PERAN RORAK DALAM MENGENDALIKAN LAJU EROSI DAN MENINGKATKAN SIMPANAN AIR TANAH PADA HUTAN JATI (Tectona grandis).

(1)

SIMPANAN AIR TANAH PADA HUTAN JATI

(

Tectona grandis

)

SKRIPSI

Oleh :

DIRA SAMODRA

NPM : 0625010007

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

(

Tectona grandis

)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Program Studi Agroteknologi

Oleh :

DIRA SAMODRA

NPM : 0625010007

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(3)

disusun oleh DIRA SAMODRA NPM : 0625010007

Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran ” Jawa Timur

Pada Tanggal 9 Desember 2010

Pembimbing : Tim Penguji :

Pembimbing Utama: 1. Ketua Tim Penguji :

Dr.Ir. Bakti Wisnu Widjajani, MP. Dr.Ir. Bakti Wisnu Widjajani, MP.

2. Anggota Tim penguji :

Pembimbing Pendamping:

Ir. Purwadi, MP. Ir. Purnomo Edi Sasongko, MP.

Ir. Yonny Koentjoro, MM.

Ir. Purnomo Edi Sasongko, MP.

Mengetahui ,

Dekan Ketua

Fakultas Pertanian Progdi Agroteknologi


(4)

Telah direvisi

Tanggal : ……….

Dr. Ir. Bakti Wisnu Widjajani, MP Pembimbing Utama


(5)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting (Wikipedia, 2010). Secara ekologis, hutan mempunyai ciri spesifik yang berbeda dengan ekologi diluar hutan, sehingga mempunyai peran yang besar pada stabilitas sumberdaya alam (Simon, 1999). Berdasarkan fungsinya, hutan dibedakan menjadi hutan lindung, hutan produksi dan hutan serbaguna (UU No. 5 tahun 1967 dan Keppres No. 32 tahun 1990). Hutan produksi dikelompokkan atas hutan produksi jati dan rimba. (Soemarno, 2002).

Kayu Jati mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding kayu bahan industri yang lain. Namun demikian, perluasan penanaman ini ada yang dilakukan pada lahan yang kurang sesuai sehingga menekan pertumbuhan dalam kualitas hasil produksinya (Siswamartana, 2002). Penilaian hutan jati dan keberadaannya terhadap aspek sumberdaya mulai dilakukan tahun sembilan puluhan, sejak permasalahan pada hutan jati diangkat ke permukaan. Sebagai contoh, sistim perakaran jati berada pada 20-40 cm dari permukaan tanah

sehingga rawan tumbang (Anonim, 1998), sumbangan litter ke dalam tanah

sebesar 812,25 kg/ha sehingga rendah terhadap proses pengkayaan tanah

(Maftu’ah et al., 2002), penurunan tingkat kelurusan batang dan pembentukan


(6)

bonita sebesar 2,3 % per tahun selama 10 tahun terakhir (Anonim, 2002) dan pengurangan jumlah mata air serta kekeringan di sungai dalam kawasan hutan jati.

Di fihak lain, permintaan terhadap kayu tropis yang diperdagangkan di

dunia harus berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan (sustainable)

sehingga dipersyaratkan kriteria-kriteria pengelolaan (ITTO,1992). Diantara kriteria yang telah disusun, seperti kriteria ITTO, dan Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) (Anonim, 2002), secara eksplisit belum menjelaskan kerusakan tanah oleh erosi selama penanaman jati. Padahal erosi merupakan komponen utama dalam keberlanjutan penggunaan lahan (Kelly dan Gomes, 1998).

Pemahaman penelitian terjadinya erosi dan akibat yang ditimbulkan berkaitan dengan kelestarian sumberdaya lahan telah banyak dilakukan (Anonim, 2004), tetapi penelitian yang menyangkut erosi pada hutan jati masih terbatas

(Hendrayanto et al., 2002).

Dewasa ini sumber daya hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman yang ada di hampir sebagian besar wilayah Indonesia telah mengalami penurunan fungsi secara drastis dimana hutan tidak lagi berfungsi secara maksimal sebagai akibat dari ekploitasi kepentingan manusia baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Oleh karena itu penyelamatan fungsi hutan dan perlindunganya sudah saatnya menjadi tumpuan harapan bagi kelangsungan jasa produksi ataupun lingkungan untuk menjawab kebutuhan mahkluk hidup. Mengingat tinggi dan pentingnya nilai hutan, maka upaya pelestarian hutan wajib dilakukan apapapun konsekuensi yang harus dihadapi, karena sebetulnya peningkatan produktivitas dan pelestarian serta perlindungan hutan sebenarnya mempunyai tujuan jangka


(7)

panjang, oleh karena itu perlu dicari solusi yang tepat untuk mempertahankan produktivitas tegakan ataupun ekosistem hutan (Irwanto, 2006).

1.2. Hipotesis

a) Laju erosi melebihi erosi diperbolehkan di hutan jati menunjukkan terjadinya

kerusakan lahan, dan penurunan produktivitas lahan.

b) Rorak akan menurunkan laju erosi dan meningkatkan simpanan air dalam

tanah.

1.3. Tujuan Penelitian

a) Mempelajari proses terjadinya erosi oleh air hujan pada hutan jati.

b) Mengetahui pengaruh rorak terhadap besarnya laju erosi dan simpanan air


(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Manfaat dan Fungsi Hutan

Hutan sebagai suatu ekosistem merupakan sumber daya alam yang mempunyai nilai sangat tinggi tidak saja sebagai unsur produksi yang potensial, tetapi juga mempunyai peranan sebagai pengatur sumber daya air dan tanah. Keberadaan hutan di suatu kawasan sangat diperlukan untuk mengatur kondisi hidro-orologi kawasan tersebut dan kawasan lain yang ada disekitarnya. Dalam hal ini tanaman hutan akan menyerap sebagian besar air hujan yang jatuh di kawasan tersebut dan air yang sampai dipermukaan tanah sebagian besar akan masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi dan perkolasi sehingga menurunkan limpasan permukaan dan erosi. Air yang tersimpan di dalam profil tanah selanjutnya dapat dimanfaatkan pada waktu dan tempat yang memerlukannya. Pada saat yang sama, melalui biomassa yang dihasilkan, hutan juga mampu meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah.

Hutan sebagai suatu ekosistem dengan komponen-komponennya berupa tanaman pohon dan tanaman sela serta semak yang rapat dapat berfungsi sebagai pengatur tata air, tidak saja bagi lingkungan hutan tetapi juga bagi kawasan disekitarnya (tengah dan hilir). Sebagai pengatur tata air, hutan menentukan kualitas dan kuantitas hasil air (water yield). Perolehan hasil air sangat dipengaruhi oleh faktor tanaman, yang tercermin pada sifat penutupan lahan.


(9)

Sifat penutupan lahan akan menentukan besarnya bagian hujan yang dapat ditahan oleh tanaman (intersepsi), yang masuk ke dalam tanah (infiltrasi), yang akan kembali ke atmosfer (evapotranspirasi) dan yang akan mengalir di permukaan tanah (limpasan permukaan). Sirkulasi air dari curah hujan, sebagai aliran masuk, ke evapotranspirasi dan limpasan permukaan, sebagai aliran keluar, akan berlangsung secara kontinyu dan berada dalam keseimbangan. Keseimbangan dalam sirkulasi air ini akan terganggu bila salah satu parameternya mengalami perubahan. Sebagai contohdapat dikemukakan peristiwa banjir yang terjadi di sebagian besar sungai-sungai besar di Indonesia, dan pada daerah lain terjadi hal yang sebaliknya, yaitu bahaya kekeringan seperti yang dijumpai di Wonogiri, Trenggalek dan Blitar. Kasus pendangkalan bendungan Karangkates dan Selorejo sehingga berakibat menurunnya umur efektif bendungan juga merupakan contoh klasik terjadinya ketidak seimbangan sirkulasi air.

