IDENTITAS PEREMPUAN DALAM FILM MONA LISA

IDENTITAS PEREMPUAN DALAM FILM
MONA LISA SMILE DAN
NORTH COUNTRY
Oleh: Zhilal El-Furqaan
Multikulturalisme seringkali diidentikkan dengan masyarakat yang memiliki
perbedaan budaya yang nyata seperti perbedaan warna kulit, suku, atau bangsa. Akan
tetapi, Melani Budianta, dalam sebuah diskusi di kelas, mengatakan bahwa konsep
multikulturalisme juga digunakan dalam sebuah komunitas yang monoetnis. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan dalam setiap individu dalam komunitas monoetnis,
bahkan konflik yang terjadi di dalamnya umumnya juga terjadi dalam masyarakat
multietnis walaupun dengan tingkatan yang berbeda. Beranjak dari pandangan
tersebut, esai ini membahas isu identitas, yang sering menjadi perbincangan dalam
multikulturalisme, yang terjadi dalam masyarakat monoetnis kulit putih di Amerika
Serikat.
Identitas perempuan menjadi sesuatu yang kerap diperbincangkan terutama
setelah gelombang pertama feminisme di Amerika Serikat 1. Isu ini juga diangkat
dalam film-fim Hollywood, diantaranya yang akan dibahas dalam esai ini
adalah Mona Lisa Smile (2003) dan North Country (2005). Kedua film ini
mengangkat tema feminisme dalam konteks zaman yang berbeda. Meskipun memiliki
perbedaan zaman, kisah perempuan yang diangkat dalam film ini memiliki masalah
identitas yang sama, yaitu mendapatkan represi dari pemegang kuasa, yaitu ligkungan

yang patriarkal.

Mona Lisa Smile menceritakan bagaimana pada tahun 1950-an perempuan
diajarkan untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, yaitu sebagai pelayan suami,
dalam sebuah sekolah formal. Dalam sekolah itu ditekankan bahwa menjadi ibu
rumah tangga merupakan kodrat perempuan 2 dan perempuan tidak memiliki pilihan
lain selain menjadi ibu rumah tangga. Kewajiban sebagai ibu rumah tangga tersebut
yang menimbulkan masalah identitas dalam beberapa tokoh di film ini.
Sedangkan North Country berlatar tahun 1980-an saat perempuan sudah
memiliki lebih banyak
keadilan daripada tahun 1950-an, terlihat dari film ini bahwa perempuan memiliki
kesempatan untuk memiliki penghasilan yang setara dengan laki-laki dan dapat
bekerja di lapangan pekerjaan yang didominasi laki-laki seperti pertambangan.
Meskipun demikian, lingkungan saat itu tidak sepenuhnya mendukung persamaan hak
tersebut, dapat terlihat dari anggapan buruk masyarakat terhadap perempuan yang
bekerja di tambang dan pelecehan seksual yang terjadi dalam lingkungan kerja.
Berbagai bentuk represi dari masyarakat ini kemudian menimbulkan masalah identitas
dalam cerita ini.
Judy Giles dan Tim Middleton mengatakan bahwa identitas hampir selalu
diposisikan dalam relasi kuasa, dalam sebuah oposisi biner “kita/merekaâ” (Judy

Giles and Tim Middleton, 1999: 33). Hal ini berarti bahwa seseorang tidak dapat
memposisikan identitasnya sendiri tanpa ada pengaruh dari luar karena selalu ada
relasi kuasa yang melingkupi orang tersebut yang juga ikut memposisikan
identitasnya. Dengan kata lain, identitas merupakan sebuah posisi yang
dikonstruksikan, bukan merupakan esensi3.
Begitu pula yang terjadi dalam Mona Lisa Smile dan North Country. Identitas
perempuan dalam kedua film tersebut sangat dipengaruhi oleh kuasa yang

