB IV : ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “عستا رمأا قاض اذإ” DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM DI INDONESIA

Bab ini berisikan aplikasi kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dalam KHI sebagai sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia yang kemuadian diperinci dalam bidang pernikahan, perwalian, perceraian, wasiat dan kewarisan.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab akhir dari penelitian ini yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan beberapa saran yang dianggap perlu dan berkaitan dengan penelitian ini.


(33)

16 A. Pengertian Kaidah Fikih Secara Umum

Kaidah merupakan kata serapan yang berasal dari Bahasa Arab yaitu Qâ‘idah ( عاق). Kata Qâ‘idah dari segi bahasa, merupakan bentuk singular dari kata Qawâ‘id, bentuk ism fâ‘il dari kata dasar “عق”, yang berarti „asal‟ atau „pokok‟.1

Adapun pengertian kaidah fikih secara terminologi adalah hukum umum (kullî) yang mencakup sebagian besar hukum khusus (juz’î), yang mana dengan mengetahui hukum umum tersebut, akan diketahui pula hukum-hukum khususnya.2 Adapun keterkaitan antara hukum kullî dan juz’î tersebut adakalanya diketahui dari hubungan yang nampak nyata dan pasti di antara keduanya dan adakalanya juga diketahui dari hubungan yang besifat dugaan.3 Hukum umum tersebut adalah hukum yang dikaitkan dengan asas hukum yang dibangun oleh Syâri‘ serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya bagi mukallaf.4 B. Definisi Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ”

Kaidah ini adalah salah satu cabang dari lima kaidah fikih dasar yaitu kaidah “ريسيتلا بلجت قشملا”. Maksud dari kaidah ini adalah apabila suatu kondisi yang dihadapi oleh mukallaf menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi

1 Ibn Manẕûr, Lisân al-‘Arab, (Saudi Arabia: Dâr „Âlim al-Kutub, 2003), Juz II, h. 362

2

Tâj al-Dîn al-Subkî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir, (Beirut: Dâr Kutub al-„Ilmiyyah, 1991), Juz I, h. 23

3 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 11 4


(34)

lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam menjalankan suatu aturan hukum, maka menurut kaidah ini dalam keadaan tersebut, ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya. 5

Kaidah ini adalah salah satu kaidah yang dicetuskan oleh Imam Al-Syâfi„î (w. 204 H).6 Dasar hukum dari kaidah ini adalah firman Allah SWT dan Hadis Rasulullah SAW,7 yaitu:

          

Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu.”(QS. Al-Baqarah: 185)

: اق م ي نلا نع ريره يبأ نع ه لغ اإ حأ ني لا اشي نل

8

Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan

tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan

olehnya(semakin berat dan sulit).”(HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î)

Adapun makna kondisi sempit yang dimaksud oleh kaidah ini adalah kemungkinan kecil untuk menjalankan aturan hukum. Ketika suatu aturan hukum syariat yang berlaku menjadi alasan pembebanan atau pemberat bagi mukallaf untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia berhak mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini tidak lain bertujuan

5 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 121

6 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î

, h. 115 7

Al-Fadani, Al-Fawâ’id al-Janiyyah, h. 243 8


(35)

agar mukallaf tidak merasa terbebani oleh syariat dan memperoleh kemudahan dalam memenuhi kebutuhannya.9

Allah SWT menghendaki makhluk-Nya untuk beribadah kepada-Nya dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya adalah tidak lain bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan di antara mereka. Allah SWT membentuk syariat Islam dengan asas mempermudah dan menyingkirkan pembebanan bagi mukallaf. Oleh karena itu, ketika mukallaf tidak mungkin menjalankan suatu syariat kecuali dengan disertai kesusahan dan kepayahan

(masyaqqah), maka Allah SWT akan memberikan kemudahan baginya dan

menerapkan syariat yang sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapinya sehingga ia dapat terhindar dari kesempitan hukum dan tidak merasa terbebani.10 C. Penjelasan Ulama tentang Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ”

Pada sub pembahasan sebelumnya, penulis telah memaparkan bahwa kaidah ini memberikan peluang keringanan dan keluasan hukum bagi mukallaf ketika dalam keadaan-keadaan tertentu. Meskipun demikian, mukallaf tidak dapat mengaplikasikan kaidah ini begitu saja di setiap kondisi dan keadaan sukar yang sedang dialami. Oleh karena itu, beberapa ulama memberikan keterangan lebih lanjut tentang pembatasan penerapan kaidah ini, seperti Ibn Abî Hurairah (w. 345 H). Beliau menyatakan bahwa ketika memutuskan setiap langkah hukum maka beliau menggunakan pertimbangan kaidah ini. Apabila kondisi yang dihadapi

mukallaf menjadi sukar maka hukum yang mengaturnya dapat diperluas. Namun

9 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 121

10 „Abd al-Ra mân Ibn âli al-„Abd al-Laṯîf, Al-Qawâ‘id wa al-Dlawâbi

al-Fiqhiyyah al-Mutadlamminah li al-Taysîr, (Madinah: Lembaga Penelitian Keilmuwan Universitas Islam Madinah, 2003), Juz I, h. 118


(36)

sebaliknya, apabila kondisi yang dihadapi sangat leluasa maka aturan hukumnya harus dipersempit sehingga mukallaf tidak dapat meremehkannya.11

Al-Ghazâlî (w. 505 H) kemudian menambahkan bahwa segala sesuatu yang melampaui batas maka ketentuan hukum yang berlaku harus dikembalikan pada hukum asalnya.12 Dari stetmen dua ulama di atas, kita dapat memahami bahwa fleksibilitas syariat bukanlah tanpa batasan. Keadaan dan kondisi yang sedang dihadapi oleh mukallaf adalah tolak ukur dari pembebanan hukum yang diberikan oleh syariat.