Kerusakan hutan diindikasikan secara kuantitatif dengan adanya penyusutan luas kawasan hutan. Departemen kehutanan memperkirakan laju kerusakan hutan adalah 0,8 juta hektar per tahun. Laju kerusakan hutan tersebut berkaitan dengan adanyta kegiatan konversi kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan, pertanian, pemukiman, kebakaran hutan serta pembongkaran hutan untuk kepentingan tertentu.

Dalam kaitannya dengan kepentingan pengelolaan hutan, maka ekosistem hutan dibedakan menjadi : hutan alam, hutan tanaman monokultur dan hutan rakyat. Sifat khas ekosistem hutan alam khususnya di daerah tropika basah, adalah keanekaragaman jenis flora dan fauna dengan berbagai ukuran yang saling berinteraksi dengan lantai hutan secara dinamis. Di dalam hutan, individu pohon


(10)

dikelompokkan menurut tingginya menjadi beberapa strata ditambah dengan satu stratum semak belukar dan satu stratum penutup tanah yang berupa rumput dan seresah. Ditinjau dari segi kesuburan tanah, hutan alam dapat dijamin kelestarian dan stabilitasnya. Hal tersebut dapat terjadi karena produksi seresah sangat tinggi sedang proses dekomposisi berlangsung tanpa gangguan, sehingga pembentukan humus dapat terjadi secara kontinyu. Kehilangan nutrisi akibat digunakan oleh seluruh vegetasi penyusun hutan atau hilang keluar sistem akibat erosi atau dimanfaatkan oleh manusia dapat diimbangi oleh terbentuknya nutrisi baru oleh proses pembentukan humus.

Berbeda dengan hutan alam, hutan tanaman monokultur hanya didominasi oleh satu jenis tumbuhan sehingga menjadikannya tidak stabil. Terlebih lagi hutan tanaman dibuat untuk dipanen kayunya, maka pada waktu pemanenan akan terjadi pengangkutan materi yang besar dan menyebabkan perubahan iklim mikro secara mendadak. Akibatnya, dalam jangka waktu cukup lama akan kehilangan bahan baku utama pembuat humus. Dominasi satu jenis tumbuhan tertentu dengan umur yang sama menyebabkan hutan tersusun atas satu tajuk yang dominan sehingga merubah karakter populasi organisme mikro maupun tumbuhan bawah.

Adanya jenis tumbuhan lain tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap stabilitas ekosistem karena jumlahnya seringkali sangat sedikit. Walaupun seringkali ditonjolkan mengenai keuntungan finansial, namun kenyataannya ekosistem hutan tanaman monokultur sangat rentan terhadap gangguan yang merusak, seperti erosi dan kebakaran dan penyakit. Kehilangan nutrisi keluar sistem tidak dapat diimbangi oleh dekomposisi seresah dan mineral tanah sehingga kualitas ekosistem akan makin merosot.


(11)

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang didominasi oleh vegetasi tertentu dengan tujuan untuk diambil hasilnya, baik berupa kayu, getah, damar atau lainnya. Hutan Produksi dibagi menjadi hutan produksi jati dan rimba (sengon, mahoni dan lainnya). Sedangkan hutan serbaguna adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi konservasi dan estetika, seperti cagar alam dan taman wisata.

Hasil analisa Simon (1999) terhadap kemerosotan kualitas tegakan yang terjadi sejak tahun 1960 disebabkan berbagai hal (sebagaimana dikemukakan diatas) sehingga dapat dikelompokkan menjadi faktor intern dan ekstern.

Ditinjau dari aspek kewilayahan (administrasi pengelolaan dan bentangan lahan), kebijakan pengelolaan hutan yang telah dikemukakan menimbulkan masalah tersendiri mengingat keterkaitannya dengan kebijakan setempat, apalagi di era otonomi daerah, walaupun secara hierarkhis pewilayahan pengelolaan hutan berada pada satu komando. Jika pengelolaan hutan didasarkan pada keseimbangan ekosistem satuan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit pengelolaan, efektivitas fungsi hutan disatu sisi dan produktivitas (ekonomi) di sisi lain dapat ditingkatkan. Sebagaimana Priyono dan Irawan (2004) menyatakan bahwa sebagai bentuk sumberdaya alam, DAS merupakan common pool resource, stock dan comodity artinya pemanfaatan sumberdaya alam di lahan kawasan DAS di satu pihak, akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya di pihak laian, selain itu DAS juga dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang intangable sifatnya seperti pengendalian air, serapan carbon, kesuburan tanah, keindahan alam serta, setiap jenis komoditas yang diperoleh dari bagian DAS akan mempengaruhi jenis


(12)

komoditas lainnya serta berpengaruh terhadap fungsi-fungsi intangable diatas (Kartodihardjo, 2004 dalam Priyono dan Irawan, 2004).

2.2. Erosi Pada Lahan Hutan

Erosi tanah merupakan proses kehilangan tanah yang disebabkan oleh pengaruh faktor luar seperti air, angin dan manusia sebagai faktor anthropogenic yang nyata. Dalam proses erosi, partikel tanah didispersi dan diangkut oleh kekuatan energi pengerosi, dan selanjutnya tanah yang tererosi akan diendapkan ditempat yang dilaluinya sewaktu tenaga pengerosi melemah yaitu di sungai, waduk atau laut.

Erosi dapat dilihat dari dua segi yaitu faktor penyebab, yang menggambarkan kemampuan agen pengerosi dan dinyatakan dalam erosivitas, dan faktor tanah yang menggambarkan kepekaan tanah terhadap energi pengerosi dan dinyatakan dalam erodibilitas (Hudson, 1981), sehingga dapat dinyatakan : Erosi = f (Erosivitas x Erodibilitas)

Lebih spesifik, laju dan besarnya erosi ditentukan oleh : (1) faktor yang menentukan energi (intensitas hujan dan limpasan permukaan), serta faktor yang mempengaruhi besarnya energi (kemiringan dan panjang lereng), (2) faktor ketahanan tanah atau erodibilitas tanah (diuraikan menjadi sifat tanah) dan (3) faktor yang memodifikasikan (tanaman dan tindakan pengelolaan). Morgan (1986), menguraikan kemungkinan terjadinya erosi berdasarkan faktor energi, faktor ketahanan tanah dan faktor pelindung (Gambar 1).


(13)

Jika faktor-faktor yang menentukan nilai energi tinggi (dalam hal ini hujan, limpasan permukaan, angin dan lereng); faktor ketahanan tanah rendah (dalam hal ini erodibilitas, kapasitas infiltrasi dan pengelolaan tanah); dan faktor pelindung rendah (tanaman yang menutup tanah dan tekanan penduduk akan lahan) maka akan terjadi erosi. Sebaliknya jika faktor yang menentukan energi rendah, nilai faktor ketahanan tanah baik, dan nilai faktor pelindung baik maka tidak terjadi erosi.