ada.Dalam Mona Lisa Smile, sistem Wellesley College yang konservatif dan ortodoks,
bahkan lebih luas sistem masyarakat Amerika Serikat saat itu umumnya 4,
memposisikan perempuan sebagai calon ibu rumah tangga sehingga perempuan yang
tidak menikah dan tidak mengikuti sistem ini dilabeli sebagai “perempuan tidak baikbaik” Contoh dari hal ini terdapat dalam pribadi Elizabeth Warren, atau Betty, yang
sangat mengikuti paham ibunya yang merupakan ketua alumni Wellesley College
yang sikapnya sebagai perempuan selalu diposisikan oleh kuasa yang ada, yaitu
ibunya5. Bentuk sikapnya tersebut terlihat dari bagaimana ia bersikap sinis dengan
Kathryn Watson, guru Art Literature yang liberal, yang memilih untuk tidak menikah
dengan mengatakan ke temannya, Gizzelle,“No woman chooses to live without a
home.” Dengan kata lain, Betty perpendapat bahwa Kathryn Watson tidak dapat
dikategorikan sebagai perempuan. Satu contoh bagaimana falosentrisme memosisikan
perempuan adalah saat pelajaran untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, ketika

ada pertanyaan yang dijawab dengan bercanda oleh Giselle Wayne “File for
divorce?”, guru tersebut marah dan berkata:
“. . . A few years from now, your sole responsibility will be taking care of your
husband and children. You may all be here for an easy A, but the grade that matters
the most is the one he gives you, not me.“
Hal ini memperlihatkan bagaimana pemberian identitas yang mutlak dari Wellesley
yang mewakili sistem ideal di masyarakat bahwa tugas perempuan adalah menjadi
istri dan baik atau tidaknya sangat ditentukan oleh suami.
Sedangkan dalam North Country, perempuan diposisikan oleh konstruksi
masyarakat yang falosentris walaupun perempuan saat itu lebih memiliki kekuatan
dibandingkan dengan yang terjadi di tahun 1950-an sebagaimana terlihat dengan
bagaimana mereka mampu bekerja di pertambangan (meskipun belum umum) 6.

Sebagaimana dalam Mona Lisa Smile, falosentrisme memegang kuasa yang dapat
memposisikan dan menentukan identitas perempuan. Sebagai contoh saat tokoh
utama, Josey Aimes, pulang ke rumah orang tuanya karena dipukuli oleh suaminya,
ayahnya justru menanyakan “So, he catch you with another man? Is that why he laid
hands on you?” Asumsi ayahnya memposisikan Josey sebagai pihak yang salah
apabila dia sampai dipukul suaminya dan kepulangan anaknya tersebut dianggap
mengecewakan. Bahkan oleh ibunya pemukulan suami terhadap istri dianggap wajar.

Pemosisian selanjutnya adalah kepada perempuan-perempuan yang bekerja di
tambang, termasuk Josey. Oleh masyarakat mereka dianggap seperti melakukan aib
dan disamakan dengan pelacur. Bahkan ayah Josey, yang bekerja di tambang, ketika
Josey menyampaikan ide bahwa ia ingin kerja di pertambangan agar bisa menghidupi
dirinya sendiri, ayahnya berkata “You wanna be a lesbian now?” dengan muka tidak
suka dan ayahnya melanjutkan “Do you have any idea how many accidents there’ve
been since this started? Somebody will be killed because of them women.” Dalam hal
ini bisa kita lihat bahwa pekerja perempuan dianggap penyebab kecelakaan di
pertambangan. Pandangan ini sangat memposisikan perempuan sebagai inferior yang
selalu menyebabkan kecelakaan.Perempuan dalam kedua film ini sebagaimana saya
bahas sebelumnya selalu dilabeli dengan identitas dari pemegang kuasa. Lalu,
bagaimana hal ini berpengaruh dalam kehidupan mereka?
Dalam Mona Lisa Smile, Identitas yang didoktrin berupa ‘kodrat’ perempuan
untuk menjadi ibu rumah tangga, wajib melayani suami, serta dengan berbagai
memiliki pengaruh terhadap banyak tokoh dalam film ini. Tokoh pertama yang
terkena pengaruh dari pemberian identitas ini adalah Amanda Amstrong, seorang
perawat sekolah yang memiliki pikiran liberal. Setelah terbit editorial di koran
sekolah, yang dibuat oleh Betty Warren, yang membeberkan bahwa Amanda
Armstrong membagikan alat kontrasepsi kepada murid Wellesley, Amanda dipecat


