Epistemologi tasawuf dalam kitab al Muntakhabatu fi rabitati al qalbiyyati wa silati al ruhiyyah karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
ILYASIN YUSUF NIM: E31209006
PRODI FILSAFAT AGAMA - JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
(2)
ii
Surabaya, 01 Agustus 2016 Pembimbing,
Dr. Suhermanto Dja’far, M.Hum NIP. 196708201995031001
(3)
iii
Tim Penguji Skripsi Surabaya, 11 Agustus 2016
Mengesahkan
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Dekan,
Dr. Muhid, M.Ag NIP. 196310021993031002
Tim Penguji: Ketua,
Dr. Suhermanto Dja’far, M.Hum NIP. 196708201995031001
Sekretaris,
Fikri Mahzumi, M.Fil.I NIP. 198204152015031001
Penguji I,
Drs. H. Abu Sufyan, M.Ag NIP. 195208061979031002
Penguji II,
Abdul Djalal, M.Ag NIP. 19700920200911003
(4)
iv Nama : Ilyasin Yusuf
NIM : E31209006
Prodi/Jurusan : Filsafat Agama/Pemikiran Islam dan Filsafat
Fakultas : Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.
Surabaya, 28 Juli 2016 Saya yang menyatakan,
Ilyasin Yusuf E31209006
(5)
(6)
xii
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library research), yakni
penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber (data) utama. Adapun sumber primer dalam penelitian ini adalah karya-karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi
– Selanjutnya dalam tulisan ini disebut Kyai Asrori – yang berhubungan dengan
epistemologi pengetahuan seperti kitab al-Muntakhaba>tu fi Rabi>t}ati al-Qalbiyyati
wa S{ilati al-Ru>h}iyyahyang berjumlah lima jilid dan karya Kyai Asrori yang lain. Sedangkan sumber-sumber sekunder yaitu data-data pendukung yang berkaitan dengan pokok masalah dalam penelitian ini, berupa buku, ensiklopedia, kamus, majalah, jurnal serta karya-karya pengarang lain yang membahas teori-teori yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
Hasil penelitian menemukan bahwa Epistemologi pengetahuan yang terdapat dalam tasawuf Kyai Asrori yaitu Kyai Asrori menempatkan akal manusia sebagai bagian dari sumber pengetahuan. Bagi Kyai Asrori tanda-tanda kesempurnaan akal dapat diklasifikasikan menjadi dua, tanda yang tampak secara lahir dan secara batin. Tanda-tanda yang tampak secara lahir seperti diam, rendah hati, ahklak yang baik, jujur dan beramal shaleh, sedangkan secara batin berupa tafakkur (berfikir), memetik pelajaran, khusyu’, takut akan disiksa Allah dan mengingat kematian. Selain akal menjadi sumber pengetahuan, Kyai Asrori juga menyatakan bahwa hati juga mempunyai korelasi dengan akal. dengan banyak mengutip pendapat ulama’ shufiyah, Kyai Asrori mengatakan bahwa akal itu adalah hati dan hati adalah akal. sedangkan metode untuk mendapat pengetahuan yang terdapat dalam tasawuf Kyai Asrori ialah menjadikan keyakinan sebagai
nalar untuk memahami sesuatu yang disebut dengan al-Fiqhu. Metode al-Fiqhu
diawali dari sebuah pemahaman rasio yang kemudian dikorelasikan dengan hati hingga akan membentuk sebuah keyakinan. Rahasia ilmu yang tersingkap dan
tersibak, sehingga gambarannya terlihat jelas oleh mata hati itu dinamakan
(7)
xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR ... i
SAMPUL DALAM ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... xi
DAFTAR ISI ... xii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 10
C. Rumusan Masalah ... 11
D. Penegasan Judul ... 11
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14
F. Tinjauan Pustaka ... 14
G. Metode Penelitian... 19
H. Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II BIOGRAFI DAN KARYA PEMIKIRAN K.H. AHMAD ASRORI ISHAQI A. Biografi K.H. Ahmad Asrori Ishaqi ... 23
B. Pendidikan dan Genealogi Keilmuan K.H. Ahmad Asrori Ishaqi... .... 29
C. Karya-karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi... .... 33
D. Sekilas Tentang Kitab al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah... .... 35
BAB III DISKURSUS DUALISME PENGETAHUAN A. Dualisme Dalam Filsafat ... 39
1. Melacak Akar Historis Paham Dualisme... ... 39
2. Platon dan Dualisme Metafisis... ... 41
3. Cartesian Dualism; Memahami Dualisme Antropologis... ... 48
B. Dualisme Dalam Tasawuf... .... 50
BAB IV EPISTEMOLOGI PENGETAHUAN DALAM TASAWUF K.H. AHMAD ASRORI ISHAQI A. Epistemologi Tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi ... 58
1. Konsep Pengetahuan K.H. Ahmad Asrori Ishaqi... ... 61
(8)
xiv
b. Metode Mendapat Pengetahuan... ... 67
B. Konsep Dualisme Dalam Tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaq... ...69
1. Dualisme Sebagai Implikasi Ontologis... .... 69
a. Pembahasan al-Ahad dan al-Wahid ... ...71
b. Pembahasan al-Wujud dan al-Kaun ... 77
c. Alam Arwah dan Alam Jasad ... 80
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 84
B. Saran-saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 87
(9)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengamati perjalanan pemikiran umat manusia, dapat ditemukan adanya sebuah paham dualitas dalam kehidupan. Hal itu didasari oleh awal mula manusia diciptakan Tuhan, terdapat gaya saling tarik menarik dan bergerak kearah dua kutub yang saling berlawanan, yaitu negatif dan positif. Kutub pertama merepresentasi yang secara sadar menghambat gerak laju progresifitas dan melakukan perbuatan-perbuatan negatif, jahat dan melanggengkan penyelewengan dengan menegakkan tirani atas rakyat. Sedangkan yang kedua menolak arus penyelewengan tadi, yakni melawan tirani dan segala bentuk ketidakadilan yang dinilai diskriminatif demi tegaknya perdamaian, keadilan serta persaudaraan di muka bumi. Untuk dapat bertahan dalam kehidupan ini, kedua kubu pun harus baku hantam saling mengalahkan untuk menempati posisi yang paling dominan,
dan itu keyataan yang terjadi dari masa ke masa.1
Hal senada juga terjadi pada perkembangan dunia pengetahuan, di mana pengetahuan saat ini adalah upaya untuk menempatkan posisi paling dominan, dalam arti bahwa pengetahuan yang dominan selalu mengambil ruang atas pengetahuan yang lain. Sebagai contoh, tentang pengetahuan universal akan dianggap lebih ilmiah dibanding pengetahuan partikular. Pemahaman yang demikian ini nampaknya diilhami oleh pengetahuan dualisme. Paham ini
1Ali Syari‟ati,
(10)
berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan roh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari roh dan roh bukan muncul dari benda. Keduanya, sama-sama merupakan hakikat dan berdiri sendiri serta bisa diselidiki secara ontologis. Relasi
antar keduanya yang mendasari dunia.2 Pandangan semacam ini bertolak dari
paham naturalisme dan materialisme yang hanya menempatkan materi atau alam empiris saja untuk memberikan keterangan atas kenyataan.
Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat mengatakan bahwa dualisme adalah
pandangan filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang
terpisah serta tidak dapat direduksi dan unik.3 Lebih jelasnya paham dualisme
merupakan suatu cara penyingkapan hakikat suatu realitas dengan menegaskan perbedaan-perbedaan dari kualitas-kualitas mendasar di dalamnya. Perbedaan-perbedaan ini tidak dapat direduksi, sama-sama azasi, unik dan masing-masing bersifat berdiri sendiri meski secara bersamaan juga saling mengandaikan satu sama lain. Adanya pemahaman tentang jiwa dan raga, misalnya, menunjukkan dualitas yang berlaku dalam diri manusia. Begitu pula maskulinitas dan feminitas, ide dan materi, ruang dan waktu, gerak dan diam, semua itu menunjukkan adanya prinsip-prinsip yang berbeda dan bahkan saling berlawanan satu sama lain, namun prinsip-prinsip yang berlawanan itu saling membutuhkan satu sama lain, saling melengkapi dengan cara tertentu hingga pada akhirnya menjelma dan membentuk setiap realitas yang ada.
2
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 131.
3
(11)
Jika menelusuri asal muasal paham dualisme, paling tidak, akan ditemukan
dalam kajian filsafat Yunani yakni dalam filsafat Platon4 yang dikenal dengan
adanya dua prinsip utama dalam realitas, yaitu ide dan materi. Dualisme Platon menganggap bahwa salah satu dari kedua hal ini yakni ide dan materi. Keduanya merupakan benar-benar ada dan nyata adanya, sama-sama hakiki dan memiliki modus eksistensi sendiri-sendiri. Di antara dua hal yang hakiki itu tidak dapat dipungkiri bahwa salah satunya akan menempati, mengambil posisi yang paling dominan dan lebih diunggulkan. Adalah alam ide yang dianggap lebih tinggi dari alam materi dalam konteks filsafat Platon. Alam materi menurut Platon tidak lebih hanya sebatas tiruan saja dari alam ide, alam ide yang kemudian membentuk alam materi. Ide bersifat kekal, tidak berubah sedang materi selalu mengalami perubahan-perubahan. Nampak jelas dalam filsafat Platon adanya dua entitas yang berkaitan dan saling membutuhkan, yaitu dengan cara mempertahankan keduanya dan memberikan hak yang berbeda atas keduanya. Platon beranggapan bahwa tidak mungkin seandainya yang satu mengucilkan yang lain, artinya: bahwa mengakui yang satu, harus menolak yang lain. Juga tidak mungkin keduanya
berdiri sendiri tanpa membutuhkan yang lain.5
Kendati demikian diskusi tentang dualisme ternyata tidak hanya selesai dalam filsafat Platon. Kajian tentang dualisme tersebut telah mengambil perhatian banyak filosof pasca Platon, selanjutnya, kajian ini dilanjutkan oleh Rene
4
Platonn dilahirkan di Athena 428, kita menyebutnya di Indonesia dengan Platon, hal ini disebabkan oleh pemikiran filsafat yang masuk pada negara kita melalui bahasa Belanda, sedangkan kata Yunaninya adalah Pla/twn (Platonn) rasanya ini (baca: sebutan Platon dengan Platonn) lebih sesuai kalau kita melihat kata-kata turunannya Platonnisme, Platonnic, Setyo Wibowo, “Idea Platonn Sebagai Cermin Diri”, Basis, 11-12 (November-Desember, 2008), 4-5.
