JURNAL TERAKREDITASI DAN BISNIS ARTIKEL

JURNAL TERAKREDITASI DAN BISNIS ARTIKEL
Oleh: Reza Fahmi Haji Abdurrachim
Penulis adalah Dosen Psikologi Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol

Semangat untuk meningkatkan kualitas tulisan yang dihasilkan oleh dosen menjadi tantangan
tersendiri bagi pendidik di perguruan tinggi. Tentunya ini merupakan hal positif yang perlu
diapresiasi oleh dunia akademik. Hal ini ditopang oleh tuntutan pemerintah melalui kebijakan
Peraturan Menteri Riset dan Teknologi-Dikti No. 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan
Profesi Dosen Dan Tunjangan Kehormatan Profesor, di mana para dosen yang telah menyandang
jabatan sebagai lektor kepala (Associate Professor) dan profesor untuk menghasilkan karya ilmiah
yang monumental dan dipublikasikan dalam jurnal terakreditasi nasional atau terpublikasikan
dalam jurnal berreputasi internasional.
Terlepas dari persoalan pro-kontra dalam permasalahan tuntutan Permen Ristek Dikti No.
20 Tahun 2017, maka pemerintah telah memberikan fasilitas untuk pengelola jurnal yang telah
berstatus online untuk menjadikan jurnal yang dikelolanya menjadi jurnal terakreditasi nasional
atau bahkan internasional melalui program Arjuna dengan web www.arjuna.ristekdikti.go.id .
Kebijakan pemberian fasilitas peningkatan jurnal juga perlu diacungi jempol sebagai langkah
konkrit pemerintah untuk memperbanyak jurnal terakreditasi dan berreputasi di tanah air. Ini juga
merupakan jawaban atas persoalan masih terbatasnya jurnal di Indonesia yang telah berakreditasi
nasional dan internasional.
Komersialisasi Jurnal

Sungguhpun demikian persoalan tidak berhenti pada ketersediaan jurnal yang pada
akhirnya semakin banyak berkualitas nasional atau internasional. Mengingat muncul fenomena
bisnis pengelolan jurnal dikalangan kalangan akademisi. Di mana penerbit jurnal yang berskala
nasional dan internasional tadi tidak saja mematok bahwa karya ilmiah dosen tersebut perlu
memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan. Namun juga perlu membayar untuk biaya
penerbitan jurnal tersebut. Sebut saja, sebuah jurnal di Universitas Negeri di Sumatera Utara
mematok harga Rp 1.500.000,- untuk penerbitan artikel pada jurnal yang mereka kelola. Tentunya
ini menjadi preseden buruk bagi terciptanya bisnis tulisan atau artikel.
Ini juga merupakan gelombang arus globalisasi yang beraroma materialisme dan
komersialisasi dunia pendidikan. Di mana seminar-seminar internasional atau kegiatan undangan
untuk penulisan karya ilmiah (baca: Call Papers) di berbagai negara di amerika dan eropa dan kini
nyaris di seluruh dunia menyertakan kewajiban untuk membayar pada para penulis untuk
mempublikasikan karya ilmiah mereka dikancah akademik. Sebut saja untuk call papers untuk
masuk ke jurnal yang terindeks SCOPUS perlu membayar $ 600 atau setara dengan tujuh juta
rupiah lebih. Sehingga dengan naluri bisnis yang kental maka, para pedagang ilmu bergerak untuk
membisniskan artikel para dosen yang “terpaksa atau dipaksa” keadaan untuk mempublikasi karya
ilmiah mereka sesuai tuntutan Permen Ristek-Dikti No. 20 Tahun 2017.
Kehadiran Permen Ristek-Dikti No. 20 Tahun 2017 telah mendorong semakin banyaknya
dosen untuk “memaksakan” hasil karya ilmiah mereka untuk bisa dipublikasikan pada jurnal
terakreditasi nasional atau internasional. Mengingat semakin berlomba-lombanya mereka untuk

bisa mempublikasikan karya ilmiahnya. Bahkan semakin banyak loby-loby kepada pengelola
jurnal terakreditasi untuk dapat menerbitkan hasil karya ilmiah para dosen tersebut. Sehingga ada
diantara para “oknum” dosen yang berani menyuap pengelola jurnal untuk bisa memfasilitasi hasil