oleh manajemen Wellesley karena dianggap telah mencemarkan nama baik Wellesley
dengan mempromosikan pelacuran di Wellesley 7.Lalu, masih ada Betty Warren yang
harus selalu tampil sempurna menurut konstruksi yang ada meskipun berlawanan
dengan hatinya. Misalnya setelah pernikahannya dengan Spencer, ia terus menutupi
ketidakbahagiaannya dengan terus tersenyum di depan umum, tetapi selalu terlihat
sedih setiap melihat kemesraan sahabatnya, Joan dengan Tom. Betty terlihat selalu
mengopresi perasaannya dan bertindak seolah-olah ia memiliki keluarga yang
bahagia. Bahkan saat Betty cerita ke ibunya bahwa suaminya hampir tidak pernah ada
utuknya, ibunya berkata bahw Betty sangat beruntung dan seharusnya senang karena
Spencer bekerja sangat keras untuk mereka sampai jarang pulang.Tokoh selanjutnya
adalah Amanda Watson, tokoh utama film ini yang merupakan seorang guru yang
liberal dan mengajarkan kebebasan berpikir kepada murid-muridnya sampai akhirnya
koran sekolah memberitakan bahwa ia telah bertindak subversif dengan
mendeklarasikan perang dengan kesucian sakramen pernikahan dan mengajarkan ke
murid-muridnya untuk menolak kodrat mereka sebagai perempuan. Lalu, ia pun
berhenti mengajar karena tuduhan tersebut sangat tidak bisa diterima oleh dewan
alumni sekolah.
Sedangkan dalam North Country, dampak pemberian identitas ‘pelacur’ dan
‘pembawa bencana’ kepada para perempuan pekerja tambang ini telah memberikan
hak kepada para pekerja tambang laki-laki untuk melakukan pelecehan seksual kepada

pekerja tambang perempuan. Pelecehan ini dimulai dari awal mereka bekerja saat
berpapasan dengan seorang pekerja laki-laki, ia menggumam dengan nada
merendahkan, ‘cunts’. Begitu juga dengan pintu ruang ganti perempuan juga
ditulisi cuntsyang merupakan kata yang bernilai rasa kasar untuk menyebut organ
genital perempuan dan juga dipakai untuk merendahkan orang. Tidak hanya sampai di
situ, pelecehan ini terus berlangsung sampai ada yang menaruh dildo di kotak makan

seorang pekerja perempuan, meremas payudara, bahkan sampai ada percobaan
pemerkosaan. Bahkan, di luar komunitas pekerja tambang, perempuan-peempuan ini
masih mendapat cercaan dari masyarakat sebagai pelacur yang meniduri setiap lakilaki di pertambangan. Segala macam pelecehan ini menimbulkan trauma psikis yang
sangat hebat bagi beberapa pekerja, bahkan diceritakan bahwa sampai ada yang
berhenti karena tidak kuat. Akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa
menghadapi pelecehan tersebut karena mereka ditempatkan sebagai minoritas dan jika
ada yang berani melawan mereka mendapat perlakuan lebih parah lagi seperti di satu
adegan, setelah Josey berbicara ke atasannya mengenai perilaku rekan kerjanya yang
sering melecehkan para pekerja perempuan, kamar ganti perempuan dipenuhi oleh
kotoran manusia yang dengan berbagai macam kata-kata yang menghina. Bahkan,
atasannya hanya diam dan mengancam Josey untuk diam dan menerima saja. Ia
mengatakan:
“You’re taking job where there aren’t any to take, these boys aren’t your

friends, I’m not your friend. You got no business being here and you damn well
know it. But you’re not hearing that, are you? So let’s try something new. How
about: work hard, keep your mouth shut and take it like a man.”
Terlihat bahwa terhadap pekerja perempuan dipaksakan sebuah identitas oleh
atasannya untuk ‘take it like a man‘, untuk menganggap semua pelecehan itu adalah
hal yang biasa saja. Dari contoh Amanda Armstrong dan contoh dalam North Country,
bisa disimpulkan bahwa saat identitas diberikan oleh pemegang kuasa, dan saat kita
mencoba keluar dari kuasa dan identitas tersebut, yang terjadi adalah ambivalensi
karena disingkirkan dari sistem tersebut. Yang terjadi dalam contoh-contoh tersebut
adalah sebuah subjektifitas. Yang dimaksud dengan subjektifitas di sini adalah
bagaimana seseorang/suatu kelompok diposisikan menjadi sebuah subjek melalui

