PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI NASIONALISME SISWA ETNIK TIONGHOA : Penelitian Studi Kasus di SMA Santa Angela Kota Bandung.

(1)

(Penelitian Studi Kasus di SMA Santa Angela Kota Bandung)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Disusun oleh:

Adela Siahaan

1201225

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

(3)

(4)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Pembelajaran Sejarah Berbasis Multikultural dalam Mengembangkan Nilai-Nilai Nasionalisme Siswa Etnik Tionghoa : Studi Kasus di SMA St. Angela Kota Bandung. Penelitian ini bertolak dari keresahan peneliti akan pandangan stereotip masyarakat Indonesia terhadap nasionalisme etnik Tionghoa yang dihubungkan dengan pembauran mereka terhadap etnik lain. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan permasalahan penelitian ke dalam tiga rumusan, yaitu : (1)bagaimana penyampaian pendidikan nilai melalui pembelajaran sejarah, (2)bagaimana pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis multikultural yang dilakukan oleh guru di SMA St. Angela kota Bandung dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pengimpelementasiannya, (3)bagaimana sikap nasionalisme yang ditunjukkan oleh siswa etnik Tionghoa di SMA St. Angela kota Bandung dengan adanya pembelajaran sejarah berbasis multikultural. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa (1)Guru telah menyampaikan nilai-nilai yang terdapat dalam materi sejarah. Selain itu, guru juga telah melakukan perencanaan dalam penyampaian pendidikan nilai yang disusun dalam tujuan pembelajaran pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Adapun dalam penyampaian pendidikan nilai di kelas, guru menggunakan metode dan media pembelajaran. Namun tidak ada evaluasi (penilaian) terhadap pendidikan nilai tersebut. Guru juga tidak hanya mengajarkan pendidikan nilai tersebut secara verbal saja kepada siswa melainkan juga melalui tindakan. (2)Pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis multikultural di SMA St. Angela dilakukan mengalir saja di dalam kelas sesuai yang terdapat dalam materi sejarah yang dirasakan oleh guru mengandung nilai-nilai multikultural. Dalam perencanaan pembelajaran sejarah berbasis multikultural telah dilakukan dengan menyusunnya dalam tujuan pembelajaran pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Adapun dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis multikultural di kelas, guru menggunakan metode dan media pembelajaran. Evaluasi yang dilakukan hanya berupa penugasan terhadap siswa baik itu individu ataupun kelompok. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis multikultural ialah tidak adanya penulisan tokoh ataupun peristiwa sejarah yang berkaitan dengan etnik Tionghoa dalam materi sejarah. (3)Dalam hal manifestasi nasionalisme yang ditunjukkan oleh siswa etnik Tionghoa di SMA St. Angela kota Bandung yaitu siswa etnik Tionghoa lebih terbuka, saling menghormati, tumbuhnya kesadaran kolektif yang memiliki persamaan dalam sejarah, kebersamaan dan keterikatan (sense of solidarity), rasa


(5)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

memiliki (sense of belonging), serta berprestasi di kancah nasional maupun international dalam mengharumkan nama bangsa Indonesia.

Kata Kunci : Pembelajaran sejarah, multikultural, nasionalisme, siswa etnik

Tionghoa.

ABSTRACT

The title of this thesis is “History learning based on ethnic multiculural in developing nasionalism values of Chinese ethnic students : case study at St.Angel Senior high school – Bandung”. This research starts from the writer’s unrest about Indonesian people’s stereotype view toward chinese ethnic nationalism related with their mixture into another ethnics. In this research, the writer formulate her research problems into these three questions : (1) how is the values education delivery through learning history, (2) How is the implementation of History learning based on ethnic multicultural by the teacher of St.Angel Senior High School Bandung and the problems faced within the implementation, (3) How is the nationalism showed by the Chinese students of St.Angel Senior High School Bandung through History learning based on ethnic multicultural. The approach used in this research is Qualitative with case study method. Based on the results of the research, it shows that : (1) the teachers had delivered the values in History subject matter. Besides, the teachers had planned and delivered education values formulated in learning objective of their lesson plans. In delivering the education values at classes, teachers used method and learning media without evaluation. The teachers taught education values not only by words but also by action. (2) The implementation of History learning based on ethnic multicultural at St.Angel Senior High School runs as what teachers usually did at class. In lesson plan of History based on ethnic multicultural, teachers put nationalism values in their learning objective. In History learning implementation, the teachers used method and learning media. The evaluation was done by giving assignment to students, individually or in groups. The problem faced in implementing History learning based on ethnic multicultural is that the actor or event in subject matter related with Chinese ethnic is not written. (3) Nationalism manifestation showed by Chinese students of St.Angel Senior High School Bandung showed that they are more


(6)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

open, respect each other, the growth of collective consciousness for having similarity in history, sense of solidarity, sense of belonging, having national and international achievements that gives a scent to Indonesia.


(7)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ...

i

ABSTRAK ……….

ii

KATA PENGANTAR ...

vi

DAFTAR ISI ...

vii

DAFTAR TABEL ...

x

DAFTAR GAMBAR ...

xi

DAFTAR LAMPIRAN ...

xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Klarifikasi Konsep ... 17

BAB II LANDASAN TEORI ... 20

2.1 Pembelajaran Sejarah ... 20

2.1.A Pengertian dan Tujuan Pembelajaran Sejarah .….………. 20

2.2 Multikulturalisme ... 23

2.2.A Pengertian Multikultural ...……… 23


(8)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2.3 Nasionalisme ... 30

2.3.A Pengertian Nasionalisme ...……….. 30

2.3.B Nasionalisme dalam Pembelajaran Sejarah ……….... 36

2.4 Etnik Tionghoa ... 37

2.4.A Pengertian Etnik ...………... 37

2.4.B Penggunaan Istilah Cina dan Tionghoa ………... 40

2.4.C Landasan Filsafat Hidup etnik Tionghoa ...………... 42

2.4.D Sejarah Etnik Tionghoa di Indonesia ………...……… 43

2.5 Penelitian Terdahulu ... 47

2.6 Paradigma Penelitian ... 49

BAB III METODE PENELITIAN ... 52

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 52

B. Lokasi Penelitian ... 55

C. Subjek Penelitian ... 56

D. Teknik Pengumpulan Data ... 57

1. Observasi ...………... 58

2. Wawancara ………... 60

3. Dokumentasi ...………... 61

4. Kajian Literatur ………...…………... … 62

E. Teknik Analisis Data ... 63

1. Data Reduction (Reduksi Data) ... 65

2. Data Display (Penyajian Data) ... 66

3. Verifikasi dan Kesimpulan ... 67


(9)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1. Tahap Orientasi ... 68

2. Tahap Eksplorasi ... 68

3. Tahap Member Check ... 69

G.Validasi Data ... 69

1. Triangulasi ... 69

2. Member Check ... 70

3. Expert Opinion ... 71

BAB IV HASIL-HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 72

A. Deskripsi Profil Sekolah ... 72

A.1 Lokasi Penelitian SMA St. Angela Kota Bandung ... 72

A.2 Sejarah SMA St. Angela Kota Bandung ………... 74

A.3 Visi Misi SMA St. Angela Kota Bandung ...……….... 74

B. Hasil-Hasil Penelitian ... 75

B.1 Penyampaian Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Sejarah ... 75

B.2 Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Berbasis Multikultural dan kendala-kendala yang Dihadapi... 93

B.3 Sikap Nasionalisme yang Ditunjukkan oleh Siswa Etnik Tionghoa melalui Pembelajaran Sejarah Berbasis Multikultural ... 114

C. Pembahasan Penelitian ... 119

C.1 Penyampaian Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Sejarah .... 119

C.2 Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Berbasis Multikultural dan kendala-kendala yang Dihadapi... 125 C.3 Sikap Nasionalisme yang Ditunjukkan oleh Siswa


(10)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Etnik Tionghoa melalui Pembelajaran Sejarah

Berbasis Multikultural ... 133

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... ….. 141

A. Kesimpulan ... 141

B. Rekomendasi ... 143

DAFTAR PUSTAKA ... 145

DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Analisis Peraihan Nilai-Nilai Kebangsaan ... 108


(11)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Paradigma Penelitian ... 51 Gambar 3.1 Komponen-Komponen Analisis Data ... 71 Gambar 2.1 Denah Lokasi SMA Santa Angela Kota Bandung ... 73


(12)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 S.K. Pembimbing Tesis

Lampiran 2 S.K. Permohonan Melakukan Izin Penelitian Lampiran 3 S.K. Telah melakukan Penelitian


(13)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Lampiran 4 Foto Kegiatan Penelitian Lampiran 5 Lembar Hasil Observasi Guru Lampiran 6 Lembar Hasil Observasi Siswa Lampiran 7 Catatan Lapangan Penelitian


(14)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era serba modern dan serba terbuka, paham nasionalisme sering sekali ditanggapi dengan pemikiran yang tidak tepat bahkan terkikis oleh paham globalisasi. Hal tersebut terjadi hampir di semua negara di dunia tidak terkecuali di Indonesia.. Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistik karena terdiri dari banyak suku, budaya, dan bahasa yang mampu membentuk identitas nasional sehingga dapat merekatkan warganya dalam satu kepentingan bersama. Hal ini dapat terlihat dari motto Bhineka Tunggal Ika yang tercantum dalam lambang negara dan telah menggambarkan keragaman sosial budaya dalam masyarakat bangsa Indonesia. Disamping itu Indonesia juga harus mengakomodasikan ras lain yang sudah ada sejak lama keberadaannya, dan menjadi bagian dari Indonesia yang sedikit banyaknya masih melekat dengan negara asal mereka. Di tengah-tengah keberadaan keberagaman masyarakat Indonesia tersebut, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini ialah semakin berkurangnya norma fundamental dari nilai-nilai kehidupan bersama dan semakin besarnya sikap-sikap individual, sementara pengaruh global semakin kuat menerpa bangsa yang berakibat pada integrasi antar etnik semakin pudar dan runtuh.