artikel mereka untuk dapat dipublikasikan. (Agar mereka tidak terkena “Tsunami” dari kebijakan
pemutusan atau penghentian tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor yang
akan diterapkan akhir tahun 2017 melalui evaluasi di bulan November mendatang).
Apa yang perlu disikapi pemerintah adalah tidak masuk kedalam arus utamaan
komersialisasi dan materialisme pendidikan. Dengan menciptakan lebih banyak penerbitan jurnal
yang berkualitas tanpa adanya tuntutan pembiayaan penerbitan atau publikasi jurnal ilmiah
tersebut. Sehingga semakin banyak dan produktif para dosen dalam menghasilkan artikel yang
bermutu yang tentunya akan bermanfaat bagi dunia pendidikan umumnya dan pengembangan
masing-masing disiplin ilmu khususnya. Toh, era teknologi informasi telah menjadikan kinerja
semakin efektif dan efisien dengan metode nir kertas atau berbasis online. Sehingga biaya
pencetakan dalam bentuk kertas adalah nihil.
Produktifitas Dosen
Apa yang perlu digarisbawahi dari kebijakan Kementerian Ristek-Dikti No. 20 Tahun
2017 adalah bahwa para dosen atau tenaga pendidik di perguruan tinggi. Diharapkan semakin
banyak menghasilkan karya ilmiah yang tidak saja berguna bagi pengembangan disiplin ilmu yang
dimilikinya, namun juga berfaedah pada steakholders (pemangku kepentingan), seperti;

masyarakat luas, pemerintah serta ikatan profesi dan sebagainya.
Oleh karenanya kalangan akademisi perlu mendukung kebijakan yang baik dalam
konteks peningkatan jumlah karya ilmiah yang dihasilkan. Namun apa yang perlu menjadi catatan
adalah “tidak menghalalkan segala cara” untuk bisa mempublikasikan karya ilmiahnya dalam
jurnal terakreditasi nasional atau berreputasi nasional, sesuai amanat Permen Ristek-Dikti tersebut,
karena takut tunjangan profesi dosen atau tunjangan profesor mereka dihentikan.
Selanjutnya pemerintah perlu menerapkan model pembelajaran kaum “Behaviorisme”
yang digagas oleh pakar psikologi James B. Watson, di mana tidak hanya mengedepankan aspek
hukuman sebagai panduan utama kebijakan. Namun juga mengutamakan aspek hadiah sebagai
pemacu semangat untuk menghasilkan karya ilmiah yang bermutu. Sehingga model pembelajaran
tadi memberikan hasil yang optimal bagi proses pembelajaran yang diterapkan.
Hadiah tadi bisa berbentuk insentif material yang berupa uang atas hasil karya yang telah
dipublikasikan pada jurnal terakreditasi nasional atau internasional. Sehingga mereka semakin
menyadari bahwa hasil karya mereka tidak hanya layak atau berkualitas namun mendapatkan
penghargaan dari negara. Ini juga menandakan bahwa negara hadir untuk memberikan kontribusi
positif pada peningkatan kualitas karya ilmiah para pendidik di perguruan tinggi.
Walaupun janji pemerintah untuk memberikan dana Rp 100.000.000,- untuk para dosen
yang telah menghasilkan karya dan terpublikasi dalam jurnal internasional. Namun hingga kini
masih belum banyak orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Mengingat persyaratannya juga
tidak mudah dan banyak. Oleh karenanya pemerintah perlu memberikan peluang yang lebih besar

(mereduksi regulasi) agar hadiah tersebut benar-benar bisa terrealisasi dan semakin banyak yang
bisa menikmati, yang pada akhirnya meningkatkan produktifitas dosen dalam menghasilkan karya
ilmiah.
Selain itu tidak membatasi jurnal ilmiah internasional tersebut hanya dalam kelompok
terindeks SCOPUS, namun juga berbagai jurnal internasional lain yang juga berkualitas. Sehingga
dugaan atas kerjasama pemerintah dengan lembaga jurnal internasional tertentu akan terbantahkan.

Akhirnya penghargaan tadi sebaiknya, juga tidak hanya sebatas pada hasil karya yang
telah terpublikasikan pada jurnal internasional. Namun juga perlu sampai pada tingkat jurnal
terakreditasi nasional. Mengingat penghargaan tadi juga harus menyentuh pada tuntutan yang di
amanatkan oleh Permen Riset-Dikti itu. Sehingga penerapan aturan bukan hanya berimbas pada
nilai hukuman tapi juga penghargaan atas karya ilmiah para dosen (*).