D. Sebab-Sebab Yang Memperbolehkan Penggunaan Kaidah Fikih “ رمأا قاض اذإ عستا”

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya, kaidah ini adalah salah satu kaidah cabang dari kaidah fikih “ريسيتلا بلجت قشملا”. Tolak ukur utama yang menjadi prioritas dalam kaidah ini adalah unsur masyaqqah yang dirasakan oleh mukallaf. Dar segi bahasa, masyaqqah berarti جلا (kesulitan), بعتلا (keletihan), شلا (kesukaran) dan ءانعلا (kepayahan).13 Secara garis besar, kaidah ini berarti kesukaran yang dialami oleh mukallaf menghendaki kemudahan hukum. Apabila mukallaf berada pada kondisi kesulitan dalam menjalankan suatu aturan

11 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 115 12

Al-Ghazâlî, Iḫyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, (Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2010), Juz II, h. 131

13 Ibn Manẕûr, Lisân al-‘Arab


(37)

hukum yang berlaku, maka kesulitan tersebut menjadi penyebab yang dibenarkan untuk memperoleh kemudahan, keringanan dan penghapusan aturan hukum.14

Pada dasarnya, masyaqqah sendiri bersifat individual karena mungkin saja suatu kondisi merupakan masyaqqah bagi seseorang tapi tidak bagi orang lain. Meskipun demikian, syariah memilki standar umum yang sesungguhnya bukan termasuk masyaqqah dan tidak dapat dijadikan sebagai penyebab keringanan hukum misalnya perasaan berat untuk berwudlu pada musim dingin, perasaan berat untuk berpuasa pada musim panas atau perasaan berat bagi terpidana untuk menjalankan hukuman. Keadaan-keadaan tersebut tidak dapat dianggap sebagai

masyaqqah dalam tataran hukum Islam.15

Adapun untuk membedakan masyaqqah yang dapat berpengaruh dalam tataran hukum, Al-Syâṯibî (w. 790 H) memberikan sebuah batasan bahwa jika pekerjaan tersebut dilakukan terus menerus justru akan menyebabkannya ditinggalkan secara total atau hanya dikerjakan sebagian sehingga menjadi tidak sempurna. Kesulitan dalam sebuah perbuatan yang berdampak terhadap hal-hal tersebut adalah termasuk kategori masyaqqah yang „keluar dari kebiasaan‟, dalam artian bahwa kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum yang dihasilkan. Apabila kondisi yang dihadaip mukallaf tidak sampai pada taraf yang demikian maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.16

14

Na r Fârid Mu ammad Wâ il dan „Abd al-„Azîz Mu ammad „Azzam, Qawaid

Fiqhiyyah, Penerjemah Wahyu Setiawan, cet. III, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 58 15

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 57 16 Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât

, (Kementrian Agama Saudi Arabia, 1424 H), Juz II, h. 121


(38)

Masyaqqah juga terbagi menjadi beberapa karakter yang berbeda-beda. Masing-masing dari karakter masyaqqah ini menyebabkan konsekuensi hukum yang berbeda-beda pula. Al-Suyûṯî (w. 911 H) membagi karakteristik kesulitan

(masyaqqah) secara umum menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:17

1. Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah), misalnya

rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji tidak dapat menggugurkan kewajiban ibadah haji. Masyaqqah semacam ini sudah merupakan tabiat dasar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan. Artinya, kewajiban seperti haji hanya dapat terlaksana jika mukallaf telah melewati kesulitan-kesulitan berupa rasa lelah, capek dan sebagainya. Oleh karena itu, keringanan hukum tidak dapat diterapkan pada masyaqqah jenis ini.

2. Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis ini

terbagi lagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit untuk ditanggung (

Al-Masyaqqah al-A‘lâ), seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta,

keturunan, organ tubuh dan hal-hal yang mendasar lainnya. Pada taraf ini, syariat memberlakukan keringanan hukum dikarenakan pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban syariat harus lebih diutamakan daripada tidak melaksankannya sama sekali. Artinya, jika umat Islam masih „dipaksa‟ melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan maka akan bearkibat fatal

17 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î


(39)

pada keselamatan jiwa ataupun raganya. Hal ini tentu akan menyebabkan kewajiban itu sendiri menjadi terbengkalai. Dengan pemberlakuan keringanan hukum, maka kewajiban tersebut tetap dapat terlaksana.

b. Masyaqqah yang sangat ringan (Al-Masyaqqah al-Adnâ), seperti

pegal-pegal, pusing, pilek dan lain sebagainya. Pada taraf ini, syariat tidak dapat memberlakukan keringanan hukum dikarenakan kemaslahatan ibadah masih lebih penting daripada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah jenis ini. Artinya, mafsadah yang akan timbul dari hal-hal seperti ini masih sangat minim sehingga kemaslahatan ibadah harus lebih diutamakan.

c. Masyaqqah pertengahan yang berada di antara dua bagian sebelumnya

(Al-Masyaqqah al-Mutawassiṯah). Masyaqqah jenis ini bisa

mendapatkan keringanan hukum jika kadar kesulitannya telah mendekati Al-Masyaqqah al-A‘lâ. Sebaliknya, jika kadar kesulitannya lebih dekat pada Al-Masyaqqah al-Adnâ maka tidak bisa mendapatkan keringanan hukum.