Persoalan konflik antar etnik dan antaragama yang terjadi di Indonesia merupakan bukti bahwa nasionalisme bangsa Indonesia mulai terkikis dan yang tidak dapat dilupakan adalah pandangan stereotip terhadap nasionalisme etnik Tionghoa sehingga menimbulkan anti Tionghoa. Pandangan curiga terhadap nasionalisme keturunan etnik Tionghoa ini ditenggarai karena adanya perasaan superiority complex


(15)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

orang Tionghoa terhadap pribumi, seperti etnik Tionghoa suka pamer kekayaan sehingga seakan-akan tidak ada rasa sepenanggungan dengan etnik atau suku bangsa yang lain. Hal ini semakin menunjukkan identitas etnik Tionghoa sebagai “the haves” dan etnik/suku bangsa lain di Indonesia sebagai “the have nots” (Sjamsuddin, 2002 :

113). Pandangan tersebut masih terus terjadi disebabkan kurang berhasilnya pendidikan dalam menanamkan nilai dan karakter kepada peserta didik, khususnya dalam menanamkan sikap toleransi dan saling menghargai sebagai bentuk kesadaran multikulturalisme dalam bermasyarakat dan berbangsa serta menanamkan nasionalisme yang memperkokoh integrasi bangsa. Sebagaimana dinyatakan Purwanto (2006: 163) bahwa :

untuk membangun nasionalisme sebagai sebuah kebudayaan atau wacana yang dipahami masyarakat, diperlukan strategi dan komunikasi tertentu sehingga fungsi ideologisnya dapat terbentuk dan terjaga secara berkelanjutan. Oleh sebab itu, pendidikan secara langsung menjadi instrumen penting dalam proses sosialisasi nilai nasionalisme kepada masyarakat, khususnya generasi muda dalam proses sosialisasi ini, buku pelajaran merupakan salah satu media utama untuk membangun konfigurasi nasionalisme yang akan ditanamkan kepada masyarakat. Melalui buku pelajaran dapat dihasilkan definisi fungsional dari nasionalisme, yang kemudian ditransformasikan menjadi sebuah ideologi dan budaya yang seolah-olah harus diterima oleh setiap warga negara.

Situasi ini haruslah disikapi dengan mempersiapkan bangsa Indonesia terutama generasi muda untuk lebih mampu menghadapi tantangan di era global, salah satunya melalui pendidikan. Sebagaimana dikemukakan Hummel (dalam Prihatin, 2008: 10) bahwa:

Tujuan pendidikan harus mengandung tiga nilai, yaitu:

a. Autonomy, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan

secara maksimal kepada individu maupun kelompok, untuk dapat hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik


(16)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

b. Equity, artinya pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada

seluruh masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan berekonomi, dengan memberi pendidikan dasar yang sama c. Survival, artinya dengan pendidikan akan menjamin pewarisan

kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa pendidikan memiliki tujuan yang berusaha mengakomodir kebutuhan peserta didik secara menyeluruh. Pendapat

senada dikemukakan Supardan (2009: 357) bahwa “pendidikan berperan sebagai transmisi kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual

dan estetika) dari generasi ke generasi.” Salah satu mata pelajaran yang memiliki

peran dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik adalah pendidikan

sejarah, sebagaimana dikemukakan Supardan (2009: 358) bahwa “sejarah memiliki use value bagi kehidupan manusia, dengan demikian sejarah berfungsi sangat penting

dalam pembinaan identitas kolektif bangsa dan dapat dijadikan wahana pertama untuk mensosialisasikannya pada generasi muda”. Bahkan Barzun (1974 dalam

Supardan, 2009: 360) menyatakan bahwa “sejarah menggembleng jiwa manusia menjadi kuat dan tahan dalam menghadapi teror dan kekacauan kehidupan kita”.

Sejarah dalam ranah pendidikan memiliki fungsi yang berkaitan dengan tujuan pendidikan yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lebih jauh

Hasan (2012: iv) menyatakan bahwa “dalam wilayah pendidikan, sejarah harus

menjadi sesuatu yang memberikan pelajaran bagi kehidupan manusia. Peristiwa-peristiwa sejarah diinterpretasikan dengan pendekatan normatif, dengan melihat baik

dan buruk.” Hal ini berarti materi-materi dalam pelajaran sejarah sudah diseleksi sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.


(17)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Selanjutnya Kartodirdjo menegaskan bahwa sejarah dapat didefinisikan sebagai bentuk penggambaran kolektif di masa lampau (Kartodirdjo, 1992 : 59). Penggambaran kolektif di masa lampau tersebut seperti persamaan penderitaan di bawah penjajahan untuk menjadi landasan dalam membangun negeri. Selain itu pengalaman kehidupan kolektif menjadi landasan untuk menentukan identitasnya dalam kehidupan masyarakat tradisional, identitas seseorang di kembalikan ke asal-usulnya maupun keluarga besarnya. Hal ini tentu saja sangat penting bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki keragaman masyarakatnya yang sangat kompleks dan pastinya akan sangat melekat dengan identitas asal usulnya. Masyarakat yang ada di Indonesia tersebut terdiri dari latar belakang budaya, agama, suku yang berbeda dan tentu saja peranan pendidikan sejarah kembali dipertanyakan sejauh mana relevansinya menyangkut kesadaran masyarakat bangsa Indonesia dalam sense of belonging dan nasionalismenya di tengah-tengah identitas asal-usul yang multikultural tersebut.

Secara sederhana, multikultural dapat dipahami sebagai suatu konsep penghargaan terhadap keanekaragaman baik itu etnik, agama, pandangan, dan kompleksitas kehidupan yang lainnya. Pendidikan sejarah yang berbasis multikultural selain diharapkan memiliki peran dalam mengajak peserta didik untuk menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan yang berujung pada pengembangan rasa nasionalisme. Hal tersebut sesuai dengan Mahfud (2008 : viii) yang mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai :

Wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka atau prejudice untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya (the pride in one‟s home nation).


(18)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pernyataan tersebut sangat tepat bila diterapkan pada masyarakat majemuk Indonesia. Kesadaran akan keberagaman dan sikap saling menghargai haruslah ditanamkan sejak dini kepada generasi muda melalui pendidikan dan pendidikan sejarah bermuatan dengan pendidikan multikultural yang berfungsi sebagai pembentuk karakter bangsa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kymlicka (2002: 8)

bahwa “multibudaya merupakan suatu pengakuan, penghargaan dan keadilan terhadap etnik minoritas”. Hal senada dikemukakan oleh Blum (2001: 16) yang menyatakan bahwa melalui pendidikan multikultural yang juga terdapat dalam pendidikan sejarah maka akan memunculkan pada diri siswa :

…pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah

penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri (Blum, 2001 : 16).

Kesadaran yang dibangun melalui pembelajaran sejarah yang berbasis multikultural pada para siswa diharapkan bukan hanya dapat memperkaya budaya bangsa tetapi juga memiliki kepekaan sentuhan-sentuhan akan kemanusiaan dalam kesetaraan/persamaan dan keragaman yang pada gilirannya akan tercapai suatu integrasi bangsa yang dibangun rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa solidaritas (sense of solidarity ). Sense of belonging harus terus ditumbuh kembangkan di kalangan para siswa untuk menuju pada self awareness sebagai individu, etnik, atau bangsa. Sedangkan rasa solidaritas (sense of solidarity) dibangun oleh shared social opportunities and responsibilities, dengan menekankan pada azas pemerataan dan keadilan (Wiraatmadja, 2002 : 228).