5
(12)
Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern, memandang terdapat dua hakikat dengan istilah dua kesadaran yaitu ruhani dan
dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode
(1637) dan Meditation de Prima Philosopia (1641),6 dalam buku ini pula
disebutkan bahwa pikiran lebih dominan dalam menentukan eksistensi seseorang
yang dituangkan melalui metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes
(metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). “Aku” yang sedang ragu ini
disebabkan oleh “aku” berpikir. Kalau begitu “aku” berpikir pasti ada dan benar.
Jika berpikir ada berarti “aku” ada sebab yang berpikir itu “aku”. Cogito ergo sum
atau “aku” berpikir maka “aku ada. Paham ini kemudian dikenal dalam filsafat
dengan aliran rasionalisme, yaitu aliran filsafat yang mengatakan bahwa sumber
pengetahuan dapat diperoleh melalui akal (reason).7 Di samping Descartes ada
juga Benedictus De Spinoza (1632-1677 M) dan Gitifried Wilhem Von Leibniz
(1646-1716 M).8 Lebih jauh, seolah Descartes mengajak untuk “mi‟raj” dari
dualisme metafisis menuju dualisme antropologis, yaitu menitik-beratkan kepada manusia sebagai pusat kajian.
Telah menjadi pemahaman bersama bahwa filsafat merupakan suatu pandangan rasional tentang segala-galanya, terlebih bagi orang-orang Yunani, oleh karena itu para filosof di kemudian hari seperti Rene Descartes, Immanuel Kant, Hegel, Edmund Huserl dan para ilmuwan seperti Newton, Einstein
6
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1980), 18. Lihat juga di Nico Syukur Dister dalam FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman (ed),
Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 56-57.
7
K. Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 45.
8
(13)
mempunyai leluhur-leluhur yang sama di negeri Yunani. Mereka meyakini bahwa merekalah yang menelorkan cara berpikir ilmiah. Mereka termasuk pendasar pertama kultur Barat, bahkan kultur sedunia, sebab cara pendekatan ilmiah semakin menjadi unsur hakiki dalam suatu kultur universal yang merangkum
semua kebudayaan di seluruh dunia.9 Dengan kata lain, tanah Yunani adalah
tempat persemaian di mana pemikiran ilmiah mulai tumbuh dan berkembang. Negeri Yunani telah melahirkan filosof seperti Platon, dimana nantinya akan menjadi referensi utama bagi filsafat Barat. Menurut hemat penulis dengan meminjam istilah Alfred Whitehead seperti yang dilansir oleh K. Bertens dalam
bukunya, Sejarah Filsafat Yunani mengatakan “All Western philosophy is but a
series footnotes to Platon “.10 Karena sampai hari ini masih berjumpa dengan
tema-tema filsafat Yunani, seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”,
“waktu”, “kebenaran”, “jiwa”, “pengenalan”, “Allah” dan “dunia”, yang semua
itu menjadi tema sentral dalam filsafat Yunani.11 Begitu juga halnya saat
memasuki dunia Timur, dalam hal ini adalah dunia pemikiran Islam dapat kita jumpai pula gagasan-gagasan para filosof muslim yang masih kental dengan aroma filsafat Platon. Salah satunya adalah Abu Bakar al-Razi (w. 925/935) filosof Muslim terkemuka setelah al-Kindi, al-Razi dianggap sebagai Platonnis Islam terbesar. Jejak dualisme Platon sangat kental dalam pemikiran filsafat al-Razi, yang menandaskan materi dan jiwa sebagai prinsip kekal yang pada dasarnya terpisah satu sama lain. Ia berpendapat bahwa jiwa dan materi dapat
9
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1999), 23.
10
Ibid., 23.
11
(14)
dipersatukan atas dorongan cinta (‘ishq), tubuh dianggapnya tidak musnah bahkan yang dalam konsep eskatologi setelah terjadinya kematian, ia kembali lebur
kedalam hakikat materi semula.12 Tidak hanya itu, al-Razi bahkan meyakini
terjadinya reinkarnasi setelah kematian. Hal ini menjadi konsekwensi logis yang
lahir dari pemikiran tentang keabadian materi.13
Setelah al-Razi, aroma filsafat Yunani kuno masih terus diperbincangkan oleh para filosof Muslim yang lain seperti, al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina dan menemukan momentunya dalam pemikiran Ibn „Arabi tentang konsep wah}dat al-wuju>d. Dalam diskursus kalam, konsep wah}dat al-wuju>d dikenal sebagai gagasan Ibn „Arabi yang paling berpengaruh, meskipun ia sendiri tidak menggunakan terminologi itu secara langsung dalam beberapa karyanya. Namun demikian,
setidaknya ada cukup alasan untuk menyebut wah}dat al-wuju>d sebagai ide
terbesar dari pemikirannya secara umum.
Annamarie Schimmel dalam bukunya Dimensi Mistik Dalam Islam
mengutip salah satu syair Ibn „Arabi, ia mengatakan bahwa :
Bilamana kasihku tampak
Dengan mata apa aku melihat Dia? Dengan matanya, bukan dengan mataku
Karena tak seorang pun melihatnya, kecuali Dia sendiri.14
12
Linda Smith & William Reaper, Ide-ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang
(Jakarta: Kanisius, 2000), 27.
13
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, cet .II, 2002), 34-39.
14
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapadi Djoko Damono, dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 337
(15)
Ungkapan Ibn „Arabi di atas, sebagaimana dapat pula dijumpai pernyataan-pernyataan serupa dalam karya-karyanya yang lain, kiranya cukup menegaskan kepada kita akan gagasan-gagasan yang mengarah pada
kemanunggalan wujud (wah}dat al-wuju>d). Tiada wujud lain kecuali Wujud-Nya
semata; maka memang menjadi niscaya apabila “tak seorang pun melihat-Nya kecuali Dia sendiri”. Cara pandang Ibn „Arabi ini menyiratkan adanya dualitas
dalam pemikirannya tentang realitas tajally al-H}aqq, di mana al-H}aqq diposisikan
sebagai subjek dan alam makhluk sebagai maz}z}ar tajally berada dalam posisi
sebagai objek. Keduanya memiliki kualitas yang berbeda dan tidak dapat direduksi satu sama lain namun saling mengandaikan, di sini nuansa
neo-Platonisme dalam cara pandang Ibn „Arabi sangat nampak.
Meskipun dualisme Platonik sangat membekas dalam pemikiran Ibn „Arabi, tetapi terdapat perbedaan yang mencolok dalam pemikiran Ibn „Arabi
yaitu ungkapannya tentang H}uwa la> H}uwa (Dia [Allah] dan sekaligus bukanlah
Dia). Ungkapan ini berhubungan dengan keberadaan makhluk dan bagaimana
hubungannya degan al-H}aqq. Ibn „Arabi menyatakan bahwa sesungguhnya pada
makhluk itu Tuhan dan sekaligus bukan Tuhan. “Dia bukan Dia”.15 Dia (H}uwa)
pada saat yang bersamaan juga sekaligus bukan Dia (La> H}uwa). Jadi terdapat
dikotomisasi subjek-objek yang larut di dalam hubungan yang unik, di mana posisi subjek dan objek menjadi sedemikian dekat bahkan tanpa jarak.
Diskursus pengetahuan puncak sufistik atau wah}dat al-wuju>d Ibn „Arabi
mendapat sambutan khusus dari Mulla Sadra. Ia mengatakan wuju>d atau
15
Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi; Wahdatul Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), 46.
(16)
eksistensi hanya milik Allah dan seluruh objek yang ada bersumber dari wuju>d
Allah tersebut. Wuju>d bagi Mulla Sadra bukanlah “genus” atau “class” dari
sesuatu dan bukan jenis universal di mana individu partikular merujuk kepadanya.
Wuju>d mencakup segala sesuatu, ia mengandaikan ketakterbatasan. Konsep
wujud ini merupakan konsep paling jelas, begitu jelasnya konsep wuju>d ini
sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas dari padanya.16
Konsep kesatuan wujud (wah}dat al-wuju>d) yang terdapat dalam pemikiran
Ibn „Arabi dan Mulla Sadra tersebut tidak bisa dijelaskan melalui penalaran rasionalitas murni seperti yang terdapat dalam konstruksi epistemologi filsafat Barat. Karena di dalam konstruksi epistemologi filsafat Barat mengandaikan adanya dikotomi subjek dan objek. Sedangkan dalam konsep kesatuan wujud (wah}dat al-wuju>d) berupaya untuk menghilangkan dikotomi tersebut. Konsep ini
hanya bisa didekati berdasarkan intuisi (dhawq) atau pengalaman mistik yang
berdasarkan olah batin-religius untuk mengetahui realitas batin dari wuju>d.17 Oleh
karena itu dualisme di dalam keduanya (filsafat Barat dan tasawuf) terdapat perbedaan yang sangat signifikan, filsafat Barat mengandaikan subjek-objek terpisah dan memiliki otonominya masing-masing, sementara dalam tasawuf relasi subjek-objek memiliki hubungan yang sangat unik dan dekat seolah tanpa jarak, atau dalam istilah lain penulis menyebutnya dualisme dalam kesatuan.
Berangkat dari dasar pemikiran di atas, yang menjadi minat penulis untuk meneliti lebih lanjut dan mendalam tentang konsep tasawuf K.H. Ahmad Asrori
Ishaqi – selanjutnya dalam tulisan ini disebut Kyai Asrori – adalah mengingat
16Faiz, “Eksistensialisme Mulla Sadra” dalam
Teosofi (Volume 3 Nomor 2, 2013), 442.
17
(17)
Kyai Asrori memiliki kedekatan secara pemikiran dengan Ibn „Arabi, seperti yang
ditulis oleh Abdul Kadir Riyadi dalam bukunya Antropologi Tasawuf; Wacana
Manusia Spiritual dan Pengetahuan dalam bab penutup menguraikan dengan
jelas bahwa Kyai Asrori menulis kitab al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyah
wa S{ilati al-Ru>hiyyah yang dapat diklasifikasikan dalam genre tasawuf falsafi.
Kyai Asrori sendiri adalah seorang ulama‟ kharismatik dan mursyid Thariqat
Qodiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di Kedinding Lor, Surabaya. Dalam kitab
tersebut ia mengawali tentang pembahasan tentang al-Nu>r al-Muh}ammadi
(Cahaya Muhammad) yang mengulas tentang hakikat kedirian Nabi Muhammad sekaligus menegaskan bahwa kenabian merupakan aspek dari puncak keparipurnaan manusia. Sementara kedirian nabi Muhammad adalah cahaya, dan
cahaya adalah hal pertama yang diciptakan oleh Tuhan.18 Selanjutnya Kyai Asrori
mengulas tentang dimensi lahiriyah nabi Muhammad. Ia menyebutnya dengan
istilah al-Su>rah al-Muh}ammadiyyah. Istilah ini tidak bermaksud untuk
menguraikan dimensi fisik, melainkan hakekat dari luar yaitu ilmu dan akal. Keduanya saling mengisi dan mempunyai hubungan yang sinergis antara satu
dengan yang lain.19
Kyai Asrori sebagai mursyid Tarekat, dengan memiliki kedekatan pemikiran kepada Ibn „Arabi tentu hal yang tidak lazim dikalangan pengikut Thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) dan menarik untuk dikaji lebih mendalam untuk digali pesan-pesan moral yang hendak disampaikan kepada
18
Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf; Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 2014). 280.
