Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam Hukum Persaingan Usaha T2 322010007 BAB II
44
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab II dalam tesis ini menekankan pada tinjauan pustaka yang dibagi atas 4 (empat) bagian, yaitu:
Bagian pertama, membahas mengenai posisi dominan
yang berisi pengaturan posisi dominan di Uni Eropa dan Amerika serta pengaturan posisi dominan di Indonesia.
Bagian kedua, membahas mengenai penyalahgunaan
posisi dominan yang berisi pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan di Uni Eropa dan Amerika serta pengaturan penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia.
Bagian ketiga, membahas mengenai pasar
bersangkutan. Alasan penulis memuat sub-bab sendiri karena pasar bersangkutan ini sama-sama digunakan
dalam pengaturan posisi dominan dan juga
pengaturan penyalahgunaan posisi dominan.
Bagian keempat, membahas mengenai teori tujuan
hukum menurut Roscoe Pound dan Gustav Radbruch. Kedua teori ini dianggap relevan untuk membahas mengenai konsep penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Teori Pound digunakan sebagai pisau
(2)
45
analisis putusan-putusan KPPU mengenai
penyalahgunaan posisi dominan yang menekankan
pada law is a tool of a social engineering. Hukum
sebagai alat „kontrol sosial‟ yang digunakan untuk menjaga kepentingan umum dan mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya hukum sebagai „alat rekayasa sosial‟ digunakan untuk meningkatkan ekonomi nasional, dan lain sebagainya. Sementara teori Gustav Radbruch menekankan pada 3 (tiga) tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga tujuan hukum ini digunakan untuk menganalis
putusan-putusan KPPU tentang penyalahgunaan posisi
dominan dan dikaitkan atau berdasarkan Pasal 25 UU No.5 tahun 1999.
A.
Posisi Dominan
1. Pengaturan Posisi Dominan di Uni Eropa dan Amerika Serikat
a) Uni Eropa
UU Antimonopoli mengikuti EU Article 102 ( ex
Article 82) European Community Treaty yang
menggunakan istilah dominan position. Adapun bunyi
(3)
46
“one or more undertakings of a dominant position with
the common market or a substantial part of it shall be
prohibited… such abuse in particular, consist in: (a)
Directly or indirectly imposing unfair purchase or selling prices or unfair trading conditions; (b) Limiting production, market or technical development to the prejudice of consumers; (c) Applying dissimilar conditions to equivalent transactions with other trading parties, thereby placing them at a competitive disadvantage; (d) Making the conclusion of contracts subject to acceptance by the other parties of supplementary obligations which, by their nature or according to commercial usage, have no connection with the subject of such contracts.
Di Uni eropa, dalam kasus continental Can1,
European Commission menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai posisi dominan apabila mempunyai
kekuatan untuk melakukan tindakan secara
independen, tanpa mempertimbangkan
pesaing-pesaingnya, pembeli-pembelinya atau
pemasok-pemasoknya. Posisi dominan terjadi apabila pelaku usaha dapat menentukan harga, mengontrol produksi atau distribusi untuk jumlah produk yang signifikan karena pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar tertentu atau karena mempunyai pangsa pasar ditambah dengan adanya kemampuan ilmu teknologi
1
Continental Can Co Inc, Re (1972) JO L7/25, (1972) CMLR D … 9, , ,
(4)
47
bahan mentah atau modal tertentu.2 Jadi, menurut
European Commission dalam kasus ini, unsur terpenting dalam posisi dominan adalah independensi dan kekuatan untuk menentukan harga. Pelaku usaha hanya dikatakan mempunyai posisi dominan apabila tindakan-tindakannya tidak terhambat oleh
pesaing-pesaingnya.3
Kasus lain yang dapat untuk menjelaskan posisi
dominan di eropa ini yaitu putusan ECJ (European
Court of Justice) yang melibatkan Hoffman La Roche v. Commission of the European Communities) yaitu
“according to the classical test, a dominant position under Article 102 ( ex Article 82) of the Treaty is „a
position of economic strength enjoyed by an undertaking which enables it to prevent effective competition being maintained on the relevant market by affording it the power to behave to an appreciable extent independently of its competitors, its customers and ultimately of the
consumers”.
ECJ (European Court of Justice) dalam Hoffmann-La Roche4 menegaskan bahwa penyalahgunaan (abuse)
2
Ibid
3
M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya,
CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 76
4
Hoffmann-La Roche & Co AG v. Commission (1979) ECR 461, (1979) 3 CMLR 211
(5)
48
posisi dominan menurut Pasal 102 European
Community Treaty merupakan konsep yang objektif berkaitan dengan tingkah laku pemegang posisi dominan yang mempengaruhi struktur pasar yang
menyebabkan persaingan dalam pasar tersebut
menjadi lemah.
b) Amerika Serikat
Posisi dominan di Amerika Serika tidak diatur secara jelas dalam UU Persaingan Usaha Amerika Serika, yang diatur hanya penyalahgunaan posisi dominan. Namun meskipun demikian, dari berbagai literatur yang dibaca penulis. Posisi dominan di
Amerika menekankan istilah market power5. Pelaku
usaha yang mempunyai substantial market power
secara unilateral dapat menaikkan harga produknya di atas tingkat harga yang kompetitif dalam waktu yang cukup lama dengan meraih keuntungan. Pelaku usaha
yang tidak mempunyai substantial market power harus
membutuhkan pelaku usaha lain dengan cara
5
Market Power atau kekuatan pasar yang dimaksud adalah kemammpuan pelaku usaha untuk meningkatkan harga menjauhi biaya marjinalnya. Kemampuan tersebut didapat melalui penetapan harga yang tinggi tanpa menimbulkan kerugian berarti maupun dengan menekan biaya produksi yang timbul. Pelaku usaha dengan kekuatan pasar yang besar mampu menyerap surplus lebih dibandingkan konsumennya maupun suppliernya pada saat bertransaksi. (Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009, hal.109).
(6)
49
membuat perjanjian kolusif (collusive dealing) untuk
melakukan hal yang sama.6
Berbeda dengan pendapat ECJ (European Court
of Justice) yang menekankan faktor independensi,
pengadilan-pengadilan di AS dan Australia
menekankan pada kekuatan untuk mengontrol harga. Ada beberapa sarjana yang mengatakan bahwa kriteria
independensi yang dipakai oleh ECJ adalah „cacat‟ dan
tidak dapat secara memuaskan membedakan antara pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dan yang tidak. Beberapa sarjana ini mengatakan bahwa ukuran yang lebih baik adalah kemampuan untuk
membatasi output secara substansial dalam pasar.7
Kekuatan untuk membatasi output berarti kekuatan
untuk mengontrol harga. Jadi, beberapa sarjana ini mengikuti ukuran yang dipakai di AS.
2. Pengaturan Posisi Dominan di Indonesia
Pengaturan posisi dominan di Indonesia
tercantum dalam pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yaitu:
6
M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya,
CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal.76
7
(7)
50
“Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa
pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang
atau jasa tertentu”.
Ketentuan ini menetapkan syarat atau parameter posisi dominan. Syarat yang dimaksud adalah pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, dan kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Syarat yang ditetapkan oleh Pasal 1 angka (4) UU No. 5/1999 yang penting adalah bahwa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pasa
pasokan atau penjualan, dan kemampuan
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Namun ketentuan ini tidak menjelaskan syarat-syarat tersebut harus dipenuhi oleh suatu
(8)
51
pelaku usaha secara kumulatif atau tidak. Artinya, apakah jika salah satu syarat tersebut dimiliki oleh pelaku usaha dapat dinyatakan bahwa pelaku usaha tersebut sudah mempunyai posisi dominan? Dari pengertian posisi dominan Pasal 1 angka (4) tersebut dapat diketahui 3 (tiga) unsur penting tersebut
diuraikan dan juga ditafsirkan di bawah ini yaitu8
1. Kemampuan keuangan
Salah satu unsur yang menyatakan bahwa suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan adalah apabila pelaku usaha mempunyai keuangan yang lebih besar (kuat) dibandingkan dengan keuangan pelaku usaha pesaingnya. Pengertian kemampuan keuangan suatu pelaku usaha dapat dipahami khususnya kemampuan ekonomi pelaku usaha tersebut yang pada pokoknya mempunyai kemungkinan keuangan artinya kemampuan keuangan yang dimiliki sendiri, untuk melakukan investasi sejumlah uang tertentu dan mempunyai akses menjual kepada pasar modal. Secara sederhana dilihat dari keberadaan pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi
(besar) dibandingkan dengan pelaku usaha
8
(9)
52
pesaingnya, pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi akan mempunyai keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya. Karena presentase nilai jual atau beli yang lebih tinggi atas suatu barang atau jasa tertentu dibandingkan dengan nilai jual atau beli pesaing-pesaingnya akan menunjukkan ke kemampuan keuangan yang lebih kuat atau lebih besar.