(19)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Nasionalisme yang dikaitkan dengan keragaman kelompok etnik adalah gagasan dari Anthony Smith (1982, dalam Wiriatmadja, 2008: 6) yang menjabarkan nasionalisme sebagai gerakan yang mementingkan peranan besar sejarah dan tradisi etnik. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa sejak dahulu nasionalisme menjunjung tinggi ikatan-ikatan etnik melalui bahasa, agama, wilayah, folklor, adat istiadat, keturunan, yang kemudian ditempa lagi pada tataran yang lebih tinggi untuk membangun semangat persaudaraan dan solidaritas, dengan menghindarkan sifat-sifat kelokalan, kedaerahan, yang mengandung benih perpecahan dan fragmentasi. Ditegaskan bahwa akar budaya etnik dapat menciptakan “sense of belonging” kepada upaya “nation building” bangsa yang ukuran jumlahnya besar, terpisah-pisahnya suatu wilayah dari wilayah yang lain (kepulauan), dan sangat heterogen, dengan menempanya menjadi makna baru, kehidupan baru, maka kebhinekaan etnisitas dan keterpisahan daerah dapat menjadi fokus utama upaya mobilisasi dalam membentuk persatuan. Karenanya, dengan fokus ini nasionalisme dapat menjadi ikatan yang menghubungkan masa lampau masyarakat bangsa tersebut dengan masa sekarang, dan masa yang akan datang (Smith, 1982: 27).

Permasalahan mengenai nasionalisme yang paling menonjol di Indonesia ialah mengenai etnik Tionghoa yang nenek moyang mereka pada perjalanan sejarahnya datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang dimana mereka tidak memiliki satu wilayahpun di Indonesia yang bisa diklaim sebagai daerah asal mereka, seperti yang dimiliki oleh suku Batak yang bisa mengklaim wilayah Tapanuli di provinsi Sumatera Utara sebagai asal muasal leluhur mereka dan masyarakat Sunda yang bisa mengklaim wilayah Jawa Barat sebagai daerah asal muasal leluhur mereka.. Leluhur etnik Tionghoa berimigrasi ke Indonesia secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Selama itu pula, sudah banyak orang


(20)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Tionghoa yang lahir, mati dan dikuburkan di Indonesia. Dengan kata lain, etnik Tionghoa di Indonesia sudah lama beranak-pinak. Meskipun demikian nilai-nilai nasionalisme etnik Tionghoa sering sekali menjadi perdebatan hangat. Hal yang paling menonjol dari masalah nasionalisme etnik Tionghoa selama ini ialah nasionalisme yang mereka miliki hanya sebatas pada etika bisnis yang bersifat

pragmatis, materialistis, dan oportunis dengan stigma “binatang ekonomi” (economic

animal) (Kwartanada, Didi, 1996). Pernyataan Kwartanada tersebut kemungkinan karena melihat satu sudut pandang yaitu dari kegiatan ekonomi etnik Tionghoa di perantauannya dimana kegiatan perdagangannya yang memiliki etika bisnis dengan semangat guanxi yang lebih mengutamakan jaringan bisnis dengan sesama etnik Tionghoa dan tidak peduli terhadap etnik atau suku lain. Padahal seperti yang kita ketahui kontribusi etnik Tionghoa sangat banyak dalam pembangunan negeri ini, misalnya saja etnik Tionghoa banyak memberikan lapangan pekerjaan bagi etnik lain yang ada di Indonesia.

Bukan hanya itu saja yang menjadi perdebatan selama ini tetapi juga karena lingkungan etnik Tionghoa terasa eksklusif, seperti yang terjadi di Pasundan dimana hanya sedikit wanita-wanita etnik Tionghoa (khususnya keturunan) yang mau

dipanggil “neng” saja yang sedikit berbau aristokrat (Sjamsuddin, 2002 : 115). Hal

ini juga bisa dilihat dari kurangnya pembauran dengan etnik dan suku bangsa lain. Etnik Tionghoa hanya bergaul dengan sesamanya. Ada kemungkinan hal tersebut bisa terjadi disebabkan oleh pengaruh warisan filosofi etnik Tionghoa yang berdasarkan Konfusianisme, tradisi yang menjadi identitas kehidupan spiritual Tionghoa secara umum yakni fokus pada keluarga baik itu yang masih ada ataupun yang sudah wafat (Onghokham, 2008 : 120). Konfusianisme khususnya mengajarkan tentang pengabdian anak pada orangtuanya. Pada umumnya, etnik Tionghoa yang merantau


(21)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

bukanlah dari kelas elite politik melainkan dari kelas bawah dimana Konfusianisme hanya berperan minimal sekali, kecuali dalam hal ancestral cult (pemujaan nenek moyang). Walapun begitu, kultus nenek moyang penting dalam ajaran dan filsafat Konfusianisme. Bagaimanapun, ekspresi penghormatan ataupun pemujaan dan kesetiaan pada orang tua hingga nenek moyang pada umumnya dipegang oleh orang Tionghoa di mana saja keberadaannya. Ini dapat disimpulkan bahwa etnik Tionghoa yang tidak bisa lepas dari orang tua dan nenek moyangnya berarti mereka tidak bisa lepas dari negara asalnya, Tiongkok (Onghokham, 2008 : 120-121).

Jaringan sosial dan ekonomi etnik Tionghoa yang disebut guanxi juga mendukung sikap ekskusif mereka. Guanxi sendiri merupakan semangat dalam mengembangkan dan melindungi sumber pendapatan keluarga agar kelangsungan hidup dapat terjamin. Semangat guanxi itu mereka lakukan dengan mengisolasikan sistem ekonomi mereka berdasarkan jaringan sosial sesama etnik Tionghoa. Ini tentu saja semakin membuat jurang pemisah antara etnik Tionghoa dengan suku yang lainnya. (Redding, 2002: 67-68). Adapun Creel memperkuatnya (1989 : 253-254) dengan menyatakan bahwa etnik Tionghoa sejak dahulu di negerinya memang memperhitungkan pertalian kekeluargaan dalam segala aspek kehidupan, khususnya dalam aspek ekonomi. Terlebih lagi clan di dalam pertalian keluarga etnik Tionghoa didasarkan pada garis keturunan ayah yang akan diwariskan kepada anak laki-laki dan tentu saja akan membawa marga keluarga. Kesadaran akan kesatuan dalam clan bagi etnik Tionghoa sangat kuat sekali. Semua keluarga merasa berasal dari keturunan yang sama, akan membentuk kesatuan keluarga dalam satu clan. Dalam kesataun clan ini mereka akan mendapat jaminan ketentraman hidup bagi setiap anggotanya baik itu dalam segi materil, tenaga, maupun dalam segi moril (Hidajat, 1993 : 101-102).


(22)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Selama beratus-ratus tahun yang lampau bahkan hingga sekarang, etnik Tionghoa lebih menyukai cara hidup dan cara pandang para leluhur mereka yang menganggap bahwa etnik Tionghoa memiliki kepandaian, kebudayaan, dan kecakapan yang lebih tinggi dibandingkan etnik ataupun bangsa lain. Ini bisa kita lihat dari maha karya etnik Tionghoa di negerinya sendiri yang pernah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia yaitu Tembok Besar Tiongkok yang seakan-akan menyimbolkan hal tersebut, selain mengantisipasi serangan dari bangsa Mongol (Creel, 1989 : 1, 249).

Cara pandang dan hidup yang seperti itu semakin diperkuat pula dengan adanya kerusuhan yang melibatkan etnik Tionghoa sebagai pihak yang menjadi korban, seperti kerusuhan yang etnik Tionghoa sebut sebagai “Mei kelabu” pada tahun 1998 yang dimana etnik Tionghoa banyak mengalami penjarahan, perampokan, pembakaran, penganiayaan, hingga pemerkosaan terhadap wanita etnik Tionghoa (Siburian, 1999). Kedua hal tersebutlah yang membuat banyak perbedaan antara bentuk rumah etnik Tionghoa dengan suku lain di Indonesia yang dapat diamati dengan tampilan pagar rumah yang cenderung tinggi-tinggi melebihi pagar warga pribumi yang tinggal di sebelahnya, yang sebenarnya sudah terjadi di Indonesia sebelum peristiwa kerusuhan 1998. Penampilan yang demikian seakan memperlihatkan batasan yang jelas antara warga etnik Tionghoa dengan warga dari etnik lain.

Tentu saja ini menimbulkan kesan dengan ditampilkannya penampilan pagar seperti itu merupakan penunjukan bahwa; "saya adalah orang Tionghoa dan anda orang pribumi". Walaupun tujuan lain membangun pagar yang tinggi itu juga dalam mengantisipasi adanya pencurian ataupun perampokan yang pernah mereka alami dalam peristiwa-peristiwa memilukan seperti pada tahun 1998. Selanjutnya


(23)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

mengakibatkan pembauran tidak terjadi. Kalaupun ada pembauran maka hal tersebut tidak berjalan secara optimal, sebab secara logika sulit membangun komunitas untuk saling berbaur apabila satu sama lain sudah merasa tidak aman. Akibatnya adalah orang Tionghoa di lingkungan warga dari etnik lain selalu menjadi "orang asing”.