proses identifikasi, bagaimana seseorang diperlakukan atas identitas yang ia
terima (Louis Althusser, 1971). Dalam hal ini adalah bagaimana Amanda Armstrong
dan Josey Aimes diperlakukan (being subjected) oleh pemegang kuasa, yaitu
Wellesley dan Taconite Co. Amanda dan Josey yang melawan sistem kemudian
diposisikan oleh pemegang kuasa sebagai lian, bahkan perusak sistem yang harus
dihancurkan. Penghancuran ini dilakukan dengan melakukan represi terhadap mereka.
Bentuk represinya adalah pemecatan Amanda oleh Wellesley dan pelecehan oleh
pekerja laki-laki di Taconite Co.

Meskipun dalam dua film ini perempuan menghadapi represi, mereka tetap
melakukan proses negosiasi dan bahkan resistensi. Dengan negosiasi dan resistensi ini
akhirnya mereka berhasil memposisikan diri mereka sendiri sehingga mereka
mendapatkan identitas yang mereka inginkan.DalamMona Lisa Smile, perubahan
identitas, dari diposisikan menjadi memposisikan, yang terjadi dalam tokoh-tokoh
seperti Joan dan Betty terjadi berkat bantuan Kathryn Watson dan Giselle yang
membawa kebebasan berpikir dan membawa pilihan lain untuk mereka. Joan
merupakan seorang perempuan yang sangat cerdas dan memiliki keinginan untuk
menjadi pengacara. Akan tetapi, keinginannya teropresi oleh konstruksi yang ada,
bahkan ia sampai tidak pernah memikirkan untuk benar-benar menjadi pengacara
karena itu akan melawan ‘kodrat’-nya. Sampai akhirnya Kathryn Watson datang dan
memberi tahu Joan bahwa ia mampunyai pilihan, bahkan untuk memilih menjadi
seorang ibu rumah tangga sekaligus pengacara. Setelah kejadian itu, Joan terlepas dari
opresi yang ia dapatkan dan ia terdaftar di Yale untuk sekolah menjadi pengacara.
Akan tetapi, akhirnya Joan memutuskan untuk hanya menjadi ibu rumah tangga.
Meskipun ia menjadi ibu rumah tangga, ia telah berhasil memposisikan dirinya dan
memilih sendiri identitasnya karena ibu rumah tangga adalah pilihannya, bukan lagi
sebuah opresi dari pemegang kuasa.

Sedangkan Betty yang sebelumnya selalu mengikuti konstruksi sosial yang ada,

mendapatkan bahwa hal tersebut ternyata tidak membuatnya senang, bahkan
pernikahan yang diimpikannya akan membawa kebahagiaan justru membuatnya
tertekan karena Spencer yang hampir tidak pernah ada di sisinya. Betty pun, atas
tuntutan konstruksi yang ada selalu tersenyum di depan umum dan berpura-pura
pernikahannya menyenangkan sampai di suatu pesta saat Spencer tiba-tiba tidak ada,
Betty pulang ke rumah ibunya tetapi ditolak oleh ibunya, “You’re going to turn
around, go home, fix your face, and wait for your husband. This is the bargain you
made Elizabeth, we all did.” Saat Betty menanyakan bahwa ia tidak lagi diterima di
rumah ibunya, ibunya menjawab, “Spencer’s house is your house, now.” Atas jawaban
itu, Betty merasa terpukul karena ditolak oleh ibunya. Sampai akhirnya Betty
memutuskan untuk keluar dari konstruksi tersebut dan memilih untuk bercerai dan
meninggalkan ibunya.
Sedangkan dalam North Country, yang saat itu feminisme sudah menjangkau
wilayah hukum, negosiasi yang diambil oleh Josey adalah dengan melakukan class
action terhadap Taconite Co. dengan bantuan seorang pengacara. Meskipun
perempuan lain awalnya tidak mendukung karena ketakutan yang diciptakan oleh
pekerja pria Taconite Co., akhirnya mendukung setelah melihat kesungguhan Josey
dan melihat keberaian Josey berseberangan dengan konstruksi. Apa yang terjadi
dalam dua film ini memperlihatkan bahwa dalam dua zaman yang berbeda sekalipun,
permasalahan identitas tetap terjadi. Permasalahan utama isu identitas adalah relasi

kuasa yang selalu memposisikan sesuatu berdasarkan sudut pandang penguasa. Kedua
film ini juga menjustifikasi pengertian identitas dalam sudut pandang social
constructivist, yaitu “identity is formed through interaction with social factors, and is
not simply the result of biological defferences.” (Giles, op. cit.).