Faktor-faktor menetapkan pelaku usaha mempunyai
keuangan yang kuat adalah dapat dilihat dari:
a. Modal dasar
b. Cash flow
Pengertian cash flow adalah aliran kas
perusahaan yang secara riil diterima dan dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan
operasi, pendanaan, dan investasi.9
Aliran kas yang masuk ke perusahaan disebut
dengan cash in flow, sedangkan aliran kas yang
keluar dari perusahaan dinamai cash out flow.
Aliran kas dapat dibedakan menjadi 3 jenis :
Aliran kas awal (Initial Cash Flow)
merupakan aliran kas yang berkaitan
dengan pengeluaran untuk kegiatan
9
(10)
53
investasi misalnya; pembelian tanah,
gedung, biaya pendahuluan dan lain
sebagainya. Aliran kas awal dapat
dikatakan aliran kas keluar (cash out flow).
Aliran kas operasional (Operational Cash
Flow) merupakan aliran kas yang
berkaitan dengan operasional proyek
seperti penjualan, biaya umum, dan administrasi. Oleh sebab itu aliran kas operasional merupakan aliran kas masuk (cash in flow) dan aliran kas keluar (cash out flow).
Aliran kas akhir (Terminal Cash Flow)
merupakan aliran kas yang berkaitan dengan nilai sisa proyek (nilai residu) seperti sisa modal kerja, nilai sisa proyek yaitu penjualan peralatan proyek.
c. Omzet
Omzet adalah nilai transaksi yang terjadi dalam hitungan waktu tertentu, misalnya harian,
mingguan, bulanan, tahunan.10
d. Keuntungan
10
(11)
54
e. Batas kredit dan
f. Akses ke pasar keuangan nasional dan
internasional.
2. Kemampuan Pada Pasokan atau Penjualan
Unsur kemampuan mengatur pasokan atau penjualan adalah salah satu ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Kemampuan ini dapat dilakukan oleh suatu pelaku usaha jika memiliki pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa pasar pesaing-pesaingnya. Oleh karena itu penilaian atau penetapan pangsa pasar pelaku usaha pada pasar bersangkutan sangat penting. Untuk itu, pengertian pangsa pasar harus dipahami terlebih dahulu, yaitu persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
Jika pangsa pasar pelaku usaha sudah
ditetapkan, mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya, maka dapat ditentukan apakah pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar dalam persentase tertentu dapat melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar
(12)
55
yang bersangkutan yaitu melalui kemampuan
pengaturan jumlah pasokan atau penjualan barang tertentu di pasar yang bersangkutan. Kemampuan pengaturan pasokan atau penjualan barang atau jasa
tertentu menjadi salah satu bukti bentuk
penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya tidak dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan.
3. Kemampuan Menyesuaikan Pasokan atau Permintaan
Kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan menjadi salah satu
unsur dalam pengertian posisi dominan yang
ditetapkan di dalam Pasal 1 angka (4). Pada prinsipnya kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan atas suatu barang atau jasa tertentu pada pasar yang
bersangkutan mempunyai kesamaan dengan
kemampuan mengatur pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu. Pelaku usaha yang mempunyai
posisi dominan mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan pada pasar yang bersangkutan. Oleh karena itu, penetapan siapa
(13)
56
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan penting untuk dilakukan. Selanjutnya penulis menyinggung mengenai monopoli. Secara harafiah, monopoli berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata „monos‟ yang artinya sendiri dan „polein‟ yang artinya penjual. Sehingga monopoli diartikan sebagai suatu kondisi di mana hanya ada satu penjual yang menawarkan suatu barang atau jasa tertentu. Sedangkan definisi monopoli menurut UU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha.11
Istilah monopoli sering kali dipakai untuk
menunjuk 3 (tiga) titik berat yang berbeda yaitu12:
a. Menggambarkan suatu struktur pasar dalam hal
ini keadaan koleratif permintaan dan
penawaran.
b. Menggambarkan suatu posisi dalam hal ini
monopoli bisa dilakukan oleh lebih dari satu penjual yang membuat keputusan bersama tentang produksi dan harga.
11
Pasal 1 angka (1) UU No.5 tahun 1999.
12
Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 19
(14)
57
c. Menggambarkan kekuatan yang dipegang oleh
penjual untuk menguasai penawaran,
menentukan harga serta memanipulasi harga.
Pada dasarnya monopoli sering kali
dikategorikan sebagai hal yang negatif, akan tetapi monopoli juga ternyata memiliki manfaat salah satunya ialah memaksimalkan efisiensi pengelolaan sumber daya ekonomi tertentu. Hal ini terjadi apabila sumber daya alam minyak bumi dikelola oleh satu
unit usaha tunggal yang besar, maka ada
kemungkinan terhadap biaya-biaya tertentu akan bisa
dihindari. Adapun jenis-jenis monopoli yaitu13:
1) Monopoli yang terjadi karena memang
dikehendaki oleh Undang-Undang
(monopoly by law).
Jenis monopoli seperti ini, ada dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki adanya monopoli Negara untuk menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Selain itu, Undang-Undang juga
memberikan hak istimewa dan
13
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 40-47
(15)
58
perlindungan hukum dalam jangka waktu tertentu terhadap pelaku usaha yang memenuhi syarat tertentu atas hasil riset dan inovasi yang dilakukan sebagai hasil
pengembangan terknologi yang
bermanfaat bagi umat manusia.
Pemberian hak-hak ekslusif atas
penemuan baru, baik yang berasal dari hak atas kekayaan intelektual seperti hak cipta dan hak atas kekayaan industri seperti paten, merek, desain produksi, rahasia dagang, dan lain-lain. Semuanya itu pada dasarnya merupakan bentuk lain monopoli yang diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang.
2) Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan usaha yang sehat (monopoly by nature).
Seperti yang diuraikan di atas, monopoli bukanlah merupakan suatu perbuatan jahat atau terlarang apabila kedudukan
tersebut diperoleh dengan
(16)
59
kemampuan prediksi dan naluri bisnis yang professional.
Kemampuan sumber daya manusia yang professional, kerja keras, dan strategi bisnis yang tepat dalam mempertahankan
posisinya akan membuat suatu
perusahaan memiliki kinerja yang unggul (superior skill) sehingga tumbuh secara
cepat dengan menawarkan suatu
kombinasi antara kualitas dan harga
barang atau jasa serta pelayanan
sebagaimana dikehendaki konsumen.
Sehingga perusahaan tersebut dapat
menyediakan keluaran (output) yang lebih
efisien daripada apa yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang lainnya, Pada akhirnya, perusahaan ini mampu mengelola secara tepat 5 (lima) faktor persaingan yang menentukan kemampuan laba industri dalam hal ini daya tawar menawar pemasok, ancaman pendatang baru, daya tawar menawar pembeli, ancaman produk atau jasa substitusi, dan persaingan diantara perusahaan yang ada. Monopoli alamiah ini juga dapat terjadi
(17)
60
bila untuk suatu ukuran pasar akan lebih efisien bila hanya ada satu pelaku usaha atau perusahaan yang melayani pasar tersebut. Perusahaan lain dalam hal ini perusahaan kedua yang memasuki arena persaingan akan menderita rugi dan tersingkir secara alamiah, karena ukuran pasar yang tidak memungkinkan adanya pendatang bagi pelaku usaha baru.
3) Monopoli yang diperoleh melalui lisensi
dengan menggunakan mekanisme
kekuasaan (monopoly by license).
Jenis monopoli seperti ini dapat terjadi oleh karena adanya kolusi antara para pelaku usaha dengan birokrat pemerintah.
Kehadiran monopoli seperti ini
menimbulkan distorsi ekonomi karena mengganggu bekerjanya mekanisme pasar yang efisien.
Berbagai kelompok usaha yang dekat
dengan pusat kekuasaan dalam
pemerintahan pada umumnya memiliki
kecenderungan melakukan perbuatan
yang mencederai semangat persaingan usaha.
(18)
61
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kalau posisi dominan menekankan pada keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Sementara monopoli menekankan pada penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Pelaku usaha posisi dominan dan pelaku usaha monopoli memiliki kesamaan dalam hal ini mempunyai dua pengaruh terhadap harga dan sama-sama dapat menciptakan rintangan masuk pasar bagi pelaku usaha lain yang mau memasuki pasar bersangkutan. Pengaruh terhadap harga ini seringkali atau tidak selalu meningkatkan tingkat harga untuk memperoleh keuntungan lebih dan menggunakan diskriminasi harga.
Sementara perbedaannya adalah pelaku usaha yang memiliki posisi dominan perlu memperhatikan reaksi
(19)
62
konsumen sebab mungkin dengan menaikan tingkat harga kemungkinan akan memicu konsumen pelaku usaha posisi dominan tersebut untuk beralih ke pesaingnya. Pelaku usaha yang memiliki posisi dominan masih memberikan sedikit ruang bagi pelaku usaha lain untuk berpartisipasi di pasar, sedangkan pelaku usaha yang monopolis memiliki ruang gerak yang cukup besar tanpa harus memperhatikan reaksi konsumen ketika menaikan tingkat harga dan hambatan yang diciptakan pelaku usaha monopoli sangat kuat.