Walaupun banyaknya pandangan negatif mengenai nasionalisme etnik Tionghoa, namun di sisi lain mereka memberikan banyak sumbangan dalam mengharumkan nama bangsa seperti di dunia olahraga, teknologi, kesenian, dan lain-lain yang banyak nama-nama kita kenal yang berasal dari etnis Tionghoa seperti pasangan Susi Susanti dan Alam Budikusuma yang mengharumkan nama Indonesia dalam olimpiade Barcelona. Namun dalam penulisan sejarah Indonesia jarang dibahas panjang lebar (Yanzhi, Kong, 2005).

Di bidang pendidikan bisa dikatakan sangat susah untuk menemukan siswa yang berketurunan etnik Tionghoa menimba ilmu di sekolah umum (sekolah negeri) yang tentunya para siswa yang terdapat di dalamnya lebih beragam baik itu dari segi agama maupun budaya. Hal ini mengingatkan memori kita kembali mengenai penggolongan penduduk pada masa Belanda hingga juga berpengaruh pada bidang pendidikan, yaitu warga negara kelas satu yang terdiri dari orang-orang Belanda dan bangsa kulit putih umumnya. Warga negara kelas dua yang terdiri dari Vreemde

Oosterlingen yaitu orang India, Arab, Tionghoa, dan orang-orang Timur Asing

lainnya. Adapun warga negara kelas tiga yang terdiri dari penduduk pribumi. Penggolongan kelas masyarakat menimbulkan eksklusifisme, karena masing-masing golongan masyarakat tersebut diposisikan dalam stratifikasi sosialnya masing-masing dan tidak boleh diperbaurkan (Takashi, 2005 : 47).

Kondisi tersebut masih terjadi bagi warga etnik Tionghoa di kota Bandung, bahkan tidak susah untuk menemukan siswa dengan latar belakang etnik Tionghoa


(24)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

bersekolah di yayasan dengan latar belakang agama Kristen (baik itu Kristen Katholik ataupun Kristen Protestan) di tengah-tengah masyarakat kota Bandung yang mayoritas berkeyakinan Islam. Kondisi etnik Tionghoa di Indonesia juga walaupun terlihat homogen tetapi mereka juga sebenarnya majemuk karena tidak berasal dari satu suku bangsa saja tetapi paling sedikit delapan suku bangsa dengan bahasa dan marga yang berbeda-beda. Etnik Tionghoa di Indonesia sebagian berasal dari empat suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka atau Kheh, Tiu-Chiu, dan orang kota Kanton (Purcell, 1980 : 52). Pendapat di atas juga didukung oleh pernyataan Suryadinata, di mana bahwa sering sekali warga lokal (pribumi) memandang etnik Tionghoa secara homogen, padahal tidak demikian adanya. Dalam komunitas etnik Tionghoa terdapat keheterogenitasan, seperti masyarakat lokal Indonesia (Suryadinata, 1999: 170).

Selain itu, etnik Tionghoa di kota Bandung sudah terjadi asimilasi dengan warga lokal, baik itu asimilasi secara biologis yang sering disebut sebagai “Tionghoa

peranakan” maupun kebudayaan (Onghokham, 2009 : 28-29). Etnik Tionghoa ini dalam penulisan-penulisan sejarah disebut sebagai etnik Tionghoa “peranakan” yang menurut Suryadinata (1984 : 86) adalah mereka yang datang ke pulau Jawa, biasanya laki-laki yang kemudian kawin dengan wanita lokal setempat. Hal inilah yang nantinya membuat perbedaan fisik antara etnik Tionghoa di pulau Jawa dengan di luar pulau Jawa, yaitu misalnya sudah banyak etnik Tionghoa peranakan di pulau Jawa yang memiliki tingkat kesipitannya yang tidak lagi menonjol dan warna kulit juga yang sudah tidak terlalu berwarna putih (ras Mongoloid). Bahkan warna kulit merekapun sudah banyak yang mengarah ke kecoklat-coklatan. Namun tidak

menutup kemungkinan masih terdapat juga banyak etnik Tionghoa “totok” di kota


(25)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Etnik Tionghoa “peranakan” juga disebutkan bagi mereka yang lahir di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, tidak saja kepada warga pribumi juga sesama mereka yang berasal dari etnik Tionghoa itu sendiri. Ini sudah terjadi dari generasi etnik Tionghoa pada masa sebelum perang di Indonesia yaitu mereka mulai menggunakan bahasa Melayu ataupun bahasa lokal setempat yang bercampur dengan bahasa yang berasal dari Tionghoa sebagai bahasa percakapannya (Suryadinata, 1984 : 86). Etnik Tionghoa peranakan ini banyak terdapat di pulau Jawa. Mereka inipun sudah mulai kehilangan kefasihannya berbicara dalam bahasa Tionghoa karena mereka sudah banyak menyerap unsur kebudayaan lokal tempat di mana etnik Tionghoa peranakan ini bermukim (Suryadinata, 1999: 170-171). Etnik Tionghoa peranakan di Jawa Barat lebih dekat persamaannya dengan suku Sunda sebagai warga lokal dan memiliki keterikatan yang lebih kuat dengan sesama etnik Tionghoa yang berasal dari Jawa Barat sendiri dibanding etnik Tionghoa yang berasal dari daerah lain (Suryadinata, 1984 : 94) .

Etnik Tionghoa “peranakan” di pulau Jawa sudah banyak yang meninggalkan

religi leluhurnya, dan menganut salah satu dari agama yang diakui oleh negara terutama pada masa Orde Baru; seperti Kristen, Islam, dan Buddha (Suryadinata, 1984 : 87). Seperti etnik Tionghoa di kota Bandung sudah banyak yang berkeyakinan Kristen, hal ini bisa dilihat dari banyaknya gereja-gereja di kota Bandung yang jemaatnya banyak berisikan etnik Tionghoa (baik itu Kristen Khatolik ataupun Protestan). Kemungkinan ini bisa saja dikarenakan ketika masa penjajahan Belanda dimana etnik Tionghoa mendapat pendidikan tersendiri yaitu dengan didirikannya sekolah Tionghoa Belanda (Hollands Chinese Schools atau HCS) pada tahun 1908 di pulau Jawa yang mengacu pada kurikulum yang berlaku di negeri Tiongkok namun masih tetap mengikuti pola pendidikan Belanda seperti penggunaan bahasa Belanda


(26)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

di dalam sekolah bagi anak-anak etnik Tionghoa hingga mengikuti keyakinan yang dianut oleh kolonial Belanda (Hidajat, 1993 : 79-83). Bahkan hingga sekarang etnik Tionghoa yang beragama Kristen ini sudah banyak yang menjadi pendeta dengan jemaat yang berasal dari berbagai latar belakang etnik (Siburian, 1999).

Walaupun demikian, tidak bisa diingkari bahwa leluhur mereka yang datang ke Indonesia adalah etnik Tionghoa yang lahir di negeri Tiongkok lalu datang ke Indonesia dengan tujuan mencari sumber penghidupan akibat sering terjadinya perang antara dinasti (kerajaan) di negeri Tionghoa (Suryadinata, 1984: 90). Mereka bermigrasi ke Indonesia pada abad 19 hingga 20 yang pasti masih kental sekali dengan filosofi konfusianisme yang sudah ada di negeri Tionghoa sejak abad 5 SM. Nantinya tentu saja sedikit banyak diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Di kota Bandung sendiri, etnik Tionghoa sudah berasimilasi dengan budaya lokal setempat yaitu budaya Sunda. Hal ini bisa dilihat dari kemampuan mereka mulai dari berlogat hingga berbahasa Sunda baik dengan tutur kata yang halus ataupun kasar. Sangat mudah sekali menemukan para siswa etnik Tionghoa baik itu ditingkat SD hingga SMA yang menggunakan bahasa Sunda dengan fasihnya dalam kehidupannya sehari-hari di sekolah.

Kondisi seperti inilah seharusnya menjadi dasar pendidikan dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa melalui pembelajaran sejarah berbasis multikultural, walaupun sebenarnya nasionalisme diajarkan oleh banyak mata pelajaran di sekolah, sebut saja pendidikan kewarganegaraan dan sosiologi. Namun potensi besar dalam mentransformasi multikultural dan nasionalisme bagi siswa etnik Tionghoa sebenarnya bisa didapat dari pembelajaran sejarah yang didalamnya banyak pengaplikasian dalam peristiwa maupun tokoh sejarah yang didasarkan pada multikulturalnya keberadaan Indonesia guna


(27)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa. Dalam materi transformasi etnik dan berkembangnya identitas kebangsaan Indonesia pada kelas XI IPS dimana identitas kebangsaan Indonesia tidak saja hanya dimiliki oleh masyarakat pribumi yang berasal dari suku bangsa di berbagai daerah di Indonesia tetapi juga dimiliki oleh masyarakat Indonesia keturunan etnik Tionghoa maupun keturunan Indo Belanda. Dalam masyarakat etnik Tionghoa terjadi gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang disebabkan terbatasnya ruang gerak mereka yang hanya dalam bidang ekonomi saja dan dijadikan sebagai alat pemerasan terhadap etnik atau suku lain oleh kolonial Belanda. Bahkan seorang Douwes Dekker (Setiabudi) yang adalah seorang Indonesia keturunan Belanda melakukan perjuangan dalam melawan kolonial Belanda dengan mendirikan partai politik yang bernama Indische Partij.

