KETERAMPILAN DAN KUALITAS KONSELOR YANG (1)

KETERAMPILAN DAN KUALITAS KONSELOR YANG
EFEKTIF

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pengantar Konseling
Yang dibina oleh Lutfi Fauzan

Oleh:
Achmad Faris Yulianto (130111613636)
Ahmad Abdullah (13011160003642)
Azizah (130111600059)
Samawatul Chofiyah (130111613639)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
Februari, 2014
BAB 19

KETERAMPILAN DAN KUALITAS KONSELOR YANG EFEKTIF

Pendekatan keterampilan sangat berhasrat untuk menemukan cara
alternatif memahami perilaku konselor. Konsep yang lebih berguna tampaknya
adalah konsep yang mengandung ide kompetensi yang lebih luas, yang merujuk
kepada keterampilan atau kualitas apa saja yang ditampilkan oleh pelaku yang
kompeten dalam pekerjaan tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat
peningkatan jumlah riset yang bertujuan mengidentifikasikan kompetensi yang
diasosiasikan dengan sukses dalam konseling dan psikoterapi. Bidang ini
merupakan area riset ini sedang maju sangat pesat, dan dilamanya terdapat
berbagai model konselor yang berbeda. Sebagai contoh, Crouch (1992)
menyatakan adanya empat area perkembangan keterampilan: kesadaran konselor,
pekerjaan pribadi, pemahaman teoritis dan keterampilan melakukan pekerjaan
social (casework). Larson, et al. (1992) telah membangun model yang memecah
kompetensi konselor (yang mereka sebut “efektivitas-diri konselor”) kedalam
lima area: keterampilan mikro, proses, berhadapan dengan perilaku klien yang
sulit, kompetensi budaya dan kesadaran akan nilai. Beutler, et al. (1986), dalam
sebuah ulasan terhadap literatur, mengidentifikasikan beberapa kategori “variabel
terapis” yang berdasarkan penelitian berkaitan dengan kompetensi: kepribadian,
status emosional, sikap dan nilai, sikap hubungan (misalnya empati, kehangatan,
kongruen), atribut kesadaran sosial (misalnya kepakaran, amanah, menarik,
kredibilitas dan persuasif), harapan, latar belakang profesional, gaya intervensi

dan penguasaan prosedur teknikal dan pemikiran teoritis. Untuk memenuhi tujuan
bab ini, rangkaian pembahasan berikut ini diatur dengan mempertimbangkan
model yang terdiri dari tujuh kompetensi area:
1. Keterampilan interpersonal
Konselor yang efektif mampu mendemonstrasikan perilaku mendengar,
berkomunikasi, empati, kehadiran, kesadaran komunikasi non-verbal,
sensitifitas terhadap kualitas suara, daya tanggap terhadap ekspresi emosi,
pengambilalihan, menstruktur waktu, menggunakan bahasa.
2. Keyakinan dan sikap personal

Kapasitas untuk menerima yang lain, yakni adanya potensi untuk berubah,
kesadaran terhadap pilihan etika dan moral. Sensitivitas terhadap nilai yang
dipegang oleh klien dan diri.
3. Kemampuan konseptual
Kemampuan untuk memahami dan menilai masalah klien, mengantisipasi
konsekuensi tindakan di masa depan, memahami proses kilat dalam kerangka
skema konseptual yang lebih luas, mengingat informasi berkenaan dengan
klien. Fleksibilitas kognitif, dan keterampilan dalam memecahkan masalah.
4. Ketegaran personal
Tidak adanya kebutuhan pribadi atau keyakinan irasional yang