Keringanan hukum dalam terminologi fikih disebut dengan rukhṣah. Adapun sebab-sebab yang memperbolehkan rukhṣah ada tujuh macam,18 yaitu:

1. Al-Safar (perjalanan), misalnya kebolehan jama‘ dan qaṣr salat, berbuka

puasa dan meninggalkan salat Jumat.19

18

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, h. 55

19 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î


(40)

2. Al-Maradl (sakit), misalnya kebolehan tayammum ketika tidak diperbolehkan menggunakan air, salat fardl sambil duduk, tidak berpuasa Ramadan dengan kewajiban qadlâ’ puasa pada hari lain, mencukur rambut sebelum menyelesaikan ibadah iḫrâm disebabkan oleh penyakit yang ada di kepala, berobat dengan sesuatu yang diharamkan seperti khamr atau sesuatu yang najis dan kebolehan dokter melihat aurat lawan jenis dengan tujuan pengobatan.20

3. Al-Ikrâh (keterpaksaan), misalnya kebolehan menyatakan diri sebagai kafir

dan meminum khamr dalam tekanan pihak lain yang dapat membahayakan diri mukallaf. Sebab keterpaksaan tidak dapat diberlakukan dalam kasus pembunuhan dan perzinaan.21

4. Al-Nisyân (lupa), misalnya makan, minum atau melakukan hubungan suami

istri ketika dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadan. Perbuatan tersebut tidak mengakibatkan dosa dan tidak membatalkan puasa serta tidak mengharuskan pembayaran kafarah jika benar-benar dilakukan dalam keadaan lupa, bukan berpura-pura lupa.22

5. Al-Jahl (ketidaktahuan), misalnya orang yang baru masuk Islam memakan

makanan yang diharamkan disebabkan ketidaktahuannya tentang hukum yang berlaku dalam agama Islam.23

6. Al-‘Usr (kesulitan) dan ‘Umûm al-Balwâ (kesulitan yang umum terjadi dan sulit untuk dihindari), misalnya salat disertai najis yang ma‘fû,

20 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 108 21

Al-Fâdânî, Al-Fawâ’id al-Janiyyah, h. 229 22

Al-Fadani, Al-Fawâ’id al-Janiyyah, h. 229 23


(41)

ketidakwajiban qadla’ salat bagi wanita yang haid, kebolehan melihat perempuan yang akan dipinang pada saat khiṯbah, pengguguran dosa bagi orang yang salah dalam berijtihad dan legalitas beberapa akad dan transaksi yang diatur dalam fikih mu‘âmalah seperti khiyâr, ḫiwâlah (pemindahan hutang), iqâlah (pembatalan persetujuan), gadai dan lain-lain.24

7. Al-Naqṣ (kekurangmampuan bertindak hukum), misalnya ketiadaan

pembebanan hukum (taklîf) bagi anak kecil, orang gila dan orang mabuk dan ketidakwajiban salat Jumat dan jihad bagi perempuan.25

Kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” bisa kita terapkan ketika kita menghadapi ketujuh macam kondisi yang memperbolehkan rukhṣah di atas. Pada dasarnya cara pengaplikasian kaidah ini tidaklah berbeda dengan cara pengaplikasian kaidah pokoknya yaitu kaidah “ريسيتلا بلجت قشملا”. Keluasan hukum yang dikehendaki oleh kaidah ini juga memiliki pembatasan sehingga mukallaf tidak bisa seenaknya sendiri mempermainkan aturan hukum syariat. Oleh karena itu, para ulama ahli fikih juga membuat kaidah aksioma dari kaidah ini yaitu “ عستا ا إ

اض رماا”.26

Kaidah aksioma ini berarti bahwa keadaan lapang yang dimilki oleh

mukallaf akan membuat hukum menjadi sempit dan terbatas. Salah satu contoh

dari kaidah ini adalah ketika melaksanakan salat, kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Akan tetapi, jika gerakan yang kita lakukan adalah

24 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 108-109

25 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 111 26 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î


(42)

disebabkan oleh suatu alasan tertentu yang sangat mendesak seperti menghindari serangan binatang berbisa, maka gerakan tersebut diperbolehkan. Dengan kata lain, salat yang kita laksanakan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang (عستا), sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas ( اض), yakni tidak diperbolehkan melakukan gerakan yang berlebihan.27

E. Aplikasi Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dalam Kehidupan Sehari-Hari Eksistensi kaidah fikih memberikan pengaruh yang sangat positif bagi kehidupan manusia. Dengan bantuan kaidah fikih, kita akan mampu memecahkan permasalahan yang tidak diatur secara inplisit oleh Al-Quran, Al-Sunnah, Ijmâ‘,

Qiyâs maupun sumber-sumber hukum Islam yang lain. Hal tersebut tidak lain

dikarenakan oleh kaidah fikih merupakan refleksi dari sumber-sumber hukum Islam yang menempati kedudukan lebih tinggi di atasnya.