Menurut Supardi (2005:3-4), salah satu media pengembangan kesadaran multikulturalisme adalah pendidikan sejarah. Pengajaran sejarah merupakan sarana efektif dalam menyalurkan serta menanamkan kesadaran multikulturalisme. Pendidikan yang selama ini ditanamkan dalam kurikulum sekolah telah menjelaskan konsep keberagaman. Walaupun lebih banyak menekankan pengajarannya hanya sekedar pendidikan multikulturalisme deskriptif. Misalnya saja, berkembangnya identitas kebangsaan Indonesia dari masyarakat keturunan etnik Tionghoa hanya menyebutkan ada perlawanan dan penyebab terjadinya perlawanan terhadap kolonial Belanda tetapi tidak ada diekslporasi tentang tokoh maupun peristiwanya. Pentingnya mengeksplorasi nilai multikuturalisme dalam pembelajaran sejarah baik bagi etnik Tionghoa ataupun etnik lain pernah menjadi agenda penting dalam Musyawarah Kerja Nasional Pengajaran Sejarah, pada tanggal 11-13 Juli 2006 di Hotel Sahid Surabaya. Beberapa hasil rumusan peserta Mukernas Pengajaran Sejarah yang paling


(28)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

penting dan berhubungan dengan nilai multikultural dan nasionalisme pada waktu itu adalah (Rekomendasi Rapat Kerja Nasional Sejarah, 2005 :1-3) :

1. Materi yang dikembangkan dalam pembelajaran sejarah harus memiliki pendekatan multikultural. Muatan multikultural perlu diberikan pada siswa sesuai dengan prinsip pengembangan kurikulum sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan No. 22 tahun 2006 tentang standar isi, yaitu bahwa prinsip pengembangan berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Selain itu, secara realitas objektif masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural baik secara suku, agama, etnik, budaya, dan lain-lain.

2. Pendekatan penyajian materi sejarah dilakukan secara kontekstual. Artinya sajian materi sejarah dikaitkan dengan peristiwa atau fenomena yang terjadi pada saat ini. Dengan pendekatan materi seperti ini diharapkan siswa mampu membangun daya nalar dan tidak bersifat indoktrinasi.

3. Materi pembelajaran sejarah harus memiliki misi pembentukan karakter bangsa (nation building). Hal ini dilakukan dengan tujuan materi sejarah mampu membangun jati diri bangsa. Nilai-nilai yang dikembangkan dari peristiwa sejarah harus dapat tertanam dalam diri siswa.

Dalam pembelajaran sejarah selama ini sudah terdapat berbagai peristiwa dan tokoh yang mewakili keberadaan multikulturalnya Indonesia karena diangkat dari berbagai etnik dan agama. Dalam materi organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia, ada terdapat banyak organisasi demi tujuan kemerdekaan dengan anggotanya terdiri dari berbagai latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Sebut saja organisasi Indische Partij dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didalamnya tidak hanya terdapat tokoh-tokoh pergerakan dari suku Jawa saja tetapi


(29)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

juga ada dari suku lain seperti Douwes Dekker dan Suriadinata. Namun materi-materi sejarah tersebut sepertinya bersikap kurang adil dalam pembahasan tentang etnik Tionghoa, materi tentang etnik Tionghoa hanya pada materi kelas X semester genap yaitu tentang peradaban lembah sungai Hwang Ho (sungai Kuning) di Tiongkok dan juga materi semester genap kelas XI IPS mengenai Transformasi etnik dan berkembangnya identitas kebangsaan Indonesia, namun tidak menuliskan tentang tokoh-tokoh pergerakan dari etnik Tionghoa ataupun peristiwanya. Padahal ada banyak sekali seperti tokoh-tokoh keturunan etnik Tionghoa dalam “Sumpah

Pemuda” yang telah meletakkan dasar yang penting bagi lahirnya bangsa Indonesia, yaitu Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie. (Eddie Lembong dalam Suryadinata, 2002 : 383).

Padahal sesuai dengan pernyataan Kartodirdjo yang menegaskan bahwa sejarah dapat diartikan sebagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau (Kartodirdjo, 1992 : 59). Diharapkan dengan adanya pembelajaran sejarah, siswa etnik Tionghoa dibangun kembali memorinya mengenai perjalanan dari berbagai suku bangsa termasuk etnik Tionghoa sendiri dalam menghadapi penindasan dan diskriminasi dari kolonial Belanda sebagai penjajah. Pembelajaran sejarah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu proses belajar mengajar materi pelajaran sejarah di SMA untuk mencapai tujuan kurikulum pelajaran sejarah di SMA.

Kenyataan Indonesia sebagai masyarakat multikultural merupakan kebanggaan sekaligus kecemasan, kebanggaan karena kayanya Indonesia akan budaya masyarakatnya dan kecemasan agar masyarakat yang multikultural tersebut tidak terjadi konflik-konflik yang dapat menyebabkan hancurnya persatuan dan kesatuan yang tentu saja terutama dalam mengakomodir masyarakat yang pada


(30)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

awalnya adalah pendatang seperti etnik Tionghoa. Pentingnya pendidikan multikultural di kalangan siswa etnik Tionghoa karena supaya membuka pola pikir mereka dalam menyangkut kesadaran akan bagian dari masyarakat bangsa dalam

sense of belonging dan nasionalismenya. Panterotto (1995) dalam Supardan (2004),

dalam penelitiannya menghasilkan kesimpulan bahwa pembelajaran multikulturalisme berperan untuk : „Discribes theoris to explain the increase of incidents of intergroup conflict and role of the teacher in multicultural awareness

and prejudice prevention programs‟. Maksudnya ialah bahwa pembelajaran multikultural dapat mencegah meningkatnya prasangka dan konflik antar kelompok. Dalam hal ini ialah antara kelompok masyarakat etnik Tionghoa yang awal sejarah mereka sebagai bangsa pendatang dengan masyarakat lokal. Karena melalui pembelajaran multikultural maka siswa bisa belajar menghargai setiap budaya etnik yang berbeda, menilai setiap budaya etnik yang berbeda, menilai setiap keunggulan dan kelemahan yang akhirnya siswa akan menerima bahwa sesungguhnya tidak ada budaya yang sempurna. Semuanya memiliki kebaikan dan manfaatnya di dunia ini.

Tidak sulit untuk menemukan siswa etnik Tionghoa yang memiliki orangtua dengan latar belakang etnik maupun budaya yang berbeda antara ayah dengan ibu maupun kakek dengan nenek mereka di SMA St. Angela kota Bandung. Bahkan agama siswa etnik Tionghoa di sekolah tersebut tidaklah semuanya Kristen (baik itu Kristen Katholik ataupun Protestan), masih ada siswa yang memiliki agama Buddha dan Islam. SMA St. Angela yang sudah berdiri sejak tahun 1951 di kota Bandung dan mayoritas siswanya adalah etnik Tionghoa. Walaupun sekolah ini terlihat mayoritas siswanya adalah etnik Tionghoa tetapi posisinya tidaklah homogen karena berasal dari daerah yang berbeda. Etnik Tionghoanya tidak hanya berasal dari kota Bandung saja tetapi juga ada yang berasal dari kota lain di pulau Jawa seperti Semarang,


(31)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Surabaya, bahkan Papua. Selain itu juga terdapat juga siswa dari suku atau etnik lain seperti dari suku Sunda, Jawa, Batak, dan Ambon.

Hal-hal tersebutlah yang menjadi latar belakang ketertarikan penulis untuk meneliti tentang “PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS

MULTIKULTURAL DALAM MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI

NASIONALISME SISWA ETNIK TIONGHOA ”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penyampaian pendidikan nilai yang dilakukan oleh guru melalui pembelajaran sejarah?

2. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis multikultural yang dilakukan oleh guru di SMA St. Angela kota Bandung dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pengimplementasiannya?

3. Bagaimana sikap nasionalisme yang ditunjukkan oleh siswa etnik Tionghoa di SMA St. Angela kota Bandung dengan adanya pembelajaran sejarah berbasis multikultural?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian tentang peran pendidikan sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnis Tionghoa. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif tentang :


(32)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2. Pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis multikultural yang dilakukan oleh guru di SMA St. Angela kota Bandung dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pengimplementasiannya.