merusak hubungan konseling, percaya diri, kemampuan untuk mentolerir
perasaan yang kuat atau tidak nyaman dalam hubungannya dengan klien,
batasan pribadi yang aman, mampu untuk menjadi klien. Tidak mempunyai
prasangka sosial, etnosentrisme dan autoritarianisme.
5. Penguasaan teknik
Pengetahuan tentang kapan dan bagaimana melaksanakan intervensi
tertentu, kemampuan untuk menilai efektivitas intervensi, memahami dasar
pemikiran di belakang teknik, memiliki simpanan intervensi yang cukup.
6. Kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial
Termasuk kesadaran akan keluarga dan hubungan kerja dengan klien,
pengaruh agensi terhadap klien, kapasitas untuk mendukung jaringan dan
supervisi. Sensitivitas terhadap dunia sosial klien yang mungkin bersumber
dari perbdaan gender, etnis, orientasi seks, atau kelompok umur.
7. Terbuka untuk belajar dan bartanya
Kemampuan untuk waspada terhadap latar belakang dan masalah klien.
Terbuka

terhadap

pengetahuan


menginformasikan praktek.

A. Keterampilan Interpersonal

baru.

Menggunakan

riset

untuk

Mampu membentuk hubungan produktif dengan klien, menyusun laporan
atau kontak, merupakan hal ditekankan oleh semua pendekatan konseling.
Analisis awal terhadap area kompetensi dalam rangka keterampilan ini, yang
mendorong pendidik konseling seperti Ivey untuk merekomendasikan konselor
agar mempraktikkan keterampilan mendengar dan merenung. Dari perspektif
analisis kompetensi yang lebih luas, model “aliansi terapeutik” (Bordin 1979)
menekankan tiga elemen inti pembentukan hubungan kerja yang baik dengan

klien: penciptaan ikatan emosional antara klien dan konselor, pencapaian
kesepakatan berkenaan dengan tujuan konseling dan pemahaman bersama
terhadap tugas untuk mencapai tujuan ini. Model aliansi terapeutik menyajikan
kerangka umum untuk memahami kompetensi interpersonal yang dituntut
dalam konseling yang efektif. Hobson (1985) menyatakan bahwa ikatan antara
konselor dan klien tumbuh dari penciptaan “bahasa perasaan” bersama, yaitu
cara berbicara bersama yang mengizinkan ekspresi perasaan klien. Hubungan
antarmanusia sangat dipengaruhi oleh faktor umum, seperti kelas sosial, usia,
etnisitas, dan gender. Salah satu hubungan kompetensi penting bagi konselor
adalah keharusannya untuk sadar akan nilai karakteristik demografis ini, dan
mampu meningkatkan gaya atau pendekatannya secara tepat.
B. Keyakinan dan Sikap Personal
Usaha yang paling koheren untuk mengidentifikasi keyakinan dan sikap
yang terkait dengan efektivitas dalam konseling dilakukan oleh Combs (1986).
Combs dan Soper (1963) dan Combs (1986) menemukan bahwa penolong yang
lebih efektif dalam profesi ini cenderung untuk melihat dunia dari perspektif
person-centred. Penelitian yang dilakukan oleh Combs (1986) memiliki akar
yang kuat pada aliran person-centred dan client-centred, dan salah satu batasan
dari kerjanya adanya pembatasan pada dirinya sendiri untuk hanya menguji
nilai penting sikap “person-centred”. Kompetensi di bidang keyakinan dan

sikap pribadi tidak hanya memiliki cara-cara tertentu untuk melihat dunia,
tetapi juga memiliki kesadaran diri yang akurat tentang mereka. Klien mungkin
memiliki rangkaian keyakinan dan sikap yang agak berbeda, dan terkadang
menolak legitimasi bahwa apa yang mereka terima merupakan cara konselor

memandang seauatu. Untuk dapat menangani situasi ini, konselor dituntut
untuk mampu melepaskan diri dari posisi filosofisnya sendiri sebagai cara agar
para klien mengetahui bahwa ia dapat menerima perspektif yang berbeda.
C. Kemampuan Konseptual
Masalah besar berkenaan dengan apa yang terjadi dalam konseling adalah
tentang pemahaman. klien mendatangi konselor karena mereka putus asa
dengan kemampuan mereka untuk memahami apa yang terjadi atau untuk
memutuskan apa yang harus dilakukan. Mereka akan kecewa ketika konselor
menyatakan bahwa akan lebih baik bagi klien untuk mendapatkan pemahaman
dan keputusan tersebut seorang diri. Namun demikian, konselor harus mampu
menghadapi klien dalam daerah yang sulit ini, dank arena itu harus kompeten
dalam memikirkan apa yang terjadi. Dalam ulasan literatur, Beutler, et al.
(1986) menemukan tidak ada hubungan antara kompetensi akademik konselor,
yang diukur dengan kinerja mereka pada gelar sarjana, dan keberhasilan
mereka pada kursus pelatihan. Hal ini bukan merupakan hasil yang