Dalam kitab-kitab karya ulama yang membahas tentang kaidah fikih, kita dapat menemukan bahwa dalam menjelaskan kaidah-kaidah fikih yang ada, mereka juga mencantumkan beberapa cabang permasalahan (furû‘) yang dapat diselesaikan dengan kaidah-kaidah yang sedang dibahas. Demikian juga dengan kaidah “عستا رمأا اض ا إ”, penulis menemukan beberapa furû‘ kaidah yang merupakan bentuk aplikasi dari kaidah ini sendiri, yaitu di antaranya:

27

Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, cet. V, (Surabaya: Khalista, 2009), Jilid I, h. 205


(43)

1. Keringanan berupa qaṣr salat dan perubahan gerakan salat dalam salat khauf (salat dalam keadaan mencekam atau perang).28 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:                      

Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah

mengapa kamu mengqa r salat jika kamu takut diserang oleh orang-orang

kafir.”(QS. Al-Nisâ‟: 101)

Kemudian apabila keadaan telah menjadi aman dan tidak mencekam, maka wajib bagi kaum Muslim untuk melaksanakan salat sesuai dengan tatacara yang asli, sebagaimana firman Allah SWT:

               

Artinya: “Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat

(sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat adalah kewajiban yang telah

ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisâ‟: 103)

2. Sikap toleransi kreditur terhadap debiturnya dan pengertiannya untuk memberikan keluasan waktu dalam pembayaran hutang.29 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

                    28

„Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 121 29


(44)

Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguhan waktu sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) adalah hal yang lebih baik bagimu, jika kamu

mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

3. Kebolehan mengangkat wali nikah selain wali mahram bagi seorang wanita yang hendak menikah sedangkan ia dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mendatangkan wali mahramnya, misalnya ketika ia sedang belajar di luar negeri.30

4. Kebolehan menjatuhkan hukuman mati bagi pencuri dan pembegal jika memang hukuman tersebut dipandang dapat menghilangkan keresahan dan kekahawtiran yang terjadi di masyarakat.31 Penulis berpendapat bahwa hukuman ini juga bisa dijatuhkan pada koruptor di Indonesia karena korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak hanya menimbulkan keresahan di masyarakat, namun juga dapat merugikan negara.

5. Ketidakwajiban membelot dari pemimpin yang zalim jika memang pembelotan tersebut malah akan menimbulkan kemafsadatan yang lebih besar baik bagi diri sendiri maupun masyarakat luas.32

6. Melakukan banyak gerakan dalam salat jika gerakan yang kita lakukan adalah disebabkan oleh suatu alasan tertentu yang sangat mendesak seperti menghindari serangan binatang berbisa, maka gerakan tersebut diperbolehkan.33

7. Najis yang ada di kaki lalat yang hinggap di tubuh, pakaian, makanan atau tempat sekitar kita dianggap sebagai najis yang ma‘fû. Kita boleh memakan

30 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 115 31 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah,

h. 122 32 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah,

h. 122 33 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah,


(45)

makanan tersebut dan juga salat dengan menggunakan pakaian di tempat-tempat tersebut. Hal ini disebabkan oleh ketidakmungkinan kita untuk menghindari dan mengetahui apakah lalat-lalat yang berterbangan di sekitar kita membawa najis atau tidak.34

8. Fenomena yang terjadi di daerah-daerah yang banyak terdapat anjing berkeliaran seperti daerah pegunungan dan pesisir pantai. Jika anjing-anjing tersebut tidak sengaja bersentuhan dengan tubuh kita, maka menurut sebagian ulama Bani Jam„ân najis tersebut dima‘fû dan salat yang kita laksanakan tetap sah. Dalam kondisi seperti ini, hukum persentuhan dengan anjing tersebut adalah sebagaimana hukum persentuhan dengan hewan-hewan lain yang tidak najis. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya anjing yang berkeliaran sehingga sulit untuk menghindari persentuhan tersebut.35

Beberapa contoh aplikasi kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” yang telah disebutkan di atas adalah bersumber dari furû‘-furû‘ kaidah yang penulis temukan dari beberapa kitab yang membahas tentang kaidah ini yang mana penulis menilai bahwa furû‘-furû‘ tersebut masih relavan dengan kondisi yang dihadapi oleh umat Muslim pada saat ini. Adapun selain contoh-contoh di atas, pada dasarnya kita masih mungkin menghadapi permasalahan-permasalahan lain yang memperbolehkan kita untuk mengaplikasikan kaidah “عستا رمأا اض ا إ” ini karena dalam kehidupan kita pasti tidak akan luput dari masyaqqah. Oleh karena itu, syariat memberikan keringanan dan keluesan aturan hukum dalam bentuk rukhṣah bagi tiap-tiap mukallaf. Meskipun demikian, mukallaf tidak diperbolehkan untuk

34 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 115 35


(46)

menyalahgunakan fleksibilitas hukum tersebut seenakanya sendiri, karena hal tersebut secara tidak langsung dapat menghilangkan esensi ibadah dan mu‘âmalah kita kepada Allah SWT. Kita harus senantiasa mengingat bahwa kita diciptakan oleh Allah SWT sebagai hamba tidak lain hanyalah untuk menyembah-Nya, sebagaimana firman-Nya:         

Artinya: “Dan Aku (Allah SWT) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan

supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Allah SWT).” (QS. Al-Dzâriyaat: 56)

I. Korelasi antara Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dengan Maqâid al-Syarî‘ah Islam adalah agama yang memberikan pedoman kehidupan kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya menuju pencapaian kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan induvidu maupun bermasyarakat. Secara umum, tujuan Syâri‘ dalam mentapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta seluruh kebahagiaan manusia, baik kebahagiaan dunia yang sementara maupun kebahagiaan di akhirat yang kekal. Tujuan hukum Islam ini dapat kita ketahui dari firman-firman Allah SWT sebagai berikut:36

         36

Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam


(47)

Artinya: “Dan tiadalah Kami (Allah SWT) mengutus kamu (Nabi Muhammad

SAW) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyâ‟:

107)                              

Artinya: “Dan di antara mereka ada orang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami

kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". Mereka adalah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang

mereka usahakan. Dan Allah SWT sangatlah cepat perhitungan-Nya.” (QS.