3. Sikap nasionalisme yang ditunjukkan oleh siswa etnik Tionghoa di SMA St. Angela kota Bandung dengan adanya pembelajaran sejarah berbasis multikultural.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain:

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini di harapkan memberikan sumbangsi informasi mengenai menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan peran pembelajaran sejarah berbasis multikultural yang berimplikasi dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa.

b. Dapat digunakan sebagai sumber data penelitian lebih lanjut untuk memahami lebih jauh mengenai pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa.

2. Manfaat praktis

a. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam perencanaan pendidikan sejarah berbasis multikultural

b. Bagi para akademis ataupun komunitas akademis, khususnya dalam bidang pendidikan sejarah untuk mengembangkan nasionalisme siswa


(33)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

etnik Tionghoa yaitu tidak hanya dalam bidang prestasi dan keoportunisannya dalam bidang ekonomi tetapi juga sikap toleransi antar etnik, budaya, dan agama di luar siswa etnik Tionghoa.

E. Klarifikasi Konsep

Dalam penelitian ini, terdapat lima konsep utama yakni pendidikan sejarah, pembelajaran multikultural, nasionalisme, etnis Tionghoa dan pendidikan sejarah berbasis multikultural.

1. Pembelajaran sejarah Sejarah

Pembelajaran sejarah merupakan bagian yang terintegral dalam IPS dan mengandung unsur pendidikan nilai, hal inilah yang menyebabkan pembelajaran sejarah memiliki arti penting di sekolah. (Hasan, 2012 : 3-4).

Dengan menggunakan konsep challenge and response dari Arnold Toynbee untuk mentransformasi nilai dalam pembelajaran sejarah, para siswa tidak hanya diberi pengetahuan mengenai saat Indonesia berada pada titik tertinggi yaitu dengan segala peninggalan kejayaannya di masa kerajaan Sriwijaya ataupun Majapahit. Tetapi juga ketika bangsa Indonesia dalam menghadapi titik terendahnya yakni ketika dijajah beratus-ratus tahun oleh bangsa lain. Dan keterpurukan tersebut tidak hanya berdimensi pada masa penjajahan melainkan juga pada jaman dimana para siswa berada.

Penggunaan konsep challenge and response tidak hanya bersifat substantive melainkan juga analytical (Supriatna : 2010 : 9-10), ketika hal itu digunakan sebagai alat analisis untuk melihat persoalan kontemporer yang dapat membangun kesadaran kebangsaan yang berujung pada rasa nasionalisme para siswa dalam merespon berbagai tantangan (challenge) yang dihadapi Indonesia pada masa sekarang seperti


(34)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kemiskinan, kebodohan, hingga tindakan-tindakan moral yang tidak pantas ditiru dan dipuji (contohnya korupsi) .

Tantangan (challenge) ini akan memberikan kepribadian yang tegar sebagai

response karena pengenalan akan jati dirinya yang dapat menumbuhkan kemauan dan

kesediaan untuk belajar, jujur, dan bekerja keras yang lebih tinggi bagi diri dan bangsanya. Dan hal tersebut dapat membuat pembelajaran sejarah lebih bermakna

(meaningful) bagi para siswa.

2. Pengertian multikutural

Multikultural meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnik orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri (Blum, 2001 : 16). Pendidikan multikultural tersebut diarahkan dalam rangka mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural dan juga perbedaan serta persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Lawrence J. Saha, 1997 dalam Aly, 2005).

3. Nasionalisme

Adapun nasionalisme yang menjadi fokus dalam penelitian ini ialah sekelompok manusia yang memiliki cita-cita bersama yang mengikat warga negara menjadi satu kesatuan, memiliki kesamaan sejarah walaupun berbeda etnik dan


(35)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

agama, kesadaran kebangsaan dengan kesamaan pandangan, harapan tujuan, dan cita-cita serta kecintaan kepada tanah air dalam menghadapi baik itu masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Dengan kata lain, nasionalisme merupakan perekat yang mempersatukan dan memberikan dasar kepada jati diri sebagai bangsa (Hertz dalam Winataputra 2007 : 4.21).

4. Etnik Tionghoa

Dalam penelitian ini, penggunaan istilah “Etnik Tionghoa” lebih bijak

digunakan karena adanya Keppres no. 12/2014 penggantian istilah Tionghoa menjadi Tionghoa yang ditandatangani oleh presiden RI yaitu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada hari Kamis tanggal 20 Maret 2014 pukul 11 : 29 WIB. Hal ini berarti bahwa surat edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE. 06/Preskab/6/1967 yang berisikan penggunaan istilah Tionghoa sebagai pengganti Tionghoa/Tiongkok tidak berlaku lagi karena disebabkan telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga bangsa Indonesia dari keturunan Tionghoa (http://www.antaranews.com/berita/425081/keppres-penggantian-istilah-china-menjadi-tionghoa-ditandatangani).


(36)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu suatu pendekatan yang tidak menggunakan upaya kuantitatif atau perhitungan-perhitungan statistik melainkan lebih menekankan pada kajian interpretasi. Penelitian dengan pendekatan kualitatif (Qualitative Reaseach) adalah ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, pemikiran orang secara individu maupun kelompok. Bogdan dan Taylor dalam L.J.Moleong (2006:4) mendefinisikan bahwa metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Lebih lanjut, Moleong (2006:44) menjelaskan sebagai berikut:

“Penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitian pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersitfat sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak antara peneliti dan subjek penelitian”.

Berlandaskan pada pendapat tersebut maka penulis memilih metode penelitian yang dianggap tepat yakni studi kasus. Studi kasus termasuk dalam metode penelitian pendekatan kualitatif, selain dari etnografi dan posedur interpretatif (Bogdan dan Biklen, 1990 ). Studi kasus adalah bagian dari kualitatif juga diperkuat oleh pendapat Creswell (2010 : 20) yang mengemukakan bahwa penelitian kualitatif sebenarnya meliputi sejumlah metode penelitian, diantaranya etnografi, grounded theory, studi


(37)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kasus, fenomenologi, dan naratif. Penelitian studi kasus merupakan strategi penelitian yang peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktifitas, proses, atau sekelompok individu-individu. Kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan (Stake dalam Creswell 2010 : 20).

Bodgan dan Biklen (1982 : 58) menyatakan :

“… a detailed examination of one setting, or one single subject, or one single despositry or document, or one particular event”.

Dalam hal yang lebih khusus, studi kasus seperti digambarkan di atas, pada prinsipnya adalah model studi kasus tunggal (single case study). Penggunaan model studi kasus dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitiannya dilakukan pada satu fokus yaitu siswa etnik Tionghoa di SMA St. Angela kota Bandung.

Adapun Creswell (1994 : 61) menjelaskan bahwa :

“A case study is an exploration of a bounded system or a case (or multiple

cases) over time through detailed, in-depth data collection involving multiple sources of information rich in context”.

Pengertian studi kasus adalah suatu pendalaman atau eksplorasi terhadap sistem yang dibatasi, atau sebuah kasus (beberapa kasus) yang terjadi dalam waktu lama melalui pengumpulan data secara mendalam dan terperinci yang meliputi berbagai sumber informasi yang sangat berkaitan dengan konteksnya. Lebih lanjut lagi, Deddy Mulyana (2002 : 201) menjelaskan bahwa :

Penelitian studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti. Mereka sering menggunakan berbagai metode wawancara (riwayat hidup), pengamatan, penelaahan, dokumen, (hasil) survey, dan data apapun untuk menguraikan suatu kasus secara terperinci.

Robert K. Yin (2008 : 1) lebih jauh mengemukakan bahwa :

“Studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok apabila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki


(38)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata”

Maxfield (dalam Nazir, 1983 : 66) juga mengemukakan bahwa studi kasus merupakan penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitiannya dapat berupa individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat sehingga dapat memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.

Adapun sebagai suatu metode kualitatif, studi kasus mempunyai beberapa keuntungan. Lincoln dan Guba (1985 : 56) mengemukakan bahwa keistimewaan studi kasus meliputi hal-hal berikut :

 Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan pandangan subjek yang diteliti

 Studi kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari

 Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti dan responden

 Studi kasus memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi internal yang tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi juga keterpercayaan (trustworthiness).

 Studi kasus memberikan “uraian tebal” yang diperlukan bagi penilaian atau transferabilitas

 Studi kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.

Dari semua pendapat di atas menggambarkan bahwa metode studi kasus lebih menitik beratkan pada suatu kasus dan kasus yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme di kalangan siswa etnik Tionghoa yang dimulai dari proses


(39)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pelaksanaannya, kendala-kendala yang dihadapi dalam pengimplementasian , serta pengembangan perilaku nasionalisme yang ditunjukkan oleh siswa etnik Tionghoa. Kasus tersebut dibatasi dalam suatu ruang lingkup tingkatan kelas XI IPS-2 di sekolah SMA St. Angela yang berada di kota Bandung. Adapun dalam penelitian studi kasus kebenaran berada di kedua pihak, baik di pihak peneliti maupun informan yang diakui kebenaran informasinya. Jadi objektifitas penelitiannya dilihat dari adanya koherensi antara subjektifitas peneliti dan subjektifitas informan serta menghormati kebenarannya.