Dalam pandangan tersebut, identitas merupakan hasil konstruksi yang
didapatkan dari interaksi sosial dan bukan dari perbedaan biologis. Hal ini bisa dilihat
dari akhirya dua film ini menampilkan identitas perempuan seperti Josey Aimes dan
Betty Warren akhirnya tampil setelah keluar dari konstruksi sosial yang esensialis,
yang membedakan peran perempuan berdasarkan jenis kelamin, melalui pandangan
falosentrisme yang menomorduakan perempuan.
Kedua film ini juga menjelaskan mengapa Hall mengatakan bahwa identitas
merupakan masalah memposisikan dan diposisikan, Tidak hanya diposisikan. Karena
jika identitas hanya diposisikan oleh sebuah konstruksi yang terjadi adalah krisis
identitas sepserti yang terjadi dengan Betty Warren. Hal senada juga diungkapkan oleh
Ali P. Crown bahwa identitas adalah sebuah pilihan
(http://feminism.eserver.org/theory/feminist/Crown-Choice-is-Power.html).

Catatan Akhir:
1

Gelombang pertama feminisme di Amerika Serikat terjadi antara
pertengahan abad 19 sampai dikeluarkannya Amandemen kesembilan belas
pada tahun 1920 (Sally Haslanger dan Nancy Tuana,  Topic in
Feminism , 2004)
2
Hal ini terepresentasikan dari ucapan Betty Warren, salah satu murid
sekolah tersebut:  . . . it is our duty, nay, obligation to
reclaim our place in the home bearing our children that will carry
our traditions into the future . . . the role they were
born to fill . . .  Bagian yang ditebalkan adalah
bagian yang saya terjemahkan sebagai kodrat.
3
Hal senada juga disampaikan oleh Stuart Hall dalam esainya. Hall
mengatakan bahwa identitas [identitas dalam konteks Hall adalah
identitas budaya/cultural identity] adalah proses
identifikasi yang labil yang lahir dari pemposisian, bukan esensi.
(Stuart Hall dalam Kathryn Woodward [ed.], 1997:53)
4
Hal ini bisa dilihat di credit film ini yang menggambarkan
iklan-iklan dan kontes kecantikan di tahun 1950-an yang
menggambarkan perempuan yang cantik adalah perempuan yang bisa
melakukan pekerjaan rumah.
5
Ibu Betty sangat menjunjung tinggi pernikahan dan hal ini ditularkan
kepada anakny, Betty. Betty dididik untuk selalu patuh kepada suami,

bahkan pada satu adegan Betty ke rumah ibunya, ia disuruh pulang ke
rumahnya karena tidak izin kepada suaminya.
6
Hal ini sesuai dengan konteks zaman saat itu, yaitu perempuan lebih
diakui di mata Negara dan secara legal setara dengan laki-laki,
walaupun tidak dalam praktiknya.
7
Pimpinan Wellesley College mengatakan  We cannot appear to
promote sexual promiscuity . . . 

Daftar Referensi:
Anonim.
“Subjectâ”. Changingminds.org.http://changingminds.org/explanations/critical_
theory/concepts/langue_parole.htm (diunduh tanggal 2 Juni 2008)
Giles, Judy dan Tim Middleton. 1999. Studying Culture: A Practical Introduction.
Oxford: Blackwell Publishers
Hall, Stuart. 1997. “Cultural identity and Diasopra”, Identity and Difference, ed.
Kathryn Woodward. London: Sage/Open University
Althusser, Louis. 1971. “Ideology and Ideological State Apparatuses”, Lenin and
Other Essays. London: New Left Books
Crown, Ali P. 2005. “Choice is the Power of
Feminism”.http://feminism.eserver.org/theory/feminist/Crown-Choice-isPower.html (diunduh tanggal 3 Juni 2008)