Rendah – Erosivitas hujan - Tinggi Rendah – Volume Limpasan - Tinggi Permukaan

Rendah – Lereng - Tinggi (kemiringan, panjang)

Rapat – Penahan Angin - Jarang

Rendah – Erodibilitas tanah - Tinggi Tinggi – Kapasitas infiltrasi - Rendah Baik – Pengelolaan tanah - Jelek

Rendah - - Tinggi Baik - - Jelek Baik - - Jelek

Tak terjadi Erosi Terjadi

Rendah - Populasi Manusia - Tinggi (tekanan pada hara)

Padat - Penutup Tanah (Tanaman) - Tak ada Rendah - Tekanan Pemakaian Lahan - Tinggi Baik - Pengelolaan Lahan - Jelek

Faktor Pelindung Faktor

Energi

Faktor Ketahanan


(14)

2.3. Erosi Diperbolehkan

Erosi adalah proses alam yang telah, sedang dan akan terus terjadi dan tidak dapat dihentikan, namun yang dapat dilakukan hanyalah mengendalikan atau menurunkan laju erosi. Dengan demikian diperlukan adanya tolok ukur untuk menentukan kapan atau pada tingkatan erosi berapa kita harus melakukan pengendalian erosi. Tingkatan erosi ini kemudian ada yang menyebutnya dengan istilah “ Permicible Erosion “ atau “ acceptable erosion “ , yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ Erosi diperbolehkan “ (Edp).

Erosi yang diperbolehkan (Edp) dapat diartikan sebagai suatu tingkat erosi tanah maksimum yang masih memberikan produktivitas tanah yang memadai dan mampu dipertahankan secara ekonomis. Dalam kondisi keseimbangan alam maka besarnya erosi diperbolehkan adalah sama dengan laju pembentukan tanah. Karena laju pembentukan tanah tidak seragam, maka erosi yang diperbolehkan juga akan berbeda untuk setiap kondisi tanah.

Sampai sekarang kriteria penetapan nilai erosi yang diperbolehkan terus berkembang karena masih banyak hal yang belum diketahui secara pasti, seperti laju pembentukan zona perakaran. Namun demikian, ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menetapkan besarnya erosi diperbolehkan, diantaranya adalah metode Hammer (1981) yang kemudian dikembangkan oleh Wood dan


(15)

Dent (1983), dan metode yang digunakan oleh Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.

Persamaan penetapan nilai erosi yang diperbolehkan oleh Hammer (1981): kedalaman tanah ekivalen

Edp = ─────────────────── dalam mm/th kelestarian tanah

Kedalaman tanah ekivalen adalah kesetaraan kedalaman tanah yang merupakan perkalian faktor kedalaman tanah dengan kedalaman tanah efektif. Faktor kedalaman tanah adalah faktor modifikasi yang didasarkan pada prakiraan kemerosotan jeluk tanah. Sedangkan kelestarian tanah adalah waktu yang diperkirakan berdasarkan laju pembentukan tanah.

Selanjutnya Wood dan Dent (1983) mengembangkan metode Hammer dengan persamaan :

DE - Dmin

Edp = ──────────── + laju pembentukan tanah kelestarian tanah

DE adalah kedalaman tanah ekivalen, sedangkan Dmin adalah kebutuhan jeluk tanah minimum yang sesuai. Apabila Dmin > DE maka nilai Edp sama dengan laju pembentukan tanah.

Ada lima nilai untuk menyatakan kelestarian tanah, yaitu 30, 100, 200, 400 dan 500. Studi yang dilakukan BTPDAS Surakarta (1988) menyebutkan bahwa perhitungan nilai Edp menurut Hammer pada umumnya memberikan nilai yang lebih besar, tetapi pada kelestarian tanah 400 dan 500, nilai Hammer serta Wood dan Dent ( 1983 ) hampir sama.


(16)

2.4. Erosivitas Hujan

Setiap hujan mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menimbulkan erosi. Kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi disebut sebagai erosivitas hujan. Erosivitas hujan ditentukan oleh beberapa sifat hujan, seperti energi, diameter, intensitas dan jumlah hujan (Utomo, 1994).

Erosivitas, yang dalam erosi air merupakan manifestasi hujan memiliki energi potensial karena pengaruh massa dan percepatan gravitasi, yang kemudian dirubah menjadi energi kinetik sebagai energi penggerak yang akan mendispersi dan memindahkan partikel tanah (Morgan, 1986). Sedangkan energi kinetik limpasan permukaan diperoleh dari massa dan kecepatan pergerakannya digunakan untuk mengangkut partikel tanah. Energi ini akan meningkat sejalan dengan meningkatnya kemiringan dan panjang lereng, yang akan berakibat pada : (1) pengurangan infiltrasi, (2) peningkatan jarak tempuh dan (3) peningkatan volume limpasan permukaan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya gesekan udara yang berlawanan dengan arah jatuhnya air hujan, dapat mengurangi besarnya energi kinetik air hujan, sehingga tidak semua energi yang digunakan dalam proses erosi adalah energi yang dihasilkan oleh air hujan atau limpasan permukaan (Utomo, 1994). Gesekan udara dipengaruhi oleh luas permukaan butir hujan. Gesekan udara pada massa yang sama makin besar dengan bertambahnya luas permukaan. Jadi semakin kecil ukuran butir hujan maka gesekan udara semakin besar, sehingga kecepatan jatuhnya makin kecil.

Kemampuan butir hujan untuk menghancurkan tanah meningkat secara asimptotis dengan bertambah besarnya ukuran butir hujan. Adanya genangan air


(17)

pada permukaan tanah akan mempengaruhi kemampuan butir hujan untuk menghancurkan tanah. Kemampuan butir hujan untuk menghancurkan tanah akan meningkat sampai kedalaman lapisan air 0,3 ukuran butir, peningkatan kedalaman lapisan air selanjutnya akan menurunkan daya pukul air hujan. Pada kedalaman 3 kali ukuran butir, kemampuan butir hujan untuk menghancurkan tanah dapat dianggap tidak ada. Pada kondisi ini yang berperanan dalam proses erosi, baik penghancuran maupun pengangkutan, adalah air limpasan permukaan.

Karena terdapat berbagai ukuran butir pada suatu kejadian hujan, maka terdapat banyak ukuran kecepatan yang harus diperhitungkan. Selain itu, jika ukuran butir hujan mencapai lebih dari 5 mm maka butir hujan akan pecah menjadi beberapa butir yang lebih kecil akibat adanya gaya gesek udara. Mengingat hal tersebut, beberapa ahli menggunakan intensitas hujan untuk menghitung energgi kinetik air hujan. Penggunaan intensitas hujan mempunyai arti yang penting, karena intensitas hujan mempunyai hubungan yang erat dengan erosi. Pada umumnya makin besar intensitas hujan, makin besar kemungkinan terjadinya erosi. Namun demikian, seringkali didapatkan hasil yang tidak konsisten, yaitu bila hujan dengan intensitas tinggi terjadi dalam waktu singkat tidak menimbulkan erosi tetapi hujan dengan intensitas sedang dalam waktu lama mengakibatkan erosi karena limpasan permukaan yang terjadi cukup besar.