Pendekatan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan dalam rangka mengetahui kondisi yang objektif dan mendalam tentang fokus penelitian. Oleh sebab itu, penulis lebih banyak menggunakan pendekatan antar personal di dalam penelitian ini yang artinya selama proses penelitian penulis akan lebih banyak mengadakan kontak dengan orang-orang yang berada di lokasi penelitian. Dengan demikian peneliti dapat lebih leluasa mencari informasi dan mendapatkan data yang lebih terperinci tentang berbagai hal yang diperlukan untuk kepentingan penelitian. Selain juga berusaha mendapatkan pandangan dari orang di luar sistem dari subjek penelitian, atau dari pengamat, untuk menjaga objektifitas hasil penelitian.

B. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi yang dijadikan sebagai tempat penelitian ialah SMA St. Angela yang terletak di kota Bandung yang sudah berdiri sejak tahun 1951 dan memang sekolah ini terkenal memiliki para siswa mayoritas etnik Tionghoa. Meskipun sekolah ini mayoritas etnik Tionghoa, keheterogenitas Indonesia yang terdiri dari berbagai etnik, budaya, dan agama tergambar dalam kelas XI IPS 2 yang


(40)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dimana di dalam kelas tersebut ada siswa yang beretnik Batak, Sunda, Jawa, Ambon, dan Tionghoa. Ada juga siswa yang beragama Islam dan juga Hindu. Di sekolah tersebut dalam pembelajaran sejarahnya sudah disajikan mengenai pembelajaran multikultural karena guru sejarah menyadari kondisi keheterogenitas siswa dalam kelas XI IPS 2 tersebut dan hal ini sesuai dengan fokus penelitian. Kondisi kelas yang demikian akan membantu tersedianya, bahkan kaya dengan berbagai informasi yang diperlukan untuk penelitian. Adapun yang dimaksud subjek penelitian itu sendiri menurut S. Nasution (1996 : 32) ialah “Sumber yang dapat memberikan informasi, dipilih secara purposive dan bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu”. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan didapatnya data-data selain dari sumber data yang telah ditetapkan di atas, selama data tersebut dapat menunjang keberhasilan penyelidikan dalam penelitian ini.

Adapun dasar pertimbangan SMA St. Angela kota Bandung dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

a. Letak geografis SMA St. Angela berada di tengah-tengah kota Bandung. Adapun kota Bandung sendiri juga merupakan salah satu destinasi perantauan dari etnik manapun baik yang berasal di pulau Jawa ataupun di luar pulau Jawa setelah ibukota Jakarta.

b. Walaupun kondisi sosial para siswa di SMA St. Angela mayoritas etnik Tionghoa tapi juga terdapat siswa dari suku lain seperti Jawa, Sunda, Batak, dan Ambon. Siswa etnik Tionghoanya juga beragam bahkan ada yang memiliki orangtua dengan latar belakang suku, etnik, maupun budaya yang berbeda antara ayah dengan ibu maupun kakek dengan nenek. Latar belakang agama para siswa di sekolah tersebut tidaklah semuanya Kristen (baik itu


(41)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kristen Katholik ataupun Protestan), masih ada siswa yang memiliki agama yang lain sepeerti Islam dan Hindu.

c. Kondisi ekonomi beragam juga, mulai dari kelas menengah hingga kelas atas. Hal ini disebabkan mata pencaharian orangtua mereka yang beragam, mulai dari pedagang, guru, hingga pengusaha.

C. Subjek Penelitian

Menurut Lincoln dan Guba (1985 : 201) yang disebut subjek penelitian ialah berupa peristiwa, manusia, situasi yang diobservasi atau responden yang dapat diwawancarai. Berdasarkan pendapat tersebut maka yang menjadi subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas XI IPS-2 yang siswanya heterogen, Guru, Kepala Sekolah, Wakasek Kesiswaan, Guru BK (Bimbingan Konseling), sumber kepustakaan seperti ; jurnal, buku teks, dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa di SMA St. Angela kota Bandung. Situasi dan peristiwa yang diamati antara lain mengikuti kegiatan pembelajaran sejarah berbasis multikultural di kelas bersama guru pendidikan sejarah.

Pernyataan Lincoln dan Guba tersebut didukung pula oleh Spradley dan Sugiyono (2005 : 49) bahwa dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi tetapi dinamakan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri dari tiga

elemen yaitu tempat (place), pelaku (actors), dan aktifitas (activity) yang berinteraksi secara sinergi. Situasi sosial dalam penelitian ini meliputi sekolah dan kelas XI IPS-2 sebagai tempat (place); siswa, guru, kepala sekolah, wakasek kesiswaan; serta proses belajar mengajar sebagai aktifitas (activity).


(42)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama (key instrument) dalam pengumpulan data sehingga memiliki peranan yang fleksibel dan adaptif, yang artinya peneliti dapat menggunakan seluruh alat indera yang dimilikinya untuk memahami fenomena sesuai dengan fokus penelitian (Cresswell, 1998 : Lincoln dan Guba, 1985 : 4, Bogdan dan Biklen, 1992 : 28). Para peneliti kualitatif mengumpulkan sendiri data melalui dokumentasi, observasi perilaku, atau wawancara. Lebih lanjut Lincoln dan Guba (1985 : 199) menyatakan bahwa :

“…The human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of normal human activities : looking, listening, spekaing, reading, and the likes”

Adapun pernyataan ini semakin jelas bahwa keunggulan manusia sebagai instrumen dalam penelitian naturalistik karena alat ini bisa mendengar, membaca, merasa, dan sebagainya yang biasa dilakukan manusia pada umumnya. Human Instrumen ini dibangun atas dasar pengetahuan dan menggunakan metode yang sesuai dengan tuntutan penelitian. Hal tersebut sesuai dengan ciri-ciri penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1992 : 33-36), yaitu :

Riset kualitatif mempunyai latar alami karena yang merupakan alat penting adalah adanya sumber data yang langsung dari perisetnya. Riset kualitatif itu bersifat deskriptif. Periset kualitatif lebih memperhatikan proses ketimbang hasil atau produk semata. Periset kualitatif cenderung menganalisis data secara induktif. Makna merupakan soal essensial untuk rancangan kualitatif.

Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Creswell (2010 : 264) bahwa peneliti terlibat dalam pengalaman yang berkelanjutan dan terus menerus dengan partisipan. Instrumen utama dalam penelitian adalah peneliti sendiri yang terjun langsung ke lapangan untuk mencari informasi melalui observasi dan wawancara.


(43)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pendapat inilah yang melandaskan peneliti untuk terjun langsung ke lapangan dalam mengumpulkan seluruh data sesuai dengan fokus penelitian yaitu pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnis Tionghoa.

Miles dan Huberman (1992 : 15) dalam melakukan analisis data kualitatif, peneliti dituntut untuk melakukan (1) interaksi secara intensif dan jangka panjang di lokasi penelitian yang dalam penelitian ini ialah sekolah St. Angela dan kelas XI IPS-2; (2) melakukan pencatatan (recording) tentang apa yang terjadi di lokasi penelitian, membuat catatan-catatan lapangan, dan mengumpulkan dokumen-dokumen yang antara lain ialah RPP, silabus, catatan-catatan siswa; dan (3) refleksi analitik berikutnya pada catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang dikumpulkan dari lapangan dan dilaporkan dengan cara mendeskripsikannya secara detail, antara lain dengan membuat sketsa-sketsa naratif dan kutipan langsung dari interview maupun dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk-bentuk yang lebih umum.

1. Observasi

Menurut Creswell (2010 : 267) :

“Observasi yang dilakukan dalam penelitian kualitatif adalah observasi yang di dalamnya peneliti langsung turun ke lapangan untuk mengamati perilaku dan aktifitas individu-individu di lokasi penelitian”

Adapun jenis-jenis observasi yang dapat dilakukan dalam penelitian kualitatif, antara lain observasi non interaktif dan observasi interaktif (Bogdan dan Biklen, 1992 : 287). Observasi non-interaktif dimana peneliti hanya mengamati berbagai tindakan yang terlihat secara langsung. Sedangkan dalam observasi interaktif maka peneliti terlibat dalam kegiatan pengamatan, misalnya peneliti memperbaiki jawaban guru terhadap pertanyaan siswa atau terlibat langsung dalam kegiatan (partisipatif).


(44)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Cara ini memungkin sebagaimana dikemukakan Patton (2009 : 131-132), bahwa pengamatan berperan serta dapat dilakukan dengan cara, yaitu :

1. Peneliti berperan sebagai pengamat yang berperan serta (observer as

participant). Peran ini dilakukan peneliti karena peneliti secara umum

memang diketahui pekerjaannya sebagai peneliti. Peran ini memungkinkan bagi peneliti untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, termasuk informasi yang rahasia sekalipun.