mengejutkan, karena dengan menyelesaikan program strata satu, konselor telah
mendemonstrasikan kompetensi intelektual yang cukup untuk menjadi seorang
konselor. Akan tetapi, hal tersebut mengkonfirmasi pandangan yang diterima
umum bahwa prestasi akademik tidak berkaitan dengan efektivitas konseling
yang tinggi. Martin, et al. (1989) menemukan bahwa konselor yang lebih
berpengalaman akan memandang klien berdasarkan sistem konstruksi yang
kompleks secara kognitif. Dengan tidak adanya studi penelitian terhadap
kemampuan konselor yang efektif, maka akan sangat berguna dan informatif
untuk melihat hasil penelitian terhadap manajer yang sukses, sebuah bidang
yang kerap menjadi bahan riset. Klemp dan McClelland (1986) melaksanakan
penelitian tentang kompetensi yang ditunjukkan oleh manajer yang efektif
dalam sejumlah organisasi yang berbeda, dan menemukan kompetensi “inti”
yang cenderung teridentifikasi dalam semua manajer yang sukses. Salah satu
hasil utama dari studi ini adalah adanya bukti yang jelas bahwa manajer yang
lebih efektif memiliki kapasitas yang lebih baik untuk mengkonseptualisasikan
masalah.

D. Kompetensi Personal
Berbeda dengan riset terhadap kompetensi kognitif atau konseptual,
terdapat sejumlah besar riset substansial yang menjadi dasar pembahasan nilai

penting faktor kepribadian dan kesehatan mental umum sebagai variabel yang
terkait dengan efektivitas konseling. Studi ini berkonsentrasi pada dua isu
utama: mengidentifikasi karakteristik kepribadian terapis yang efektif, dan
memberikan penilaian terhadap nilai terapi personal bagi praktisi. Semangat
yang mendasari studi ini digambarkan oleh McConnaughy (1987:304) dalam
pernyataannya bahwa: teknik aktual yang digunakan oleh terapis kurang
penting dibandingkan dengan karakter dan kepribadian unik terapis itu sendiri.
Terapis memilih teknik dan teori berdasarkan “siapa mereka” sebagai seorang
individu. Dengan kata lain, strategi terapi tersebut merupakan manifestasi
kepribadian terapis. Dengan demikian, sebagai individu, terapis merupakan
instrumen pengaruh utama dalam bidang terapi. Sebuah konsekuensi dari
prinsip ini adalah bahwa semakin banyak terapis menerima dan menilai dirinya
sendiri, semakin efektif ia dalam membantu klien untuk mengenal dan
menghargai diri mereka sendiri. terdapat bukti yang cukup bahwa konselor
yang baik adalah orang-orang yang menunjukkan tingkat penyesuaian
emosional umum yang lebih tinggi dan kemampuan membuka diri yang besar.
Harus dicatat bahwa variabel kepribadian yang tampaknya tidak diasosiasikan
dengan

kesuksesan


submisivitas-dominan.

konseling
Studi

adalah

lain

telah

variable

tertutup-terbuka

mengeksplorasi

dan


kemungkinan

diasosiasikannya hasil dengan kemiripan atau perbedaan ciri kepribadian antara
konselor dan klien. Banyak pelatihan konselor yang menganjurkan terapi
personal bagi para peserta pendidikan sebagai cara memastikan pertumbuhan
kepribadian dalam bidang penyesuaian diri dan keterbukaan. Terdapat pula
bukti bahwa terapi personal bermuara pada peningkatan efektivitas profesional
konselor dan psikoterapis dengan memberikan basis yang kuat bagi
kepercayaan diri dan penggunaan diri (Baldwin 1987) yang tepat dalam
hubungan dengan klien. Terapi pribadi merupakan sarana yang unik untuk
belajar tentang terapi proses, yang memberikan wawasan tentang peran klien