B.
Penyalahgunaan Posisi Dominan
1. Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan di Uni Eropa dan Amerika Serikat.
a. Uni Eropa
Dasar pelarangan penyalahgunaan posisi
dominan di negara-negara Uni Eropa yaitu EU Article
102 ( ex Article 82) European Community Treaty yang berjudul Treaty Establishing The European Economic Community,14 yaitu:
Any abuse by one or more undertakings of a dominant position within the common market or in a substantial part
14
Ibrahim, Johnny, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Impikasi Penerapannya di Indonesia, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 178
(20)
63
of it shall be prohibited as incompatible with the common market in so far as it may affect trade between Member States. Such abuse may, in particular, consist in:
(a) directly or indirectly imposing unfair purchase or selling prices or unfair trading conditions;
(b) limiting production, markets or technical
development to the prejudice of consumers;
(c) applying dissimilar conditions to equivalent
transactions with other trading parties, thereby placing them at a competitive disadvantage;
(d) making the conclusion of contracts subject to acceptance by the other parties of supplementary obligations which, by their nature or according to commercial usage, have no connection with the subject of such contracts.
Intinya dari Article 102 ini menyatakan bahwa
pelarangan ini ditujukan pada perusahaan yang
memegang posisi dominan di pasar (market dominance)
dan dengan demikian memiliki kekuatan untuk
mengontrol pasar.15
Hal lain yang menarik dalam pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan di Eropa adalah Pricing Abuses and non- Abuses Pricing.
Pricing Abuses (other than Excessive Pricing)
15
Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 46
(21)
64
Pricing Abuses menekankan pada Predatory Pricing. Predatory Pricing adalah tindakan pelaku usaha memberikan harga produknya sangat murah
sehingga pesaing-pesaingnya tidak mampu
menyainginya kemudian terpaksa keluar dari pasar. Setelah pesaing-pesaing tersebut keluar dari pasar, pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga pada tingkat monopoli dan dapat menutupi
kerugian-kerugian yang telah dialami.16
Di European Commission dalam kasus AKZO,
menegaskan bahwa harga di atas Average Variable
Cost, asalkan di bawah Average Total Cost yang
ditentukan dengan tujuan untuk menghilangkan
persaingan, tetap dapat dikatakan melanggar.17
Predatory Pricing jarang terjadi karena mungkin harus ada „pengorbanan‟ terlebih dahulu yang harus
dilakukan oleh pelakunya yakni pengorbanan
penghasilan bersih untuk sementara. Predatory Pricing
dalam arti yang sebenarnya tidak bisa terjadi kecuali ada pengorbanan kehilangan keuntungan bersih untuk sementara dengan harapan dapat memperoleh pendapatan yang lebih besar di masa yang akan datang. Tindakan ini bertujuan untuk menghalau
16
M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 90
17
(22)
65
pesaing dari pasar, kemudian pelakunya akan dapat
menutupi kerugiannya (recoupment) dengan
memperoleh laba yang tinggi karena tidak ada pesaingnya. Bagi pelaku, pengorbanan kehilangan keuntungan tersebut merupakan investasi untuk
mendapatkan kuntungan monopolistic di masa
mendatang. Pelaku harus dapat memprediksi bahwa keuntungan yang akan datang harus melebihi investasi yang telah dikeluarkan. Jadi, wajar apabila Predatory Pricing jarang terjadi.
Posisi EU adalah cenderung tidak menggunakan
syarat the Recoupment Test18. dalam kasus AKZO
tersebut di atas, syarat ini tidak disinggung oleh European Commission. Bahkan penetapan harga di
atas Average Variable Cost asalkan di bawah Average
Total Cost yang dilakukan untuk tujuan
menghilangkan persaingan dapat dikatakan Predatory.
Dalam kasus Tetra Pak II,19 European Court of Justice
juga mengatakan:
18
Recoupment Test dipergunakan untuk mengkaji apakah pelaku usaha yang melakukan praktik tersebut telah sukses mencapai tujuannya, yaitu menyingkirkan pesaingnya ke luar pasar dan menghalangi pesaing lainnya masuk ke dalam pasar. Tes ini kemudian juga melihat apakah pelaku usaha predator akan mampu mendapatkan keuntungan yang melebihi keuntungan kompetitif untuk menutupi kerugian yang dideritanya selama menjalankan praktik predatory. (Peraturan KPPU N.6 tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 20 UU NO.5 tahun 1999, hal. 20).
19
Case C – 333/94 P, Tentra Pak International SA v. Commission (1996) ECR I – 5951, (1997) 4 CMLR 662.
(23)
66
“[I] would not be appropriate, in the circumstances
of the present case, to require … proof that Tetra Pak had a realistic chance of recouping its losses. It must be possible to penalize predatory pricing whenever there is a risk that competitors will be
eliminated.”20
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa Pengadilan
dalam Tentra Pak II tidak mengharuskan the
Recoupment Test dalam Predatory Pricing. Pengadilan ini menekankan bahwa faktor yang penting dalam
menentukan Predatory Pricing adalah resiko bahwa
pesaing-pesaing akan tergeser.
Posisi hukum antimonopoly Indonesia lebih cenderung mirip atau mengikuti posisi di EU yang ketat karena ketentuan Pasal 25 aya (1), secara tidak
langsung melarang Predatory Pricing yang dilakukan
oleh pemegang posisi dominan secara per se dengan
syarat intent atau purpose. Namun KPPU dalam
menangani Predatory Pricing bisa saja bersikap lunak
dengan melihat Pasal 20 yang mensyaratkan adanya intent untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaing dan/atau mensyaratkan bahwa tingkat harga
pelaku harus di bawah Average Cariable cost.
Non-Pricing Abuses
20
(24)
67
Non-Pricing Abuses ini menekankan pada Tying. Tying merupakan salah satu strategi penjualan yang juga berpeluang untuk mengganggu persaingan.
Secara sederhana tying bisa didefenisikan sebagai
penjualan suatu produk dengan syarat bahwa si pembeli harus juga membeli produk lain yang sebenarya bisa dibeli oleh pembeli dari penjual lain. Persyaratan pembelian ini dianggap bersifat ilegal apabila menggangu persaingan.
Mengenai tying umumnya hukum persaingan
negara-negara menentukan bahwa pada dasarnya praktik ini tidak dengan sendirinya ilegal. Pengecer menawarkan satu kantung terigu merek A setengah harga apabila pembeli juga membeli satu kantung gula
pasir merek A, merupakan contoh dari tying yang
diperbolehkan jika perusahaan A, sebagai produsen terigu merek A, tidak memegang monopoli, baik di
pasar produk terigu atau pun gula pasir.21
Praktik tying bisa dibenarkan adalah jika si
penjual bisa menunjukkan bahwa tying dilakukan atas
dasar sensitivitas teknologi yang mengharuskan supaya produk tertentu digunakan untuk menghindari kerusakan.
21
Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 37
(25)
68
Alasan efisiensi terkadang juga merupakan alasan yang sering kali bisa diterima di pengadilan. Di
Jerman, misalnya, dalam kasus Wirtschaft und
Wettbewerb, pengadilan membolehkan tindakan dua
surat kabar di Stuttgart yang melakukan praktik tying
dengan cara mengharuskan pemasang iklan di salah satu surat kabar untuk juga beriklan di surat kabar lainnya.
b.Amerika Serikat
Putusan-Putusan Mahkamah Agung Amerika
Serikat menyatakan bahwa Section 2 Sherman Act22
tidak menyalahkan pemilikan kekuatan monopoli yang
diperoleh secara sah (natural or legal monopoly power)
tetapi melarang tindakan yang menggunakan
kekuatan monopoli (monopolize) dengan melihat pada
purpose dan intent pelaku. Namun, beberapa putusan telah berbeda dalam menafsirkan kedua istilah
tersebut. Menurut Standart Oil dan American Tobacco,
actual purpose or intent harus ada, yakni pelaku usaha
22
Section ini berbunyi: E ery perso ho shall o opolize, or atte pt to monopolize, or combine or conspire with any other person or person, to monopolize any part of the trade or commerce among the several States, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony, felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding $10,000,000 if a corporation, or, if any other person, $350,000, or by imprisonment not exceeding three years, or by both said punishments, in the discretion of the
(26)
69
harus mempunyai “positive drive to monopolize”.