19
(18)
pengikut Thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) mengingat tarekat yang berkembang di Indonesia adalah tasawuf sunni yang lebih menekankan kepada aspek-aspek spiritual belaka dan kurang memberi ruang kepada akal, untuk
mencapai pengetahuan tertinggi yaitu ma’rifah billa>h. Dalam pada itu, penulis
dalam skripsi ini mengambil judul Epistemologi Tasawuf dalam Kitab
al-Muntakhaba>tu fi Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah Karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi dalam upaya turut meramaikan khazanah keilmuan filsafat dan tasawuf.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Maksud dari identifikasi masalah ini untuk mengantarkan pada batasan masalah yang akan ditulis dalam penelitian ini sehingga perbedaan dengan kajian sebelumnya akan tampak. Sebagai sebuah studi kepustakaan, penelitian ini difokuskan pada pertautan dualisme dalam filsafat dan tasawuf. Sedang objek kajian dalam penelitian ini adalah epistemologi dalam tasawuf Kyai Asrori
Al-Ishaqi dengan mengacu pada sumber primer kitab al-Muntakhaba>tfi Rabi>t}ati
al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah yang ditulis langsung oleh Kyai Asrori
menjelang akhir hayatnya.
Dalam rangka menghindari melebarnya pembahasan dalam penelitian ini, penulis akan membatasi masalah dengan hanya menjelaskan epistemologi pengetahuan dan dualisme dalam pemikiran tasawuf Kyai Asrori.
(19)
C. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan identifikasi dan batasan masalah di atas, dan supaya penulisan skripsi ini terarah, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana epistemologi pengetahuan dalam tasawuf K.H. Ahmad Asrori
Ishaqi?
2. Bagaimana konsep dualisme sebagai implikasi ontologis dalam tasawuf K.H.
Ahmad Asrori Ishaqi? D. Penegasan Judul
Judul penelitian ini tersusun dari beberapa istilah yang pengertian-pengertiannya perlu didefinisikan untuk menjadi pedoman dan menghindari kerancuan dalam pembahasan lebih lanjut. Untuk memberikan gambaran lebih jelas mengenai judul tersebut kiranya penulis perlu menjelaskan dan menegaskan arti dari istilah-istilah tersebut sebagaimana berikut:
1. Dualisme merupakan pandangan filosofis yang megaskan eksistensi dari dua
bidang (dunia) yang terpisah, tidak dapat di reduksi, unik. Contoh: Adikodrati/Kodrati. Allah/Alam Semesta. Roh/Materi. Jiwa/Badan. Dunia yang kelihatan/Dunia yang tidak kelihatan. Dunia inderawi/Dunia intelektual. Substansi yang berpikir/Substansi material. Realitas aktual/Realitas
kemungkinan. Dunia noumenal/Dunia fenomenal. Kekuatan
kebaikan/Kekuatan kejahatan. Alam semesta dapat dijelaskan dengan kedua
bidang (dunia) itu.20
20
(20)
2. Epistemologi berasal dari kata Yunani episteme (pengetahuan, ilmu
pengrtahuan) dan logos (pengetahuan, informasi). Dapat dikatakan,
pengetahuan tentang pengetahuan. Adakalanya disebut “teori pengetahuan”.21 Epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Epistemologi juga bermaksud secara kritis menkaji
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari
dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Epistemologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Maka, epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan,
sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan,
kebenarannya atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjwabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukur, dan dalam hal ini tolok ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi (seperti dibuat oleh psikologi kognitif), tetapi perlu membuat penentuan mana yang betul dan mana yang keliru berdasarkan norma epistemik. Sedangkan kritis berarti
21
(21)
banyak mempertaanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Yang di pertanyakan adalah baik asumsi-asumsi, cara kerja atau pendekatan yang diambil, maupun kesimpulan yang ditarik dalam
pelbagai kegiatan kognitif manusia.22
3. KH. Ahmad Asrori Ishaqi adalah seorang mursyid Tarekat Qodiriyah wa
Naqsabandiyah (TQN) di Kedinding Lor, Surabaya. Ia dilahirkan di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1951. Ia putra keempat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya bernama KH. Muhammad Usman al-Ishaqi dan ibunya bernama Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH. Munadi. Jika dirunut, KH. Asrori
bersambung dengan Nabi Muhammad saw pada urutan ke-38.23 Sebagai
mursyid tarekat Kyai Asrori bisa dibilang sangat berpengaruh dan kharismatik, hal itu karena Kyai Asrori sikapnya yang netral dan non-partisan terhadap kelompok agama tertentu ataupun terhadap partai politik tertentu, pada akhirnya membuatnya disegani oleh berbagai kalangan masyarakat dari strata sosial dan kelompok yang berbeda-beda. Kyai Asrori meninggal pada tahun 2009, tepatnya pada hari selasa pagi tanggal 18 agustus bertepatan dengan tanggal 26 Sya‟ban 1430 H. Ia banyak meninggalkan karya, salah
satunya adalah kitab Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati Qalbiyyah wa S{ilati
al-Ru>hiyyah yang ditulis menjelang akhir hayatnya, sampai hari ini kitab
tersebut masih dikaji oleh pengikut TQN.24
22
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Penegtahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18-19.
23Rosidi, “Konsep Maqa>ma>t
dalam Tradisi Sufistik KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy” dalam
Teosofi (Volume 4, Nomor 1, Juni 2014), 31.
24
(22)
Dengan uraian di atas dan untuk kepentingan penulisan skripsi ini, penulis berusaha untuk mendeskripsikan tentang epistemologi pengetahuan dan konsep dualisme sebagai imlikasi ontologis dalam tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi. E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan pokok penelitian yang dilakukan ini adalah untuk mencari dan menemukan jawaban deskriptif-interpretatif berdasarkan sumber-sumber yang ada terhadap pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam dua butir rumusan masalah. Untuk lebih jelasnya, tujuan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan konsep epistemologi pengetahuan dalam pemikiran
tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
2. Untuk mendeskripsikan konsep dualisme sebagai implikasi ontologis dalam
tasawuf Kyai K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk mengisi ruang-ruang kosong dan
memberikan khazanah pemikiran bagi masyarakat akademis di lingkungan
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Fakultas Ushuluddin khususnya, maupun masyarakat umum dalam memahami pemikiran epistemologi pengetahuan dan dualisme tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
2. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk memperoleh identifikasi yang
jelas mengenai epistemologi pengetahuan dan dualisme tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
(23)
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang epistemologi pengetahuan dan konsep dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori ini, sejauh pengamatan penulis, boleh dibilang masih langka. Namun demikian, ada beberapa penelitian sebelumnya tentang Kyai Asrori yang masih relevan dengan penelitian ini dan layak disebut di sini, yaitu:
1. Skripsi berjudul “Analisis Materi Dakwah KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi Tentang Ikhlas”, di susun oleh Khasan Sandili pada tahun 2014 diajukan di Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang. Penelitian ini difokuskan pada masalah tentang konsep ikhlas menurut Kyai Asrori dan relevansinya dalam dakwah di era sekarang ini. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa ikhlas merupakan satu kesatuan antara taufiq, t}a’at,
kesungguhan hati, dan s}abar. Apabila seseorang bisa melakukan itu semua,
maka itulah yang di sebut ibadah murni (ikhlas). Adapun relevansinya dalam dakwah di era sekarang ialah sebagai jembatan untuk di ambil nilai-nilai dakwahnya dalam memahami kembali betapa pentingnya nilai ikhlas, karena
dalam konsep dakwah tersebut terdapat materi tentang muh}asabah, di situlah
kadar keikhlasan seseorang di uji, sejauh mana perbuatan atau amalan-amalan seseorang benar-bemar bisa ikhlas semata-mata karena Allah. Dalam penelitian ini sama sekali tidak membahas tentang konsep dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori.
2. Skripsi berjudul “Metode Ceramah KH. Asrori Al-Ishaqi dalam Berdakwah tentang “Hakekat Dzikir” seri 1-5”, di susun oleh Irna Murniati pada tahun 2012 diajukan di Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi Penyiran Islam (KPI)
(24)
IAIN Walisongo Semarang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode ceramah yang di gunakan oleh KH. Asrori Al-Ishaqi adalah metode ceramah
yang berdasar pada realita kehidupan mad’u dengan tujuan untuk membuka
wacana dan pemahaman mad’u tentang perbuatan yang selama ini telah di
lakukan sekaligus untuk memahami hakekat dan fungsi dzikir dalam kehidupan mereka. Keberhasilan metode ceramah sebagai proses dakwah KH. Asrori Al-Ishaqi dalam tinjauan komunikasi disebabkan oleh adanya
kesahajaan dalam berkomunikasi serta keteladanan pribadi da>’i dalam diri
KH. Asrori Al-Ishaqi. Hal ini dalam konteks komunikasi berarti telah terpenuhinya aspek-aspek komunikator yang memahami kondisi komunikan sehingga mampu memberikan materi berupa informasi yang berhubungan erat dengan keadaan dan kebutuhan perubahan dalam diri dan kehidupan komunikan. Penelitian ini juga tidak membahas konsep dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori.
3. Tesis berjudul “Pemikiran KH. Achmad Asrori Ishaqi (Studi Atas Pola
Pengembangan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Usmaniyah
Surabaya)”, yang di susun oleh R. Achmad Masduki Rifat pada tahun 2011 diajukan pada Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. Penelitian ini di fokuskan pada pemikiran tasawuf KH. Asrori Ishaqi secara umum dan pola pengembangan tarekat yang ia pimpin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran tasawuf Kyai Asrori tidak terlalu jauh berbeda dengan para pendahulunya, akan tetapi ia hanya sekedar menegaskan apa yang pernah di sampaikan ulama‟ s}ufiyyah terdahulu. Dalam hal ini adalah Ghazali,
(25)
al-Thusi, al-Sakandary dan beberapa ulama‟ s}ufiyyah lain yang berhaluan sunni. Namun, yang menjadi titik tekan dalam penelitian adalah pola penataan organisasi tarekatnya yang menggabungkan antara sistem klasik dan modern.
Kyai Asrori mengikuti pengembangan ala neo-sufisme yang di gagas oleh
Fazlurrahman, yang di tandai oleh kecenderungannya dalam mengembangkan organisasi tarekat secara modern, rasional dan moderat. Penelitian ini juga tidak mengupas konsep dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori.