dan, akhirnya, terapi tersebut memberikan kontribusi terhadap peningkatan
umum kesadaran diri dalam diri peserta pendidian. Namun demikian, terdapat
beberapa kesulitan mendasar yang ditimbulkan oleh praktik terapi pribadi bagi
para peserta pendidikan. Pertama, klien diwajibkan untuk hadir, bukan
tergantung pada partisipasi sukarela. Kedua, apabila peserta terlalu jauh
terbenam dalam kerja terapeutik, maka hal tersebut dapat menghancurkan
kemampuan emosionalnya terhadap klienya sendiri. Ketiga, dalam sebagian
institut penyelenggara pendidikan, terapis personal merupakan anggota staff

pelatihan, dan karena itu bukan hanya melaporkan perkembangan para peserta
dalam terapi personal tersebut, tapi juga apabila peserta merampungkan
program tersebut pada gilirannya menjadi kolega dari seseorang yang
merupakan mantan kliennya. ada alasan untuk berasumsi bahwa terapi pribadi
dapat dihubungkan dengan kompetensi konselor yang lebih besar, sebagaimana
juga terdapat asumsi sebaliknya. Studi barkaitan dengan terapi pribadi
mencerminkan pandangan yang seimbang ini. Misalnya, walaupun Buckley, et
al. (1981) menemukan bahwa 90 persen terapis yang menjadi sampel mereka
melaporkan bahwa terapi pribadi telah memberikan kontribusi positif terhadap
perkembangan kepribadian dan profesional mereka. Norcross, et al. (1988b)
menemukan bahwa 21 persen merasa, bagi mereka, terapi pribadi menyakitkan.
Peebles (1980) melaporkan bahwa terapi pribadi dikaitkan dengan tingkat
empati, keselarasan dan penerimaan yang lebih tinggi dalam diri terapis,
sementara Garfield dan Bergin (1971) menyimpulkan dari penelitian skala
kecil bahwa terapis yang tidak menerima terapi pribadi lebih efektif daripada
yang menerimanya. Sandell, et al. (2000) menafsirkan hasil ini dengan adanya
kemungkinan terapis yang merasa tidak terlalu baik dalam menangani klien
untuk memasuki terapi pribadi sebagai sarana untuk meningkatkan sensitivitas
dan kinerja mereka. Saat ini, terapi pribadi yang ditetapkan oleh asosiasi
profesional dan badan perizinan didasarkan pada adat, praktek dan pemahaman
klinis ketimbang bukti penelitian. Memberikan terapi pribadi merupakan suatu
elemen yang berpotensi penting dari pelatihan dan melanjutkan pengembangan
profesional dalam diri konselor, dan karena terapi begitu mahal, maka tidak

adanya pembuatan kebijakan riset terinformasi menjadi sesuatu yang patut
disayangkan.
E. Menguasai Teknik
Terdapat gerakan substansial dalam beberapa tahun terakhir ini untuk
mengidentifikasi kompetensi konselor sebagai hal utama dalam penguasaan
teknik. Kompetensi konselor dinilai dalam kerangka seberapa dekat dia dapat
mengikuti manual. salah satu karakteristik konselor yang sangat kompeten atau
berbakat adalah kemahiran mereka dalam memodifikasi secara kreatif teknik
atau latihan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing klien. Namun harus
dicatat bahwa dalam studi yang menggunakan manual instruksi, hasil buruk
amat berkaitan dengan kesalahan atau kekeliruan dalam teknik. Oleh karena
itu, menguasai teknik mungkin merupakan hal yang penting. Harus diakui
bahwa memiliki serangkaian teknik, atau apa yang terkadang disebut teknik
cadangan, akan menguntungkan. Lazarus (1989a,b) penemu eklektisisme
sistematis, dengan jelas merekomendasikan bahwa konselor yang kompeten
harus akrab dengan berbagai strategi intervensi. Mahrer mengklasifikasikan
teknik ke dalam kategori luas dan menggunakan rangkaian kategori operasi
terapis untuk menganalisis perilaku beberapa “pakar terapis” terkenal seperti
Carl Rogers dan Irving Polster. Ia menemukan bahwa masing-masing orang
dari mereka secara regular menggunakan cakupan strategi yang sangat terbatas.
Walaupun pendekatan yang lebih jauh jelas diperlukan, hasil yang dicapai oleh
Mahrer tampaknya menyiratkan bahwa pemahaman yang menyeluruh tentang
kisaran sempit teknik mungkin lebih berharga daripada kapasitas yang lebih
dangkal untuk menggunakan jangkauan yang lebih luas. Mahrer tidak setuju
dengan kesimpulan ini, dan melihat salah satu tujuan dari program risetnya
adalah mendorong konselor dan terapis untuk memperoleh cadangan operasi
lebih luas.