Artinya, harus ada praktik-praktik “predatory” yang
menghalangi kemampuan pelaku usaha lain untuk
bersaing. Namun, putusan hakim Hand dalam Alcoa
menunjukkan bahwa bukti actual intent kurang
diperlukan, yang penting adalah bukti adanya
kesengajaan (deliberateness) oleh pemegang kekuatan
monopoli untuk mempertahankan posisi
monopolinya.23
Dalam Alcoa, hal ini ditunjukkan dengan tindakan
aktif Alcoa memperbesar kapasitas produksi
aluminium untuk mengantisipasi permintaan dan mempertahankan kapasitas produksi yang eksesif sehingga dapat menghambat pelaku usaha baru masuk ke pasar. Alcoa dianggap mempunyai tujuan atau intent terhadap akibat dari tindakan-tindakannya
tersebut. Pengadilan dalam United Shoe mengikuti
Alcoa. United Shoe memperkuat Alcoa dengan
menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuatan
monopoli dalam Section 2 Sherman Act cukup dengan
menunjukkan praktik-praktik yang dilakukan dengan sengaja yang menghambat pesaing masuk ke pasar walaupun tindakan-tindakan itu sendiri tidak illegal.
23
M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 86
(27)
70
Namun, pengadilan-pengadilan semenjak tahun
1870an tidak lagi mengikuti pendekatan Alcoa dan
United Shoe membatasi cakupan pelanggaran Section 2 Sherman Act. Jadi telah terjadi perkembangan di
Amerika Serikat. Standart Oil (1911) dan American
Tobacco (1911) mengunakan “teori penyalahgunaan” (the abuse theory), Alcoa (1945) dan United Shoe (1953) kemudian meninggalkannya. Selanjutnya mulai tahun
1979, pengadilan kembali menggunakan teori
penyalahgunaan. Artinya, sebagaimana dalam
Standard Oil dan American Tobacco, actual purpose or intent harus terbukti untuk penyalahgunaan posisi
dominan.24
2. Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan di Indonesia
Sebelum menguraikan pengatuan
penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Terlebih dahulu, penulis menjelaskan mengenai pengertian
penyalahgunaan posisi dominan. Istilah
penyalahgunaan posisi dominan terdiri dari kata-kata penyalahgunaan, posisi, dan dominan. Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata
24
(28)
71
“penyalahgunaan” adalah suatu proses, cara,
perbuatan penyalahgunaan atau perbuatan
penyelewengan (penyimpangan atau pengkhianatan), sedangkan arti kata “posisi” adalah kedudukan (orang atau barang) sementara arti kata “dominan” adalah bersifat sangat menentukan karena kekuasaan,
pengaruh, tampak menonjol.25 Oleh karena itu,
penyalahgunaan posisi dominan berarti proses, cara, perbuatan menyelewengkan kedudukan yang bersifat sangat menentukan karena memiliki kekuasaan atau pengaruh (dalam hal kegiatan ekonomi).
Arie Siswanto (2004), menyatakan dalam
bukunya yang berjudul Hukum Persaingan Usaha bahwa penyalahgunaan posisi dominan ini merupakan praktik yang memiliki cakupan luas. Ketika seorang pelaku usaha yang memiliki posisi dominasi ekonomi melalui kontrak mensyaratkan agar konsumenya tidak berhubungan dengan pesaingnya, maka ia dianggap telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Demikian juga apabila pelaku usaha yang memegang
posisi dominan dengan basis “take it or leave it”
membuat penentuan harga di luar kewajaran.26
25
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
26
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 45
(29)
72
Istilah penyalahgunaan posisi dominan berasal
dan dialihbahasakan dari bahasa Inggris abuse of
dominant position. Istilah ini merupakan istilah hukum yang digunakan dan diatur substansinya dalam UU
No. 5 Tahun 1999. Akan tetapi defenisi
penyalahgunaan posisi dominan tidak ditemukan dalam UU tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa pembentuk undang-undang menyerahkan
definisi penyalahgunaan posisi dominan kepada
doktrin, kebiasaan (praktik hukum), dan
yurisprudensi yang mencakup uraian definisi,
batasan, unsur-unsur, ciri-ciri dan kriteria yang
mengabstraksikan penyalahgunaan posisi dominan.27
Selanjutnya penulis menguraikan pengaturan penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tidak dilarang oleh UU No. 5/1999, asalkan pencapaian posisi dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha yang sehat atau fair. Yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah apabila pelaku usaha tersebut menyalahgunakan posisi dominannya.
Pertanyaannya adalah bagaimana pelaku usaha
melakukan penyalahgunaan posisi dominannya
27
http://budiyana.wordpress.com/2008/01/21/konsepsi-penyalahgunaan-posisi-dominan/
(30)
73
sehingga pasar dapat terdistorsi. Bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan atau hambatan-hambatan persaingan usaha yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat 1. Ketentuan Pasal tersebut menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan
tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing dari segi harga maupun kualitas; atau
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
atau
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.
Untuk memahami lebih dalam mengenai isi Pasal 25 ini, maka penulis melakukan penafsiran berdasarkan Buku Ajar Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan
Konteks28, yang menjelaskan mengenai isi Pasal 25
ayat 1 tersebut, yaitu:
28
Lubis, Andi Fahmi (dkk.), Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,
(31)
74
a. Mencegah atau menghalangi konsumen
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat melakukan suatu tindakan untuk mencegah atau menghalangi konsumen untuk memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat perdagangan. Syarat utama yang harus dipenuhi oleh ketentuan Pasal 25 ayat 1 huruf a adalah syarat
perdagangan yang dapat mencegah konsumen
memperoleh barang yang bersaing baik dari segi harga maupun dari segi kualitas. Dapat disimpulkan bahwa konsumen telah mempunyai hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan.
Pertanyaannya adalah mengapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat mengontrol konsumen atau pembeli untuk tidak membeli barang dari pesaingnya? Biasanya konsumen tersebut ada
ketergantungan terhadap pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan. Posisi dominan pelaku usaha yang dapat mencegah konsumen untuk tidak memperoleh barang atau jasa dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah sangat kuat. Dikatakan sangat kuat, karena pelaku usaha
tersebut dapat mengontrol perilaku konsumen
(32)
75
dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut. Mengapa pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan dapat mengontrol
konsumen/pembeli tersebut? karena pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan menetapkan syarat-syarat perdagangan di depan, yaitu pada waktu konsumen/ pembeli mengadakan hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut. Hal ini memang agak jarang ditemukan di dalam aturan hukum persaingan usaha negara lain. Yang sering terjadi adalah bahwa pelaku usaha posisi dominan menolak pelaku usaha yang lain (pembeli) untuk mendapatkan barang dari pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan tersebut (refusal to deal).
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat membatasi pasar. Pengertian membatasi pasar di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi pasar yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk dapat bersaing di
(33)
76
pasar yang bersangkutan. Bentuk-bentuk membatasi pasar dapat dilakukan berupa melakukan hambatan
masuk pasar (entry barrier), mengatur pasokan barang
di pasar atau membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa di pasar yang
bersangkutan29 dan melakukan jual rugi yang akan
menyingkirkan persaingnya dari pasar.30 Termasuk
melakukan perjanjian tertutup31 dan praktik
diskriminasi32 dapat dikategorikan suatu tindakan
membatasi pasar.
Misalnya definisi diskriminasi tidak ada ditetapkan di dalam UU No. 5/1999. Secara umum tindakan diskriminasi dapat diartikan bahwa seseorang atau pelaku usaha memperlakukan pelaku usaha lain secara istimewa, dan pihak lain pelaku usaha lain tidak boleh menikmati keistimewaan tersebut, atau ditolak. Atau pelaku usaha yang menguasai suatu
fasilitas jaringan teknologi tertentu (essential facilities
doctrine) yang seharusnya dapat dibagikan kepada pelaku usaha pesaingnya asalkan tidak mengganggu sistem jaringan teknologi tersebut jika dibagikan kepada pelaku usaha pesaingnya. Tentu pelaku usaha
29
Pasal 19 huruf c UU No. 5 tahun 1999.
30
Ibid., Pasal. 20
31
Ibid., Pasal. 15
32
(34)
77
yang menikmati jaringan teknologi harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi penggunaan jaringan tersebut.
Penyalahgunaan yang lain yang diatur di dalam 25 ayat (1) huruf b adalah membatasi pengembangan teknologi. Sebenarnya pengembangan teknologi adalah merupakan hak monopoli pelaku usaha tertentu yang
menemukannya menjadi hak atas kekayaan
intelektual penemunya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5/1999 yang mengecualikan hak atas kekayaan intelektual. Oleh karena itu, pengertian pembatasan pengembangan teknologi harus diinterpretasikan sebagai upaya pelaku usaha tertentu terhadap pengembangan
teknologi yang dilakukan oleh pelaku usaha
pesaingnya untuk meningkatkan produksi barang baik segi kualitas mapun kuantitas.
c. Menghambat pesaing potensial
Bentuk penyalagunaan posisi dominan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah menghambat pelaku usaha yang lain yang berpotensi menjadi pesaing di pasar yang bersangkutan. Ketentuan ini ada kesamaan dengan
(35)
78
larangan Pasal 19 huruf a yang menetapan menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Di dalam hukum persaingan usaha dikenal apa yang disebut dengan pesaing faktual dan
pesaing potensial.33 Pesaing faktual adalah pelaku
usaha-pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang bersangkutan. Sedangkan
pesaing potensial adalah pelaku usaha yang
mempunyai potensi yang ingin masuk ke pasar yang bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri maupun pelaku usaha dari luar negeri. Hambatan masuk pasar bagi pesaing potensial yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan hambatan masuk pasar
oleh karena kebijakan-kebijakan Negara atau
pemerintah.