Dengan fenomena tersebut, maka para pakar konservasi tanah biasanya menghitung indeks erosivitas hujan dengan menggunakan energi kinetic (Morgan, 1986). Untuk keperluan ini diperlukan data intensitas hujan dan jumlah hujan. Padahal kebanyakan data yang ada hanya menunjukkan jumlah hujan. Dengan memperhatikan kondisi seperti ini, Bols (1978) mengembangkan model untuk


(18)

menghitung erosivitas hujan dengan menggunakan jumlah hujan dan besarnya hujan maksimum, yaitu :

Rb = 6,119 (Hb)1,21 (HH)-0,47 (H24)0,53

Keterangan : Rb = erosivitas bulanan

Hb = jumlah hujan bulanan (cm) HH = jumlah hari hujan bulanan

H24 = hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan tersebut 2.5. Erodibilitas Tanah

Erodibilitas didefinisikan sebagai kepekaan tanah terhadap erosi, dan merupakan fungsi dari sifat-sifat fisik tanah dan pengelolaannya (Hudson, 1981). Menurut Arsyad (1989), kepekaan erosi tanah adalah fungsi beberapa interaksi sifat fisik dan kimia tanah. Sedangkan Utomo (1994) berpendapat bahwa erodibilitas adalah kemudahan tanah untuk tererosi, yang ditentukan oleh :

(a) ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar, baik air hujan maupun run-off (b) kemampuan tanah untuk menyerap air (infiltrasi dan perkolasi).

Kemudahan tanah untuk dihancurkan ditentukan oleh tekstur tanah, kemantapan agregat, bahan organik dan bahan pengikat yang lain. Sedangkan kemampuan menyerap dan meneruskan air dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi, permeabilitas tanah, tekstur tanah, kemantapan agregat dan ruang pori.

Ukuran partikel berpengaruh terhadap indeks erodibilitas karena ukuran partikel menentukan kemampuan tanah bertahan terhadap energi limpasan permukaan. Limpasan permukaan akan mampu mengerosi tanah jika energi limpasan yang berasal dari kecepatan dan tebal aliran lebih besar daripada ketahanan tanah. Pada tanah dengan partikel berukuran besar akan tahan terhadap erosi karena sukar diangkut, sedangkan tanah yang didominasi oleh partikel halus tahan terhadap erosi karena adanya daya kohesi dari partikel tanah dan pengikatan


(19)

oleh bahan semen. Tanah yang mudah tererosi adalah tanah yang didominasi oleh partikel berukuran sedang, yaitu debu dan pasir halus.

Kemantapan agregat mempengaruhi ketahanan tanah terhadap pukulan dan daya urai air. Tanah dengan agregat yang mantap, karena adanya pengikatan oleh bahan organik atau bahan semen yang lain, mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap erosi. Kapasitas infiltrasi dipengaruhi oleh distribusi ukuran dan kemantapan pori, serta kedalaman efektif tanah. Adanya mineral liat tipe 2:1 yang mempunyai kemampuan mengembang dan mengkerut akan menurunkan kapasitas infiltrasi.

Indeks erodibilitas dapat dihitung melalui percobaan langsung dilapangan dengan menggunakan petak baku, yaitu petak pada keadaan tanah terbuka yang memungkinkan kejadian erosi maksimum, pada lereng 9 % dan panjang lereng 22 meter. Dengan mengetahui besarnya kehilangan tanah (A, ton/ha) dan erosivitas hujan (R), maka indeks erodibilitas (K) dapat dihitung dengan rumus :

K = A / R

Perhitungan nilai K dengan percobaan lapangan memang merupakan cara yang tepat, namun karena memerlukan biaya dan waktu yang besar maka Wischmeier, Johnson dan Cross (1971) menggunakan cara estimasi dengan menghubungkan berbagai sifat fisik tanah untuk menghitung indeks erodibilitas tanah. Persamaan yang didapat adalah :

100 K = 2,1 M1,14 (10-4) (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3) Keterangan : M = ukuran partikel (% debu + % pasir halus)

a = kandungan bahan organik b = kelas struktur tanah c = kelas permeabilitas


(20)

2.5. Pengaruh Rorak terhadap Erosi dan Simpanan Air dalam Tanah

Rorak adalah lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang berfungsi untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan sehingga memungkinkan air masuk ke dalam tanah dan mengurangi erosi dari lahan. Rorak merupakan lubang yang digali ke dalam tanah dengan ukuran kedalaman 40 cm, lebar 40 cm dengan panjang berkisar dari 1 sampai 5 meter (Arsyad, 1989). Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, tergantung dari kapasitas air atau sedimen yang akan ditampung. Lubang yang digali kemudian diisi oleh serasah atau sisa-sisa tanaman yang ada di sekitarnya. Hal ini berfungsi untuk menampung aliran permukaan dan serasah atau sisa-sisa tanaman dapat menahan partikel tanah pada dinding rorak serta sebagai bahan organik yang merupakan sumber makanan bagi organisme tanah.

Penelitian yang dilakukan oleh Noeralam (2002) menyatakan bahwa teknik pengendalian aliran permukaan dengan rorak paling efektif mengurangi aliran permukaan yaitu 88 % dari aliran permukaan pada lahan terbuka tanpa teknik pengendalian aliran permukaan dan tanpa tumbuhan. Adanya rorak menyebabkan aliran permukaan tertampung di dalam rorak kemudian terinfiltrasi secara perlahan dan dapat dimanfaatkan oleh vegetasi sehingga tidak semua aliran permukaan sampai ke titik pembuangan (outlet).

Selain untuk mengendalikan laju erosi, rorak juga merupakan salah satu cara “pemanenan” air hujan yang efektif, khususnya pada lahan dengan lereng agak curam (10-25%), yang dicerminkan dengan kemampuannya dalam pemeliharaan lengas tanah (Dariah, Haryati dan Budhyastoro, 2006).


(21)

Gambar 1. Rorak pada hutan jati III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian lapangan dilaksanakan di hutan produksi jati dalam wilayah KRPH Ngawenan, BKPH Pasarsore, KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, sejak April 2010 sampai dengan Juli 2010. Analisa laboratorium dilaksanakan di laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan “Veteran” Jawa Timur.

Pengamatan dilakukan pada skala petak erosi dengan ukuran pxl : 20x8 m.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan penelitian terdiri kawasan hutan produksi jati yang dibedakan berdasarkan kelompok umur (KU) 10 tahunan dari KU I sampai KU V,

Peralatan yang diperlukan selama penelitian terdiri:

a. Pengukur cuaca meliputi ombrometer dan ARR. Pengukur sifat-sifat tanah meliputi bor, ring sampel, pipet, constant head permeameter, infiltrometer, ayakan basah, destilator, pengocok, centrifuge, labu takar, beker glass, gelas ukur, erlemeyer, oven, timbangan, hot plate, clinometer.


(22)

b. Pengukur erosi meliputi apron dan drum, timbangan, gelas ukur dan mistar. c. Pengukur tanaman jati meliputi hagameter, mistar dan kertas berskala.

d. Peta rupa bumi skala 1: 25 000 dan peta geologi lembar Bojonegoro-Jawa, skala 1: 100 000

3.3. Pelaksanaan Penelitian

Petak percobaan dibuat pada masing-masing kelompok umur tanaman jati : 5, 15, 25, 35 dan 45 tahun (KU I, II, III, IV dan V). Pada setiap kelompok umur jati dibuat 2 (dua) petak ukur dengan ukuran masing-masing 20 x 8 m. Pada petak pertama dibuat rorak, sedangkan petak kedua tanpa rorak.