Al-Baqarah: 201-202)

Tujuan hukum Islam dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut

Al-Maqâṣid al-Khamsah atau Al-Kulliyyah al-Khamsah. Kelima tujuan tersebut

adalah ifẕ al-Dîn (menjaga agama), ifẕ al-Nafs (menjaga jiwa), ifẕ al-‘Aql (menjaga akal), ifẕ al-Nasl (menjaga keturunan) dan ifẕ al-Mâl (menjaga harta). Al-Syaukânî (w. 1250 H) kemudian menambahkan satu term lagi yaitu

ifẕ al-‘Irdl (menjaga kehormatan) sebagai bagian dari tujuan hukum Islam

sehingga menjadi enam macam.37

Keseluruhan bagian dari Maqâṣid al-Syarî‘ahdi atas adalah bersumber dari sumber premier hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Kedua sumber hukum Islam ini telah memberikan pedoman bagi manusia untuk mewujudkan Maqâṣid

al-Syarî‘ah. Adapun dalam segi praktek, Maqâṣid al-Syarî‘ah tidak harus

dilaksanakan secara berurutan dari ifẕ al-Dîn sebagai bagian yang pertama sampai ifẕ al-‘Irdl sebagai bagian yang terakhir. Akan tetapi, prioritas pelaksanaan Maqâṣid al-Syarî‘ah di atas adalah berdasarkan pada tingkat

37


(48)

kebutuhan manusia, apakah berada dalam taraf Dlarûriyyah (primer), âjjiyyah (sekunder) atau Taḫsiniyyah (tersier).38

Sendi dan asas syariat Islam adalah kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam sepenuhnya mengandung keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan. Setiap persoalan yang mengandung kezaliman, kejahatan, kerusakan dan kesia-siaan bukanlah termasuk syariat Islam. Syariat Islam merupakan wujud dari keadilan Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya serta kasih sayang-Nya untuk makhluk-makhluk-Nya.39

Dengan demikian, maka telah nampak jelas bahwa tujuan pembentukan syariat Islam adalah untuk kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Manusia yang melaksanakan ajaran agama dengan benar akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Sebaliknya, apabila manusia tidak melaksanakan petunjuk Allah SWT sebagaimana yang terdapat dalam wahyu-Nya, maka ia tidak akan merasakan kebahagiaan.40

Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan dan kebaikan yang menyebabkannya menjadi hukum yang paling kaya, memenuhi segala kebutuhan masyarakat serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Apabila keistimewaan dan kebaikan tersebut dipraktekkan bersama-sama dengan

38 Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât

, Juz II, h. 17 39

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘in, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhâriyyah, 1968), Juz III, h. 3

40

Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam


(49)

ajaran Islam yang lain maka akan dapat menciptakan suatu umat yang ideal dan kehidupan yang adil.41 Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah bersifat mempermudah (taysîr). Dalil-dalil naṣ yang menujukkan hal ini berjumlah sangat banyak, di antaranya yang berasal dari Al-Quran dan Hadis:

          

Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagi kalian semua dan tidak

menghendaki kesukaran bagi kalian semua.” (QS. Al-Baqarah: 185)

:م ه سر اق ، مامأ يبأ نع حمسلا ي ينحلاب تثعب

42

Artinya: Dari Abû Umâmah, Rasulullah SAW bersabda: “Aku diutus dengan

membawa ketauhidan yang longgar (mudah).” (HR. A mad)

: اق م ي نلا نع ريره يبأ نع ه لغ اإ حأ ني لا اشي نل

43

Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan

tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan olehnya

(semakin berat dan sulit).” (HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î)

Untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, Islam tidak membebani para mukallaf terkecuali dengan hal-hal yang sanggup mereka kerjakan secara terus-menerus. Oleh karena itu, Allah SWT menghilangkan masyaqqah agar

mukallaf dapat terus-menerus mengerjakan sagala sesuatu yang telah diatur oleh

Allah SWT bagi mereka. Syariat Islam menghendaki mukallaf untuk

41

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 119

42 Ibn Ḫanbal, Musnad Amad, (Kairo: Muassasah Qurṯubah, Tth ), Juz V, h. 266 43


(50)

mengerjakan hal yang mudah dan menjauhi hal yang sukar,44 sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:

تلاق شئاع نع :

امثإ ن ي مل ام امهرسيأ راتخا اإ نيرمأ نيب ريخ ام 45

Artinya: Dari ‘Âisyah, ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah dibingungkan

oleh dua perkara kecuali beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya

selama hal tersebut tidak mengandung dosa.”(HR. Abû Ya„lâ)

Dalam pandangan penulis, konsep taysîr tersebut sangatlah relevan dengan prinsip ‘Adam al- arj (meniadakan kesusahan) dan prinsip Taqlîl al-Takâlîf (meminimalisir pembebanan) yang sangat dipegang teguh oleh syariat Islam. Prinsip ‘Adam al- arj berarti bahwa syariat Islam sama sekali tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya dalam menjalankannya.46 Sedangkan prinsip Taqlîl

al-Takâlîf berarti bahwa syariat Islam merupakan syariat yang mudah untuk

dijalankan dan tidak terlalu membebani mukallaf sebagai subjeknya.47 Ketika syariat Islam telah terlaksana dan memberikan mafaat bagi kehidupan mukallaf, maka hal ini telah mengindikasikan bahwa Maqâṣid al-Syarî‘ah telah terwujud.