Hambatan masuk pasar oleh pelaku usaha posisi dominan swasta adalah penguasaan produk suatu barang mulai proses produki dari hulu ke hilir hingga
pendistribusian – sehingga perusahaan tersebut
demikian kokoh pada sektor tertentu mengakibatkan pelaku usaha potensial tidak mampu masu ke pasar yang bersangkautan. Sedangkan hambatan masuk
33
Silalahi, Udin, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol: Bagaimana Cara Memenangkan?, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007.
(36)
79
pasar akibat kebijakan negara atau pemerintah ada dua, yaitu hambatan masuk pasar secara struktur dan strategis. Hambatan masuk pasar secara struktur adalah dalam kaitan sistem paten dan lisensi. Sementara hambatan masuk pasar secara strategis
adalah kebijakan-kebijakan yang memberikan
perlindungan atau perlakuan khusus bagi pelaku usaha tertentu, akibatnya pesaing potensial tidak dapat masuk ke dalam pasar. Jadi, di dalam hukum persaingan usaha ukuran yang sangat penting adalah bahwa pesaing potensial bebas keluar masuk ke pasar yang bersangkutan.
Selain pelaku usaha yang dominan dapat
melakukan penyalahgunaan posisi dominannya
sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 25 ayat 1 tersebut, pelaku usaha tersebut dapat juga melakukan perilaku yang diskriminatif, baik diskriminasi harga
dan non harga dan jual rugi (predatory pricing).
Peraturan KPPU No.6 tahun 2010 tentang
pedoman pelaksanaan Pasal 25 tentang
penyalahgunaan posisi dominan berdasarkan UU No.5
tahun 1999, menguraikan konsep dasar
penyalahgunaan posisi dominan yaitu pertama, penentuan posisi dominan, dan kedua, melakukan tindakan yang bersifat antipersaingan. Konsep dasar
(37)
80
ini berawal dari pemikiran bahwa penyalahgunaan
posisi dominan (abuse of dominant position) muncul
ketika pelaku usaha memiliki kekuatan secara ekonomi yang memungkinkan pelaku usaha yang bersangkutan untuk beroperasi di pasar tanpa terpengaruh oleh persaingan dan melakukan tindakan
yang dapat mengurangi persaingan (lessen
competition).
a. Perilaku Eksklusif
PPD biasanya dapat dilihat dari perilaku strategis
perusahaan atau strategic behavior. Strategic behavior
adalah sebuah konsep bagaimana sebuah perusahaan dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing potensial yang baru akan bermain di pasar yang pada
dasarnya ditujukan untuk menigkatkan profit
perusahaan. Perilaku ini tidak hanya dipusatkan pada penetapan harga maupun kualitas secara sederhana. Namun lebih kompleks lagi mengejar pangsa pasar, memperlebar kapasitas, hingga mempersempit ruang gerak pesaing.
Strategic behavior terdiri dari dua tipe yaitu, dalam bentuk kooperatif maupun non kooperatif. Strategic behavior kooperatif diciptakan untuk mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan
(38)
81
semua perusahaan untuk berkoordinasi dan
membatasi respon pesaingnya. Bentuk Strategic
behavior kooperatif ini mampu meningkatkan profit semua perusahaan yang bermain di pasar dengan meminimalisir persaingan. Konsep kedua ini mengacu pada perilaku kolusif yang dimotori oleh perusahaan
dominan. Perilaku Price Leadership termasuk ke dalam
tipe kedua ini. Sementara Strategic behavior yang
bersifat non kooperatif mengacu pada tindakan pelaku usaha yang mencoba meningkatkan profit dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing. Pelaku usaha tidak melakukan kerjasama satu sama
lain. Strategic behavior jenis ini biasanya
meningkatkan profit satu perusahaan dan
menurunkan profit perusahaan pesaing.
Perilaku strategis yang termasuk dalam kategori bersifat non kooperatif ini dapat diistilahkan sebagai
perilaku eksklusif (exclusionary strategic behavior).
Perilaku ekslusif ini merupakan perilaku perusahaan dominan untuk membatasi atau menyingkirkan perusahaan pesaingnya, yang terdiri dari dua kategori yaitu perilaku harga dan perilaku non-harga.
Khusus mengenai perilaku yang menggunakan
instrumen harga, terbagi atas dua jenis yaitu Predatory pricing dan limit pricing. Dua jenis model ini
(39)
82
melibatkan kebijakan perusahaan yang dirancang
untuk membuat pesaing tidak tertarik untuk
berkompetisi di pasar. Perusahaan dominan biasanya memanfaatkan keunggulan posisinya (baik dalam hal kemampuan produksi, distribusi, akses kepada pasokan, maupun keuangan) ketika melakukan strategi perusahaan dalam mengejar pasar.
1. Predatory Pricing
Predatory Pricing merupakan tindakan dari sebuah perusahaan dominan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga di bawah biaya produksi. Akan tetapi dalam praktiknya juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Begitu semua pesaing telah keluar, maka pelaku usaha dominan langsung menaikkan harga. Selama periode praktik predatori ini, pelaku usaha dominan kehilangan keuntungan dan mengalami kerugian melebihi kerugian pesaingnya. Pelaku usaha dominan harus mendapatkan semua permintaan pada tingkat harga yang rendah. Sehingga dapat memelihara harga yang rendah. Akan tetapi, pesaing masih bebas
menentukan output guna mengurangi kerugiannya.
Tentu saja, selama periode Predatory Pricing ini,
(40)
83
pesaingnya. Dalam periode ini, konsumenlah yang memperoleh manfaat, konsumen dapat membeli produk yang murah. Namun setelah periode ini selesai, ketika harga harga meningkat pada level yang lebih tinggi (pada harga monopoli), maka konsumen akan mengalami kerugian.
Andaikata praktik ini berhasil hingga memaksa pesaing bangkrut, maka dapat dipastikan aset pesaing secara permanen dapat ditarik keluar dari industri atau paling tidak dapat dikuasai oleh predator. Jika tidak, perusahaa lainnya akan masuk dan membeli aset tersebut dan persaingan kembali tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, strategi yang paling jitu supaya praktik ini berhasil adalah membuat pesaing bangkrut dan membeli semua aset pesaing dengan harga penawaran.
2. Limit Pricing
Strategic behavoir lainnya yang juga termasuk
perilaku penyalahgunaan posisi dominan adalah Limit
Pricing. Konsep sederhana Limit Pricing, potential entrant percaya bahwa pelaku usaha dominan tidak
mengubah level outputnya setelah ada pemain baru.
Oleh karena itu, pemain baru akan percaya bahwa
(41)
84
ditambah output incumbent. Pada model ini, dominan
memilih level output dan harga untuk menghilangkan
insentif perusahaan untuk masuk ke pasar. Sehingga dengan memilih pembatasan produksi, pelaku usaha
dominan mampu mengenakan Limit Pricing pada harga
tinggi, meskipun sebetulnya pelaku usaha dominan
tidak harus berproduksi sebanyak pembatasan
produksi, hal itu dilakukan dalam rangka menghalangi pesaing masuk, dan memberi ancaman saja dengan sinyal jika pesaing benar-benar masuk.
b. Dampak PPD terhadap persaingan dan
konsumen.
Adanya PPD di pasar, maka hampir dipastikan terjadi peningkatan tingkat kosentrasi di suatu
industri yang menjadi indikasi peningkatan market
power pelaku usaha dalam industri tersebut.
Peningkatan market power memberikan keleluasaan
bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga (price
maker). Ada tidaknya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha, dapat diindikasikan dengan tingginya harga jual produk, relatif dengan produk substitusi, relatif dengan biaya produksi dan tingginya margin keuntungan pelaku usaha di pasar bersangkutan. Ada dua jenis dampak dari PPD ini yakni dampak
(42)
85
terhadap persaingan dan dampak terhadap
konsumen.
1. Dampak terhadap persaingan
Pada indsutri dimana terdapat pelaku usaha
dominan, tingginya market power perusahaan
dominan relatif terhadap para pesaingnya,
memudahkan pelaku usaha tersebut untuk
menentukan output dan harga tanpa terpengaruh
keputusan pesaing. Terdapat dua bentuk dampak
yang diakibatkan oleh penyalahgunaan posisi
dominan.
