PENYELESAIAN SENGKETA WARGA DAN PERUSAHA
PENYELESAIAN SENGKETA WARGA DAN PERUSAHAAN DALAM PERMASALAHAN
LIMBAH DI SUNGAI PESISIR SEMARANG BESERTA AMDAL
Oleh Anggi Nugroho ( Teknik Nuklir 2014) 17 Februari 2017
Figure 1 Sungai yang tercemar limbah (sumber: artikelgan.blogspot.co.id)
Permasalahan limbah merupakan topik yang penting dalam perindustrian di Indonesia. Industri
seringkali melupakan kewajiban nya untuk menjaga kelestarian lingkungan termasuk abiotik, biotik maupun
kultural. Hal ini jelas disebabkan oleh alasan yang sangat umum, yaitu dibutuhkan biaya lebih untuk
mengelola limbah dengan baik dan benar.
Tidak berbeda dengan permasalahan yang sempat menjadi tranding topik disejumlah media massa
pada pertengahan tahun 2016. Selama berpuluhan tahun, kasus pencemaran sungai oleh industri setempat
di pesisir Semarang menjadi momok tersendiri bagi warga sekitar, tepatnya warga yang bermukim di dekat
Sungai Desa Tapak, Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Sungai ini oleh warga sekitar
dikenal dengan nama sungai tapak. Menurut warga, sungai yang tercemar limbah selain keruh juga berbau
tidak enak. Dampak lain dari pencemaran sungai mengakibatkan iritasi pada kulit. Badan menjadi gatal serta
mengeluarkan bintik-bintik kecil. [1]
Limbah yang mencemari sungai Tapak dan beberapa sungai di sekitar dianggap menjadi tanggung
jawab beberapa perusahaan yang beropersi di daerah tersebut. Sengketa antara warga dan perusahaan di
tengarai oleh pemerintah daerah Bidang Penanganan Sengketa Lingkungan dan Pemulihan Kualitas
Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang. Metode yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa
adalah dengan cara mediasi (ADR, Alternatife Dispute Resolution). Telah disepakati antara kedua pihak
yakni pihak perusahaan akan membeangun sumur artesis untuk warga, sedangkan kerugian seperti tambak
ikan dan lain sebagainya akan diperhitungkan tersendiri.
ANALISIS AMDAL
Figure 2 Ikan Mati di Sungai Tercemar Limbah (Sumber: artikelgan.blogspot.co.id)
Hasil Kesepakatan tersebut dapat menyelesaikan persengketaan antara kedua pihak. Namun, yang
menjadi pertanyaan adalah apakah dengan membangun sumur artesis dapat menyelesaikan permasalahan
lingkungan?
Jawabanya tentulah tidak. Karena pembangunan sumur arteris hanya untuk menyediakan air bersih untuk
warga dan bukan merupakan usaha untuk melakuakan pembersihan lingkungan atau sungai yang telah
tercemar. Sumur arteris tidak jauh berbeda dengan sumur tradisional biasa. Hanya saja sumur jenis ini jauh
lebih dalam dari pada sumur tradisional, sehingga mampu memberikan sumber air bersih yang jauh lebih
banyak pula.
Oleh karena itu, penyelesaian sengketa tersebut dinilai belum memecahkan permasalahan AMDAL
yang ada. Bapedal juga seharusnya melakukan tindakan selanjutnya agar permasalahan AMDAL
(pencemaran sungai Tapak) yang terjadi dapat diselesaikan sehingga masyarakat dapat memiliki kembali
sungai yang bersih dan sehat.
Lantas bagaimana solusinya? Data Bapedalda menunjukkan, sebagian besar kasus pencemaran
akibat limbah cair dan debu. Sumber dari polusi adalah limbah cair pengalengan sayur, sabun, dan
pengalengan udang. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan limbah sejak dari industri rumah tangga
hingga ke sungai-sungai di kawasan bawah. Solusi yang lain seperti mendirikan instalasi pengelolaan air
limbah (IPAL). [2]
METODE PENYELESAIAN SENGKETA MENGGUNAKAN ADR
Masalah
sengketa
diatas
diselesaikan
menggunakan metode mediasi. Mediasi merupakan
salah satu jenis dari pada ADR. Mediasi sendiri yakni
suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak
atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat
dengan bantuan pihak netral sebagai penengah
(mediator) yang bertugas untuk memberikan bantuan
yang bersifat prosedural maupun substansial guna
mencari penyelesaian yang dapat diterima oleh para
pihak.