F. Kemampuan untuk Paham dan Bekerja dalam Sistem Sosial

Dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan dari pendekatan konseling
kontemporer adalah pandangan yang mereka anut terlalu individualistik
terhadap proses konseling. Mereka fokus pada skenario di mana klien duduk di
sebuah kursi yang berhadapan dengan konselor yang duduk di kursi lainnya.
Walaupun demikian, dalam realitasnya terdapat audien bagi pertunjukkan ini,
termasuk keluarga dan teman klien, dan pengawas serta rekan konselor.
Konselor dan klien selalu bertindak dalam sistem sosial, dan tindakan mereka
memengaruhi sistem tersebut. Karena itu, nilai penting kompentensi adalah
kemampuan untuk menyadari pengoperasian dalam sistem sosial. Konselor
yang bekerja dalam agensi akan menyadari tuntutan dan tekanan yang dibuat
organisasi. Tekanan tersebut, yang yang dijelaskan pada Bab 16, dapat berupa
tekanan untuk membocorkan rahasia klien, harapan untuk mempengaruhi
perilaku klien dan pembatasan terhadap pekerjaan yang dapat dilakukan oleh
klien. Konselor yang efektif dalam system social seperti ini harus sangat
kompeten dalam menghadapi sistem sosial yang menjadi tempat kerja mereka.
G. Terbuka untuk Belajar dan Bertanya
Kompetensi ini mendasari semua kompetensi yang disebutkan atas. Sebab,
merupakan hal yang penting bagi seorang konselor untuk terus berusaha belajar
dari klien mereka, dan berusaha secara aktif mencari pengetahuan dan
pemahaman dalam situasi di mana proses atau hubungan konseling membawa
mereka melampaui basis pengetahuan yang mereka kuasai sekarang ini. Inti
dari kompetensi ini adalah kemampuan untuk melaksanakan temuan riset, dan
untuk menggunakan bukti riset untuk menginformasikan praktek tersebut.
Perjalanan Konselor: model pengembangan kompetensi konselor
Kategorisasi dan identifikasi keterampilan dan kualitas yang terkait
dengan efektivitas dalam konseling difokuskan pada kompetensi yang
ditunjukkan oleh orang-orang yang telah menjadi praktisi. Walaupun demikian,
penekanan dalam literatur tentang pentingnya faktor dan nilai personal dalam
area supervisi model perkembangan identitas konselor menyatakan bahwa
perspektif perkembangan dapat pula diterapkan kepada pertanyaan terhadap