Dampak yang pertama muncul sebagai akibat dari
penerapan perilaku strategis yang bersifat kooperatif. Keputusan pelaku usaha dominan untuk menetapkan
harga tinggi sebagai bentuk penggunaan market power
secara optimum akan menjadi pelindung dan insentif bagi pesaing-pesaingnya untuk turut menikmati harga yang tinggi tersebut. Fenomena ini adalah bentuk dari
munculnya price leadership. Price leadership yang
menjelaskan bahwa pelaku usaha dominan
mempunyai kekuatan sebagai price setter (penentu
harga). Harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha dominan kemudian akan diikuti oleh pelaku-pelaku
(43)
86
leadership dalam suatu industri menyebabkan pilihan konsumen untuk menikmati harga yang lebih murah
menjadi terhambat. Indikasi terjadinya Price leadership
adalah tingginya harga produk, serta tingginya margin keuntungan antar pelaku usaha.
Dampak yang kedua adalah hasil dari perilaku
strategis yang bersifat non kooperatif. Berdasarkan uraian sebelumnya terlihat bahwa penerapan strategi
ini akan mampu membatasi atau mempersempit ruang
gerak bagi para pemain baru yang akan masuk ke
dalam industri, dan bahkan mampu mengeluarkan
atau membangkrutkan pelaku usaha pesaingnya.
2. Dampak terhadap konsumen
Pada periode Predatory Pricing dimana pelaku
usaha dominan menetapkan harga yang
serendah-rendahnya, tentu saja konsumen mendapatkan
dampak positif yakni terjadi peningkatan consumer
surplus. Akan tetapi setelah periode Predatory Pricing tersebut berakhir, dan perusahaan dominan telah berhasil „mengusir‟ pesaingnya keluar dan bersiap untuk melakukan manuver sebagai monopolis, dapat
dipastikan peningkatan harga oleh perusahaan
dominan akan terjadi karena pesaing menjadi lebih sedikit dan nyaris tidak memiliki kekuatan. Sehingga
(44)
87
consumer loss yang muncul sebagai akibat dari tingginya harga jual produk dibandingkan dari yang seharusnya dapat dijangkau lebih murah atau
kuantitas output di pasaran yang jumlahnya lebih
rendah atau sedikit dari yang seharusnya konsumen dapatkan menjadi naik. Kerugian konsumen lainnya dengan adanya tindakan PPD ini adalah hilangnya kesempatan konsumen untuk memperoleh harga yang lebih rendah, hilagnya kesempatan konsumen untuk menggunakan layanan yang lebih banyak pada harga
yang sama, kerugian intangible konsumen, serta
terbatasnya alternatif pilihan konsumen.
c. Pembuktian PPD
Pembuktian dugaan PPD, KPPU menggunakan pendekatan yang dibagi atas 3 (tiga) tahap, yakni:
1. Pendefenisian pasar bersangkutan
2. Pembuktian adanya posisi dominan di pasar
bersangkutan
3. Pembuktian apakah pelaku usaha yang yang
memiliki posisi dominan tersebut telah
(45)
88
Adapun bagan proses pembuktian PPD ini yaitu Bagan
Proses Pembuktian Pasal 2534
34
Peraturan KPPU Nomor 6 Tahun 2010, tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 Tentang Penyalahunaan Posisi Dominan Berdasarkan UU No.5 tahun 1999, Hal. 20
Acuan: Psl 25 ayat 2
-Pangsa pasar >50%
-Pangsa pasar >75% Produk dan Geografis Stop Dugaan Pelanggaran Pasal 25 Tahap I: Defenisi Pasar Bersangkutan Tahap II: Pembuktian Posisi Dominan Tahap III: Pembuktian Penyalahgunaan Posisi Dominan
Psl 25 ayat 1 poin: A dan/atau B
dan/atau C
Dugaan Pelanggar an Psl 25 tidak terpenuhi Dugaan Pelanggaran Psl 25 terpenuhi Tidak Memenuhi Memenuhi Memenuhi Stop Tidak Memenuhi
(46)
89
Dari bagan di atas, maka penafsiran Pasal 25 ayat (2) semakin jelas. Karena dari baga tersebut, diketahui bahwa ketentuan penguasaan pangsa pasar 50% untuk satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha sebagaimana diatur di dalam Pasal 25 ayat 2 tersebut tidak bersifat absolut. Secara normatif ketentuan Pasal 25 ayat 2
bersifat per se. Artinya, apabila suatu pelaku usaha
sudah menguasai pangsa pasar 50% untuk satu pelaku usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha, maka penguasaan pangsa pasar tersebut
langsung dilarang. Andaikata pendekatan per se
diterapkan kepada Pasal 25, maka sama dengan menghambat tujuan UU No. 5/1999, yaitu mendorong pelaku usaha berkembang berdasarkan persaingan usaha yang sehat. Akan tetapi di dalam praktiknya KPPU telah menerapkan ketentuan Pasal 25 ayat
tersebut dengan pendekatan rule of reason. Hal ini
untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999 yang
menggunakan pendekatan rule of reason dalam
penerapannya. Alasan Pasal 25 harus diterapkan
dengan menggunakan pendekatan rule of reason yaitu
(47)
90
maka akan membatasi pertumbuhan (perkembangan) pelaku usaha yang efisien dan inovatif serta kompetitif
di pasar yang bersangkutan.35
Penafsiran serta penerapan seperti ini memang akan memicu perdebatan diantara KPPU dengan praktisi hukum yang menginginkan ketentuan Pasal 25 diterapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 tersebut tanpa perlu menginterpretasikan lebih lanjut. Akan tetapi harus dilihat prinsip dan tujuan hukum persaingan usaha, yaitu bukan untuk menghambat persaingan tetapi untuk mendorong persaingan usaha. Jadi, pelaku usaha yang dapat bersaing dengan sehat dan melakukan efisiensi dan inovasi serta dapat menjadi lebih unggul atau mempunyai posisi dominan lebih dari pada yang ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat (2) tidak seharusnya dilarang. Sekali lagi pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar lebih dari 50% dan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar, tidak dilarang asalkan pencapaian tersebut dicapai dengan persaingan usaha yang sehat atau fair. Sehingga karena ketentuan Pasal 4, 13, 17
35
Lubis , Andi Fahmi, Buku Ajar Hk Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks,
(48)
91
dan Pasal 18 menggunakan pendekatan rule of reason,
maka ketentuan Pasal 25 harus diterapkan dengan
pendekatan rule of reason. Kalau tidak demikian,
maka prinsip ketentuan Pasal 25 bertentangan dengan ketentuan Pasal 4, 13, 17, dan Pasal 18 UU No. 5/1999.
Sebaliknya, jika suatu pelaku usaha tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha (monopoli), tetapi dalam praktiknya dapat melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dapat terjadi tergantung korelasi penguasaan pangsa pasar suatu pelaku usaha yang
mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya.
Misalnya, kalau pelaku usaha A mempunyai pangsa pasar 40% sementara pangsa pasar pesaingnya tersebar kecil-kecil dikuasai oleh 6 pelaku usaha dengan penguasaan pangsa pasar masing-masing 10%, yaitu pelaku usaha B menguasai 10%, C10%, D 10%, E 10%, F 10% dan Pelaku usaha G menguasai 10%. Jadi, jika struktur pasar yang demikian, maka Pelaku usaha A yang mempunyai pangsa pasar 40%
dapat dikatakan sebagai pelaku usaha yang
(49)
92
penguasaan pangsa pasar pesaingnya masing-masing
menguasai 10%.36 Dalam hal ini jika pelaku usaha
yang mempunyai pangsa pasar 40% tersebut mau, dia dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat di pasar yang bersangkutan.
Dengan demikian ketentuan penetapan penguasaan pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dan penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha tidak berlaku mutlak, karena penguasaan pangsa pasar di bawah 50% untuk pasar monopoli dan di bawah 75% untuk pasar oligopoli yang ditetapkan oleh Pasal 25 ayat 2 UU No. 5 dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat, tergantung berapa sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya. Oleh karena itu Heermann mengatakan bahwa posisi dominan tidak harus berarti pangsa pasar paling sedikit 50% atau 75%.
Ketentuan Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan ini dapat dielaborasi dengan beberapa pasal
lain dalam UU Persaingan Usaha37, yakni:
1. Pasal 6
36
Silalahi, Udin, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol: Bagaimana Cara Memenangkan?, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007, hal. 196
37
Peraturan KPPU Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 Tentang Penyalahunaan Posisi Dominan Berdasarkan UU No.5 tahun 1999.
(50)
93
Perusahaan yang memiliki posisi dominan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar, diantaranya melalui penetapan
kebijakan harga (melalui perjanjian) yang
berbeda untuk barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis (diskriminasi harga).
2. Pasal 15
Perusahaan yang memiliki posisi dominan
memiliki kemampuan untuk melakukan
perjanjian tertutup, dalam hal ini mitra dagang perusahaan yang bersangkutan tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk memperoleh persyaratan perjanjian yang lebih adil dan proporsional secara ekonomis.