Erosi diukur terhadap jumlah tanah yang hilang dari petak percobaan. Pada bagian bawah petak ditempatkan apron untuk menampung tanah yang terbawa aliran air. Ukuran apron adalah 80x80 cm2. Pengamatan laju erosi dilakukan setiap hari hujan.

Rorak dibuat pada petak percobaan dengan ukuran pxlxd : 80x40x40 cm. Air tersimpan dalam tanah diamati pada masing-masing petak ukur pada kedalaman solum (10 cm sampai dengan 60 cm).

3.4. Variabel Pengamatan

a. Erosivitas hujan dengan persamaan yang dikembangkan oleh Bols (1978): Rb = 6,119 (Hb)1,21 (HH)-0,47 (H24)0,53

Keterangan : Rb = Indeks erosivitas hujan bulanan Hb = curah hujan bulanan (cm bulan-1)


(23)

H24 = hujan maksimum 24 jam dalam bulan tersebut (cm)

Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara hujan dengan erosi maka Rb dihubungkan dengan erosi bulanan (Eb) dengan persamaan Eb = f (Rb).

b. Erodibilitas tanah.

Erodibilitas tanah ditentukan dengan nomograf erodibilitas. Untuk keperluan ini dilakukan pengamatan struktur tanah dan sifat fisik tanah, yaitu pasir kasar, pasir halus dan debu, bahan organik dan permeabilitas.

c. Laju erosi.

Erosi diukur dengan cara mengambil contoh air (beserta sedimennya) sebanyak satu liter dari dalam apron dan drum yang sebelumnya telah diaduk untuk mendapatkan kondisi homogen. Tanah (sedimen) dipisahkan dengan cara disaring, dikeringkan, ditimbang, selanjutnya dikonversi ke dalam satuan luas (ton/ha).

d. Erosi diperbolehkan (Edp)

Erosi diperbolehkan dihitung dengan menggunakan persamaan Hammer (1981), yaitu :

Edp =

Kedalaman tanah ekivalen diperoleh dengan mengalikan data kedalaman tanah dari hasil pengukuran di lapangan dengan faktor kedalaman yang didasarkan pada kondisi tanah yang ada di Indonesia pada kategori Sub Ordo (Lihat Tabel 1).

kedalaman tanah ekivalen kelestarian tanah


(24)

e. Simpanan Air Tanah, yaitu :

Pengamatan dilakukan pada kedalaman 10-60 cm. Kandungan air tanah diukur dengan metoda gravimetrik.

Jumlah air tersimpan dalam profil tanah (Δ S) dihitung dengan persamaan:

Δ S =

z

0

θ dD

Keterangan : θ = kandungan air tanah (% v) D = kedalaman tanah (cm)

Tabel 1. Faktor kedalaman ekivalen untuk 30 sub ordo tanah (Hammer,1981)

no Kode Tanah Taksonomi tanah sub order Faktor kedalaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 AQ AD AU EQ ER EV EO ES IN IQ IT MW MQ MR MD MU OQ OH OO OU SQ SI SH SO UQ UH Aqualf Udalf Ustalf Aquent Arent Fluvent Orthent Psamment Andept Aquept Tropept Alboll Aquoll Rendoll Udoll Ustoll Aquox Humox Orthox Ustox Aquod Ferrod Humod Orthod Aquult Humult 0,90 0,90 0,90 0,90 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,95 1,00 0,75 0,90 0,90 1,00 1,00 0,90 1,00 0,90 0,90 0,90 0,95 1,00 0,95 0,80 1,00


(25)

27 28 29 30

UD UU VD VU

Udult Ustult Udert Uistert

0,80 0,80 1,00 1,00

f. Karakteristik fisika dan kimia tanah

Sifat fisik tanah yang diamati meliputi tekstur tanah, porositas tanah, permeabilitas, dan kemantapan agregat. Sedangkan sifat kimia tanah meliputi KTK, C organik, N, P, K, Ca, Na dan Mg. Analisa sifat-sifat tanah dilakukan terhadap contoh tanah utuh dan contoh tanah terganggu pada petak erosi (Lampiran 1).

3.5. Analisis Data

Tanaman jati mempunyai siklus hidup yang panjang, maka dari hubungan antara erosi (y) dengan umur jati (x) diperoleh y = a e bx.


(26)

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan uji F, selanjutnya untuk mengetahui keeratan hubungan antarparameter di gunakan uji regresi dan korelasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. Tectona, L.F. in Timber Trees: Major Commersial Timbers. . 2002. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH), Kelas

Perusahaan Jati KPH Cepu. Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang. PT. Perhutani (Persero) Jawa Tengah.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB, Bogor.

Bols, P.L. 1978. The Iso-Erodent Map of Java and Madura. Soil Res. Inst. Bogor.

Dariah, A., U. Haryati dan T. Budhyastoro. 2006. Teknologi Konservasi Tanah Mekanik. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.


(27)

Ford-Robinson, F.C. 1997. Terminology of Forest Science Technology, Practice and Product, Multilingual for Terminal, Scr. No. 1, Soc. Am. For Wahington DC.

Hammer, W.I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report. AGOF/INSI78/006. Technical Note No.10. Ministry of Agriculture G.O.I/UNDP and FAO.

Hendrayanto., O. Rusdiana & N.M. Arifjaya. 2002. Aplikasi Hasil Penelitian Pengaruh Hutan Tanaman Jati terhadap Tata Air dan Perlindungan Tanah dalam Pengelolaan Hutan Berwawasan Ekosistem: Kasus hasil penelitian di Sub DAS Cijurey Hulu, KPH Purwakarta. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Hudson, N.W., 1981. Soil Conservation, Second Edition. Cornell University Press. New York.

Irwanto. 2006. Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) dan Eucalyptus (Eucalyptus pellita) Pada Kawasan Hutan Wanagama I. Sekolah Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

ITTO. (1992). Criteria for the Measurement of Sustainable Tropical Forest Management; ITTO Policy Development Series No. 3. ITTO. Retrieved

14-07-2010, 2003, from the

http://www.itto.int/sustainable_forest_management/

Kelly, D.E.S & A.A. Gomez. 1998. Measuring Erosion as a Component of Sustainability. Dalam Soil Erosion at Multiple Scales (eds Penning de Vries, FWT., F. Agus & j. Kerr). C.A.B. Internastional.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung.

Maftuah, E., E. Soesiloningsih & E. Handayanto. 2002. Studi Potensi Diversitas Makro Fauna Tanah sebagai Bioindikator Kualitas Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan. Biodain vol. 2 no. 2.

Morgan, M.F. 1986. Soil Conservation. US Departemen of Agriculture. Agric.Handbook, No. 537.

Noeralam, A. 2002. Teknik Pemanenan Air yang Efektif dalam Pengelolaan Lengas Tanah pada Usaha Tani Lahan Kering. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.


(28)

Priyono, C.N.S. & E. Irawan. 2004. Fungsi Hidrologi Hutan Tanaman Pinus: Erosi Tanah pada Penebangan Hutan Tanaman Pinus merkusii. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management), Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Bigraf Publishing. Yogyakarta.

Siswamartana, S. 2002. Penanaman Jati plus Perhutani (JPP). Warta Pusbanghut. Pusat Pengembangan Kehutanan Cepu 4 (01): 2-3

Soemarno, P. 2002. Pengelolaan Hutan di PT Perhutani. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Hidrologi untuk Penyempurnaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.