4. Artikel berjudul “Konsep Maqa>ma>t Dalam Tradisi Sufistik KH. Ahmad
Asrori Al-Ishaqi” di tulis oleh Rosidi dalam Teosofi: Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam, Volume 4, Nomor 1, Juni 2014. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa menurut Kyai Asrori seorang sa>lik yang menempuh
pendakian maq>ama>t tidak harus melakukannya secara berurutan seperti
kebanyakan para sufi memahami. Seorang sa>lik boleh memilih maqa>m apa
yang mampu di lakukannya, karena hal ini merupakan ekspresi subjektif atau
kondisi kebatinan para sufi/sa>lik yang menempuh pendakin maqa>ma>t. Dalam
artikel ini juga tidak membahas soal dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori. Selain beberapa penelitian tersebut di atas, ada pula penelitian lain yang membahas dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori, menurut hemat penulis, penelitian tersebut sangat membantu dan mempermudah memetakan konsep dualisme tasawuf Kyai Asrori. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tesis berjudul “Dualisme Dalam Kesatuan Untuk Mencapi Ma‟rifat Perspektif KH. Ahmad Asrori Ishaqi”, yang di susun oleh Muhammad Rahmatullah pada tahun 2015 diajukan pada Program Pascasarjana UIN
(26)
Sunan Ampel Surabaya. Penelitian ini fokus kepada konsep dualisme dalam kesatuan dan metode mencapai ma‟rifat menurut Kyai Asrori. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep dualisme dalam kesatuan mencapai ma‟rifat menurut Kyai Asrori terdapat dalam konsep tentang tuhan, melalui
al-Ah}ad dan al-Wah}i>d serta al-Wuju>d dan al-Kaun. Ia menyatakan bahwa al-Wujud adalah tidak ada wujud selain wujud Allah Swt, sehingga wujud
semua makhluk itu masuk dalam wujudnya Allah. Sedang, al-Kaun segala
yang ada dan yang akan ada yang telah ditakdirkan dan diketahui oleh Allah.
Sementara al-Ah}ad adalah bahwa Allah adalah Esa dalam Dzatnya, sebelum
penampakan Asma>’-Asma>’ dan sifat-sifat Allah. Sedangkan al-Wah}i>d adalah
Esa dalam Asma>’-Asma>’ dan sifat-sifat Allah setelah penampakan Asma’ dan
sifat Allah pada makhluknya. Namun, pada penelitian ini tidak mengupas tentang epistemologi pengetahuan dalam tasawuf Kyai Asrori. Dari sini penulis merasa perlu untuk meneliti lebih jauh konsep atau epistemologi pengetahuan dan dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori secara sepesifik dalam upaya untuk menemukan makna terdalam dari konsep dualisme dari sudut pandang tasawuf Kyai Asrori.
2. Buku berjudul “Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia Spritual dan Pengetahuan” yang di tulis oleh Abdul Kadir Riyadi pada tahun 2015. Buku ini juga membahas beberapa pokok permasalahan tentang Kyai Asrori,
terutama tentang kitab al-Muntakhaba>t karya Kyai Asrori sendiri. Namun,
buku ini tidak begitu fokus membahas tentang Kyai Asrori, tetapi lebih banyak membahas tokoh-tokoh tasawuf terkemuka. Lebih tepatnya yaitu
(27)
tokoh-tokoh tasawuf falsafi, seperti Ibn‟ Arabi, Mulla Sadra dll. Tentu penulis buku tersebut bukan secara kebetulan mencantumkan Kyai Asrori dalam tulisannya, menurut hemat penulis, karena Kyai Asrori, jika di tinjau dari
kitab al-Muntakhaba>t akan tampak pikiran-pikiran filosofisnya dalam dunia
tasawuf. G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah proses “menghimpun data
dari berbagai literature, baik di perpustakaan maupun di tempat-tempat lain”.
Lebih dari itu, yang dimaksud literatur bukan hanya buku-buku yang relevan dengan topik penelitian, melainkan juga berupa bahan-bahan dokumen
tertulis lainnya, seperti majalah-majalah, koran-koran dan lain-lain.25
Penggunaan jenis penelitian kepustakaan didasarkan atas
pertimbangan bahwa, dokumen-dokumen yang berhasil digali dan dikumpulkan dapat menjadi subjek yang mampu mendefinisikan dirinya sendiri, lingkungan, dan situasi yang dihadapinya pada suatu saat serta
tindakan-tindakan subjek itu sendiri.26 Dalam konteks yang lain,
dokumen-dokumen yang terpublikasikan dipahami dapat memberikan gambaran tentang potret dan dinamika studi Islam yang selama ini berkembang. Secara praksis, penelitian ini diarahkan untuk menggali dokumen-dokumen atau
25
Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogjakarta: Universitas Gajah Mada Press, 1995), 30.
26
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Rosda Karya, 2002), 195.
(28)
teks-teks yang dipublikasikan secara luas berkenaan dengan epistemologi pengetahuan dan dualisme tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
2. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian disebut juga sebagai sumber yang tertulis atau
sumber di luar kata dan tindakan.27 Sumber utama penelitian ini digali dari
karya otoritatif yang ditulis oleh K.H. Ahmad Asrori Ishaqi yaitu kitab
al-Muntakhaba>t.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan merupakan proses pengadaan data penelitian atau ”prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan”.28
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumenter, yaitu pengumpulan data dari dokumen-dokumen yang ada, dan pada tahap selanjutnya diakumulasi dan dikompilasi dengan tujuan menyusun dokumen-dokumen secara deskriptif-interprtatif.
4. Metode Analisa Data
Data yang berhasil dikumpulan dan telah diuji, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif-interpretatif. Metode analisa deskriptif dapat dinyatakan sebagai istilah umum yang mencakup berbagai
teknik deskriptif, yaitu penyelidikan yang menuturkan, menganalisa, dan
mengklasifikasi data yang diperoleh. Pelaksanaan metode-metode deskriptif
27
J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 113.
28
(29)
tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi
meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data tersebut.29 Dalam
pelaksanannya, penelitian ini menggunakan dua tahapan Pertama,
menemukan dan mengkoding data-data seadanya (fact finding) yang
mengemukakan hubungan satu dengan yang lain didalam aspek-aspek yang
diselidiki. Kedua, melakukan analisis dan interpretasi guna memecahkan
masalah dengan membandingkan persamaan dan perbedaan gejala yang ditemukan, mengukur dimensi suatu gejala, menetapkan standar, menetapkan hubungan antara gelaja-gejala yang ditemukan antara satu dengan yang lain.
Secara praktis, teknik analisa data dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: data-data yang diperoleh dikatagorisasi melalui pencatatan data yang digunakan peneliti dalam upaya mempermudah katagorisasi data berdasarkan pada fokus penelitian. Setelah katagorisasi data dilakukan, teknik analisa dilanjutkan dengan membuat narasi deskriptif dan interpretasi atas data. Pada tahapan ini, analisa data menguraikan secara deskriptif-interpretatif tentang epistemologi pengetahuan dan dualisme tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
H. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, penegasan judul, tujuan dan
29
Winarno Surakhmat, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Transito, 1990), 139.
(30)
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, akan di uraikan tentang diskursus dualisme pengetahuan yang meliputi dualisme dalam filsafat dan tasawuf.
Bab ketiga, akan di paparkan mengenai biografi dan karya pemikiran K.H. Ahmad Asrori Ishaqi yang meliputi kelahiran, latar belakang pendidikan, karya-karya.
Bab keempat, akan di deskripsikan tentang epistemologi pengetahuan menurut K.H. Ahmad Asrori Ishaqi yang meliputi konsep pengetahuan menurut Kyai Asrori, konsep dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori.
Bab kelima, berisi penutup yang diharapkan kepada penyampaian akhir dari data-data yang telah ditemukan pada bab-bab sebelumnya guna menjawab fokus kajian yang telah ditentukan dalam penelitian skripsi ini.
(31)
23
BAB II
BIOGRAFI DAN KARYA PEMIKIRAN K.H. AHMAD ASRORI
ISHAQI
A.Biografi K.H. Ahmad Asrori Ishaqi
Nama lengkapnya adalah Ahmad Asrori bin Utsman al-Ishaqi. Ia
merupakan putra dari pasangan K.H. Ustman al-Ishaqi1 dengan Nyai Hj. Siti
Qomariyah. Ia di lahirkan pada tanggal 17 Agustus 1951 di Sawahpulo, yaitu suatu kampung yang terletak kurang lebih 1 kilometer arah utara Masjid/Makam Sunan Ampel Surabaya atau kira-kira 1 kilometer sebelah selatan Komando Armada Timur (Koarmatim) Surabaya. Ada beberapa versi lain terkait tanggal kelahiran Kyai Asrori, yaitu di antaranya seperti yang tertera di KTP yang dikeluarkan oleh Kecamatan Semampir Surabaya tahun 1991. Di sana tertulis bahwa tanggal kelahiran Kyai Asrori adalah 20 Nopember 1951. Sedang pada
KTP yang lain tertulis 1 Juni 1951.2
1
Pendiri dan pemrakarsa berdirinya Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah (TQN) Kemursyidan Surabaya, yang pada saat ini lebih dikenal dengan TQN Al-Usmaniyah adalah Kyai Usman Al-Ishaqi. Di bawah kepemimpinannya, tarekat ini berkembang luas tidak hanya di Jawa dan Madura saja, tetapi juga telah merambah Singapura dan Malaysia. Ia dilahirkan di Jatipurwo (Sawahpulo) pada bulan Jumada al-Akhir tahun 1344 Hijriyah. Nama al-Ishaqi dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, Sunan Giri, karena KH. Utsman Al-Ishaqi masih keturunan Sunan Giri. Almarhum Kyai Utsman Al-Ishaqi adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta‟in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Selengkapnya lihat, Haji Abdul Ghoffar Umar, al-Lu’lu’u wa al-Marja>n fi Mana>qibi Shaikh Muh}ammad ‘Ustman (Gresik: tnp, 1984), 4. Lihat juga dalam, Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), 181-182.
2 Rosidi, “Konsep
Maqa>ma>t dalam Tradisi Sufistik K.H. Ahmad Asrori al-Ishaqy”, dalam Teosofi, (Volume 3, No. 1, 2014). 31.
(32)
Kyai Asrori adalah putra keempat dari sepuluh bersaudara. Beberapa sumber menjelaskan bahwa Kyai Asrori merupakan keturunan dari Shaikh Maulana Ishaq atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Giri yang ke-15, sekaligus juga secara geneologis nasabnya dari Rasulullah SAW. Berada pada
urutan yang ke-38.3
Tidak sebagaimana saudara-saudaranya yang masih tinggal di sekitar pondok pesantren Roudlatul Muta‟allimin, ia justru memilih kampung Kedinding Lor kecamatan Kenjeran Kota Surabaya untuk menjadi tempat tinggalnya. Di kampung yang berada di sebelah timur sungai Kali Kedinding ini, Kyai Asrori kemudian mendirikan pondok pesantren yang diberi nama „Al-Fithrah‟ yang berarti kesucian asal.