Taysîr merupakan metode yang digunakan oleh Al-Quran dan para rasul.

Rasulullah SAW telah mengajarkan para sahabat agar berlaku mudah.48 Hal ini terbukti dengan adanya sabda beliau yang berbunyi:

ا لت ت ا اع اطت ار نت ا ارشب ارسعت ا ارسي :م ه سر اق ،سيق نب ه ع نع 49

44

Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 197

45 Abû Ya„lâ al-Mû ilî, Musnad Abî Ya‘lâ, (Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-Turâts, 1984), Juz VII, h. 345

46

Mu ammad Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri‘ al-Islâmî, (Jakarta: Dâr Kutub al-Islâmiyyah, 2007), h. 18

47

Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri‘ al-Islâmî, h. 18 48

Yûsuf al-Qaradlâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâṣid al-Syarî‘ah, cet. III, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2008), h. 151


(51)

Artinya: Dari ‘Abdullah bin Qais, Rasulullah SAW besabda: “Mudahkanlah (urusan) dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari (tidak tertarik) dan bekerja samalah kalian berdua dan jangan

berselisih”. (HR. Al-Bukhârî dan Muslim)

Dari konsep taysîr ini, para ulama ahli fikih kemudian merumuskan beberapa kaidah fikih. Kaidah fikih berperan membantu kita untuk memahami tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang ada di balik syariah.50 Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, salah satu kaidah yang berhubungan dengan konsep taysîr dalam syariat Islam adalah kaidah “عستا رمأا اض ا إ”.51

Adapun di antara hal yang menunjukkan bahwa konsep taysîr sebagai esensi dari kaidah ini adalah landasan hukum dari kaidah ini sendiri. Dalil-dalil yang menjadi landasan dari kaidah ini, baik dari Al-Quran maupun Hadis, merupakan dalil-dalil yang menjelaskan bahwa syariat tidak menghendaki kesusahan dan kesulitan bagi manusia.

Selanjutnya, berdasarkan keterangan para ulama fikih terkait kaidah ini, kaidah ini adalah sebagai salah satu solusi bagi mukallaf yang sedang menghadapi suatu kondisi sempit atau sulit untuk menjalankan suatu aturan hukum yang berlaku. Kondisi sempit atau sulit dalam hal ini bisa disebut dengan masyaqqah. Pada taraf-taraf tertentu, masyaqqah yang dirasakan mukallaf menghendaki kemudahan hukum (rukhṣah).52

49 Sabda Rasululullah SAW tersebut adalah wasiatnya kepada Mu„âdz Ibn Jabal (w. 18 H) dan Abû Mûsâ al-Asy„ârî (w. 44 H) ketika mereka ditugaskan untuk menjadi kepala daerah di Yaman. Meskipun wasiat tersebut disampaikan kepada dua orang sahabat tersebut saja, wasiat tersebut sebenarnya ditujukan pada seluruh umat Islam. Lihat Al-Bukhârî, aḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 136

50 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 68 51

Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 120 52


(52)

Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa terdapat korelasi antara kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah. Esensi yang terkandung dalam kaidah ini adalah untuk menghindarkan manusia dari kesulitan dan kesusahan dalam menjalankan syariat. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan syariat yaitu menghilangkan kesulitan, kesusahan (ḫaraj) dan kesempitan serta memilih dan mengutamakan rukhṣah (keringanan) jika sedang dalam keadaan yang tidak memungkinkan.53

Kemaslahatan kehidupan manusia sebagai Maqâṣid al-Syarî‘ahyang paling utama dapat terwujud ketika manusia telah merasakan ketenangan dan kebahagiaan hidup dengan tanpa merasa terbebani oleh tuntutan syariat. Peran kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” dalam hal ini adalah sebagai salah satu pertimbangan bagi manusia untuk mengatasi masyaqqah yang sedang dihadapinya. Dengan bantuan kaidah ini, manusia tidak akan lagi merasa terjebak dalam suatu aturan hukum yang kaku. Karena pada hakikatnya, syariat Islam adalah syariat yang lentur, fleksibel dan dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi yang dihadapi manusia.

Meskipun kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” ini memberikan kesempatan bagi kita untuk mendapatkan keringanan hukum, keluasan hukum yang dikehendaki oleh kaidah ini bukanlah tanpa pembatasan. Bagaimanapun juga, syariat Islam yang telah dirumuskan oleh Syâri‘ memiliki standarisasi tersendiri yang harus kita penuhi. Kita tidak diperbolehkan untuk terlalu menganggap mudah syariah Islam, apalagi sampai meremehkannya.