ADR atau di Indonesia dikenal dengan sebutan Figure 3 Berjabat Tangan tanda kesepakatan ( sumber:
alternetif penyelesaian sengketa(APS) . ADR muncul www.satuharapan.com)
sebagai solusi peradilan di Indonesia dengan jalan
menghadirkan alternatif peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan (non-pengadilan). [3] ADR telah diatur
oleh pasal 76 (1) jo. Pasal 89 (4) uu 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Merujuk pada ketentuan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, terdapat beberapa bentuk ADR yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa, antara lain
sebagai berikut: [4]
1. Konsultasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan cara meminta masukan dari pihak yang
diyakini mampu memberikan solusi berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta dapat
memfasilitasi penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan bersama.
2. Negosiasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan cara berhadapan langsung
melakukan perundingan yang dilakukan secara mendiri.
3. Mediasi, yakni suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui
perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral sebagai penengah (mediator)
4. Konsiliasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan caramelibatkan pihak ketiga
yang bersifat netral
5. Penilaian Ahli
Menempuh mekanisme ADR memiliki kelebihan dan kekurangan antara lain:[5]
1. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative
3. para pihak dapat memilih pihak ketiga yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan
tempat penyelenggaraan
5. putusan ADR merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Adapun beberapa kelemahan ADR adalah sebagai berikut:
1. ADR belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan
oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI.
2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan
perkaranya kepada lembaga-lembaga ADR. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang
diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
3. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi
putusannya.
4. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam ADR,
sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur
waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
5. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, Arbitrase
hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
PENYELESAIAN PERSENGKETAAN SELAIN ADR
Adapun penyelesaian sengketa dengan cara lain adalah sebagai berikut:
1. Arbitrase. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh
pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase
yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul
sengeketa.
2. Peradilan. Negara berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian bila terjadi suatu
pelanggaran hukum. Untuk itu negara menyerahkan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan
peradilan dengan para pelaksananya, yaitu hakim.
Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi di lingkungan peadilan umum. Sementara itu berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004,
penyelenggara kekuasaan kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berbeda di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah
MK.
3. Peradilan Umum. Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang
umumnya mengenai perkara perdata dan pidana. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peadilan
umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung
Refferensi:
1. http://jateng.tribunnews.com/2016/06/15/pemerintah-diminta-turun-tangan-untuk-mengatasipencemaran-di-sungai-desa-tapak
2. http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/09/kot13.htm
3. http://eprints.undip.ac.id/19278/1/2876-ki-fh-05.pdf
4. http://rumahkeadilan.co.id/index.php/2015/11/04/penyelesaian-sengketa-melalui-adralternative-dispute-resolution/
5. https://tommyutama.wordpress.com/2010/07/13/keunggulan-dan-kelemahan-arbitrase/
LIMBAH DI SUNGAI PESISIR SEMARANG BESERTA AMDAL
Oleh Anggi Nugroho ( Teknik Nuklir 2014) 17 Februari 2017
Figure 1 Sungai yang tercemar limbah (sumber: artikelgan.blogspot.co.id)
Permasalahan limbah merupakan topik yang penting dalam perindustrian di Indonesia. Industri
seringkali melupakan kewajiban nya untuk menjaga kelestarian lingkungan termasuk abiotik, biotik maupun
kultural. Hal ini jelas disebabkan oleh alasan yang sangat umum, yaitu dibutuhkan biaya lebih untuk
mengelola limbah dengan baik dan benar.
Tidak berbeda dengan permasalahan yang sempat menjadi tranding topik disejumlah media massa
pada pertengahan tahun 2016. Selama berpuluhan tahun, kasus pencemaran sungai oleh industri setempat
di pesisir Semarang menjadi momok tersendiri bagi warga sekitar, tepatnya warga yang bermukim di dekat
Sungai Desa Tapak, Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Sungai ini oleh warga sekitar
dikenal dengan nama sungai tapak. Menurut warga, sungai yang tercemar limbah selain keruh juga berbau
tidak enak. Dampak lain dari pencemaran sungai mengakibatkan iritasi pada kulit. Badan menjadi gatal serta
mengeluarkan bintik-bintik kecil. [1]
Limbah yang mencemari sungai Tapak dan beberapa sungai di sekitar dianggap menjadi tanggung
jawab beberapa perusahaan yang beropersi di daerah tersebut. Sengketa antara warga dan perusahaan di
tengarai oleh pemerintah daerah Bidang Penanganan Sengketa Lingkungan dan Pemulihan Kualitas
Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang. Metode yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa
adalah dengan cara mediasi (ADR, Alternatife Dispute Resolution). Telah disepakati antara kedua pihak
yakni pihak perusahaan akan membeangun sumur artesis untuk warga, sedangkan kerugian seperti tambak
ikan dan lain sebagainya akan diperhitungkan tersendiri.
ANALISIS AMDAL
Figure 2 Ikan Mati di Sungai Tercemar Limbah (Sumber: artikelgan.blogspot.co.id)
Hasil Kesepakatan tersebut dapat menyelesaikan persengketaan antara kedua pihak. Namun, yang
menjadi pertanyaan adalah apakah dengan membangun sumur artesis dapat menyelesaikan permasalahan
lingkungan?