Kompleks Pondok Pesantren al-Fithrah menempati areal tanah yang sangat luas untuk ukuran Surabaya. Masjid sebagai pusat kegiatan pondok pesantren dan tarekat berada di tengah-tengah. Di belakang masjid ada rumah pengasuh, Kyai Asrori sekeluarga, tempat Pisowanan yang cukup luas, kompleks asrama pesantren perempuan dan beberapa kamar tamu yang diperuntukkan kepada para pengamal tarekat yang tinggal cukup jauh dari Surabaya, khususnya yang berasal dari Singapura dan Malaysia. Kamar-kamar ini tergolong mewah dan sangat
3
Silsilah keturunan ini dapat dilihat sebagai berikut: Ahmad Asrori Ishaqi – Muhammad Usman Ishaqi – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim al-Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin al-Akbar al-Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Ubaidilillah – Ahmad al-Muhajir – Isa al-Naqib al-Rumi – Muhammad al-Naqib – Ali al-Uraidli – Ja‟far al-Shadiq – Muhammad al-Baqir – Ali Zainal Abidin – Husain bin Ali – Ali bin Abi Thalib / Fatimah binti Rasulullah Saw. Lihat., (http://kuliexim.blogspot.com/2011/11/tentang-syekh-asrori-bin-utsman-al.html.) diakses pada 24 Mei 2016 pukul 13.32 WIB.
(33)
bersih sebagai wujud penghormatan Kyai Asrori kepada mereka yang juga sangat menghormatinya ketika Kyai Asrori sedang ada kegiatan tarekat di Luar Negeri.
Di sebelah selatan Masjid, berdiri tegak kompleks asrama Pesantren
laki-laki, kantor pusat pondok pesantren, tempat wudhu‟ yang sangat luas dan koperasi
kecil yang melayani kebutuhan santri secara internal. Sementara di Sebelah timur masjid, terdapat bangunan yang cukup panjang yang digunakan sebagai Madrasah Tsanawiyah di siang hari dan di malam hari digunakan untuk Madrasah Diniyah. Madrasah ini juga digunakan sebagai tempat transit bagi para pengamal tarekat yang berjumlah ribuan yang berasal dari Jawa Tengah ketika ada kegiatan-kegiatan ketarekatan di Kedinding Lor.
Sedangkan di sebelah utara masjid ada sebuah kantor kecil dan koperasi pondok pesantren yang bersifat eksternal yang melayani masyarakat luas. Di koperasi ini dijual berbagai kebutuhan sehari-hari para santri dan masayarakat sekitarnya. Khusus pada hari Minggu, di belakang koperasi ada toko kecil dan bersifat terbuka yang hanya buka mulai ba‟da shalat dhuhur sampai masuk shalat ashar yang menjual berbagai kaset dan VCD yang berisi rekaman ceramah-ceramah agama yang disampaikan oleh Kyai Asrori dan rekaman berbagai kegiatan tarekat seperti istighasah, manaqiban, haul Akbar Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan lain-lain. Di situ juga disediakan buku-buku pedoman amalan-amalan tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah al-Utsmaniyah, kalender yang berisi kegiatan Kyai Asrori dan kegiatan tarekat pada umumnya selama satu tahun ke depan, silsilah keturunan Kyai Utsman sampai kepada Rasulullah SAW, dan foto-foto K.H. Ahmad Asrori dan para tokoh ulama terkemuka. Semua media
(34)
informasi tersebut baik cetak maupun elektronik memiliki label Al-Khidmah, suatu organisasi yang dibuat Yayasan pondok pesantren Al-Fithrah yang berfungsi mewadahi dan membantu terselenggaranya segala kegiatan tarekat dan kepentingan para pengamal tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah al-Utsmaniyah.
Saat masih muda tanda-tanda ketokohan Kyai Asrori telah nampak. Setelah menimba ilmu dibeberapa pesantren yang tersebar di Nusantara, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kyai Asrori muda melakukan dakwahnya kepada anak-anak atau pemuda jalanan. Meskipun dalam skala yang lebih kecil, sekilas metode dakwah semacam ini sangatlah unik karena mirip dengan metode dakwah yang pernah dilakukan oleh Wali Songo, yakni mengakulturasikan budaya Islam dengan budaya setempat yang telah mengakar kuat di tengah masyarakat. Mereka tidak langsung membabat habis budaya lokal yang kala itu bisa dibilang “tidak Islami” seperti wayangan, gendingan, gendorenan, dan lain sebagainya. Budaya-budaya lokal tersebut justru dijadikan sebagai medium pendekatan untuk melakukan Islamisasi terhadap masyarakat pribumi. Alhasil, pada perkembangan berikutnya Islam tersebar luas di seantero Nusantara.
Kyai Asrori dengan mengikuti hobi anak-anak jalanan seperti bermain
musik, nongkrong, dan sebaginya, melalui jalur itulah Kyai Asrori
mentransformasi pengetahuannya yang diselipkan melalui obrolan-obrolan ringan saat berkumpul. Nampak jelas Kyai Asrori dalam berdakwah mencoba untuk mendekati secara psikologis pemuda jalanan. Sehingga setelah timbul ketertarikan
(35)
dalam diri mereka, secara psikologis mereka tentu juga akan lebih siap untuk menerima hal-hal baru yang lebih bermanfaat.
Seiring berjalannya waktu, semakin lama semakin banyak pula pemuda yang tertarik dengan metode atau konsep yang dilakukan oleh Kyai Asrori, hingga
pada akhirnya, Kyai Asrori mengajak mereka untuk mengadakan majelis mana>qib
dan pengajian di Gresik, Jawa Timur. Majelis yang pertama kali ini dilaksanakan di kampung Bedilan, yang di kemudian hari dilaksanakan secara rutin pada setiap
bulannya ditempat tersebut. Majelis ini diisi dengan pembacaan mana>qib shaikh
„Abd Qadir al-Jilani, pembacaan mawlid dan tanya jawab seputar masalah-masalah kegamaan. Pada awalnya, majelis ini diberi nama jemaah KACA, akronim dari Karunia Cahaya Agung. Namun agar lebih familiar, Kyai Asrori menyebut anggota jemaah KACA dengan sebutan “orong-orong”. Secara harfiah, Orong-orong adalah hewan melata yang biasa keluar tengah malam. Secara filosofis, pemberian nama semacam itu disesuaikan dengan anggota jemaah yang rata-rata sebelumnya memiliki kebiasaan keluar pada waktu malam hari. Dalam perkembangannya, nama orong-orong ini di kemudian hari menjadi lebih populer dibandingkan dengan nama KACA. Pun jemaah orong-orong ini pulalah yang
bermetamorfosis dan menjadi embrio kelahiran jemaah al-Khidmah.4
Telah menjadi pemandangan umum bahwa Kyai Asrori muda adalah sosok Kyai yang kharismatik, santun dan netral serta sikapnya yang non-partisan terhadap kelompok keagamaan tertentu atau partai politik tertentu. Sikap moderat Kyai Asrori inilah yang membuat ia disegani oleh berbagai kalangan masyarakat
4Rosidi, “Konsep
(36)
dari strata sosial dan kelompok yang berbeda-beda. Majelis-majelis yang didirikannya bersifat inklusif dan terbuka bagi siapapun serta kelompok apapun. Karena tidak adanya kesan ekslusivisme ini, tidak mengherankan jika majelis-majelis yang dipimpinnya, para pejabat sipil, maupun pemerintahan yang natabenenya mempunyai padangan keaagamaan atau politik yang berbeda-beda seringkali terlihat harmonis serta mau duduk bersama dalam sebuah majelis.
Pada tahun 1989, Kyai Asrori menikah dengan Moethia Setjawati. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua orang putra dan dan tiga orang putri. Secara berurutan dari yang paling sulung, mereka adalah Siera an-Nadia, Saviera es-Salafia, Mohammad Ayn el-Yaqin, Mohammad Nur el-Yaqin, dan Sheila
ash-Shabarina.5 Kyai Asrori wafat pada usia 58 tahun. Ia wafat pada tahun 2009,
tepatnya hari Selasa, 18 Agustus 2009 bertepatan dengan tanggal 26 Sya‟ban 1430
H. Dalam usia 58 tahun, setelah menderita sakit sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Ia dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah pada
pukul 10.30 WIB sebagaimana dilansir oleh media online detik.com yang dimuat
pada hari selasa, 18 Agustus 2009. Ia meninggal dunia karena sakit komplikasi.
Sebelum meninggal, dia juga masih sempat menjalani operasi dan chek up di
Singapura.6
Pada bulan itu, Kyai Asrori masih sempat memimpin Haul Akbar di Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah dengan menggunakan tabung oksigen sebagai alat bantu pernapasan yang disediakan oleh seorang dokter pribadinya dan
5Rosidi, “Konsep
Maqamat dalam., 33.
6
http://teguhrahardjo-st.blogspot.com/2011/07/kh.achmad-asrori-ishaqi.html. (diakses pada diakses pada 24 Mei 2016 pukul 13.32 WIB).
(37)
diletakkan disampingnya. Selama menderita sakit berkepanjangan, Kyai Asrori tetap istiqamah dalam menghadiri majelis-majelis zikir yang telah puluhan tahun ia bina diberbagai daerah. Hal ini menunjukkan kegigihan Kyai Asrori dalam
menyiarkan amalan-amalan para ulama al-Salaf al-S{alih. Hal itu sekaligus
merupakan wujud nyata kecintaannya kepada para jemaahnya. Haul pada 2009 silam di Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah tersebut menjadi kebersamaanya
yang terakhir kali bersama ratusan ribu santri dan jemaahnya.7
Meninggalnya Kyai Asrori merupakan kedukaan yang sangat mendalam bagi para murid Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang ia pimpin dan telah tersebar hampir diseluruh Indonesia dan beberapa negara di Asia tenggara. Meninggalnya Mursyid Tarekat yang ramah ini sekaligus meninggalkan kesedihan yang tiada tara bagi para pecinta dan pengagumnya yang tergabung dalam Organisasi jemaah al-Khidmah yang dibentuknya sejak 2005 silam.
B.Pendikan dan Geneologi Keilmuan K.H. Ahmad Asrori Ishaqi
Sejak masa kanak-kanak, Kyai Asrori hidup dalam lingkungan Pesantren. Ayah Kyai Asrori, K.H. Utsman al-Ishaqi adalah merupakan pendiri dan pengasuh
Pesantren Raudlotul Muta‟allimin Jatipurwo Semampir Surabaya.