53

Nûr al-Dîn Al-Khâdamî, Al-Ijtihâd al-Maqâṣidî, (Qatar: Kitâb al-Ummah, 1998), Juz I, h. 50


(53)

36

A. Definisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam Indonesia

Hukum keluarga adalah “hukum atau undang-undang yang mengatur perihal hubungan internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan dengan ihwal kekeluargaan” atau “hukum yang mengatur perihal hubungan -hubungan hukum yang timbul dari -hubungan kekeluargaan”.1

Dalam terminologi fikih, hukum keluarga Islam dikenal dengan berbagai istilah, seperti al-aḫwâl al-syakhṣiyyah (hal-hal yang berhubungan dengan persoalan pribadi), ḫuqûq al-usrah (hak-hak keluarga), ḫuqûq al-‘â’ilah (hak-hak keluarga), aḫkam al-usrah (aturan-aturan keluarga) dan qanûn al-usrah (undang-undang keluarga). Sementara dalam literatur-literatur bahasa Inggris, kita menemukan istilah-istilah seperti personal statute, Islamic family law dan Moslem

family law, untuk menunjuk hukum keluarga Islam.2

Wahbah Zuhailî (w. 1436 H) mendefinisikan al-aḫwâl al-syakhṣiyyah sebagai hukum-hukum yang mengatur hubungan keluarga sejak di masa-masa awal pembentukannya hingga di masa berakhirnya keluarga, berupa nikah, talak, nasab, nafkah dan kewarisan.3 Dengan kata lain, hukum keluarga Islam adalah seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal anggota

1

M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 13-14

2

Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 10

3

Wahbah Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 19


(54)

keluarga dalam konteksnya yang khusus/spesifik dalam hubungan hukum suatu keluarga Muslim.4

Agar tidak terjadi kerancuan dengan definisi hukum perdata biasa, kita harus mengetahui bahwa hukum keluarga bukanlah hukum yang mengatur hubungan antara keluarga dengan keluarga yang lain, dan bukan pula hukum yang mengatur hubungan di luar hal-hal yang telah menjadi bagian dari hukum keluarga, meskipun hubungan hukum itu melibatkan sesama anggota keluarga dan masih dalam satu keluarga. Hukum keluarga Islam adalah hukum yang mengatur hubungan internal anggota keluarga dalam satu keluarga Muslim yang berkenaan dengan masalah-masalah tertentu.5 Ruang lingkup hukum keluarga adalah mencakup perkawinan, perwalian, wasiat dan kewarisan.6

B. Pelembagaan Hukum Islam ke Dalam Hukum Keluarga Indonesia 1. Hukum Islam pada Masa Pra Kemerdekaan

Di Indonesia, hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Pada masa kesultanan Islam, hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara, misalnya pada masa pemerintahan Sultan Agung di Aceh dan pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Hukum adat setempat dinilai sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam.7

4

M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, h. 13 5

Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 11 6

M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, h. 30 7

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 12-13


(55)

Sejak awal kehadiran Islam pada abad VII Masehi, tata hukum Islam sudah diterapkan dan dikembangkan di lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Setelah Islam memperoleh kedudukan yang kokoh dalam masyarakat kota perdagangan pesisir pantai, terjadi peralihan peran dari kaum saudagar ke tangan para ulama. Para ulama bertindak sebagai fungsionaris dalam penyelesaian sengketa antara sesama pemeluk Islam. Pada masa ini, peradilan informal Tahkim lahir sebagai wadah dan sarana masyarakat kota dalam menyelesaikan persengketaan di bidang perkawinan, hibah, wakaf dan kewarisan yang berorientasi pada sistem mazhab fikih Syâfi„î.8

Pada masa-masa kesultanan Islam, rujukan hukum yang bersifat abstrak yang berorientasi pada mazhab Syâfi„î masih terus digunakan. Salah satu kitab fikih yang berotoritas luas pada masa itu adalah kitab irâṯ al-Mustaqîm yang ditulis oleh ulama besar Nuruddin al-Raniri pada abad XVII Masehi. Uraian dan syarah kitab tersebut diperluas dan dijakdikan sebagai standar bahan rujukan penyelesaian sengketa di beberapa daerah kesultanan Islam seperti Palembang, Banten, Demak, Jepara, Ngampel dan Mataram.9

Beberapa kesultanan Islam pada masa tersebut juga telah mendirikan Peradilan Agama secara formal. Di antara macam-macam peradilan yang ada adalah Pengadilan Penghulu di Jawa, Mahkamah Syar‟iyyah di kesultanan Sumatera (Deli, Langkat, Asahan dan Indragiri) dan Peradilan Qadli di Banjar

8 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 24

9 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 25


(1)

65

bentuknya sebagaimana semula dan dimanfaatkan tuntuk kepentingan bersama. Pasal ini juga mengandung asas tolong-menolong antar sesama Muslim, terutama antar saudara sesama penerima harta waris.

2. Menyampaikan wasiat di hadapan selain pejabat

Pasal 206 menyatakan bahwa orang yang hendak berwasiat sedangkan ia berada dalam perjalanan laut, maka wasiatnya dapat disampaikan pada nahkoda kapal atau orang yang menggantikannya dengan disertai dua orang saksi. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah bahwa wasiat tidak selalu harus disampaikan kepada pejabat berwenang seperti Notaris. Kondisi orang yang hendak berwasiat yang sedang berada dalam perjalanan laut, belum tentu ia dapat menemukan pejabat Notaris di kapal yang ditumpanginya tersebut. Oleh karena itu, sebagai solusi yang diberikan oleh pasal ini, ia diperkenankan untuk menyampaikan wasiatnya kepada nahkoda kapal atau orang yang menggantikannya dengan dua orang saksi yang dapat dipercaya akan menyampaikan wasiatnya kelak.