3. Pasal 17
Perusahaan dengan posisi dominan pada
hakekatnya identik dengan memiliki kekuatan monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya praktik monopoli yang menghambat persaingan usaha sehat sangat mungkin terjadi.
4. Pasal 18
Perusahaan dengan posisi dominan, khususnya di tingkat hilir memiliki kemampuan untuk menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
(51)
94
pembeli tunggal melalui penetapan syarat-syarat pembelian tidak wajar kepada supliernya.
5. Pasal 19
Perusahaan dengan posisi dominan pada
hakekatnya memiliki kemampuan untuk
menguasai pasar sehingga dapat melakukan
perilaku seperti diskriminasi, membatasi
peredaran barang atau jasa dan berbagai perilaku anti persaingan lainnya.
6. Pasal 20
Perusahaan dengan posisi dominan memiliki kemampuan untuk menetapkan jual rugi atau harga yang sangat rendah dengan tujuan untuk menyingkirkan pesaing secara tidak sehat.
7. Pasal 26
Perusahaan dapat melakukan penyalahgunaan posisi dominan secara tidak langsung, yang
diakibatkan dari rangkap jabatan antar
perusahaan yang bersangkutan.
8. Pasal 27
Perusahaan dapat melakukan penyalahgunaan posisi dominan secara tidak langsung, yang
(52)
95
diakibatkan kepemilikan silang antar
perusahaan yang bersangkutan.
9. Pasal 28
Perusahaan yang memiliki posisi dominan dapat
merupakan perusahaan hasil dari
penggabungan beberapa perusahaan, peleburan dalam satu kelompok perusahaan dan/atau pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain.
Elaborasi Pasal 25 tentang penyalahgunaan posisi dominan ini dengan beberapa Pasal lain yang telah diuraikan di atas tidak berimplikasi pada penerapan Pasal oleh KPPU. Artinya, KPPU dapat menerapkan Pasal 25 sebagai dakwaan tunggal apabila terkait struktur pasar, ataupun menggunakan pasal lain (dakwaan berlapis) yang terkait dengan pembuktian struktur pasar dan perilaku dari terlapor dalam
menyelidiki dugaan penyalahgunaan posisi dominan.38
C.
Pasar Bersangkutan
Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu atau daerah tertentu oleh pelaku usaha atas barang
38
(53)
96
dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
dari barang dan/atau jasa tersebut.39 Pengertian pasar
bersangkutan ini lebih menekankan pada konteks horizontal yang menjelaskan posisi pelaku usaha beserta pesaingnya. Hal ini dapat dikategorikan dalam
dua perspektif yaitu pasar berdasarkan produk.terkait
dengan kesamaan atau kesejenisan dan/atau tingkat
substitusinya dan pasar berdasarkan geografis yang
terkait dengan jangkauan dan/atau daerah pemasaran. Dari definisi pasar bersangkutan di atas, maka
terdapat unsur-unsur penting yang terkandung
didalamnya yaitu:
1. Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para
pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan
transaksi perdagangan barang dan/atau jasa.40
2. Jangkauan atau daerah pemasaran
Mengacu pada penetapan pasar bersangkutan
berdasarkan aspek geografis atau daerah
(teritori) yang merupakan lokasi pelaku usaha melakukan kegiatan usahanya, dan/atau lokasi ketersediaan atau peredaran produk dan jasa dan/atau dimana beberapa daerah memiliki
39
Pasal 1 angka (10) UU No.5 tahun 1999.
40
(54)
97
kondisi persaingan relatif seragam dan berbeda dibanding kondisi persaingan dengan daerah lainnya.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
4. Sama atau sejenis atau substitusi.41
Mengacu pada definisi pasar bersangkutan
berdasarkan produk, maka produk bisa
dikategorikan dalam pasar bersangkutan atau dapat digantikan satu sama lain apabila menurut konsumen terdapat kesamaan dalam hal fungsi atau penggunaan, karakter spesifik,
serta perbandingan tingkat harga produk
tersebut dengan harga barang lainnya. Jika dilihat dari sisi penawaran, barang substitusi merupakan produk yang potensial dihasilkan
41
Peraturan KPPU Nomor 3 tahun 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 angka 10 Tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan UU No.5 tahun 1999.
(55)
98
oleh pelaku usaha yang berpotensi masuk ke dalam pasar tersebut.
Pendefinisian pasar bersangkutan ini merupakan salah cara untuk mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut oleh suatu pelaku usaha. Dalam pasar bersangkutan yang cakupan terlalu sempit, maka sangat mungkin pelaku usaha yang menguasai produk tertentu dinilai menjadi pemegang posisi dominan. Akan tetapi sebaliknya apabila definisi pasar produk tersebut cakupannya terlalu luas, maka bisa jadi pelaku usaha tersebut tidak dinilai sebagai pemegang posisi dominan. Dalam hal inilah maka pendefinisian pasar menjadi sangat strategis keberadaannya karena melalui pendefinisian ini maka berbagai kondisi faktual di pasar bisa dianalisis dalam perspektif persaingan.
Seperti yang sudah dijelaskan di sebelumnya, pasar bersangkutan memiliki dua aspek utama yakni produk
dan geografis (lokasi).42 Pasar produk, terdiri atas (2)
dua bagian yaitu:
1) Pasar produk upstream, yakni pemasok memiliki
susbtitusi terhadap peritel yang akan dipasok
42
(56)
99
2) Pasar produk downstream, yakni substitusi dari
produk yang ditawarkan oleh peritel kepada konsumen akhir.
Penentuan pasar bersangkutan tidak selalu mudah jika dilihat dari prakti selama ini, karena produk yang satu bisa saja berdekatan dengan produk yang lain sehingga menimbulkan pertanyaan apakah keduanya berada dalam pasar produk yang sama atau tidak. Salah satu contoh menarik tentang hal ini
terjadi di Amerika Serikat dalam kasus U.S.v.E.I. du
Pont de Nemours & Company (1958). Dalam kasus
tersebut, Mahkamah Agung Amerika Serikat
dihadapkan pada persoalan tentang apakah du Pont
memonopoli pasar produk cellophane (sejenis perekat
dari bahan plastik). Jika pasar produk dalam kasus itu secara konkret diartikan sebagai “pasar produk cellophane”, du Pont memiliki pangsa pasar sebesar 75%, suatu presentase yang cukup untuk mengatakan
bahwa du Pont memonopoli pasar. Namun,
persoalannya pasar produk bisa sedikit diperluas
bukan hanya terbatas pada pasar produk cellophane,
melainkan juga meliputi produk-produk yang
„berdekatan‟ yang bersama-sama dengan cellophane bisa digolongkan sebagai produk „alat untuk mengemas paket‟ (packaging materials), seperti
(57)
100
alumunium foil, glasine, dan polyethilene. Jika pasar
produk dalam kasus ini diartikan sebagai pasar produk „packaging materials‟, du Pont dengan cellophane-nya hanya menguasai 20% pangsa pasar,
angka presentase yang tidak cukup untuk
mengatakan bahwa perusahaan itu melakukan
monopoli.
Untuk membantu menentukan pasar produk tertentu yang tidak selalu mudah, konsep yang bisa digunakan
adalah “cross-elasticity demand” atau dapat tidaknya
produk yang satu digantikan oleh produk yang lain. Jika dua produk bisa saling menggantikan meskipun secara spesifik berbeda, bisa saja ditetapkan bahwa ke dua produk tersebut berada dalam produk yang sama.
Konsep inilah yang juga diadopsi oleh Reed,
hakim yang menangani kasus du Pont. Dalam kasus
tersebut Reed mengatakan:
“An element for consideration as to cross elasticity of demand between products is the responsiveness of the sales of one products to price changes of the other. If a slight decrease in the price cellophane causes considerable numbers of customers of other flexible wrappings to switch to cellophane, it would be an indication that a high cross elasticity of demand exist between them; that the product complete in the same
market.”43
43
Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 37
(58)
101
Pasar geografis, terdiri atas 2 (dua) bagian yaitu:
1) Pasar geografis upstream, yakni lokasi atau
daerah peritel memperoleh pasokan.
2) Pasar geografis downstream, yakni peralihan
pembeli antar peritel.
Pasar produk dalam hal ini ialah produk-produk pesaing dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang bisa menjadi substitusi dari produk tersebut. Produk lain menjadi substitusi sebuah produk jika keberadaan produk lain tersebut membatasi ruang kenaikan harga dari produk tersebut. Sedangkan pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah tersebut. Biasanya hal seperti ini terjadi karena biaya transportasi yang harus dikeluarkan konsumen tidak signifikan, sehingga tidak mampu mendorong terjadinya perpindahan konsumsi produk tersebut. Jika dalam sebuah negara dijual sebuah produk dengan biaya transportasi yang tidak signifikan, maka pasar geografis produk tersebut adalah seluruh wilayah negara tersebut. Di sisi lain, jika pelaku usaha menjual produk dalam satu wilayah
(59)
102
tertentu dan konsumen tidak memiliki akses terhadap produk dari luar wilayah tersebut, maka juga dapat disimpulkan bahwa pasar geografis produk tersebut adalah wilayah tersebut. Apabila batas wilayah pasar geografis suatu produk tidak dapat ditentukan dengan mudah, maka penetuan batasan pasar geografis dapat dilakukan dengan mengidentifikasi apakah kenaikan harga di suatu daerah secara substansial mampu mempengaruhi suatu daerah yang lain. Bila demikian, maka kedua lokasi tersebut berada pada pasar yang sama.