Kyai Asrori belajar dasar-dasar agama dari sang ayah. Sejak anak-anak, kecerdasan Kyai Asrori al-Ishaqi memang sudah nampak. Kyai Asrori dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (Islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kyai Asrori melanglang buana ke berbagai pesantren terkenal di Jawa pada saat itu. Dapat dikatakan, Kyai Asrori termasuk dari sekian santri
7Rosidi, “Konsep
(38)
yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “luruh ilmu kanti lelaku” (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau santri kelana.
Pada usia 15 tahun, oleh ayahnya Kyai Asrori diminta untuk belajar di Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang. Pesantren ini yang didirikan oleh K.H.
Romli Tamim. Dipesantren ini juga K.H. Ustman al-Ishaqi nyantri (menjadi
santri) bahkan menjadi salah satu murid kesanyangan dari K.H. Romli Tamim.8
Di Pesantren ini Kyai Asrori tidak mau diperlakukan secara istimewa, ia ingin menjadi santri biasa dan ingin diperlakukan seperti santri-santri yang lain. Hal
inilah yang awalnya menjadi alasan Kyai Asrori tidak mau nyantri di Pesantren
Darul Ulum Jombang. Akan tetapi, dengan desakan dan permintaan dari ayahnya
akhirnya Kyai Asrori menjadi santri di Pondok Pesantren ini.9
Selama menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Ulum, K.H. Ahmad Asrori sangat tekun atau rajin belajar, dan berada di barisan paling depan ketika ngaji kepada K.H. Romli Tamim. Kendati demikian, K.H. Ahmad Asrori menetap
di Pondok Pesantren ini hanya satu bulan.10 Setelah dari Pondok Pesantren Darul
Ulum, Kyai Asrori melanjutkan perjalanan intelektualnya di Pondok Pesantren Bendo Pare Kediri di bawah asuhan K.H. Hayatul Maki. Akan tetapi Kyai Asrori
8
K.H. Romli Tamim pada saat itu merupakan seorang Mursyid terkemuka Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah terkemuka di Jawa Timur. Di tangannya tarekat ini mengalami puncak keemasan. Pengaruhnya tidak terbatas hanya wilayah Jombang dan sekitarnya, akan tetapi juga meliputi wilayah-wilayah pesisir utara pulau Jawa dan pulau Madura.
9Muhammad Rahmatullah, “Dualisme Dalam Mencapai Ma‟
rifat Perspektif K.H Ahmad Asrori Ishaqi”, Tesis, (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015) 62.
10
(39)
juga tidak bertahan lama di Pondok Pesantren ini. Di Pondok Pesantren ini, ia
hanya belajar kurang lebih selama satu tahun.11
Selepas menjadi santri di Pondok Pesantren K.H. Hayatul Maki, Kyai Asrori melanjutkan belajarnya ke Pondok Pesantren al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan K.H. Ali Ma‟shum.12
Di pesantren ini, Kyai Asrori hanya selama beberapa bulan saja. Selanjutnya, ia belajar di salah satu pesantren
di desa Buntet, Cirebon yang diasuh oleh K.H. Abdullah Abbas.13 Di Pesantren
ini, Kyai Asrori hanya belajar selama setengah tahun. Setelah belajar dipelbagai Pondok Pesantren, akhirnya Kyai Asrori mengakhiri perjalanan intelektualnya, dan kembali belajar kepada ayahnya, K.H. Ustman al-Ishaqi di Pondok Pesantren Raudlatul Muta‟allimin Surabaya. Adapun geneologi keilmuan K.H. Ahmad Asrori al-Ishaqi adalah sebagai berikut:
11
Ibid, 62.
12 K.H. Ali Ma‟sum adalah putra pertama dari pasangan K.H. Ma‟sum dengan Nyai Hj.
Nuriyah pada tanggal 02 Maret 1915 di Desa Soditan Lasem Kabupaten Rembang. Selengkapnya baca, A. Zuhdi Mukhdlor, K.H. Ali Ma’sum: Perjuangan dan Pemikiran -Pemikirannya (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989), 6-7.
13
K.H. Abdullah Abbas lahir di Buntet Cirebon, Jawa Barat, 7 Maret 1922 adalah seorang ulama besar di Jawa BaratPengasuh Pondok Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat, pernah menjabat Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dikenal sebagai satu di antara lima ulama kharismatik Jawa Barat.
(40)
Shaikh Abdul Qadir al-Jailani Shaikh Ibn „Arabi
Hujjatu al-Islam Imam al-Ghazali Shaikh Abu Qasim Janaid
al-Baghdadi
Shaikh Ibn Athaillah al-Sakandari Imam Suhrawardi
Shaikh Nawawi al-Bantani
Shaikh Mahfud Tarmasi
K.H. Hasyim Asy‟ari K.H. Hayatul Maki (Bendo Pare Kediri)
K.H. Musta‟in Romli
K.H. Ahmad Asrori Ishaqi
Shaikh Ahmad Khotib Sambas
Shaikh Hasbullah
Shaikh Kholil Rejoso
Shaikh Abi Ishomuddin Muhammad Romli Tamim
Shaikh Muhammad Usman Al-Ishaqi
GENEALOGI KEILMUAN K.H. AHMAD ASRORI ISHAQI14
Keterangan:
= Hubungan guru murid (secara langsung) = Hubungan sahabat
= Hubungan guru murid (secara tidak langsung)
14
Genealogi keilmuan ini diolah dari berbagai sumber diantaranya ialah: Ahmad Asrori Ishaqi, Setetes Embun Penyejuk Hati, (Surabaya, al-Wafa, 2009), 84-86. Ahmad Asrori Ishaqi, al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah. Terj. Muhammad Musyafa‟ bin Mudzakir bin Sa‟id, dkk. (Surabaya: al-Wafa, 2009), Muhammad Rahmatullah, Jihad ala KH. Hasyim Asy’ari, (Surabaya: Imtiyaz, 2014). 80-98. Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib: Ilmuan Islam Permulaan Abad Ini, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983). 19 dan 93. Dan beberapa sumber yang disebutkan diatas. Tabel ini bukanlah bentuk final dari silsilah keilmuan Kyai Asrori, oleh karenanya jika dikemudian hari ditemukan sumber-sumber pendukung lainnya masih dapat dirubah.
(41)
C.Karya Pemikiran K.H. Ahmad Asrori Ishaqi
Kyai Asrori sangat produktif dalam menghasilkan karya tulis. Banyak sekali buku-buku atau kitab yang telah dikarangnya, antara lain sebagai berikut: 1. al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah
Kitab ini merupakan magnum opus pemikiran Kyai Asrori. Kitab ini terdiri
dari lima jilid dan telah diterjemah ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam kitab
ini Kyai Asrori membahas tentang al-Nu>r al-Muh}ammadi Pengertian dari
Nur Muhammad adalah suatu yang nampak dan menjadi sumber semua yang lahir. Allah pertama kali menciptkan Nur (cahaya) Nabimu sebelum menciptakan apapun. Lalu dengan kekuasaan Allah, Nur berputar sesuai dengan kehendak Allah pada keadaan itu belum ada Qolam, „Arasy dan Kursi, Malaikat, Ruh, Surga, Neraka, Langit, Bumi, Matahari, Rembulan, Manusia dan Jin. Kedudukan Rasulullah di dudukkan sangat dekat dengan Allah selama dua belas ribu tahun
2. al-Anwa>r al-Khus}usiyyah al-Khatmiyyah
Kitab ini berisi bacaan-bacaan yang wajib ditunaikan oleh para pengamal tarekat yang telah diberikan baiat oleh Kyai Asrori dalam kehidupan sehari hari.
3. al-Ikli>l fi al-Istigha>thah wa al-Adhka>r wa al-da’a>wah fi al-Tahli>l
Kitab ini sebagaimana ungkapan penghimpunnya, Kyai Asrori memuat 3 hal utama yaitu :
Pertama, ayat-ayat Alquran dan untaian shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad Saw.
(42)
Kedua, Istighatsah, zikir, dan do‟a-do‟a.
Ketiga, perantara-perantara dan sebab-sebab untuk meraih rahmat, ampunan dan berkah dari Allah SWT dijadikan sebagai silaturruhiyah (penyambung tali spiritual) dengan para pendahulu yang telah meninggal dunia.
4. al-Muntakhaba>tu fi> ma> Huwa al-Mana>qib 5. al-S{ala>watu al-Husayniyyah
6. Nuqt}atu wa Ba>qiyatu S{alih}atu wa ‘Aqi>batu Khayratu wa al-Kha>timatu al-H{asanah
7. Basha>’iru al-Ikhwa>n fi> Tabri>di al-Muri>di>n ‘an Hara>rati al-Fitani wa Inqaz}ihim ‘an Shabaka>ti al-H{irma>n
8. al-Risa>latu al-Sha>fiyatu fi> Tarjama>ti al-Thamrati al-Rawd}ati al-Shahiyati bi al-Lughati al-Madu>riyah
9. Laylatu al-Qadar
10. Mir’a>tu al-Jinani fi> al-Istigha>thati wa al-Adhka>r wa al-Da’awa>ti ‘ind Khatmi al-Qur’a>n ma’ Du’ai Birr al-Walidyn wa bi Haqq Umm al-Qur’a>n
11. al-Fath}atu al-Nu>riyah
12. al-Nafaha>tu fi> ma> Yata’allaqu bi al-Tara>wih}i wa al-Witri wa al-Tasbi>h}i wa al-H{ajah
13. Bahjatu al-Wisha>ti fi> Dhikri al-Nubdhah min Mawli>di Khayri al-Bariyyah 14. al-Waqi>’atu al-Fad}i>latu wa Yasin al-Fad}i>lah
15. Fayd}u Rah}ma>nu li man Yad}illu tah}ta Saqafi Uthmani fi al-Mana>qibi al-Shaykhi ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni
(43)
D. Sekilas Tentang Kitab Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah
Kitab al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah ditulis langsung oleh Kyai Asrori menjelang wafat dan pada saat TQN telah berkembang pesat. TQN sendiri kini memiliki pengikut yang tersebar diberbagai daerah di Nusantara bahkan mancanegara. Jumlah pengikutnya tidak diketahui dengan pasti karena tidak ada pendataan yang baik juga karena karena banyaknya simpatisan yang tidak terdaftar sebagai murid tarekat. Namun, yang pasti mereka tersebar di wilayah pantai utara Pulau Jawa, Sumatra hingga Malaysia, Singapura, Thailand dan Australia.