kompetensi konselor. Banyak konselor yang menemukan makna dalam
metafora “Perjalanan konselor” (karya Goldberg, 1988), citra yang
memungkinkan mereka untuk melacak akar peran konseling mereka, dan
memahami perberbedaan daerah serta kendala yang mereka temui di jalan
untuk menjadi seorang konselor. Jalan pribadi dan profesional yang diikuti oleh
konselor dapat dibagi menjadi lima tahap berbeda namun tumpang tindih:
1. Peran, hubungan dan pola kebutuhan emosional yang terbentuk dimasa kanakkanak.
2. Keputusan untuk menjadi seorang konselor.
3. Pengalaman menjalin pendidikan.
4. Mengatasi praktik yang berat.
5. Mengekspresikan kreativitas dalam peran konseling.
Model ini bersumber dari riset yang sebagian besar dilaksanakan terhadap
psikoterapis di USA (Henry 1966, 1977; Burton 1970), meskipun ada bukti
dilaksanakannya riset serupa dalam skala kecil terhadap terapis Inggris (Norcross
dan Guy, 1989; Spurling dan Dryden 1989). Marston (1984) menunjukkan bahwa
motif untuk menjadi terapis dapat mencakup kontak, membantu orang lain,
penemuan, status sosial, kekuasaan dan pengaruh, self-terapi dan voyeurisme.
Jelas, keseimbangan yang tepat dari motif diperlukan.
Studi terhadap masa kecil dan kehidupan keluarga terapis tampaknya
memiliki keterkaitan dengan pilihan karir di kemudian hari. Sebagai seorang anak,
banyak terapis pernah mengalami rasa sakit, kesepian atau duka. Konflik dalam
kehidupan keluarga dilaporkan cukup sering terjadi, dengan terapis sebagai anak
(ketika itu) menjadi penengah atau pengganti orang tua. Konsisten dengan peran
ini, terapis sering kali melaporkan bahwa mereka anak yang dominan dalam
keluarga. Tipe pengalaman masa kecil ini dapat dipandang sebagai pencipta
kondisi yang membuatnya memilih karir sebagai seorang terapis. Sebagai anak
yang paling terlibat dalam drama keluarga, dia tidak mampu lari dari tanggung
jawab untuk memerhatikan yang lain. Pengalaman menjadi “orang luar”
menimbulkan motivasi tambahan untuk belajar tentang dan memahami hubungan
dan interaksi. Sebagaimana yang dicatat Henry (1977), motif untuk memberikan
perhatian cenderung mengarah kepada karir dalam layanan sosial, sedangkan

terapi menuntut ketertarikan yang kuat untuk memahami sisi “dalam” dunia klien.
Keterbukaan terhadap periode kesepian atau kesendirian di masa kanak-kanak
menyajikan kapasitas untuk mengeksplorasi sisi dalam kehidupan.
Dimensi lain dalam pengalaman masa kanak-kanak terapis berhubungan
dengan apa yang dikenal dengan teori “penyembuhan luka”. Ini menyatakan
bahwa kekuatan dari para penyembuh bersumber dari pengalaman batinya
terhadap rasa sakit, kehilangan, atau menderita. Keberadaan luka dalam diri
penyembuh memberikan dasar yang sempurna untuk memahami dan berempati
terhadap luka yang diderita klien. Konsep penyembuhan luka ini dapat dijadikan
untuk mentransformasi pengalaman hidup negatif menjadi sumber untuk
membantu orang lain.
Pengalaman terapi personal atau konseling sering kali dapat menjadi
katalis bagi keputusan untuk mengikuti pendidikan konseling. Keputusan untuk
menjadi konselor juga difasilitasi dengan partisipasi pendidikan keterampilan
dasar. Penting untuk dinyatakan bahwa keputusan untuk menjadi seorang konselor
bukanlah hal yang mudah untuk dibuat. Setelah seseorang memutuskan untuk
menjadi seorang konselor, maka ia memasuki tahap pendidikan formal. Dalam
pendidikan, seorang konselor merasa rapuh dan tidak cakap, walaupun mereka
mengetahui bahwa mereka harus bersiap menjadi model peran yang potensial bagi
klien mereka. Sebagai cara untuk mencairkan ketegangan antara kompetensi dan
keyakinan katakutan yang mendalam. Konselor dan terapis ini berhadapan dengan
ketakutan dan kekhawatiran yang bersumber dari peran mereka yang
diidentifikasikan dalam citra terapis sebagai yang maha mengetahui, berkuasa,
dan menyayangi. Sharaf dan Levinson (1964) berpendapat bahwa sejumlah
tanggung jawab dan tekanan yang timbul dari dalam diri seorang terapis baru akan
bermuara pada tanggung jawab atas segala peran profesional.
Tahap berikutnya yang berhadapan dengan kesulitan praktik, muncul
bersama rangkaian tantangan baru. Kemungkinan terjadinya kelelahan profesional
yang ditimbulkan oleh tingginya tingkat pekerjaan dan meningkatnya jarak antara
kemampuan untuk menolong dan tuntutan klien. Kelelahan, dan kondisi kecewa
yang serupa, bisa dipandang sebagai konsekuensi dari seorang terapis yang telah