(29)

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan uji F,

selanjutnya untuk mengetahui keeratan hubungan antarparameter di gunakan uji

regresi dan korelasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. Tectona, L.F. in Timber Trees: Major Commersial Timbers.

. 2002. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH), Kelas

Perusahaan Jati KPH Cepu. Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang. PT. Perhutani (Persero) Jawa Tengah.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB, Bogor.

Bols, P.L. 1978. The Iso-Erodent Map of Java and Madura. Soil Res. Inst.

Bogor.

Dariah, A., U. Haryati dan T. Budhyastoro. 2006. Teknologi Konservasi Tanah


(30)

Ford-Robinson, F.C. 1997. Terminology of Forest Science Technology, Practice and Product, Multilingual for Terminal, Scr. No. 1, Soc. Am. For Wahington DC.

Hammer, W.I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report.

AGOF/INSI78/006. Technical Note No.10. Ministry of Agriculture G.O.I/UNDP and FAO.

Hendrayanto., O. Rusdiana & N.M. Arifjaya. 2002. Aplikasi Hasil Penelitian

Pengaruh Hutan Tanaman Jati terhadap Tata Air dan Perlindungan Tanah dalam Pengelolaan Hutan Berwawasan Ekosistem: Kasus hasil penelitian di Sub DAS Cijurey Hulu, KPH Purwakarta. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Hudson, N.W., 1981. Soil Conservation, Second Edition. Cornell University

Press. New York.

Irwanto. 2006. Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) dan

Eucalyptus (Eucalyptus pellita) Pada Kawasan Hutan Wanagama I. Sekolah

Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

ITTO. (1992). Criteria for the Measurement of Sustainable Tropical Forest

Management; ITTO Policy Development Series No. 3. ITTO. Retrieved

14-07-2010, 2003, from the http://www.itto.int/sustainable_forest_management/

Kelly, D.E.S & A.A. Gomez. 1998. Measuring Erosion as a Component of

Sustainability. Dalam Soil Erosion at Multiple Scales (eds Penning de Vries, FWT., F. Agus & j. Kerr). C.A.B. Internastional.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 32 Tahun 1990 tentang Kawasan

Lindung.

Maftuah, E., E. Soesiloningsih & E. Handayanto. 2002. Studi Potensi Diversitas

Makro Fauna Tanah sebagai Bioindikator Kualitas Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan. Biodain vol. 2 no. 2.

Morgan, M.F. 1986. Soil Conservation. US Departemen of Agriculture.

Agric.Handbook, No. 537.

Noeralam, A. 2002. Teknik Pemanenan Air yang Efektif dalam Pengelolaan

Lengas Tanah pada Usaha Tani Lahan Kering. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.


(31)

Priyono, C.N.S. & E. Irawan. 2004. Fungsi Hidrologi Hutan Tanaman Pinus: Erosi Tanah pada Penebangan Hutan Tanaman Pinus merkusii. Makalah Lokakarya Aplikasi Hasil Penelitian Hidrologi Hutan untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest

Management), Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Bigraf Publishing. Yogyakarta.

Siswamartana, S. 2002. Penanaman Jati plus Perhutani (JPP). Warta

Pusbanghut. Pusat Pengembangan Kehutanan Cepu 4 (01): 2-3

Soemarno, P. 2002. Pengelolaan Hutan di PT Perhutani. Makalah Lokakarya

Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Hidrologi untuk Penyempurnaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 5 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.


(32)

Tanah Berat Isi dengan Berat Jenis

oven dalam satuan gr dalam terhadap volume tanah (cc).

Berat isi tanah ditentukan dengan cara menimbag berat tanah kering mutlak (gr) terhadap volume tanah (cc).

BI

Ruang pori total = 100 % - ( x 100 %) BJ

BI : Berat Isi BJ : Berat Jenis 2. Permeabilitas Constant head

permeameter

Contoh tanah dalam ring stainless direndam dalam air pada bak perendam dengan tinggi 3 cm selama 24 jam agar udara dalam pori tanah keluar seluruhnya. Contoh tanah dipindahkan ke dalam permeameter, kemudian dialiri air hingga ketinggian air konstan. Jumlah volume air yang menetes keluar dihitung setiap interval 1 jam sebanyak 5 kali pengukuran.

K : permeabilitas tanah (cm/jam)

Q : jumlah air yang mengalir pada setiap pengukuran t : waktu pengukuran (jam)

L : tebal contoh tanah (cm)

h : tinggi permukaan air dari permukaan contoh tanah A : luas permukaan contoh tanah (cm2)

3. Kemantapan Agregat

Ayakan basah Masa tanah diletakkan pada susunan ayakan berbagai ukuran diamete (d) tanah. Ayakan disusun mulai lubang paling besar hingga lubang terkecil terletak paling bawah untuk memisahkan antara agregat stabil dan yang mudah pecah akibat goncangan dan benturan. Pengayakan dilakukan sambil disemprotkan air pada ayakan paling atas (d terbesar). Hasil ayakan yang tersebar pada berbagai ukuran kemudian ditimbang dalam kedaan kering dan dihitung persentase (%) agregat pada berbagai ukuran terhadap massa awal tanah.

DMR = Σ [(Ǿi x Mpi)/( Σ Mp)]

Ǿi : dimater rata-rata

Mpi : massa tanah pada ayakan i

Σ Mp : total massa tanah 4. Tekstur Tanah Pipet Butiran tunggal tanah yang berkelompok yang membentuk agregat

didispersi untuk memecahkan kekuatan yang mengikatnya. Ikatan organik dihilangkangkan dengan membakar atau oksidasi memakai peroksida (H2O2).Ion atau senyawa perekat lain dihilangkan dengan pereaksi HCl. Sedangkan ikatan mekanik dilepaskan dengan mengocok tanah dalam larutan NaPO4. Selanjutnya ditentukan ukutan dan jumlahnya berdasarkan hukum Stoke:

Partikel liat :

Massa liat = 50 x (massa pipet ke 2 – massa blanko pipet ke 2) Partikel debu :

Massa debu = 50 x (massa pipet ke 1 – massa pipet ke 2) Partikel Pasir :

Diketahui dari bobot masing-masing bagian dari hasil ayakan.

A 1 x h L x t Q K n d d x xgxr2 1 2

9 2 V

 v : kecepatan pengendapan g : gravitasi

r : jari-jari butiran d : berat jenis butiran n : kekentalan cairan


(33)

1. C-organik Oksidasi Basah asam kromik Walkley-Black.

Bahan organik tanah dioksidasi dengan larutan 1 N K2Cr2O7 (kalium dikhromat). . Reaksi ini dibantu oleh panas yang dihasilkan saat 2 volumes H2SO4 dicampur dengan 1 volume dichromat. Dichromat yang tersisa dititrasi dengan ferrous sulphate. Titrasi berhubungan kebalikan dengan jumlah persen C dalam sampel tanah.

2Cr2O7 2- + 3C + 16H+  4Cr3+ + 8H2O + 3CO2↑

1 mL dari 1 N larutan Dichromat equivalen dengan 3 mg carbon.