Kitab ini masih asing ditelinga banyak orang karena disamping hanya diedarkan di kalangan internal pengikut Tarekat dan Pesantren al-Fitrah juga karena belum ada yang mencoba menggali pesan-pesan dan gagasan yang tertuang dalam kitab tersebut. Padahal, kitab ini sangat layak disandingkan dengan
kitab-kitab lain yang berkualitas seperti al-Fath}u al-Rabba>ni karya Shaikh Abdul
Qadir al-Jailani.15
al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah di tulis dalam Bahasa Arab, tetapi sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kitab ini terdiri dari lima jilid, masing-masing setiap jilid terdapat lebih dari 300 halaman. Dari judulnya sudah dapat dipahami bahwa kitab ini berupa kumpulan dari tulisan-tulisan para sufi yang terpilih. Namun, Kyai Asrori juga memberikan pandangannya sendiri yang biasa ditulis di bagian bawah kitab dan selalu di
15
Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf; Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 2014). 279.
(44)
dengan kata kultu, atau “pandangan saya.”16 Pandangan Kyai Asrori inilah yang sebenarnya menjadi rujukan otoritatif dalam melakukan penelitian akademik, karena dalam pandangan tersebut akan ditemukan beberapa ide dan gagasan penting dalam tasawuf Kyai Asrori.
Walaupun kitab ini merupakan sebuah seleksi dari pandangan sufi terkemuka, tetapi hal itu sama sekali tidak mengurangi kualitas kitab ini. Cuplikan yang dikutip berikut pandangan Kyai Asrori sendiri sama-sama mencerminkan kematangan pemikiran penulisnya. Juga menjelaskan apa yang ia kehendaki baik melalui kitab ini maupun melalui tarekat yang ia besarkan.
Pertama-tama yang menjadi catatan bagi kita adalah bahwa kitab ini merupakan kitab tasawuf dan bukan kitab tarekat. Perbedaan mendasar antara keduanya sangat jelas bahwa kitab tasawuf berbicara soal ilmu pengetahuan dan teorisasi tentang pengalaman spiritual, sedang kitab tarekat adalah petunjuk-petunjuk praktis dalam beribadah, berdzikir maupun bermunajat.
Sebagai karya filosofis, kitab ini mengawali pembahasannya mengenai
al-Nur al-Muhammadi (Cahaya Muhammad). Ini mengingatkan kita kepada tokoh sufi terkemuka Ibn Arabi dan al-Jilli yang gemar mengangkat persoalan serupa. Pembahasan tentang Cahaya Muhammad ini pada intinya berbicara mengenai hakekat kedirian nabi Muhammad sekaligus menegaskan bahwa kenabian merupakan puncak dari keparipurnaan manusia. Kedirian nabi Muhammad itu
16
(45)
sendiri adalah merupakan cahaya, dan bahwa cahaya adalah hal paling pertama
yang di ciptakan Tuhan.17
Menyusul pembahasan mengenai cahaya Muhammad sebagai esensi kenabian, Kyai Asrori pindah ke dalam pembahasan kedua mengenai dimensi
lahiriah nabi Muhammad yang ia sebut sebagai al-Surah al-Muhammadi. Namun
yang ia maksud dari dimensi fisik ini bukanlah ciri-ciri luaran nabi melainkan hakekat dari luaran itu yang tidak lain menurut Kyai Asrori adalah ilmu dan akal.
Jadi, jika dalam pembahasan pertama Kyai Asrori menekankan pada keparipurnaan manusia dalam konsep kenabian dan cahaya, dalam pembahasan kedua ini ia menekankan pada kesempurnaan manusia dalam konsep ilmu dan
akal. ketiga konsep ini – kenabian atau cahaya, ilmu adan akal saling terkait
secara mendasar karena semuanya menjadi simbol bagi kematangan manusia. Ketiganya juga merujuk kepada esensi yang sama yaitu akal.
Oleh karena itu bukan sebuah kebetulan bahwa kitab al-Muntakhaba>tu fi>
Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah adalah upaya untuk menyempurnakan tarekat dengan ilmu atau melandasi amaliah para pengikutnya dengan dengan cahaya akal. Dan sejatinya, melalui kitab ini Kyai Asrori mencoba menarik gerbang tarekat ke wilayah epistemologis yang didasari pada pemahaman terhadap pesan-pesan kenabian. Bukan kebetulan pula bahwa kitab yang ditulis menjelang wafatnya itu merupakan ajakan untuk mentransformasi pelaku dzikir menjadi pelaku pikir. Sukses mengantarkan tarekat tampaknya membuat Kyai
17
Ahmad Asrori Ishaqi, Al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah.Terj. Muhammad Musyafa‟bin Mudzakir bin Sa‟id, dkk. Jilid I (Surabaya: al -Wafa, 2009), 13-14.
(46)
Asrori ingin mendorong para pengikutnya untuk segere “Hijrah” ke alam ilmu pengetahuan.
Sungguh menakjubkan bahwa seorang kyai tradisional yang selama hidupnya lebih dikenal sebagai mursyid dan ahli dzikir, justru menjelma menjadi seorang penggemar filsafat, terutama aliran pemikiran Ibn Arabi. Hal itu terbukti dalam karyanya itu bahwa yang ia kutip pertama kali adalah Ibn Arabi. Kutipan itu muncul dalam kalimat paling awal sebelum ia mengutip nama-nama besar lain layaknya Shaikh al-Junaid, al-Ghazali, dan Shaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Selebihnya, kiranya penelitian-penelitian akademik tentang kitab
al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah tidak hanya berhenti atau selesai dalam tulisan ini. Tetapi, lebih dari itu para pegiat ilmu tasawuf dapat melakukan pengembangan yang lebih sempurna tentang kitab ini. Alhasil, dapat menambah diskursus keilmuan filsafat dan tasawuf di era
(47)
39
BAB III
DISKURSUS DUALISME PENGETAHUAN
A. Dualisme dalam Filsafat
1. Melacak Akar Historis Paham Dualisme
Bab pertama dalam skripsi ini penulis telah mendeskripsikan tentang pengertian dan perjalanan paham dualisme secara sederhana, namun untuk mengetahui lebih mendalam tentang dualisme, kiranya penulis perlu membahasnya ke dalam bab khusus untuk mengetahui lebih detail bagaimana paham ini dapat berkembang dari zaman ke zaman. Oleh karena itu, dalam bab ini penulis akan mengurai munculnya aliran dualisme dari konstruksi filsafat Barat dan dualisme dalam tasawuf. Secara etimologi istilah dualisme
berasal dari kata Latin, duo yang berarti dua.1 Dalam Kamus Lengkap
Psikologi yang ditulis oleh J.D. Chaplin mengartikan dualisme sebagai posisi falsafi yang menyatakan bahwa terdapat dua substansi asasi yang berbeda dan
terpisah di dunia ini, yaitu jiwa dan zat (mind and matter).2 Senada dengan
pengertian Lorens Bagus yang memaknai dualisme dengan pandangan
filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang terpisah.3
Dalam diskursus filsafat, paham dualisme dianggap suatu varian dari paham idealisme. Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan adanya dua
1
AM. Hardjana, Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 28.
2
J.D Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Terj. Kartini Kartono (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 308.
3
(48)
substansi yang mendasari dunia. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Dalam sejarahnya, kendati bentuk dari paham dualisme ini, dalam konteks kefilsafatan, telah ada sejak zaman Platon (427-347 SM), namun istilah dualisme sendiri baru secara umum digunakan sejak Thomas Hyde memperkenalkan istilah ini pada sekitar tahun 1700 untuk menunjuk kepada konflik antara baik dan jahat, yakni antara Omzard dan Ahriman, dalam Zoroastrianisme, doktrin masyarakat Iran kuno yang secara penuh terbentuk
pada abad ke-7 SM.4
Doktrin dualisme ini secara khusus meresap ke dalam pemikiran masyarakat Yunani melalui orang-orang Persia, dan ajaran tersebut terutama dikenal lebih sebagai hal yang bersifat teologis daripada hal yang dapat dipahami secara filosofis, di mana pertentangan antara Omzard (Penguasa Kebajikan; disebut juga sebagai Ahura Mazda) dan Ahriman (Penguasa Kejahatan) ini dipercaya mengejawantah dan mendasari kejadian-kejadian di
alam semesta yang merupakan medan pertempuran dari kedua roh besar itu.5
Adalah Christian Wolff (1679-1754), seorang filosof monis, yang kemudian menerapkan istilah tersebut secara resmi untuk menunjukkan oposisi metafisis antara pikiran dan materi. Istilah dualisme semenjak itu menjadi terminologi filsafat dan diterapkan pada banyak oposisi dalam agama,
4
Ibid., 174
5
Lihat: Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2002), 628.
(49)
metafisika dan epistemologi.6 Pada umumnya, dualisme diterapkan dalam konteks gagasan-gagasan yang menyangkut pengamatan terdalam mengenai keberadaan/hubungan antara jiwa dan raga.
Gagasan filosofis tentang dualitas jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Platon. Gagasan ini berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijaksanaan. Platon
berpendapat bahwa ―kecerdasan‖ seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa)
tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik. Artinya, pikiran dan tubuh adalah dua entitas yang berbeda namun saling berhubungan dan
keduanya sama-sama eksis,7 satu sama lain tidak bersifat saling meniadakan.
Dualisme, pada umumnya, berbeda dengan monisme, mempertahankan perbedaan-perbedaan mendasar yang ada dalam realitas; antara eksistensi yang kontingen dan eksistensi yang absolut (misal: antara dunia dan Allah), antara yang mengetahui dan yang ada dalam bidang kontingen, antara materi dan roh (atau antara materi dan kehidupan yang terikat pada materi), antara substansi dan aksiden, dan lain sebagainya.
2. Platon dan Dualisme Metafisis
Sebelum Platon mengurai konsep dua ―dunia‖ dalam filsafatnya, jauh
sebelum itu Phytagoras telah menjelaskan alam beserta kejadian-kejadian di dalamnya. Menurut Phytagoras segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas dan tak terbatas, berhenti-gerak, baik buruk dan
6
Lorens Bagus, Kamus Filsafat., 175.
7
Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme#cite_note-Hart-0, diakses pada 15 Maret 2016.