menyelesaikan pendidikan dan bekerja namun sambil membawa perasaan
kekurangmampuan.
Ancaman utama terhadap kompetensi sepanjang bagian perjalanan
konselor yang mengikuti pendidikan, atau bahkan termasuk fase pendidikan
selanjutnya, adalah hilangnya motivasi untuk menolong sebagai akibat dari
kelelahan, pelepasan diri (detachment), atau alienasi.
Bagian terakhir dari perjalanan konselor adalah mendapatkan kemampuan
untuk bekerja secara kreatif dengan klien. Pada tahap ini, seorang konselor tidak
lagi hanya teknisi yang mengimplementasikan pendekatan teoretis tertentu. Pada
akhirnya, tiap terapis mengembangkan gayanya sendiri, dan “orientasi teoretis”
berubah menjadi sekadar latar belakang saja. Yang masih tetap penting adalah
kepribadian unik yang mengombinasikan seni dan keterampilan.
Model perkembangan kompetensi konselor menghadirkan sejumlah isu.
Tiap tahapan konselor mempresentasikan serangkaian tantangan kompetensi
tersendiri. Bagi seorangkonselor yang berpikir karir dalam konseling, termasuk
dalam tugas pentingnya adalah mengecek kekuatan adaptasi terhadap pengalaman
masa kanak-kanak dan waspada terhadap keseimbangan motif. Dalam memilih
orang untuk pendidikan konseling, sering kali pertanyaan yang paling krusial
adalah apakah orang tersebut sudah siap memberikan bantuan kepada orang lain,
atau apakah dia pada dasarnya mencari terapi untuk dirinya sendiri. Seperti model
perkembangan lain, kegagalan untuk menanggulangi sebuah masalah atau tugas
pembelajaran di satu tahapan akan membawa implikasi terhadap tahapan
berikutnya. Dengan demikian, seseorang—misalnya—yang tidak mendapatkan
pengetahuan tentang luka masa kanak-kanaknya akan menemukan dirinya sangat
sulit mendapatkan perasaan sebagai konselor “yang baik”. Seseorang konselor
yang sibuk bergulat untuk memenuhi tuntutan harian kliennya akan kekurangan
waktu dan energi untuk pindah ke tahap ekspresi diri kreatif melalui kerjannya.

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Peran konselor mencakup serangkaian tugas dan kompetensi. Konsep
keterampilan hanya menggambarkan satu komponen kompetensi konselor.
Konselor harus memiliki keterampilan interpersonal seperti: komunikasi, seni
mendengarkan, dan perilaku nonverbal. Konselor yang efektif adalah mereka yang
dapat

mendemonstrasikan

fleksibilitas

kognitif

dan

kemampuan

untuk

mengkonseptualisasi. Model pengembangan kompetensi mengingatkan konselor
akan kekuatan dan kelemahan yang unik, pemberian dan pengeluaran, dan semua
itu akan membawa mereka ke dalam pertemuan konseling, dan berdasarkan fakta
bahwa pengembangan tersebut tidak akan pernah selesai.
B. Saran
Penulis berharap bahwa dengan adanya pemaparan tentang keterampilan
dalam konseling, klien dapat menggunakan jasa para konselor dan memberikan
kepercayaan bahwa konselor dapat membantu klien dalam pemecahan masalah
melalui keterampilan dan kualitas konselor yang efektif.
C.

DAFTAR PUSTAKA

McLeod, John. 2006 . Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus . Jakarta:
Kencana.