0.003 x N x 10 ml x (1-T / S) x 100 % C =

BKO sampel N = normalitas kromat

T= ml tittrasi FeSO4 sampel S = ml tittrasi FeSO4 blanko

Kandungan bahan organik tanah = % C - organik x 1,729

2. Nitrogen Kjedhal Nitrogen total tanah didestruksi dengan H2SO4

pekat dan tablet Kjeldahl pada temperatur 300°C. Hasil

Destruksi diencerkan dengan aquadest hingga volume 100 ml dan ditambah NaOH 40%, lalu di destilasi. Hasil destilasi ditampung dengan 20 ml Asam Borat sampai warna hijau dan volumenya

sekitar 50 ml. Kemudian dititrasi dengan H2SO4

0.01 N sampai titik akhir titrasi.

N total (%) = (ml sampel – ml blanko)x 14 x N. penitrasix FK g sampel

3. Phosfor Olsen Phosphorus diekstrak dari tanah dengan

meng-gunakan larutan Olsen (H2CO3). P- terekstrak

diukur secara kolorimetri didasarkan pada reaksi dengan amonium molybdate dan pengembangan dari warna “ biru ‘Molybdenum’. Absorbance senyawa diukur pada panjang gelombang 660 nm dalam sutau spectrophotometer dan langsung sebanding dengan jumlah phosphorus yang terekstrak dari tanah .

4 x a x 100

P tersedia = (mg/kg tanah kering oven) (100 - % air)


(34)

4. Kapasitas Tukar Kation dan basa-basa dapat ditukar:

Penjenuhan dengan Amonium asetat 1 N pH 7,0

Metode ini untuk pengukuran KTK simultaneous dan kation-kation dapat ditukar didasarkan pada sangat tingginya affinitas senyawa amonium asetat untuk menduduki sisi pertukaran pada koloid tanah. Amonium sisa dalam tanah diukur seperti N –total,. Kation yang terdepak juga dikur dengan AAS, atau flamefotometer untuk Na dan K , serta titrasi EDTA untuk Ca dan Mg.

KTK ml H2SO4 – ml NaOH . (100 + k.a) me/100g =

g sampel 100

. a. Kalium,

b. Natrium

Flamephotometer Kandungan Kalium dan Natrium larutan tanah ektraksi Ammonium asetat 1 N pH 7,0. dibaca dengan Flamephotometer .

A (100 + k.a) Kadar K tanah =

(mg/kg) 100 A (100 + k.a) Kadar Na tanah =

(mg/kg) 100

Dimana : A = ppm contoh dari kurva standard c. Calsium,

d. Magnesium

EDTA Kandungan Kalsium dan Magnesium larutan tanah ekstraksi Ammonium asetat 1 N pH 7,0. dititrasi dengan EDTA . mililiter titrasi EDTA setara dengan jumlah Ca atau Mg larutan.

Ca2+ ml EDTA x N EDTA) 1500 x (100 + k.a) (me/100 g TKO) =

100

Mg22+ ml EDTA x N EDTA) 1500 x (100 + k.a) (me/100 g TKO) =


(35)

pekat jaringan Tanaman pekat dan H2O2 hingga jernih. Destruksi ini dikenal dengan larutan pekat.

Untuk pengukuran 2. Nitrogen Destilasi dan titrasi

dari Larutan pekat

Nitrogen jaringan tanaman diukur dari larutan pekat hasil destruksi basah. Larutan pekat ditambah NaOH 40%, lalu di destilasi. Hasil destilasi ditampung dengan 20 ml Asam Borat sampai warna hijau dan volumenya sekitar 50 ml. Kemudian dititrasi dengan H2SO4 0.01 N sampai titik akhir titrasi.

N total (%) = (ml sampel – ml blanko)x 14 x N. penitrasix FK g sampel

3. Phosfor Pengukuran dengan spektrofotometer pada larutan encer

Phosphorus tanaman diukur dari pengenceran larutan pekat hasil destruksi basah. P- terekstrak diukur secara kolorimetri didasarkan pada reaksi dengan amonium molybdate dan pengembangan dari warna “ biru ‘Molybdenum’. Absorbance senyawa diukur pada panjang gelombang 660 nm dalam sutau spectrophotometer dan langsung sebanding dengan jumlah phosphorus yang terekstrak dari tanah .

4 x a x 100

P tersedia = (mg/kg tanah kering oven) (100 - % air)

.a : ppm contoh yang diperoleh dari kurva standard 4. . Kalium dan

Natrium

Flamephotometer Kalium dan Natrium tanaman diukur dari pengenceran larutan pekat hasil destruksi basah K dan Na dibaca dengan Flamephotometer .

A (100 + k.a) Kadar K tanah =

(mg/kg) 100 A (100 + k.a) Kadar Na tanah =

(mg/kg) 100

Dimana : A = ppm contoh dari kurva standard 5. Calsium dan

Magnesium

EDTA Kandungan Kalsium dan Magnesium tanaman diukur dari pengenceran larutan pekat. Kadar Ca dan Mg jarinagan sebanding dengan mililiter titrasi

Ca2+ ml EDTA x N EDTA) 1500 x (100 + k.a) (me/100 g TKO) =

100

Mg22+ ml EDTA x N EDTA) 1500 x (100 + k.a) (me/100 g TKO) =


(36)

Lampiran 5. Beberapa sifat tanah di petak percobaan

Sebaran Partikel Unsur Hara

No Umur

tegakan Pasir Debu Liat

Permeabilitas Infiltrasi

C N P K Ca Mg

tahun % cm j-1 % ppm me/100 g

1 3 1 37 27 36 0,78 2,78 0,79 0,06 16,82 0,63 14,98 1,74

2 39 25 34 1,11 2,26 0,51 0,05 15,16 0,42 14,97 1,64

2 10 1 32 31 37 0,81 1,26 1,05 0,09 17,63 0,70 15,08 1,78

2 39 21 38 0,96 2,14 1,07 0,11 16,18 0,81 14,36 1,68

3 20 1 24 37 39 0,69 2,37 0,95 0,09 17,62 0,56 14,70 1,70

2 25 37 38 0,98 2,76 1,12 0,12 18,07 0,62 13,24 1,62

4 30 1 32 30 38 1,27 1,34 1,56 0,09 21,05 0,82 16,17 2,70

2 32 31 39 0,97 1,98 1,46 0,17 19,16 0,78 17,06 2,71

5 50 1 33 29 38 0,82 1,25 0,92 0,08 20,34 0,72 15,24 2,74


(37)

Lampiran 6. Potensi dan penutupan tegakan jati dan tumbuhan bawah di KRPH Ngawenan

Tinggi rata-rata pohon Penutupan tajuk pohon

(%)

Penutupan tumbuhan bawah (%) No.

Umur tegakan

(tahun) Total (m) TBC (m)

Diameter rata-rata

pohon (cm) Bln Kering Bln Basah Bln Kering Bln Basah

1 3 13,54 - 6,24 2,65 70,32 10,4 95,6

2 10 18,24 7,95 18,25 4,65 80,65 3,7 *) 80,5

3 20 21,44 11,86 28,95 1,32 70,88 4,6 *) 20,6

4 30 23,85 12,64 34,12 8,65 85,11 12,3 70,9

5 40 24,68 12,66 55,98 10,25 75,65 1,1 **) 80,4

Keterangan : *) Terbakar 60 % **) Terbakar 90 %

Penutupan tinggi dan diameter pohon diamati bulan Agustus 2010


(38)

Lampiran 7. Kondisi morphometri SubDAS Cemara dan Modang.

Sub DAS No.