Jawabanya tentulah tidak. Karena pembangunan sumur arteris hanya untuk menyediakan air bersih untuk
warga dan bukan merupakan usaha untuk melakuakan pembersihan lingkungan atau sungai yang telah
tercemar. Sumur arteris tidak jauh berbeda dengan sumur tradisional biasa. Hanya saja sumur jenis ini jauh
lebih dalam dari pada sumur tradisional, sehingga mampu memberikan sumber air bersih yang jauh lebih
banyak pula.
Oleh karena itu, penyelesaian sengketa tersebut dinilai belum memecahkan permasalahan AMDAL
yang ada. Bapedal juga seharusnya melakukan tindakan selanjutnya agar permasalahan AMDAL
(pencemaran sungai Tapak) yang terjadi dapat diselesaikan sehingga masyarakat dapat memiliki kembali
sungai yang bersih dan sehat.
Lantas bagaimana solusinya? Data Bapedalda menunjukkan, sebagian besar kasus pencemaran
akibat limbah cair dan debu. Sumber dari polusi adalah limbah cair pengalengan sayur, sabun, dan
pengalengan udang. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan limbah sejak dari industri rumah tangga
hingga ke sungai-sungai di kawasan bawah. Solusi yang lain seperti mendirikan instalasi pengelolaan air
limbah (IPAL). [2]
METODE PENYELESAIAN SENGKETA MENGGUNAKAN ADR
Masalah
sengketa
diatas
diselesaikan
menggunakan metode mediasi. Mediasi merupakan
salah satu jenis dari pada ADR. Mediasi sendiri yakni
suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak
atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat
dengan bantuan pihak netral sebagai penengah
(mediator) yang bertugas untuk memberikan bantuan
yang bersifat prosedural maupun substansial guna
mencari penyelesaian yang dapat diterima oleh para
pihak.
ADR atau di Indonesia dikenal dengan sebutan Figure 3 Berjabat Tangan tanda kesepakatan ( sumber:
alternetif penyelesaian sengketa(APS) . ADR muncul www.satuharapan.com)
sebagai solusi peradilan di Indonesia dengan jalan
menghadirkan alternatif peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan (non-pengadilan). [3] ADR telah diatur
oleh pasal 76 (1) jo. Pasal 89 (4) uu 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Merujuk pada ketentuan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, terdapat beberapa bentuk ADR yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa, antara lain
sebagai berikut: [4]
1. Konsultasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan cara meminta masukan dari pihak yang
diyakini mampu memberikan solusi berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta dapat
memfasilitasi penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan bersama.
2. Negosiasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan cara berhadapan langsung
melakukan perundingan yang dilakukan secara mendiri.
3. Mediasi, yakni suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui
perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral sebagai penengah (mediator)
4. Konsiliasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan caramelibatkan pihak ketiga
yang bersifat netral
5. Penilaian Ahli
Menempuh mekanisme ADR memiliki kelebihan dan kekurangan antara lain:[5]
1. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative
3. para pihak dapat memilih pihak ketiga yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan
tempat penyelenggaraan
5. putusan ADR merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Adapun beberapa kelemahan ADR adalah sebagai berikut:
1. ADR belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan
oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI.
2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan
perkaranya kepada lembaga-lembaga ADR. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang
diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
3. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi
putusannya.
4. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam ADR,
sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur
waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
5. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, Arbitrase
hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
PENYELESAIAN PERSENGKETAAN SELAIN ADR
Adapun penyelesaian sengketa dengan cara lain adalah sebagai berikut:
1. Arbitrase. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh
pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase
yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul
sengeketa.
2. Peradilan. Negara berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian bila terjadi suatu
pelanggaran hukum. Untuk itu negara menyerahkan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan
peradilan dengan para pelaksananya, yaitu hakim.
Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi di lingkungan peadilan umum. Sementara itu berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004,
penyelenggara kekuasaan kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berbeda di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah
MK.
3. Peradilan Umum. Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang
umumnya mengenai perkara perdata dan pidana. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peadilan
umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung
Refferensi:
1. http://jateng.tribunnews.com/2016/06/15/pemerintah-diminta-turun-tangan-untuk-mengatasipencemaran-di-sungai-desa-tapak
2. http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/09/kot13.htm
3. http://eprints.undip.ac.id/19278/1/2876-ki-fh-05.pdf
4. http://rumahkeadilan.co.id/index.php/2015/11/04/penyelesaian-sengketa-melalui-adralternative-dispute-resolution/
5. https://tommyutama.wordpress.com/2010/07/13/keunggulan-dan-kelemahan-arbitrase/