Adapun alasan menggunakan cara tersebut ialah agar dapat menyajikan gambaran realistik mengenai bagaimana pengembangan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa dengan adanya pembelajaran sejarah berbasis multikultural. Dalam hal ini peneliti observasi langsung dalm proses pembelajaran sejarah di kelas.

Adapun Patton (2009 : 254) lebih lanjut menjelaskan, manfaat observasi adalah sebagai berikut:

a. Dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistik atau menyeluruh.

b. Dengan observasi maka akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atua pandangan sebelumnya.

c. Dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap ”biasa” dan karena itu tidak akan terungkap dalam wawancara.

Dengan demikian, observasi yang dilakukan dalam mengamati proses pembelajaran sejarah yang dilakukan oleh guru, antara lain :


(1)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Lincoln, Y.S & Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Baverly Hills : Sage Publications.

Lubis, Zubaedi. (2011). Evaluasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Moleong, J.L. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Rosdakarya Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. (2007). Analisis Data Kualitatif: Buku

Sumber tentang Metode-Metode baru. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Mudhofir. (1992). Prinsip-prinsip Pengelolaan Pusat Sumber belajar. Bandung:

Remaja Rosdakarya

Mulyana, D. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Agus. (2012). “Nasionalisme dan Militerisme ; Ideologisasi Historiografi

pada Buku Teks Pelajaran Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA (Laporan Penelitian)”. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Mutakin. (2006). Individu, Masyarakat, dan Perubahan Sosial. Bandung : FIS UPI Mus S. Radjilun. (2011). “Implementasi Pembelajaran Berbasis Biografis ;

Nilai-Nilai Kejuangan Sultan Babullah dalam Membangun Patriotisme dan Nasionalisme Siswa (studi Inquiri kualitatif Pembelajaran IPS Sejarah di SMA Negeri 3 Ternate)”. Tesis UPI prodi pendidikan IPS : Bandung.

Nasution, S. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito. O’neal, W.F. (2002). Ideologi-ideologi Pendidikan (Peterjemah: Naomi, O. I., dari

Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophis) Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Patton, Michael Quinn. (2009). Metode Evaluasi Kualitatif. How To Use Qualitatif Methods in Evaluation. Yogyakarta : Pustaka pelajar.


(2)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Purcell, Victor. (1980). The Chinese in Southeast Asia (edisi kedua, cetak ulang). Kuala Lumpur : Oxford University Press.

Purwanto, B. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Ombak

Redding, S Gordon. (2002). Jiwa Kapitalisme Tionghoa (terjemahan). Jakarta: Abdi Tandur.

Rekomendasi Rapat Kerja Nasional Sejarah. (2006). Surabaya: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Robert K. Yin. (1996). Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Sardiman, A.M. (2000). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Rajawali Sapriya. (2006). “Warganegara dan Teori Kewarganegaraan”. Dalam Budimansyah,

Dasim dan Syaifullah Syam (Ed). Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Kewarganegaraan : Menyambut 70 Tahun Prof. Drs. H. A. Kosasih Djahiri. Bandung : Lab. Pkn FPIPS UPI.

Saripudin, Didin. (2008). Masyarakat dan Pendidikan. Malaysia. Yayasan Istana Abdulaziz.

Sartono, Kartodirdjo. (1989). “Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional”, dalam Historika. Surakarta UNS.

Sjamsuddin, Helius. (2002). “Rusuh di Bandung : Peristiwa 5 Agustus 1973” dalam Liputan Media Massa. HISTORIA, Tahun 2002 No.6 Vol. III. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Siburian, Robert. (1999). “Eksodus Etnis Tionghoa" dalam harian Suara Bangsa.

Smith, Anthony, D. (1992) “Toward a Global Culture” dalam Featherstone (ed) Global Culture, 18.1.


(3)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Smith, M.G. (1965) The Plural Society in the British West Indies, Berkeley : University of California Press.

Sudjana, N. (2001). Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sudjana, N. dan Rivai, A. (1989). Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru. Sugiyono. (2006). Metode Pendidikan Kualitatif, Kualitatif R & D. Bandung:

Alfabeta.

Suhaida, Dada. (2010). “Orientasi Politik Masyarakat Etnik Tionghoa Kota Pontianak Dalam Pengauatan Komitmen Kebangsaan (Studi Kasus di Masyarakat Etnik Tionghoa kota Pontianak Kalimantan Barat)”. Tesis PPS UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

Sulistyo, D. B. 2007. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada pembelajaran IPS Sejarah di SMP Negeri 21 Semarang Tahun Ajaran 2006/2007. Universitas Negeri Semarang : Fakultas Ilmu Sosial Jurusan

Sejarah. Online, tersedia :

http://digilib.unnes.ac.id//gsdl/collect/skripsi/archives/HASHd5e0.dir/doc.pdf Supardan, D. (2007). Pengantar Ilmu Sosial – Sebuah Kajian Pendekatan Struktural.

Jakarta : Bumi Aksara.

__________. (2004). “Pembelajaran Kesadaran Sejarah berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, dalam Integrasi Bangsa”. Disertasi PPS UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

Sumaatmadja. (1984). Metodologi Pengajaran IPS. Bandung. Alumni.

Supriatna, Nana. (2007). “Mengembangkan Pertanyaan Kritis Model Ways of Knowing Habermas dalam Pembelajaran Sejarah”. Makalah disajikan dalam seminar Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis Himas di UPI.


(4)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

_____________. (2010). Critical Theory dalam Strategi Pembelajaran Sejarah (Konstruksi Korelasi Antara Topik, Konsep, Pertanyaan Kritis dan Masalah Kontemporer). Buku Materi Pokok : Pendidikan Sejarah Bandung.

Suryadinata, Leo. (1984). Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta : PT. Grafiti Pers. _____________. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:

LP3ES.

_____________. (2010). Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (sebuah bungai rampai 1965-2008). Jakarta : Kompas Media Nusantara

_____________. (2002). Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta : INTI dan LP3ES.

Sutardhi, S.D. (1981). Pemanfaatan Alam Sekitar sebagai Sumber Belajar Anak: Analisis Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Tahun II

Takashi Shiraishi. (2005). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.

Tim Redaksi Fokus Media. UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (No. 20 TAHUN 2003). Fokus Media, Bandung : 2003.

Widja, I Gde. (1989). Dasar-dasar Pengembangan Strategi dan Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

Wijaya, C. dkk. (1988). Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung: CV. Remaja Karya.

Widjayanto, H. (2008). Memahami nasionalisme. Artikel. Dipublikasikan diinternet : http//jeremiasjena.wordpress.com

Winataputra. U.S. (2001). “Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi : Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks Pendidikan IPS”. Disertasi PPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.


(5)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Wiriaatmadja. Rochiati. (1992). “Peranan pengajaran Sejarah Nasional Indonesia dalam Pembentukan Identitas Nasional”. Disertasi PPS IKIP Bandung : Tidak Diterbitkan.

___________________. (2002) Pendidikan sejarah, Sikap Kebangsaan, Identitas Nasional, Sejarah Lokal, Masyarakat Multikultural. Bandung: Historia Utama Press.

___________________. (2008) “Paradigm Shift” dalam Kajian Teoritik Faham Nasionalisme, dalam Nana Supriatna dan Erlina Wiyanarti, ed.. Sejarah dalam Keberagaman. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS-UPI. Referensi Internet :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30248/4/Chapter%20I.pdf (diakses pada 22 mei 2013)

http://vegitya.unsri.ac.id/index.php/menu/26 (diakses pada 22 mei 2013) http://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/perkembangan-etnis-tionghoa-di-indonesia-dari-masa-ke-masa/ (diakses pada 22 mei 2013)

http://repository.upi.edu/operator/upload/s_sej_0605773_chapter1.pdf (diakses pada 22 mei 2013)

http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sejarah/article/view/16265 (diakses pada 22 mei 2013)

http://web.budaya-tionghoa.net/tokoh-a-diaspora/sejarah-tionghoa/694-perilaku-ekonimi-etnis-Tionghoa-di-indonesia-sejak-tahun-1930-an (diakses pada 22 mei 2013)

http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/175/jiptiain--dwimariaul-8744-5-babii.pdf (diakses pada 22 mei 2013)

http://repository.usu.ac.id/password-login;jsessionid=41CAC1211CB46629279D3C0CC2AF5E0D (diakses pada 10 Juni 2013)


(6)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

http://www.duniaguru.com (diakses pada 22 mei 2013)

http://siswodwimartanto.blogspot.com/2010/04/sasaran-dan-tujuan-pembelajaran-sejarah.html (diakses pada 27 Oktober 2013)

http://www.antaranews.com/berita/425081/keppres-penggantian-istilah-china-menjadi-tionghoa-ditandatangani (diakses pada 12 Juni 2014)