(50)
sebagainya. Phytagoras mendasarkan filsafatnya pada konsep bilangan bahwa segala sesuatu adalah bilangan. Simpulan tersebut ditarik dari kenyataan bahwa nada-nada musik dapat dijabarkan ke perbandingan antara bilangan-bilangan. Bilangan menjadi prinsip dan unsur-unsur dari segala sesuatu. Unsur atau prinsip bilangan ialah genap dan ganjil, terbatas dan tak terbatas. Bagi kaum Phytagorean untuk menghadirkan harmoni dalam dunia ialah
menggabungkan sesuatu yang berlawanan. Mereka mencontohkan oktaf8
sebagai harmoni yaitu dihasilkan dengan menggabungkan hal-hal yang
berlawanan, bilangan 1 (bilangan ganjil) dan bilangan 2 (bilangan genap).9
Argumen dualitas dalam filsafat Phytagoras diafirmasi oleh Empedocles. Menurut Empledocles dunia ini dikuasai oleh dua hal, cinta dan kebencian. Cinta menggabungkan anasir-anasir dan benci menceraikannya. Atas dasar kedua prinsip tersebut Empledocles menggolongkan kejadian-kejadian alam semesta dalam empat zaman. Cinta dan benci memainkan peranan penting dalam kehidupan. Keempat zaman itu berlangsung secara terus menerus, sehingga sesudah zaman keempat selesai dengan segera zaman pertama mulai lagi. Anomali zaman dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, zaman pertama di sini didominasi oleh cinta dan menguasai segala-galanya. Alam semesta dalam keadaan ini dibayangkan sebagai suatu bola (seperti konsep ―yang ada‖ pada Parmenides), di mana semua anasir
bercampur dengan sempurna. Zaman ini mengesampingkan benci. Kedua,
8
Dalam musik, satu oktaf adalah interval antara satu not dengan dengan not lain dengan frekuensi dua kalinya. Perbandingan frekuensi antara dua not yang terpisah oleh interval satu oktaf adalah 2:1. Lihat: https//id.m.wikipedia.org/wiki/oktaf. Diakses pada 20 Maret 2016.
9
(1)
dalam hati yang disiapkan dan disiagakan untuk mengetahui ilmu pengetahuan yang memerlukan pemikiran. Kasby: yaitu sesuatu yang diusahakan dan diupayakan serta diperoleh seseorang dari perkumpulan dan pergaulan dengan orang-orang yang berakal sehat.‘At}o’i: yaitu sesuatu yang dianugerahkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman agar mendapatkan petunjuk (hidayah) untuk beriman.‘Aqlu al-Zuhud: yaitu seseorang yang menyebabkan zuhud (tidak adanya ketergantungan dan ketersandaran hati pada dunia dan seisinya). Sharofy: yaitu akal yang dimiliki oleh baginda Nabi Muhammad SAW dan itulah akal yang paling mulia dan paling luhur. Selain akal menjadi sumber pengetahuan, Kyai Asrori juga menyatakan bahwa hati juga mempunyai korelasi dengan akal. dengan banyak mengutip pendapat ulama‟ shufiyah, Kyai Asrori mengatakan bahwa akal itu adalah hati dan hati adalah akal. sedangkan metode pengetahuan yang terdapat dalam tasawuf Kyai Asrori ialah menjadikan keyakinan sebagai nalar untuk memahami sesuatu yang disebut dengan al-Fiqhu. Metode al-Fiqhu diawali dari sebuah pemahaman rasio yang kemudian dikorelasikan dengan hati hingga akan membentuk sebuah keyakinan. Rahasia ilmu yang tersingkap dan tersibak, sehingga gambarannya terlihat jelas oleh mata hati itu dinamakan al-Fiqhu.
2. Konsep dualisme sebagai implikasi ontologis dalam tasawuf Kyai Asrori terdapat dalam pandangannya tentang ketuhanan, yakni al-Ah}ad dan al-Wah}id serta al-Wuju>d dan al-Kaun. Kyai Asrori menjelaskan bahwa al-Wuju>d adalah selain Allah dari segala yang ada, kemudian mengenai
(2)
al-Wuju>d ini ia membaginya menjadi dua, yaitu Wuju>d Haqiqy (Allah) dan wujud partikular atau Wuju>d Majazi, yaitu segala wujud selain Allah. Sedangkan al-Kaun adalah segala yang ada dan yang akan ada yag telah ditakdirkan dan diketahui oleh Allah. Jadi, al-Wuju>d adalah sesuatu yang telah tercipta, sementara al-Kaun adalah sesuatu yang tercipta dan akan tercipta yang telah ditakdirkan oleh Allah. Selanjutnya, Kyai Asrori juga memiliki pandangan dualitas terhadap alam, yakni alam arwah} dan alam jasad. Menurut Kyai Asrori bahwa dalam perjanjian antara Allah dan makhluknya pertama kali adalah dilakukan oleh alam arwah} Ia juga menegaskan bahwa sebelum Allah menciptakan jasad, terlebih dahulu Dia menciptakan arwah}.
B. Saran-saran
Dalam mengkaji pemikiran dalam tasawuf Kyai Asrori, khusunya dalam mengkaji konsep pengetahuan atau epistemologinya dan pikiran-pikiran dualitasnya, seolah mengajak kita untuk lebih memahami realitas lebih mendalam baik yang empirik maupun non-empirik, dalam hal ini adalah sang kha>liq. Sehingga tasawuf tidak hanya dipahami sebagai proses ritual dan pengasingan diri semata, akan tetapi tasawuf lebih pada proses berpikir dan aktifitas ilmiah. Untuk itu, pengembangan dan penelitian ilmiah tentang kearifan dan ajaran sufistik Kyai Asrori diharapkan tidak hanya berhenti pada penelitian ini saja.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Primer
Ishaqi, Achmad Asrori. al-Muntakhaba>t fi Rabi>t}ati Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah. Terj. Muhammad Musyafa‟ bin Mudzakir bin Sa‟id, dkk. Jilid I, Surabaya: al-Wafa, 2009.
Ishaqi, Achmad Asrori. al-Muntakhaba>t fi Rabi>t}ati Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah. Terj. Muhammad Musyafa‟ bin Mudzakir bin Sa‟id, dkk. Jilid II, Surabaya: al-Wafa, 2009.
Ishaqi, Achmad Asrori. al-Muntakhaba>t fi Rabi>t}ati Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah. Terj. Muhammad Musyafa‟ bin Mudzakir bin Sa‟id, dkk. Jilid III, Surabaya: al-Wafa, 2009.
Ishaqi, Achmad Asrori. al-Muntakhaba>t fi Rabi>t}ati Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah. Terj. Muhammad Musyafa‟ bin Mudzakir bin Sa‟id, dkk. Jilid IV, Surabaya: al-Wafa, 2009.
Ishaqi, Achmad Asrori. al-Muntakhaba>t fi Rabi>t}ati Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah. Terj. Muhammad Musyafa‟ bin Mudzakir bin Sa‟id, dkk. Jilid V, Surabaya: al-Wafa, 2009.
Ishaqi, Ahmad Asrori. Setetes Embun Penyejuk Hati, Surabaya, al-Wafa, 2009.
B. Sumber dari Buku Pendukung
Afifi, Abu al-„Ala. Filsafat Mistik Ibn ‘Arabi, terj. Syahrir Nawawi dan Nandi Rahman, Jakarta: Gaya Media Pranata. 1969.
Azhari Noer, Kautsar. Ibn ‘Arabi; Wahdatul Wujud dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina. 1995.
Anthony, Kenny. A New History of Western Philosophy; The Rise of Modern Philosophy, vol.3. USA: Oxford University. 2006.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000. Beerling, dkk. Pengantar Filsafat Ilmu, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta:
Tiara Wacana. 2003.
Chaplin, J.D. Kamus Lengkap Psikologi, Terj. Kartini Kartono, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005.
(4)
Bruinessen, Martin Van. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1996.
Descartes, Rene. Discourse on Method. terj. Ahmad Fadhil Ma‟ruf, Yogyakarta: IRCiSoD. 2003.
Faiz, “Eksistensialisme Mulla Sadra” dalam Teosofi. Volume 3 Nomor 2. 2013. Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. “terj.”, Zaimul
Am. Bandung: Mizan. 2002.
Garaudy, Roger. Janji-janji Islam, terj. M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang. 1981. Ghallab, Muhammad. Al-Ma’arif ‘Inda Mufakkiri al-Muslimin, Mesir: Dar
al-Misriyah. t.t.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: PT. Kanisius. 1980.
______________. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta: PT. Kanisius. 1980.
Hardjana, AM. Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik, Yogyakarta: Kanisius. 1993.
Hammersma, H. Tokoh-tokoh Filsafat Barat, Jakarta: Gramedia. 1983.
Katsoff, Lois. O. Pengantar Filsafat, terj. Sujono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana. 1992.
Labib, Muhsin. Mengurai TasawufIrfan dan Kebatinan, Jakarta: Lentera. 2004. Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosda Karya. 2002.
Mukhdlor, A. Zuhdi. K.H. Ali Ma’sum: Perjuangan dan Pemikiran -Pemikirannya, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989.
Muztansir, Rizal. dan Munir, Misnal. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. III. 2003.
Moleong, J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002.
Nawawi. Haedari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogjakarta: Universitas Gajah Mada Press. 1995.
(5)
Nazwar, Akhria. Syekh Ahmad Khatib: Ilmuan Islam Permulaan Abad Ini, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Nasr, Sayyed Husein. Three Muslim Sages (Ibn Sina, Suhrawardi dan Ibn
‘Arabi), Cambridge: Oxford University Press. 1986. Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988.
Rahmatullah, Muhammad. “Dualisme Dalam Mencapai Ma‟rifat Perspektif K.H Ahmad Asrori Ishaqi”, Tesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.
. Jihad ala KH. Hasyim Asy’ari, Surabaya: Imtiyaz, 2014.
Riyadi, Abdul Kadir. Antropologi Tasawuf; Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan. Jakarta: LP3ES. 2014.
Rosidi, “Konsep Maqa>ma>t dalam Tradisi Sufistik K.H. Ahmad Asrori al-Ishaqy”, dalam Teosofi, Volume 3, No. 1, 2014.
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. “terj.”, Sigit, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam. “terj.”, Sapadi Djoko
Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000.
Stevenson, Leslie. dan David L.Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, terj. Yudi Santoso dan Saut Pasaribu, Yogyakarta: Bentang. 2001.
Smith, Linda & Reaper, William. Ide-ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang. Jakarta: Kanisius. 2000.
Surakhmat, Winarno. Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Teknik. Bandung: Transito. 1990.
Sutrisno FX. Mudji & Hardiman, F. Budi (ed). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius. 1992.
Syari‟ati, Ali. Man and Islam.“terj.”, Amin Rais. Jakarta: Srigunting. 2001. Syukur, Amin. dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi tentang
Tasawuf al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007.
Titus, Harold H. dkk. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang. 1984.
(6)
Umar, Abdul Ghoffar. Al-Lu’lu Wal Marjan Fi Manaqibi Syekh Muhammad
‘Ustman, Gresik: tnp, 1984.
Wijaya, Aksin. Nalar Kritis Epistemologi Islam, Yogyakarta: Nadi Pustaka. 2012. Wibowo, Setyo.“Idea Platon Sebagai Cermin Diri”. Basis, 11-12
(November-Desember. 2008.
C. Sumber dari Internet
http://kuliexim.blogspot.com/2011/11/tentang-syekh-asrori-bin-utsman-al.html. diakses pada 24 Mei 2016
http://teguhrahardjo-st.blogspot.com/2011/07/kh.achmad-asrori-ishaqi.html. diakses pada diakses pada 24 Mei 2016