Setelah penulis menyebutkan dan menjelaskan satu-persatu pasal KHI yang dipandang sebagai aplikasi dari kaidah kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” di atas,


(2)

66 A. Kesimpulan

Setelah penulis memaparkan konsep kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dan menganalisis pengaplikasiannya dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” adalah apabila suatu kondisi yang dihadapi oleh mukallaf menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam menjalankan suatu aturan hukum, maka menurut kaidah ini dalam kedaan tersebut, ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya. Ketika suatu aturan hukum syariat yang berlaku menjadi alasan pembebanan atau pemberat bagi mukallaf untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia berhak mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum (rukhṣah) dengan alasan-alasan tertentu. 2. KHI sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Indonesia yang

murni berasal dari hukum Islam telah mengaplikasikan konsep kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dalam pasal-pasalnya. Keseluruhan dari peraturan yang disampaikan oleh pasal-pasal tersebut pada hakikatnya menghendaki kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim Indonesia.


(3)

67

B. Saran

Dari kesimpulan yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka penulis juga ingin memberikan saran-saran terkait dengan pengaplikasian kaidah fikih “ اذإ عستا رمأا قاض”, yaitu sebagai berikut:

1. Sebagai subjek hukum, kita harus selalu mengingat bahwa fleksibilitas hukum, baik hukum Islam maupun konvensional bukanlah tanpa batasan. Keluasan hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh kaidah ini juga memiliki pembatasan tertentu sehingga kita tidak diperbolehkan seenaknya sendiri mempermainkan aturan syariat atau hukum yang berlaku.

2. Sebenarnya, pengaplikasian kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” tidak hanya terbatas ada pada pasal-pasal KHI. Majelis hakim sebagai pembuat keputusan atas permaslahan-permasalahan yang dialami oleh masyarakat hendaknya berpegang teguh pada kaidah ini. Karena dengan pertimbangan kaidah ini,


(4)

68

„Azzâm, Abd al-„Azîz. Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah. Kairo: Dâr al-Ḫadîts. 2005. Abbas, Ahmad Sudirman. Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, cet. II. Tangerang

Selatan: Adelina Bersaudara. 2008.

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. III. Jakarta: Akademika Pressindo. 2001.

Ali, Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, cet. IV. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.

Al-Baihaqî. Al-Sunan al-Kubrâ. Makkah: Maktabah Dâr al-Bâz. 1994.

Bek, Mu ammad Kudlarî. Târîkh Tasyri‘ al-Islâmî. Jakarta: Dâr Kutub al-Islâmiyyah. 2007.

Bisri, Cik Hasan, Ed. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.

Al-Bukhârî. aḫîḫ al-Bukhârî. Damaskus: Dâr auq al-Najâh. 1422 H. Djazuli, Ahmad. Kaidah-Kaidah Fikih, cet. II. Jakarta: Kencana. 2007.

Al-Fadani, Yasin. Al-Fawâ’id al-Janiyyah. Beirut: Dâr al-Ma ajjah al-Baiḏâ‟. 2008.

Al-Ghazâlî. Iḫyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah. 2010. Haq, Abdul dkk. Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, cet. V.

Surabaya: Khalista. 2009.

Ibn Ḫanbal, A mad. Musnad Aḫmad. Kairo: Muassasah Qurṯubah. Tth. Ibn Mâjah. Sunan Ibn Mâjah. Kairo: Dâr al-Ḫadîts. 2010.

Ibn Manẕûr. Lisân al-‘Arab. Saudi Arabia: Dâr „Âlim al-Kutub. 2003.

Jahar, Asep Saepudin dkk. Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional. Jakarta:


(5)

69

Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I‘lâm al-Muwaqqi‘in. Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhâriyyah. 1968.

Al-Juwainî. Al-Burhân fî Uṣûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah. 1997. Al-Khâdamî, Nûr al-Dîn. Al-Ijtihâd al-Maqâṣidî. Qatar: Kitâb al-Ummah. 1998. Al-Laṯîf, „Abd al-Ra mân Ibn âli al-„Abd. Al-Qawâ‘id wa al-Dlawâbiṯ

al-Fiqhiyyah al-Mutadlamminah li al-Taysîr. Madinah: Lembaga Penelitian

Keilmuwan Universitas Islam Madinah. 2003.

Musbikin, Imam. Qawa‘id al-Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001. Al-Mû ilî, Abû Ya„lâ. Musnad Abî Ya‘lâ. Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-Turâts,

1984.

Nata, Abudin. Masail Al-Fiqhiyah, cet. II. Jakarta: Kencana. 2006.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai

KHI. Jakarta: Kencana. 2004.

Al-Qaradlâwî, Yûsuf. Dirâsah fî Fiqh Maqâṣid al-Syarî‘ah, cet. III. Kairo: Dâr al-Syurûq. 2008.

Al-Qarâfî. Al-Furûq. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah. 1998.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet. VI. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.

Al-Sijistânî, Abû Dâwud. Sunan Abî Dâwud. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabî. Tth. Suma, M. Amin. Hukum Keluarga Islam di dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 2004.

Al-Subkî, Tâj al-Dîn. Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir. Beirut: Dâr Kutub al-„Ilmiyyah. 1991.

Al-Suyûṯî, Jalâl al-Dîn. Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al -Syâfi‘î. Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah li al-Turâts. 2009.

Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât. Kementrian Agama Saudi Arabia. 1424 H.


(6)

Wâ il, Na r Fârid Mu ammad dan „Abd al-„Azîz Mu ammad „Azzam. Qawaid

Fiqhiyyah. Penerjemah Wahyu Setiawan. Jakarta: Amzah. 2013.

Zuhailî, Wahbah. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Beirut: Dâr al-Fikr. 1989. Rahmawati, Anif. “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”. Artikel

diakses pada 24 Oktober 2015 dari https:

//www.academia.edu/4836677/RESPON-MASYARAKAT- TERHADAP-HUKUM-KELUARGA-ISLAM.