Parameter Morphometri DAS

Cemara Modang

1. Luas DAS (ha) 1384,30 391,70

2. Panjang DAS (km) 5,05 3,05


(39)

6. Keliling DAS (km) 16,45 8,95

7. Panjang sungai utama (km) 5,65 3,94

8. Panjang sungai terpanjang (km) 5,22 3,82

9. Panjang sungai dari pusat DAS (km) 1,80 1,85

10. Panjang jalur limpasan (km) 1,23 0,49

11. Kerapatan drainase 4,14 2,73


(1)

4. Kapasitas Tukar Kation dan basa-basa dapat ditukar:

Penjenuhan dengan Amonium asetat 1 N pH 7,0

Metode ini untuk pengukuran KTK simultaneous dan kation-kation dapat ditukar didasarkan pada sangat tingginya affinitas senyawa amonium asetat untuk menduduki sisi pertukaran pada koloid tanah. Amonium sisa dalam tanah diukur seperti N –total,. Kation yang terdepak juga dikur dengan AAS, atau flamefotometer untuk Na dan K , serta titrasi EDTA untuk Ca dan Mg.

KTK ml H2SO4 – ml NaOH . (100 + k.a) me/100g =

g sampel 100

. a. Kalium,

b. Natrium

Flamephotometer Kandungan Kalium dan Natrium larutan tanah ektraksi Ammonium asetat 1 N pH 7,0. dibaca dengan Flamephotometer .

A (100 + k.a) Kadar K tanah =

(mg/kg) 100 A (100 + k.a) Kadar Na tanah =

(mg/kg) 100

Dimana : A = ppm contoh dari kurva standard c. Calsium,

d. Magnesium

EDTA Kandungan Kalsium dan Magnesium larutan tanah ekstraksi Ammonium asetat 1 N pH 7,0. dititrasi dengan EDTA . mililiter titrasi EDTA setara dengan jumlah Ca atau Mg larutan.

Ca2+ ml EDTA x N EDTA) 1500 x (100 + k.a) (me/100 g TKO) =

100

Mg22+ ml EDTA x N EDTA) 1500 x (100 + k.a) (me/100 g TKO) =


(2)

Lampiran 4. Metode Analisa Kadar Hara Jaringan Tanaman

No. Metoda Prinsip kerja Perhitungan / Rumus

1. Larutan pekat

Destruksi basah jaringan Tanaman

Jaringan tanaman kering oven 60-70 o C dioksidasi dengan H2SO4 pekat dan H2O2 hingga jernih. Destruksi ini dikenal dengan larutan pekat.

Untuk pengukuran 2. Nitrogen Destilasi dan titrasi

dari Larutan pekat

Nitrogen jaringan tanaman diukur dari larutan pekat hasil destruksi basah. Larutan pekat ditambah NaOH 40%, lalu di destilasi. Hasil destilasi ditampung dengan 20 ml Asam Borat sampai warna hijau dan volumenya sekitar 50 ml. Kemudian dititrasi dengan H2SO4 0.01 N sampai titik akhir titrasi.

N total (%) = (ml sampel – ml blanko)x 14 x N. penitrasix FK g sampel

3. Phosfor Pengukuran dengan spektrofotometer pada larutan encer

Phosphorus tanaman diukur dari pengenceran larutan pekat hasil destruksi basah. P- terekstrak diukur secara kolorimetri didasarkan pada reaksi dengan amonium molybdate dan pengembangan dari warna “ biru ‘Molybdenum’. Absorbance senyawa diukur pada panjang gelombang 660 nm dalam sutau spectrophotometer dan langsung sebanding dengan jumlah phosphorus yang terekstrak dari tanah .

4 x a x 100

P tersedia = (mg/kg tanah kering oven) (100 - % air)

.a : ppm contoh yang diperoleh dari kurva standard 4. . Kalium dan

Natrium

Flamephotometer Kalium dan Natrium tanaman diukur dari pengenceran larutan pekat hasil destruksi basah K dan Na dibaca dengan Flamephotometer .

A (100 + k.a) Kadar K tanah =

(mg/kg) 100 A (100 + k.a) Kadar Na tanah =

(mg/kg) 100

Dimana : A = ppm contoh dari kurva standard 5. Calsium dan

Magnesium

EDTA Kandungan Kalsium dan Magnesium tanaman diukur dari pengenceran larutan pekat. Kadar Ca dan Mg jarinagan sebanding dengan mililiter titrasi

Ca2+ ml EDTA x N EDTA) 1500 x (100 + k.a) (me/100 g TKO) =

100

Mg22+ ml EDTA x N EDTA) 1500 x (100 + k.a) (me/100 g TKO) =


(3)

Lampiran 5. Beberapa sifat tanah di petak percobaan

Sebaran Partikel

Unsur Hara

No

Umur

tegakan

Pasir Debu Liat

Permeabilitas

Infiltrasi

C N P K Ca

Mg

tahun %

cm

j

-1

%

ppm

me/100 g

1

3

1 37

27

36

0,78

2,78 0,79 0,06 16,82 0,63 14,98 1,74

2 39

25

34

1,11

2,26 0,51 0,05 15,16 0,42 14,97 1,64

2

10

1 32

31

37

0,81

1,26 1,05 0,09 17,63 0,70 15,08 1,78

2 39

21

38

0,96

2,14 1,07 0,11 16,18 0,81 14,36 1,68

3

20

1 24

37

39

0,69

2,37 0,95 0,09 17,62 0,56 14,70 1,70

2 25

37

38

0,98

2,76 1,12 0,12 18,07 0,62 13,24 1,62

4

30

1 32

30

38

1,27

1,34 1,56 0,09 21,05 0,82 16,17 2,70

2 32

31

39

0,97

1,98 1,46 0,17 19,16 0,78 17,06 2,71

5

50

1 33

29

38

0,82

1,25 0,92 0,08 20,34 0,72 15,24 2,74


(4)

Lampiran 6. Potensi dan penutupan tegakan jati dan tumbuhan bawah di KRPH Ngawenan

Tinggi rata-rata pohon

Penutupan tajuk pohon

(%)

Penutupan tumbuhan

bawah (%)

No.

Umur

tegakan

(tahun)

Total (m)

TBC (m)

Diameter

rata-rata

pohon (cm)

Bln Kering

Bln Basah

Bln Kering

Bln Basah

1

3 13,54 -

6,24 2,65 70,32 10,4 95,6

2

10 18,24 7,95 18,25 4,65 80,65 3,7

*) 80,5

3

20 21,44 11,86 28,95 1,32 70,88 4,6

*) 20,6

4

30 23,85 12,64 34,12 8,65 85,11 12,3 70,9

5

40 24,68 12,66 55,98 10,25 75,65 1,1

**) 80,4

Keterangan

:

*) Terbakar 60 %

**) Terbakar 90 %

Penutupan tinggi dan diameter pohon diamati bulan Agustus 2010


(5)

Lampiran 7. Kondisi morphometri SubDAS Cemara dan Modang.

Sub DAS

No.

Parameter Morphometri DAS

Cemara

Modang

1.

Luas DAS (ha)

1384,30

391,70

2.

Panjang DAS (km)

5,05

3,05


(6)

4.

Kemiringan DAS (%)

11,50

10,40

5.

Kemiringan sungai (%)

1,50

1,80

6.

Keliling DAS (km)

16,45

8,95

7.

Panjang sungai utama (km)

5,65

3,94

8.

Panjang sungai terpanjang (km)

5,22

3,82

9.

Panjang sungai dari pusat DAS (km)

1,80

1,85

10. Panjang jalur limpasan (km)

1,23

0,49

11. Kerapatan drainase

4,14

2,73