Pada perkembangan yang terjadi, pendekatan terhadap elastisitas permintaan dan penawaran dapat dilakukan melalui analisis preferensi konsumen, dengan menggunakan dua parameter utama pada
pasar produk sebagai alat pendekatan44yaitu:
a) Faktor harga.
Faktor harga yang dipertimbangkan dalam menentukan pasar bersangkutan yaitu harga produk yang mencerminkan harga pasar yang wajar atau kompetitif.
Proses analisis terhadap harga yang tidak wajar atau non kompetitif cenderung menghasilkan
44
Peraturan KPPU Nomor 3 tahun 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 angka 10 Tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan UU No.5 tahun 1999.
(60)
103
estimasi pasar bersangkutan yang terlalu luas, Produk-produk yang dianalisis tidak harus memiliki kesamaan harga, karena variasi harga dari produk-produk yang dianalisis sangat mungkin terjadi.
Inti analisis terhadap parameter harga bukan pada besaran nominal, tapi pada reaksi konsumen terhadap perubahan harga yang
terjadi pada produk yang dimaksud,
Peningkatan harga (secara hipotetis) harus hanya terjadi di produk A sementara harga produk substitusi tidak berubah. Dengan kata lain, peningkatan harga A tidak boleh memiliki dampak inflasi, Peningkatan harga harus
diasumsikan berkesinambungan, yaitu
berlangsung lama (non transitory). Fluktuasi
harga jangka pendek dan (cyclical) sebisa
mungkin dikeluarkan (exclude) untuk
menghindari ketidakakuratan dalam pengolahan dan analisis perubahan harga. Peningkatan harga hipotetis harus sedikit saja namun signifikan. Sehingga dengan sedikitnya kenaikan harga maka respon pembeli hanya berpindah ke produk yang merupakan substitusi.
(61)
104
Parameter mengenai karakter atau cirri suatu produk dan kegunaan (fungsi), dalam hal ini produk dalam suatu pasar tidak harus memiliki kualitas yang sama. Oleh karena saat ini tingkat diferensiasi produk sudah sangat tinggi, dimana
produk tertentu memiliki jenjang variasi (range)
yang sangat lebar, baik dari spesifikasi teknis,
harga merk (brand) maupun kemasan
(packaging).
Sepanjang konsumen menentukan bahwa
produk terkait memiliki karakter dan fungsi yang sama, maka produk-produk tersebut dapat dikatakan sebagai substitusi satu sama lain terlepas dari spesifikasi teknis, merk atau kemasan tertentu yang melekat di produk produk tersebut. Akan tetapi jika sebaliknya konsumen menentukan bahwa produk-produk dimaksud tidak memiliki kesamaan fungsi dan karakter yang diperlukan, maka produk tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai substitusi, walaupun terdapat kemiripan atau kesamaan
dalam spesifikasi teknis, merk maupun
kemasan.45
45
(62)
105
Penggunaan dua parameter tersebut di atas
dapat memberikan informasi yang valid dan
komprehensif mengenai sifat substitusi suatu produk dengan produk lain, dengan metodologi serta proses analisis yang lebih sesuai dengan keterbatasan data serta waktu yang dimiliki oleh KPPU. Penetapan pasar berdasarkan aspek geografis sangat ditentukan oleh ketersediaan produk yang menjadi obyek analisa.
Beberapa faktor yang menentukan dalam
ketersediaan produk tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kebijakan perusahaan
2) Biaya transportasi
3) Lamanya perjalanan
4) Tarif dan peraturan-peraturan yang
membatasi lalu lintas perdagangan antar kota/wilayah.
Berbagai faktor tersebut akan menentukan luas dan cakupan wilayah dari produk yang dijadikan obyek analisa. Faktor tersebut merupakan salah satu indikasi langsung mengenai cakupan pasar geografis. Dalam hal ini, keputusan pimpinan perusahaan akan sangat menentukan logistik produk terutama untuk daerah atau wilayah yang dijadikan target pemasaran.
(1)
115
transpersonal. Disini aspek kebudayaan atau hasil
peradaban mendapat perhatian khusus.57
Aspek kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan) benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.
Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia
dibuat dalam rangka untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini berkaitan dengan demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Ini merupakan salah satu tujuan hukum dari sisi keadilan yang dikehendaki oleh Gustav Radbruch sehingga setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan
57
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1982, hal. 163
(2)
116
oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
Tujuan hukum yang dimaksudkan oleh Gustav Radbruch jika dikaitkan dengan UU Persaingan Usaha maka bisa dilihat dari Pasal 3 UU No.5 tahun 1999 yang mengatur mengenai tujuan pembentukan UU Persaingan Usaha Indonesia yaitu:
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Dari rumusan Pasal 3 di atas, jika dilihat dari sisi kepastian sangat diakomodir karena UU Persaingan
(3)
117
usaha ini memberi kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Sementara dari sisi kemanfaatan, jelas bahwa UU Persaingan usaha ini menghendaki adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga dengan UU Persaingan usaha ini dapat dinikmati oleh semua kalangan baik pelaku usaha begitu pula dengan masyarakat. Disinilah letak keadilan yang dimaksudkan oleh Gustav Radbruch.
Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia tidak bertujuan melindungi persaingan usaha demi kepentingan persaingan itu sendiri. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 3 tidak hanya terbatas pada tujuan utama undang-undang antimonopoli, yaitu sistem persaingan usaha yang bebas dan adil, di mana terdapat kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha.. Tujuan ini telah ditegaskan dalam Pasal 3 huruf (b) dan (c) UU No.5 tahun 1999. Selain itu. Pasal 3 menyebutkan tujuan sekunder UU Persaingan Usaha yang ingin dicapai melalui sistem persaingan usaha yang bebas dan adil: kesejahteraan rakyat dan suatu sistem ekonomi yang efisien (Pasal 3 huruf a dan d UU No.5 tahun 1999). Sehingga konsekuensi terakhir tujuan kebijakan ekonomi, yaitu
(4)
118
penyediaan barang dan jasa yang optimal bagi para konsumen.
Proses persaingan usaha dapat mencapai tujuan tersebut dengan cara memaksakan alokasi faktor
dengan cara ekonomis sehingga terwujudlah
penggunaan paling efisien sumber daya yang terbatas, penyesuaian kapasitas produksi dengan metode produksi dan struktur permintaan serta penyesuaian penyediaan barang dan jasa dengan kepentingan konsumen (fungsi pengatur persaingan usaha), dengan menjamin pertumbuhan ekonomi yang optimal, kemajuan teknologi dan tingkat harga yang stabil (fungsi pendorong persaingan usaha) serta dengan menyalurkan pendapatan menurut kinerja pasar berdasarkan produktivitas marginal (fungsi distribusi). Dengan memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dalam berusaha maka pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dapar bersaing secara wajar dan sehat, serta tidak merugikan masyarakat banyak dalam berusaha, sehingga pada gilirannya penguasaan pasar yang terjadi timbul secara kompetitif. Di samping itu dalam rangka menyosong era perdagangan bebas, mesti menyiapkan dan mengharmonisasikan rambu-rambu
(5)
119
hukum yang mengatur hubungan ekonomi dan bisnis antarbangsa seperti yang sudah disepakati dalam
Final Act Uruguay Round sebagai bagian dari
pembentukan World Trade Organization (WTO). Dengan
demikian dunia internasional juga mempunyai andil dalam mewujudkan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.58
Dengan demikian UU Persaingan Usaha ini
dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah
timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat bersaingan secara wajar dan sehat. Dengan berbagai uraian di atas, maka sepertinya aspek kepastian yang paling ditonjolkan dalam UU Persaingan Usaha ini. Sehingga tujuan hukum yang dicita-citakan oleh
Gustav Radbruch dalam hal ini kepastian,
kemanfaatan dan keadilan tidak pernah dipenuhi secara bersamaan karena ketiga tujuan hukum itu
58
Usman, Rachmadi, Hukum persaingan usaha di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. X (10)
(6)
120
satu sama lain seringkali tidak bersesuaian atau saling „bertabrakan‟ satu sama lain.
Meskipun demikian, hendaknya implementasi UU persaingan usaha ini berikut peraturan di bawahnya dapat selalu berorientasi59 pada ketiga tujuan hukum yang majemuk itu.60
59
Notohamidjojo, O, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011, hal. 33-34
60
Notohamidjojo, O, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1967, hal. 79